Sunteți pe pagina 1din 25

Telaah Ilmiah

ASTIGMATISMA

Oleh:

Rani Diah Novianti, S.Ked

Pembimbing

dr.Hj. Ani, SpM(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2016

i
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah


Astigmatisma

Oleh:
Rani Diah Novianti, S.Ked
04054821618069

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 8 Agustus 2016 s.d 13 September 2016.

Palembang, 17 Agustus 2016

dr. Hj. Ani, SpM(K)

ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas berkat rahmat dan
karunia-Nya telaah ilmiah yang berjudul Astigmatisma ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Telaah ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik di
Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Hj. Ani, SpM(K) atas
bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan telaah
ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk penulisan yang
lebih baik di masa yang akan datang.

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 2
2.1 Anatomi Kornea dan Lensa ...................................................................... 2
2.2 Fisiologi Melihat ......................................................................................... 4
2.3 Astigmatisma .............................................................................................. 6
2.3.1 Definisi ............................................................................................. 6
2.3.2 Epidemiologi .................................................................................... 8
2.3.3 Etiologi ............................................................................................. 8
2.3.4 Patofisiologi ..................................................................................... 9
2.3.5 Tanda dan Gejala ........................................................................... 10
2.3.6 Diagnosis Banding ......................................................................... 11
2.3.7 Diagnosis........................................................................................ 12
2.3.8 Penatalaksanaan ............................................................................. 17
2.3.9 Prognosis ........................................................................................ 18

BAB III KESIMPULAN..................................................................................... 20


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 21

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Astigmatisma berasal dari bahasa Yunani stigma yang berarti titik dan secara
bahasa berarti kehilangan titik fokus. Gangguan ini dikarakteristikkan dengan anomali
kelengkungan atau kurvatura dari media refraksi sehingga cahaya yang datang sejajar tidak
dapat dikumpulkan pada satu titik melainkan membentuk garis.1 Berdasarkan letak daya bias
terkuatnya, astigmatisma dibedakan menjadi astigmatisma lazim, astigmatisma tidak lazim,
dan astigmatisma oblik. Berdasarkan bentuknya, dibedakan menjadi astigmatisma regular dan
astigmatisma iregular. 1,2
Astigmatisma menyebabkan pandangan menjadi kabur, yang terjadi akibat kelainan
kelengkungan permukaan kornea atau lensa. Derajat astigmatisma bervariasi pada setiap
penderita. Pada derajat yang ringan, biasanya penderita tidak merasa ada masalah pada
penglihatannya yang membutuhkan pengobatan.3 Usaha mengkompensasi kelainan refraksi
ini dengan akomodasi dapat menyebabkan gejala astenopia seperti sensasi terbakar dalam
mata atau sakit kepala.1 Astigmatisma seringkali disertai dengan masalah penglihatan lainnya
seperti miopia dan hiperopia. 3
Penyebab spesifik astigmatisma tidak diketahui, dapat menjadi penyakit keturunan
dan sudah ada sejak lahir. Astigmatisma dapat pula disebabkan karena trauma pada mata,
operasi mata, ataupun gangguan pada mata lainnya seperti keratokonus dan katarak.3
Pada telaah ilmiah ini akan dibahas anatomi kornea dan lensa, fisiologi penglihatan,
dan mengenai astigmatisma: definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala,
diagnosis banding, diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis. Telaah ilmiah ini diharapkan
dapat bermanfaat untuk memberikan informasi dan sumber bacaan terkait astigmatisma.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kornea dan Lensa Mata


2.1.1 Kornea
Kornea (latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bersifat transparan
sehingga memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata, merupakan lapisan jaringan yang
menutup bola mata sebelah depan dengan kelengkungan yang lebih besar dibanding sklera.
Kornea terdiri atas 5 lapis, yaitu: 2

Epitel
Membran Bowman

Stroma

Membran Descement
Endotel
Gambar 1. Kornea.4

1. Epitel
Terdiri atas 5 lapis sel tidak bertanduk, yaitu lapisan sel basal yang melekat pada
lamina basal dengan hemidesmosom, 2-3 lapis sel poligonal (wing cells), dan bagian
paling atas yaitu sel gepeng.2
2. Membran Bowman

2
Tersusun atas serat kolagen yang tidak teratur dan berasal dari bagian depan stroma,
ketebalannya 8-12 m. Tidak seperti membran descement, lapisan ini tidak
mempunyai daya regenerasi setelah trauma dan akan digantikan dengan jaringan
skar.4

3. Stroma
Stroma berkontribusi terhadap 90% ketebalan kornea. Terdiri atas sel keratosit yang
membentuk kolagen, substansi dasar, dan lamela kolagen. Substansi dasar kornea
yaitu proteoglikan, dengan komponen glikosaminoglikan. Keratosit terletak antara
lamela kolagen dan berfungsi membentuk kolagen dan proteoglikan.4

4. Membran Descement
Merupakan membran aselular, lamina basal dari lapisan endotel kornea.2,4 Bersifat
sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup. 2

5. Endotel
Terdiri atas satu lapis sel heksagonal yang berasal dari neural crest. Pada endotel,
terbentuk barrier yang lebih lemah terhadap ion dan aliran air daripada barrier yang
kuat pada epitel. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.2,4

Stroma

Membran Descement

Endotel

Gambar 2. Membran descement dan endotel kornea.4

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola bagian depan.
Pembiasaan sinar tekuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 60 dioptri pembiasan
sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.2

3
2.1.2 Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna, dan hampir transparan
sempurna. Berasal dari ektoderm permukaan dan tergantung pada zonula zinni di belakang
iris. Zonula zinni menghubungkannya dengan badan siliar. Di sebelah anterior lensa terdapat
2
aquos humor, dan di sebelah posteriornya terdapat vitreus. Lensa memiliki daya bias 20
dioptri.5
Lensa akan dibentuk oleh sel epitel lensa yang membentuk serat lensa di dalam kapsul
lensa. Epitel lensa akan membentuk serat lensa terus-menerus sehingga mengakibatkan
memadatnya serat lensa di bagian sentral lensa sehingga membentuk nukleus lensa. Di bagian
luar nukleus ini terdapat serat lensa yang lebih muda dan disebut sebagai korteks lensa. 2
Pada orang muda, akomodasi untuk melihat dekat diatur dengan kontraksi musculus
siliari, kontraksi akan menarik zonula zinni dan membuat lensa menjadi bentuk globular
dengan kurvatura anterior memendek. Perubahan ketebalan lensa saat akomodasi disebabkan
perubahan bentuk nukleus. Seiring bertambahnya usia, kekuatan akomodasi menurun, yang
disebabkan lensa bertambah besar dan berat serta berkurangnya elastisitas lensa.4

2.2 Fisiologi Melihat5


Mata secara optik dapat disamakan dengan sebuah kamera fotografi biasa. Mata
memiliki 4 media refraksi : kornea, humor aquos, lensa, dan badan vitreus. Setiap benda yang
dilihat mata pada kenyataannya merupakan kumpulan dari beberapa titik sumber cahaya.
Sinar yang datang dari jarak > 5 meter akan digambarkan sebagai sinar yang paralel,
sementara sinar yang datang dari jarak < 5 meter akan digambarkan sebagai sinar yang
divergen. Proses visual dimulai saat sinar datang melalui media refraksi, melewati pupil, dan
terfokus pada retina hingga menghasilkan sebuah bayangan yang kecil dan terbalik.
Sinar yang datang akan mengalami pembiasan atau akan dibelokkan oleh media
refraksi. Daya bias mata 40 dioptri dihasilkan oleh permukaan anterior kornea. Alasan utama
pemikiran ini adalah karena indeks bias kornea sangat berbeda dari indeks bias udara
sementara indeks bias lensa tidak berbeda jauh dengan indeks bias humor aquos atau badan
vitreus (indeks bias udara 1; indeks bias kornea 1,38; indeks bias humor aquos 1,33; indeks
bias lensa 1,40; dan indeks bias badan vitreus 1,34).

4
Gambar 3. Indeks bias mata5

Lensa memiliki daya bias 20 dioptri, namun lensa memegang peranan penting karena
memiliki daya akomodasi. Permukaan kornea dan permukaan lensa mata anterior memliki
bentuk konveks. Sama halnya dengan lensa konveks yang bersifat memfokuskan cahaya pada
satu titik. Berkas cahaya yang melalui bagian tengah menembus lensa tepat tegak lurus
terhadap permukaan lensa, sehingga cahaya tidak dibiaskan. Makin dekat ke bagain tepi
lensa, berkas cahaya akan semakin membuat sudut yang lebih besar. Cahaya yang terletak
lebih ke tepi akan semakian dibelokkan ke arah tengah, yang dikenal dengan konvergensi
cahaya. Bila lensa memiliki kelengkungan yang sempurna, cahaya sejajar yang melalui
bagian lensa akan dibelokkan sedemikian rupa sehingga semua cahaya akan menuju suatu
titik, yang disebut titik fokus.
Bayangan yang terbentuk di retina adalah bayangan yang kecil dan terbalik. Namun
demikian, persepsi otak terhadap benda tetap dalam keadaan tegak. Tahap terakhir dalam
proses visual adalah perubahan energi cahaya menjadi aksi potensial yang dapat diteruskan
ke korteks serebri. Proses perubahan ini terjadi pada retina. Sinyal saraf penglihatan
meninggalkan retina melalui nervus optikum. Di kiasma optikum, serabut nervus optikus dari
bagian nasal retina menyeberangi garis tengah, tempat serabut nervus optikus bergabung
dengan serabut-serabut yang berasal dari bagian temporal retina mata yang lain sehingga
terbentuklah traktus optikus. Serabut-serabut dari setiap traktus optikus bersinaps di nukleus
genikulatum lateralis dorsalis pada talamus, dan dari sini serabut-serabut genikulokalkarina
berjalan melalui radiasi optikus (atau traktus genikulokalkarina), menuju korteks penglihatan
primer yang terletak di fisura kalkarina lobus oksipitalis (Area 17). Serabut penglihatan juga
melalui beberapa daerah yang lebih primitif di otak: 1) dari traktus optikus menuju nukleus

5
suprakiasmatik di hipotalamus, mungkin untuk pengaturan irama sirkadian yang
menyinkronisasikan berbagai perubahan fisiologi tubuh dengan siang dan malam; 2) ke
nuklei pretektalis di otak tengah, untuk mendatangkan gerakan refleks mata agar mata dapat
difokuskan ke arah objek yang penting dan untuk mengaktifkan refleks pupil terhadap
cahaya; 3) ke kolikulus superior, untuk mengatur pergerakan arah kedua mata yang cepat;
dan 4) menuju nukleus genikulatum lateralis ventralis pada talamus dan daerah basal otak di
sekitarnya, diduga untuk membantu mengendalikan beberapa fungsi sikap tubuh.

2.3 Astigmatisma
2.3.1 Definisi
Astigmatisma merupakan anomali kurvatura kornea atau bentuk lensa mata.
Normalnya, kornea dan lensa memiliki permukaan yang halus dan memiliki kelengkungan
yang sama pada semua arah, membantu berkas cahaya jatuh tepat pada satu titik fokus di
retina. Jika kelengkungan tersebut tidak sempurna, berkas cahaya tidak dibiaskan dengan
benar. Hal ini disebut kelainan refraksi. Apabila astigmatisma disebabkan kornea memiliki
bentuk yang iregular, maka disebut astigmatisma kornea atau astigmatisma eksternal, jika
bentuk lensa yang mengalami kelainan, disebut astigmatisma lentikular atau astigmatisma
internal. Akibat dari astigmatisma adalah pandangan jauh maupun dekat tampak kabur.3
Klasifikasi Astigmatisma
1. Astigmatisma Iregular
Astigmat yang terjadi tidak memiliki 2 meridian yang saling tegak lurus. Terjadi
akibat kelengkungan kornea pada meridian yang sama berbeda sehingga bayangan menjadi
iregular. Astigmatisma iregular terjadi akibat infeksi kornea, trauma, dan distrofi, atau akibat
kelainan pembiasan pada meridian lensa yang berbeda.2

2. Astigmatisma Regular
Bentuk meridian utamanya mempunyai arah yang saling tegak lurus. Astigmatisma
yang memperlihatkan kekuatan pembiasan bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara
teratur dari satu meridian ke meridian berikutnya. Bayangan yang terjadi pada astigmatisma
regular dengan bentuk yang teratur dapat berbentuk garis, lonjong, atau lingkaran.2

6
A B C
Gambar 4. A. Mata normal, B. Astigmatisma regular, C. Astigmatisma Iregular .

Letak daya bias terkuatnya1


With the rule astigmatism (Astigmatisma lazim)
Meridian dengan daya bias paling besar adalah pada bagian vertikal misalnya
antara 70 dan 110 derajat.
Bayi yang baru lahir biasanya memiliki astigmatisma lazim.2
Against the rule astigmatism (Astigmatisma tidak lazim)
Meridian dengan daya bias paling besar adalah pada bagian horizontal
misalnya antara 160 dan 20 derajat.
Astigmatisma tidak lazim sering ditemukan pada usia lanjut.2
Oblique astigmatism (Astigmatisma oblik)
Meridian dengan daya bias paling besar adalah pada bagian oblik misalnya
antara 20 dan 70 derajat atau antara 110 dan 160 derajat.

Letak fokusnya terhadap retina


Astigmatismus myopicus simplex
Satu titik jatuh tepat pada retina, titik satunya di depan retina.
Astigmatismus hipermetropicus simplex
Satu titik jatuh tepat pada retina, titik satunya di belakang retina.
Astigmatismus myopicus compositus
Dua titik bayangan jatuh di depan retina.
Astigmatismus hipermetropicus compositus
Dua titik bayangan jatuh di belakang retina.
Astigmatismus mixtus
Satu titik jatuh di belakang retina, titik satunya di depan retina

7
Tingkat kekuatan dioptri
Astigmatismus rendah
Ukuran kekuatan dioptrinya 0,5 dioptri.
Astigmatismus sedang
Ukuran kekuatan dioptrinya antara 0,75-2,75 dioptri.
Astigmatismus tinggi
Ukuran kekuatan dioptrinya 3,00 dioptri.

2.3.2 Epidemiologi
Astigmatisma adalah kelainan refraksi yang umum terjadi, dengan angka kejadian 13%
dari semua kelainan refraksi. Prevalensinya bervariasi tergantung usia. Kejadian
astigmatisma meningkat dari 14,3% pada anak dibawah 15 tahun hingga 67,2% pada
kelompok usia diatas 65 tahun. Angka kejadian untuk astigmatisma lazim, astigmatisma tidak
lazim, dan astigmatisma oblik secara berurutan adalah 11,7%; 18,1%; dan 2,4%.6
Empat puluh dua persen dari seluruh manusia memiliki astigmatisma lebih besar atau
sama dengan 0,5 dioptri. Sekitar 20%, astigmatisma ini lebih besar dari 1 dioptri dan
membutuhkan koreksi optikal.1

2.3.3 Etiologi7
Penyebab pasti dari astigmatisma masih belum diketahui. Satu penjelasan yang
mungkin untuk etiologi dari astigmatisma adalah kelainan refraksi yang diturunkan. Beberapa
penelitian mengindikasikan derajat heritabilitas astigmatisma dan kecenderungan
astigmatisma diturunkan secara autosomal dominan. Penelitian lain menyatakan adanya
faktor genetik dan lingkungan yang berperan penting dalam kejadian astigmatisma.
Astigmatisma dapat dibedakan menjadi astigmatisma kongenital dan didapat. Astigmatisma
yang didapat disebabkan oleh penyakit yang sudah ada sebelumnya atau sebagai akibat dari
operasi atau trauma. Astigmatisma dapat disebabkan karena kelainan pada kornea, lensa, atau
retina, namun astigmatisma kornea adalah yang paling banyak terjadi.
Astigmatisma iregular dibedakan menjadi astigmatisma iregular primer dan sekunder
yang disebabkan karena beberapa keadaan patologi kornea misalnya keratokonus atau
degenerasi nodul Sallzman, serta astigmatisma iregular karena operasi yaitu pengangkatan
pterigium, ekstraksi katarak, keratoplasti, keratomileusis miopia, keratektomi radial dan
astigmat, PRK, dan LASIK. Penyebab lain termasuk trauma kornea dan infeksi.

8
2.3.4 Patofisiologi5

Astigmatisma merupakan kelainan refraksi mata yang menyebabkan bayangan


penglihatan pada satu bidang difokuskan pada jarak yang berbeda dari bidang yang tegak
lurus terhadap bidang tersebut. Hal ini paling sering disebabkan oleh terlalu besarnya
lengkung kornea pada salah satu bidang di mata. Contoh lensa astigmatis adalah permukaan
lensa seperti telur yang terletak pada sisi datangnya cahaya. Derajat kelengkungan bidang
yang melalui sumbu panjang telur tidak sama dengan derajat kelengkungan pada bidang yang
melalui sumbu pendek. Karena lengkung lensa astigmatis pada suatu bidang lebih kecil
daripada lengkung pada bidang yang lain, cahaya yang mengenai bagian perifer lensa pada
suatu sisi tidak dibelokkan sama kuatnya dengan cahaya yang mengenai bagian perifer pada
bidang yang lain. Pada gambar 5, memperlihatkan berkas cahaya dipancarkan dari titik
sumber dan berjalan melalui lensa astigmatis yang lonjong. Cahaya dalam bidang vertikal,
yang ditandai oleh bidang BD, dibiaskan secara kuat oleh lensa astigmatis karena
kelengkungan pada bidang vertikal lebih cembung daripada bidang horizontal. Sebaliknya,
cahaya dalam bidang horizontal, yang ditandai oleh bidang AC, dibelokkan tidak sekuat
cahaya yang melewati bidang vertikal. Jelas bahwa cahaya yang melalui lensa astigmatik
tidak seluruhnya dibiaskan menuju satu titik fokus, karena cahaya yang melalui suatu bidang
dari lensa difokuskan lebih jauh dari cahaya yang melalui bidang yang lain.
Daya akomodasi mata tidak dapat mengkompensasi kelainan astigmatisma karena
selama akomodasi, lengkung lensa mata berubah kurang lebih sama kuatnya di semua bidang,
oleh karena itu pada astigmatisma, kedua bidang memerlukan derajat akomodasi yang
berbeda. Sehingga, pada pasien astigmatisma bila tidak dibantu dengan kacamata
penglihatannya tidak pernah tajam.

Gambar 6. Astigmatisma, memperlihatkan bahwa berkas cahaya difokuskan 9


pada suatu titik dalam salah satu bidang (bidang AC), dan pada titik lain
dalam bidang yang tegak lurus terhadap bidang yang pertama. 5
2.3.5 Gejala dan Tanda

Manifestasi klinis secara umum pada astigmatisme adalah:


- Gangguan penglihatan/ketajaman penglihatan
- Ketegangan pada mata
- Kelelahan pada mata
- Pandangan berbayang serta kabur
- Mata berair
- Fotofobia

Seseorang yang menderita astigmatismus tinggi menyebabkan gejala-gejala sebagai


berikut :
- Penglihatan kabur, sedikit atau jarang ada keluhan sakit kepala maupun astenopia, tapi
dapat terjadi setelah memakai lensa yang kurang lebih/mendekati koreksi
astigmatisma. Keluhan ini mungkin ditimbulkan oleh akomodasi, karena akomodasi
tidak dapat memberi kekuatan silindris sehingga tidak dapat membantu astigmatisma
tinggi dalam mengkoreksi kekaburan penglihatannya. Tidak selalu mungkin untuk
menetralisir astigmatisma sepenuhnya, sehingga astigmatisma yang tersisa dapat
menimbulkan ketidaknyamanan, paling tidak di tahap awal pemakaian lensa koreksi.

- Memiringkan kepala atau disebut dengan titling his head, pada umumnya keluhan
ini sering terjadi pada penderita astigmatismus oblik yang tinggi.

- Memutarkan kepala agar dapat melihat benda dengan jelas.

- Menyipitkan mata seperti halnya penderita miopia, hal ini dilakukan untuk
mendapatkan efek pinhole atau stenopaic slite. Penderita astigmatismus juga
menyipitkan mata pada saat bekerja dekat seperti membaca, tidak hanya pada waktu
melihat jauh.

- Pada saat membaca, penderita astigmatismus ini memegang bacaan mendekati mata,
seperti pada penderita miopia. Hal ini dilakukan untuk memperbesar bayangan,
meskipun bayangan di retina tampak buram.

Sedang pada penderita astigmatismus rendah, biasa ditandai dengan gejala-gejala


sebagai berikut :

10
- Mata cepat terasa lelah, terutama pada saat melakukan pekerjaan yang teliti pada jarak
fiksasi

- Sakit kepala pada bagian frontal.

- Ada pengaburan sementara / sesaat pada penglihatan dekat, biasanya penderita akan
mengurangi pengaburan itu dengan menutup atau mengucek-ucek mata seperti pada
hipermetropia. Gejala seperti ini mungkin juga terjadi pada hipermetropia tingkat
rendah.

Penderita astigmatisma rendah biasanya tidak menunjukkan keluhan/gejala jika mereka


tidak bekerja dengan keletihan yang tinggi.

2.3.6 Diagnosis Banding8

Miopia dan Hiperopia


Miopia dan hiperopia yang tidak dikoreksi dapat menyebabkan penurunan
ketajaman penglihatan, termasuk kedalam diagnosis banding dikarenakan
adanya penglihatan kabur. Sulit untuk membedakan penyebab penglihatan
kabur hanya dengan anamnesis dan uji ketajaman penglihatan saja.
Retinoskopi dapat dengan mudah membedakan antara miopia simpleks,
dimana netralisasi refleks didapatkan pada semua meridian dengan kekuatan
dioptri yang sama, hal ini membedakan dengan astigmatisma dimana
dibutuhkan kekuatan dioptri yang berbeda pada setiap meridian.

Katarak
Katarak dikarakteristikkan dengan tidak ada nyeri, penurunan visus yang
progresif, tapi juga berhubungan dengan keluhan lain seperti kesulitan melihat
saat cahaya terang, yang tidak terjadi pada astigmatisma.
Katarak dapat dengan mudah didiagnosa dengan menggunakan slit lamp
biomikroskopi. Namun, adanya katarak tidak menyingkirkan diagnosa dari
astigmatisma, oleh karena itu harus dilakukan pemeriksaan refraksi.

Strabismus
Beberapa jenis strabismus dapat berhubungan dengan diplopia, yang dapat
dianggap sebagai pandangan yang kabur. Pada beberapa kasus strabismus,

11
mata yang juling dapat terlihat dengan jelas oleh dokter, keluarga pasien, atau
pengamat.
Strabismus dapat didiagnosa dengan cover uncover test, dimana okluder
digunkan untuk menutup salah satu mata dengan tujuan mendeteksi deviasi
tersembunyi. Sebagaimana katarak, strabismus tidak menyingkirkan diagnosa
astigmatisma, oleh karena itu harus dilakukan pemeriksaan refraksi.

Age-Related Macular Degeneration


Penglihatan yang kabur secara bertahap pada usia >50 tahun harus dicurigai
sebagai Age-Related Macular Degeneration atau AMD. Sebagaimana proses
degenerasi, penderita juga dapat mengeluh metamorpopsia (garis lurus muncul
sebagai lengkungan atau gelombang) dan skotoma.
Diagnosis diperoleh melalui pemeriksaan funduskopi dan dikonfirmasi dengan
fluoresensi angiografi.

2.3.7 Diagnosis

2.3.7.1 Anamnesis

Adapun untuk menegakkan diagnosis astigmatisma berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan fisik. Karena astigmatisma adalah suatu kondisi dimana bias permukaan kornea
tidak bulat, dapat menurunkan ketajaman visual dengan membentuk gambar yang terdistorsi
karena gambar cahaya fokus pada 2 titik terpisah di mata.9 Maka manifestasi klinis
astigmatisma adalah penglihatan yang kabur. Gejala lain yang umum adalah fenomena streak
atau sinar di sekitar titik sumber cahaya, yang paling nyata dalam lingkungan gelap. Jika
besarnya astigmatisma tinggi, hal itu dapat membayangi atau mencoreng tulisan; dalam
jumlah yang sangat tinggi, dapat menyebabkan diplopia.1 Pasien dengan astigmatisma,
melihat segala sesuatu terdistorsi. Upaya untuk mengimbangi kesalahan bias oleh akomodasi
dapat menyebabkan gejala asthenopic seperti sensasi terbakar di mata atau sakit kepala.10
Pasien datang dengan keluhan sebagai berikut:

- Pandangan berbayang serta kabur


- Mata berair
- Fotofobia (silau)
- Ketegangan pada mata
- Kelelahan pada mata

12
2.3.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan generalis
Pemeriksaan oftalmologi
Pemeriksaan Visus
Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata tanpa atau dengan
kaca mata. Setiap mata diperiksa terpisah. Biasakan memeriksa tajam
penglihatan dilihat kanan terlebih dahulu kemudian kiri lalu mencatatnya.2
Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak 5 atau 6
meter, karena pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan
beristirahat atau tanpa akomodasi. Pada pemeriksaan tajam penglihatan
dipakai kartu baku atau standar misalnya kartu baca Snellen yang setiap
hurufnya membentuk sudut 5 menit pada jarak tertentu sehingga huruf
pada baris tannda 60, berarti huruf tersebut membentuk sudut 5 menit
pada jarak 60 meter, dan pada baris tanda 30, berarti huruf tersebut
membentuk sudut 5 menit pada jarak 30 meter. Huruf pada baris tanda 6
adalah huruf yang membentuk sudut 5 menit pada jarak 6 meter, sehingga
huruf ini pada orang normal akan dapat dilihat dengan jelas.
Dengan kartu Snellen standar ini dapat ditentukan tajam penglihatan atau
kemampuan melihat seseorang, seperti2 :
1. Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada
jarak 6 meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada
jarak 6 meter.
2. Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan
angka 30, berarti tajam penglihatan pasaien adalah 6/30dan seterusnya.
5. Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen,
maka dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang
normal pada jarak 60 meter.
6. Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang
diperlihatkan pada jarak 3 meter, maka dinyatakan tajam 3/60 dengan
pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai sampai 1/60 , yang
berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.
7. Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan
pasien yang lebih buruk dari pada 1/60. Orang normal dapat melihat

13
gerakan atau lambaian tangan pada jarak 1 meter, berarti tajam
penglihatannya adalah 1/300.
8. Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak
dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam
penglihatan 1/~. Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak
berhingga.
9. Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka
dikatakan penglihatannya adalah 0/ buta nol.

Hal di atas dapat dilakukan pada orang yang telah dewasa atau dapat
berkomunikasi. Bila seseorang diragukan penglihatannya berkurang akibat
kelaianan refraksi, maka dilakukan uji Pinhole.
Uji lubang kecil atau pinhole ini untuk mengetahui apakah tajam
penglihatan yang kurang terjadi akibat kelainan refraksi atau kelainan
organik media penglihatan. Penderita duduk menghadap kartu Snellen
dengan jarak 6 m. Penderita diminta melihat huruf terkecil yang masih
terlihat dengan jelas. Kemudian pada mata tersebut ditaruh lempeng
berlubang kecil (pinhole atau lubang sebesar 0,75 mm). Bila terdapat
perbaikan tajam penglihatan dengan melihat melalui lubang kecil berarti
terdapat kelainan refraksi. Bila terjadi kemunduran tajam penglihatan
berarti terdapat gangguan pada media penglihatan. Mungkin saja ini
diakibatkan kekeruhan kornea, katarak, kekeruhan badan kaca, dan
kelainan makula lutea.2

Pada seseorang yang terganggu akomodasinya atau adanya presbiopia,


maka apabila melihat benda-benda yang sedikit didekatkan akan terlihat
kabur.

Bila visus tidak 6/6 dikoreksi dengan lensa sferis positif, bila dengan lensa
sferis positif tajam penglihatan membaik atau mencapai 5/5, 6/6, atau 20/20
maka pasien dikatakan menderita hipermetropia, apabila dengan pemberian
lensa sferis positif menambah kabur penglihatan kemudian diganti dengan
lensa sferis negatif memberikan tajam penglihatan 5/5, 6/6, atau 20/20 maka
pasien menderita miopia. Bila setelah pemeriksaan tersebut diatas tetap tidak

14
tercapai tajam penglihatan maksimal mungkin pasien mempunyai kelainan
refraksi astigmat. Untuk memperbaiki kelainan astigmatisma diberikan lensa
silinder dengan cara coba-coba, pengkabutan, uji celah stenopik, ataupun cara
silinder silang.

Uji pengkabutan (fogging technique)2


Uji pemeriksaan astigmatisma dengan memakai prinsip mengistirahatkan
akomodasi dengan memakai lensa positif. Setelah pasien dikoreksi untuk
kelainan refraksi yang ada, maka tajam penglihatannya dikaburkan dengan
lensa positif, sehingga tajam penglihatan berkurang 2 baris pada kartu
Snellen, misalnya dengan menambah lensa spheris positif 3. Pasien
diminta melihat astigmatisma dial (juring astigmat), dan ditanyakan garis
mana yang paling jelas terlihat. Bila garis juring pada 90 yang jelas,
berarti garis ini telah diproyeksi baik pada retina sehingga diperlukan
koreksi bidang vertikal dengan memakai lensa silinder negatif dengan
sumbu 1800. Perlahan-lahan kekuatan lensa silinder negatif ini dinaikkan
sampai garis juring astigmat vertikal sama tegasnya atau kaburnya dengan
juring horizontal atau semua juring sama jelasnya bila dilihat dengan lensa
silinder ditentukan yang ditambahkan. Bila ada miopi, pasien kemudian
diminta melihat kartu Snellen dan perlahan-lahan ditaruh lensa negatif
sampai pasien melihat jelas.

Cara lain untuk memeriksa visus adalah dengan cara coba-coba (trial and
error technique). Jarak pemeriksaan 6 meter/ 20 feet dengan
menggunakan kartu Snellen yang diletakkan setinggi mata penderita. Mata
diperiksa satu persatu. Ditentukan visus masing-masing mata. Bila visus
tidak 6/6 dikoreksi dengan lensa silinder negatif/positif dengan axis
diputar 0o sampai 180o. Kadang-kadang perlu kombinasi dengan lensa
sferis negatif atau positif, sampai tercapai tajam penglihatan yang lebih
baik, bila mungkin sampai 6/6.11,12

Uji celah stenopik2


Celah selebar 1 mm lurus yang terdapat pada lempeng dan dipergunakan
untuk:

15
1. Mengetahui adanya astigmat
Penglihatan akan bertambah bila letak sumbu celah sesuai dengan
sumbu astigmat yang terdapat.
2. Melihat sumbu koreksi astigmat
Penglihatan akan bertambah bila sumbunya mendekati sumbu silinder
yang benar, untuk memperbaiki sumbu astigmat dilakukan dengan
menggeser sumbu celah stenopik berbeda dengan sumbu silinder di
pasang, bila terdapat perbaikan penglihatan maka ini menunjukkan
sumbu astigmatisma belum tepat.
3. Untuk mengetahui besarnya astigmat, dilakukan hal yang sama dengan
sumbu celah berhenti pada ketajaman maksimal. Pada sumbu ini
ditaruh lensa positif atau negatif yang memberikan ketajaman
maksimal. Kemudian sumbu stenopik diputar 900 dari sumbu pertama.
Ditaruh lensa positif atau negatif yang memberikan ketajaman
maksimal. Perbedaan antara kedua kekuatan lensa sferis yang
dipasangkan merupakan besarnya astigmatisma kornea tersebut.
4. Menentukan rencana pembedahan iridektomi optik
Dengan pupil dilebarkan maka celah stenopik diputar-putar letaknya
di depan mata. Kemudian dilihat kedudukan stenopik yang
memberikan tajam penglihatan maksimum, pada sumbu ini dilakukan
iridektomi optik.

Uji silinder silang (cross-cylinder Jackson)2


Dua lensa silinder yang sama akan tetapi dengan kekuatan berlawanan
diletakkan dengan sumbu saling tegak lurus (silinder silang Jackson).
Ekivalen sferisnya adalah nihil. Lensa silinder silang terdiri atas 2 lensa
silinder yang menjadi satu yang dapat terdiri atas silinder -0,25 (-0,50) dan
silinder + 0,25 (+0,50) yang sumbunya saling tegak lurus. Lensa ini
dipergunakan untuk:
1. Melihat koreksi silinder yang telah dilakukan pada kelainan astigmat
pasien sudah cukup atau telah penuh.
2. Untuk melihat apakah sumbu lensa silinder pada koreksi yang telah
diberikan sudah sesuai.

16
2.3.7.3 Pemeriksaan Penunjang

- Autorefraktometer
Yaitu menentukan besarnya kelainan refraksi dengan menggunakan
komputer. Penderita duduk di depan autorefractor, cahaya dihasilkan oleh
alat dan respon mata terhadap cahaya diukur. Alat ini mengukur berapa
besar kelainan refraksi yang harus dikoreksi dan pengukurannya hanya
memerlukan waktu beberapa detik.

- Keratometri
Adalah pemeriksaan mata yang bertujuan untuk mengukur radius
kelengkungan kornea.13

- Keratoskop
Keratoskop atau Placido disk digunakan untuk pemeriksaan astigmatisma.
Pemeriksa memerhatikan gambar ring atau lingkaran konsentris pada
kornea pasien. Lingkaran konsentris berarti permukaan kornea licin dan
regular Pada astigmatisma regular, ring tersebut berbentuk oval. Pada
astigmatisme irregular, gambar tersebut tidak terbentuk sempurna, akibat
infiltrat atau parut kornea.1

- Javal ophtalmometer atau Helmholtz


Boleh digunakan untuk mengukur kelengkungan sentral dari kornea,
dimana akan menentukan kekuatan refraktif dari kornea.1

2.3.8 Penatalaksanaan

Pada astigmatisma yang sudah terdapat anak-anak, koreksi dini sangatlah penting untuk
mencegah terjadinya ambliopia karena gambar yang tajam tidak diproyeksikan tepat pada
retina. Pada astigmatisma regular, tujuan koreksi adalah untuk membawa garis fokus dari dua
meridian utama bersama di satu titik.1 Untuk memperoleh tajam penglihatan terbaik,
dipergunakan lensa silinder.11 Sinar dalam bidang melalui sumbu lensa silinder tidak terbias.
Sinar dalam bidang tegak lurus terhadap sumbu, dibias seperti lensa sferis positif. Jadi pada
lensa silinder baik positif maupun negatif, terdapat dua daya pembiasan utama, yaitu daya
pembiasan pada bidang yang melalui sumbu (tidak dibias) dan pada bidang tegak lurus

17
terhadap sumbu (dibias secara positif atau negatif). Agar kelainan refraksi demikian dapat
diperoleh tajam penglihatan terbaik, diusahakan supaya semua titik-titik pembiasan jatuh
pada macula lutea.11, 12
Pada astigmatisma regular, diberikan kacamata sesuai kelainan yang didapatkan, yaitu
dikoreksi dengan lensa silinder negatif atau positif dengan atau tanpa kombinasi lensa sferis.
Pada astigmatisma ireguler, bila derajat ringan bisa dikoreksi dengan lensa kontak keras,
tetapi bila berat, maka dilakukan transplantasi kornea.12,14
Metode bedah refraksi yang digunakan terdiri dari Radial keratotomy (RK) dimana pola
jari-jari yang melingkar dan lemah diinsisi di parasentral. Bagian yang lemah dan curam pada
permukaan kornea dibuat rata. Jumlah hasil perubahan tergantung pada ukuran zona optik,
angka dan kedalaman dari insisi. Photorefractive keratectomy (PRK) adalah prosedur dimana
kekuatan kornea ditekan dengan ablasi laser pada pusat kornea. Kornea yang keruh adalah
keadaan yang biasa terjadi setelah photorefractive keratectomy dan setelah beberapa bulan
akan kembali jernih. Pasien tanpa bantuan koreksi kadang-kadang menyatakan
penglihatannya lebih baik pada waktu sebelum operasi. 1,12

1) Koreksi lensa
Astigmatisma dapat dikoreksi kelainannya dengan bantuan lensa silinder. Karena
dengan koreksi lensa silindris penderita astigmatisma akan dapat membiaskan sinar sejajar
tepat diretina, sehingga penglihatan akan bertambah jelas.

2) Ortokeratologi
Ortokeratologi adalah cara pencocokan dari beberapa seri lensa kontak, lebih dari satu
minggu atau bulan, untuk membuat kornea menjadi datar dan menurunkan miopia. Kekakuan
lensa kontak yang digunakan sesuai dengan standar. Pada astigmatisma iregular dimana
terjadi pemantulan dan pembiasan sinar yang tidak teratur pada dataran permukaan depan
kornea maka dapat dikoreksi dengan memakai lensa kontak. Dengan memakai lensa kontak
maka permukaan depan kornea tertutup rata dan terisi oleh film air mata. 2

2.3.9 Prognosis7
Astigmatisma adalah kelainan refraksi yang umumnya terjadi seumur hidup.
Astigmatisma tinggi pada bayi dan balita umum terjadi, namun pada kebanyakan kasus
kornea mendatar dan astigmatisma berkurang saat bertumbuh atau masa kanak-kanak.
Derajat astigmatisma biasanya stabil pada orang dewasa dan astigmatisma yang terjadi

18
umumnya adalah derajat rendah, kebanyakan dengan jenis astigmatisma lazim (with-the-
rule). Setelah 40 tahun, kornea cenderung bertambah kembali kelengkungannya, lebih
banyak di meridian horizontal daripada vertikal, sehingga pergeseran menjadi astigmatisma
tidak lazim (against-the-rule) dapat diamati.

Astigmatisma regular pada anak-anak


Prognosis baik pada sebagian besar kasus, karena derajat astigmatisma secara bertahap
berkurang selama awal masa kanak-kanak. Namun pentinguntuk mengenali orang-orang
dengan astigmatisma tinggi dan meresepkan koreksi untuk mengurangi risiko ambliopia.
Astigmatisma regular pada orang dewasa
Pada orang dewasa, derajat astigmatisma biasanya stabil dan tajam penglihatan yang
baik dapat diperoleh dengan koreksi optik.

Astigmatisma pada umumnya tidak mengalami banyak perubahan setelah usia 25


tahun. Astigmatisma progresif dapat terjadi pada keadaan trauma kornea, infeksi berulang
pada kornea, dan penyakit degeneratif seperti keratokonus.

19
BAB III
KESIMPULAN

Astigmatisma merupakan anomali kurvatura kornea atau bentuk lensa mata, sehingga
cahaya yang datang sejajar tidak dapat dikumpulkan pada satu titik melainkan membentuk
garis. Astigmatisma dapat diklasifikasikan menjadi astigmatisma regular dan astigmatisma
iregular. Astigmatisma dapat dibedakan pula berdasarkan letak daya bias terkuatnya, letak
fokusnya terhadap retina, dan tingkat kekuatan dioptri.
Astigmatisma adalah kelainan refraksi yang umum terjadi, dengan angka kejadian 13%
dari semua kelainan refraksi. Penyebab pasti dari astigmatisma masih belum diketahui,
beberapa pendapat menyatakan karena faktor keturunan, penyakit yang sudah ada
sebelumnya atau sebagai akibat dari operasi atau trauma.
Manifestasi klinis dari astigmatisma umumnya adalah gangguan penglihatan/ketajaman
penglihatan, ketegangan pada mata, kelelahan pada mata, pandangan berbayang serta kabur,
mata berair, dan fotofobia. Pada astigmatisma yang sudah terdapat anak-anak, koreksi dini
sangatlah penting untuk mencegah terjadinya ambliopia karena gambar yang tajam tidak
diproyeksikan tepat pada retina. Pada astigmatisma regular, dapat dilakukan koreksi lensa.
Tujuan koreksi adalah untuk membawa garis fokus dari dua meridian utama bersama di satu
titik. Pada astigmatisma iregular dimana terjadi pemantulan dan pembiasan sinar yang tidak
teratur pada dataran permukaan depan kornea maka dapat dikoreksi dengan memakai lensa
kontak. Dengan memakai lensa kontak maka permukaan depan kornea tertutup rata dan terisi
oleh film air mata. Astigmatisma ireguler derajat ringan bisa dikoreksi dengan lensa kontak
keras, tetapi bila berat, maka dilakukan transplantasi kornea. Astigmatisma adalah kelainan
refraksi yang umumnya terjadi seumur hidup dan tidak mengalami banyak perubahan setelah
usia 25 tahun. Astigmatisma progresif dapat terjadi pada keadaan trauma kornea, infeksi
berulang pada kornea, dan penyakit degeneratif seperti keratokonus.

20
Daftar Pustaka
1. Spraul CW, Lang GK. Optics and Refractive Errors: Astigmatism. In: Lang GK, editor.
Ophthalmology: a short textbook. Newyork: Thieme Stuttgart; 2000. p. 440-4.

2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2010, h. 44-6; 81-3.

3. Boyd K. What is astigmatism? American Academy of Ophthalmology. 2015, available


from: www.aao.org/eye-health/diseases/what-is-astigmatism.

4. American Academy of Ophthalmology. Fundamental and principles of ophthalmology.


Basic and clinical science course. 2014-2015. p. 39-42.

5. Guyton AC, JE Hall. Buku ajar fisiologi kedokteran, Edisi 11 (Textbook of medical
physiology, 11th edition). Diterjemahkan oleh: Irawati, et al.; editor edisi bahasa
Indonesia, Rachman LY, H Hartanto, A Novrianti, N Wulandari. Jakarta: EGC; 2012. h.
645-69.

6. Hashemi H, F. Rezvan, A.A. Yekta, M. Hashemi, R.Norouzirad, M. Khabazkhoob. The


prevalence of astigmatism and its determinaants in a rural population of Iran: The
Nooravaran Salamat mobile eye clinic experience. Middle East Afr J Ophthalmol.
2014, 21(2): 175-181.

7. Kaimbo DKW. Astigmatism- Definition, Etiology, Classification, Diagnosis and Non-


Surgical Treatment. Intech. 2012, available from:
www.intechopen.com/books/astigmatism-optics-physiology-and-management/
astigmatism-definition- etiology-classification-diagnosis-and-non-surgical-treatment.

8. Bakshi E, D Zadok. Astigmatism. 2016, available from: www.bestpractice.bmj.com/best-


practice/monograph/762.

9. Roque MR,R Limbonsiong, R Pineda, BL Roque. PRK Astigmatism. 2014, available


from: www.emedicine.medscape.com/article/1220845-overview#a4.

10. Hardten DR, SG Hauswirth, AM Fahmy, K Montealegre. Lasik Astigmatism. 2016,


available from: http://emedicine.medscape.com/article/1220489-overview#a1.

11. PERDAMI. Astigmat. Dalam: Ilyas S, HHB Mailangkay, H Taim, RR Saman, editor.
Ilmu penyakit mata untuk dokter umum dan mahasiswa kedokteran edisi ke-2. Jakarta:
Sagung Seto; 2002. h. 49-55.

12. James B, C Chew, A Bron. Optika klinis. Dalam: Safitri A, editor. Lecture note
oftalmologi edisi ke-9. Jakarta: Erlangga; 2006. h. 35.

13. Choi HY, JH Jung, MN Kim. The effect of epiblepharon surgery on visual acuity and
with-the-rule astigmatism in children. Korean J Ophthalmol. 2010; 24(6): 325-30.

14. Tim Dokter Rumah Sakit Dokter Soetomo, editor. Astigmatisma. Dalam: Pedoman
Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Mata. Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter
Soetomo; 2006. h.179-180.

21

S-ar putea să vă placă și