Sunteți pe pagina 1din 16

(1) berdoa atau bersyukur,

(2) melaksanakan kegiatan di mushola


(3) merayakan hari raya keagamaan sesuai dengan agamanya,
(4) mengadakan kegiatan keagamaan sesuai dengan agamanya.

Perilaku religius merupakan perilaku yang dekat dengan hal-hal spiritual. Perilaku

religius merupakan usaha manusia dalam mendekatkan dirinya dengan Tuhan sebagai

penciptanya. Religiositas merupakan sikap batin seseorang berhadapan dengan realitas

kehidupan luar dirinya misalnya hidup, mati, kelahiran, bencana banjir, tanah longsor,

gempa bumi, dan sebaginya (Indah dkk, 2003:17). Sebagai orang yang ber- Tuhan

kekuatan itu diyakini sebagai kekuatan Tuhan. Kekuatan tersebut memberikan dampak

positif terhadap perkembangan hidup seseorang apabila ia mampu menemukan

maknanya. Orang mampu menemukannya apabila ia berani merenung dan

merefleksikannya.

Melalui refleksi pengalaman hidup memungkinkan seseorang menyadari memahami, dan

menerima keterbatasan dirinya sehingga terbangun rasa syukur kepada Tuhan sang

pemberi hidup, hormat kepada sesama dan lingkungan alam. Untuk dapat menumbuhkan

nilai-nilai religius seperti ini tidaklah mudah.

Pembelajaran moral yang dapat dilakukan menggunakan model terintegrasi dan model di

luar pengajaran. Hal ini memerlukan kerjasama yang baik antara guru sebagai tim

pengajar dengan pihak-pihak luar yang terkait.

Nilai-nilai religiositas ini dapat diajarkan kepada siswa melalui beberapa kegiatan yang
sifatnya religius. Kegiatan religius akan membawa siswa pada pembiasaan berperilaku
religius. Perilaku religius akan menuntun siswa untuk bertindak sesuai moral dan etika.
Antara moral dan etika sebenarnya tidak sama. Moral adalah hal yang mengatakan

bagaimana kita hidup. Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya

fikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi

baik (Suseno, 2000:14-17)

Moral dan etika dapat dipupuk dengan kegiatan religius. Kegiatan religius yang dapat

diajarkan kepada siswa di sekolah dapat dijadikan sebagai pembiasaan, diantaranya:

(1) berdoa atau bersyukur,

(2) melaksanakan kegiatan di mushola

(3) merayakan hari raya keagamaan sesuai dengan agamanya,

(4) mengadakan kegiatan keagamaan sesuai dengan agamanya.

Berdoa merupakan ungkapan syukur secara langsung kepada Tuhan. Ungkapan syukur

dapat pula diwujudkan dalam relasi seseorang dengan sesama, yaitu dengan membangun

persaudaraan tanpa dibatasi oleh suku, ras, dan golongan. Kerelaan memberikan ucapan

selamat hari raya kepada teman yang tidak seiman merupakan bentuk-bentuk

penghormatan kepada sesama yang dapat dikembangkan sejak anak usia sekolah dasar.

Ungkapan syukur terhadap lingkungan alam misalnya menyiram tanaman, membuang

sampah pada tempatnya, dan memperlakukan binatang dengan baik.

Berbagai kegiatan di mushola sekolah juga dapat dijadikan pembiasaan untuk

menumbuhkan perilaku religius. Kegiatan tersebut di antaranya salat dzuhur berjamaah

setiap hari, sebagai tempat untuk mengikuti kegiatan belajar baca tulis Al Quran, dan
salat Jumat berjamaah. Pesan moral yang didapat dalam kegiatan tersebut dapat menjadi

bekal bagi siswa untuk berperilaku sesuai moral dan etika.

Kegiatan lain yang dapat membentuk moral dan etika dari perilaku religius yaitu

merayakan hari besar sesuai dengan agamanya. Untuk yang beragama Islam momen-

momen hari raya Idul Adha, Isra Mikraj, Idul Fitri dapat dijadikan sarana untuk

meningkatkan iman dan takwa. Begitu juga bagi yang beragama Nasrani, perayaan Natal

dan Paskah akan dapat dijadikan momen penting untuk menuntun siswa agar bermoral

dan beretika.

Sekolah juga dapat menyelenggarakan kegiatan keagamaan lainnya diwaktu yang sama

untuk agama yang berbeda, misalnya kegiatan pesantren kilat bagi yang beragama Islam

dan kegiatan rohani lain bagi yang beragama Nasrani maupun Hindu. Kegiatan religius

lainnya dapat juga ditumbuhkan melalui kegiatan berkemah. Kemah religius misalnya

dengan menghadirkan dai cilik bagi yang beragama Islam dan mendatangkan buder bagi

yang beragama Nasrani.

Dengan demikian akan tumbuh toleransi beragama, saling menghargai perbedaan,

sehingga dapat terjalin hubungan yang harmonis, tentram dan damai. Siswa akan

merasakan indahnya kebersamaan dalam perbedaan. Mereka akan merasa bahwa semua

adalah saudara yang perlu dihormati, dihargai, dikasihi, dan disayangi seperti keluarga

sendiri.

Salah satu upaya mengatasi masalah-masalah moral dikalangan siswa adalah

mengembangkan teori-teori dan model-model atau strategi pembelajaran moral yang

berpijak pada karakteristik siswa dan budayanya. Karakteristik siswa sebagai kemampuan
awal yang telah dimiliki siswa untuk kepentingan pembelajaran moral mencakup aspek-

aspek pemahaman moral (penalaran moral), perasaan moral (salah satu bentuknya adalah

empati), dan tindakan moral yang tercermin pada peran sosialnya.

Pada umumnya para ahli mengkaji aspek-aspek tersebut dengan pendekatan struktural

formal. Piaget, Kohlberg, Selman, dan Fowler menguraikan tahap-tahap struktural formal

perkembangan manusia. Kohlberg dengan menerapkan kriteria Piaget untuk menetapkan

tahap struktural itu dalam uraian formalnya tentang tahap-tahap penalaran moral.

Pendekatan genetis struktural Kohlberg membantu pendekatan teori kognitif struktural

tahp-tahap perkembangan kepercayaan dari Fowler. Mereka membeda-bedakan antara

struktural dan isi, dan lebih menggeluti cara formal pemberian arti, yakni pola umum

seluruh operasi pengenalan dan penilaian.

Perkembangan merupakan proses pembentukan dan transformasi sejumlah struktur

penalaran atau penilaian yang berurutan. Suatu tahap sebagai salah satu sistem operasi-

operasi pemiiran dan penilaian yang terintegrasi. Proses peralihan tahap meliputi seluruh

perkembangan pribadi baik perasaan, pengertian, kehendak, dan daya-daya psikis

lainnya. Pendekatan psikologi dapat memperkaya teori teori pendekatan kognitif

stuktural, sehingga setiap tahap baru merupakan penambahan baru yang unik dalam

bidang kemampuan kognitif, afektif, dan sosial.

Di dalam kelompok sosial terdapat norma-norma kelompok sebagai pedoman untuk

mengatur tingkah laku anggotanya pada berbagai situasi sosial. Norma-norma tersebut

berkenaan dengan cara-cara tingkah laku yang diharapkan dari semua anggota kelompok

dalam situasi-situasi yang berhubungan dengan kehidupan dan tujuan kelompok. Norma
kelompok member pedoman mengenai tingkah laku mana dan sampai batas mana masih

dapat diterima oleh kelompok dan tingkah laku anggota yang mana tidak diperbolehkan

oleh kelompok.

Sesungguhnya individu mematuhi norma-norma kelompok sebagai normanya sendiri

sudah dialami sejak dini. Pada mulanya seorang anak mengidentifikasi dirinya dengan

orang-orang tertentu seperti orang tua, juga dengan orang lain yang dianggap ideal seperti

gurunya, kawannya, atau tooh-tokoh masyarakat yang ia kagumi (Monks, dkk., 1985;

Gerungan, 1991). Lambat laun ia memperoleh kerangka norma dan pedoman hidup yang

cukup luas. Perkembangan selanjutnya ia akan mengidentifikasi dirinya dengan norma-

norma kelompok sosialnya. Ia mematuhi norma-norma kelompok tanpa dipaksa, dengan

kesadaran sendiri ia mematuhi sebagai normanya sendiri. Maka ia telah

menginternalisasikan norma-norma kelompoknya.

Kelompok tempat ia mengidentifikasi dirinya disebut reference-group, yaitu kelompok

yang norma-normanya, sikapnya, dan tujuan sangat ia setujui, ia ingin ikut serta, dalam

arti bahwa ia senang kepada kerangka norma sikap, dan tujuan yang dimiliki kelompok

tersebut. Dikatakan oleh Piaget bahwa internalisasi norma kelompok bukan merupakan

suatu proses yang berlangsung secara otomatis. Proses internalisasi norma kelompok

dapat berjalan dengan 2 cara yaitu;

1. Mengambil alih norma-norma yang sudah ada pada kelompok dengan cara

mengidentifikasikan diri dengan kelompok (pembentukan norma yang

heteronom),
2. Turut membentuk norma-norma baru dalam interaksi yang timbal balik dengan

anggota kelompok lainnya (pembentukan norma yang otonom). Pembentukan

norma yang otonom merupakan tujuan dari pendidikan moral.

Siswa mengembangkan norma-norma baru karena adanya interaksi dengan orang lain.

Pentingnya interaksi dalam kelompok sosial terletak pada kontinuitas, organisasi, dan

kompleksitas stimulasi sosial kognitif yang dihadapkan kepada siswa. Bagi siswa yang di

rumah dan lingkungannya tidak ada stimulasi intelektualnya, perlu adanya suatu

lingkungan yang dapat memberikan stimulasi kognitif. Lebih-lebih bagi mereka yang

berada ditengah-tengah kelompok, dimana salah satu agama, suku atau salah satu

keadaan sosial ekonomi amat dominan, hendaknya diusahakan adanya kompleksitas

sosial bagi setiap orang. Perkembangan mengarah kepada terciptanya equilibrium yang

semakin besar dalam interaksi antara siswa dengan kelompok sosialnya (Duska &

Whelan, 1975).

Mutu lingkungan sosial mempunyai pengaruh yang sangat signifikan kepada cepatnya

perkembangan dan tingkatan perkembangan yang dicapai oleh seseorang (Kohlberg &

Turriel, 1971). Hal ini dikarenakan prinsip yang memberi motivasi dalam perkembangan

adalah equilibrium, artinya mencari jalan keluar dari konflik kognitif. Maka dari itu

kelompok sosial yang secara intelektual miskin tidak akan memberikan motivasi bagi

perkembangan moral, karena tidak akan ada konflik nilai yang menimbulkan

kegoncangan equilibrium antara individu dengan masyarakatnya. Tetapi kalau siswa

hidup di tengah-tengah kelompok sosial yang nilai dan norma-normanya beraneka ragam,

tabarakan antara bermacam-macam pengaruh tidak dapat dihindarkan. Kelompok sosial


seperti ini akan menciptakan disequilibrium yang esensial untuk perkembangan moral

( Duska & Whelan, 1975)

Jelaslah bahwa perkembangan moral bukanlah suatu proses menanamkan macam-macam

peraturan dan sifat-sifat baik, melainkan suatu proses yang membutuhkan perubahan

struktur kognitif, yang hal itu bergantung dari perkembangan kognitif dan rangsangan-

rangsangan dari kelompok sosial (Kohlberg & Giligan, 1977).

Kohlberg lebih menekankan pentingnya norma-norma suatu lingkungan kelompok

sebaya, yang ternyata begitu kuat mempengaruhi maju mundurnya proses perkembangan

moral remaja (Cremers, 1995). Menurutnya, faktor-faktor penentu utama yang didapat

dari pengalaman bagi perkembangan penalaran moral, berupa jumlah dan

keanekaragaman pengalaman sosial, kesempatan untuk mengambil sejumlh peran dan

untuk berjumpa dengan sudut pandang yang lain. Para ahli menganggap bahwa tahap-

tahap moral menggambarkan urutan cara mengambil peran sosial dalam berbagai situasi

sosial, dan karena itu mengandaikan bahwa faktor penetu lingkungan kelompok sosial

terhadap proses perkembangan terletak pada kesempatannya untuk mengambil peran.

Setelah mengkaji pera sosial sebagai latar yang memfasilitasi terjadinya perilaku moral,

serta sumbangannya terhadap perkembangan moral, maka menurut penulis dalil yang

menyatakan bahwa faktor-faktor penentu lingkungan sosial terhadap proses

perkembangan moral adalah kesempatan untuk mengambil peran sosial terhadap proses

perkembangan moral adalah kesempatan untuk mengambil peran sosial, dapat dijelaskan

sebagai berikut. Perkembangan moral sebagai urutan dan peralihan tahap merupakan

proses transformasi struktur-struktur kognitif yang berurutan. Perkembangan struktur


tersebut tidak disebabkan oleh proses pematangan biologis. Perkembangan merupakan

hasil interaksi antara tendensi-tendensi struktural organisme dan ciri-ciri struktural

lingkungan sekitar.

Siswa dikatakan bermoral jika mereka memiliki kesadaran bermoral yaitu dapat menilai

hal-hal yang baik dan buruk, hal-hal yang etis dan tidak etis. Remaja yang bermoral

dengan sendirinya akan tampak dalam penilaian atau penalararan moralnya serta pada

perilakunya yang baik, benar, dan sesuai etika (Selly Tokan, 1999). Artinya, ada kesatuan

antara penalaran moral dengan perilaku moralnya. Dengan kata lainnya, betapapun

bermamfaatnya suatu perilaku moral terhadap nilai kemanusiaan, namun jika perilaku

tersebut tidak disertai dan didasarkan pada penalaran moral, maka perilaku tersebut

belum dapat dikatakan sebagai perilaku moral yang mengandung nilai moral. Dengan

demikian, suatu perilaku moral dianggap memiliki nilai moral jika perilaku tersebut

belum dapat dilakukan secara sadar atas kemauan sendiri dan bersumber dari pemikiran

dan penalaran yang bersifat otonom (Kohlberg, 1971).

Perasaan moral lebih pada kesadaran akan hal-hal yang baik dan tidak baik. Perasaan

mencintai kebaikan dan sikap empati terhadap orang lain merupakan ekspresi dan

perasaan moral perlu diajarkan dan dikembangkan dengan memupuk perkembangan hati

nurani dan sikap empati.

Tindakan moral yaitu kemampuan untuk melakukan keputusan dan perasaan moral ke

dalam perilaku nayata. Tindakan-tindakan moral ini perlu difasilitasi agar muncul dan

berkembang dalam pergaulan sehari-hari. Lingkungan sosial yang kondusif

memunculkan tindakan-tindakan moral, ini sangat diperlukan dalam pembelajaran moral.


Unsur penalaran, perasan, dan tindakan moral harus ada dan dikembangkan dalam

pendidikan moral. Selain ketiga unsur tersebut, masyarakat pada umumnya menekan

pentingnya peranan iman atau kepercayaan eksistensil dalam meningkatkan moralitas.

Kecenderungan terjadinya disintregasi dan saling curiga di antar anak bangsa ini

dikarenakan adanya krisis kepercayaan yang melanda bangsa ini. Dikatakan ada

hubungan yang paralel antara tingginya moralitas seseorang dengan iman atau

kepercayaan eksistensial.

Dari uraian di atas, maka pendidikan moral selain mengembangkan ketiga unsur yaitu

penalaran, perasaan, dan perilaku moral, juga mengembangkan iman atau kepercayaan

yang eksistensial. Empat unsur ini sesuai dengan aspek-aspek yang terkandung dalam

sistem budaya masyarakat. Jadi dikatakan bahwa pendidikan moral yang dapat berpijak

pada karakteristik budaya sangat urgen diupayakan

2.2 Dampak Perilaku Religius dalam Menumbuhkan Etika

Pembiasaan berperilaku religius di sekolah ternyata mampu mengantarkan anak didik

untuk berbuat yang sesuai dengan etika. Dampak dari pembiasaan perilaku religius

tersebut berpengaruh pada tiga hal yaitu:

(1) Pikiran, siswa mulai belajar berpikir positif (positif thinking). Hal ini dapat dilihat

dari perilaku mereka untuk selalu mau mengakui kesalahan sendiri dan mau memaafkan

orang lain. Siswa juga mulai menghilangkan prasangka buruk terhadap orang lain.

Mereka selalu terbuka dan mau bekerjasama dengan siapa saja tanpa memandang

perbedaan agama, suku, dan ras.


2) Ucapan, perilaku yang sesuai dengan etika adalah tutur kata siswa yang sopan,

misalnya mengucapkan salam kepada guru atau tamu yang datang, mengucapkan t erima

kasih jika diberi sesuatu, meminta maaf jika melakukan kesalahan, berkata jujur, dan

sebagainya. Hal sekecil ini jika dibiasakan sejak kecil akan menumbuhkan sikap positif.

Sikap tersebut misalnya menghargai pendapat orang lain, jujur dalam bertutur kata dan

bertingkah laku.

(3) Tingkah laku, tingkah laku yang terbentuk dari perilaku religius tentunya tingkah laku

yang benar, yang sesuai dengan etika. Tingkah laku tersebut di antaranya empati, hormat,

kasih sayang, dan kebersamaan.

Jika siswa sudah terbiasa hidup dalam lingkungan yang penuh dengan kebiasaan religius,
kebiasaan-kebiasaan itu pun akan melekat dalam dirinya dan diterapkan di mana pun
mereka berada. Begitu juga sikapnya dalam berucap, berpikir dan bertingkah laku akan
selalu didasarkan norma agama, moral dan etika yang berlaku. Jika hal ini diterapkan di
semua sekolah niscaya akan terbentuk generasi-generasi muda yang handal, bermoral,
dan beretika.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan tentang menumbuhkan etika melalui perilaku religius di atas dapat

ditarik simpulan sebagai berikut:

a. Kegiatan religius di sekolah seperti:


(1) berdoa atau bersyukur,

(2) melaksanakan kegiatan di mushola

(3) merayakan hari raya keagamaan sesuai dengan agamanya,

(4) mengadakan kegiatan keagamaan sesuai dengan agamanya akan membiasakan

perilaku religius. Perilaku religius tersebut dapat menuntun siswa untuk bertingkah laku

sesuai etika.

b. Dampak dari pembiasaan perilaku religius dalam menumbuhkan etika yaitu

terbentuknya sikap siswa dalam berpikir, berucap, dan bertingkah laku yang sesuai

dengan etika.

Semangat Kebangsaan, Nasionalisme, dan Patriotisme


dalam Kehidupan Sehari-hari
1. Pengertian Umum Nasionalisme
Nasionalisme dapat dikatakan sebagai sebuah situasi kejiwaan dimana kesetiaan
seseorang secara total diabadikan langsung kepada Negara atas nama sebuah bangsa.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian nasionalisme adalah pencinta nusa
dan bangsa sendiri, memperjuangkan kepentingan bangsanya, semangat
kebangsaan.
Nasionalisme dibedakan menjadi 2, yaitu nasionalisme dalam arti luas dan
nasionalisme dalam arti sempit. Dalam arti luas, nasionalisme adalah paham kebangsaan,
yaitu mencintai bangsa dan Negara dengan tetap mengakui keberadaan bangsa dan
Negara lain. Dalam arti sempit, nasionalisme diartikan sebagai mengagung-agungkan
bangsa dan Negara sendiri dan merendahkan bangsa lain.paham ini disebut dengan
paham chauvimisme, dikembangkan pada masa jerman di bawah Hitler dan di italia di
bawah Musolini.
Dalam arti sederhana, nasionalisme adalah sikap mental dan tingkah laku individu atau
masyarakat yang menunjukan adanya loyalitas atau pengabdian yang tinggi terhadap
bangsa dan negaranya.

2. Nasionalisme Indonesia
a. Prinsip-prinsip Nasionalisme Indonesia
Dapat disimpulkan bahwa nasionalisme indoesia yang berdasarkan
pancasila adalah bersifat majemuk tunggal.
Unsure-unsur nasionalisme (bangsa) Indonesia, sbg:
1. Kesatuaan sejarah ;
2. Kesamaan nasib ;
3. Kesatuaan kebudayaan ;
4. Kesatuan wilayah ;
5. Kesatuan asas kerohanian.
b. Nilai-nilai yang terkandung dalam nasionalisme
1. Menempatkan kepentingan bangsa dan Negara diatas kepentingan pribadi dan golongan;
2. Sanggup/rela berkorban untuk bangsa dan Negara;
3. Mencintai tanah air dan bangsa;
4. Bangga berbangsa dan bernegara Indonesia;
5. Menjunjung tinggi persatuaan dan kesatuan berdasarkan prinsip Bhineka Tunggal Ika;
6. Memajukan pergaulan untuk meningkatkan persatuan bangsa dan Negara.

3. Semangat Patriotisme Indonesia


motivasi para pejuang bangsa Indonesia untuk melawan penjajah adalah kecintaan
mereka terhadap kemerdekaan tanah air, bangsa dan Negara Indonesia sebagai jiwa dan
semangat nasionalisme dan patriotisme.
Patriotisme menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah sikap dan semangat yang
sangat cinta kepada tanah air sehingga berani berkorban jika diperlukan oleh negara.
Menurut ensiklopedia Indonesia, istilah patriotism berasal dari bahasa yunani, patris yang
berarti tanah air. Dari uraian disimpulkan bahwa patriotism mempunyai ciri-ciri, antara
lain sbg:
1. Cinta tanah air;
2. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara;
3. Menempatkan persatuan, kesatuan, serta keselamatan bangsa dan Negara di atas
kepentingan pribadi dan golongan;
4. Berjiwa pembaharuan dan tak kenal menyerah;
5. Berjiwa pemburu.

4. Perwujudan Nasionalisme dan Patriotisme dalam Kehidupan Sehari-hari


Indonesia sangat perlu patriot-patriot bangsa dalam bidang ekonomi, social budaya,
dan pertahanan keamanan. Pada zaman revolusi tahun 1945 sikap patriotic ditunjukan
oleh para pejuang Indonesia. Bagi mereka yang penting Indonesia harus tetap merdeka.
sekali merdeka tetap merdeka, merdeka atau meati adalah semboyan pejuang
kemerdekaan waktu itu. Jiwa dan semangat nasionalisme dan patriotism, yaitu kerelaan
berkorban masih tetap diperlukan untuk kepentingan sesama manusia serta untuk
kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara. Inti dari nilai nasionalisme dan patriotisme
adalah semangat cinta tanah air.
Bentuk pengalaman jiwa nasionalisme dan patriotisme dalam kehidupan bernegara,
bermasyarakat, berkeluarga, dan sekolah bias dalam berbagai bentuk.
a. Dalam kehidupan Negara
1. Membayar pajak secara tertib
2. Menjaga fasilitas-fasilitas umum, seperti halte, terminal, telpon umum
3. Mengharumkan nama bangsa dalam dunia internasional, misalnya menjadi juara
olimpiade dan lomba-lomba lain tingkat internasional
4. Memberikan sumbangan devisa bagi Negara, misalnya TKI yang berkerja di luar negeri,
pengusaha yang membawa keuntungan perusahaannya di luar negeri ke Indonesia
5. Berpartisipasi aktif dalam ikut membrantas korupsi dan kolusi serta nepostisme sesuai
dengan aturan yang berlaku.
b. Dalam kehidupan bermasyarakat
1. kerja bakti memajukan daerahnya
2. Mendorong masyarakat melalui penyuluhan tentang pentingnya lingkungan yang bersih
dan sehat
3. Menjadi orang tua asuh untuk membiayai pendidikan anak tak mampu di lingkungannya
4. Menjaga nama baik masyarakat dengan tidak melakukan tindakan tercela
5. Menjaga dan mencegah agar lingkungan tetap sehat dalam arti fisik atau moral
c. Dalam kehidupan berkeluarga
1. menjaga nama baik keluarga
2. berjuang untuk kemajuan dan kesejahteraan keluarga
3. orang tua yang sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya dengan bekerja
keras mencarikan biaya
4. dengan tulus merelakan kepergian putra-putrinya menjadi guru di daerah terpecil
d. dalam kehidupan sekolah
1. menjaga nama baik sekolah
2. mengharumkan nama baik sekolah, misalnya menjadi juara dalam lomba di berbagai
bidang
3. belajar tekun untuk mendapatkan prestasi yang membanggakan bagi sekolah atau bagi
diri sendiri
4. melaksanakan hak dan kewajiban sebagai siswa sesuai dengan tata tertib sekolah
5. sumbangan dari para siswa untuk korban bencana alam merupakan partisipasi siswa yang
menunjukkan keluhuran budi pekertinya.
Bentuk pengamalan jiwa nasionalisme dan patriOtisme dalam kehidupan bernegara,
bermasyarakat, berkeluarga, dan sekolah bisa dalam berbagai bentuk.

a. Dalam kehidupan negara

1) Membayar pajak secara tertib

2) Menjaga fasilitas-fasilitas umum, seperti WC umum, halte, terminal, telpon umum,


dan lain-lain.

3) Mengharumkan nama bangsa dalam dunia internasional, misalnya menjadi juara


Olimpiade dan lomba-lomba lain tingkat internasional.

4) Memberikan sumbangan devisa bagi negara, misalnya TKI yang bekerja di luar negeri,
pengusaha yang membawa keuntungan perusahaannya di luar negeri ke Indonesia.
5) Berpartisipasi aktif dalam ikut memberantas korupsi dan kolusi serta nepostisme
sesuai dengan aturan yang berlaku.

b. Dalam kehidupan bermasyarakat

1) Kerja bakti memajukan daerahnya

2) Mendorong masyarakat melalui penyuluhan tentang pentingnya lingkungan yang


bersih dan sehat

3) Menjadi orang tua asuh untuk membiayai pendidikan anak tak mampu di
lingkungannya

4) Menjaga nama baik masyarakat dengan tidak melalukan tindakan tercela

5) Menjaga dan mencegah agar lingkungan tetap sehat dalam arti fisik atau moral

c. Dalam kehidupan berkeluarga

1) Menjaga nama baik keluarga

2) Berjuang untuk kemajuan dan kesejahteraan keluarga

3) Orang tua yang sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya dengan kerja
keras mencarikan biaya

4) Dengan tulus merelakan kepergian putra-putrinya menjadi guru di daerah terpencil

d. Dalam kehidupan sekolah

1) Menjaga nama baik sekolah

2) Mengharumkan nama baik sekolah, misalnya menjadi juara dalam lomba di berbagai
bidang

3) Belajar tekun untuk mendapatkan prestasi yang membanggakan baik bagi sekolah atau
bagi dirinya sendiri

4) Melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai siswa sesuai denga tata tertib sekolah

5) Sumbangan dari para siswa untuk korban bencana alam merupakan partisipasi siswa
yang menunjukkan keluhuran budi pekertinya.
Berdasarkan keempat sumber nilai itu, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan
budaya dan karakter bangsa sebagai berikut ini.

1. Nilai Religius yaitu Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan
hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2. Nilai Jujur yaitu Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai
orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3. Nilai Toleransi yaitu Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku,
etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4. Disiplin yaitu Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan

5. Nilai Kerja yaitu Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan
sebaik-baiknya

7. Nilai Mandiri yaitu Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang
lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8. Nilai Demokratis yaitu Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak
dan kewajiban dirinya dan orang lain.

9. Nilai Rasa Ingin Tahu yaitu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan
didengar

10. Nilai Semangat Kebangsaan yaitu Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan
yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya

11. Nilai Cinta Tanah Air yaitu Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan
kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa

12. Nilai Menghargai Prestasi yaitu Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain

13. Nilai Bersahabat/Komuniktif yaitu Tindakan yang memperlihatkan rasa senang


berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain
14. Nilai Cinta Damai yaitu Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain
merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya

15. Gemar Membaca yaitu Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya

16. Nilai Peduli Lingkungan yaitu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17. Nilai Peduli Sosial yaitu Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada
orang lain dan masyarakat yang membutuhkan

18. Nilai Tanggung-jawab yaitu Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas
dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Sekolah dan guru dapat menambah atau pun mengurangi nilai-nilai tersebut sesuai
dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani sekolah dan hakekat materi SK/KD dan
materi bahasan suatu mata pelajaran. Meskipun demikian, ada 5 nilai yang diharapkan
menjadi nilai minimal yang dikembangkan di setiap sekolah yaitu nyaman, jujur,
peduli, cerdas, dan tangguh/kerjakeras.

S-ar putea să vă placă și