Sunteți pe pagina 1din 15

askep kekerasan sexsual

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pembangunan di semua bidang,pergeseran pola masyarakat dari masyarakat agrikultur ke
masyarakat industry dan dari masyarkat tradisional menjadi masyarkat modern ,serta tekanan
arus globalisasi/informasi yang diperberat dengan krisis ekonomi,social dan politik, selain
membawa kemajuan dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat, juga telah menimbulkan
berbagai masalah.masalah yang ditimbulkan antara lain terjadinya pergeseran nilai moral,
kesenjangan keadaan ekonomi, proporsi penduduk mskin yang semakin besar, angka
pengangguran yang semakin tinggi serta berbagai masalah social lain dan politik, Sementara
pemenuhan kebutuhan untuk bertahan hidup makin sulit dilakukan. Kondisi ini mendukung
peningkatan tindak kekerasan, terutama bagi golongan yang dianggap lemah dan rentan,yaitu
wanita dan anak-anak.
WHO Global Campaign for Violence Prevention (2003), menginformasikan bahwa 1,6 juta
penduduk dunia kehilangan hidupnya Karena tindakan kekerasan dan penyebab utama
kematian pada mereka yang berusia antara 15 hingga 44 tahun. Empat puluh hingga tujuh
puluh persen wanita yang menjadi korban pembunuhan ternyata dilakukan oleh suami atau
teman kencan merekan sendiri. Bahkan di beberapa Negara, 69% wanita dilaporkan pernah
diperlakukan secara kasar oleh teman kencan laki-lakinya. Data menunjukakkan bahwa
hampir 1 dari 4 perempuan melaporkan pernah dianiaya secara seksual oleh teman dekatnya
dan hingga sepertiga dari mereka diperkosa.Selain itu,ratusan dari ribuan wanita diperjual
belikan untuk dijadikan pekerja seksual.sementara itu, jutaan anak-anak di dunia di aniaya
dan ditelantarkan oleh orang tua mereka atau yang seharusnya mengasuh mereka. Terjadi
57.000 kematian karena tindak kekerasan terhadap anak di bawah usia 15 tahun pada tahun
2000,dan anak berusia 0-4 tahun lebih dari dua kali lebih banyak dari anak usia 5-14 tahun
yang mengalami kematian. Terdapat 4-6% lansia mengalami penganiayaan di rumah (Jenkins,
2003).
Data tahun 1993 sebelum krisis moneter saja,telah terjadi 164.577 kasus kekerasan berupa
tindakan pencurian, pemerasan, pemerkosaan, pembunuhan, narkotika, kenakalan remaja,
penipuan , penggelapan pengrusakan, perjudian dan kebakaran (Roesdiharjo,1994).
Tidak terhitung jumlah korban tindak kekerasan akibat tekanan social politik yang terjadi di
beberapa daerah tertentu di Indonesia yang tidak saja meninggalkan beban materi ,tetapi juga
beban psikososial bahkan rendahnya kualitas kehidupan secara menyeluruh bagi korban dan
keluarga serta masyarkat. Tindak kekerasan dipandang sebagai tindak kriminal yang
dilakukan tanpa dikehendaki oleh korban yang menimbulkkan dampak fisik, psikologis,
social, serta spiritual bagi korban dan juga mempengaruhi system keluarga serta masyarakat
secara menyeluruh. Korban tindak kekerasan akan merasa tidak berdaya, putus asa, dan
merasa kehilangan kemampuan untuk dapat menolong dirinya sendiri,serta mengalami
kepedihan psikologis yang luar biasa diikuti perasaan hilang nya harga diri sebagai manusia
yang utuh yang dimanifestasikan dalam rentang respon dari perasaan cemas dan takut sampai
depresi berat. Korban merasa tidak mampu menetukan jalan hidupnya.
Menanggapi tindak kekerasan yang terjadi dan dampak pada korban dan keluarganya,
keperawatan turut berperan dan berkewajiban untuk menanggulangi permasalahan ini sesuai
dengan lingkup ilmu dan profesi keperawatan dengan memperhatikan kebutuhan holistic
korban melalui / pelayanan keperawatan yang komprehensif dan bersifat individual.

B. Rumusan Masalah
1. Penjelasan tentang pengertian perilaku kekerasan, seksualitas, dan kekerasan seksualitas.
2. Penjelasan tentang rentang respon.
3. Penjelasan tentang jenis-jenis kekerasan seksualitas.
4. Penjelasan tentang factor fresipitasi.
5. Penjelasan tentang factor predisposisi.
6. Penjelasan tentang sumber koping.
7. Penjelasan tentang mekanisme koping.
8. Penjelasan tentang proses keperawatan.

C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Perilaku kekerasan merupakan respons terhadap stressor yang dihadapi oleh seseorang,
yang ditunjukkan dengan prilaku actual melakukan kekerasan , baik pada diri sendiri , orang
lain maupun lingkungan, secara verbal maupun nonverbal, bertujuan untuk melukai orang lain
secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 2000).
Seksualitas adalah secara luas sebagai suatu keinginan untuk menjalin hubungan,
kehangatan, kemesraan, atau cinta. Seksualitas meliputi memandang dan berbicara;
berpegangan tangan, berciuman, atau memuaskan diri sendiri, dan sama-sama menimbulkan
orgasme.
Kekerasan seksual adalah kekerasan yang terjadi karena persoalan seksualitas. Ibarat awan
dan hujan, demikianlah hubungan antar seks dan kekerasan. Di mana terdapat seks maka
kekerasan hampir selalu dilahirkan. Termasuk dalam kekerasan seksual adalah perkosaan,
pelecehan seksual (penghinaan dan perendahan terhadap lawan jenis), penjualan anak
perempuan untuk prostitusi, dan kekerasan oleh pasangan.

Empat aspek seksualitas adalah sebagai berikut:


1) Sexual identity (Identitas kelamin)
Identitas kelamin ialah kesadaran individu akan kelaki-lakian atau kewanitaan
tubuhnya. Hal ini tergantung pada cirri-ciri seksual biologiknya, yaitu kromosom,
genitalia eksterna dan interna, komposisi hormonal, testes dan ovaria serta cirri-ciri sex
sekunder. Dalam perkembangan yang normal, maka pola ini bersatu padu sehingga
seorang individu sejak umur 2 atau 3 tahun sudah tidak ragu-ragu lagi tentang jenis
seksnya.
2) Gender identity (identitas jenis kelamin)
Identitas jenis kelamin atau kesadaran akan jenis kelamin kepribadiannya
merupakan hasil isyarat dan petunjuk yang tak terhitung banyaknya dari pengalaman
dengan anggota keluarga, guru, kawan, teman sekerja, dan dari fenomena kebudayaan.
Identitas jenis kelamin dibentuk oleh ciri-ciri fisik yang diperoleh dari seks biologic
yang saling berhubunghan dengan suatu system rangsangan yang berbelit-belit,
termasuk pemberian hadiah dan hukuman berkenaan dengan hal seks serta sebutan dan
petunjuk orangtua mengenai jenis kelamin.
Faktor kebudayaan dapat mengakibatkan konflik tentang identitas jenis kelamin
dengan secara ikut-ikutan member cap maskulin atau feminin pada prilaku nonseksual
tertentu. Umpamanya minat seorang anak laki-laki pada keseniaan atau pakaian dicap
feminine oleh orang tuanya dan mungkin ia sendiri juga menganggap demikian.
Seorang gadis yang suka olahraga, bersaing, dan berdiri sendiri menjadi ragu-ragu bila
ia dicap maskulin.
3) Gender role behavior (prilaku peranan jenis kelamin)
Prilaku peranan jenis kelamin ialah semua yang dikatakan dan dilakukan seseorang
yang menyatakan bahwa dirinya itu seorang pria atau wanita. Meskipun factor biologic
penting dalam mencapai peranan yang sesuai dengan jenis kelaminnya, factor utama
ialah factor belajar.
4) Orientasi seksual
Orientasi seksual merupakan gender yang tertarik secara romantic dengan gender
lain.
B. 2. RENTANG RESPONS SEKSUAL
Respon adaptif Respon maladaptive
Prilaku seksual yang memuaskan dengan menghargai pihak lain Gangguan prilaku seksual
karena kecemasan yang disebabkan oleh penilaian pribadi atau masyarakat Disfungsi
penampilan seksual Perilaku seksual yang berbahaya, tidak dilakukan ditempat tertutup atau
tidak dilakukan antara orang dewasa.

3. JENIS-JENIS KEKERASAN SEKSUAL


Perkosaan. Perkosaan adalah jenis kekerasan yang paling mendapat sorotan. Diperkirakan 22%
perempuan dan 2% laki-laki pernah menjadi korban perkosaan. Untuk di Amerika saja, setiap 2
menit terjadi satu orang diperkosa. Hanya 1 dari 6 perkosaan yang dilaporkan ke polisi. Sebagian
besar perkosaan dilakukan oleh orang yang mengenal korban alias orang dekat korban.
Kekerasan seksual terhadap anak-anak. Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi dari
seluruh dunia menunjukkan bahwa di manapun, sekitar 11% sampai dengan 32% perempuan
dilaporkan mendapat perlakuan atau mengalami kekerasan seksual pada masa kanak-kanaknya.
Umumnya pelaku kekerasan adalah anggota keluarga, orang-orang yang memiliki hubungan
dekat, atau teman. Mereka yang menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak biasanya
adalah korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak.
Kekerasan seksual terhadap pasangan. Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual
yang dilakukan seseorang terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban kekerasan adalah
perempuan. Temuan penelitian yang dilakukan Rifka Annisa bersama UGM, UMEA University,
dan Womens Health Exchange USA di Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, pada tahun 2000
menunjukkan bahwa 22% perempuan mengalami kekerasan seksual. Sejumlah 1 dari 5
perempuan (19%) melaporkan bahwa biasanya mereka dipaksa untuk melakukan hubungan
seksual dengan pasangan mereka selama dipukuli. Termasuk kekerasan seksual adalah kekerasan
yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, semata-mata karena sang korban
adalah perempuan. Istilah untuk ini adalah kekerasan berbasis gender. Berikut adalah kekerasan
berbasis gender:
Kekerasan fisik : Menampar, memukul, menendang, mendorong, mencambuk, dll.
Kekerasan emosional/ verbal: Mengkritik, membuat pasangan merasa bersalah, membuat
permainan pikiran, memaki, menghina, dll.
Ketergantungan finansial: Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan, membuat pasangan
dipecat, membuat pasangan meminta uang, dll
Isolasi sosial: Mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan di mana bisa bertemu,
membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll
Kekerasan seksual: Memaksa seks, berselingkuh, sadomasokisme, dll.
Pengabaian/penolakan: Mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi, menyalahkan pasangan bila
kekerasan terjadi, dll.
Koersi, ancaman, intimidasi: Membuat pasangan khawatir, memecahkan benda-benda,
mengancam akan meninggalkan, dll

Gambar : Dampak dari prilaku kekerasan seksual


4. FAKTOR PRESIPITASI (Stressor Pencetus)
Identitas seksual tidak dapat dipisahkan dari konsep diri atau citra tubuh seseorang. Oleh karena
itu, apabila terjadi perubahan pada tubuh atau emosi seseorang, respons seksual juga berubah.
Ancaman yang spesifik meliputi:
a. Penyakit fisik dan cedera
b. Gangguan jiwa
c. Pengobatan
d. HIV, sindrom imunopdefisiensi didapat (AIDS)
e. Proses penuaan

5. FAKTOR PREDISPOSISI
Sampai saat ini, tidak ada satu teori pun yang dapat secara adekuat menjelaskan proses
perkembangan seksual atau factor predisposisi terjadinya respons seksual yang maladaptive pada
individu. Beberapa teori yang telah dikemukakan meliputi hal-hal berikut:
a. Factor biologis
Merupakan awal yang menentukan perkembangan gender, yaitu apakah seseorang secara genetic
ditentukan sebagai pria atau wanita. Somatotipe seseorang mencakup kromosom, hormone,
genitalia interna dan eksternal, serta gonad.
b. Pandangan psikoanalitis
Freud memandang seksualitas sebagai salah satu kekuatan penting dalam kehidupan manusia. Ia
merupakan ilmuan yang pertama yang meyakini bahwa seksualitas berkembang sebelum awitan
pubertas dan pilihan ekspresi seksualindividu bergabtung pada keterkaitan factor penurunan,
biologi dan social. Ia menyatakan bahwa perkembangan seksualitas secara spesifik berhubungan
dengan perkembangan hubungan objek selama tahap psikososial perkembangan.

c. Pandangan prilaku
Perspektif ini memandang prilaku seksual sebagai suatu respons yang dapat diukur, baik dengan
komponen fisiologis maupun psikologis, terhadap stimulus yang dipelajari atau kejadian yang
mendukung. Penanganan masalah seksual melibatkan proses mengubah perilaku melalui
intervensi langsung tanpa perlu mengidentifikasi penyebab atau psikodinamika.

6. SUMBER KOPING
Sumber koping dapat meliputi pengetahuan tentang seksualitas, pengalaman seksual yang positif
dimasa lal, adanya individu yang mendukung termasuk pasangan seksual, dan norma social atau
budaya yang mendorong ekspresi seksual yang sehat.

7. MEKANISME KOPING
Berbagai mekanisme koping yang dapat digunakan untuk mengekspresikan respons seksual
individu adalah sebagai berikut:
1. Fantasi dapat digunakan untuk meningkatkan pengalaman seksual.
2. Penyangkalan dapat digunakan untuk menolak pengakuan terhadap konflik atau ketidakpuasan
seksual
3. Rasionalisasi dapat digunakan untuk membenarkan atau menerima impuls, prilaku, perasaan,
atau motif seksual yang dapat diterima.
4. Menarik diri dapat dilakukan untuk mengatasi perasaan rentan yang belum terselesaikan dan
perasaan ambivalen terhadap keintiman.

8. PROSES KEPERAWATAN
Penerapan proses keperawatan meliputi pengkajian menyeluruh, perencanaan yang cermat,
strategi implementasiyang tepat dan evaluasi berkesinambungan terhadap klien dengan masalah
kekerasan seksualsangat penting, karena proses keperawatan memberikan kerangka kerja untuk
menyusun , mengimplementasidan mengevaluasi strategi keperawatan yang di awali dengan
pengkajian.
1. PENGKAJIAN
Menurut pasquali, Arnold, dan De Basio( 1989 ) dan craven & Himle ( 1996 ) , penggunaan diri
secara terapeutik ( theurapeutic use of self ) sangat penting dalam menciptakan lingkungan
tempat kesehatan seksual dipersepsikan sebagai bagian integral dari riwayat menyeluruh klien.
Ketepatan pengumpulan data bergantung pada kemampuan perawat untuk menciptakan
lingkungan yang menunjang suasana wawancara. Berikut ini pedoman wawancara yang baik
dalam mengumpulkan data yang berkaitan aspek psikoseksual.
Menggunakan pendekatan yang jujur dan berdasarkan fakta yang menyadari bahwa klien
sedang mempunyai pertanyaan atau masalah seksual.
Mempertahankan kontak mata dan duduk dengan klien.
Memberi waktu yang memadai untuk membahas masalah seksual, jangan terburu- buru.
Menggunakan pertanyaaan yang terbuka ,umum dan luas untuk mendapatkan imformasi
mengenai pengetahuan ,persepsi dan dampak penyakit berkaitan dengan seksualitas.
Jangan mendesak klien untuk membicarakan mengenai seksualitas, biarkan terbuka untuk
dibicarakan pada waktu yang akan datang.
Masalah citra diri, kegiatan hidup sehari- hari dan fungsi sebelum sakit dapat dipakai untuk
mulai membahas masalah seksual.
Amati klien selama interaksi ,dapat member informasi tentang masalah apa yang dibahas,
begitu pula masalah apa yang dihindari klien.
Minta klien mengklarifikasi komunikasi verbal dan non verbal yang belum jelas .
Berinisiatif untuk membahas masalah seksual berarti menghargai klien sebagai makhluk
seksual, memungkinkan timbulnya pertanyaan tentang masalah seksual
Menurut Ellis Nowlis ( 1994 ), area yang perlu diperhatikan ketika berinteraksi dengan klien
meliputi:
Apakah klien memiliki hubungan intim yang berarti baginya?
Apakah orang tersebut penuh perhatian?
Apakah kondisi yang dialami klien mungkin dapat mempengaruhi seksualitasnya?
Apakah obat yang digunakan klien dapat mempengaruhi seksualitasnya?
Apa pola pengguanaan obat dan alcohol pada masa lalu dan sekarang?
Perlu di kaji berbagai mekanisme koping yang mungkin digunakan klien untuk mengekspresikan
masalah seksual nya antara lain sebagai berikut:
Fantasi, mungkin digunakan untuk meningkatkan kepuasan seksual.
Denial ( menyangkal ), mungkin digunakan untuk tidak mengakui adanya konflik atau
ketidakpuasan seksual.
Rasionalisasi, mungkin digunakan untuk memperoleh pembenaran atau penerimaan tentang
motif, perilaku, perasaan, dan dorongan seksual.
Menarik Diri, mungkin dilakukan untuk mengatasi perasaan lemah, perasaan ambivalen yang
beum terselasaikan secara tuntas.

POHON MASALAH
Resiko Tinggi Isolasi social menarik Diri
Disfungsi seksualitas

Harga diri rendah

2. DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN


Data 1
Klien mengatakan:
Tidak adanya hasrat untuk aktivitas
Ada perasaan jijik, ansietas, panikm sebagai respon terhadap kontak genital
Tidak adanya pelumasan atau sensasi subyektif dari rangsangan seksual
Gagal untuk mencapai atau mempertahankan ereksi selama aktivitas seksual
Ketidakmampuan untuk mencapai orgasme atau ejakulasi
Ejakulasi prematur
Adanya konstriksi vagina yang mencegah penetrasi penis.
Dx 1: Gangguan disfungsi seksual
Tujuan jangka pendek
Pasien akan mengidentifikasi stersor-stresor yang berperan dalam penurunan fungsi seksual
dalam satu minggu.
Pasien akan lebih patofisiologi proses penyakitnya yang menimbulkan disfungsi seksual dalam
satu minggu.
Untuk pasien dengan disfungsi permanen karena proses penyakit, pasien akan mengatakan
keinginan untuk mencari bantuan profesional dan seorang terapist seks supaya belajar alternetif
cara untuk mencapai kepuasan seksual dengan pasangannya(dalam defisiensi waktu ditentuakan
sesuai individu).
Tujuan jangka panjang
Pasien akan mendapatkan kembali aktifitas seksual pada tingkat yang memuaskan untuk dirinya
dan apsanganya (dimensi waktu disesuaikan dengan individu).
Intervensi dan rasional tertentu
1. Kaji riwayat seksual dan tingkat kepuasan sebelumnya dalam hubungan seksual.
R: Hal ini menetapkan suatu data dasar untuk bekerja dan memberikan dasar untuk tujuan
2. Kaji persepsi pasien trehadap masalah
R: Ide pasien tentang apa yang merupakan suatu masalah mungkin berbeda dari ide perawat.ide
adalah persepsi pasien yang darinya tujuan perawatan harus ditetapkan.
3. Bantu pasien menetapkan dimensi waktu yang berhubungan dengan awaitan masalah dan
diskusikan apa yang terjadi dalam situasi kehidupannya pada waktu itu.
R: Stress pada beberapa are kehidupan mempengaruhi fungsi seksual. Pasien mungkintidak
menyadari hubungan antara stress dan disfungsi seksual.
4. Kaji alam perasaan dan tingkat energi paien.
R: Depresi dan kelelahan menurunkan hasrat dan antusisme untuk berpartisipasi dalam aktifitas
seksual.
5. Tinjau aturan pengobatan dan observasi efek samping.
R: Banyaknya obat-obatan dapat mempengaruhi fungsi seksual. Evaluasi terhadap obat dan
respon individu adalah penting untuk memastikan apakah obat tersebut mungkin menambah
masalah.
6. Anjurkan pasien untuk mendiskusikan proses penyakit yang mungkin menambah disfungsi
seksual. Pastikan bahwa pasien menyadari ada altrenatif metode pencapaian kepuasan seksual
dan dapat dilepajari melalui konseling seks jika pasien dan pasangannya berhasrat untuk
malakukannya juga.
R: pasien mungkin tidak menyadari bahwa kepuasan perubahan dapat dibuat dalam kehidupan
seksnya. Dia mungkin juga tidak menyadari adanya sarana konseling seks.
7. Dorong pasien untuk menanyakan hal-hal yang berkenaan dengan seksual dan fungsi yang
mungkin menysahkan dirinya. Peningkatan pengetahuan dan membenarkan kesalahan konsep
dapat menurunkan perasaan tidak berdaya dan ansietas dan memudahkan solusi masalah.
8. Buat rujukan keterapi seks jika dibutuhkan.
Evaluasi berdasarkan kriteria hasil/pasien pulang:
1. Pasien mampu menghubungakan faktor-faktor fisik atau psikososial yang mengganggu fungsi
seksual.
2. Pasien mampu berkomunikasi dengan pasanganya tentang hubungan seksual mereka tanpa
merasa tidak nyaman.
3. Pasien dan pasangannya mengatakan keingan dan hasrat untuk mencari bantuan dan terapist
seks profesional.
4. Pasien mengatakan kembali bahwa aktivitas seksualnya ada pada tahap yang memuaskan
dirinya dan pasangan.
Data 2
Klien mengatakan adanya kesukaran, pembatasan atau perubahan dalam berprilaku atau
beraktivitas seksual.
Klien mengeluh tidak dapat mengekspresikan prilaku seksual
Klien merasakan bahwa getaran seksual hanya dapat dicapai melalui praktik yang berbeda,
seperti pedofilia, fetishisme, masokisme, sadisme, frotteurisme, ekshibisionisme, voyeurisme.
Klien mengatakan bahwa hasrat untuk mengalami hibungan seksual yang memuaskan dengan
individu lain tanpa butuh getaran melalui praktik yang berbeda.
Dx II : Perubahan pola seksualitas
Tujuan jangka pendek
1. Klien akan mengatakan aspek-aspek seksualiatas yang ingin diubahnya.
2. Klien dan pasangannya akan saling berkomunikasi tentang cara-cara dimana masinga-masing
meyakini hubungan seksual mereka dapat diperbaiki.
Tujuan jangka panjang
1. Klien akan memperlihatkan kepauasan dengan pola seksualnya sendiri.
2. Klien dan pasangannya akan memperlihatkan kepuasan dengan hubungan seksualnya.
Intervensi
1. Kaji riwayat seksual, perhatikan area ketidak puasan klien terhadap pola seksual.
R: pengetahuan tentang apa yang klien terima sebagai masalah adalah yang utama untuk
memberikan jenis bantuan yang mungkin dibutuhkan oleh klien.
2. Kaji area-area stress dalam kehidupan dan periksa hungungan dengan pasangan seksualnya.
R: prilaku seksual yang berbeda sering kali dihubungkan dengan pasanganya mungkin
memburuk sebagai pencapaian akhir kepuasan seksual individual hanya dari praktik yang
berbeda.
3. Catat faktor-faktor budaya, sosial, etnik, rasial, dan religius yang mungkin menambah konflik
yang berkenaan dengan praktik seksual yang berbeda.
R: Klien mungkin tidak munyadari pengaruh faktor-faktor ini mendesak dalam menghasilkan
perasaan-perasaan tidak nyaman, malu dan bersalah berkenaan dengan sikap dan prilaku seksual.
4. Terima dan jangan menghakimi.
R: Seksualitas adalah subjek yang sangat pribadi dan sensitif. Klien lebih suka membagikan
informasi ini jika ia merasa takut dihakimi oleh perawat.
5. Bantu terapist dengan perencanaan modifikasi prilaku untuk membantu klien yang berhasrat
untuk menurunkan prilaku-prilaku seksual yang berbeda.
R: Individu-individu dengan parafilia ditangani oleh spesialis yang memiliki pengalaman dalam
memodifikasi prilaku seksual yang berbeda. Perawat dapat mengintervensi dengan memberikan
bantuan melalui implementasi perencanaan modivikasi prilaku.
6. Jika perubahan pola seksualitas berhubungan dengan penyakit atau pengobatan medis, berikan
informasi untuk klien dan pasangannya berkenaan dengan hubungan antara penyakit dan
perubahan seksual.
R: Klien dan pasangannya mungkin tidak menyadari kemungkinan alternatif untuk mancapai
kepasan seksual atau ansiata syang berhubunga dengan pembatasan mungkin mengganggu
pemecahan masalah yang rasional.
7. Jelaskan kepada klien bahwa seksualitas suati respon menusiawi yanng normal dan tidaklah
sinonim dengan tindakan seksual seorangpun, meliputi hubungan timbal balik yang kompleks di
antara kompleks diri, gambaran tubuh, riwayat pribadi, keluarga dan pengaruh kebudayaan
seseorang dan semua interaksi dengan orang lain.
R: Jika klien merasa abnormal atau sangat tidak menyukai orang lain, konsep diri mungkin
sangat rendah, ia mungkin tetap merasa tidak berguna untuk meni gkatkan harga diri dan hasrat
untuk mengubah prilaku, bantu klien untuk melihat bahwa meskipun prilaku berbeda , perasaan
dan motovasinya adalah umum.

Evaluasi kriteria hasil


1. Klien mampu mengatakan rasa takutnya akan abnormalitas dan ketidaksesuaian prilaku
seksual.
2. Klien mengekspresikan hasrat untuk mengubah prilaku seksual yang berbeda dan kooperatif
dengan cara modifikasi prilaku.
3. Klien dan ppasangannya mengatakan modifikasi dalam aktivitas-aktivitas seksual dalam
berespon pada keterbatasan karena penyakit atau tindakan medis.
4. Klien mengekspresikan kepuasan dengan pola seksualitasnya sendiri sendiri atau kepuasan
hubungan seksual dengan orang lain.

Data 3 :
Gejala subyektif :
1. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
2. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
3. Respon verbal kurang dan sangat singkat.
4. Klien mengatakan hubungan tidak berarti dengan orang lain.
5. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu dengan orang lain.
6. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
7. Klien dapat berguna.
8. Klien tidak yakin dalam melangsungkan hidup.
9. Klien merasa ditolak.

Gejala objektif
1. Klien banyak diam dan tidak mau berbicara.
2. Klien tidak mau mengikuti kegiatan
3. Banyak berdiam diri dikamar.
4. Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat.
5. Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
6. Kontak mata kurang
7. Kurang spontan
8. Apatis ( acuh terhadap lingkungan )
9. Ekspresi wajah kurang berseri
10. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
11. Mengisolasi diri
12. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar
13. Masukan makanan dan minuman terganggu
14. Retensi urin dan peses
15. Aktifitas menurun
16. Kurang energy( tenaga)
17. Rendah diri
18. Postur tubuh berubah misalnya sikap fetus atau janin ( khusunya pada posisi tidur)
Dx III: Isolasi sosial
Tindakan Keperawatan
1. Membina hubungan saling percaya
Untuk membina hubungan saling percaya pada pasien isolasi social kadang-kadang perlu waktu
yang tidak singkat. Tindakan yang perlu dilakukan dalam membina hubungan saling percaya
adalah :
a. Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien.
b. Berkenalan dengan pasien: perkenalan nama dan nama panggilan yang saudara sukai, serta
tanyakan nama dan nama panggilan klien.
c. Menanyakan perasaan dan keluhan klien saat ini.
d. Buat kontrak asuhan: apa yang akan dilakukan bersama klien, berapa lama akan dikerjakan,
dan tempatnya dimana.
e. Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasinya yang akan diperoleh untuk
kepentingan terapi.
f. Setiap saat tunjukkan sikap empati terhadap klien.
g. Penuhi kebutuhan dasar klien saat berinteraksi.

2. Membantu klien menyadari perilaku isolasi sosial.


Agar klien dapat menyadari bahwa perilaku isolasi social perlu diatasi maka hal yang pertama
dilakukan adalah menyadarkan klien bahwa isolasi social merupakan masalah dan perlu diatasi.
Hal tersebut dapat digali dengan menanyakan:
a. Pendapat klien tentang kebiasaan berintraksi dengan orang lain.
b. Menanyakan apa yang menyebabkan klien tidak ingin berinteraksi dengan orang lain.
c. Diskusikan keuntungan bila klien memiliki banyak teman dan bergaul akrab dengan mereka.
d. Diskusikan kerugian bila klien hanya mengurung diri dan tidak bergaul dengan orang lain.
e. Jelaskan pengaruh isolasi social terhadap kesehatan fisik klien.

3. Melatih klien cara-cara berinteraksi dengan orang lain secara bertahap.


a. Jelaskan kepada klien cara berinteraksi dengan orang lain.
b. Berikan contoh cara berbicara dengan orang lain.
c. Beri kesempatan klien memperaktikkan cara berinteraksi dengan orang lain yang dilakukan
dihadapan perawat.
d. Mulailah bantu klien beriinteraksi dengan satu orang teman/anggota keluarga.
e. Bila klien sudah menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah interaksi dengan 2, 3, 4 orang dan
seterusnya.
f. Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan oleh klien.
g. Siap mendengarkan ekspreesi perasaan klien setelah berinteraksi dengan orang lain. Mungkin
klien akan mengungkapkan keberhasilan atau kegagalannya. Beri dorongan terus menerus agar
klien tetap semangat meningkatkan interaksinya.
4. Diskusikan dengan klien tentang kekurangan dan kelebihan yang dimiliki.
5. Inventarisir kelebihan klien yang dapat dijadikan motivasi untuk membangun kepercayaan diri
klien dalam pergaulan.
6. Ajarkan pada klien koping mekanisme yang konstruktif.
7. Libatkan klien dalam interaksi dan terapi kelompok secara bertahap.
8. Diskusikan dengan keluarga pentingnya interaksi klien yang dimulai dengan keluarga
terdekat.
9. Eksplorasi keyakinan agama klien dalam menumbuhkan sikap pentingnya sosialisai dengan
lingkungan sekitar.

BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
2. SARAN
Semoga makalah yang kami buat dapat bermanfaat bagi semua orang yang membacanya.
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat membantu dalam proses pembelajaran khususnya
dalam mata kuliah Keperawatan Jiwa II, Selain itu diperlukan lebih banyak referensi dan
penyusunan makalah yang lebih baik lagi.

S-ar putea să vă placă și