Sunteți pe pagina 1din 14

LAPORAN PENDAHULUAN

EPILEPSI

Oleh :Irfan Ansharullah


NPM :16149011100087

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S.1 KEPERAWATAN
BANJARMASIN, 2017
I. Konsep Penyakit Epilepsi
1.1 Definisi
Epilepsi adalah suatu gangguan pada sistem syaraf otak manusia karena
terjadinya aktivitas yang berlebihan dari sekelmpok sel neuoron pada otak
sehingga menyebabkan berbagai reaksi pada tubuh manusia mulai dari bengong
sesaat, kesemutan gangguan kesadaran, kejang kejang dan atau kontraksi otot.
Epilepsi merupakan akibat dari gangguan otak kronis dengan serangan spontan
yang berulang (Satyanegara dalam Nurarf dan Kusuma, 2015).
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang
dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari
pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang
ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas
motorik, atau gangguan fenomena sensori (Anonim, 2008).
1.2 Etiologi
1. Idiopatik: Epilepsi pada anak sebagian besar merupakan epilepsi idiopatik.
2. Faktor herediter: ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai
bangkitan kejang seperti sklerosis tuberosa, neurofibromatosis,
angiomatosis ensefalotrigeminal, fenilketonuria, hipoparatiroidisme,
hipoglikemia.
3. Faktor genetik; pada kejang demam & breath holding spells.
4. Kelainan konginetal otak; atrofi, porensefali, agenesis korpus kalosum.
5. Gangguan metabolik; hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia,
hipernatremia.
6. Infeksi; radang yang disebabkan oleh bakteri/virus pada otak dan
selaputnya, toksoplasmosis.
7. Trauma; kontusio serebri, hematoma subarakhnoid, hematoma subdural.
8. Neoplasma otak dan selaputnya.
9. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
10. Keracunan; Timbal(Pb), kamper(kapur barus), fenotiazin, air
11. Lain-lain; penyakit darah, gangguan keseimbangan hormon, degenerasi
serebral, dll.

1.3 Tanda Gejala


Manifestasi dari epilepsi, yaitu: (Turana, 2007)
Sawan parsial (kesadaran tetap normal)

1. Gejala motorik
- Tidak menjalar
- Dan menjalar
2. Gejala somatosensoris (rasa kesemutan dan seperti
ditusuk2)
- Terlihat cahaya
- Terdengar sesuatu
- Terkecap sesuatu
- veretigo
3. Pucat, berkeringat
4. Gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
- Disfagsia (ganggua bicara)
- Dimensia ( gangguan proses ingatan)
- Halusinasi

Sawan umum (konvulsif atau non Konvulsif)

1. Sawan lena (kegiatan yg dikerjakan tiba2 terhenti)


2. Sawan lena tak khas (gangguan tonus yg jelasbangkitan
dan mendadak.
3. Sawan Mioklonik (terjadi kontraksi
mendadak,sebentar,kuat,lemah, dan dapat dijumpai pada
seumur hifup
4. Sawan Klonik (gerakan menyentak,lambat dan dapat
dijumpai terutama sekali pd anak.
5. Sawan tonik (otot2 hanya menjadi kaku pd wajah dan
bagian tubuh bagian atas.
6. Sawan tonikl-klinik (serangan dpt diawali dengan
aura,yaitu pasien mendadak jatuh pingsan, dan otot otot
seluruh badan kaku.
7. Sawan Atonik (otot2 seluruh badan mendadak melemas
sehingga pasien terjatuh)

1.4 Patofisiologi
Epilepsi terjadi karena menurunnya potensial membran sel saraf akibat proses
patologik dalam otak, gaya mekanik/toksik, yang selanjutnya menyebabkan
terlepasnya muatan listrik dari sel syaraf tersebut.
Beberapa penyidikan menunjukan peranan asetilkolin sebagian zat yang
merendahkan potensial membran postsinaptik dalam hal terlepasnya muatan
listrik yang terjadi sewaktu-waktu saja sehingga manifestasi klinisnya muncul
sewaktu-waktu. Bila asetilkolon sudah cukup tertimbun di permukaan otak,
maka pelepasan muatan listrik sel-sel syaraf kortikal dipermudah. Asetilkolin
diproduksi oleh sel-sel syaraf kolinergik dan merembes keluar dari permukaan
otak. Pada kesadaran awas-waspada lebih banyak asetilkolin yang merembes
keluar dari permukaan otak daripada selama tidur. Pada jejas otak lebih banyak
asetilkolin, daripada dalam otak sehat. Pada tumor serebri/adanya sikatrik
setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari meningitis, ensefalitis,
kontusio serebri/trauma lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari
asetilkolin. Oleh karena itu pada tempat itu akan terjadi lepas muatan listrik sel-
sel syaraf. Penimbunan asetilkolin setempat harus mencapai konsentrasi tertentu
untuk dapat merendahkan potensial membran sehingga lepas muatan listrik
dapat terjadi. Hal ini merupakan mekanis epilepsi fokal yang biasanya
simtomatik.
Pada epilepsi idiopatik, tipe grand mal, secara primer muatan listrik dilepaskan
oleh nuklei intralaminares talami, yang dikenal juga sebagai inti centrephalic.
Inti ini merupakan terminal dari lintasan asenden aspesifik atau lintasan
asendens ekstralemsnikal. Input dari korteks serebri melalui lintasan aferen
spesifik itu menentukan derajat kesadaran. Bilamana sama sekali tidak ada input
maka timbullah koma. Pada grandmal, oleh karena sebab yang belum dapat
dipastikan, terjadilah lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminar talamik
secara berlebih. Perangsangan talamokortikal yang berlebihan ini menghasilkan
kejang seluruh tubuh dan sekaligus menghalangi sel-sel syaraf yang memelihara
kesadaran untuk menerima impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran
hilang.
Hasil penelitian menunjukan bahwa bagian dari substansia retikularis di bagian
rostral dari mensenfalon yang dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-
inti intralaminar talamik sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai
kejang- kejang pada otot skeletal, yang dikenal sebagai petit mal.

1.5 Pemeriksaan Penunjang


1. CT Scan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler
abnormal, gangguan degeneratif serebral.
2. Elektroensefalogram (EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu
serangan.
3. Magnetik Resonance Imaging (MRI).
4. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.

1.6 Komplikasi
Status Epileptikus adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus lebih
dari 30 menit tanpa pulihnya kesadaran. Status mengancam adalah serangan
kedua yang terjadi dalam waktu 30 menit tanpa pulihnya kesadaran anti
serangan.
Menurut (Pinzon, 2007) komplikasi yang mungkin timbul akibat epilepsi antara
lain: cedera kepala, cedera mulut, luka bakar dan fraktur.

1.7 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya sawan tanpa mengganggu
kapasitas dan intelek pasien. Pengobatan epilepsi meliputi pengobatan
medikamentosa fan pengobatan psikososial.
1. Pengobatan medikamentosa
Pada epilepsi yang simtomatis di mana sawan yang timbul adalah manifestasi
penyebabnya seperti tumor otak, radang otak, gangguan metabolik, maka di
samping pemberian obat anti-epilepsi diperlukan pula terapi kausal. Beberapa
prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan:
a. Pada sawan yang sangat jarang dan dapat dihilangkan factor pencetusnya,
pemberian obat harus dipertimbangkan.
b. Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan; ini berarti pasien
mengalami lebih dari dua kali sawan yang sama.
c. Obat yang diberikan sisesuaikan dengan jenis sawan.
d. Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini toksisitas
akan berkurang, mempermudah pemantauan, dan menghindari interaksi
obat.
e. Dosis obat disesuaikan secara individual.
f. Evaluasi hasilnya.
Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya:
- Salah etiologi: kelaianan metabolisme, neoplasma yang tidak
terdeteksi, adanya penyakit degenerates susunan saraf pusat.
- Pemberian obat antiepilepsi yang tepat.
- Kurang penerangan: menelan obat tidak teratur.
- Faktor emosional sebagai pencetus.
- Termasuk intractable epilepsi.
g. Pengobatan dihentikan setelah sawan hilang selama minimal 2 3 tahun.
Pengobatan dihentikan secara berangsur dengan menurunkan dosisnya.
2. Pengobatan Psikososial
Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal
sebagian besar akan terbebas dari sawan. Pasien harus patuh dalam menjalani
pengobatannya sehingga dapat bebas dari sawan dan dapat belajar, bekerja
dan bermasyarkat secara normal.
3. Penatalaksanaan status epileptikus
a. Lima menit pertama
- Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas serangan atau satu
serangan berikutnya.
- Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur posisi kepala dan
jalan nafas, intubasi bila perlu bantuan bentilasi.
- Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada kelaianan.
- Pasang jalur intravena dengan NaC10,9%, periksa gula darah, kimia
darah, hematology dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan biaya).
b. Menit ke-6 hingga ke-9
Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml glukosa 50%
bolas intravena (pada anak: 2 ml/kgBB/glukosa 25%) disertai 100 mg
tiamin intravena.
c. Menit ke-10 hingga ke-20
Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan 5
mg/menit sampai maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah 5
menit, dapat diulangi lagi. Diazepam harus diikuti dengan dosis rumat
fenitoin.
d. Menit ke 20 hingga ke-60
Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan <50 mg/menit pada
dewasa dan 1 mg/kbBB/menit pada anak; monitor EKG dan tekanan darah
selama pemberian.
e. Menit setelah 60 menit
Jika status masih berlanjut setelah fenitoin 20 mg/kg maka berikan fenitoin
tambahan 5 mg/kg sampai maksimum 30 mg/kg. Jika status menetap,
berikan 20 mg/kg fenobarbital intravena dengan kecepatan 60 mg/menit.
Bila apne, berikan bantuan ventilasi (intubasi). Jika status menetap,
anestasia umum dengan pentobarbiatal, midazolam atau propofal.
4. Perawatan pasien yang mengalami kejang :
a. Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin
tahu (pasien yang mempunyai aura/penanda ancaman kejang memerlukan
waktu untuk mengamankan, mencari tempat yang aman dan pribadi
b. Pasien dilantai jika memungkinkan lindungi kepala dengan bantalan untuk
mencegah cidera dari membentur permukaan yang keras.
c. Lepaskan pakaian yang ketat
d. Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien selama kejang.
e. Jika pasien ditempat tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat
tidur.
f. Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang diberi bantalan
diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
g. Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme
untuk memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir dan lidah
dapat terjadi karena tindakan ini.
h. Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang karena
kontraksi otot kuat dan restrenin dapat menimbulkan cidera
i. Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan kepala
fleksi kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan
pengeluaran salifa dan mucus. Jika disediakan pengisap gunakan jika perlu
untuk membersihkan secret
j. Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah
aspirasi, yakinkan bahwa jalan nafas paten. Biasanya terdapat periode
ekonfusi setelah kejang grand mal. Periode apnoe pendek dapat terjadi
selama atau secara tiba-tiba setelah kejang. Pasien pada saat bangun harus
diorientasikan terhadap lingkungan.
1.8 Pathway

Hambatana mobilitas fisik


II. Rencana Asuhan Klien dengan Gangguan Epilepsi
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien saat dilakukan
pengkajian.
2) Riwayat kesehatan sekarang: Riwayat penyakit yang diderita pasien
saat masuk RS (apa yang terjadi selama serangan).
3) Riwayat kesehatan yang lalu: sejak kapan serangan seperti ini terjadi,
pada usia berapa serangan pertama terjadi, frekuensi serangan, adakah
faktor presipitasi seperti demam, kurang tidur emosi, riwayat sakit
kepala berat, pernah menderita cidera otak, operasi atau makan obat-
obat tertentu/alkoholik).
4) Riwayat kesehatan keluarga: adakah riwayat penyakit yang sama
diderita oleh anggota keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain baik
bersifat genetik maupun tidak.
5) Riwayat sebelum serangan: adakah gangguan tingkah laku, emosi
apakah disertai aktifitas atonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar,
adakah aura yang mendahului serangan baik sensori, auditorik,
olfaktorik.

2.1.2 Pemeriksaan Fisik: Data Fokus


1. Keadaan Umum
2. Pemeriksaan Persistem
a. Sistem Persepsi dan Sensori
Apakah pasien menggigit lidah, mulut berbuih, sakit kepala, otot-
otot sakit, adakah halusinasi dan ilusi, yang disertai vertigo, bibir
dan muka berubah warna, mata dan kepala menyimpang pada satu
posisi, berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya
berubah pada satu posisi/keduanya.
b. Sistem Persyarafan
- Selama serangan: Penurunan kesadaran/pingsan? Kehilangan
kesadaran / lena? Disertai komponen motorik seperti kejang
tonik, klonik, mioklonik, atonik, berapa lama gerakan tersebut?
Apakah pasien jatuh kelantai.
- Proses Serangan: Apakah pasien letarsi, bingung, sakit kepala,
gangguan bicara, hemiplegi sementara, ingatkah pasien apa
yang terjadi sebelum selama dan sesudah serangan, adakah
perubahan tingkat kesadaran, evaluasi kemungkinan terjadi
cidera selama kejang (memer, luka gores).
c. Sistem Pernafasan: apakah terjadi perubahan pernafasan (nafas
yang dalam)
d. Sistem Kardiovaskuler: apakah terjadi perubahan denyut jantung
e. Sistem Gastrointestinal: apakah terjadi inkontinensia feses, nausea
f. Sistem Integumen: adakah memar, luka gores
g. Sistem Reproduksi
h. Sistem Perkemihan: adakah inkontinensia urin
2.1.3 Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal,
serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral.
2. Elektroensefalogram (EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu
serangan.
3. Magnetik Resonance Imaging (MRI).
4. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
Diagnosa 1: Hambatan Mobilitas Fisik
2.2.1 Definisi
Keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri dan terarah pada tubuh atau
satu ekstermitas atau lebih (Wilkinson dan Ahern, 2011).
2.2.2 Batasan karakteristik
Dispnea setelah beraktivitas
Gangguan sikap berjalan
Gerakan lambat
Ketidaknyamanan
Kesulitan membolak balik posisi
Tremor akibat bergerak.
2.2.3 Faktor yang berhubungan
Ansietas
Depresi
Fisik tidak bugar
Gangguan metabolisme
Gangguan neumoskular
Kaku sendi
Intolrensi aktifitas
Gaya hidup kurang gerak

Diagnosa 2: Ketidakefektifan Pola Nafas


2.2.4 Definisi
Inspirasi atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi yang adekuat
(Wilkinson dan Ahern, 2011).
2.2.5 Batasan karakteristik
Dispnea
Nafas pendek
Perubahan ekskursi dada
Mengambil posisi tiga titik tumpu (tripod)
Bradipnea
Penurunan tekanan inspirasi-ekspirasi
Penurunan ventilasi semenit
Penurunan kapaasitas vital
Peningkatan diameter anterior-posterior
Nafas cuping hidung
Ortopnea
Fase ekspirasi memanjang
Pernafasan bibir mencucu
Takipnea
Penggunaan otot bantu asesorius untuk bernafas
2.2.6 Faktor yang berhubungan
Ansietas
Posisi tubuh
Deformaitas tulang
Deformitas dinding dada
Penurunan energi dan dan kelelahan
Hiperventilasi
Sindrom hipoventilasi
Kerusakan muskuloskeletal
Imanuritas neurologis
Disfungsi neuromuskular
Obesitas
Nyeri
Kerusakan presepsi atau kognitif
Kelelahan otot-otot pernafasan
Cedera medula spinalis
2.3 Perencanaan
Diagnosa 1: Hambatan Mobilitas Fisik
2.3.1 Tujuan :
Setelah di lakuakan tindakan keperawatan 3x shift dinas masalah
hambatan mobilitas fisik dapat teratasi
2.3.2 Kriteria Hasil (outcomes criteria): berdasarkan NOC
Memperlihatkan penggunaan alat bantu secara benar dengan
pengawasan
Meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi jika diperlukan
Melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri dengan alat
bantu
Menyangga berat badan
Berpindah dari dan ke kursi atau kursi roda
Menggunakan kursi roda secara efektif
2.3.3 Intervensi Keperawatan dan Rasional: berdasarkan NIC
Intervensi Rasional
1. Promosi latihan fisik (latihan 1. memfasilitasi pelatihan otot resisitif secara rutin
kekuatan) untuk mempertahankan atau meningkatkan
kekuatan otot.
2. Terapi latihan fisik (ambulasi) 2. meningkatkan dan membantu dalam berjalan untuk
mempertahankan atau mengembalikan fungsi
tubuh autonom dan volunter selama pengobatan
dan pemulihan dari kondisi sakit atau cedera.
3. Terapi latihan fisik (mobilitasmenggunakan gerakan tubuh aktif atau pasif untuk
3.
sendi) mempertahankan atau mengembalikan fleksibilitas
sendi.
4. Terapi latihan fisik (pengendalian 4. menggunakan aktivitas spesifik atau protokol
otot) latihan yang sesuai untuk meningkatkan atau
mengembalikan gerakan tubuh yang terkendali.
5. Pengaturan posisi 5. mengatur penempatan pasien atau bagian tubuh
pasien secara hati-hati untuk meningkatkan
kesejahteraan fisiologi dan psikologis.
6. Bantuan perawatan diri 6. membantu individu untuk mengubah posisi
(berpindah)
tubuhnya.

Diagnosa 2: Ketidakefektifan Pola Nafas


2.3.4 Tujuan
Setelah di lakuakan tindakan keperawatan 1x 15 menit masalah
ketidakefektifan pola napas dapat teratasi.
2.3.5 Kriteria Hasil (outcomes criteria): berdasarkan NOC
Menunjukkan pola pernafasan efektif
Mempunyai kecepatan dan irama pernafasan dalam batas normal
Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
2.3.6 Intervensi Keperawatan dan Rasional: berdasarkan NIC
Intervensi Rasional
1. Manajemen jalan nafas 1. memfasilitasi kepatenan jalan nafas
2. Pengisapan jalan nafas 2. mengeluarkan sekret jalan nafas dengan cara
memasukkan kateter penghiap ke dalam jalan nafas
oral atau trakea pasien
3. Ventilasi Mekanis 3. menggunakan alatbuatan untuk membantu pasien
bernafas
4. Pemantauan pernafasan 4. mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk
memastikan kepatenan jalan nafas dan pertukaran
gas yang adekuat
5. Pemantauan tanda vital 5. mengumpulkan dan menganalisis data
kardiovaskular, pernafasan, dan suhu tubuh pasien
untuk menentukan dan mencegah komplikasi
Daftar Pustaka

Anonim. 2008. Epilepsi. www.nersunhas.com.

Copel, L.C. 2007. Kesehatan Jiwa dan Psikiatri. Jakarta: EGC.

Nurarif, A.H., & Kusuma, H., 2015, Aplikasi Asuhan Keperawatan: Berdasarkan Diagnosa
Medis dan Nanda Nic-Noc. Jogjakarta: Mediaction.

Pinzon, Rizaldy. 2007. Dampak epilepsi pada aspek kehidupan penyandangnya. SMF
Saraf RSUD Dr. M. Haulussy, Ambon, Indonesia.

Sri D, Bambang. 2007. Epilepsi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Syaraf PSIK UNSOED.

Turana, Yuda. 2007. Epilepsi dan gangguan fungsi kognitif. www.medikaholistikcom.

Wilkison, J.,M. & Ahern N.,R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Pelaihari 20 Agustus 2017


Preceptor Akademik Preseptor Klinik

( ) ( )
.

S-ar putea să vă placă și