Sunteți pe pagina 1din 10

REFERAT ILMU KEDOKTERAN

FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

SPASME LARING

Disusun Oleh:
Muhammad Zuhdan Fannani (09711162)

Pembimbing:
Dr. dr. Hari Wujoso, Sp.F, M.M

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA
2014

1
Forensik Periode 22 Desember 2014 10 januari 2015
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat
yang berjudul Spasme Laring. Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
dalam mengikuti program Profesi Kedokteran di bagian Forensik RSUD Dokter
Moewardi Surakarta. Pada penulisan dan penyusunan referat ini, penulis banyak
dibantu oleh berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. dr. Hari Wujoso Sp.F, M.M
2. Staff Bagian Ilmu Forensik dan Medikolegal RSUD Dr. Moewardi
Surakarta
Penulis sadar bahwa dalam tugas ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk
itu penulis menghimbau agar para pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang
membangun dalam perbaikan referat ini.
Penulis berharap agar referat ini dapat bermanfaat dan memberikan
sumbangan ilmu pengetahuan bagi pihak yang memerlukan khususnya bagi Penulis
sendiri.

Desember 2014

Penulis

2
Forensik Periode 22 Desember 2014 10 januari 2015
PENDAHULUAN

Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang
melalui pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan
itu akan tejadi dengan mulai terhentinya suplai oksigen. Manifestasinya akan dapat
dilihat setelah beberapa menit atau beberapa jam.
Dalam kasus tertentu, salah satu kewajiban dokter adalah membantu penyidik
menegakan keadilan. Untuk itu dokter sedapat mungkin membantu menentukan
beberapa hal seperti saat kematian dan penyebab kematian.
Saat kematian seseorang belum dapat ditunjukan secara tepat karena tanda-
tanda dan gejala setelah kematian sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh beberapa
hal diantarannya umur, kondisi fisik pasien, penyakit fisik sebelumnya maupun
penyebab kematian itu sendiri. Salah satu penyebab kematian adalah terjadinya
gangguan pertukaran udara pernafasan yang mengakibatkan suplai oksigen
berkurang. Hal ini sering dikenal dengan istilah asfiksia. Korban kematian akibat
asfiksia termasuk yang sering diperiksa oleh dokter, hal tersebut menempati urutan
ketiga setelah kecelakaan lalu lintas dan traumatik mekanik. Salah satu penyebab
terjadinya asfiksia adalah spasme laring.
Pada berbagai kasus asfiksia, baik yang disebabkan oleh spasme laring atau
tidak, ditemukan tanda-tanda kematian yang berbeda. Hal ini sangat tergantung dari
penyebab kematian. Untuk itu kita perlu memahami lebih lanjut tentang spasme
laring sebagai salah satu penyebab asfiksia tersebut.

3
Forensik Periode 22 Desember 2014 10 januari 2015
KAJIAN TEORI

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan


pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbondioksida (hiperkapneu). Dengan demikian organ
tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.
Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia. Salah satu
penyebab asfiksia adalah obstruksi jalan nafas, termasuk spasme laring atau
laryngospame (Amir, 2007).

Anatomi dan Sistem Persarafan Laring

Laring adalah organ khusus yang mempunyai sfingter pelindung pada pintu
masuk jalan nafas dan berfungsi dalam pembentukan suara, pengaturan nafas dan
sebagainya. Di bagian superiornya membuka ke dalam laringofaring, dan di bagian
inferiornya bersambung dengan trakea. Kerangka laring dibentuk oleh beberapa
tulang rawan (yaitu: hioid, epiglottis, tiroid, aritenoid dan krikoid) yang dihubungkan
oleh ligamentum dan digerakkan oleh otot (Iskandar, 2002).

Nervus vagus merupakan saraf sensori utama dari laring. Cabang laring
internal dari nervus laring superior (dari n.vagus) merupakan saraf sensoris untuk
bagian di atas kord vokalis (supra glottic), termasuk indera perasa (taste buds).
Sementara nervus laring rekurren merupakan saraf sensoris untuk bagian glottis dan
4
Forensik Periode 22 Desember 2014 10 januari 2015
di bawah kord vokalis (sub glottic) dan mempersarafi seluruh otot-otot laring
intrinsik. Sementara otot-otot ekstrinsik (krikotiroideus) dipersarafi oleh cabang dari
nervus laring superior (Iskandar, 2002).
Beberapa studi menunjukkan ada dua jenis reseptor pada laring, pertama
adalah reseptor bereaksi lambat dan kedua adalah reseptor bereaksi cepat yang sangat
sensitif terhada stimulasi bahan kimia. Serabut saraf sensoris di daerah epiglottis
dapat diaktivasi oleh berbagai jenis rangsang termasuk air, namun rangsang mekanik
rupanya memberi respon yang paling efektif (Iskandar, 2002).

Spasme Laring atau Laryngospasme

Laryngospasme atau spame laring adalah tertutupnya glottis oleh otot-otot


intrinsik laring yang tidak diinginkan/disadari dan merupakan refleks pertahanan
tubuh untuk mencegah benda asing masuk ke saluran nafas yang lebih rendah (paru-
paru) (Iskandar, 2002).
Penyebab spasme laring antara lain aspirasi, iritasi dari sekresi rongga mulut
yang masuk ke jalan nafas dan menyentuh laryngeal folds, masuknya air akibat
tenggelam dan dikenal sebagai dry drowning, atau pengaruh anestesi atau akibat
pemasangan alat bantu nafas (Budiyanto dkk, 1997).
Pada sebagian besar kasus tenggelam (wet drowning), spasme laring ini hanya
bersifat sementara namun sekitar 10-20% dari korban tenggelam yang digolongkan
dry drowning, ditemukan spasme laring yang menetap hingga menutup jalan nafas
korban sampai menjelang kematian terjadi (Dahlan, 2000).

Patofisiologi Spasme Laring Pada Dry Drowning

Ketika korban masuk ke dalam air, sejumlah kecil air akan terinhalasi dan
teraspirasi ke dalam laring atau trakea dan menyebabkan terpicunya refleks laring
yang segera menutup jalan nafas. Sejumlah kecil air yang lolos teraspirasi akan
mengiritasi dinding bronkus lebih lanjut yang akan menyebabkan mukosa bronkus

5
Forensik Periode 22 Desember 2014 10 januari 2015
mensekresi mukus tebal sebagai langkah proteksi. Ketika kadar karbondioksida sudah
sangat tinggi dan korban sangat hipoksia, akan memicu korban untuk menarik nafas.
Diafragma akan turun dan otot-otot pernafasan mengembang, menyebabkan
meningkatnya volume paru dan menurunnya tekanan dalam paru (Dahlan, 2000).
Masalahnya adalah trakea dalam keadaan tersumbat sehingga udara tidak
dapat masuk untuk menyeimbangkan tekanan negatif yang timbul. Akibatnya darah
dari kapiler pulmonar tertarik masuk ke dalam alveoli akibat tekanan negatif tersebut.
Hal ini akan menyebabkan rusaknya surfactan dan alveoli. Air yang teraspirasi tadi
akan bercampur dengan mukus membentuk busa berwarna putih, bila cukup banyak
darah yang masuk ke alveoli maka busa akan berwarna pink. Terbentuknya busa ini
akan semakin memperberat sumbatan jalan nafas. Spasme laring akan berelaksasi
segera sebelum kematian terjadi (Budiyanto dkk, 1997).
Namun sumbatan fisik pada jalan nafas masih tetap ada berupa gumpalan
mukus kental dan busa yang terbentuk tadi disertai kemungkinan munculnya spasme
bronkiolar susulan sebagai refleks untuk mencegah air lebih jauh masuk ke dalam
paru.

Kematian Akibat Spame Laring

Penyebab kematian pada kejadian spasme laring, apapun penyebabnya,


adalah asfiksia. Bentuk asfiksia yang mendasari adalah anoksia Anoksik (Anoxic
anoxia) yang disebabkan O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru. Kematian karena
spasme laring pada peristiwa tenggelam sangat jarang sekali terjadi. Spasme laring
tersebut disebabkan karena rangsangan air yang masuk ke laring sehingga terjadi
obstruksi jalan nafas. Pada pemeriksaan post mortem ditemukan adanya tanda-tanda
asfiksia, tetapi paru-parunya tidak didapati adanya air atau benda-benda air (Amir,
2007).

6
Forensik Periode 22 Desember 2014 10 januari 2015
Tanda Kardinal (Klasik) Asfiksia

Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian


akibat asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu:

1. Tardieus spot (Petechial hemorrages)


Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang
menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada
jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang
telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat
dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari
pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada
mesentrium dan intestinum (Amir, 2007).

Gambaran Tardieus Spot

2. Kongesti dan Oedema


Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie.
Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah
dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada
kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravascular
(tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa
7
Forensik Periode 22 Desember 2014 10 januari 2015
jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan
plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan
(terjadi oedema) (Iedris, 2008).

3. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir
yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan
dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram
hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti,
terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada kebanyakan kasus forensik dengan
konstriksi leher, sianosis hamper selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti
darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan
leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah (Dahlan,
2000).

4. Tetap cairnya darah

Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang


tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia
adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan
sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya
pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan
dalam diagnosis asfiksia (Iedris, 2008).

8
Forensik Periode 22 Desember 2014 10 januari 2015
KESIMPULAN

Spame laring adalah tertutupnya glottis oleh otot-otot intrinsik laring yang
tidak diinginkan/disadari dan merupakan refleks pertahanan tubuh untuk mencegah
benda asing masuk ke saluran nafas yang lebih rendah (paru-paru).

Penyebab kematian pada kejadian spasme laring, apapun penyebabnya,


adalah asfiksia. Bentuk asfiksia yang mendasari adalah anoksia anoksik (Anoxic
anoxia) yang disebabkan O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru.

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan


pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbondioksida (hiperkapneu).

Tanda kardinal (klasik) pada mayat dengan sebab kematian asfiksia adalah
adanya Tardieus spot (Petechial hemorrages), kongesti dan edema, sianosis, dan
tetap cairnya darah.

Pada korban tenggelam yang digolongkan dry drowning, ditemukan spasme


laring yang menetap hingga menutup jalan nafas korban sampai menjelang kematian
terjadi.

Pada pemeriksaan post mortem mayat yang meninggal akibat dry drowning
ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia, tetapi paru-parunya tidak didapati adanya air
atau benda-benda air.

9
Forensik Periode 22 Desember 2014 10 januari 2015
DAFTAR PUSTAKA

Amir A, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, ed 2, Bagian Ilmu Kedokteran


Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan,
2007.

Budiyanto A., Widiatmaka W., Sudiono S, et al., Kematian Karena Asfiksia Mekanik,
Ilmu Kedokteran Forensik Universitas Indonesia, Jakarta: 1997.

Dahlan S, Asfiksia, Ilmu Kedokteran Forensik, Badan Penerbit Universitas


Diponegoro, Semarang: 2000.

Iedris M, dr., Tjiptomartono A.L, dr., Asfiksia., Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik
dalam Proses Penyidikan., Sagung Seto., Jakarta: 2008.

Iskandar N., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher
Edisi Ke-5. Balai Penerbit FK UI, Jakarta : 2002.

10
Forensik Periode 22 Desember 2014 10 januari 2015

S-ar putea să vă placă și