Sunteți pe pagina 1din 16

PENTINGNYA SPENDING REVIEW PADA

PEMERINTAH DAERAH

KELOMPOK VI
KELAS 7C AKUNTANSI
A. Roisal Afif ( 01/ 1401160026 )
Bramanti Brilianto ( 07/ 1401160144 )
Dwi Prioatmaji ( 10/ 1401160084 )
Lugis Andrianto ( 25/ 1401160023 )
Muhammad Rico P ( 28/ 1401160062 )
Ryan Ardany S ( 33/ 1401160049 )

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV AKUNTANSI


POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
TAHUN AKADEMIK 2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ekonomi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki kedudukan dan
peranan yang sangat krusial. Berbagai macam teori maupun kebijakan ekonomi diterapkan dalam
rangka mencapai dan mengusahakan tujuan bersama yang diterjemahkan sebagai kesejahteraan
hidup. Secara ekonomi, kesejahteraan hidup suatu negara dapat diukur melalui instrumen
pertumbuhan ekonomi/PDB (growth), pendapatan per kapita (per capita income) dan indeks
pembangunan manusia (human development index). Pencapaian tujuan pembangunan manusia
bukan hal yang baru bagi Indonesia, dan selalu ada penekanan pada pemenuhan tujuan tersebut,
yakni pemenuhan pendidikan universal, peningkatan kesehatan, dan pemberantasan kemiskinan.
Peran pemerintah sebagai penyelenggara negara yang bertugas menyejahterakan
masyarakat sangat penting dalam perekonomian. Dalam menjalankan peran tersebut pemerintah
memerlukan berbagai macam program dan kebijakan, dan demi terlaksananya program dan
kebijakan tersebut anggaran sangatlah diperlukan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) adalah wujud dari pengelolaan keuangan negara yang merupakan instrumen bagi
pemerintah untuk mengatur penerimaan dan pengeluaran negara dalam rangka membiayai
pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi,
meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabilitas perekonomian, dan menentukan arah
serta prioritas pembangunan secara umum. APBN ditetapkan setiap tahun dan dilaksanakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Target penerimaan APBN Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Peningkatan
tersebut selalu diiringi dengan peningkatan dari sisi belanja pemerintah yang kemudian bisa
menjadi multiplier effect dalam perekonomian Indonesia. Akan tetapi pada prosesnya
peningkatan belanja ini tidak diimbangi dengan efisiensi dan efektivitas atas belanja tersebut.
Hal inilah yang kemudian mendasari pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, untuk
melakukan kegiatan spending review demi menilai alokasi anggaran pada tiap-tiap Kementerian
dan Lembaga Pemerintahan Non Kementerian (LPNK).
Spending review dianggap perlu dilakukan demi menghindari penyerapan anggaran
belanja yang cenderung tidak optimal dari tahun ke tahun (underspending of budget
appropriations) dan tren penyerapannya yang cenderung menumpuk pada akhir tahun. Pada
tahun 2013, hasil Spending review menjadi dasar penyesuaian anggaran baseline menjadi insiatif
strategis senilai 40 triliun.
Spending review atas APBN dilakukan oleh Kementerian Keuangan melalui Direktorat
Jenderal Perbendaharaan dan tidak pernah dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap Anggaran
Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) baik pada level Pemerintah Kabupaten/Kota ataupun
Pemerintah Provinsi. Namun, permasalahan yang terjadi terkait isu inefisiensi dan penyerapan
anggaran yang rendah dalam proses pelaksanaan anggaran tidak hanya terjadi di tingkat
pemerintah pusat, tetapi juga terjadi di pemerintah daerah. Oleh karena itu, perlu kajian lebih
lanjut untuk membawa konsep spending review ini pada konteks pemerintah daerah. Secara
konsep, struktur anggaran pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak berbeda jauh, hal
ini memungkinkan bagi spending review untuk dapat diterapkan pada pemerintah daerah. Oleh
karena itu, tulisan ini mengangkat tajuk Pentingnya Spending Review pada Pemerintah
Daerah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Spending Review
Spending review adalah alat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah, yang hasilnya
dijadikan rekomendasi untuk pelaksanaan anggaran pemerintah tahun berikutnya agar lebih
efektif dan efisien (value for money). Terdapat perbedaan antara spending review yang dilakukan
oleh pemerintah Indonesia dengan konsep Public Expenditure Review yang digagas oleh World
Bank. Spending review dalam konteks di Indonesia berfokus utama untuk efisiensi anggaran dan
secara tegas menyebut angka yang inefisien dan terduplikasi, sedangkan Public Expenditure
Review mengarah pada kebijakan makro dan bersifat normatif menurut pandangan masing-
masing pihak. Definisi dari Public Expenditure Review menurut World Bank adalah tools for
analyzing public expenditures in the human development sectors and are part of a larger process
to improve the treatment of human development issues.

Spending review merupakan bagian dari bentuk pengawasan terhadap


pertanggungjawaban anggaran untuk dijadikan bahan materi rencana pengganggaran tahun
berikutnya antara Kementerian Keuangan, Kementerian Lembaga dan Bappenas. Spending
review bertujuan untuk mengetahui potensi ruang fiskal pada tahun anggaran berikutnya
sehingga potensi tersebut dapat dipergunakan untuk menambah alokasi dana prioritas
penyusunan APBN tahun berikutnya. Letak peran spending review dalam siklus anggaran
digambarkan dalam gambar berikut.

Gambar II.1: Siklus Anggaran dengan Tata Kelola Ideal


Sumber: Modul Monev Direktorat Jenderal Perbendaharaan
Ada 3 metodologi yang dilakukan pada spending review, yaitu:
a. Reviu Alokasi
Reviu yang dilihat dari pengalokasian anggaran yang difokuskan pada tiga hal, yaitu
inefisiensi, duplikasi dan peristiwa yang hanya terjadi sekali dan tidak berulang (einmalig)
b. Reviu Efisiensi
Reviu yang dilihat dari efisiensi kinerja unit-unit pemerintah dalam penggunaan belanjanya.
Inefisiensi paling sering terjadi karena adanya komponen-komponen yang tidak relevan,
belanja barang yang melebihi standar biaya dan sebagainya.
c. Reviu Baseline
Reviu yang dimaksudkan untuk memberikan masukan untuk prinsip-prinsip reviu terhadap
baseline items yang dapat dipertimbangkan oleh K/L pada saat perencanaan.
Spending review dilakukan agar hasil dari monitoring dan evaluasi dapat memberikan
masukan bagi proses penganggaran berikutnya.

Gambar II.2: Kerangka Spending review


Sumber: Modul Monev Direktorat Jenderal Perbendaharaan

B. Spending Review pada Pemerintah Pusat


Perubahan proses bisnis dalam fungsi pelaksanaan anggaran, yang ditandai dengan
pemindahan wewenang pengesahan dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) yang semula
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan kemudian dialihkan kepada Direktorat
Jenderal Anggaran, telah membawa pemikiran besar yang diinisiasi oleh Direktorat Jenderal
Perbendaharaan yaitu inisiatif reviu belanja pemerintah (spending review).
Inisiatif spending review di Indonesia muncul pada pertengahan tahun 2012. Isu spending
review menjadi salah satu topik utama pada acara workshop 7th Annual meeting of SBO (Senior
Budget Officials) Network on Performance & Results pada 9-10 November 2011 di Paris.
Workshop tersebut digagas oleh negara-negara anggota OECD, dimana Indonesia merupakan
salah satu anggotanya.
Spending review awalnya adalah sebuah konsep penelaahaan terhadap seluruh belanja
Kementerian/Lembaga karena ditengarai banyak terjadi inefisiensi dan duplikasi dalam proses
penganggaran. Spending review dilakukan oleh Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat
Jenderal Perbendaharaan yang mempunyai fungsi pelaksanaan anggaran. Direktorat Jenderal
Perbendaharaan terus melakukan kajian terhadap spending review tersebut untuk memastikan
bahwa konsep tersebut dapat diterapkan pada proses pengganggaran di Indonesia. Setelah
melakukan kajian-kajian, pada tahun 2015 terbit Surat Edaran Direktur Jenderal Perbendaharaan
Nomor SE-2/PB/2015 tentang Penyusunan Spending Review Tahun 2015 memberikan petunjuk
tata cara pengukuran kinerja APBN dan teknis pelaksanaan spending review.
Tujuan spending review di Indonesia berbeda dengan spending review di negara lain.
Jika di kebanyakan negara maju spending review ditujukan terutama untuk memotong anggaran
dalam rangka mengurangi defisit anggaran, konteks yang lebih relevan untuk Indonesia adalah
peningkatan efisiensi, efektivitas dan value for money dari pengeluaran publik (Ditjen
Perbendaharaan).
Ada beberapa sebab yang melatarbelakangi perlunya dilaksanakan spending review di
pemerintah pusat sekarang. Dikutip dari Modul Monev dan Spending Review yang dibuat oleh
Ditjen Perbendaharaan, permasalahan-permasalahan tersebut antara lain:
1. Naiknya volume APBN dari tahun ke tahun, tanpa diiringi dengan peningkatan kualitas
hidup secara signifikan yang direpresentasikan oleh Indeks Pembangunan Manusia. Hal
tersebut memberikan indikasi rendahnya tingkat efektivitas belanja negara.
2. Terbatasnya ruang fiskal yang hanya sebesar 5-6% (5,1% pada 2011) dari PDB
mengakibatkan fleksibilitas anggaran terbatas.
3. Tingginya alokasi maupun realisasi belanja yang bersifat mengikat (mandatory spending)
dan sebaliknya rendahnya alokasi maupun realisasi belanja yang bersifat tidak mengikat
(discretionary spending) mengindikasikan biaya penyelenggaraan negara yang tinggi
dibandingkan dengan biaya pelayanan publiknya.
4. Penyerapan belanja negara, khususnya belanja barang dan modal Kementerian/Lembaga
tidak optimal dan cenderung menumpuk pada akhir tahun anggaran akibatnya peran
stimulus fiskal dari kontribusi belanja negara tidak tercapai, begitu pula hal ini
menyulitkan pengelolaan kas negara.
5. Kualitas belanja operasional birokrasi lebih besar dari pada belanja modal atau belanja
pelayanan langsung kepada publik, akibatnya terjadi pemborosan, inefisiensi dan tidak
terukurnya pengaruh belanja pemerintah terhadap kualitas layanan publik.
Spending Review pada pemerintah pusat dilakukan tahun 2013 untuk memberikan bahan
masukan bagi penyusunan rencana kerja Kementerian/Lembaga 2014. Ruang lingkup reviu ini mencakup
20 Kementerian/Lembaga dengan pagu sebesar Rp 423.161 miliar atau sebesar 76,26% dari total pagu
Kementerian/Lembaga. Hasil spending review tersebut:
No Jenis Reviu Indikasi Temuan

1 Reviu Alokasi
- Inefisiensi 39.035.285.538.976
61.247.010.928.976
- Einmalig 18.577.223.722.000
- Dana Cadangan dan Sisa Dana Hasil
3.634.501.668.000
Penelaahan
2 Reviu Pelaksanaan Anggaran
- Tolak ukur target 2.760.225.154.226
10.890.749.259.669
- Tolak ukur kinerja terbaik 8.130.524.105.443

Potensi Ruang Fiskal 2014 72.137.760.188.645

C. Sistem Penganggaran Pemerintah Pusat


Sebelum berlakunya sistem Anggaran Berbasis Kinerja, metode penganggaran yang
digunakan adalah metode tradisional atau item line budget. Cara penyusunan anggaran ini tidak
didasarkan pada analisa rangkaian kegiatan yang harus dihubungkan dengan tujuan yang telah
ditentukan, namun lebih dititikberatkan pada kebutuhan untuk belanja/pengeluaran dan sistem
pertanggung jawabannya tidak diperiksa dan diteliti apakah dana tersebut telah digunakan secara
efektif dan efisien atau tidak. Tolok ukur keberhasilan hanya ditunjukkan dengan adanya
keseimbangan anggaran antara pendapatan dan belanja.
Anggaran kinerja mencerminkan beberapa hal. Pertama, maksud dan tujuan permintaan
dana. Kedua, biaya dari program-program yang diusulkan dalam mencapai tujuan ini. Dan yang
ketiga, data kuantitatif yang dapat mengukur pencapaian serta pekerjaan yang dilaksanakan
untuk tiap-tiap program. Penganggaran dengan pendekatan kinerja ini berfokus pada efisiensi
penyelenggaraan suatu aktivitas. Efisiensi itu sendiri adalah perbandingan antara output dengan
input. Suatu aktivitas dikatakan efisien, apabila output yang dihasilkan lebih besar dengan input
yang sama, atau output yang dihasilkan adalah sama dengan input yang lebih sedikit. Anggaran
ini tidak hanya didasarkan pada apa yang dibelanjakan saja, seperti yang terjadi pada sistem
anggaran tradisional, tetapi juga didasarkan pada tujuan/rencana tertentu yang pelaksanaannya
perlu disusun atau didukung oleh suatu anggaran biaya yang cukup dan penggunaan biaya
tersebut harus efisien dan efektif.
Berbeda dengan penganggaran dengan pendekatan tradisional, penganggaran dengan
pendekatan kinerja ini disusun dengan orientasi output. Jadi, apabila kita menyusun anggaran
dengan pendekatan kinerja, maka mindset kita harus fokus pada "apa yang ingin dicapai". Kalau
fokus ke "output", berarti pemikiran tentang "tujuan" kegiatan harus sudah tercakup di setiap
langkah ketika menyusun anggaran. Tolok ukur keberhasilan sistem anggaran ini
adalah performance atau prestasi dari tujuan atau hasil anggaran dengan menggunakan dana
secara efisien. Dengan membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan
perencanaan kinerja dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang
tersedia dengan hasil yang diharapkan. Sistem penganggaran seperti ini disebut juga dengan
Anggaran Berbasis Kinerja (ABK).
Untuk dapat menyusun Anggaran Berbasis Kinerja terlebih dahulu harus disusun
perencanaan strategik (Renstra). Agar sistem dapat berjalan dengan baik perlu ditetapkan
beberapa hal yang sangat menentukan yaitu standar harga, tolok ukur kinerja dan Standar
Pelayanan Minimal yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan. Pengukuran
kinerja (tolok ukur) digunakan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan
kegiatan/program/kebijakan sesuai dengan sasaran dan tugas yang telah ditetapkan dalam rangka
mewujudkan visi dan misi pemerintah daerah. Salah satu aspek yang diukur dalam penilaian
kinerja pemerintah daerah adalah aspek keuangan berupa ABK. Untuk melakukan suatu
pengukuran kinerja perlu ditetapkan indikator-indikator terlebih dahulu antara lain indikator
masukan (input) berupa dana, sumber daya manusia dan metode kerja. Agar input dapat
diinformasikan dengan akurat dalam suatu anggaran, maka perlu dilakukan penilaian terhadap
kewajarannya.

D. Sistem Penganggaran Pemerintah Daerah


Proses penyusunan anggaran di tingkat daerah (kabupaten/kota atau provinsi) pada
dasarnya mempunyai urut-urutan yang sama dengan proses penyusunan anggaran di tingkat
pemerintah pusat. Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD) sama dengan pendekatan yang digunakan dalam penyusunan anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN), yaitu dengan pendekatan kinerja (Performance Based
Budgeting). Dalam penerapan penganggaran berbasis kinerja, alokasi anggaran berorientasi pada
kinerja (ouputs and outcomes oriented).
Skema Penyusunan Anggaran Pemerintah Daerah (APBD)
Perencanaan dan Penganggaran Tahunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah
didasarkan pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). RKPD adalah dokumen
perencanaan daerah dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. RKPD merupakan penerjemahan dari
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang merupakan dokumen rencana
lima tahunan pemerintah daerah. RPJMD juga diterjemahkan kedalam Rencana Strategis Satuan
Kerja Perangkat Daerah.
1. Musyawarah Perencanaan Pembangunan, Penyusunan Rencana Kerja Satuan Kerja
Perangkat Daerah (Renja SKPD), Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD)
Proses penyusunan anggaran dimulai dari diselenggarakannya Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang). Musrenbang dilakukan secara bertahap dimulai dari musrenbang
pada tingkat desa/kelurahan, musrenbang tingkat kecamatan, sampai dengan musrenbang tingkat
kabupaten/kota.
2. Penyusunan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara
(PPAS)
Kebijakan Umum APBD atau KUA adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang
pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 tahun.
Kebijakan umum memuat kondisi ekonomi makro daerah, asumsi-asumsi dasar dalam
penyusunan RAPBD dan kebijakan pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah dan strategi
pencapaianya.
3. Nota Kesepakatan dan Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah (RKA-SKPD)
Hasil pembicaran pendahuluan RAPBD harus sudah menemui kesepakatan paling lambat
akhir bulan Juli. Hasil kesepakatan dituangkan dalam nota kesepakatan untuk kemudian menjadi
dasar bagi Tim Anggaran Eksekutif untuk menyiapkan rancangan Surat Keputusan Kepala
Daerah tentang Penyusunan Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-
SKPD) sebagai acuan kepala SKPD dalam menyusun RKA-SKPD. Surat Keputusan Kepala
Daerah sudah harus di tanda tangani dan di terbitkan paling lambat awal bulan agustus tahun
anggaran berjalan.
4. Penyusunan Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD)
Berdasarkan pedoman penyusunan RKA SKPD yang disusun oleh tim anggaran
eksekutif, SKPD menyusun Rencana Kerja Anggaran dengan pendekatan berdasarkan prestasi
kerja yang akan dicapai. RKA tersebut disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya
setelah tahun anggaran yang sudah disusun. RKA-SKPD yang telah disusun dibahas dengan
DPRD dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD dimana hasilnya digunakan untuk penyusunan
RAPBD oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah.
5. Penyusunan dan Pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(RAPBD)
RKA-SKPD yang telah disetujui oleh DPRD atau telah dilakukan penyempurnaan oleh
kepala SKPD atas hasil pembahasan dengan DPRD disampaikan kepada PPKD sebagai bahan
penyusunan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan kepala daerah
tentang penjabaran APBD. Pemerintah Daerah dalam hal ini kepala daerah setelah disampaikan
oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, mengajukan rancangan peraturan daerah tentang
APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD.
6. Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah APBD oleh Menteri Dalam Negeri atau
Gubernur
Setelah disetujui bersama oleh DPRD, rancangan peraturan daerah tentang APBD dan
peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD harus dievaluasi terlebih dahulu oleh Menteri
Dalam Negeri untuk APBD Provinsi atau Gubernur untuk APBD Kabupaten/Kota paling lambat
3 (tiga) hari kerja. Evaluasi bertujuan untuk tercapainya keserasian antara kebijakan daerah dan
kebijakan nasional, keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan aparatur serta untuk
meneliti sejauh mana APBD Kabupaten/Kota tidak bertentangan dengan kepentingan umum,
peraturan yang lebih tinggi dan/atau peraturan daerah lainnya yang ditetapkan oleh
Kabupaten/Kota bersangkutan.
7. Penetapan Perda APBD dan Peraturan Kepala Daerah Penjabaran APBD sesuai dengan
hasil evaluasi serta penyusunan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA)
Setelah rancangan peraturan daerah tentang APBD telah disetujui oleh DPR dan APBD
telah dirinci berdasarkan peraturan kepala daerah, serta telah dievaluasi oleh Menteri Dalam
Negeri atau Gubernur, dilakukan penetapan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala
daerah tentang penjabaran ABPD paling lambar tanggal 31 Desember tahun anggaran
sebelumnya. Kepala daerah menyampaikan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala
daerah tentang penjabaran APBD kepada gubernur bagi kabupaten/kota paling lama 7 (tujuh)
hari kerja setelah ditetapkan. Kemudian, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah meminta kepada
para kepala SKPD untuk menyampaikan dokumen pelaksanaan anggaran.

E. Permasalahan dalam Belanja di Pemerintahan Daerah


Belanja daerah dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu belanja tidak langsung dan
belanja langsung. Belanja tidak langsung adalah belanja yang dianggarkan tidak terkait secara
langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang meliputi belanja pegawai, belanja
bunga, belanja subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, bantuan keuangan, dan belanja tidak
terduga. Sedangkan belanja langsung adalah belanja yang dianggarkan terkait secara langsung
dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang dan
jasa, dan belanja modal. Kualitas belanja daerah dalam APBD selama ini dianggap masih lemah,
yang ditandai dengan indikasi belanja tidak langsung selalu lebih besar daripada belanja
langsung.
Menurut Laporan Pelaksanaan Spending Performance Dalam Mendanai Pelayanan
Publik (2014) yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian
Keuangan dengan mengambil sample dari 10 daerah yang dipilih, ditemukan beberapa
kelemahan dalam belanja yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Berikut ini adalah
kelemahan-kelemahan tersebut:
a. Realisasi penyerapan belanja daerah pada awal Triwulan I sampai dengan Triwulan III masih
sangat rendah, dan baru meningkat realisasinya pada Triwulan IV sampai dengan akhir tahun.
Realisasi penyerapan yang lama ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1)
ketersediaan dana untuk anggaran belanja yang tidak tepat waktu, 2) keterlambatan daerah
dalam menetapkan Perda APBD, 3) ketakutan Pemerintah daerah maupun SKPD tersangkut
masalah hukum dalam merealisasikan anggaran belanja.
b. Proporsi alokasi belanja barang untuk pemeliharaan dan belanja modal untuk penyediaan
sarana dan prasarana layanan publik masih rendah dalam struktur APBD jika dibandingkan
dengan alokasi untuk belanja pegawai sehingga kinerja spending performances dalam
mendanai pelayanan publik masih belum optimal dan efektif.
c. Realisasi penyerapan belanja daerah sampai dengan akhir tahun anggaran masih di bawah
target atau lebih rendah dibandingkan dengan anggaran APBD. Hal ini terutama karena
belum cukup mampu untuk melakukan penyesuaian pada sisi belanja dalam menyikapi
pelampauan pendapatan di APBD.
d. Kualitas belanja daerah dan APBD selama ini dianggap masih lemah yang ditandai dengan
adanya alokasi belanja tidak langsung yang selalu lebih besar dari belanja langsung, serta
penyerapan belanja daerah yang relatif rendah. Hal ini juga bisa dilihat dari tingkat
penyerapan belanja daerah yang relatif rendah terutama untuk belanja modal dan belanja
barang yang terkait dengan public service delivery.
e. Adanya idle money yang cukup besar pada rekening Pemda. Hal ini menunjukkan proses
perencanaan APBD yang kurang baik dan kurang terarah. Idle money yang besar secara
ekonomi merupakan tindakan yang tidak meningkatkan nilai tambah karena akan
melewatkan kesempatan belanja daerah untuk menstimulasi perekonomian daerah.
f. Pembahasan penetapan alokasi anggaran belanja daerah yang dilakukan di legislatif
dilakukan dengan pendekatan line item, yang pada hakikatnya membuka ruang terjadinya
perdebatan preferensi antara legislatif dan eksekutif atas program-program pembangunan
yang disusun oleh eksekutif. Kesepakatan-kesepakatan dalam penyelesaian perdebatan atas
perbedaan preferensi tersebut, pada akhirnya hanya mengaburkan fokus terhadap program-
program pembangunan yang diinginkan oleh eksekutif, sehingga efektivitas pemanfaatan
belanja daerah menjadi kurang optimal.
Permasalahaan yang timbul dalam belanja pemerintah daerah, seharusnya segera
diselesaikan. Sebagai salah satu instrumen utama kebijakan fiskal, kebijakan dan alokasi
anggaran belanja menempati posisi yang sangat strategis dalam mendukung akselerasi
pembangunan yang berkelanjutan dan berdimensi kewilayahan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Melalui kebijakan dan alokasi anggaran belanja, pemerintah dapat secara
langsung berperan dalam mencapai berbagai tujuan dan sasaran program pembangunan di segala
bidang kehidupan, mendukung stabilitas ekonomi, serta menunjang distribusi pendapatan yang
lebih merata.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan data, fakta, dan pembahasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Spending review dilakukan terhadap belanja Kementerian/Lembaga oleh Kementerian
Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang mempunyai fungsi
pelaksanaan anggaran. Spending review dalam konteks di Indonesia berfokus utama
untuk peningkatan efisiensi, efektivitas dan value for money dari pengeluaran publik.
Hasil spending review menjadi bahan masukan pada trilateral meeting untuk penyusunan
anggaran tahun berikutnya.
2. Sistem penganggaran pemerintah pusat menggunakan pendekatan kinerja disusun dengan
orientasi output. Tolok ukur keberhasilan sistem anggaran ini adalah performance atau
prestasi dari tujuan atau hasil anggaran dengan menggunakan dana secara efisien. Dengan
membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja
dengan anggaran tahunan, akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia
dengan hasil yang diharapkan.
3. Serupa dengan sistem penganggaran pada pemerintah pusat, sistem penganggaran
pemerintah daerah menggunakan pendekatan prestasi kerja. Penganggaran prestasi kerja
di pemerintah daerah ini mengacu pada penganggaran berbasis kinerja di pemerintah
pusat. Penganggaran berbasis kinerja merupakan alat untuk pelaksanaan spending review.
Dengan sistem penganggaran yang serupa dan menggunakan pendekatan yang sama yaitu
penganggaran berbasis kinerja, maka spending review yang diterapkan pada pemerintah
pusat seharusnya juga dapat diterapkan pada pemerintah daerah.
4. Kerap ditemukan kualitas belanja di beberapa pemerintah daerah masih rendah yang
ditandai dengan besarnya belanja tidak langsung dibandingkan dengan belanja
langsungnya. Kualitas belanja yang rendah mendorong terjadinya inefisiensi dan
mengurangi ruang fiskal bagi pemerintah daerah. Oleh karena itu spending review perlu
dilakukan tidak hanya pada pemerintah pusat, tetapi juga pada pemerintah daerah.

B. Saran
Berdasarkan hal-hal di atas, saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut:
1. Spending review yang selama ini telah dilakukan terhadap APBN untuk meningkatkan
efisiensi penggunaan anggaran negara diharapkan dapat mengalami penyempurnaan baik
dari sisi landasan teori, perencanaan, dan pelaksanaannya. Selain itu juga dapat
diterapkan terhadap semua belanja negara pada masing-masing Kementerian/Lembaga,
tidak hanya pada Kementerian/Lembaga yang anggarannya besar saja.
2. Berdasarkan beberapa permasalahan pada pelaksanaan anggaran pemerintah daerah
seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya serta melihat hampir samanya sistem
penganggaran yang ada di pusat maupun daerah, diharapkan agar spending review juga
dapat diterapkan pada belanja APBD agar efisiensi penggunaan anggaran tersebut dapat
ditingkatkan. Namun penerapan spending review pada pemerintah daerah juga harus
benar-benar dipersiapkan dengan matang baik dari segi regulasi sampai pelaksanaannya
oleh pemerintah daerah.
DAFTAR REFERENSI

Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 2013. Modul Monev dan Spending Review.


Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2014. Laporan Pelaksanaan Spending Perfomance
Dalam Mendanai Pelayanan Publik sama Republik Indonesia. 2016. Informasi APBN 2016.
http://info-anggaran.com/ensiklopedia/musrenbang-kabupatenkota/ diakses pada tanggal 25
November 2016.
http://www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?ContentId=628 diakses pada tanggal 25
November 2016.
http://www.djpbn.kemenkeu.go.id/portal/id/berita/131-artikel-ulasan-opini/1737-cahaya-
spending-review.html diakses pada tanggal 25 November 2016
Public Spending Review World Bank

S-ar putea să vă placă și