Sunteți pe pagina 1din 5

Ambisi Kurikulum 2013 dan

Kegagalan Memahami Ruang


Adaptasi Guru (Catatan Akhir untuk
Pak Nuh)
Kurikulum merupakan hal mendasar dalam Sistem Pendidikan Nasional kita.
Karena memuat ketentuan-ketentuan bagaimana pendidikan dijalankan oleh
berbagai tingkat pemangku kebijakan dan tingkat satuan pendidikan. Perubahan-
perubahan kurikulum yang telah dilakukan pemerintah menunjukkan arah yang
semakin jelas. Secara garis besar kurikulum diorientasikan untuk menghasilkan
out put yang memiliki kompetensi di bidangnya. Kita sering menyebutnya KBK
(Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang telah disusun sejak 2004. Perubahan
setelahnya seperti KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dan yang
terbaru Kurikulum 2013 masih mengusung paradigma yang sama: kompetensi.
Hal menarik dari Kurikulum 2013 (selanjutnya disebut K-13) dan tentu diamini
oleh banyak pihak adalah penegasan kompetensi moral atau karakter yang lebih
eksplisit (tertulis sebagai kompetensi dasar sampai indikator) dan lebih terukur
(tehnik penilaian sikap dengan empat metode). Perubahan kurikulum adalah hal
wajar dan bahkan wajib dilakukan oleh para pengambil kebijakan karena telah
diamanatkan oleh konstitusi. Secara teori, makin sering perubahan dilakukan
maka kemungkinan tercapainya tujuan pendidikan nasional semakin cepat.
Asumsi ini tentu mempersyaratkan konteks sosial yang selalu mendukung
perubahan. Maka masa depan perubahan bukan saja ditentukan bagaimana
konsepnya melainkan juga kemampuannya melahirkan akumulasi semangat dan
dukungan serta meminimalisir resistensi dan penolakan. Merencanakan perubahan
tanpa memahami konteks sosial dari perubahan bisa disebut sebagai ambisi yang
menjadi ibu kandung dari semangat penolakan. Perubahan menuju K-13 tanpa
memahami secara mendalam kemampuan guru dan sekolah, bisa disebut
Kurikulum yang “ambisius”.

Artikel ini mencoba memahami pelaksanaan K-13 dalam perspektif guru SMA
dan sekolah pinggiran yang jumlahnya lebih mewakili wajah pendidikan kita. Hal
ini penting dilakukan bukan untuk menggagalkan, menghentikanatau
membangkitkan penolakan. Sebagaimana paparan di atas bahwa perubahan
kurikulum adalah amanat konstitusi maka lahirnya K-13 adalah keniscayaan.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengingatkan para pengambil kebijakan bahwa K-
13 adalah produk ambisius dan berpotensi melahirkan resistensi. Membuktikan
bahwa K-13 telah mengabaikan kapasitas guru dan sekolah untuk melaksanakan
diharapkan menjadi bahan koreksi bagi pengambil kebijakan demi keberhasilan
K-13 di era kepemimpinan baru. Keberhasilan pelaksanaann kurikulum bukan
saja ditentukan oleh para konseptornya melainkan juga sangat tergantung
kemampuan guru memahami dan mengeksekusi “maksud-maksud baik” dari
perubahan kurikulum. Tujuan mulia perubahan kurikulum bisa saja menjadi sia-
sia jika para pelaksana dibawah mengalami kesulitan bahkan menolak esensinya
meskipun secara birokrasi tetap melaksanakan atas nama perintah atasan.

Penjara Administrasi Bernama Kurikulum

Pada hakikatnya guru bukan jenderal melainkan tentara. Menghadapi siswa di


sekolah, bagi guru, sebenarnya adalah pekerjaan paling mendesak sebagaimana
tentara di medan tempur. Bukan waktu untuk berfikir dan merencanakan
melainkan waktu untuk mengeksekusi perintah-perintah komandan. Guru dan
tentara memang profesi yang berbeda namun penjelasan ini memberi gambaran
bahwa setiap pekerjaan memiliki konteks sosialnya. Memperlakukan guru tanpa
memahami ruang geraknya sama bahayanya dengan salah komando tentara di
medan tempur.

Di era sertifikasi, perangkat mengajar adalah acuan utama untuk mengukur kinerja
guru sehingga layak atau tidak menyandang gelar guru profesional dan
mendapatkan tunjangan sertifikasi. Menyusun perangkat mengajar yang lengkap
dan otentik sebenarnya adalah pekerjaan biasa namun tidak banyak guru yang
seratus persen (sesuai peraturan menteri) melaksanakannya meski secara
administrasi boleh dikatakan selesai. Banyak sekali alasan mendasar selain
persoalan kualitas guru.Kita bisa bayangkan, jika seorang tentara yang sedang
menghadapi musuh masih harus menyusun strategi dan taktik perang sendiri,
merumuskannya secara tertulis sesuai prosedur penulisan tertentu, melaporkan
hasil pelaksanaannya secara periodik secara tertulis, menyusun program antisipasi
kegagalan secara tertulis, dan seterusnya. Kita pasti bertanya kapan perangnya
dilakukan atau bagaimana pertempuran bisa dimenangkan. Laporan yang baik
boleh jadi telah mengabaikan sukses di lapangan. Membuat perangkat mengajar
yang sempurna sering mengorbankan kualitas pelayanan kepada siswa.

Guru seharusnya tidak sibuk membuat perangkat melainkan sibuk


mengimplementasikan perangkat. Pernyataan ini bukan upaya menghilangkan
kewajiban yang sudah melekat dalam profesi guru. Tetapi porsi pekerjaan
konseptual yang seharusnya dirumuskan para pakar hendaknya tidak dibebankan
kepada guru. Bahwa guru harus menyusun rencana pembelajaran yang sedetail
dan selengkap mungkin, tentu. Tetapi tugas para konseptor, para pakar dan
pejabat pendidikan terkait perlu lebih dirumuskan secara jelas dalam kurikulum.
Sehingga kurikulum diharapkan tidak menjadi penjara administrasi yang
menempatkan guru sebagai “tukang ketik” perangkat. Sebaliknya, kurikulum
harus menjadi kekuatan pencerah bagi guru untuk lebih terampil dan profesional
meski dalam keterbatasan. Sudahkah eksekusi K-13 memikirkan keterbatasan
ruang gerak guru untuk beradaptasi dengan perubahan? Berkaitan dengan tarik
ulur tugas guru antara menyusun perangkat dan pelayanan, sebenarnya K-13 telah
mengisyafinya. Misalnya kurikulum telah menyediakan standar metode belajar
“saintifik” atau konsep 5M sebagai pilihan minimal bila guru belum
berkesempatan mengembangkan metode lain. Namun dalam pelaksanaannya,
kelambanan guru menerima informasi terkait pelaksanaan K-13 menjadi
persoalan. Ketidaksiapan unsur-unsur penunjang kurikulum telah menimbulkan
masalah baru. Terbatasnya ruang gerak guru untuk bersinergi dengan perubahan
sebaiknya menjadi catatan para pengambil kebijakan selanjutnya bahwa
perubahan kurikulum semestinya berlangsung sangat lembut dan tidak
menimbulkan “kegaduhan”. Hal ini karena ruang adaptasi perubahan yang
dimiliki guru bersinggungan langsung dengan proses pelayanan pendidikan yang
semestinya juga steril dari gangguan. Hampir tidak mungkin guru menyiapkan
semua kelengkapan perangkat K-13, dengan keterbatasan informasi, tanpa
memakan jam kerja dimana seharusnya mereka berada di tengah siswa.

Pembajakan Sistematis Kurikulum 2013

Ketidaksiapan unsur penunjang kurikulum baru juga terjadi pada struktur materi
ajar K-13. Guru dipaksa merumuskan indikator pencapaian kompetensi padahal
buku pegangan belum diterima. Keterlambatan buku pegangan guru yang
dijanjikan oleh Kemendikbud dari jadual pelaksanaan K-13 dan keluarnya
peraturan yang melisensi beberapa penerbit swasta membuktikan ketidaklayakan
pelaksanaan K-13. Ibarat tentara sudah di medan tempur, amunisi datang
belakangan bahkan nyaris tanpa penyesalan dari para pengambil kebijakan. Jika
kita sempat melihat tayangan televisi wawancara Mendikbud M. Nuh berkaitan
dengan hal ini, seolah-olah masalah buku hanya kesalahan kecil dan bukan
substansi K-13. Justru disinilah bukti bahwa Kemendikbud tidak sensitif terhadap
konteks sosial kurikulum, “kapasitas guru”. Bahwa ditengah kebutuhan siswa
yang kian besar terhadap pendampingan sosok guru, ternyata perintah untuk
menutup lubang-lubang K-13 dianggap jauh lebih penting. Perubahan kurikulum
sangat penting, tetapi perencanaan tahapannya perlu diperhitungkan jauh lebih
mendalam. Melibatkan guru untuk menambal defisit konseptual K-13 secara
nasional adalah tindakan yang berbahaya. Seperti melepas tentara di medan
tempur tanpa komando. Disinilah letak kegagalan pelaksanaan K-13 dalam
memahami ruang gerak guru untuk terlibat dalam proses perubahan. Kurikulum
yang dijanjikan akan mengurangi beban konseptual guru agar lebih terfokus pada
pelayanan siswa berubah sebaliknya menyandera tugas para guru.

Ketidakmampuan para konseptor merumuskan tahapan secara gradual dan aktor


yang harus berperan secara efektif sangat rawan intervensi pihak luar. Misalnya
kepentingan sesaat para pebisnis buku. Andaikan Kemendikbud merilis indikator
materi, bersamaan dengan KI dan KD, maka guru memiliki ruang gerak yang
leluasa untuk mengikuti perubahan. Karena indikator materi itulah amunisi paling
berharga jika pemerintah dianggap masih ingin menjadikan UN sebagai salah satu
penentu kelulusan. Keterlambatan datangnya indikator materi pelajaran dirasakan
guru seperti kelangkaan BBM yang kemudian menjadi alasan pembenar para
spekulan melakukan pembajakan. Jika polisi membubarkan antrian jurigen
penimbun BBM untuk meredakan keresahan masyarakat, sebaliknya Mendikbud
justru melegalkan para spekulan dengan Permendikbud No 65/2014 tentang buku
teks pelajaran dan buku panduan guru. Mengapa para penerbit bisa disebut
spekulan, karena sampai Mendikbud M. Nuh meletakkan jabatannya
Kemendikbub belum mengeluarkan ketentuan terkait Ujian Nasional versi K-13.
SKL UN sebagai indikator resmi apakah siswa dapat mencapai kompetensi sesuai
dengan kurikulum belum ditetapkan oleh pemerintah. Jika pun Mendikbud yang
baru tidak menetapkan UN sebagai salah satu syarat kelulusan siswa, karena itu
mungkin, maka Permendikbud 65/2014 yang melisensi para penerbit swasta
semakin tidak relevan. Artinya buku pegangan guru yang selama ini beredar
belum memberi kepercayaan penuh ketepatan indikatornya.

Lintas Minat dan Peminatan Memberatkan Mayoritas

Konsep lintas minat sebenarnya dimaksudkan untuk memberi keleluasaan bagi


siswa pada jurusan tertentu sehingga dapat mengikuti mata pelajaran pada jurusan
lain. Salah satu alasan rasionalnya adalah membuka pengetahuan kepada siswa
sehingga memiliki wawasan lebih luas bagi lulusan SMA pada saat pemilihan
jurusan di Perguruan Tinggi. Logika berfikir demikian mungkin benar tetapi
menyesatkan bila dilihat konteks sosial dimana pemikiran itu harus dibenamkan.
Pertama sebagian besar sekolah SMA tidak mampu memberikan ruang yang luas
kepada aspirasi peserta didik untuk melakukan pilihan tersebut. Kedua jumlah
siswa SMA di Indonesia yang melanjutkan ke perguruan tinggi tidak sampai 30%
dari total lulusan. Mengapa mayoritas 70% lulusan SMA yang jelas belum bisa
ditampung oleh perguruan tinggi diperlakukan seolah-olah akan melanjutkan
pendidikan?. Sekolah-sekolah SMA di level kecamatan yang jumlahnya lebih
banyak daripada sekolah perkotaan tentu sangat merasakan dampak perubahan ini.
Sebagian besar lulusan mereka yang berorientasi tidak melanjutkan merasakan
keberatan untuk mendalami ilmu pengetahuan tambahan. Mengingat mapel pada
jurusan mereka sendiri sudah sangat memberatkan. Janji Kemendikbud dalam
Rancangan K-13 untuk mengurangi jumlah mapel karena dianggap terlalu banyak,
dalam pelaksanaan justru menjadi sebaliknya. Kelebihan beban belajar bagi siswa
dengan tingkat motivasi melanjutkan pendidikan (jika tidak boleh menilai tingkat
inteligensia) yang rendah bisa mengancam ketercapaian kompetensi siswa.
Penambahan jumlah mapel juga diakibatkan oleh adanya pembagian mapel wajib
dan peminatan. Misalnya mapel matematika wajib dan matematika peminatan,
dalam prakteknya dianggap bukan satu mapel melainkan dua mapel yang berbeda.
Tentu saja menambah beban belajar dan membingungkan siswa.

Bagi sekolah, sejak direncanakan akan melaksanakan K-13 dengan standar


penilaian yang lebih kompleks, merubah kelas-kelas gemuk menjadi kelas kecil
hampir pasti perlu dilakukan agar beban kerja guru tidak mengurangi performa
hasilnya. Artinya jumlah kelas dimungkinkan untuk bertambah. Jumlah guru juga
mengalami peningkatan seiring meningkatnya jumlah jam pada mapel tertentu dan
munculnya mapel baru. Konsekuensi dari perubahan begitu kompleks dan tidak
semua sekolah memiliki sumber daya yang memadahi. Berbagai permasalahan
baru yang muncul dari pelaksanaan K-13 menunjukkan adanya kelemahan dalam
perencanaan. K-13 seperti produk a sosial yang turun dari langit. Kurikulum yang
dirumuskan menggunakan asumsi-asumsi teoritis mengurai kelemahan kurikulum
sebelumnya dan sama sekali mengabaikan konteks sosial yaitu keterbatasan guru
dan sekolah. Semoga paparan ini, betapapun subjektifnya, menjadi pintu-pintu
menginsyafi segala kelemahan pelaksanaan K-13. Memberikan tekanan kepada
para pengambil kebijakan selanjutnya bahwa Kurikulum 2013 seharusnya:
(1) memperhatikan keterbatasan kapasitas guru sebagai ujung tombak
pelaksanannya,
(2) memberi ruang lebih besar kepada kemampuan guru untuk mengeksplorasi
ketimbang memenjarakan guru sebagai tukang ketik perangkat, (3) lebih
memperhatikan keberhasilan kurikulum bagi kepentingan bangsa ketimbang
segelintir penerbit buku yang merasa sebagai stakeholder K-13, (4) memberi
ruang lebih besar kepada sekolah untuk mencapainya sesuai kemampuan
ketimbang melakukan pemaksaan mengingat beragamnya kondisi sumber daya
yang dimiliki sekolah, dan (5) dikembangkan melalui tahapan yang lembut dan
hati-hati mengingat kegaduhan yang ditimbulkan sangat berdampak pada
perkembangan belajar anak bangsa.

S-ar putea să vă placă și