Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Artikel ini mencoba memahami pelaksanaan K-13 dalam perspektif guru SMA
dan sekolah pinggiran yang jumlahnya lebih mewakili wajah pendidikan kita. Hal
ini penting dilakukan bukan untuk menggagalkan, menghentikanatau
membangkitkan penolakan. Sebagaimana paparan di atas bahwa perubahan
kurikulum adalah amanat konstitusi maka lahirnya K-13 adalah keniscayaan.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengingatkan para pengambil kebijakan bahwa K-
13 adalah produk ambisius dan berpotensi melahirkan resistensi. Membuktikan
bahwa K-13 telah mengabaikan kapasitas guru dan sekolah untuk melaksanakan
diharapkan menjadi bahan koreksi bagi pengambil kebijakan demi keberhasilan
K-13 di era kepemimpinan baru. Keberhasilan pelaksanaann kurikulum bukan
saja ditentukan oleh para konseptornya melainkan juga sangat tergantung
kemampuan guru memahami dan mengeksekusi “maksud-maksud baik” dari
perubahan kurikulum. Tujuan mulia perubahan kurikulum bisa saja menjadi sia-
sia jika para pelaksana dibawah mengalami kesulitan bahkan menolak esensinya
meskipun secara birokrasi tetap melaksanakan atas nama perintah atasan.
Di era sertifikasi, perangkat mengajar adalah acuan utama untuk mengukur kinerja
guru sehingga layak atau tidak menyandang gelar guru profesional dan
mendapatkan tunjangan sertifikasi. Menyusun perangkat mengajar yang lengkap
dan otentik sebenarnya adalah pekerjaan biasa namun tidak banyak guru yang
seratus persen (sesuai peraturan menteri) melaksanakannya meski secara
administrasi boleh dikatakan selesai. Banyak sekali alasan mendasar selain
persoalan kualitas guru.Kita bisa bayangkan, jika seorang tentara yang sedang
menghadapi musuh masih harus menyusun strategi dan taktik perang sendiri,
merumuskannya secara tertulis sesuai prosedur penulisan tertentu, melaporkan
hasil pelaksanaannya secara periodik secara tertulis, menyusun program antisipasi
kegagalan secara tertulis, dan seterusnya. Kita pasti bertanya kapan perangnya
dilakukan atau bagaimana pertempuran bisa dimenangkan. Laporan yang baik
boleh jadi telah mengabaikan sukses di lapangan. Membuat perangkat mengajar
yang sempurna sering mengorbankan kualitas pelayanan kepada siswa.
Ketidaksiapan unsur penunjang kurikulum baru juga terjadi pada struktur materi
ajar K-13. Guru dipaksa merumuskan indikator pencapaian kompetensi padahal
buku pegangan belum diterima. Keterlambatan buku pegangan guru yang
dijanjikan oleh Kemendikbud dari jadual pelaksanaan K-13 dan keluarnya
peraturan yang melisensi beberapa penerbit swasta membuktikan ketidaklayakan
pelaksanaan K-13. Ibarat tentara sudah di medan tempur, amunisi datang
belakangan bahkan nyaris tanpa penyesalan dari para pengambil kebijakan. Jika
kita sempat melihat tayangan televisi wawancara Mendikbud M. Nuh berkaitan
dengan hal ini, seolah-olah masalah buku hanya kesalahan kecil dan bukan
substansi K-13. Justru disinilah bukti bahwa Kemendikbud tidak sensitif terhadap
konteks sosial kurikulum, “kapasitas guru”. Bahwa ditengah kebutuhan siswa
yang kian besar terhadap pendampingan sosok guru, ternyata perintah untuk
menutup lubang-lubang K-13 dianggap jauh lebih penting. Perubahan kurikulum
sangat penting, tetapi perencanaan tahapannya perlu diperhitungkan jauh lebih
mendalam. Melibatkan guru untuk menambal defisit konseptual K-13 secara
nasional adalah tindakan yang berbahaya. Seperti melepas tentara di medan
tempur tanpa komando. Disinilah letak kegagalan pelaksanaan K-13 dalam
memahami ruang gerak guru untuk terlibat dalam proses perubahan. Kurikulum
yang dijanjikan akan mengurangi beban konseptual guru agar lebih terfokus pada
pelayanan siswa berubah sebaliknya menyandera tugas para guru.