Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
PENDAHULUAN
Atrial fibrilasi adalah salah satu kasus aritmia jantung yang sering terjadi dan
insidensinya berhubungan dengan usia. Atrial fibrilasi mempengaruhi setidaknya 1%
dari pasien yang berusia kurang dari 60 tahun dan 8% pada pasien yang berusia lebih
1,2,3
dari 80 tahun. Pada prevalensi umum AF, terdapat peningkatan seiring dengan
bertambahnya usia, yaitu sekitar 1-2%. Pada usia kurang dari 50 tahun prevalensi AF
kurang lebih berkisar pada nilai presentase 1 % dan kemudian meningkat menjadi 9%
pada usia 80 tahun. AF lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan dengan
wanita, walaupun sebenarnya tidak ada kepustakaan yang mengatakan adanya
perbedaan yang relevan antara jenis kelamin pria dengan wanita yang mempengaruhi
prevalensi AF.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Aritmia merupakan irama jantung abnormal yang bukan berasal dari nodus
SA(Sino-Atrial), irama tidak teatur walaupun berasal dari nodus SA, Frekuensi
kurang dari 60x/menit atau lebih dari 100x/menit dan terjadi hambatan impuls dari
supra atau intraventikular.
Etiologi
a. Idiophatic, ditemukan pada hampir 50% yang biasa terjadi pada bayi
daripada anak
b. Sindrom Wolf Parkinson (WPW) terdapat pada 10-20% kasus dan terjadi
hanya setelah konversi menjadi sinus aritmia. Sindrom WPW adalah suatu
sindrom dengan interval PR yang pendek dan interval QRS yang lebar
disebabkan oleh hubungan langsung antara atrium dan ventrikel melalui
jaras tamahan
Penatalaksanaan
2. Adnosin
Adenosin merupakan obat lini pertamadalam terapi TSV efektifitas obat ini
mencapai 90% kasus, Adenosisn diberikan dengan cara Bolus Intra Vena diikuti
dengan flush saline, pemberian 6mg bolu IV cepat yang diikuti dengan bolus cairn
jika tidak adarespon dalam 1-2menit, berikan 12 mg (waktu paruh kurang dari 5
detik, tidak ada akumulasi risiko) pada sebagian pasien diberikan digitalisasi
untuk mencegah takikardi berulang.
Efek samping obat ini dapat berupa nyeri dada ,dispnea, facial flushing, dan
terjadinya A-V Bloks,Bradikard dapat terjadi dapat terjadi padapasien dengan
fungsi sinus node, gangguan konduksi A-V atau setelah pemberian obat lain yang
mempengaruhi A-V node(seperti B-Blocker,Calcium hanel blocker, amiodaron)
Adenosin bisa menyebabkan brokokontriksi pada pasien yang memiliki riayat
asma.
3. Verapamil
Obat ini juga tersedia untuk penanganan segera SVT, akan tetapi saat ini
mulai jarang digunakan karena efek sampingnya. Obat ini mulai bekerja 2 sampai
3 menit, dan bersifat menurunkan cardiac output. Banyak laporan terjadinya
hipotensi berat dan henti jantung. Jika diberikan verapamil, persiapan untuk
mengantisipasi hipotensi harus disiapkan seperti kalsium klorida (10 mg/kg),
cairan infus, dan obat vasopressor seperti dopamin. Tidak ada bukti bahwa
verapamil efektif mengatasi ventrikular takikardi pada kasus-kasus yang tidak
memberikan respon dengan adenosine.
4. Prokainamid.
Pada pasien AVRT atau AVNRT, prokainamid mungkin juga efektif. Obat
ini bekerja memblok konduksi pada jaras tambahan atau pada konduksi retrograd
pada jalur cepat pada sirkuit reentry di nodus AV. Hipotensi juga sering
dilaporkan pada saat loading dose diberikan. Dosis oral yang biasa diberikan
berkisar antara 40-100 mg/kg/hari terbagi dalam 4-6 dosis. Dosis awal untuk
intravena yang dapat ditoleransi adalah 5-15 mg/kg, sedangkan untuk dosis
pemeliharaan dapat menggunakan 40-100 mcg/kg/menit
5. Digoksin
Dilaporkan juga efektif untuk mengobati kebanyakan SVT pada anak.
Digoksin tidak digunakan lagi untuk penghentian segera SVT dan sebaiknya
dihindari pada anak yang lebih besar dengan WPW sindrom karena ada risiko
percepatan konduksi pada jaras tambahan. Digitalisasi dipakai pada pasien tanpa
gagal jantung kongestif.
a. Medikamentosa
Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan terapi jangka panjang karena
umumnya tanda yang menonjol adalah takikardi dengan dengan gejala klinis
ringan dan serangan yang jarang dan tidak dikaitkan dengan preeksitasi.
Pasien yang sensitif terhadap pengobatan adenosine dapat diberikan long
acting β blocker, yang telah terbukti aman digunakan dan tidak membutuhkan
monitoring spesifik. Pada pasien yang mengalami syok atau sulit untuk dilakukan
kardioversi, dapat diberikan obat-obatan antiaritmia yang lebih kuat, seperti
sotalol, flecainide atau amiodarone yang masing-masing membutuhkan
monitoring intensif. Konsentrasi flecainide dalam darah harus diukur pada
pemberian hari ke tujuh untuk memastikan tidak tercapainya konsentrasi yang
bersifat toksik. Pada pemberian sotalol, harus dilakukan monitoring terhadap
interval QT. Dosis yang diberikan dapat diterima jika interval QT mencapai 0,5
detik. Sotalol memiliki beberapa efek β blocker dan harus diperhatikan
kemungkinan terjadinya disfungsi miokard.
Digoksin kadang-kadang digunakan sebagai obat tambahan yang
dikombinasikan dengan obat-obatan tersebut . Digoksin tidak diunakan sebagai
terapi tunggal karena dianggap kurang efektif. Penggunaannya juga berpotensi
memberikan resiko terjadinya atrial takikardi di masa mendatang. Penggunaan
digoksin dikontraindikasikan untuk pasien dengan Wolff-Parkinson-White (WPW)
karena meningkatkan sifat konduksi dari jalur aksesori dan merupakan
predisposisi untuk mempercepat terjadinya fibrilasi atrium dan kematian
mendadak pada pasien.
Pada pasien dengan serangan yang sering dan berusia di atas 5 tahun,
radiofrequency ablasi catheter merupakan pengobatan pilihan. Pasien yang
menunjukkan takikardi pada kelompok umur ini umumnya takikardinya tidak
mungkin mengalami resolusi sendiri dan umunya tidak tahan atau kepatuhannya
kurang dengan pengobatan medikamentosa. Terapi ablasi dapat dilakukan bila
SVT refrakter terhadap obat anti aritmia atau ada potensi efek samping obat pada
pemakaian jangka panjang. Pada tahun-tahun sebelumnya, alternatif terhadap
pasien dengan aritmia yang refrakter dan mengancam kehidupan hanyalah dengan
anti takikardi pace maker atau ablasi pembedahan.
b. Ablasi Kateter
Prosedur elektrofisiologi hampir selalu diikuti oleh tindakan kuratif
berupa ablasi kateter. Ablasi kateter pertama sekali diperkenalkan oleh Gallagher
dkk tahun 1982. Sebelum tahun 1989 ablasi kateter dilakukan dengan sumber
energi arus langsung yang tinggi (high energy direct current) berupa DC Shock
menggunakan kateter elektroda multipolar yang diletakkan di jantung. Karena
pemberian energi dengan jumlah tinggi dan tidak terlokalisasi maka banyak
timbul komplikasi. Saat ini ablasi dilakukan dengan energi radiofrekuensi sekitar
50 watt yang diberikan sekitar 30-60 detik. Energi tersebut diberikan dalam
bentuk gelombang sinusoid dengan frekuensi 500.000 siklus per detik (hertz).
Selama prosedur ablasi radiofrekuensi (ARF) timbul pemanasan resistif
akibat agitasi ionik. Jadi jaringan yang berada di bawah kateter ablasi yang
menjadi sumber energi panas, bukan kateter itu sendiri. Thermal injury adalah
mekanisme utama kerusakan jaringan selama prosedur ARF. Meningkatnya suhu
jaringan menyebabkan denaturasi dan evaporasi cairan yang kemudian
menimbulkan kerusakan jaringan lebih lanjut dan koagulasi jaringan dan darah.
Kerusakan jaringan permanen timbul pada temperatur sekitar 50 derajat celsius.
Prosedur ARF adalah prosedur invasif minimal dengan memasukkan
kateter ukuran 4-8 mm secara intravaskular (umumnya ke jantung kanan) dengan
panduan sinar X. Biasanya prosedur ini bersamaan dengan pemeriksaan
elektrofisiologi. Selanjutnya kateter ablasi diletakkan pada sirkuit yang penting
dalam mempertahankan kelangsungan aritmia tersebut di luar jaringan konduksi
normal. Bila lokasi yang tepat sudah ditemukan, maka energi radiofrekuensi
diberikan melalui kateter ablasi. Umumnya pasien tidak merasakan adanya rasa
panas tapi kadang-kadang dapat juga dirasakan adanya rasa sakit. Bila tidak
terjadi komplikasi pada pasien, hanya perlu dirawat selama 1 hari bahkan bisa
pulang hari.
Indikasi untuk ARF bergantung pada banyak hal seperti lama dan
frekuensi takikardi, toleransi terhadap gejala, efektivitas dan toleransi terhadap
obat anti aritmia, dan ada tidaknya kelainan struktur jantung. Untuk SVT yang
teratur, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa ARF lebih efektif daripada
obat dalam aspek peningkatan kualitas hidup pasien dan penghematan biaya
daripada obat anti aritmia.
Dari beberapa meta analisis didapatkan angka keberhasilan rata-rata ARF
pada SVT adalah 90-98% dengan angka kekambuhan sekitar 2-5%. Angka
penyulit sekitar 1%. ARF dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama
dibandingkan dengan obat-obatan (Kim, et al., 2012).
c. Pacu Jantung Dan Terapi Bedah
Alat pacu jantung akan segera berfungsi bila terjadi bradikardi hebat. Alat
pacu jantung untuk bayi dan anak yang dapat diprogram secara automatik
(automatic multiprogrammable overdrive pacemaker) akan sangat memudahkan
penggunaannya pada pasien yang memerlukan. Pacu jantung juga dapat dipasang
di ventrikel setelah pemotongan bundel HIS, yaitu pada pasien dengan SVT
automatik yang tidak dapat diatasi. Tindakan ini merupakan pilihan terakhir
setelah tindakan pembedahan langsung gagal.
Tindakan pembedahan dilakukan pertama kali pada pasien sindrom WPW.
Angka keberhasilannya mencapai 90%. Karena memberikan hasil yang sangat
memuaskan, akhir-akhir ini cara ini lebih disukai daripada pengobatan
medikamentosa. Telah dicoba pula tindakan bedah pada SVT yang disebabkan
mekanisme automatik dengan jalan menghilangkan fokus ektopik secara
kriotermik. Gillete tahun 1983 melaporkan satu kasus dengan fokus ektopik di A-
V junctionyang berhasil diatasi dengan tehnik kriotermi dilanjutkan dengan
pemasangann pacu jantung permanen di ventrikel.
Dengan kemajuan di bidang kateter ablasi, tindakan bedah mulai
ditinggalkan. Akan tetapi di beberapa senter kardiologi, kesulitan melakukan
ablasi transkateter dapat diatasi dengan pendekatan bedah dengan menggunakan
tehnik kombinasi insisi dan cryoablation jaringan. Pada saat yang sama adanya
residu kelainan hemodinamik yang menyebabkan hipertensi atrium dan ventrikel
dapat dikoreksi sekaligus.
B. Atrial Fibrilation (AF)
Pengertian kata AF berasal dari fibrillating atau bergetarnya otot-otot
jantung atrium, jadi bukan merupakan suatu kontraksi yang terkoordinasi. Hal
ini sering diidentifikasi dengan peningkatan denyut jantung dan
ketidakteraturan irama jantung. Sedangkan indikator untuk menentukan ada
tidaknya AF adalah tidak adanya gelombang P pada elektrokardiogram (EKG),
yang secara normal ada saat kontraksi atrium yang terkoordinasi,
Atrial fibrilasi didefinisikan sebagai takiaritmia supraventrikular yang
dikarakterisasi dengan aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi. Pada
pemeriksaan EKG dapat ditemukan gelombang fibrilatori yang menggantikan
gelombang P. Gelombang ini berbeda satu sama lainnya seperti berbeda
ukuran, amplitudo dan waktu. Sedangkan kompleks QRS tetap lancip
walaupun ada konduksi abnormal. Respon ventrikular biasanya terjadi secara
cepat sekitar 90 hingga 170 kali per menit.AF seringkali tanpa disertai adanya
gejala, tapi terkadang AF dapat menyebabkan palpitasi, penurunan kesadaran,
nyeri dada dan gagal jantung kongestif. Orang dengan AF biasanya memiliki
peningkatan signifikan risiko stroke (hingga >7 kali populasi umum). Pada
AF, risiko stroke meningkat tinggi, hal ini dikarenakan adanya pembentukan
gumpalan di atrium sehingga menurunkan kemampuan kontraksi jantung,
khususnya pada atrium kiri jantung. Disamping itu, tingkat peningkatan risiko
stroke tergantung juga pada jumlah faktor risiko tambahan. Tetapi, banyak
orang dengan AF memang memiliki faktor risiko tambahan dan AF juga
merupakan penyebab utama dari stroke. Untuk presentase stroke yang berasal
dari AF berkisar 6-24% dari semua stroke iskemik, sedangkan 3-11% dari
mereka yang secara struktural terdiagnosis AF, memiliki jantung yang normal
Faktor Risiko
Etiologi
Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor- faktor, diantaranya
adalah :
a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium
1. Penyakit katup jantung
2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
3. Hipertrofi jantung
4. Kardiomiopati
5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor pulmonal chronic)
6. Tumor intracardiac
b. Proses infiltratif dan inflamasi
1. Pericarditis/miocarditis
2. Amiloidosis dan sarcoidosis
3. Faktor peningkatan usia
c. Proses infeksi
d. Kelainan Endokrin
1. Hipertiroid
2. Feokromositoma
e. Neurogenik
1. Stroke
2. Perdarahan subarachnoid
f. Iskemik Atrium
1. Infark miocardial
g. Obat-obatan
1. Alkohol
2. Kafein
h. Keturunan/ genetic
Tatalaksana
2) Terapi Non-Farmakologik
Kardioversi Eksterna, Kardioversi eksternal dengan DC shock dapat
dilakukan pada setiap AF paroksismal dan AF persisten. Untuk AF sekunder,
seyogyanya penyakit yang mendasari dikoreksi terlebih dahulu. Bilamana AF terjadi
lebih dari 48 jam, maka harus diberikan antikoagulan selama 4 minggu sebelum
kardioversi dan selama 3 minggu setelah kardioversi untuk mencegah terjadinya
stroke akibat emboli. Target antikoagulan adalah INR 2 sampai 3. Konversi dapat
dilakukan tanpa pemberian antikoagulan, bila sebelumnya sudah dipastikan tidak
terdapat trombus dengan transesofageal ekhokardiografi.
Ablasi, Ablasi saat ini dapat dilakukan secara bedah (MAZE procedure) dan
transkateter. ablasi transkateter difokuskan pada vena-vena pulmonalis sebagai
trigger terjadinya AF. Ablasi nodus AV dilakukan pada penderita AF permanen,
sekaligus pemasangan pacu jantung permanen.
Fibrilasi ventrikel ialah irama ventrikel yang chaos dan sama sekali tidak
teratur. Hal ini menyebabkan ventrikel tak dapat berkontraksi dengan cukup
sehingga curah jantung sangat menurun, bahkan sama sekali tidak ada,
sehingga tekanan darah dan nadi tidak bisa diukur, pasien tidak sadar dan bila
tidak segera ditolong akan menyebabkan kematian. Fibrilasi ventrikel paling
sering karena penyakit jantung koroner, terutama infark miokard akut,
penyebab lain intoksikasi digitalis, sindrom QT yang memanjang. Pada pasien
harus secepatnya dilakukan resusitasi jantung paru, yaitu pernapasan buatan
dan pijat jantung dan secepatnyadilakukan direct current countershock dengan
dosis 400 Joules. Pasien juga diberikan Xilokain atau Amiodaron secara
intravena. Pertolongan harus diberikan dalam 2-4 menit, bila tidak terlambat
prognosis cukup baik. Bila sudah lebih dari 5 menit dapat terjadi kerusakan
otak, sehingga walaupun irama jantung kembali normal, mungkin kesadaran
pasien tidak dapat kembali.
Fibrilasi ventrikel mempunyai karakter sebagai berikut :
Irama : Tidak teratur
Frekuensi : Lebih dari 350x/menit sehingga tidak dapat dihitung
Gelombang P : Tidak ada
Interval PR : Tidak ada
Tata laksana
Ventrikular Takikardi (VT) adalah pelepasan impuls yang cepat oleh fokus ektopic di
Ventricel, yang ditandai oleh sederetan denyut Ventrikel . Terdapat 3 atau lebih komplek yang
berasal dari ventrikel secara berurutan dengan laju lebih dari 100x/ menit. Pengaruhnya
terhadap jantung adalah ventrikel yang berdenyut sangat cepat tanpa sempat mengosongkan
dan mengisi darah secara sempurna, Akibatnya sirkulasi darah menjadi tidak cukup.
Terdapat tiga atau lebih premature ventricular contraction atau ventricular extrasistole
dengan laju lebih dari 120 kali/menit. Fokus takikardi dapat berasal dari ventrikel kiri atau
kanan atau akibat dari proses reentry pada salah satu bagian dari berkas cabang (bundle
branch reentry VT). Dari rekaman EKG permukaan VT umumnya memberikan gambaran
EKG dengan ciri kompleks QRS yang lebar (> 0.12 detik )
Etiologi:
Medikasi/ obat-obatan seperti digitalis dan obat anti aritmia, obat-obat anti aritmia
bekerja dengan mempengaruhi proses repolarisasi sel otot jantung. Dosis yang
berlebih akan mengubah repolarisasi sel otot jantung sehingga terjadi gangguan irama
jantung
Sarcoidosis (suatu inflamasi yang mengenai kuloit dan jaringan tubuh lainnya)
Perubahan postur, exercise, emosional (stress) atau stimulasi vagal
Respon terkait gaya hidup ( kafein, alkohol nikotin, metamfetamin/kokain)
Faktor resiko ventrikel takikardi
Manifestasi klinik
ETIOLOGI
(IMA, Iskemik miokard, jantung koroner, kardiomiopati)
↓Suplai darah
ke jantung
Frekuensi jantung
Kecepatan pengisian meningkat
Nyeri impuls ke ventrikel
VENTRIKEL TAKIKARDI
↓ ATP
Vasokontraksi ↑
Ketidakefektifan ventrikel untuk terisi
dan berkontraksi memompa darah
fatique
Penatalaksanaan
a. Farmakologi
1. Amiodaron
Amiodaran adalah obat anti-arrhythmic yang mempengaruhi irama
detak jantung. Amiodarone digunakan untuk membantu menjaga jantung
berdetak dengan normal pada orang yang memiliki gangguan irama jantung
tertentu pada bilik jantungnya (bilik jantung yang lebih kecil yang
membiarkan darah mengalir keluar jantung).
2. Epinephrine
Epinephrine adalah obat yang digunakan untuk penyuntikan pembuluh
darah dalam pengobatan hipersensitivitas akut. Aksi epinephrine menyerupai
pengaruh stimulasi syaraf adrenergic.
3. Lidocaine
Lidocaine adalah anastesi lokal jenis amide dan umumnya digunakan
sebagai anti-arrhythmic yang menggunakan pengaruhnya pada axon syaraf
sodium channels, untuk mencegah depolarisasi
b. Non farmakologi
RJP (resusitasi jantung paru) adalah tindakan yang di lakukan untuk mengatasi
henti nafas dan henti jantung.
Disinkronisasi kardioversi/ Defibrilasi, terapi dengan memberikan aliran listrik
ke jantung pasien dengan tujuan koordinasi listrik jantung dan mekanisme
pemompaan di tunjukan dengan membaiknya cardiak output, perfusi jaringan
dan oksigenasi.
Intubasi endotrakeal.
DAFTAR PUSTAKA
Chun, T. U. H. & Van Hare, G. F., 2010. Advances in the approach to treatment of
supraventricular tachycardia in population. Current Cardiology Reports, Volume 6, pp. 322-
326.
Dubin, A., 2012. Cardiac arrhythmias. In: R. Kliegmann, R. Behrmann, H. Jenson &
B. Stanton, eds. Philadelphia: Saunders, Elsevier, pp. 1942-1950.
Iyer, V. R., 2013. Drug Therapy Considerations in Arrhythmias. Indian Pacing and
Electrophysiology Journal, Volume 8 (3), pp. 202-210.
Kannankeril, P. & Fish, F., 2011. Disorders of Cardiac Rhythm and Conduction. In: ,
eds. . 7th ed.. In: H. Allen, D. Driscoll, R. Shaddy & T. Feltes, eds. Moss and Adams' Heart
Disease in Infants, Children, and Adolescents: Including the Fetus and Young Adults 7th Ed.
Philadelphia: Lippincott, Williams and Wilkins, pp. 293-342.
Kantoch, M. J., 2011. Supraventricular tachycardia. Indian Journal, Volume 72, pp. 609-619.
Kim, Y. H., Park, H.-S., Hyun, M. C. & Kim, Y.-N., 2012. Tachyarrhythmia and
Radiofrequency Catheter Ablation: Results From 1993 to 2011. Korean Circulation Journal,
Volume 42, pp. 735-740.
Wong, K. K., Potts, J. E., Etheridge, S. P. & Sanatani, S., 2012. Medications used to
manage supraventricular tachycardia: A North American Survey. Cardiology, Volume 27, pp.
199-203.