Sunteți pe pagina 1din 2

Dikotomi tokoh2 Islam: Padahal ada yang AMAR MARUF, ada yang NAHI MUNKAR.

Amar maruf nahi mungkar. Dua perintah ini dalam syariat Islam adalah wajib bagi
seorang Muslim. Amar maruf yang berarti mengajak pada kebaikan, sedang nahi mungkar yang
berarti mencegah dari kemungkaran atau kebatilan. Kita ibaratkan dua istilah di atas sebagai
berjalan dengan dua kaki. Islam hadir dengan membawa kabar gembira sekaligus memberi
peringatan. Tidak boleh kita mengambil salah satunya untuk kemudian melupakan kewajiban
yang lain.

Baru-baru kemarin saya sempat membaca sebuah pesan yang bunyinya seperti ini;
Waktu lahiran pake nama islam, waktu nikah pake aturan islam, waktu kematian juga pake
syariat islam, tapi begitu ada opini islam harus diterapkan dalam kehidupan, kok merasa
kepanasan? Sampeyan pikir agama itu prasmanan, diambil yang disukai saja?

Sungguh pesan yang sangat menohok perasaan. Maka izinkanlah saya meneruskan
catatan ini yang tujuannya adalah untuk refleksi agar kita (khususnya saya; Iwan Mariono): tidak
membanding-banding antara tokoh islam yang satu dengan yang lain. Kalau pun, terpaksa harus
membandingkan (duh..), maka cukuplah di dalam hati.

Allah sudah menjanjikan kemenangan Islam. Tinggal kita mau melibatkan diri dalam
kemenganan tersebut atau tidak. Yakni dengan berdakwah.

Dalam praktiknya, mengajak seseorang pada kebaikan (amar maruf) itu merupakan
seruan universal yang bisa menembus semua orang, keyakinan mana saja. Mengajak pada
kebaikan bisa diserukan kepada orang yang memang perilakunya sudah baik maupun belum
baik. Beda lagi jika mencegah dari kemungkaran atau kebatilan, tidak semua bentuk kebatilan itu
bersifat universal, apa yang menurut Islam itu perbuatan batil belum batil demikian bagi agama
yang lain. Dan nahi mungkar itu hanya ditujukan kepada mereka yang batil. Sehingga dalam
seruan mencegah kebatilan, cara menyampaikankannya tidaklah semudah amar maruf.
Seseorang harus siap dibenci, bahkan dicaci hanya karena mereka harus turun tangan
mengingatkan perbuatan orang yang lain yang salah.

Kalau kita melihat kenyataan di lingkungan sosial maupun sosmed, banyak orang lebih
suka terhadap Ustadz atau tokoh Islam yang bagiannya adalah mengajak pada kebaikan,
sementara di sisi lain mereka tidak suka bahkan membenci tokoh penyeru nahi munkar.
Bukankah kita sendiri mungkin termasuk salah satunya?

Jika direnungkan lebih dalam. Sebenarnya tidak boleh seperti itu. Kita hidup dengan dua
kaki. Di satu sisi kita memang harus menyerukan seseorang atau suatu kaum pada kebaikan, tapi
di sisi lain kita juga harus bisa mencegah dari kemungkaran. Jangan oleh karena kemungkaran
tidak bisa dicegah, kita jadi memakluminya dengan bahasa yang diplomatis bernama: toleran.
Namun juga demikian, yang toleran tidak serta merta tersesat.
*Catatan ini dibuat untuk pergerakan islam yang selama ini mendapat diskredit dari masyarakat
luar dan tidak sedikit bahkan dari umat Islam sendiri, seperti FPI (maaf harus menyebut nama),
yang jujur saya pribadi tidak suka dengan cara berdakwah seperti itu. Namun bukan berarti saya
harus membenci, menolak, apalagi sampai menghapuskan. Atau ustadz-ustadz yang akhirnya
harus dijauhi hanya karena berdakwahnya dengan cara mengeluarkan dalil, penafsiran yang
menyatakan sesuatu ini kafir, sesuatu itu sesat. Ada alasan yang kuat kenapa sampai memilih
jalan itu.

**Kita semua Islam, satu kesatuan yang utuh. Saya pun suka dengan tokoh islam yang toleran
bahkan dianggap plural, bagi saya, ada alasan yang kuat jika mereka harus memilih menjadi
seperti itu, karena mengenalkan islam kepada khalayak non-muslim itu juga butuh tahapan-
tahapan. Maka tidak mungkin bagi saya untuk membeda-bedakan seorang tokoh Islam yang satu
dengan yang lain, mungkin tak ubahnya seperti membeda-bedakan sahabat nabi: yang itu lebih
baik dari pada yang ini. Lha wong kita justru saling melengkapi. Kau boleh saja menjadi jantung,
kepala, tangan, kaki, tapi tanpa mata, telinga, hidung, usus, bahkan anus, kau tidak akan pernah
menjadi manusia seutuhnya. Jadi, Iwan, sebagai anak yang masih ingusan: janganlah
mendikotomi sesuatu hanya karena beda penafsiran.

***Maka sebagai sesama muslim jika tidak sependapat, cukuplah kembalikan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Tidak perlu dibawa sampai ke perdebatan. Kenapa yang seharusnya saling jatuh cinta
justru saling menjatuhkan? Kenapa yang seharusnya saling melengkapi justru saling
tersegmentasi? Tidak sepemikiran dengan agama lain kita biasa saja, tapi tidak sepemikiran
dengan sesama muslim kita kok terasa kebakaran? Sebagai muslim yang kerjanya hanya
menyimak dan terus menyimak, biasa saya merenungkan sesuatu, yang sampai kadang terbersit
kesimpulan: Sesungguhnyalah di luar batas kendali manusia, pada hakikatnya, semua ini saling
melengkapi. Islam sungguh rahmatan lil alamin.

Kelak, kau hanya tinggal memilih, menjadi seorang muslim dengan wajah yang seperti apa.

Katakanlah (Muhammad), Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan
kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak cucunya, dan
apa yang diberikan kepada Musa, Isa, dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-
bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nya kami berserah diri. [QS. Ali-
Imran: 84]

Surakarta, 1 Januari 2016 [09.08 pm]

S-ar putea să vă placă și