Sunteți pe pagina 1din 24

REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

INTOKSIKASI RACUN VX

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan Ilmu Kedokteran Forensik

Disusun oleh:
Cylla Revata Atmajaya
Jessica Theo Atmajaya
Ingrid Julia Atmajaya
Wendy Adelia Atmajaya
Jonathan Christopher Atmajaya

Dosen penguji : dr. Santosa, Sp. KF, MH(Kes)


Residen pembimbing : dr. Tuntas Dhanarmono, M.Si

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP DR.KARIADI SEMARANG
Periode 20 Maret - 1 April 2017
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui oleh Dosen Pembimbing, referat dari:


Nama : Cylla Revata FK Atma Jaya
Jessica Theo FK Atma Jaya
Ingrid Julia FK Atma Jaya
Wendy Adelia FK Atma Jaya
Jonathan Christopher FK Atma Jaya

Fakultas : Kedokteran Umum


Bagian : Ilmu Kedokteran Forensik FK UNDIP
Judul : INTOKSIKASI RACUN VX

Ditujukan untuk memenuhi syarat menempuh ujian kepanitraan Ilmu Kedokteran


Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Semarang, 27 Maret 2017


Mengetahui,

Dosen Penguji Residen Pembimbing

dr. Santosa, Sp. KF, M.Kes dr. Tuntas Dhanarmono, Msi, Med

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas rahmat dan kasih
karunia-Nya, penulisan referat Intoksikasi VX dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Santosa, Sp.KF dan dr. Tuntas atas
bimbingan dan saran Beliau selama penulisan referat ini. Penulis juga berterima
kasih kepada semua pihak yang membantu, baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam penulisan referat ini.
Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan permohonan maaf
yang sebesar-besarnya atas segala kesalahan baik yang disengaja maupun tidak.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini. Oleh karena
itu, segala saran atau kritik yang membangun akan dijadikan sebagai pemacu untuk
membuat karya yang lebih baik lagi. Akhir kata, penulis berharap semoga referat
ini bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Maret 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................iii

DAFTAR ISI........................................................................................................... 3

BAB I ................................................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian ............................................................................................... 1
1.3. Manfaat Penelitian ............................................................................................. 2
1.3.1. Bidang Akademik .............................................................................................. 2
1.3.2. Masyarakat ......................................................................................................... 2

BAB II ............................................................................................................................... 3

2.1. Sejarah .................................................................................................................... 3

2.2. Definisi dan Klasifikasi ........................................................................................ 4

2.3. Mekanisme Kerja .................................................................................................. 5

2.4. Manifestasi Klinis.................................................................................................. 7

2.5. Tatalaksana .......................................................................................................... 11


2.5.1. Tatalaksana ...................................................................................................... 11
2.5.2. Pencegahan ...................................................................................................... 12

BAB III .......................................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 19

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pada hari Senin, 13 Febuari 2017, bertempat di Bandara Internasional
Kuala Lumpur, Kuala Lumpur, Malaysia, seorang pria baru saja melakukan
perjalanan pulang dari Macau dan terjadi penyerangan yang dilakukan oleh
dua wanita terhadapnya. Kepolisian Malaysia memaparkan bahwa kamera
keamanan menampilkan ada dua tersangka wanita yang meringkus pria
tersebut dari belakang dan menyemprotkan cairan ke wajahnya, namun ada
juga yang mengatakan bahwa wajah pria tersebut ditutupi oleh sehelai kain
yang telah dilumuri cairan. Pria tersebut meninggal tidak lama kemudian pada
perjalanannya ke rumah sakit. Pihak berwenang mencurigai bahwa ia diracun
dan kasus ini ditangani sebagai kasus pembunuhan. Pria tersebut adalah Kim
Jong Nam, saudara tiri dari presiden Korea Utara Kim Jong Un. Pihak
kepolisian mencurigai bahwa zat kimia yang digunakan untuk membunuh
Kim adalah VX, sebuah zat kimia yang diklasifikasikan sebagai senjata kimia
berbahaya oleh United Nations.
Racun VX adalah senjata kimia paling poten di dunia. VX termasuk
dalam golongan agen saraf (nerve agent) yang menyerang sistem saraf dengan
cara yang menyerupai pestisida. Gejala yang ditimbulkan juga menyerupai
keracunan pestisida. VX sendiri juga awalnya diciptakan untuk membasmi
serangga, namun senjata kimiawi ini digunakan pada perang Iran dengan Irak
pada 1980. Sampai saat ini, masih ada negara yang memiliki ketersediaan VX
yaitu Amerika Serikat, Rusia dan Syria.
Oleh karena itu, pengetahuan mengenai VX masih diperlukan terutama
untuk tatalaksana awal dan pencegahan bila terpapar racun VX. Selain itu,
diperlukan juga pengetahuan mengenai regulasi penggunaan senyawa kimia
di Indonesia dan dunia.

1.2. Tujuan Referat


1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui aspek medikolegal dalam kasus keracunan VX.

1
1.2.2. Tujuan Khusus
Mengetahui sejarah racun VX
Mengetahui definisi dan klasifikasi racun VX
Mengetahui farmakologi racun VX
Mengetahui manifestasi racun VX
Mengetahui talalaksana pada keracunan VX
Mengetahui regulasi hukum penggunaan senyawa kimia di
Indonesia dan dunia

1.3. Manfaat Penelitian


1.3.1. Bidang Akademik
Menambah pengetahuan akan pengertian keracunan VX
1.3.2. Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai keracunan
VX

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah1
VX yang dikenal sebagai agen saraf paling poten dalam sejarah,
ditemukan oleh seorang ahli kimia bernama Ranajit Ghosh dengan
kewarganegaraan Inggris pada tahun 1952 ketika sedang meneliti organofosfat.
Tujuan awal dari penelitian ini adalah mencari pengganti insektisida DDT,
namun efek dari VX ini terlalu letal untuk digunakan sebagai pestisida,
sehingga diberikan kepada Fasilitas Senjata Kimia dan Biologis di Porton
Down, Inggris. Pada saat itu, Inggris sudah berkomitmen untuk produksi Tabun
dan Sarin, sehingga senyawa ini diberikan kepada Amerika Serikat dan
Kanada. Pada tahun 1960, Amerika Serikat menyelesaikan industry VX di
Newport, Indiana. VX diisi ke dalam granat, roket, dan ranjau darat. Amerika
Serikat tidak pernah menggunakan agen saraf dalam peperangan, namun
penyimpanan jangka lama dan percobaan terus-menerus memengaruhi
program senjata kimia di Amerika Serikat. Pada tahun 1968, VX mengalami
kebocoran dari tangki penyemprot udara yang diduga kosong, dan melintasi
Skull Valley melewati perbatasan Duguway Proving Groud di Utah yang
menyebabkan sakit dan kematian pada 6000 domba.
Sebuah kejadian pada tahun 1980 yang terjadi di Timur Tengah yang
menyebabkan banyak perhatian terfokus pada ancaman perang kimia yang
diperbaharui. Produksi alat perang kimia yang relatif mudah dari perusahaan
kimia, pengunaan senjata kimia yang terdokumentasi oleh Irak terhadap rakyat
Kurdis dan personel militer Iran, dan kepemilikan senjata kimia yang semakin
luas, hal ini menyebabkan meningkatnya perhatian terhadap penyebaran
perang kimia dibandingkan terhadap konflik lain atau aktivitas teroris.
Perhatian terhadap alat perang kimia juga mulai dibahas dalam mandat kongres
untuk menghancurkan persediaan milik Amerika Serikat melalui pembakaran,
selain itu direksi kongres juga memeriksa pembuangan materi kimia bukan
persediaan yang diduga ada di 32 negara bagian. Pada bulan Januari 1993
dilakukan penandatanganan dari Chemical Weapons Convention yaitu
melarang pebuatan, penggunaan, dan pemindahan dari senjata kimia. Beberapa

3
negara yang hingga sekarang diketahui masih memiliki persediaan VX adalah
Amerika Serikat, Rusia, dan Syria.

2.2. Definisi dan Klasifikasi


VX adalah senjata kimia sintesis yang menyerang sistem saraf. VX
memiliki nama lain etil N-2-Diisopropylaminoethyl Methylphosphonothiolate.
VX sendiri merupakan kepanjangan dari venomous agent X karena VX
merupakan senjata kimia kerja cepat yang paling beracun saat ini. Ia
diklasifikasikan sebagai agen saraf (nerve agent). VX memiliki kesamaan
dengan pestisida golongan organofosfat dalam hal farmakodinamik serta
manifestasinya. Namun, agen saraf memiliki potensi yang lebih kuat
dibandingkan dengan pestisida organofosfat.

Gambar 1. Struktur Molekular Agen Organofosfat

Secara umum, agen saraf dibagi menjadi tipe V dan tipe G. V pada
VX mengidikasikan persistensinya yang panjang. Berbeda dengan agen saraf
variasi G seperti GA (Tabun) dan GB (Sarin), yang memiliki durasi kerja
lebih cepat. Dalam kondisi normal, VX berbentuk cairan karena viskositas
yang tinggi serta volatilitas yang rendah. VX memiliki bentuk mirip minyak
sehingga hal ini membuatnya berbahaya karena agen ini akan mudah
menempel di lingkungan untuk waktu yang lama. VX tidak berbau, tidak

4
memiliki rasa, dan memiliki kemampuan adhesi yang tinggi. Bila dibandingkan
dengan agen saraf tipe G, VX juga lebih stabil, lebih resisten terhadap
detoksifikasi dan lebih efisien dalam penetrasi jaringan. VX dapat berupa
cairan, gas atau krim.
Tipe G bening, tidak berwarna, dan tidak memiliki rasa serta mudah
larut dalam air. GB atau Sarin adalah salah satu agen saraf yang paling mudah
menguap, namun kecepatan penguapannya sama dengan air. Sarin lebih
beracun dibanding GA. GA atau Tabun memiliki sedikit bau buah dan GD
sedikit berbau camphora.
Tabel 1. Jenis Agen Saraf

2.3. Mekanisme Kerja


Mekanisme kerja utama dari organofosfat adalah dengan inhibisi
karboksil ester hidrolase atau asetilkolinesterase (AChE). AChE adalah enzim
yang mendegradasi neurotransmiter asetilkolin (AcH) menjadi kolin dan asam
asetat. Keadaan AchE yang nonaktif menyebabkan AcH terakumulasi. 2
Akumulasi ACh pada presinaps terminal celah sinaps memblokade
siklus fungsional (depolarisasi dan repolarisasi membran), menyebabkan
overstimulasi reseptor muskarinik dan nikotinik, terutama pada struktur
excitable (neuron, kelenjar eksokin, otot polos, otot jantung, dll) dan
menyebabkan terjadinya gangguan fungsional berat dan kompleks yang
disebut krisis kolinergik atau toxidrom kolinergik.3
Untuk semua agen saraf, termasuk seri V, inaktivasi AchE akan
menjadi irreversibel. Fenomena ini disebut juga sebagai penuaan. Penuaan
akibat agen saraf ini terjadi karena pembentukan ikatan kovalen agen saraf dan

5
AchE. Saat penuaan terjadi, enzim AchE tidak dapat direaktivasi, dan AchE
yang baru harus diproduksi untuk menghilangkan manifestasi klinis agen saraf.
Produksi enzim yang baru ini terjadi sangat lambat. Ikatan yang irreversibel ini
adalah salah satu perbedaan penting senyawa organofosfat (termasuk agen
saraf) dengan karbamat. Pada karbamat, ikatan AchE selalu reversibel. Pada
VX, terjadi aktivasi spontan AchE dalam jumlah kecil, yang telah ditemukan
sekitar 6% per hari untuk 3-4 hari pertama dan selanjutnya 1% per hari.2
Waktu yang diperlukan (T1/2) yang diperlukan untuk penuaan oleh
berbagai agen saraf dilampirkan dalam tabel di bawah ini. Agen saraf VX
mempunyai waktu paruh yang sangat panjang (lebih dari 2 hari). Hal ini
mengartikan bahwa beberapa antidot dapat lebih efektif untuk agen ini
dibandingkan antidot lain.

Rute Pemaparan:4
2.1. Inhalasi
Tanda awal terpapar organophospate adalah rhinorrhea dan tightness
pada tenggorokan dan dada. LCt50 VX adalah 10 mg-min/m3.
2.2. Kontak kulit/ mata
2.3. Ingesti
Tabel 2. Dosis Letal Berbagai Jenis Organofosfat Terhadap Mencit

6
Tabel 3. LD50 Zat Organofosfat berdasarkan Rute Pemberian2
Jenis Zat Organofosfat LD50 (mg/kg)
Per kutaneus Intra Vena
Tabun (GA) 14.28 0.014
Sarin (GB) 24.28 0.014
Soman (GD) 5 -
VX 0.142 0.008

2.4. Manifestasi Klinis


Gejala akut merupakan efek dari kerja reseptor muskarinik dan
nikotinik. Gejala dari respotor muskarinik adalah salivasi, bronchorrhea,
bradikardia, dan hipotensi. Efek nikotinik berupa kelemahan pada otot yang
dapat menyebabkan gagal napas. Sedangkan efek pada sistem saraf pusat dapat
menimbulkan kegelisahan, agitasi, dan konvulsi yang selanjutnya
mengakibatkan gangguan jalan napas dan meningkatkan risiko aspirasi dan
hipoksia.

7
Gejala tunda biasa disebut sebagai intermediate syndrome, terjadi
paralisis pada otot ekstremitas proksimal, fleksor pada leher, saraf motorik
kranial, dan otot pernapasan. Adanya gambaran defek pada neuromuscular
junction pada electromyography (EMG). Koma juga terjadi pada 17-29%
pasien yang dapat bertahan sampai beberapa hari. Walaupun jarang, tetapi pada
beberapa pasien juga dapat ditemukan gejala ekstrapiramidal seperti tremor,
dystonia, cog-wheel rigidity, choreo-athetosis.
Gejala lambat yaitu gejala neuropati berupa rasa keram dan parestesia,
serta kelemahan pada otot ekstremitas distal, terutama kaki. Biopsi saraf
menunjukkan adanya degenarasi akson dengan demielinisasi sekunder.9

Tabel 4. Manifestasi Klinis Intoksikasi Organofosfat

Dari penelitian Chilcott RP, et al terhadap marmut, didapatkan bahwa efek toksik
VX melalui paparan per kutaneus dengan dosis 120 mcg/kg adalah sebagai berikut:
5 dari 6 hewan percobaan mati dalam 3 jam setelah paparan terhadap VX
dengan rata-rata waktu kematian 80 32 menit.

8
1 hewan percobaan yang bertahan hidup menunjukkan tanda intoksikasi
berat (miosis, salivasi, fasikulasi, dan dyspnea)
Kadar cholinesterase menurun
Sebelum penurunan aktivitas ChE , terjadi mastikasi selama kurang lebih 15
menit yang kemudian diikuti dengan miosis, salivasi terjadi 15-30 menit
sebelum dyspnea dan fasikulasi. 2-5 menit kemudian terjadilah apnea.
Tidak terdapat hewan percobaan yang mengalami penurunan ChE lebih dari
95%. Hal ini menunjukkan adanya sebagian ChE yang resisten terhadap
VX.
VX bekerja terutama pada sistem saraf pusat di bagian pusat pernapasan.10

VX merupakan inhibitor dari asetilkolinesterase sehingga gejala yang dapat


timbul dari intoksikasi VX berupa kerja asetilkolin yang berlebih.
Asetilkolinesterase terdapat pada sistem saraf pusat maupun sistem saraf
perifer. Pada sistem saraf perifer, asetilkolinesterase terdapat pada post-sinaps
reseptor muskarinik dan post-sinaps reseptor nikotinik sehingga memiliki
gejala berdasarkan reseptor yang terkena dampak tersebut. Berikut merupakan
gejala yang dapat timbul akibat intoksikasi VX berdasarkan letak
asetilkolinesterase:

Tabel 5. Gejala Intoksikasi VX Berdasarkan Respon Reseptor


Gejala VX
Efek Muskarinik Miosis
Bradikardi
Hipotensi
Sekresi meningkat
Salivasi
Mual muntah
Diare
Nyeri abdomen
Frekuensi buang air kecil meningkat
Gangguan irama jantung
Efek Nikotinik Fasikulasi otot

9
Kelelahan otot
Paralisis otot
Respirasi terganggu
Pucat
Midriasis
Pandangan kabur
Nyeri pada mata
Takikardi
Hipertensi
Efek Sistem Saraf Pusat Gelisah, agitasi, tremor
Gangguan kesadaran
Halusinasi
Kejang
Gangguan pusat pernfasan
Hipotermia
Pada sebuah penelitian di Rumah Sakit Pendidikan BRIMS, Bidar,
India yang dilakukan untuk menentukan diagnosis konklusif pada
penggunaan komponen organofosfat, mengumpulkan data dari 3 sumber
yaitu laporan otopsi medikolegal, laporan pemeriksaan resmi, dan rekam
medis pasien. Penelitian ini menyertakan data dari 100 korban keracunan
organofosfat dengan tujuan untuk bunuh diri.11
Pada laporan otopsi medikolegal dijabarkan bahwa penemuan dari
keracunan organofosfat adalah tanda asfiksia. Pada pemeriksaan luar
ditemukan postmortem staining dan adanya cairan berbusa dari mulut dan
hidung. Ditemukan tanda sianosis pada bibir, lidah, daun telinga, dan kuku
jari tangan. Pada mata, ditemukan tanda kornea keruh dan dilatasi pupil
maksimal pada kedua mata. Pada pemeriksaan dalam, ditemukan tanda
kongesti organ dalam menyeluruh dengan edema paru dan edema otak.
Membrane mukosa pada traktus gastrointestinal juga mengalami kongesti
luas kecuali pada 7% kasus yang mengalami pembusukan. Pada penelitian
yang dilakukan di India pada 150 kasus keracunan yang dilakukan otopsi,
ditemukan tanda perdarahan dan kongesti mukosa lambung merupakan
tanda tersering yang muncul pada kasus keracunan secara umum, namun

10
tanda lain yang dapat muncul adalah tanda seperti pucat, erosi, rugae yang
menghilang, edema, dan perubahan warna. Bagian lambung yang sering
terlibat pada keracunan organofosfat adalah bagian pilorus dan fundus.12
Bintik perdarahan juga ditemukan di submukosa dan subpleura. Terjadi
kongesti ekstensif pada membrane mukosa vagina dengan bukti adanya
bintik perdarahan petekie di mukosa vagina pada 2 kasus keracunan.11

2.5. Tatalaksana
2.5.1. Tatalaksana awal
Memastikan patensi jalan napas korban
Mempertahankan sirkulasi yang adekuat
Apabila terdapat kecurigaan trauma, gunakan cervical collar dan
lakukan penekanan apabila terjadi perdarahan arteri
Administrasi antidote. Apabila tersedia, dapat digunakan bentuk
autoinjeksi, dengan autoinjeksi pertama Atropine dengan dosis 2 mg
dan autoinjeksi lainnya 2-PAM Cl dengan dosis 600 mg. Pihak
militer telah membuat rangkaian autoinjektor yang terdiri dari dua
antidot, sebuah oxime (reaktivator AchE) dan atropin. Rangkaian
Antidote Treatment Nerve Agent Autoinjector (ATNAA)
mengkombinasikan kedua antidote kedalam satu autoinjektor.
Rangkaian antidote ini juga sudah tersedia secara komerisiil.
Apabila korban dapat berjalan, arahkan korban ke zona
dekontaminasi. Apabila korban tidak sadar, korban dibawa dengan
brangkar atau digendong ke zona dekontaminasi

Tabel 6. Dosis Pemberian Antidote pada Intoksikasi VX


Usia Korban Antidote Tatalaksana
Gejala ringan/sedang Gejala berat lainnya
0-2 tahun Atropine: 0.05 mg/kg Atropine: 0.1 mg/kg IM Bantuan ventilasi
IM 2-PAM Cl: 25 mg/kg IM segera setelah
2-PAM Cl: 15 mg/kg administrasi
IM antidote
2-10 tahun Atropine: 1 mg IM Atropine: 2 mg IM
2-PAM Cl: 15 mg/kg 2-PAM Cl: 25 mg/kg IM Pemberian
IM atropine berulang
>10 tahun Atropine: 2 mg IM Atropine: 4 mg IM dengan dosis 2

11
2-PAM Cl: 15 mg/kg 2-PAM Cl: 25 mg/kg IM mg setiap 5 menit
IM sampai berhenti
Dewasa Atropine: 2 to 4 mg Atropine: 6 mg IM terjadi sekresi
IM 2-PAM Cl: 1800 mg IM dan napas korban
2-PAM Cl: 600 mg baik.
IM
Lansia Atropine: 1 mg IM Atropine: 2 to 4 mg IM
2-PAM Cl: 10 mg/kg 2-PAM Cl: 25 mg/kg IM
IM

o Gejala ringan/sedang : berkeringat, fasikulasi mual, muntah, kelemahan,


dyspnea
o Gejala berat : kehilangan kesadaran, konvulsi, apnea, paralisis

Tabel 6. Indikasi Pemberian Antidote pada Intoksikasi VX


Tingkat Atropine 2-PAM Cl Diazepam Lainnya
keparahan
Curiga Tidak diberikan Tidak diberikan Tidak Dekontaminasi dan
diberikan oberservasi paparan
ulang dalam 18 jam
Ringan 2 mg untuk Diberikan bila Tidak Dekontaminasi dan
rhinorrea berat tidak membaik diberikan observasi paparan ulang
atau dyspnea, dengan atropine dalam 18 jam, oksigen
dapat diulang
Sedang 6 mg, dapat Diberikan Diberikan Dekontaminasi, oksigen
diulang bersama dengan walaupun
atropine tidak kejang
Berat Mulai dengan 6 Diberikan Diberikan ABC, dekontaminasi
mg, dapat bersama walaupun
diulang atropine, harus tidak kejang
diulang 1-2x

2.5.2. Pencegahan
Beberapa hal yang penting diketahui dalam tatalaksana agen saraf:
Kontaminasi agen saraf bentuk cair pada kulit dan pakaian korban
dapat mengkontaminasi penolong melalui kontak langsung atau
penguapan.
Agen saraf bersifat sangat toksik dan dapat menyebabkan hilangnya
kesadaran dan kejang dalam beberapa detik serta kematian akibat
gagal napas dalam beberapa menit.
Antidote untuk keracunan agen saraf adalah atropine dan
pralidoxime chloride (2-PAM Cl). Pralidoxime harus diberikan
dalam beberapa menit atau beberapa jam pertama setelah paparan.

12
Uap dari agen saraf cepat diabsorpsi melaui inhalasi dan kontak mata
sehingga menimbulkan efek lokal dan sistemik yang sangat cepat. Agen
saraf bentuk cair juga dapat diabsorpsi melalui kulit tetapi efek yang
ditimbulkan timbul lebih lama, bisa mencapai 18 jam. Oleh karena itu,
proteksi bagi penolong sangat penting yaitu:
Proteksi sistem respirasi: Pressure-demand. self-contained
breathing apparatus (SCBA)
Proteksi kulit: Pakaian proteksi terhadap bahan kimia dan sarung
tangan butyl rubber

2.6. Aspek Medikolegal Pengunaan Senjata Kimia


Regulasi universal mengenai larangan peggunaan senjata kimia telah
diatur oleh Protokol Jenewa pada tahun 1925. Protokol ini lahir sebagai akibat
dari penggunaan senjata kimia dalam Perang Dunia I. protokol Geneva
ditandatangani pada 17 Juni 1925 yang mengemukakan larangan yang
sebelumnya ditetapkan oleh perjanjian Versailles dan Washington yaitu
larangan penggunaan gas yang menyebabkan asfiksia, beracun, dan lainnya,
dan menambahkan larangan perang bakteriologis (Protocol for the
Prohibition of the Use in War of Asphyxiating, Poisonous or Other Gases,
and of Bacterial Methods of Warfare). Sebelum Perang Dunia II, protokol ini
telah diratifikasi oleh banyak negara termasuk negara adidaya kecuali
Amerika Serikat dan Jepang. Ketika negara-negara ini meratifikasi atau
menyetujui protokol ini, beberapa negara mendeklarasikan bahwa protokol ini
bersifat tidak lagi mengikat apabila musuh-musuh mereka, atau sekutu dari
musuh-musuh mereka, gagal untuk menghormati larangan dari protokol ini.1,2
Kekurangan dari protokol ini walaupun melarang penggunaan senjata macam
ini, namun tidak melarang produksi, pengembangan, dan penyimpanan,
sehingga dibuat perjanjian Biological and Toxin Weapons Convention
(BTWC) pada tahun 1972 dan Chemical Weapons Convention (CWC).3
Menanggapi penggunaan senjata kimia yang luas pada perang Irak-
Iran dan meningkatnya jumlah negara pemilik senjata kimia, sebuah
konferensi mengenai penggunaan senjata kimia digelar di Paris pada Januari
1989. CWC merupakan koferensi yang menetapkan larangan akan

13
pengembangan, produksi, penyimpanan, dan penggunaan senjata kimia dan
mengenai penghancuran senjata kimia ini. Negara-negara yang memihak
diminta untuk tidak mengembangkan, memproduksi, jika tidak memperoleh,
menyimpan atau mempertahankan senjata kimia, atau pemindahan, secara
langsung atau tidak langsung, senjata kimia kepada siapa pun; untuk tidak
menggunakan senjata kimia; tidak terlibat dalam persiapan militer untuk
penggunaan senjata kimia; tidak membantu, mendorong, atau membujuk
orang untuk terlibat dalam aktivitas yang dilarang untuk suatu Negara Pihak
di bawah konvensi. Setiap Negara Pihak harus menghancurkan semua senjata
kimia dan fasilitas produksi senjata kimia atau memiliki atau yang terletak di
setiap tempat di bawah yurisdiksi atau kontrol, serta senjata kimia itu
ditinggalkan di wilayah negara lain selambat-lambatnya 10 tahun setelah
berlakunya konvensi atau sesegera mungkin dalam kasus Amerika
meratifikasi atau menyetujui lebih dari 10 tahun setelah berlakunya. Setiap
Negara Pihak juga diminta untuk tidak menggunakan agen anti huru-hara
sebagai metode perang. Konvensi mendefinisikan senjata kimia sebagai
berikut, bersama-sama atau secara terpisah:
a. bahan kimia beracun serta prekursornya sesuai dengan bahan kimia daftar,
kecuali untuk keperluan atau tujuan yang tidak dilarang oleh konvensi/
Undang-Undang ini;
b. amunisi dan alat peralatan yang secara khusus dirancang untuk
menyebabkan kematian atau menimbulkan bahaya melalui sifat beracun
dari bahan kimia sebagaimana dimaksud pada huruf a; atau
c. setiap perlengkapan yang secara khusus dirancang untuk digunakan secara
langsung berkaitan dengan digunakannya amunisi dan alat peralatan
sebagaimana dimaksud pada huruf b.

Konvensi mengidentifikasi dan mengkategorikan bahan kimia


beracun dan prekursor sesuai dengan potensi mereka untuk aplikasi senjata
kimia dan luasnya aplikasi industri. Bahan Kimia Daftar 1 adalah bahan kimia
yang bersifat sangat beracun dan mematikan yang dikembangkan, diproduksi,
dan digunakan hanya sebagai senjata kimia. Bahan Kimia Daftar 2 adalah
bahan kimia kunci untuk pembuatan senjata kimia (prekursor), tetapi
memiliki kegunaan komersial. Bahan Kimia Daftar 3 adalah bahan kimia yang

14
dapat diproduksi menjadi senjata kimia (prekursor), tetapi dapat dimanfaatkan
untuk keperluan komersial.4

Gambar 2. Bahan Kimia Daftar 1

15
Gambar 2. Bahan Kimia Daftar 2

Gambar 2. Bahan Kimia Daftar 3

Larangan penggunaan bahan kimia sebagai senjata kimia di Indonesia


diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1998
tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia

16
sebagai Senjata Kimia. Undang-Undang ini diratifikasi berdasarkan Chemical
Weapons Convention yang juga ditandatangani oleh Indonesia pada tahun
1993 di Paris, kemudian UU ini dipertegas dengan munculnya Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2008. Pada tahun 2017, Presiden
mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 yang mengatur
tentang otoritas nasional senjata kimia yang dimaksud dalam UU Nomor 9
Tahun 2008. Beberapa tugas yang dilakukan oleh otoritas nasional adalah
mewakili Indonesia sebagai Negara Pihak dalam konvensi, mendorong
pemajuan pelaksanaan konvensi di tingkat nasional, serta kerja sama dengan
organisasi internasional dan/ atau Negara Pihak lainnya dalam bentuk
peningkatan kemampuan sumber daya manusia, bantuan peralatan, pengujian
bahan kimia, tanggap darurat dan perlindungan terhadap serangan senjata
kimia, dan/ atau bentuk kerja sama lainnya.

17
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan

VX adalah senjata kimia golongan organofosfat yang paling berbahaya.


Mekanisme kerja utama dari organofosfat adalah dengan inhibisi karboksil
ester hidrolase atau asetilkolinesterase (AChE). Keadaan AchE yang nonaktif
menyebabkan AcH terakumulasi. Gejala akut merupakan efek dari kerja
reseptor muskarinik dan nikotinik. Agen saraf bersifat sangat toksik dan dapat
menyebabkan hilangnya kesadaran dan kejang dalam beberapa detik serta
kematian akibat gagal napas dalam beberapa menit. Temuan otopsi dari
keracunan organofosfat adalah tanda asfiksia. Antidote untuk keracunan agen
saraf adalah atropine dan pralidoxime chloride (2-PAM Cl). Larangan
penggunaan bahan kimia sebagai senjata kimia di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1998 tentang
Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia sebagai
Senjata Kimia.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Romano J, Lukey B, Salem H. Chemical warfare agents. 2nd ed. Boca Raton:
Taylor & Francis; 2008.
2. Organophosphate Toxicity: Background, Pathophysiology, Epidemiology
[Internet]. Emedicine.medscape.com. 2017 [cited 24 March 2017]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/167726-overview#a5
3. Voicu, V. A., Thiermann, H., Rdulescu, F. ., Mircioiu, C. and Miron, D.
S. (2010), The Toxicokinetics and Toxicodynamics of
Organophosphonates versus the Pharmacokinetics and Pharmacodynamics
of Oxime Antidotes: Biological Consequences. Basic & Clinical
Pharmacology & Toxicology, 106: 7385. doi:10.1111/j.1742-
7843.2009.00486.x
4. ATSDR - Medical Management Guidelines (MMGs): Nerve Agents (GA,
GB, GD, VX) [Internet]. Atsdr.cdc.gov. 2017. Available from:
https://www.atsdr.cdc.gov/mmg/mmg.asp?id=523&tid=93
5. U.S. Department of State. (2017). Geneva Protocol. [online] Available at:
https://www.state.gov/t/isn/4784.htm
6. Un.org. (2017). 1925 Geneva Protocol UNODA. [online] Available at:
https://www.un.org/disarmament/wmd/bio/1925-geneva-protocol/
7. Nti.org. (2011). Protocol for the Prohibition of the Use in War of
Asphyxiating, Poisonous, or Other Gasses, and of Bacteriological Methods
of Warfare (Geneva Protocol) | Treaties & Regimes | NTI. [online] Available
at: http://www.nti.org/learn/treaties-and-regimes/protocol-prohibition-use-
war-asphyxiating-poisonous-or-other-gasses-and-bacteriological-methods-
warfare-geneva-protocol/
8. Nti.org. (2017). Convention on the Prohibition of the Development,
Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapons and on Their
Destruction (CWC) | Treaties & Regimes | NTI. [online] Available at:
http://www.nti.org/learn/treaties-and-regimes/convention-prohibition-
development-production-stockpiling-and-use-chemical-weapons-and-their-
destruction-cwc
9. Peter JV, Sudarsan TI, Moran JL. Clinical features of organophosphate
poisoning: A review of different classification systems and approaches.

19
Indian J Crit Care Med Peer-Rev Off Publ Indian Soc Crit Care Med. Nov
2014;18(11):73545.

10. Chilcott RP, Dalton CH, Hill I, Davidson CM, Blohm KL, Hamilton MG.
Clinical manifestations of VX poisoning following percutaneous exposure in
the domestic white pig. Hum Exp Toxicol Lond. 2003 May;22(5):25561.
11. B A V, Patil P, Mudbi S, Patil M, Uppar T, S P V. STUDY OF VICTIMS
OF ORGNOPHOSPHORUS COMPOUND POISONING IN A TERTIARY
CARE CENTER. Journal of Evolution of Medical and Dental Sciences.
2014;3(33):8918-8923.

12. Aghera V, Pipaliya K, Dabhi D, Mangal H, Varu P, Manvar P. Study of gross


mucosal findings of stomach in cases of fatal poisoning-An autopsy study.
Indian Journal of Forensic and Community Medicine. 2015;2(4):229.

20

S-ar putea să vă placă și