Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit pada sistem pernafasan merupakan masalah yang sudah umum terjadi di
masyarakat. Dan TB paru merupakan penyakit infeksi yang menyebabkan kematian dengan
urutan atas atau angka kematian (mortalitas) tinggi, angka kejadian penyakit (morbiditas),
diagnosis dan terapi yang cukup lama. Penyakit ini biasanya banyak terjadi pada negara
berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah.
Di Indonesia TB paru merupakan penyebab kematian utama dan angka kesakitan dengan
urutan teratas setelah ISPA. Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India dan China
dalam jumlah penderita TB paru di dunia.
Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus baru TB dimana sekitar 1/3 penderita terdapat
disekitar puskesmas, 1/3 ditemukan di pelayanan rumah sakit atau klinik pemerintah dan
swasta, praktek swasta dan sisanya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan. Sedangkan
kematian karena TB diperkirakan 175.000 per tahun.
1.3. Tujuan
a) pengkajian TB paru
b) Mengidentifikasi diagnosa keperawatan pada klien dewasa dengan TB paru dan
c) Melakukan perencanaan pada klien dewasa dengan TB paru
[2]
BAB II
PEMBAHASAN
2.2. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis
Varian asian
Varian african I
Varian asfrican II
Mycobakterium bovis
Mycobacterium cansasli
Mycobacterium avium
Mycobacterium scrofulaceum
2.3. Patofisiologi
[3]
Infeksi diawali karena seseorang menghirup basil M.tuberculosis. bakteri menyebar
melalui jalan napas menuju alveoli lalu berkembang biak dan terlihat bertumpuk.
Perkembangan M.tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dari paru-paru
(lobus atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain
(ginjal, tulang, dan korteks serebri) dan area lain dari paru-paru (lobus atas). Selanjutnya,
sistem kekbalan tubuh memberikan respons dengan melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil
dan makrofag melakukan aksi fagositosis (menelan bakteri), sementara limfosit spesifik-
tuberculosis menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan normal.
Interaksi antara M.tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada awl infeksi
membentuk sebuah massa jaringan baru yang disebut granulma. Granulma terdiri atas
gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh makrofag seperti dinding. Granulma
selanjutnya berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa
tersebut disebut ghon tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri menjadi
nekrotik yang selanjutnya membentuk materi yang penampakannya seperti keju (necrotizing
caseosa). Hal ini akan menjadi klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringan kolagen,
kemudian bakteri menjadi nonaktif.
Setelah infeksi awal, jika respons sistem imun tidak adekuat maka penyakit akan
menjadi lebih parah. Penyakit yang kian parah dapat timbul akibat infeksi ulang atau bakteri
yang sebelumnnya tidak aktif kembali menjadi aktif. Pada kasus ini, ghon tubercle
mengalami ulserasi sehingga menghasilkan necrotizing caseosa di dalam bronkhus. Tuberkel
yang ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan membentuk jaringan parut. Paru-paru yang
terinfeksi kemudian meradang, mengakibatkantimbulnya bronkopneumonia, membentuk
tuberkel, dan seterusnya. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini
berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel tuberkel
epiteloid yag dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami
nekrosis dan jaringan granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblas akan menimbulkan
respons berbeda, kemudian pada akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang dikelilingi
oleh tuberkel.
[4]
Penyebaran bakteri secara
bronkogen, limfogen & sembuh
hematogen
Infeksi primer
Reaksi sistemis :
Edema trakeal /faringeal Reaksi infeksi atau
anoreksia, mual, demam,
& Peningkatan produksi inflamasi membentuk
sekret penurunan berat badan
kavitas & merusak
&kelemahan
Pecahnya pembuluh darah parenkim paru
jalan nafas
Tuberkulosis Primer
[5]
Tuberkulosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang belum mempunyai
reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama
kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat
melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di
alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak
dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru,
saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut
sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks
primer adalah 4-6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari
negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan
besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan
tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada
beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-
kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya
dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa
inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan
sekitar 6 bulan.
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun
sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV
atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru
yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
Tuberculosis sekunder
Setelah terjadi resolusi dari infeksi primer, sejumlah kecil bakteri TB masih hidup
dalam keadaan normal di jaringan perut. Sebanyak 90% diantaranya tidak mengalami
kekambuhan. Reaktivasi penyakit TB (TB pasca primer/TB sekunder) terjadi bila daya tahan
tubuh menurun, alkoholisme, keganasan, diabetes melitus, dan AIDS.
Berbeda dengan TB primer, pada TB sekunder kelenjar limfe regional dan organ
lainnya jarang terkena, lesi lebih terbatas dan terlokalisasi. Reaksi imunologis terjadi dengan
adanya pembentukan granuloma, mirip dengan yang terjadi pada TB primer. Tetapi, nekrosis
jaringan lebih menyolok dan menghasilkan lesi kaseosa (perkijuan) yang luas dan disebut
tuberkuloma. Proteaseyang di keluarkan oleh makrofag aktif akan menyebabkan pelunakan
bahan kaseosa.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa tterbentuknya kavitas dan manifestasi lainnya dari TB
sekunder adlah akibat dari reaksi nekrotik yang dikenal sebagai hipersensitivitas seluler
(delayed hipersensitivity).
[6]
2.4. Morfologi dan Fisiologi Bakteri Tuberculosis
Bakteri tuberculosis berbentuk batang dengan ukuran 2-4 u x 0,2-0,5 um, bentuknya
seragam tidak berspora, dan tidak bersimpai. Pada biakan, terlihat bentuknya bervariasi
mulai dari bentuk kokoid sampai berupa filamen. Beberapa strain tertentu seperti tali yang
disebut cord formation (Budiarti,2001). Dinding selnya mengandung lipid sampai hampir
60% dari berat seluruhnya, sangat sukar diwarnai dan perlu cara khusus agar terjadi
penetrasi zat warna. Ada beberapa teknik pewarnaan yang lazim digunakan adalah
pewarnaan Ziehl-Neelsen. Cara lainnya adalah pewarnaan Kinyoun Gabett atau pewarnaan
Than Thiam Hok. Pada pewarnaan tersebut bakteri tampak bewarna merah dengan latar
belakang biru. Pada pewarnaan fluhirokrom bakteri berfluresensi dengan warna kuning
oranye.
Kandungan lipid yang tinggi pada dinding sel menyebabkan bakteri ini sangat tahan
terhadap asam, basa, dan kerja antibiotik bakterisidal. Selain itu, bahan-bahan makanan juga
sukar mengadakan penetrasi melalui dinding selnya sehingga untuk pertumbuhannya perlu
waktu yang cukup lama. Tuberkulin positif dapat ditransfer oleh monosit dari seseorang
dengan tuberkulin positif kepada seorang dengan tuberkulin negatif. Tuberkulin positif
mempunyai anti pada infeksi sebelumnya dengan Mycobacterium, akan tetapi tidak
menunjukan bahwa penyakitnya dalam keadaan aktif kecuali hasil tes positif pada anak-
anak.
Sifat-sifat pertumbuhan
Tuberkulosis sering dijuluki the great imitator yaitu suatu penyakit yang
mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum
seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga
diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik.
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan gejala
sistemik:
[7]
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering
dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah
bila sudah ada kerusakan jaringan.
b. Batuk Darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau
bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk
darah terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung
dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
c. Sesak Napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-
hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.
d. Nyeri Dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul
apabila sistem persarafan di pleura terkena.
a. Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari
miripdemam influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang
masa bebas serangan makin pendek.
Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta
malaise.Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi
penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul
menyerupai gejala pneumonia.
Kita harus memastikan bahwa perdarahan dari nasofaring dengan cara membedakan ciri-ciri
sebagai berikut :
[8]
1) Batuk darah
2) Muntah darah
3) Epistaksis
Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru selain TBC. Oleh
sebab itu orang yang datang dengan gejala diatas harus dianggap sebagai seorang suspek
tuberkulosis atau tersangka penderita TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung. Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala
sama, harus diperiksa dahaknya.
Komplikasi
Penyakit TB Paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi,
diantaranya :
2. Pleuritis tuberkulosa
3. Efusi pleura
[9]
4. Tuberkulosa milier
5. Meningitis tuberkulosa
2) Pemeriksaan tuberculin
[10]
Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin
positif 100%, umur 12 tahun 92%, 24 tahun 78%, 46 tahun 75%, dan umur 612 tahun
51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji
tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun
sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux
umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke
dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur
diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.
Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan adanya suatu lesi
sebelum ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan fisik
menemukan kelainan pada paru. Bila pemeriksaan rontgen menemukan suatu kelainan,
tidak ada gambaran khusus mengenai TB paru awal kecuali di lobus bawah dan biasanya
berada di sekitar hilus. Karakteristik kelainan ini terlihat sebagai daerah bergaris-garis
opaque yang ukurannya bervariasi dengan batas lesi yang tidak jelas. Kriteria yang kabur dan
gambar yang kurang jelas ini sering diduga sebagai pneumonia atau suatu proses edukatif,
yang akan tampak lebih jelas dengan pemberian kontras.
4) Pemeriksaan CT Scan
Sebagaimana pemeriksaan Rontgen thoraks, penentuan bahwa kelainan inaktif tidak dapat
hanya berdasarkan pada temuan CT scan pada pemeriksaan tunggal, namun selalu
dihubungkan dengan kultur sputum yang negatif dan pemeriksaan secara serial setiap saat.
Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk mendeteksi adanya pembentukan kavasitas
dan lebih dapat diandalkan daripada pemeriksaan Rontgen thoraks biasa.
[11]
TB paru milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru milier akut dan TB paru milier
subakut (kronis). Penyebaran milier terjadi setelah infeksi primer. TB milier akut diikuti oleh
invasi pembuluh darah secara masif/menyeluruh serta mengakibatkan penyakit akut yang
berat dan sering disertai akibat yang fatal sebelum penggunaan OAT. Hasil pemeriksaan
rontgen thoraks bergantung pada ukuran dan jumlah tuberkel milier. Nodul-nodul dapat
terlihat pada rontgen akibat tumpang tindih dengan lesi parenkim sehingga cukup terlihat
sebagai nodul-nodul kecil. Pada beberapa klien, didapat bentuk berupa granul-granul halus
atau nodul-nodul yang sangat kecil yang menyebar secara difus di kedua lapangan paru.
Pada saat lesi mulai bersih, terlihat gambaran nodul-nodul halus yang tak terhitung
banyaknya dan masing-masing berupa garis-garis tajam.
6) Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan
penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes tuberkulin, klinis, dan
radiologis. Bila tes tuberkulin positif, maka pemeriksaan radiologis foto thorax diulang pada
6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti
terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan diberikan kemoprofilaksis.
3. Vaksinasi BCG
4. Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan dengan tujuan
menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit. Indikasi
kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi yang menyusu pada ibu dengan BTA positif,
[12]
sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan bagi kelompok berikut: bayi di bawah lima
tahun dengan hasil tes tuberkulin positif karena resiko timbulnya TB milier dan meningitis
TB, anak dan remaja di bawah 20 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif yang bergaul erat
dengan penderita TB yang menular, individu yang menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin
dari negatif menjadi positif, penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat
imunosupresif jangka panjang, penderita diabetes mellitus.
5. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis kepada masyarakat
di tingkat Puskesmas maupun di tingkat rumah sakit oleh petugas pemerintah maupun
petugas LSM (misalnya Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonsia PPTI).
Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah sebanyak-
banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat bakterisidal. Selama fase intensif
yang biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan
klinis. Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien
dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan.
Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society, fase awal
diberikan selama 2 bulan yaitu INH 5 mg/kgBB, Rifampisin 10 mg/kgBB, Pirazinamid 35
mg/kgBB dan Etambutol 15 mg/kgBB.
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih
panjang. Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama fase lanjutan akan
mengurangi resiko terjadinya resistensi selektif. Menurut The Joint Tuberculosis Committee
of the British Thoracic Society fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH dan Rifampisin untuk
[13]
tuberkulosis paru dan ekstra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan resistensi
terhadap INH.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian
a. Identitas
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama,
pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan
penanggung biaya.
[14]
b. Riwayat Kesehatan
3. Sesak napas : bila sudah lanjut di mana infiltrasi radang sampai setengah paru-paru
4. Nyeri dada : jarang ditemukan, nyeri akan timbul bila infiltrasi radang sampai ke
pleura sehingga menimbulkan pleuritis
6. Sianosis, sesak napas, dan kolaps merupakan gejala atelektasis. Bagian dada pasien
tidak bergerak pada saat bernapas dan jantung terdorong ke sisi yang sakit. Pada foto
toraks, pada sisi yang sakit tampak bayangan hitam dan diafragma menonjol ke atas.
7. Perlu ditanyakan dengan siapa pasien tinggal, karena biasanya penyakit ini muncul
bukan karena sebagai penyakit keturunan tetapi merupakan penyakit infeksi menular
Provoking Incident : apakah ada peristiwa yang menjadi faktor penyebab sesak napas,
apakah sesak napas berkurang apabila beristirahat?
Quality of Pain : seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan atau digambarkan klien,
apakah rasa sesaknya seperti tercekik atau susah dalam melakukan inspirasi atau kesulitan
dalam mencari posisi yang enak dalam melakukan pernapasan ?
Time : berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari, apakah gejala timbul mendadak, perlahan-lahan atau seketika
itu juga, apakah timbul gejala secara terus-menerus atau hilang timbul (intermitten), apa
yang sedang dilakukan klien saat gejala timbul, lama timbulnya (durasi), kapan gejala
tersebut pertama kali timbul (onset).
[15]
Riwayat Penyakit Dahulu
Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu menanyakan apakah
penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi
penularan di dalam rumah.
c. Pengkajian Psiko-Sosio-Spiritual
d. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi pemerikasaan fisik umum per
system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2
(Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone) serta pemeriksaan yang focus
pada B2 dengan pemeriksaan menyeluruh system pernapasan.
Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan secara selintas pandang
dengan menilai keadaaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu di nilai secara umum
tentang kesadaran klien yang terdiri atas compos mentis, apatis, somnolen, sopor,
soporokoma, atau koma. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru
biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat
apabila disertai sesak napas, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan
[16]
suhu tubuh dan frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya
penyulit seperti hipertensi.
B1 (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan pemeriksaan fokus yang
terdiri atas inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Inspeksi
Bentuk dada dan pergerakan pernapasan. Sekilas pandang klien dengan TB paru
biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada
antero-posterior dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit dari TB paru
seperti adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat adanya ketidaksimetrian rongga dada,
pelebar intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. TB paru yang disertai atelektasis paru
membuat bentuk dada menjadi tidak simetris, yang membuat penderitanya mengalami
penyempitan intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. Pada klien dengan TB paru minimal
dan tanpa komplikasi, biasanya gerakan pernapasan tidak mengalami perubahan. Meskipun
demikian, jika terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru
biasanya klien akan terlihat mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi napas, dan
menggunakan otot bantu napas.
Batuk dan sputum. Saat melakukan pengkajian batuk pada klien dengan TB paru,
biasanya didapatkan batuk produktif yang disertai adanya peningkatan produksi secret dan
sekresi sputum yang purulen. Periksa jumlah produksi sputum, terutama apabila TB paru
disertai adanya brokhiektasis yang membuat klien akan mengalami peningkatan produksi
sputum yang sangat banyak. Perawat perlu mengukur jumlah produksi sputum per hari
sebagai penunjang evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang telah diberikan.
Palpasi
Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika perawat meletakkan
tangannya di dada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran
dalam laring arah distal sepanjang pohon bronchial untuk membuat dinding dada dalam
gerakan resonan, teerutama pada bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada
dinding dada disebut taktil fremitus.
Perkusi
[17]
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan
resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien dengan TB paru yang disertai
komplikasi seperti efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang
sesuai banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai pneumothoraks, maka
didapatkan bunyi hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong
posisiparu ke sisi yang sehat.
Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi) pada sisi yang
sakit. Penting bagi perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah
mana didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika klien berbica
disebut sebagai resonan vokal. Klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi
pleura dan pneumopthoraks akan didapatkan penurunan resonan vocal pada sisi yang sakit.
B2 (Blood)
Auskultasi : Tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak
didapatkan.
B3 (Brain)
B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena
itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal
dari syok. Klien diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga pekat dan
berbau yang menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi karena meminum OAT
terutama fifampisin.
[18]
B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat
badan.
B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB paru. Gejala yang
muncul antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, jadwal olahraga
menjadi tak teratur.
e. Pemeriksaan Tambahan
2. Ziehl Neelsen ( Acid-fast staind applied to smear of body fluid ) positif untuk BTA.
3. SKIN TEST ( PPD, mantoux, tine, and vollmer patch ) : reaksi positif/area industri
10mm atau lebih, timbul 48-72 jam setelah injeksi antigen intradermal,
mengindikasikan infeksi lama dan adanya antibodi, tetapi tidak mengindikasikan
penyakit sedang aktif.
4. Histologi Atau Kultur Jarinngan ( termasuk kumbah lambung, urine dan biopsi
kulit)
[19]
5. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, penurunan gerakan silia, stasis dari sekresi.
1. Bersihan jalan nafas tak efektif b.d sekret kental atau sekret darah, kelemahan, upaya
batuk buruk, edema tracheal atau faringeal ditandai dengan :
Dispnoe
Tujuan :
1. Kebersihan jalan napas efektif.
2. Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
Kriteria hasil :
1. Mencari posisi yang nyaman yang memudahkan peningkatan pertukaran
udara.
2. Mendemontrasikan batuk efektif.
3. Menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi.
INTERVENSI RASIONAL
1. Jelaskan klien tentang kegunaan 1. Pengetahuan yang diharapkan akan
batuk yang efektif dan mengapa membantu mengembangkan
terdapat penumpukan sekret di kepatuhan klien terhadap rencana
saluran pernapasan. teraupetik.
2. Ajarkan klien tentang metode yang 2. Batuk yang tidak terkontrol adalah
tepat pengontrolan batuk. melelahkan dan tidak efektif,
menyebabkan frustasi.
3. Napas dalam dan perlahan saat
duduk setegak mungkin. 3. Memungkinkan ekspansi paru lebih
luas.
4. Lakukan pernapasan diafragma.
4. Pernapasan diafragma menurunkan
5. Tahan napas selama 3 5 detik
frek. napas dan meningkatkan
kemudian secara perlahan-lahan,
ventilasi alveolar.
keluarkan sebanyak mungkin melalui
mulut. Lakukan napas ke dua , tahan 5. Meningkatkan volume udara dalam
dan batukkan dari dada dengan paru mempermudah pengeluaran
melakukan 2 batuk pendek dan kuat. sekresi sekret.
[20]
6. Auskultasi paru sebelum dan sesudah 6. Pengkajian ini membantu
klien batuk. mengevaluasi keefektifan upaya
batuk klien.
7. Dorong atau berikan perawatan
mulut yang baik setelah batuk. 7. Hiegene mulut yang baik
meningkatkan rasa kesejahteraan dan
8. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain
mencegah bau mulut.
INTERVENSI RASIONAL
1. Berikan posisi yang nyaman, biasanya 1. Posisi membantu memaksimalkan
dengan peninggian kepala tempat ekspansi paru dan menurunkan
tidur, Balik ke sisi yang sakit, Dorong upaya pernafasan, ventilasi meksimal
klien untuk duduk sebanyak mungkin. membuka area atelektasis dan
meningkatkan gerakan sekret
2. Observasi fungsi pernapasan, catat
kedalam jalan nafas besar untuk
frekuensi pernapasan, dispnea atau
dikeluarkan.
perubahan tanda-tanda vital.
2. Distress pernapasan dan perubahan
3. Jelaskan pada klien tentang
pada tanda vital dapat terjadi sebagai
etiologi/faktor pencetus adanya sesak
akibat stress fisiologi dan nyeri atau
atau kolaps paru-paru.
dapat menunjukkan terjadinya syock
sehubungan dengan hipoksia.
Kriteria hasil : 1. Menyebutkan makanan mana yang tinggi protein dan kalori
2. Menu makanan yang disajikan habis
3. Peningkatan berat badan tanpa peningkatan edema
[21]
INTERVENSI RASIONAL
1. Diskusikan penyebab anoreksia, 1. Dengan membantu klien memahami
dispnea dan mual. kondisi dapat menurunkan ansietas
dan dapat membantu memperbaiki
2. Ajarkan dan bantu klien untuk
kepatuhan teraupetik.
istirahat sebelum makan.
2. Keletihan berlanjut menurunkan
3. Tawarkan makan sedikit tapi sering
keinginan untuk makan.
(enam kali sehari plus tambahan).
3. Peningkatan tekanan intra abdomen
4. Atur makanan dengan protein/kalori dapat menurunkan/menekan saluran
tinggi yang disajikan pada waktu klien GI dan menurunkan kapasitas.
merasa paling suka untuk
memakannya 4. Ini meningkatkan kemungkinan klien
mengkonsumsi jumlah protein dan
kalori adekuat.
INTERVENSI RASIONAL
1. Mempertahankan keseimbangan 1. Cairan dalam tubuh sangat penting
cairan dalam tubuh dengan guna menjaga homeostasis
pemasangan infus. (keseimbangan) tubuh, Apabila suhu
tubuh meningkat maka tubuh akan
2. Monitoring perubahan suhu tubuh.
kehilangan cairan lebih banyak.
3. Kolaborasi dengan dokter dalam
2. Suhu tubuh harus dipantau secara
pemberian antibiotik guna
efektif guna mengetahui
mengurangi proses peradangan
perkembangan dan kemajuan dari
(inflamasi).
pasien.
5. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer,
penurunan gerakan silia, stasis dari sekresi.
Tujuan& kriteria :
1. Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko
penyebaran infeksi.
2. Menunjukkan/melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan
lingkungan yang.aman.
INTERVENSI RASIONAL
1. Review patologi penyakit fase 1. Membantu pasien agar mau mengerti
aktif/tidak aktif, penyebaran infeksi dan menerima terapi yang diberikan
melalui bronkus pada jaringan untuk mencegah komplikasi.
sekitarnya atau aliran darah atau
2. Orang-orang yang beresiko perlu
sistem limfe dan resiko infeksi melalui
program terapi obat untuk mencegah
batuk, bersin, meludah.
penyebaran infeksi.
2. Identifikasi orang-orang yang
3. Kebiasaan ini untuk mencegah
beresiko terkena infeksi seperti
terjadinya penularan infeksi.
anggota keluarga, teman, orang
dalam satu perkumpulan. 4. Untuk mengawasi keefektifan obat
dan efeknya serta respon pasien
3. Anjurkan pasien menutup mulut dan
terhadap terapi.
membuang dahak di tempat
penampungan yang tertutup jika
5. INH adalah obat pilihan bagi penyakit
batuk.
Tuberkulosis primer dikombinasikan
4. Monitor sputum BTA dengan obat- obat lainnya.
Pengobatan jangka pendek INH dan
5. Pemberian terapi INH, etambutol, Rifampisin selama 9 bulan dan
Rifampisin. Etambutol untuk 2 bulan pertama.
[23]
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Ketika seorang klien TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak sengaja
keluarlah droplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar
matahari atau suhu udara yang panas, droplet nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet
bakteri ke udara dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkolosis yang
terkandung dalam droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh orang
sehat, maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri tuberkolosis.
4.2 SARAN
[24]
1. Hendaknya mewaspadai terhadap droplet yang dikeluarkan oleh klien dengan TB paru
karena merupakan media penularan bakteri tuberkulosis.
2. Memeriksakan dengan segera apabila terjadi tanda-tanda dan gejala adanya TB paru.
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Sudoyo, Aruw. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
Soeparman dan sarwono Waspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam jilid 2. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
http://www.rajawana.com/artikel/kesehatan/264-tuberculosis-paru-tb-paru.html diakses
pada tanggal 16 November 2010
[25]
sumber : http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35527-Kep%20Respirasi-Askep
%20TB%20Paru.html
[26]