Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
EPILEPSI
1. Gejala motorik
- Tidak menjalar
- Dan menjalar
2. Gejala somatosensoris (rasa kesemutan dan seperti
ditusuk2)
- Terlihat cahaya
- Terdengar sesuatu
- Terkecap sesuatu
- veretigo
3. Pucat, berkeringat
4. Gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
- Disfagsia (ganggua bicara)
- Dimensia ( gangguan proses ingatan)
- Halusinasi
1.4 Patofisiologi
Epilepsi terjadi karena menurunnya potensial membran sel saraf akibat proses
patologik dalam otak, gaya mekanik/toksik, yang selanjutnya menyebabkan
terlepasnya muatan listrik dari sel syaraf tersebut.
Beberapa penyidikan menunjukan peranan asetilkolin sebagian zat yang
merendahkan potensial membran postsinaptik dalam hal terlepasnya muatan
listrik yang terjadi sewaktu-waktu saja sehingga manifestasi klinisnya muncul
sewaktu-waktu. Bila asetilkolon sudah cukup tertimbun di permukaan otak,
maka pelepasan muatan listrik sel-sel syaraf kortikal dipermudah. Asetilkolin
diproduksi oleh sel-sel syaraf kolinergik dan merembes keluar dari permukaan
otak. Pada kesadaran awas-waspada lebih banyak asetilkolin yang merembes
keluar dari permukaan otak daripada selama tidur. Pada jejas otak lebih banyak
asetilkolin, daripada dalam otak sehat. Pada tumor serebri/adanya sikatrik
setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari meningitis, ensefalitis,
kontusio serebri/trauma lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari
asetilkolin. Oleh karena itu pada tempat itu akan terjadi lepas muatan listrik sel-
sel syaraf. Penimbunan asetilkolin setempat harus mencapai konsentrasi tertentu
untuk dapat merendahkan potensial membran sehingga lepas muatan listrik
dapat terjadi. Hal ini merupakan mekanis epilepsi fokal yang biasanya
simtomatik.
Pada epilepsi idiopatik, tipe grand mal, secara primer muatan listrik dilepaskan
oleh nuklei intralaminares talami, yang dikenal juga sebagai inti centrephalic.
Inti ini merupakan terminal dari lintasan asenden aspesifik atau lintasan
asendens ekstralemsnikal. Input dari korteks serebri melalui lintasan aferen
spesifik itu menentukan derajat kesadaran. Bilamana sama sekali tidak ada input
maka timbullah koma. Pada grandmal, oleh karena sebab yang belum dapat
dipastikan, terjadilah lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminar talamik
secara berlebih. Perangsangan talamokortikal yang berlebihan ini menghasilkan
kejang seluruh tubuh dan sekaligus menghalangi sel-sel syaraf yang memelihara
kesadaran untuk menerima impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran
hilang.
Hasil penelitian menunjukan bahwa bagian dari substansia retikularis di bagian
rostral dari mensenfalon yang dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-
inti intralaminar talamik sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai
kejang- kejang pada otot skeletal, yang dikenal sebagai petit mal.
1.6 Komplikasi
Status Epileptikus adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus lebih
dari 30 menit tanpa pulihnya kesadaran. Status mengancam adalah serangan
kedua yang terjadi dalam waktu 30 menit tanpa pulihnya kesadaran anti
serangan.
Menurut (Pinzon, 2007) komplikasi yang mungkin timbul akibat epilepsi antara
lain: cedera kepala, cedera mulut, luka bakar dan fraktur.
1.7 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya sawan tanpa mengganggu
kapasitas dan intelek pasien. Pengobatan epilepsi meliputi pengobatan
medikamentosa fan pengobatan psikososial.
1. Pengobatan medikamentosa
Pada epilepsi yang simtomatis di mana sawan yang timbul adalah manifestasi
penyebabnya seperti tumor otak, radang otak, gangguan metabolik, maka di
samping pemberian obat anti-epilepsi diperlukan pula terapi kausal. Beberapa
prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan:
a. Pada sawan yang sangat jarang dan dapat dihilangkan factor pencetusnya,
pemberian obat harus dipertimbangkan.
b. Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan; ini berarti pasien
mengalami lebih dari dua kali sawan yang sama.
c. Obat yang diberikan sisesuaikan dengan jenis sawan.
d. Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini toksisitas
akan berkurang, mempermudah pemantauan, dan menghindari interaksi
obat.
e. Dosis obat disesuaikan secara individual.
f. Evaluasi hasilnya.
Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya:
- Salah etiologi: kelaianan metabolisme, neoplasma yang tidak
terdeteksi, adanya penyakit degenerates susunan saraf pusat.
- Pemberian obat antiepilepsi yang tepat.
- Kurang penerangan: menelan obat tidak teratur.
- Faktor emosional sebagai pencetus.
- Termasuk intractable epilepsi.
g. Pengobatan dihentikan setelah sawan hilang selama minimal 2 3 tahun.
Pengobatan dihentikan secara berangsur dengan menurunkan dosisnya.
2. Pengobatan Psikososial
Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal
sebagian besar akan terbebas dari sawan. Pasien harus patuh dalam menjalani
pengobatannya sehingga dapat bebas dari sawan dan dapat belajar, bekerja
dan bermasyarkat secara normal.
3. Penatalaksanaan status epileptikus
a. Lima menit pertama
- Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas serangan atau satu
serangan berikutnya.
- Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur posisi kepala dan
jalan nafas, intubasi bila perlu bantuan bentilasi.
- Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada kelaianan.
- Pasang jalur intravena dengan NaC10,9%, periksa gula darah, kimia
darah, hematology dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan biaya).
b. Menit ke-6 hingga ke-9
Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml glukosa 50%
bolas intravena (pada anak: 2 ml/kgBB/glukosa 25%) disertai 100 mg
tiamin intravena.
c. Menit ke-10 hingga ke-20
Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan 5
mg/menit sampai maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah 5
menit, dapat diulangi lagi. Diazepam harus diikuti dengan dosis rumat
fenitoin.
d. Menit ke 20 hingga ke-60
Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan <50 mg/menit pada
dewasa dan 1 mg/kbBB/menit pada anak; monitor EKG dan tekanan darah
selama pemberian.
e. Menit setelah 60 menit
Jika status masih berlanjut setelah fenitoin 20 mg/kg maka berikan fenitoin
tambahan 5 mg/kg sampai maksimum 30 mg/kg. Jika status menetap,
berikan 20 mg/kg fenobarbital intravena dengan kecepatan 60 mg/menit.
Bila apne, berikan bantuan ventilasi (intubasi). Jika status menetap,
anestasia umum dengan pentobarbiatal, midazolam atau propofal.
4. Perawatan pasien yang mengalami kejang :
a. Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin
tahu (pasien yang mempunyai aura/penanda ancaman kejang memerlukan
waktu untuk mengamankan, mencari tempat yang aman dan pribadi
b. Pasien dilantai jika memungkinkan lindungi kepala dengan bantalan untuk
mencegah cidera dari membentur permukaan yang keras.
c. Lepaskan pakaian yang ketat
d. Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien selama kejang.
e. Jika pasien ditempat tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat
tidur.
f. Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang diberi bantalan
diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
g. Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme
untuk memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir dan lidah
dapat terjadi karena tindakan ini.
h. Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang karena
kontraksi otot kuat dan restrenin dapat menimbulkan cidera
i. Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan kepala
fleksi kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan
pengeluaran salifa dan mucus. Jika disediakan pengisap gunakan jika perlu
untuk membersihkan secret
j. Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah
aspirasi, yakinkan bahwa jalan nafas paten. Biasanya terdapat periode
ekonfusi setelah kejang grand mal. Periode apnoe pendek dapat terjadi
selama atau secara tiba-tiba setelah kejang. Pasien pada saat bangun harus
diorientasikan terhadap lingkungan.
1.8 Pathway
Nurarif, A.H., & Kusuma, H., 2015, Aplikasi Asuhan Keperawatan: Berdasarkan Diagnosa
Medis dan Nanda Nic-Noc. Jogjakarta: Mediaction.
Pinzon, Rizaldy. 2007. Dampak epilepsi pada aspek kehidupan penyandangnya. SMF
Saraf RSUD Dr. M. Haulussy, Ambon, Indonesia.
Sri D, Bambang. 2007. Epilepsi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Syaraf PSIK UNSOED.
Wilkison, J.,M. & Ahern N.,R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
( ) ( )
.