Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
DISUSUN OLEH :
Kelompok III
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui konsep asuhan keperawatan pada klien dengan sufokasi dan drowning.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian sufokasi dan drowning
b. Mengetahui etiologi sufokasi dan drowning
c. Mengetahui klasifikasi dari sufokasi dan drowning
d. Mengetahui pencegahan dan penatalaksaanaan sufokasi dan drowning
e. Mengetahui WOC sufokasi dan drowning
f. Mengetahui asuhan keperawatan sufokasi dan drowning
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Sebagai bahan pembelajaran bagi mahasiswa keperawatan, perawat dan petugas
kesehatan lain dalam memberikan asuhan keperawatan pada kasus sufokasi.
1.3.2 Manfaat Praktis
Sebagai pedoman bagi mahasiswa keperawatan, perawat dan petugas kesehatan lain
dalam memberikan asuhan keperawatan pada kasus sufokasi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. S
a
l
u
ran Pernafasan Bagian Atas
a) Rongga Hidung
Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat banyak mengandung
vaskular yang disebut mukosa hidung. Lendir disekresi secara terus menerus oleh
sel – sel goblet yang melapisi permukaan mukosa hidung dan bergerak ke belakang
ke nasofaring oleh gerakan silia. Hidung berfungsi sebagai penyaring kotoran,
melembabkan serta menghangatkan udara yang dihirup ke dalam paru – paru.
b) Faring
Adalah struktur yang menghubungkan hidung dengan rongga mulut ke laring.
Faring dibagi menjadi tiga region ; nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Fungsi
utamanya adalah untuk menyediakan saluran pada traktus respiratoriun dan
digestif.
c) Laring
Adalah struktur epitel kartilago yang menghubungkan faring dan trakhea. Fungsi
utamanya adalah untuk memungkinkan terjadinya lokalisasi. Laring juga
melindungi jalan nafas bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk.
2. Saluran Pernafasan Bagian Bawah
a) Trakea
Disokong oleh cincin tulang rawan yang berbentuk seperti sepatu kuda yang
panjangnya kurang lebih 5 inci, tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus
utama kiri dan kanan dikenal sebagai karina. Karina memiliki banyak saraf dan
dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika dirangsang.
b) Bronkus
Bronkus terdiri atas 2 bagian yaitu bronkus kanan dan kiri. Bronkus kanan lebih
pendek dan lebar, merupakan kelanjutan dari trakhea yang arahnya hampir vertikal.
Bronkus kiri lebih panjang dan lebih sempit, merupakan kelanjutan dari trakhea
dengan sudut yang lebih tajam. Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang
menjadi bronkus lobaris kemudian bronkus segmentaliis. Bronkus dan bronkiolus
dilapisi oleh sel – sel yang permukaannya dilapisi oleh rambut pendek yang disebut
silia, yang berfungsi untuk mengeluarkan lendir dan benda asing menjauhi paru
menuju laring. Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis
yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus terminalis kemudian
menjadi bronkiolus respiratori yang menjadi saluran transisional antara jalan udara
konduksi dan jalan udara pertukaran gas.
c) Alveoli
Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli. Terdapat tiga jenis sel – sel alveolar,
sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang membentuk dinding alveolar. Sel alveolar
tipe II sel – sel yang aktif secara metabolik, mensekresi surfactan, suatu fosfolipid
yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel
alveolar tipe III adalah makrofag yang merupakan sel – sel fagositosis yang besar
yang memakan benda asing dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan penting.
B. Etiologi
Menurut Bardale (2011) etiologi dari sufokasi, yaitu:
1. Kekurangan oksigen di udara (environmental suffovcation), contoh: Keracunan gas
CO, CO2, SO2, dll.
2. Plastic bag suffocation
3. Obstruksi pada saluran pernafasan (bukan disebabkan kompresi pada leher dan
drowning)
Menurut Wong (2008) penyebab sufokasi pada anak, adalah:
1. Balon Lateks, apakah digelembungkan sebagian atau tidak digelembungkan, atau
pecah.
2. Bayi yang diletakkan di tempat tidur dengan selimut dan sprei yang dimasukkan ke
dalam kasur dan terperangkapdi bawah selimut dan tidak bias membebaskan diri.
3. Bantal bayi yang diisi manik – manik busa plastic yang menyerupai kantong
kacang kecil juga berbahaya, bayi yang sangat kecil dapat mengalami sufokasi bila
bantal menyesuaikan bentuk wajah dan menghambat jalan nafas.
4. Ada potensi bahaya jika orang dewasa tidur bersama bayi kecil karena bayi bisa
saja berguling dan mendekap bayi.
5. Bayi dapat terjepit jika kepala terperangkap diantara pagar pagar tempat tidur dan
kasur atau benda lain dekat tempat tidur.
6. Tempat bermain atau tempat tidur dengan jaring – jarring di samping dapat
menyebabkan kematian bila dipasang pada posisi rendah, bayi dapat mengalami
sufokasi ketika mereka terjatuh dari ujung kasur dan kepala atau dada dapat terjepit
di antara papan lantai dan sisi jarring.
7. Kantung plastic besar yang digunakan untuk pakaian yang sangat rigan dapat
dengan mudah dan cepat terbungkus oleh kepala bayi yang aktifatau menekan
wajah. Anak yang lebih besar dapat bermain dengan kantung plastic secara tidak
sengaja menariknya ke kepala mereka, Karena plastic tidak berpori, sufokasi dapat
terjadi dalam hitungan menit.
8. Tali (gorden atau tirai jendela) terletak di dekat bayi atau diikatkan ke leher bayi,
serbet makan, dot yang digantungkan ke leher bayi, mainan yang ada talinya
seperti telefon sangat berbahaya karena tali dapat mengikat sekeliling leher bayi
atau anak dapat terjerat.
9. Anak usia toddler dapat memanjat ke dalam peralatan yang sudah tua (misal:
lemari es, oven, dll) dan jika mereka menutupnya mereka dapat terperangkap di
dalamnya.
10. Anak usia toddler bisa juga mengalami sufokasi secara tidak sengaja ke kepala atau
leher.
11. Tali jaket atau kerudung dapat menyebabkan tercekik dan sufokasi.
12. Penyebab lain kematian akibat asfiksia traumatic adalah akibat pintu garasi yang
dioperasikan dengan listrik, anak kecil yang bermain bisa terperangkap di bawah
pintu.
C. Patofisiologi
Sufokasi adalah asfiksia dimana pasokan oksigen tidak memadai di lingkungan
sekitarnya dan gagal mencapai aliran darah. Sufokasi meliputi pembekapan
(smoothering), seperti kepala korban ditutupi dengan kantong plastik atau dibekap
dengan bantal sehingga terjadi obstruksi atau oklusi jalan napas eksternal yang
menyebabkan penekanan eksternal pada dada atau trakea. Hal ini dapat juga disebut
sebagai sufokasi mekanik. Keracunan gas dapat terjadi akibat dari kelebihan karbon
dioksida. Sebab kematian pada peristiwa sufokasi, biasanya merupakan kombinasi dari
hipoksia, keracunan CO2 dan hawa panas (Stewart, 2012).
D. Klasifikasi
Klasifikasi sufokasi menurut James et all (2003) dibedakan menjadi 2, yaitu:
Klasifikasi 1
1. External (Mechanical Obstruction)
Sufokasi eksternal mencakup semua proses pernafasan yang mengalami obstruksi
atau restriksi pada saluran pernafasan. Contoh: smothering, choking, asfiksia
traumatik, throttling, strangulation, dan cafe coronary.
Smothering
Smothering adalah bentuk asfiksia yang disebabkan oleh oklusi mekanis pada
saluran pernasan bagian luar (hidung dan mulut). Kematian pada smothering
disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran uadara, seperti mulut dan
hidung dibekap oleh tangan, baju, bantal, handuk, dll (Bardale, 2011).
Autopsy Finding:
- Pucat di area mulut dan hidung yang disebabkan karena tekanan dari objek
yang menghalangi jalan masuk udara.
- Wajah dapat menunjukkan kongesti dan/atau peteki hemoragic. Pada beberapa
kasus terdapat abrasi, scratches / goresan, atau kontusio.
- Jika obyek yang digunakan merupakan bahan yang lembut, tidak terlihat injuri
pada area dekat mulut dan lubang hidung. Namun, objek masih tersisa di
saliva, darah, dan mukosa sel.
- Terdapat kontusio pada bibir, gusi, dan lidah.
Choking
Choking diartikan sebagai obstruksi saluran pernafasan yang berasal dari dalam.
Choking terjadi sebagai dampak dari benda asing yang masuk ke saluran
pernafasan, seperi tulang ikan, koin, kapas, cacing gelang, atificial teeth, dll.
Benda asing merangsang spasme laring sehingga menutup keluar masuknya
ydara. Bahkan benda asing sekecil apa pun dapat merangsang spasme laring yang
menimbulkan kematian. Penyakit-penyakit tertentu juga dapat menyebabkan
terjadi choking. Tumor dapat menekan jalan udara untuk masuk. Vomitus dapat
masuk ke saluran pernafasan dan memproduksi spasme pada laring (Sharma,
2008).
Asfiksia Traumatik
Asfiksia traumatik merupakan bentuk asfiksia violent yang disebabkan karena
adanya fiksasi mekanik pada thorak sehingga menghalangi perpindahan jalan
nafas (Bardale, 2011).
Penyebab:
1. Thorak dan abdomen mengalami penekanan oleh benda yang menyebabkan
ekspansi pada thorak dan menghalangi pergerakan diafragma. Bisa disebabkan
karena:
- Tertimpa runtuhan bahan bangunan
- Terkubur dalam tanah / batu bara
- Terperangkan di bawah mobil atau kendaraan lainnya.
2. Thorak mengalami penekanan karena tertindih oleh orang lain. Kematian jenis
ini disebut Riot Crush atau Human Pile Death.
Autopsy Findings:
- Peteki hemoragic dan sianosis dari kepala, leher, dan thorak. Peteki hemoragic
juga terlihat di konjungtiva dan kulit periorbital.
- Perdarahan pada pleura. Injury pada dada dapat digambarkan dengan fraktur
tulang rusuk. Paru-paru dan jantung menunjukkan kontusia dan/atau laserasi
Throttling
Kompresi pada leher dengan 1 atau 2 tangan atau menekan leher dengan
menggunakan lengan atas dan bawah didefinisikan sebagai throttling (James et
all, 2003)
Strangling / Strangulation
Strangling atau strangulation mengacu pada pencekikan pada leher dengan
menggunakan tangan. Penyebab kematian pada strangling biasanya karena
adanya kombinasi iskemia dengan kompresi arteri karotis dan obtruksi pernafasan
dengan kompresi dari trakea atau laring (James et all, 2003)
Cafe Coronary
Cafe coronary telah dilaporkan bahwa seseorang yang sedang duduk di cafe atau
bar mengalami kolaps dan kematian. Hal ini seolah orang tersebut mengalami
serangan jantung mendadak. Namun pada pemeriksaan post-mortem, terdapat sisa
makanan atau tulang ikan terlihat di saluran pernafasan yang mengindikasikan
orang tersebut meninggal karena asfiksia dan bukan PJK. Cafe coronary lebih
sering terjadi pada seseorang yang mabuk. Penyebab kematian pada semua kasus
sufokasi adalah asfiksi. Kematian berlangsung antara 5-6 menit (Sharma, 2008).
Klasifikasi 2
1. Global
Hipoksia (Non-Asphyxial)
Global hypozia atau anoxia adalah tidak adanya oksigen yang bisa disebabkan
secara eksternal (misalnya karena kekurangan oksigen saat proses inspirasi dan
restrikse volume udara (adanya kehadiran gas inert)), atau secara internal
(edemaparu, cyan derivatives, atau keraucunan metamoglobinemia atau karbon
monosida), dan adanya penyakit seperti myasthenia gravis (James et all, 2003)
Asphyxial
Global asphyxia mengacu pada retensi CO2 yang menyebabkan peningkatan
aktivitas pernafasan seperti yang terjadi pada drowning, gagging, tension
pneumothorax, restriksi rongga thorax, dan asma (James et all, 2003)
2. Local
Terjadi iskemia karena kurangan oksigen (James et all, 2003).
E. Manifestasi Klinis
Menerut James et all (2003) temuan dan tanda klinis pada klien dengan sufokasi
dibedakan menjadi dua, yaitu
1. Temuan Eksternal
Hipoksia
Peningkatan denyut jantung, peningkatan frekuensi pernapasan, penurunan
tingkat kesadaran. Gangguan kesadaran yang berkembang menjadi koma dan
kematian apabila terjadi hipoksia serebrum (otak) yang berkepanjangan.
Kegagalan organ, termasuk gagal jantung dan gagal ginjal dapat terjadi apabila
hipoksia berkepanjangan.
Cyanosis
Kekurangan oksigen dalam darah mengakibatkan warna hemoglobin menjadi
sangat gelap yang memicu timbulnya kebiruan pada kulit. Sianosis akan timbul di
kulit dan membran mukosa seperti wajah dan kuku.
Congestion dan edema
Wajah perlahan-lahan bengkak yang disebabkan karena kebocoran cairan dari
pembuluh darah dan mengakibatkan edema lokal. Keluarnya cairan dari
vaskularisasi dapat disebabkan oleh kompresi aliran vena dan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah akibat kekurangan suplai oksigen.
Petekie Hemoragic
Petekie hemiragic akan terlihat pada kulit wajah dan membran mukosa. Selain itu
juga dapat terlihat di konjungtiva, subsklera, kulit kelopak mata, membran
mukosa dalam bibir dan sekitar telinga. Petekie hemoragic timbul dalam venula
yang berdinding tipis sebagai akibat dari peningkatan tekanan vena secara
mendadak yang memicu overekstensi dan ruptur.
Perdarahan dari mukosa nasal dan meatus auditorius eksternal
Sufokasi yang disebabkan karena kekerasan akan menimbulkan perdarahan.
2. Temuan Internal
Perdarahan intra-kranial
Edema cerebral
Pulmonary edema
Perdarahan visceral
Fluidity of blood
Kongesti visceral
Pembengkakan jantung kanan
F. Tahap Sufokasi
Tahap terjadinya sufokasi menurut James et all (2003), adalah:
1. Fase dispneu
Terjadi dispneu saat proses ekspirasi dengan peningkatan RR, sianosis, dan
takikardi. Pada fase dispenu dengan peningkatan RR biasanya tidak terjadi pada
sufokasi hypoxic. Berlangsung selama 60 – 80 detik.
2. Fase konvulsif
Kehilangan kesadaran, distress pernafasan, kongesti facial, bradikardi, hipertensi,
dan konvulsi. Durasi selama 2 menit.
3. Pre-terminal Respiratory Pause
Tidak ada aktivitas pernafasan, paralisis saluran nafas dan pusat sirkulasi, takikardi,
hipertensi sistemik. Durasi selama 60-120 detik.
4. Mulai timbul nafas seperti terenga-engah karena reflek primitif pernafasan
5. Akhirnya timbul kehilangan gerakan sistem pernafasan: hilangnya reflek dan dilatasi
pupil. Durasi selama 1-4 menit.
G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Price & Wilson (2005), pengukuran gas darah arteri adalah bukti yang paling
dapat dipercaya pada keadaan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat yang mencakup
PaO2 rendah, pH <7,35 atau dan SaO2 < 90%.
PaO2 : 80-100 mmhg (normal)
60-80 mmHg (hipoksia ringan)
40-60 mmHg (hipoksia sedang)
< 40 mmHg (berat)
H. Penatalaksanaan
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan pada sufokasi khusunya karena choking,
adalah:
Pada Dewasa:
1. Hal pertama yang dilakukan adalah posisikan korban agak condong ke depan dan
berikan 5 tepukan dengan menggunakan telapak tangan di antara kedua bagian bahu
agar mereka dapat batuk
2. Jika korban tidak dapat batuk untuk mengeluarkan benda yang membuat tersedak,
hubungi petugas kesehatan secepat mungkin
3. Jika korban berusia lebih dari 1 tahun, lakukan abdominal thrusts / heimlich
maneuver
4. Berdiri di belakang korban dan lingkarkan lengan penolong di pinggang korban
5. Berikan tekanan di perut korban
6. Perhatikan apakah korban dapat bernafas atau apakah objek sudah dimuntahkan
7. Jika setelah dilakukan 5 thrusts dan benda belum dimuntahkan, selingi dengan
tepukan di punggugng korban
Korban tidak sadar:
1. Bila korban tidak sadar, baringkan korban di lantai / alas yang keras
2. Periksa jalan nafas korban dan lakukan 30 kali kompresi dada.
3. Lakukan kompresi lebih keras untuk menekan dada sekitar 1,5 s/d 2 inci
4. Bila berhasil, penolong segera menghubungi dokter atau petugas medis secepat
mungkin
Pada Bayi:
1. Bila bayi kurang dari 1 tahun, posisikan bayi di atas lutut, posisikan abdomen bayi
berada dibawah dan sepanjang lengan penolong
2. Kepala bayi seharusnya lebih rendah dari dada
3. Pegang kepala bayi tanpa menekan tenggorokan bayi
4. Berikan 5 tepukan pada punggung bayi, di antara kedua bahu bayi
5. Bila tidak berhasil, posisikan bayi menghadap penolong.
6. Lakukan kompresi dada dengan menggunakan dua jari
7. Berikan 5 kali chest thrust dan perhatikan mulut bayi untuk melihat apakah objek
sudah keluar atau belum. Bila sudah, buang dengan pelan-pelan
8. Bila belum, lakukan tepukan pada punggung dan kompresi dada sampai petugas
emergensi datang
9. Bila bayi tidak sadar, lakukan kompresi dada secepatnya
Tindakan 1 Tindakan 2
Tindakan 3
I. Pencegahan
1. Usia 0 – 4 bulan
a) Jauhkan anak dari tempat penyimpanan semua kantung plastic dari jangkauan
bayi, buang kantung plastic besar ke tempat pakaian setelah diikat.
b) Jangan melapisi kasur dengan plastik
c) Gunakan kasur keras dengan selimut longgar tanpa bantal.
d) Pastikan bahwa rancangan tempat tidur harus memenuhi ketentuan dan kasur
terpasang dengan pas dan baik, jeruji tempat tidur paling tidak teripsah < 6cm.
e) Letakkan tempat tidur jauh dari perabotan lain dan jauh dari radiator.
f) Jangan mengikat dot dengan tali keliling leher anak.
g) Lepaskan serbet makan pada waktu tidur.
h) Jangan tinggalkan bayi berumur kurang dari 12 bulan sendirina di kasur orang
dewasa atau anak muda atau di bantal tipe kantong kacang.
2. Usia 4 – 7 bulan
a) Jauhkan semua bahan lateks.
b) Lepaskan semua mainan tempat tidur yang diikat melintasi tempat tidur atau
tempat mainan ketika anak mulai push up apada tangan dan lutut atau ketika
anak telah usia 5 bulan.
c) Hindari penyimpanan sejumlah besar cairan pembersih , cat pestisida, dan
bahan beracun lainnya.
d) Buang wadah beracun yang sudah terapakai.
e) Jangan menyimpan bahan beracun dalam wadah makanan.
3. Usia 8 – 12 bulan
a) Tutup selalu pintu oven, mesin cuci piring, lemari es, lemri pendingin, dan
mesin cuci serta pengeringnya yang memiliki pintu depan pada saat
bersamaan.
b) Bila menyimpan peralatan yang sudah tidak terpakai seperti lemari es,
lepaskan pintunya.
c) Awasi kontak dengan balon yang dapat mengembang, segera buang balon
yang sudah meletus, dan simpan balon yang tidak dapat digembungkan di luar
jangkauan.
4. Masa anak-anak
a) Buanglah bahan – bahan yang sudah lama, jika menyimpan barang yang sudah
lama lepaskan pintunya.
b) Simpan transmitter pintu garasi otomatis di tempat yang tidak bisa dijangkau.
c) Pilih mainan yang aman atau lemari yang tidak memiliki tutup berensel berat.
d) Lepaskan tali tirai venetia di luar jangkauan anak.
e) Lepaskan tali penarik dan pakaian.
WOC SUFOKASI
Penekanan eksternal
pada leher dan dada
MK: Impaired gas Proses ventilasi terganggu
exchange Oksigen tidak dapat
masuk ke paru
MK: Risk of
Asphyxia
Suplai O2 ke paru
menurun
Kerusakan otak Penurunan O2 Gangguan
dalam darah proses ventilasi
Sufokasi
Penurunan Sianosis MK: Clearance
Kesadaran airway ineffective
Hipoksia dan
MK: Risk of Hiperkapnea
decreased tissue
perfusion
J. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Biodata terdiri dari nama, umur, jenis kelamin
Sufokasi banyak terjadi pada anak dibawah umur 14 tahun.
b) Keluhan utama : sulit bernapas.
Riwayat penyakit sekarang : pasien mengalami hipoksia di mana terjadi
peningkatan denyut jantung, peningkatan frekuensi pernapasan, penurunan
tingkat kesadaran. Gangguan kesadaran yang berkembang menjadi koma dan
kematian apabila terjadi hipoksia serebrum (otak) yang berkepanjangan.
c) Riwayat penyakit dahulu : meliputi riwayat medis (kesulitan kognitif, proses
cedera, penurunan kemampuan motorik, penurunan sensasi penciuman),
pembedahan, alergi dan imunisasi.
d) Riwayat kesehatan keluarga : meliputi kondisi kesehatan pada keluarga seperti
hipertensi, diabetes, tuberkulosis, penyakit asma, penyakit mental dan alergi.
e) Lingkungan/ keadaan rumah: kebocoran gas dirumah, tali jemuran yang pendek,
merokok di tempat tidur, penggunaan pemanas yang mudah terbakar tanpa
tersalurkan ke luar lingkungan, memanaskan kendaraan di garasi yang tertutup,
kebiasaan orang dewasa tidur bersama bayi kecil, tempat bermain atau tempat
tidur dengan jaring-jaring disamping dapat menyebabkan kematian dipasang
pada posisi rendah, dot yang digantungkan ke leher bayi, dan pintu garasi yang
dioperasikan dengan listrik.
f) Pengkajian fisik persistem
Breath (B1) :
pernapasan meningkat, sulit bernapas, obstruksi jalan napas atas,
penggunaan otot tambahan, wheezing, hipoksia.
Blood (B2) :
peningkatan denyut jantung, takipnea, pucat, sianosis.
Brain (B3) :
rasa berdenging ditelinga, mengantuk, konfusi, stridor, penurunan
kesadaran.
Bladder (B4) :
BAK normal.
Bowel (B5) :
BAB normal.
Bone (B6) :
Lemah.
2. Diagnosa Keperawatan
a) Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan ventilasi
akibat obstruksi mekanik.
b) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan ketidakadekuatan suplai
oksigen, ventilasi-perfusi
c) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung berhubungan dengan hipoventilasi
d) Risiko asfiksia berhubungan dengan mekanis atau adanya obstuksi fungsional
pada aliran udara
3. Intervensi Keperawatan
a) Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan ventilasi
akibat obstruksi mekanik ditandai dengan adanya obstruksi, adanya benda asing
di saluran nafas, takipnea, takikardi, hipoksemia, gelisah
Tujuan: Dalam waktu 30 menit jalan nafas pasien bebas atau bersih
Kriteria Hasil : saturasi O2 > 95%, tidak ada benda asing di jalan nafas, RR: 16
– 20 x/menit, tidak ada suara tambahan
NOC: Status Respirasi: Airway Patency
NIC: Airway Management
1) Buka jalan nafas pasien
2) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
3) Identifikasi pasien perlu tidaknya pemasangan alat jalan nafas buatan
4) Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
5) Monitor respirasi dan status oksigen
2.3 Drowning
A. Definisi
Drowning didefiniskikan sebagai sebuah gangguan pernafasan yang diakibatkan
terendam dalam cairan (World Congress On Drowning, 2002). Istilah drowning dan
near drowning sering digunakan untuk membedakan antara individu yang meninggal
kurang dari 24 jam setelah insiden drowning dan individu yang hidup 24 jam atau lebih
setelah kejadian (istilah “near drowning”) (Baird, 2005). Proses drowning dimulai
ketika jalan nafas pasien diisi dengan cairan, biasanya air, yang –jika proses ini terus
berlanjut- mungkin atau juga bisa tidak menimbulkan kematian (Vincen, et all, 2011).
B. Faktor Resiko
Dua kelompok umur yang beresiko terjadi drowning menurut Kliegman & Arvin
(2000) adalah anak yang belajar berjalan, yang biasanya tenggelam di kolam renang
rumah tangga akibat kelalaian singkat pengawasan, dan remaja laki-laki yang lebih
besar (15-19 tahun) yang sering tenggelam dalam badan air yang tidak dijaga.
Faktor resiko untuk kejadian nyaris tenggelam menurut Lalani & Schneeweiss
(2012), adalah:
1. Anak lebih muda, khusunya <4 tahun
2. Penelantaran dan kesalahan pengursan anak
3. Intoksikasi alcohol : 40-50 % nyaris tenggelam akibat penggunaan alcohol
4. Penyalahgunaan obat
5. Gangguan kejang
6. Perilaku suka mengambil resiko
7. Kolam renang dalam rumah
8. Tinggal dekat sungai, danau, kanal, pantai : kebanyakan remaja
Faktor yang terlibat dalam peristiwa tenggelam menurut Oman (2008), adalah:
1. Kemampuan berenang
2. Suhu air.
3. Usia dan kesehatan korban.
4. Keberadaan zat-zat yang dapat mempengaruhi kesadaran.
5. Keadaan air atau cairan.
6. Konsumsi makanan sebelum tenggelam.
7. Panik, keletihan dan kelelahan.
8. Pamer.
9. Epilepsi, penyakit jantung, diabetes, retardasi mental dan geriatrik.
10. Bunuh diri, pembunuhan.
11. Anak-anak yang tidak diawasi dengan baik.
12. Trauma tumpul, terjebak, cidera saat melompat, kecelakaan perahu, arus bawah
yang berlawanan dengan arus pada permukaan air laut (undertow).
13. Terjun ke dalam kolam di gua atau ke dalam danau di pegunungan.
C. Klasifikasi
Klasifikasi drowning menurut Baird (2005), adalah:
1. Berdasarkan jenis air
Fresh-water Drowning
Aspirasi freswather (hypotonic) sebagai akibat asborbsi aspirasi cairan dari paru
yang sangat cepat sehingga menimbulkan hipervolemia dan hypotonicity.
Peningkatan volume intravascular memicu dilusi serum elektrolit dan hemolisis
RBCs. Surfactan pada alveoli hilang dan membran kapiler pulmonal yang rusak,
memucy edema pulmonal noncardiogenic. Hilangnya surfaktan disebabkan
peningkatan tegangan permukaan jaringan paru dan berdampak pada alveoli
menjadi kolaps. Kerja paru akan menurun. Atelektasis dan edema pulmonal
memicu ketidakcocokan ventilasi-perfusi dan menimbulkan hipoksia dan
asidosis.
Salt-water Drowning
Aspirasi saltwater (hypertonic) hasil dari perubahan air dan plasma protein dari
sirkulasi menuju ke alveoli yang sangat cepat. Alveoli yang berisi cairan tidak
dapat berventilasi, sementara perfurasi terus berlanjut dan mengakibatkan
ventilasi-perfusi menjadi tidak cocok dan hipoksia.
D. Patofisiologi
Meskipun ada perbedaan patofisiologi antara drowning di freshwater atau
saltwater, namun dari segi klinik dan terapi tidak ada perbedaan yang penting.
Perubahan signifikan yang paling berhubungan dengan drowning adalah hipoksia.
Ketika tidak ada ada jalan untuk air dapat keluar dari jalan nasa, nafas menjadi tertahan
dan merupakan respon spontan pertama ketika tidak ada hipoksia dan kesadaran masih
baik. Air akan dimuntahkan melalui mulut. Ketika aspirasi air pertama terjadi, saluran
nafas akan memmproduksi batik atau spasme laring namun sangat jarang (< 2%), dan
memicu hipoksia. Jika spasme laring terjadi, hipoksia akan timbul berulang. Aspirasi
air yang lebih banyak di paru-paru, memicu timbulnya hipoksia berkepanjangan,
kehilangan kesadaran, irreversible apnea, dan kemudian asistole (Vincent et all, 2011).
Gangguan pada pernafasan tergantung dari jumlah dan komppsisi cairan yang
teraspirasi. Aspirasi baik fresh atau salt water memproduksi destruksi surfaktan,
alveolitis, and edema pulmonal non-cardiogenic yang mengakibatkan peningkatan
pemindahan intra pulmonal dan hipoksia. Bila seseorang mengalami aspirasi, 1 sampai
3 mL/kg aspirasi air akan memproduksi gangguan mendalam pada pertukaran fas dan
penurunan kemampuan pulmonal sekitar 10% sampai 40% (Vincent et all, 2011).
Pasien drowning dengan ventrikular fibrilasi, berhubungan dengan hipoksia dan
asidosis, bukan karena hemolisis dan hiperkalemia. Hipoksia menghasilkan urutan
kerusakan jantung, dari takikardia, kemudian bradikardi, kemulian nadi melemah
sampai fase PEA diikuti hilangnya ritme kardiak dan aktivitas elektrik (asistole).
Penurunan kardiak output, hipotensi arterial, peningkatan tekanan arteri pulmonal, dan
resistensi vaskularisasi pulmonal adalah akibat dari hipoksia. Vaskonstriksi periperal
juga dapat disebabkan oleh hipksia, katekolamin dilepasan, dan hipotermi (Vincent et
all, 2011).
Dalam kasus drowning, apnea adalah kejadian pertama yang terjadi dan jika
korban tidak mendapatkan ventilasi yang cukup, sirkulasi arrest dapat terjadi dan
kematian sebagai hasil akhirnya (Vincent et all, 2011).
Kecelakaan tenggelam
2. Hipotonis Hipertonis
3. Hipervolemia Hipovolemia
4. Hemodilusi Hemokonsentrasi
E. Gambaran Klinis
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk drowning menurut Baird (2005), adalah:
Diagnostic Test For Drwoning
Test Purpose Abnormal Findings
Non-invasive
Pulse Oximetry Pemantauan terus-menerus SaO2 < 95%
saturasi oksigen
Copnometry Pemantauan terus menerus
ventilasi
Blood Studies
Analisis BGA Mengkaji keadekuatan pH <7,35 dengan
oksigenasi dan ventilasi peningkatan PaCO2 (>45
mmHg) mengindikasikan
asidosis respiratori
serum bicarbonate <22
Meq/L dengan pH <7,35
dapat mengindikasikan
asidosis metabolik
Penurunan PaO2
mengindikasikan hipksemia
Complete Blood Count Mengkaji inflamsi dan WBCs dapat meningkat
(CBC) dan WBC Count infeksi karena proses inflamasi yang
(WBCs) terjadi karena injury jaringan
dan/atau infeksi dari paparan
air yang kotor
Elektrolit, glukosa Mengkaji abnormalitas Elektrolit dapat berubah
karena aspirasi cairan menjadi tidak biasa
tergantung pada jumlah
aspirasi cairan. Kadar
glukosa dapat rendah.
BUN & Kreatinin Mengkaji fungsi ginjal Peningkatan BUN dan
kreatinin mengindikasi
nekrosis tubular akut karena
hipoksemia yang dapat
menyerati near drownings
Toxicology Screen Menentukan kadar Kadar alkohol tinggi atau
penggunaam alkohol penyalahgunaan obat
dan/atau obat yang dapat
mengganggu tingkat akurasi
pemeriksaan neurologi
Radiology
Chest Radiograph (CXR( Mengkaji kondisi paru-paru Timbul infiltrat, atelektasis,
dan edema pulmonal
Skull radiograph Mengkaji fraktur Fraktur kepala linear
Spinal Radiograph Mengkaji fraktur Fraktur pada struktur tulang
Head CT Mengkaji injuri kepala Adanya darah di otak atau di
dural yang mengindikasikan
injury kepala
Hasil yang tampak kabur
berwarna abu-abu dan putih
mengindikasikan injuri otak
kronis
I. Komplikasi
1. Ensefalopati hipoksik.
2. Tenggelam sekunder.
3. Pneumonia aspirasi.
4. Fibrosis interstitial pulmonal.
5. Disritmia ventrikular.
6. Gagal ginjal.
7. DIC (Diseminata Intravascular Coagulation)
8. Nekrosis pankreas.
9. Infeksi.
J. Prognosis
Penentuan prognosis pada korban hampir tenggelam adalah dengan melakukan
evaluasi awal status hemodinamikanya. Sembilan puluh dua persen korban hamper
tenggelma dengan usia rata-rata 32 bulan menyatakan bahwa klien yang tidak
mengalami koma saat datang ke ICU atau UGD dengan nadi teraba dan tekanan darah
terukur, tidak mengalami kerusakan neurologis permanen. Akan tetapi mereka yang
dayang dengan pemeriksaan awal nadi tidak teraba atau dalam keadaan koma biasanya
meninggal atau mengalami kerusakan otak yang parah.
Luaran yang buruk dihubungkan dengan adanya asistole, tenggelam >15 menit,
tidak mendapat resusitasi di tempat kejadian, lama resusitasi >30 menit, mendapat
epinephrine, asidosis metabolic, dan suhu inti tubuh rendah. Resusitasi sebaiknya
dilakukan pada semua korban tengegelam dan diawali oleh tindakan penyelamatan
kardiopulmonal lanjut. Nilai pH <7.1, GCS <5, dan pupil yang dilatasi saat masuk
menandakan prognosis yang buruk. Akan tetapi, bila asidosis dan koma tetap
berlangsung 4 jam setelah resusitasi, kemungkinan untuk mempertahankan system
neurologis seperti semula akan tetap sulit. Bila setelah 24-48 jam terapi resusitasi yang
adekuat tidak ada perbaikan klinis, kemungkinan besar kematian otak atau kerusakan
berat pada otak telah terjadi.
K. Pencegahan
Pencegahan untuk drowning menurut Vincent et all (2011), adalah:
1. Awasi anak-anak; 84% kasus drowning terjadi karena kurang pengawasan orang
tua. Ajari berenang dari usia 2 tahun
2. Hindari penggunaan alat bantu renang yang ditiup karena akan memberikan
persepsi yang salah tentang keamanan. Gunakan life jacket.
3. Jangan pernah mencoba menyelamatkan seseorang yang tenggelam bila tidak
memungkinkan untuk dilakukan penyelamatan / tidak bisa berenang
4. Jangan minum alkohol sebelum berenang
5. Jangan menyelam di air yang dangkal, injury spinal servikal sering terjadi
Pantai Kolam renang atau sejenisnya
Selalu berenang di area yang aman Lebih dari 65% kematian terjadi di fresh
water
Minta penjaga untuk menyediakan peralatan Berikan pagar pembatas di kolam renang
berenang
Baca dan ikuti peringatan yang ada di pantai Gunakan telepon portabel di area kolam
renang agar saat terjadi kecelakaan tidak
perlu berteriak
Jangan membanggakan kemampuan Berikan tanda peringatan untuk kolam yang
berenang, 46,6% korban drowning memiliki airnya dangkal
kemampuan berenang
Berenang menjauhi dermaga, batu, atau tiang Pelajari CPR. Lebih dari 42% pemilik kolam
renang tidak dibekali teknik pertolongan
pertama
Bila ada anak yang hilang, titipkan kepada Be careful!
penjaga pantai
Jika sedang memancing diatas batu, waspada
terhadap gelombang yang dapat menyeret ke
laut
L. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Konsep pengkajian dasar ketika melakukan asuhan keperawatan kritis dengan
drowning menurut Braid (2005), adalah:
Tujuan Pengkajian
Evaluasi terhadap fungsi pernafasan dan neurologi
Vital Signs
1. Temperatur dapat rendah jika drowning terjadi pada badan yang dingin
2. Peningkatan RR atau tidak ada jika pasien mengalami areest
3. Hipotensi
4. HR dapat meningkat atau menurun tergantung temperatur dan status pernafasan.
Asistol atau ventrikulatr takikardia dapat timbul pada pasien
5. RR dapat meningkat diserati dispneu atau dapat tidak ada jika arrest terjadi.
Observasi
Evaluasi tanda trauma dari kepala dan leher, warna kulit sebagai indikasi hipoksia,
tanda dan fungsi neurologis termasuk ukuran pupil dan respons terhadap stimulus.
Sputum berbusa dan berwarna merah muda dapat mengindikasi terjadi edema
pulmonal.
Palpasi
Evaluasi suhu tubuh, deformitas pada leher, tanda-tanda trauma pada kepala
termasuk adanya pembengkakan.
Auskultasi
Evaluasi bagian paru untuk mengindetifikasi suara paru yang abnormal.
-
Penurunan suara paru mengindikasikan penumothorax atau hemothorax
-
Suara seperti menyeruput saat inspirasi mengindikasikan open penumothorax
-
Suara crackles, ronki, dan wheezing.
2. Diagnosa Keperawatan
Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan spasme jalan napas,
sekresi berlebih yang tertahan, adanya benda asing di jalan napas
Ketidakefektifan pertukaran gas berhubungan dengan asfiksia dan aspirasi
Hipotermi berhubungan dengan terendam dalam air dingin
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema paru
Resiko Infeksi berhbungan dengan aspirasi
3. Intervensi Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan spasme jalan napas,
sekresi berlebih yang tertahan, adanya benda asing di jalan napas
Tujuan & Kriteria Hasil:
Jalan napas paten, Tidak ada suara napas tambahan, dan SpO2 dalam batas
normal
NOC: Airway patency
NIC
- Auskultasi suara napas, amati suara napas tambahan menandakan penyebab
sumbatan jalan napas
- Suctioning
- Fisioterapi dada
- Posisikan klien
- Monitor status repiratori dan SpO2
- Kolaborasi bronkodilator jika diperlukan
Oxygen Therapy
-
Kelola suplai oksigen menggunakan liter flow dan seperti yang diperintahkan
-
Tambahkan kelembaban yang sesuai
-
Batasi pasien dan pengunjung merokok ketika dipasang oksigen
-
Dokumentasi pulse oxymetry dengan oksigen tilter flow pada tempat yang
mudah untuk dilihat. Oksigen adalah pengobatan; dosis obat harus disesuaikan
dengan pembacaan saturasi oksigen atau pembacaan menjadi tidak berguna.
-
Lakukan pemeriksaan BGA jika pasien mengalami perubahan perilaku atau
terjadi distress respiratory untuk mengetahui hipoksemia atau hiperkapnea
-
Monitor hasil rontgen thorax dan suara nafas yang dapat mengindikasi
kerusakan oksigen dan atelektasis pada pasien yang menerima konsentrasi
oksigen yang cukup tinggi (FiO2 lebih dari 45%) selama lebih dari 24 jam.
Semakin tinggi konsentrasi oksigen, semakin tinggi kesempatan terjadi
keracunan.
-
Monitor warna kulit
-
Sediakan terapi oksigen selama transportasi dan ketika pasien turun dari
tempat tidur
Mechanical Ventilation
-
Monitor kondisi yang mengindikasikan kebutuhan bantuan ventilasi
-
Monitor resiko kegagalan pernafasan atau tanda penumonia
-
Konsultasi dengan tim medis untuk pemilihan mode ventilator
-
Berikan agen paralisis otot, sedative, dan analgesik narkotik sesuai kebutuhan
-
Monitor aktivitas yang dapat meningkatkan kebutuhan oksigen (demam,
gemetar, nyeri)
-
Monitor keefektifan ventilasi mekanik pada fisiologis dan status psikologis
pasien
-
Lakukan rawat mulut yang rutim
-
Naikkan kepala pasien minimal 30o
Kasus
Seorang anak laki-laki an. M usia 2 tahun dibawa ke unit gawat darurat. Pasien saat itu
sedang berada di tempat penitipan anak dan bermain dengan teman sebayanya. Menurut
pengasuh penitipan anak, ia meninggalkan anak-anak bermain selama beberapa menit. Saat
kembali , ia melihat an.M berubah menjadi biru dengan kepala terbungkus plastik dan anak
M terlihat sesak napas. Pada pemeriksaan, kesadaran compos mentis, temperatur 37,7 0C,
tekanan darah 70/40 mmHg, kecepatan denyut jantung 112 kali/menit, kecepatan respirasi 35
kali/menit , saturasi O2 92 % , akral dingin, pucat, menggunakan otot bantu pernapasaan.
A. Pengkajian
1) Identitas
Nama : An. M
Umur : 2 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : surabaya
Agama : Islam
No. MR : 2323xx
Tgl. MRS : 21 Mei 2015
Pukul : 09.00 WIB
Dx medis : Sufokasi mekanis
2) Keluhan utama : keluhan sesak napas
3) Riwayat penyakit sekarang : Seorang anak laki-laki an. M usia 2 tahun dibawa ke unit
gawat darurat. Pasien saat itu sedang berada di tempat penitipan anak dan bermain
dengan teman sebayanya. Menurut pengasuh penitipan anak, ia meninggalkan anak-
anak bermain selama beberapa menit. Saat kembali , ia melihat an.M berubah menjadi
biru dengan kepala terbungkus plastik.
4) Riwayat penyakit dahulu : pasien adalah bayi aterm tanpa riwayat medik yang
bermakna di masa lalu, riwayat alergi tidak ada.
5) Riwayat penyakit keluarga : keluarga tidak ada yang menderita asma dan alergi.
6) Riwayat psikososial : pasien aktif bermain dengan teman sebayanya.
7) Pemeriksaan fisik: Temperatur 37,7 0C, tekanan darah 70/40 mmHg, kecepatan denyut
jantung 112 kali/menit, kecepatan respirasi 35 kali/menit
8) Pengkajian fisik persistem
B1 (Breath) : menggunakan otot bantu pernapasan, saturasi O2 92 %
B2 (Blood) : pucat, CRT > 3 detik, bibir sianosis
B3 ( Brain) : kesadaran compos menitis
B4 (Bladder) : tidak ada keluhan, BAK normal, dengan warna urine kuning, bau
amoniak.
B5 (Bowel) : tidak ada keluhan, BAB normal
B6(Bone) : lemah
B. Analisa data
NO ANALISA DATA PROBLEM ETIOLOGI
1. Data Subjektif: Gangguan Ketidakadekuatan
Keluhan sesak napas pertukaran gas suplai oksigen
Data Objektif:
0
Temperatur 37,7 C, tekanan
darah 70/40 mmHg, kecepatan
denyut jantung 112 kali/menit,
kecepatan respirasi 35
kali/menit, saturasi O2 92 %
2. Data Subjektif : Risiko hipoventilasi
Pengasuh mengatakan anak M penurunan
tampak biru. perfusi
Data Objektif jaringan ke
Pucat, akral dingin, bibir jantung
sianosis, CRT > 3 detik,
menggunakan otot bantu
pernapasan.
C. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan ketidakadekuatan suplai oksigen
2) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung berhubungan dengan hipoventilasi
Baird, Mariane Saunorus. 2005. Manual Of Critical Care Nursing: Nursing Interventions
And Collaborative Management 5th Edition. Missouri: Elsevier Mosby
Bardale, Rajesh. 2011. Principles Of Forensic Medicine And Toxicology. London: J.P
Medical Ltd.
Behrman, R. E., Kliegman, R. M., & Arvin, A. M. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson
Volume 1 (ed. 15). Jakarta: EGC.
James et all. 2003. Forensic Medicine: Clinical And Pathological Aspects. London:
Greenwich Medical Media.
Sharma, RK. 2008. Concice Textbook Of Forensic Medicine & Toxicology 2nd Edition. New
Delhi: Elsevier
Stewart, kent. (2012). Forensic Nursing Science. St. Louis. Missouri: Elsevier Mosby
Vincent, et all. 2011. Textbook Of Critical Care 6th Edition. Missouri: Elsevier Mosby