Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Oleh :
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
dan ternak), residu pestisida, logam berat dan aflatoksin dari pakan serta residu
antibiotik saat pengobatan penyakit pada ternak. Kandungan mikroba yang tinggi
menyebabkan susu cepat rusak sehingga Industri Pengolahan Susu tidak dapat
membeli susu dari peternak tersebut (Anggraeni, 2000). Oleh karena itu perlu
dilakukan pengujian atau pemeriksaan mutu dan kualitas susu segar.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana mutu dan kualitas susu sapi segar yang sesuai dengan SNI
3141.1:2011?
1.3 Tujuan
Dapat mengetahui pengujian mutu dan kualitas susu sapi segar yang sesuai
dengan SNI 3141.1:2011.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
dan udara. Air susu yang masih di dalam kelenjar susu dapat dikatakan steril.
Setelah keluar dari ambing dapat terjadi kontaminasi, kontaminasi dapat terjadi
dari mana-mana yaitu dari ambing sapi, tubuh sapi, debu di udara, peralatan yang
kotor dan manusia yang melakukan pemerahan (Sumudhita,1989).
Pada susu yang telah dipanaskan kontaminasi bakteri masih bisa terjadi
karena adanya kontaminasi silang dari peralatan dan air pencuci. Kelompok
bakteri coliform digunakan sebagai indikator sanitasi penanganan susu, jika
bakteri coliform mengkontaminasi susu maupun jumlah bahan pangan yang relatif
besar akan menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia.
2.3 Komposisi Susu
Menurut Eniza (2004), susu memiliki komposisi yang bermanfaat,
diantaranya adalah :
1. Air
Susu mengandung air 87.90%, yang berfungsi sebagai bahan pelarut bahan
kering. Air didalam air susu sebagian besar dihasilkan dari air yang diminum
ternak sapi.
2. Lemak
Susu merupakan suspensi alam antara air dan bahan terlarut didalamnya. Salah
satu diantaranya adalah lemak. Kadar lemak didalam air susu adalah 3.45%.
Kadar lemak sangat berarti dalam penentuan nilai gizi air susu. Bahan makanan
hasil olahan dari bahan baku susu seperti mentega, keju, krim, susu kental dan
susu bubuk banyak menagndung lemak. Besar kecilnya butir lemak ditentukan
oleh kadar air yang ada didalamnya. Makin banyak air maka makin besar
globuler dan keadaan ini dikhawatirkan akan menjadi pecah. Bila globuler
pecah maka air susu disebut pecah. Susu yang pecah tidak dapat dipisahkan
lagi krimnya, dan tidak dapat dijadikan sebagai bahan makanan.
3. Protein
Kadar protein didalam susu rata-rata 3.20% yang terdiri dari : 2.70% casein
(bahan keju), dan 0.50% albumen. Berarti 26.50% dari bahan kering susu
adalah protein. Didalam susu juga terdapat globulin dalam jumlah sedikit.
5
Protein didalam susu juga merupakan penentu kualitas susu sebagai bahan
konsumsi.
4. Laktosa
Laktosa adalah bentuk karbohidrat yang terdapat didalam air susu. Bentuk ini
tidak terdapat dalam bahan-bahan makanan yang lain. Kadar laktosa di dalam
air susu adalah 4.60% dan ditemukan dalam keadaan larut. Pemberian laktosa
atau susu dapat menyebabkan mencret atau gangguan-gangguan perut bagi
orang yang tidak tahan terhadap laktosa. Hal ini disebabkan kurangnya enzim
laktase dalam mukosa usus.
5. Vitamin dan Enzim
Kadar vitamin di dalam susu tergantung dari jenis makanan yang diperoleh
ternak sapi dan waktu laktasinya. Vitamin yang terdapat didalam lemak disebut
ADEK, dan vitamin yang larut didalam susu, tergolong vitamin B komplek,
vitamin C,Vitamin A, provitamin A dan vitamin D. Vitamin yang larut didalam
susu yang terpenting ialah vitamin B1, B2, asam nikotinat dan asam pantotenat.
Enzim berfungsi untuk mengolah suatu bahan menjadi bahan lain dengan jalan
autolyse. Enzim yang terkenal adalah peroxydase, reductase, katalase dan
phospatase. Dengan adanya pemanasan, enzim tidak akan berfungsi lagi.
2.4 Persyaratan Mutu
Persyaratan mutu susu segar berdasarkan SNI 3141.1:2011 yaitu sebagai
berikut:
Tabel 1. Persyaratan mutu susu segar berdasarkan SNI 3141.1:2011
No. Karakteristik Satuan Syarat
a. Berat jenis (pada suhu 27,5oC) g/ml 1,0270
minimum
b. Kadar lemak minimum % 3,0
c. Kadar bahan kering tanpa lemak % 7,8
minimum
d. Kadar protein minimum % 2,8
e. Warna, bau, rasa, kekentalan - Tidak ada
6
perubahan
o
f. Derajat asam SH 6,0-7,5
g. pH - 6,3-6,8
h. Uji alkohol (70%) v/v - Negatif
i. Cemaran mikroba maksimum:
1. Total Plate Count CFU/ml 1x106
2. Staphylococcus aureus CFU/ml 1x102
3. Enterobacteriaceae CFU/ml 1x103
j. Jumlah sel somatis maksimum Sel/ml 4x105
k. Residu antibiotika (Golongan - Negatif
penisilin, tetrasiklin,
aminoglikosida, makrolida)
l. Uji Pemalsuan - Negatif
o
m. Titik Beku C -0,520 s.d -0,560
n. Uji peoksidase - Positif
o. Cemaran logam berat maksimum:
1. Timbal (Pb) µg/ml 0,02
2. Merkuri (Hg) µg/ml 0,03
3. Arsen (As) µg/ml 0,1
7
BAB III
METODOLOGI
8
Alat dan bahan :
Sampel susu sapi segar dan beker glass.
Cara kerja :
Bahan diletakkan ke dalam beker glass kemudian diamati bau, warna, rasa,
dan konsistensi.
3.5.2 Uji Kebersihan
Prinsip Kerja :
Kotoran yang terdapat di dalam susu akan tampak dengan mata telanjang
tertinggal di kertas saring. Kotoran dapat berupa bulu sapi, rumput, sisa makanan,
bagian-bagian feses, darah, nanah, pasir, dan sebagainya. Penilaian kebersihan
bisa berupa bersih, sedikit kotor, kotor, dan kotor sekali.
Alat dan Bahan :
Tabung Erlenmeyer, corong kaca, kertas saring, dan sampel susu sapi segar.
Cara Kerja :
Dituangkan sampel susu sebanyak 250 ml secara perlahan-lahan melewati
corong kaca yang telah diberi kertas saring ke tabung Erlenmeyer. Ambil kertas
saring lalu amati kotoran yang tertinggal.
3.5.3 Pemeriksaan Kesegaran Susu
3.5.3.1 Uji Didih
Prinsip Kerja :
Prinsip pada uji didih yaitu, susu yang memiliki kualitas yang tidak bagus
akan pecah ataupun menggumpal bila melalui proses didih. Bila susu dalam
keadaan asam menjadikan kestabilan kasein menurun, koagulasi kasein ini yang
akan mengakibatkan pecahnya susu, tetapi apabila susu dalam keadaan baik maka
hasil yang dapat dilihat dari uji didih adalah susu masih dalam keadaan homogen
atau tidak pecah.
Alat dan Bahan :
Tabung reaksi, pipet, penjepit kayu, bunsen, dan sampel susu sapi segar.
Cara Kerja :
Susu sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi dengan
menggunakan penjepit tabung, kemudian tabung dipanaskan dengan
9
menggunakan api Bunsen sampai mendidih. Uji didih menunjukkan hasil yang
positif (kualitas susu tidak baik) bila terdapat gumpalan yang menempel pada
dinding tabung reaksi, sedangkan hasil yang negatif tidak terlihatnya gumpalan
susu pada dinding tabung reaksi.
3.5.3.2 Uji Alkohol
Prinsip Kerja :
Prinsip dasar pada uji alkohol merupakan kestabilan sifat koloidal protein
susu tergantung pada selubung atau mantel air yang menyelimuti butir-butir
protein terutama kasein. Apabila susu dicampur dengan alkohol yang memiliki
daya dehidratasi, maka protein akan berkoagulasi. Semakin tinggi derajat
keasaman susu, semakin berkurang jumlah alkohol dengan kepekatan yang sama
dibutuhkan untuk memecahkan susu yang sama banyaknya.
Alat dan Bahan :
Tabung reaksi, pipet 5 ml, alkohol 70%, dan sampel susu sapi segar.
Cara Kerja :
Tuangkan susu sebanyak 3 ml ke dalam tabung reaksi kemudian tambahkan
3 ml alkohol 70%, kemudian tabung dikocok perlahan-lahan. Uji alkohol positif
ditandai dengan adanya butiran susu yang melekat pada dinding tabung reaksi,
sedangkan uji alkohol negatif ditandai dengan tidak adanya butiran susu yang
melekat pada dinding tabung reaksi.
3.5.3.3 Uji Titrasi Keasaman Soxhlet Henkel (SH)
Prinsip :
Metode pengukuran derajat asam susu dengan cara titrasi merupakan
standar yang digunakan. Derajat asam Soxhlet Henkel adalah jumlah ml NaOH
0,25 N yang diperlukan untuk menetralisasi asam yang berada dalam 100 ml susu
dengan phenolphthalein sebagai indikator.
Alat dan Bahan :
Larutan 0,25 N NaOH, larutan phenolphthalein 1%, buret skala 0,05-0,1 ml.
2 buah Erlenmeyer 50 ml, pipet berskala, dan sampel susu.
10
Cara Kerja :
Ke dalam tabung Erlenmeyer masing-masing diisikan 50 ml sampel susu
sapi segar. Kemudian tambahkan 2-4 tetes phenolphthalein. Salah satu
Erlenmeyer dititrasi dengan larutan 0,25 N NaOH sehingga terbentuk warna
merah muda yang tetap apabila dikocok. Hitung jumlah ml NaOH yang terpakai
untuk titrasi. Derajat Soxhlet Henkel adalah jumlah 0,25 N NaOH dikalikan 2.
3.5.4 Uji Berat Jenis
Prinsip kerja :
Benda yang dimasukkan ke dalam cairan mendapat gaya ke atas sebesar
berat air yang dipindahkan.
Alat dan bahan :
Gelas ukur 500 ml, Laktodensimeter, dan sampel susu sapi segar.
Cara Kerja :
Susu diaduk dengan sempurna, lalu dituangkan susu ke dalam gelas ukur.
Dimasukkan Laktodensimeter secara perlahan-lahan ke dalam gelas ukur yang
berisi susu. Setelah tenang, dibaca skala berat jenisnya (BJ) dan dibaca suhu atau
temperatur susu. Penentuan BKTL (Berat Kering Tanpa Lemak) digunakan berat
jenis standar. Cara untuk memperoleh BJ standar yaitu dengan rumus :
BJ standar = BJ terukur + (suhu terukur – 27,5) 0,0002
11
dimasukkan ke dalam butirometer melalui dinding tabung. Ditabahkan 1 ml amil
alkohol dan disumbat dengan karet. Kemudian dicampur rata dengan cara
membolak-balikkan tabung sampai berwarna coklat kehitaman. Dengan posisi
sumbat karet di bawah, butirometer dimasukkan ke dalam penangas air dengan
suhu 70oC selama 10 menit. Disentrifuse dengan ujung yang berskala menuju
pusat dengan kecepatan 1200x/menit selama 5 menit. Diangkat butirometer dan
dimasukkan lagi ke dalam penangas 70oC selama 10 menit. Butirometer dilap lalu
skala diamati.
3.5.6 Kadar Bahan Kering (BK) (%)
Perhitungan menggunakan metode Fleishmann (dinyatakan dalam %)
100 (BJ−1)
BK = 1,311 L + 2,738 BJ
Keterangan :
BK = Bahan Kering
L = Lemak (%)
BJ = Berat Jenis susu pada suhu 27,5oC
3.5.7 Kadar Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL)
BKTL dapat diketahui setelah diperoleh besarnya kadar lemak (L) dan Berat
Jenis (BJ) dalam susu yang diuji. Nilai BKTL menggunakan rumus :
BKTL = BK – L
Keterangan :
BKTL = Bahan Kering Tanpa Lemak
BK = Bahan kering
L = Lemak
3.5.8 Penentuan Kadar Protein
Prinsip Kerja :
Dengan proses netralisasi dan penambahan asam oksalat jenuh, maka
penambahan formalin dapat menyebabkan terbentuknya gugus dimetinol.
Sehingga gugus amino sudah terikat dan tidak akan mempengaruhi gugus
karboksil (asam) dengan NaOH (basa), sehingga jumlah NaOH yang dipakai
setara dengan persentase protein susu.
12
Alat dan Bahan :
Erlenmeyer 100 ml, gelas piala, pipet 1 ml, 5 ml, dan 25 ml, buret, aquades,
larutan K2C2O7.H2O, larutan phenolphthalein 2%, NaOH 0,1 N, larutan Formalin
35%, dan sampel susu.
Cara Kerja :
1. 25 ml sampel susu dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml kemudian
ditambahkan 0,25 ml larutan phenolphthalein 2% dan 1 ml larutan
K2C2O7.H2O. diamkan larutan selama 2-3 menit.
2. Titrasi larutan dengan NaOH 0,1 N hingga terlihat warna standar (merah
jambu) yang tetap.
3. Setelah terlihat warna standar pada larutan, tambahkan 5 ml larutan
formalin dan lanjutkan titrasi menggunakan NaOH 0,1 N hingga terlihat
kembali warna standar yang tetap. Catat sebagai titrasi kedua (V1).
4. Dibuat titrasi blanko dengan memasukkan 25 ml aquades ke dalam
erlenmeyer 100 ml kemudian tambahkan 0,25 ml larutan phenolphthalein
2% dan 1 ml larutan K2C2O7.H2O serta 5 ml larutan formalin. Selanjutnya
titrasi dengan larutan NaOH 0,1 N. Catat sebagai titrasi blanko (V2).
Kadar protein (%) = Titrasi formol x faktor
= (V1-V2) x 1,83
Pengukuran Kadar Protein dengan rumus :
Adanya korelasi antara kadar lemak dan kadar protein susu sehingga kadar protein
dapat dihitung dengan rumus berikut :
Kadar Protein (%) = L/2 + 1,4
Keterangan : L = Kadar Lemak
3.5.9 Pengukuran pH
Alat dan bahan :
Sampel susu sapi segar, pH indikator strips, pH meter dan beker glass.
Cara kerja :
Susu dimasukkan ke dalam beker glass sebanyak 5-10 ml, kemudian
dicelupkan kertas indikator pH ke dalam beker glass. Selanjutnya kertas indikator
pH dikeringanginkan selama 1-30 detik dan disamakan dengan standar pH
13
indikator. Kemudian dilakukan pengukuran pH menggunakan pH meter untuk
mengkonfirmasi hasil pH indikator strips.
3.5.10 Uji CMT (California Mastitis Test)
Prinsip Kerja :
Prinsipnya adalah pemanfaatan reagen yang bertindak pada membran
eksternal sel (lipoprotein membran), memperlihatkan DNA seperti gel, semakin
tinggi konsistensi maka semakin tinggi akan jumlah sel somatik atau somatic cell
count (SCC), dikenal sebagai metode langsung, dimana perangkat elektronik,
melalui sistem filter optik dan inframerah, menentukan kuantitas sel somatik dan
komponen lain dalam susu, serta agen penyebab mastitis (Pradlee, et al,. 2011).
Alat dan Bahan :
Pipet, reagen CMT, paddle, dan sampel susu sapi segar.
Cara Kerja :
3 ml susu dengan 2 ml reagen CMT yang mengandung arylsulfonate di
dalam paddel. Campuran tersebut digoyang-goyang membentuk lingkaran
horizontal selama 10 detik. Reaksi ini ditandai dengan ada tidaknya perubahan
pada kekentalan susu, kemudian ditentukan berdasarkan skoring California
Mastitis Test (CMT) yaitu (-) tidak ada pengendapan pada susu, (+) terdapat
sedikit pengendapan pada susu, (++) terdapat pengendapan yang jelas namun jel
belum terbentuk, (+++) campuran menebal dan mulai terbentuk jel, serta (++++)
jel yang terbentuk menyebabkan permukaan menjadi cembung, untuk
memudahkan perhitungan statistik maka lambang-lambang tersebut diberi nilai
masing-masing, untuk lambang (-) nilainya 0, (+) nilainya 1, (++) nilainya 2,
(+++) nilainya 3 dan (++++) nilainya 4 untuk tiap puting susu (Andriani, 2010).
3.5.11 Uji TPC (Total Plate Count)
Prinsip Kerja :
Setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni sehingga
jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan satu indeks bagi jumlah
organism yang dapat hidup yang terkandung dalam sampel.
14
Alat dan Bahan:
Tabung Erlenmeyer, pipet steril, cawan petri, media PCA (Plate Count
Agar), alkohol 70%, plastik, inkubator, dan sampel susu sapi segar.
Cara Kerja :
Sebanyak 10 ml sampel susu dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer berisi
90 ml air steril (pengenceran 10-1 ), kemudian diencerkan secara seri. Suspensi
sebanyak 1 ml dari seri pengenceran yang sesuai dipipet dengan menggunakan
pipet steril dan diletakkan pada cawan petri steril kemudian dituangi medium
PCA (Plate Count Agar) steril sebanyak 12 – 15 ml yang bersuhu 50 – 55°C.
Setelah selesai, semua cawan petri diberi pelabelan dan diisolasi pada bagian
mulut cawan. Kemudian cawan-cawan petri tersebut dimasukkan ke dalam plastik
steril. Plastik dapat disterilkan dengan cara disemprotkan alkohol 70% bagian
dalamnya. Semua cawan petri diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam,
selanjutnya dihitung jumlah koloni mikrobia yang terdapat pada cawan dengan
ketentuan jumlah koloni yang dihitung jumlahnya antara 25 – 250. Jumlah koloni
yang terhitung dikalikan dengan seperfaktor pengenceran merupakan jumlah
mikrobia/ml sisa susu.
3.5.12 Uji Coliform
Prinsip kerja :
Prinsip pengujian ini menghitung jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu
produk yang tumbuh pada media agar pada suhu dan waktu inkubasi yang
ditetapkan.
Alat dan bahan :
Cawan petri, tabung reaksi, pipet volumetrik, erlenmeyer, penghitung koloni
(colony counter), gunting, pinset, ose, pembakar bunsen, timbangan, vortex,
inkubator, penangas air, autoklaf, refrigerator, freezer, media violet red bile agar
(VRBA), buffer pepton water (BPW) 0,1%, dan sampel susu.
Cara kerja :
Prosedur pertama yaitu membuat pengenceran sampel dari 10-1 hingga 10-5.
Pembuatan pengenceran yaitu sampel sebanyak 1 ml susu kemudian dimasukkan
ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan BPW 0.1% steril selanjutnya divortex
15
sampai homogen (larutan 10-1). Satu ml suspensi pengenceran 10-1 dipindahkan
ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% menggunakan pipet steril (larutan 10-2).
Langkah selanjutnya yaitu membuat pengenceran 10-1,10-2,10-3 dan seterusnya
dengan cara yang sama seperti pada prosedur sebelumnya atau sesuai kebutuhan.
Langkah selanjutnya yaitu membuat pengenceran 10-3,10-4,10-5 dan seterusnya
dengan cara yang sama seperti pada prosedur sebelumnya sesuai kebutuhan.
Prosedur selanjutnya satu ml suspensi dari setiap pengenceran dimasukkan ke
dalam cawan petri secara duplo kemudian ditambahkan 15-20 ml VRBA bersuhu
45°C ± 1°C pada masing-masing cawan. Campuran tersebut kemudian
dihomogenkan dengan cara membentuk angka delapan dan diamkan sampai
menjadi padat. Inkubasikan pada temperatur 34-36°C ± 1°C selama 24-48 jam
dengan meletakkan cawan pada posisi terbalik (SNI 2897:2008).
Perhitungan jumlah koloni dilakukan dengan cara memilih cawan dengan
jumlah 25-250 koloni. Apabila pada cawan petri memiliki jumlah koloni kurang
dari 25 maka dihitung jumlah yang ada pada cawan dari setiap pengenceran, rerata
jumlah koloni per cawan dikalikan faktor pengenceran yang ada dalam tabel nilai
TPC pada SNI 2897:2008. Apabila pada cawan petri memiliki koloni lebih dari
250 koloni maka dihitung koloni yang dapat dihitung atau mewakili dan tandai
dengan tanda bintang. Apabila pada cawan petri dari semua pengenceran tidak
menghasilkan koloni dapat dilaporkan TPC kurang dari 1 kali pengenceran
terendah yang digunakan dan ditandai dengan tanda bintang (SNI 2897:2008).
16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
17
Rasa Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan
Konsistensi Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan
2. Berat Jenis 1,0277 g/ml 1,0270 g/ml
3 Kadar Lemak 3,7 % 3,0 %
Kadar bahan kering
4. 8,154% 7,8 %
tanpa lemak
5. Kadar protein 3,25 % 2,8 %
6. Derajat asam 8oSH 6,0-7,5oSH
7. pH 6,5 6,3-6,8
8. Uji alkohol 70% Negatif Negatif
9. Cemaran Mikroba
Total Plate Count 1,55 x107 CFU/ml 1x106 CFU/ml
10. Uji CMT Negatif -
11. Jumlah sel somatis 2,8x105 sel/ml 4x105 sel/ml
4.3 Pembahasan
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan, hasil organoleptik sampel susu sapi
segar menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang terjadi pada sampel susu,
baik perubahan warna, rasa, bau, maupun konsistensi. Hasil uji kebersihan juga
menunjukkan keadaan susu sapi segar yang bersih bebas dari kotoran apapun.
Secara umum, kondisi normal susu sapi segar memiliki warna putih kekuningan
yang disebabkan oleh protein kasein yang memberikan warna kekuningan pada
susu. Susu sapi segar juga memiliki aroma khas susu sapi atau tidak ada
perubahan dengan konsistensi yang normal tidak ada perubahan.
Uji didih dan uji alkohol menunjukkan hasil negatif. Pemeriksaan susu
untuk melihat keadaannya dapat dilakukan dengan uji didih, uji alkohol, dan uji
derajat asam. Uji-uji tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memeriksa derajat
keasaman susu secara tetrimetri dan untuk mengetahui kualitas susu. Pada saat
susu masih dalam kondisi tidak pecah dan tidak menggumpal setelah melewati uji
didih dan uji alkohol, maka susu dapat dikatakan sehat dan layak untuk
dikonsumsi. Sebaliknya bila susu pecah atau menggumpal, maka susu tersebut
18
tidak layak konsumsi atau susu dengan kualitas yang buruk. Pada uji didih susu
yang memiliki kualitas yang tidak bagus akan pecah ataupun menggumpal bila
melalui proses didih. Uji didih berfungsi untuk mengetahui kesegaran susu
melalui pemanasan. Bila susu dalam keadaan asam menjadikan kestabilan kasein
menurun, koagulasi kasein ini yang akan mengakibatkan pecahnya susu, tetapi
apabila susu dalam keadaan baik maka hasil yang dapat dilihat dari uji didih
adalah susu masih dalam keadaan homogen atau tidak pecah.
Uji alkohol merupakan kestabilan sifat koloidal protein susu tergantung
pada selubung atau mantel air yang menyelimuti butir-butir protein terutama
kasein. Apabila susu dicampur dengan alkohol yang memiliki daya dehidratasi,
maka protein akan berkoagulasi. Semakin tinggi derajat keasaman susu, semakin
berkurang jumlah alkohol dengan kepekatan yang sama dibutuhkan untuk
memecahkan susu yang sama banyaknya. Prinsip dasar pada uji alkohol
merupakan kestabilan sifat koloidal protein susu tergantung pada selubung atau
mantel air yang menyelimuti butir-butir protein terutama kasein. Terdapat pada
penambahan pertama 5 ml alkohol 70% ke dalam susu segar setelah
dihomogenkan tidak adanya butir-butir susu berarti hasilnya negatif atau kualitas
susu baik untuk dikonsumsi. Pada uji alkohol susu yang tidak baik (misalnya susu
asam) akan pecah atau menggumpal jika ditmbahkan alkohol 70%. Alkohol
memiliki daya dehidrasi yang akan menarik gugus H+ dari ikatan mantel air
protein, sehingga protein dapat melekat satu dengan yang lain akibatnya
kestabilan protein yang dinamakan susu pecah (Sudarwanto, 2005). Uji alkohol
adalah uji yang cepat dan sederhana yang merupakan dasar dalam kestabilan
protein ketika jumlah asam bertambah dalam susu (Buckle et al., 1987). Uji
alkohol bertujuan untuk memeriksa dengan tepat tingkat keasaman susu. Susu
yang mengandung keasaman 0,21 % tidak akan terkoagulan dengan penambahan
alkohol 70% dengan demikian, apabila uji alkohol menunjukan hasil positif
dimana dengan penambahan alkohol 70% susu terjadi penggumpalan maka susu
dalam keadaan tidak baik.
19
Gambar 2. Hasil uji didih pada susu sapi segar negatif tidak ada gumpalan
(kiri), dan Hasil uji alkohol negatif tidak ada gumpalan.
Hasil uji kesegaran susu ini diperkuat dengan hasil uji titrasi keasaman
Soxhlet Henkel (oSH). Prinsip pada uji derajat asam yaitu secara titrasi ditetapkan
kadar asam yang terbentuk dalam susu. Asam yang terbentuk sebagian besar
karena perombakan laktosa menjadi asam akibat kerja mikroorganisme. Susu
sebanyak 10 ml masukkan dalam 2 botol Erlenmeyer. Kemudian diteteskan
indikator phenolphtalein sebanyak 1 ml ke dalam botol Erlenmeyer pertama,
sedangkan botol Erlenmeyer yang kedua sebagai kontrol. Botol Erlenmeyer
pertama dititrasi dengan NaOH 0,1N setetes demi setetes sambil digoyang-
goyangkan sampai terbentuk warna merah muda, pada kondisi ini sudah tercapai
bagian antara asam dan basa. Jumlah NaOH 0,1N yang dipakai dikali empat
karena jumlah susu yang dipakai 10 ml, seharusnya 100 ml (Suardana dan
Swacita, 2004).
Berat jenis susu menunjuklan imbangan komponen zat-zat pembentuk di
dalamnya. Nilai berat jenis susu dipengaruhi oleh kadar lemak dan bahan kering
tanpa lemak, yang tidak lepas dari pengaruh makanan dan kadar air dalam susu
(Eckles et al., 1984). Makin tinggi kandungan bahan kering (BK) susu, maka
makin tinggi berat jenis susu (Girisonta, 1995). Berat jenis susu erat kaitannya
dengan komponen padatan susu dan BK konsentrat dalam ransum. Semakin tinggi
persentase BK ransum menghasilkan berat jenis susu yang semakin besar. Berat
20
jenis susu dipengaruhi oleh komponen susu terutama lemak, karena BJ lemak
lebih rendah dari pada air. Semakin tinggi kadar lemak dalam susu menyebabkan
berat jenis susu yang rendah. Menurut SNI susu segar syarat minimum BJ susu
pada sapi perah adalah 1,0280 (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Umumnya
semakin tinggi kemampuan produksi seekor sapi, maka semakin rendah kadar
lemak di dalam susu yang dihasilkan. Sapi perah mempunyai produksi yang
tinggi, tetapi kadar lemaknya rendah. Kadar lemak juga dipengaruhi oleh
frekuensi dan waktu pemerahan, pada pemerahan dua kali kadar lemak susu
pemerahan pagi hari sebesar 5,23% dibandingkan dengan pemerahan sore hari
yaitu sebesar 5,5% (Eckles, 1956). Kadar lemak susu dipengaruhi oleh kandungan
serat kasar di dalam ransum. Apabila kadar serat kasar rendah maka dapat
menurunkan kadar lemak susu yang dihasilkan (Sudono, 1999). Menurut SNI
syarat minimum kadar lemak susu segar adalah 3,0% (Badan Standarisasi
Nasional, 1998). Hasil pada pengujian Kadar Lemak Susu Sapi Segar yaitu 3,7%
sedikit tinggi melebihi syarat SNI susu sapi segar.
Gambar 3. Hasil Uji Kadar Lemak Susu Sapi Segar dengan menggunakan
Butirometer-
Gerber
21
Pada uji kadar lemak susu, pemberian H2SO4 pekat pada susu akan
merombak dan melarutkan kasein dan protein susu yang lainnya. Sedangkan
penambahan amyl-alkohol dan panas yang disebabkan karena reaksi zat-zat
tersebut akan mencairkan lemak dalam susu, sehingga butir-butir lemak menjadi
lebih besar dan menciptakan cairan jernih diatas H2SO4. Lemak merupakan
sumber utama pada susu. Baik manusia maupun sapi menyediakan sekitar 50%
energi sebagai lemak. Pada umumnya komposisi susu sapi terdiri dari air dan
bahan kering. Lemak termasuk ke dalam bahan kering susu. Lemak susu
merupakan komponen yang penting seperti halnya protein. Lemak dapat
meberikan energi yang lebih besar daripada protein maupun karbohidrat. Di
dalam lemak terdapat globula atau emulsi yaitu bulatan-bulatan minyak atau
lemak berukuran kecil di dalam serum. Ruang lingkup dari pemeriksaan kadar
lemak yaitu menetapkan metode pemeriksaan rutin untuk penentuan kadar lemak
susu misalnya susu yang dihomogenisasi dengan metode Gerber. Pereaksi yang
digunakan dalam metode Gerber yaitu asam sulfat 91-92% dengan kenampakan
tidak berwarna atau lebih terang serta amyl alkohol yang berwarna jernih. Pakan
yang diberikan untuk sapi juga mempengaruhi tinggi rendahnya kadar lemak susu
dan berhubungan dengan tinggi rendahnya produksi susu yang dihasilkan.
Kekurangan pakan pada sapi perah semestinya, akan menurunkan produksi susu.
Prinsip kerja dari butirometer pada dasarnya yaitu butir-butir lemak kecil
menggumpal menjadi butir-butir besar, dan hal ini dipercepat oleh amyl alkohol
dan pemanasan suhu 65oC. Lemak cair ini mengapung di atas campuran asam
belerang, plasma susu, dan amyl alkohol. Angka yang dapat dibaca dalam skala
butirometer disebabkan oleh perubahan laktosa menjadi caramel, seperti yang
terdapat pada Gambar 3.
Hasil uji sampel susu pada uji California Mastitis Test (CMT) menunjukkan
hasil negatif. California Mastitis Test (CMT) digunakan sebagai salah satu cara
untuk mendeteksi mastitis yang dilakukan di lapangan. Istilah viscous dalam
pemeriksaan California Mastitis Test (CMT) digunakan untuk menunjukkan
adanya produk-produk inflamasi seperti leukosit, fibrin dan serum, jumlah bakteri,
serta perubahan komposisi kimia air susu. Pada air susu mastitis terjadi
22
penambahan jumlah bakteri maupun jumlah sel radang sehingga terjadi
peningkatan reaksi. Peningkatan reaksi tersebut diduga bila ditambahkan zat aktif
permukaan (surface active agent) seperti NaOH 4% akan bereaksi dengan sel-sel
somatik dalam air susu termasuk leukosit. Sebagai akibat dari reaksi tersebut
adalah terjadi kenaikan konsentrasi air susu menjadi lebih kental (viscous) dan
membentuk gel.
Hasil Uji Residu Antibiotik menunjukkan hasil negatif. Hal ini
menunjukkan bahwa sampel susu sapi tidak terdapat residu antibiotik sesuai
dengan SNI 3141.1:2011. Penggunaan antibiotik penicillin berfungsi sebagai
indikator untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang terdapat di dalam media
MHA. Proses ini ditandai dengan terlihatnya zona hambat yang terlihat pada
media MHA.
Pada Uji Cemaran Mikroba diketahui nilai TPC menunjukkan hasil 1,55 x
107 CFU/ml. Hal ini mengindikasikan bahwa cemaran mikroba pada sampel susu
sapi segar melebihi syarat mutu dan kualitas SNI susu sapi segar. Uji TPC
berfungsi untuk mengetahui jumlah koloni cemaran mikroba yang terdapat dalam
sampel.
Tabel 3. Hasil Uji TPC Susu Sapi
105 106 107
1 186 19 3
2 124 14 2
Rata-rata 155 16,5 2,5
Jumlah rata-rata koloni dari cawan yang memiliki jumlah koloni sebesar 25-250
koloni adalah sebagai berikut :
155 x 105 = 1,55 x 107
Jadi, jumlah koloni = 1,55 x 107
Uji yang dilakukan pada sampel susu sapi segar menunjukkan adanya
cemaran bakteri E.coli yang ditunjukkan dengan terdapat warna hijau metalik
pada media EMBA. Cemaran E.coli ini dapat disebabkan akibat kontaminasi
23
bakteri dari lingkungan selama proses pemerahan ataupun cemaran selama proses
pengemasan.
24
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan terhadap mutu dan kualitas susu sapi
segar didapatkan bahwa susu tersebut kurang aman untuk dikonsumsi
masyarakat karena hasil dari pengujian cemaran mikroba kurang sesuai dengan
syarat mutu dan kualitas susu sapi segar berdasarkan SNI 3141.1:2011.
5.2 Saran
Perlu adanya penyuluhan atau edukasi kepada konsumen tentang tata cara
penyimpanan dan suhu yang baik untuk menyimpan susu serta cara pengolahan
susu yang benar.
25
DAFTAR PUSTAKA
26
Soeparno, Indratiningsih, Rihastuti, S. Triatmojo. 2011. Dasar Teknologi Hasil
Ternak. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Standar Nasional Indonesia. 2011. Susu Segar Bagian I (Sapi). SNI 3141.1:2011.
ICS 67.100.01.
Suardana, I.W. dan I.B.N. Swacita. 2004. Food Hygiene. Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Udayana : Denpasar.
Sudarwanto M. 2005. Bahan kuliah hygiene makanan. Bahan ajar. Bagian
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi ternak.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sumudhita, M.W. 1989. Susu dan Penanganannya. Program Studi Ilmu Produksi
Ternak Perah. Fakultas Peternakan Universitas Udayana : Denpasar.
Walstra P et al. 2006. Dairy Technology: Principles of Milk Properties and
Processes. CRC/Taylor and Francis. New York.
Widodo, W. 2002. Bioteknologi Fermentasi Susu. Malang. Pusat Pengembangan
Bioteknologi. Universitas Muhammadiyah. Malang.
27
LAMPIRAN
28
Maka, jumlah sel somatis = F x B
= 400.000 x 0,7
= 280.000 sel/ml
= 2,8 x 105 sel/ml
Keterangan :
F : Faktor mikroskop
B : Rataan sel somatis dalam 10 lapang pandang
29
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
yang dilaksanakan di
LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
PENGUJIAN YOGHURT
Oleh :
30
BAB I
PENDAHULUAN
31
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana mutu dan kualitas yoghurt sesuai dengan SNI 7552: 2009?
1.3 Tujuan
Dapat mengetahui pengujian mutu dan kualitas yoghurt yang sesuai dengan
SNI 7552: 2009.
32
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Yoghurt
Yoghurt merupakan produk olahan susu fermentasi yang mengandung asam
laktat, alkohol, karbondioksida, dan senyawa lain (Winarno dan Fernandes, 2007).
Proses pembuatan yoghurt adalah homogenasi, pasteurisasi, pendinginan,
inokulasi, dan inkubasi (Wahyudi dan Samsundari, 2008).
Yoghurt yang dibuat dengan menfermentasikan susu dengan bakteri asam
laktat dan dengan atau tanpa mikrobia lainnya yang sesuai (SNI 7552: 2009).
Bakteri asam laktat juga mempunyai kemampuan memproduksi berbagai
substansi antimikrobia yang potensial sebagai agensia pengawet yaitu : hidrogen
peroksida, karbondioksida, asam organik lainnya, diasetil, dan bakteriosin
33
(Suarsana, 2001) dengan hasil utama sejumlah besar asam laktat. Hal ini dapat
mempengaruhi penurunan pH dan menimbulkan rasa asam. Starter bakteri asam
laktat yang sering digunakan adalah Streptococcus dan Lactobacillus.
Kekentalan dapat disebabkan oleh penguraian padatan oleh bakteri asam
laktat pada proses fermentasi. Lebih lanjut dijelaskan oleh Winarno dan
Fernandes (2007) bahwa kekentalan susu dipengaruhi oleh total solid yang
terdapat dalam susu. Dalam hal ini laktosa, glukosa, galaktosa pada susu
fermentasi dan rafinosa serta stakiosa dalam filtrat ubi jalar merah diuraikan oleh
BAL sehingga mempengaruhi kekentalan susu fermentasi. Kekentalan dapat juga
dipengaruhi oleh kerusakan kasein, homogenisasi, kandungan lemak dan
pemanasan susu.
Adanya aktifitas BAL sangat mempengaruhi kekentalan susu karena BAL
akan merombak laktosa yang terdapat dalam susu menjadi asam laktat. BAL yang
menghasilkan enzim lactase dapat juga mempengaruhi kekentalan susu. Enzim
laktase dihasilkan karena adanya aktivitas Streptococcus thermophilus (Susilorini
dan Sawitri, 2006). Enzim laktase dalam susu digunakan untuk menguraikan
laktosa serta menghasilkan asam laktat yang menyebabkan ketidakstabilan protein
susu sehingga menjadi salah satu penyebab terjadinya peningkatan kekentalan.
Semakin meningkatnya aktivitas BAL mempengaruhi proses pemecahan laktosa
dalam menghasilkan asam laktat yang yang tinggi sehingga menyebabkan nilai
pH semakin turun. Analisis pH yang diperoleh adalah 6,78 – 6,58. Nilai pH yang
dihasilkan kurang optimum karena menurut Wahyudi dan Samsundari (2008) pH
susu fermentasi biasanya sekitar 4,5- 4,3. Hal ini dapat disebabkan karena proses
adaptasi BAL yang kurang sempurna karena setiap mikroba masing-masing
mempunyai pH optimum, minimum dan maksimum untuk pertumbuhannya,
sebagai contoh bakteri yang dapat tumbuh paling baik pada pH mendekati netral
(pH 7) tetapi beberapa bakteri menyukai suasana asam (pH kurang dari 4) dan
yang lain dapat tumbuh dengan sedikit asam atau dalam suasana basa (pH lebih
besar dari 7) (Imelda, 2007).
34
BAB III
METODOLOGI
35
Cara kerja :
Bahan diletakkan ke dalam beker glass kemudian diamati bau, warna, rasa,
dan konsistensi.
3.5.2 Uji Kebersihan
Prinsip Kerja :
Kotoran yang terdapat di dalam yoghurt akan tampak dengan mata telanjang
tertinggal di kertas saring. Kotoran dapat berupa bulu sapi, rumput, sisa makanan,
darah, nanah, pasir, dan sebagainya. Penilaian kebersihan bisa berupa bersih,
sedikit kotor, kotor, dan kotor sekali.
Alat dan Bahan :
Tabung Erlenmeyer, corong kaca, kertas saring, dan sampel yoghurt.
Cara Kerja :
Dituangkan sampel yoghurt sebanyak 250 ml secara perlahan-lahan
melewati corong kaca yang telah diberi kertas saring ke tabung Erlenmeyer.
Ambil kertas saring lalu amati kotoran yang tertinggal.
3.5.3 Pengukuran pH
Alat dan bahan :
Sampel yoghurt, pH indikator strips, pH meter dan beker glass.
Cara kerja :
Yoghurt dimasukkan ke dalam beker glass sebanyak 5-10 ml, kemudian
dicelupkan kertas indikator pH ke dalam beker glass. Selanjutnya kertas indikator
pH dikeringanginkan selama 1-30 detik dan disamakan dengan standar pH
indikator. Kemudian dilakukan pengukuran pH menggunakan pH meter untuk
mengkonfirmasi hasil pH indikator strips.
3.5.4 Uji Cemaran Coliform dengan metode MPN (Most Probable Number)
Prinsip :
Metode MPN (Most Probable Number) terdiri dari uji presumtif
(pendugaan) dan uji konfirmasi (peneguhan), dengan menggunakan media cair di
dalam tabung reaksi dan dilakukan berdasarkan jumlah tabung positif.
Pengamatan tabung positif dapat dilihat dengan timbulnya gas di dalam tabung
Durham.
36
Alat dan Bahan :
Timbangan, botol (150 ml) abung reaksi steril, tabung Durham, inkubator,
pipet steril larutan buffer pepton water (BPW) 0,1%, media cair Lauryl Sulfate
Tryptose Broth (LSTB), Brilian Green Lactose Broth (BGLB) dan sampel
yoghurt.
Cara kerja :
a. Uji Pendugaan
Sebanyak 1 ml sampel yoghurt dimasukkan ke dalam erlenmeyer steril yang
berisi 9 ml larutan BPW 0,1% kemudian dihomogenkan. Larutan yang terbentuk
merupakan pengenceran 10-1. Uji pendugaan dilakukan dengan pemindahan 1 ml
larutan pengencer 10-1 tersebut dengan pipet steril kedalam larutan 9 ml larutan
BPW 1% untuk mendapatkan pengenceran 10-2. Selanjutnya dengan cara yang
sama dibuat pengenceran 10-3. Sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran
dimasukkan ke dalam 3 seri tabung LSTB yang berisi tabung Durham. Tabung
reaksi diinkubasi pada temperatur 35 °C selama 24-48 jam. Perhatikan adanya gas
yang terbentuk di dalam tabung Durham. Hasil uji dinyatakan positif bila
terbentuk adanya gas.
b. Uji Konfirmasi (Peneguhan)
Dipindahkan biakan positif dari uji pendugaan dengan menggunakan jarum
inokulasidari setiap tabung LSTB ke dalam tabung BGLB yang berisi tabung
Durham. Kemudian diinkubasi pada temperatur 35oC selama 48 jam ± 2 jam.
Perhatikan adanya gas yang terbentuk di dalam tabung Durham. Hasil uji
dinyatakan positif apabila terbentuk adanya gas. Selanjutnya gunakan tabel MPN
untuk menentukan nilai MPN berdasarkan jumlah tabung BGLB yang positif
sebagai jumlah coliform per mililiter atau per gram.
3.5.5 Uji Yeast and Mold
Alat dan Bahan :
Timbangan, cawan petri, media Saboraud’s Dextrose Agar (SDA), dan
sampel yoghurt.
37
Cara Kerja :
Sebanyak 5 gram sampel diletakkan di atas media dan diletakkan di suhu
ruangan. Diperiksa adanya pertumbuhan kapang setelah 3 hari.
38
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Hasil
Untuk mengetahui mutu dan kualitas dari produk bahan pangan asal hewan
yaitu yoghurt perlu dilakukan beberapa tahapan pengujian sebagai jaminan
keamanan pangan. Berikut adalah hasil dari berbagai pengujian mutu dan kualitas
yoghurt :
39
Standar (SNI 01-
No. Jenis Uji Hasil Uji
2981-2009)
1. Organoleptik :
Bau Khas Khas
Rasa Asam Asam
Warna Putih Putih
Konsistensi Homogen Homogen
Penampakan Cairan kental Cairan kental
2. Uji pH Indikator 4 3,6 - 4,1
3. Cemaran Mikroba :
Uji Most Probable Number Negatif Maks 10 APM/gr
(MPN)
4.3 Pembahasan
Berdasarkan hasil uji organoleptik yang telah dilakukan terhadap produk
yoghurt, menunjukkan mutu yoghurt tersebut sesuai dengan SNI. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa yogurt tersebut dibuat dengan tahapan-tahapan yang
sesuai dengan standar dan higienis. Bau dan rasa yoghurt dipengaruhi oleh adanya
senyawa tertentu dalam yoghurt seperti senyawa asetaldehida, diasetil, asam
asetat, dan asam-asam lainnya yang jumlahnya sangat sedikit. Senyawa ini
dibentuk oleh bakteri Streptococcus thermophillus dari laktosa susu, diproduksi
juga oleh beberapa strain bakteri Lactobacllus bulgaricus. Berdasarkan hasil uji
organoleptik juga dapat disimpulkan bahwa yoghurt tersebut disimpan dengan
waktu yang tepat sehingga didapatkan cairan dengan tekstur kental.
Yoghurt yang disimpan terlalu cepat maka teksturnya akan cair, sedangkan
yoghurt yang memenuhi standar mutu adalah yang bertekstur cairan kental.
Kekentalan yoghurt dipengaruhi oleh waktu penyimpanan yoghurt, semakin lama
waktu penyimpanan maka yoghurt akan semakin kental. Semakin lama proses
penyimpanan maka proses fermentasi akan terus berlangsung hingga makin
kental. Dalam proses fermentasi ini bakteri yoghurt pada umumnya seperti jenis
Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus dan Streptococcus salivarius subsp.
40
thermophillus akan memakan gula (laktosa) yang terdapat di dalam susu,
akibatnya susu menjadi kental dan menggumpal (Wahyudi dan Samsundari,
2008).
Pada uji terhadap cemaran mikroba Coliform dengan metode MPN
didapatkan hasil negatif atau tidak menunjukkan adanya bakteri Coliform pada
sampel yoghurt. Hal ini menunjukkan bahwa mutu dan kualitas yoghurt terhadap
bakteri Coliform sesuai dengan SNI yaitu kurang dari 10 APM/gr. Hal tersebut
menunjukkan bahwa yoghurt ini diolah secara higienis dan penggunaan bahan
baku yang bermutu dan berkualitas tinggi. Selain itu bakteri asam laktat yang
terdapat di dalam yoghurt dapat menekan pertumbuhan bakteri lain sehingga
dalam hasil pengujian cemaran mikroba hasil sesuai dengan SNI.
Pengujian ini dilakukan untuk menghindari adanya penyakit yang
disebabkan oleh produk pangan asal hewan yang tercemar mikroorganisme
patogen atau sering disebut sebagai foodborne disease. Bakteri Coliform
menyebabkan foodborne disease contohnya seperti Salmonellosis dan
Colibacillosis.
Berdasarkan uji pH dengan menggunakan pH indikator dan pH meter,
produk ini menunjukkan hasil yang sesuai dengan SNI. Hal ini menunjukkan
bahwa yoghurt tersebut dibuat dengan komposisi yang baik dan tepat, selain itu
pengolahannya juga memiliki tingkat kualitas yang tinggi.
41
Asam ini terbentuk dari hasil fermentasi karbohidrat susu (laktosa oleh bakteri
biakan menjadi asam laktat. Bakteri memanfaatkan laktosa sebagai sumber energi
dan sumber karbon selama masa pertumbuhan. Jumlah asam laktat yang terlalu
sedikit ataupun terlalu banyak akan mempengaruhi cita rasa dari yoghurt tersebut.
42
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan terhadap mutu dan kualitas yoghurt
didapatkan bahwa yoghurt tersebut aman untuk dikonsumsi masyarakat karena
hasil dari pengujiannya sesuai dengan syarat mutu dan kualitas telur olahan
berdasarkan SNI 01-2981-2009.
5.2 Saran
Perlu adanya penyuluhan atau edukasi kepada konsumen tentang tata cara
penyimpanan dan suhu yang baik untuk menyimpan produk yoghurt.
43
DAFTAR PUSTAKA
44
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
yang dilaksanakan di
LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Oleh :
45
BAB I
PENDAHULUAN
46
1.3 Tujuan
Dapat mengetahui mutu dan kualitas sampel daging kelinci sesuai dengan
standar pengujian mutu.
.
47
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daging
Daging merupakan salah satu komoditi pertanian yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan protein, karena daging mengandung protein yang bermutu
tinggi, yang mampu menyumbangkan asam amino esensial yang lengkap.
Menurut Soputan (2004), daging didefinisikan sebagai bagian dari hewan potong
yang digunakan manusia sebagai bahan makanan, selain mempunyai penampakan
yang menarik selera, juga merupakan sumber protein hewani berkualitas tinggi.
Demikian halnya dengan Soeparno (2005) yang mendefinisikan daging
sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-
jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan
kesehatan bagi yang mengkonsumsi atau memakannya. Organ-organ seperti hati,
ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa, pankreas, dan jaringan otot lainnya
termasuk dalam definisi daging. Lawrie (2003) menyatakan bahwa komposisi
daging terdiri atas 75% air, 19% protein, 3,5% substansi nonprotein terlarut, dan
2,5% lemak. Substansi non protein yang larut terdiri dari karbohidrat, vitamin dan
mineral dalam daging. Protein memiliki fungsi untuk memperbaiki dan membantu
pertumbuhan struktur jaringan dan jaringan aktif yang ada didalam tubuh. Daging
adalah daging hewan yang digunakan sebagai makanan (Lawrie, 2003). Menurut
Soeparno (2005) otot merupakan komponen utama penyusun daging, otot hewan
berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah
terhenti. Faktor yang mempengaruhi kondisi ternak sebelum pemotongan akan
mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga kualitas daging
yang dihasilkan.
Soputan (2004) menyatakan bahwa jaringan otot, jaringan lemak, jaringan
ikat, tulang dan tulang rawan merupakan komponen fisik utama daging. Jaringan
otot terdiri dari jaringan otot bergaris melintang, jaringan otot licin, dan jaringan
otot spesial. Sedangkan jaringan lemak pada daging dibedakan menurut lokasinya,
yaitu lemak subkutan, lemak intermuskular, lemak intramuskular, dan lemak
48
intraselular. Jaringan ikat yang penting adalah serabut kolagen, serabut elastin,
dan serabut retikulin. Secara garis besar struktur daging terdiri atas satu atau lebih
otot yang masing-masing disusun oleh banyak kumpulan otot, maka serabut otot
merupakan unit dasar struktur daging.
2.2 Daging Kelinci
Daging kelinci mempunyai kualitas yang lebih baik daripada daging sapi,
domba atau kambing. Hal ini disebabkan daging kelinci mengandung persentase
kadar protein yang lebih tinggi dan memiliki persentase kolesterol lebih rendah
dibandingkan daging ternak lain seperti sapi, domba maupun kambing. Daging
kelinci mempunyai serat yang halus dan warna sedikit pucat, sehingga daging
kelinci dapat dikelompokkan ke dalam golongan daging berwarna putih seperti
halnya ayam (Suradi, 2004). Daging kelinci dan daging ayam hampir memiliki
kesamaan warna yaitu putih pucat, hal ini disebabkan oleh rendahnya kandungan
mioglobin (Lawrie, 2003). Daging kelinci muda, berwarna putih, seratnya halus
dan rasanya lebih enak dari daging ayam. Kelinci dewasa, dagingnya padat, kasar
berwarna merah tua dan kurang empuk (Herman, 1989).
Banyak keunggulan yang diperoleh dari mengkonsumsi daging kelinci
dibandingkan dengan ternak lain (Tabel 1), yaitu kandungan protein yang tinggi
dan rendah kolesterol, rendah lemak, mengandung berbagai vitamin, mineral dan
yang terpenting adalah mengandung asam amino essensial sehingga daging
kelinci dapat dipromosikan sebagai daging sehat (Raharjo, 2004).
Tabel 1. Perbandingan Komposisi Kimia Daging dari Berbagai Ternak
Zat Gizi Kelinci* Ayam* Sapi** Domba** Babi**
Protein (g/100 g) 21.9 19.7 16.3 15.7 21.8
Lemak (g/100 g) 5.5 3.9 24.05 21.5 37.83
Energi (Kkal) 137 449 136 156 123
Kolesterol 53 70 58 74 123
(mg/100 g)
Kalori (Kkal) 136 215 291 267 398
Sumber : Chan, et al. (1995)
49
Keterangan : (*) bagian paha dan pinggang
(**) lean meat
Suradi (2004) menambahkan daging kelinci dapat dipromosikan sebagai
daging yang berwawasan lingkungan, karena diproduksi dengan pakan yang tidak
berkompetitif dengan manusia, dan dapat disebut juga sebagai daging alami,
karena kelinci dapat tumbuh dengan baik tanpa feed additife non nutritive seperti
antibiotik dan hormon, hanya membutuhkan pakan yang sesuai dengan
kebutuhannya.
Produksi karkas yang dihasilkan kelinci potong lokal dari bobot hidup rata-
rata 1-2,1 kg adalah 699,5 g dan dapat menghasilkan urat daging 80,07%, lemak
4,2% dan tulang 15,73% untuk kelinci jantan, sedangkan untuk kelinci betina
berat karkas mencapai 722,89 g dengan konversi urat daging, lemak dan tulang
masing-masing adalah 79,09%; 5,54% dan 15,48% dari berat karkas (Duldjaman
et al., 1983). Kelinci tipe ringan (Himalaya) yaitu bobot dewasa 2,5-3,0 kg, berat
karkas 1-1,2 kg mencapai dewasa kelamin pada umur 4 bulan; tipe medium bobot
dewasa (New Zealand White) 3,5-4,5 kg dengan dewasa kelamin pada umur 5-6
bulan dan tipe berat (Flemish Giant) bobot dewasa lebih dari 5 kg pada umur 7-8
bulan. Raharjo (2004) menambahkan bahwa umur kawin yang baik pada kelinci
adalah 6 bulan bagi betina, 7 bulan bagi jantan.
2.3 Kualitas Daging
Kualitas daging adalah karaketeristik daging yang dinilai oleh konsumen.
Menurut (Purbowati et al.,2006) beberapa karakteristik kualitas daging yang
mempengaruhi daya terima konsumen terhadap daging yakni pH, daya ikat air,
susut masak, warna dan keempukan. Dijelaskan pula bahwa faktor kualitas daging
yang dimakan meliputi warna, keempukan, tekstur, flavor (cita rasa), aroma (bau),
dan kesan jus daging (juiciness) (Soeparno, 2005). Disamping itu susut masak
cooking lost ikut menentukan kualitas daging. Zat-zat yang terdapat dalam daging
yaitu protein 19%, lemak 2,5%, air 75% dan 3,5% substansi non protein terlarut
(Lawrie, 2003). Abustam (2009) menambahkan bahwa kualitas karkas dan daging
dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum
pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah genetik,
50
spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif
(hormon, antibiotik dan mineral). Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi
kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode
pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk
daging, hormon dan antibiotika, lemak intramuskular atau marbling, metode
penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi otot daging.
Karakteristik fisik daging segar sangat berpengaruh terhadap daya tarik konsumen
untuk membeli daging (Aberle et al., 2001). Pengujian kualitas fisik daging secara
objektif dapat dilakukan dengan cara mengetahui daya putus Warner-Bratzler
(WB), kekuatan tarik dan kompresi, kehilangan berat selama pemasakan (susut
masak), pH, daya ikat air dan keempukan juga merupakan komponen kualitas
daging yang diuji (Soeparno, 2005).
2.4 Karakteristik Fisik Daging
Parameter fisik kualitas daging meliputi daya ikat air oleh protein daging,
pH dan susut masak.
a. Daya ikat air / DIA (water holding capacity)
Daya ikat air oleh protein daging dalam bahasa asing disebut sebagai Water
Holding Capacity (WHC), didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk
menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan,
misalnya pemotongan, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Daging juga
mempunyai kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari lingkungan yang
mengandung cairan (water absorption). Ada tiga bentuk ikatan air di dalam otot
yakni air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4–5% sebagai
lapisan monomolekuler pertama, kedua air terikat agak lemah sebagai lapisan
kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar kira-kira 4%, dimana
lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat. Ketiga
adalah lapisan molekul-molekul air bebas diantara molekul protein, besarnya kira-
kira 10%. Denaturasi protein tidak akan mempengaruhi perubahan molekul pada
air terikat (lapisan pertama dan kedua), sedang air bebas yang berada diantara
molekul akan menurun pada saat protein daging mengalami denaturasi. Kualitas
karkas yang berhubungan dengan umur dan lemak intramuskuler mempunyai
51
pengaruh terhadap daya ikat air (DIA) daging (Soeparno,2005). Otot yang
mempunyai kandungan lemak intramuskuler tinggi cenderung mempunyai DIA
yang tinggi. Hubungan antara lemak intramuskuler dengan DIA adalah kompleks,
lemak intramuskuler akan melonggarkan mikrostruktur daging, sehingga memberi
lebih banyak kesempatan kepada protein daging untuk mengikat air. Kemampuan
daging untuk menahan air merupakan suatu sifat penting karena dengan daya ikat
air yang tinggi, maka daging mempunyai kualitas yang baik. Menurut Soeparno
(2005) nilai daya ikat air (DIA) berkisar diantara 20% – 60%.
b. Tingkat keasaman (pH) daging
Nilai pH merupakan salah satu kriteria dalam penentuan kualitas daging,
khususnya di Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Setelah pemotongan hewan
(hewan telah mati), maka terjadilah proses biokimiawi yang sangat kompleks di
dalam jaringan otot dan jaringan lainnya sebagai konsekuen tidak adanya aliran
darah ke jaringan tersebut, karena terhentinya pompa jantung. Salah satu proses
yang terjadi dan merupakan proses yang dominan dalam jaringan otot setelah
kematian (36 jam pertama setelah kematian atau post-mortem) adalah proses
glikolisis anaerob atau glikolisis post-mortem. Dalam glikolisis anaerob ini, selain
dihasilkan energi (ATP) maka dihasilkan juga asam laktat. Asam laktat tersebut
akan terakumulasi di dalam jaringan dan mengakibatkan penurunan nilai pH
jaringan otot. Nilai pH otot (otot bergaris melintang atau otot skeletal atau yang
disebut daging) saat hewan hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral). Setelah hewan
disembelih (mati), nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun akibat adanya
akumulasi asam laktat. pH awal diukur pada awal pengukuran setelah
pemotongan sampai 45 menit, kemudian nilai pH akhir (ultimate pH value) adalah
nilai pH terendah yang dicapai pada otot setelah pemotongan (kematian).
Pengukuran nilai pH akhir biasanya dilakukan 24-36 jam setelah kematian pada
karkas sapi selama di dalam pendingin (chiller). Menurut Suardana dan Swacita
(2009) pH normal daging adalah 5,4- 5,8. Nilai pH daging post-mortem akan
ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses
glikolisis anaerob dan akan terbatas bila hewan terdepresi karena lelah. Setelah
hewan disembelih, penyedian oksigen otot terhenti. Dengan demikian persediaan
52
oksigen tidak lagi di otot dan sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan lagi dari
otot. Jadi daging hewan yang sudah disembelih akan mengalami penurunan pH.
c. Susut Masak Daging
Susut masak daging adalah perbedaan antara bobot daging sebelum dan
sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase. Susut masak dapat
dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut
otot, status kontraksi miofibril, ukuran, dan berat sampel daging serta penampang
lintang daging. Susut masak dapat meningkat dengan panjang serabut otot yang
lebih pendek. Pemasakan yang relatif lama akan menurunkan pengaruh panjang
serabut otot terhadap susut masak.
Konsumsi pakan dapat mempengaruhi besarnya susut masak. Pendapat
Soeparno (2005), bahwa pada umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi
antara 1,5–54,5% dengan kisaran 15–40%. Daging bersusut masak rendah
mempunyai kualitas yang relatif baik bila dibandingkan dengan daging bersusut
masak tinggi, karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih
sedikit. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan
dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara
otot. Daya ikat air yang rendah akan mengakibatkan nilai susut masak yang tinggi.
Daya ikat air (Water Holding Capacity) sangat dipengaruhi oleh nilai pH daging.
Menurut Soeparno (2005) apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik
isoelektrik daging (5,0−5,1) maka nilai susut masak daging tersebut akan rendah.
Tabel 2. Karakteristik sifat fisik daging kelinci
Rex Lokal
Karakteristik
Jantan Betina Jantan Betiina
pH 5.86 5.92 5.67 6.13
Keempukan
4.54 4.44 4.12 1.98
(kg/cm2)
Susut masak (%) 36.01 35.63 40.77 40.48
DIA (mgH2O) 104,71 122.18 108.57 133.29
Brahmantiyo, et al. (2014).
53
BAB III
METODOLOGI
54
Cara kerja :
Bahan diletakkan di atas cawan petri kemudian diamati bau, warna, rasa.
Dan konsistensi.
3.5.2 Uji pH
Alat dan Bahan :
Sampel daging kelinci segar, pH indikator strips, pH meter dan cawan petri
Cara kerja :
Daging kelinci segar diletakkan pada cawan petri, kemudian tempelkan
kertas indikator pH pada bagian daging, kertas indikator dikeringkan kurang lebih
1-30 detik dan disamakan dengan standar pH indikator. Kenudian dilakukan
pengukuran pH menggunakan pH meter untuk mengkonfirmasi hasil pH indikator
strips.
3.5.3 Uji Eber
Prinsip kerja :
Gas NH3 yang dihasilkan pada awal proses pembusukan daging akan
bereaksi dengan reagen Eber untuk membentuk senyawa NH4CL yang tampak
seperti awan putih.
Alat dan bahan :
Reagen eber (dietil eter, HCl pekat dan alkohol 96% dengan perbandingan
1:1:3), sampel daging kelinci segar, tabung reaksi 25 ml, pipet ukur 10 ml, kawat
steril, gunting/pisau, pinset dan sumbat tabung.
Cara kerja :
Ambil sampel daging masing-masing sebanyak 5 g dengan pinset steril dan
ditusuk dengan kawat steril. Masukkan sampel daging tersebut pada tabung reaksi
yang telah diisi 5 ml larutan Eber. Uji Eber positif akan terbentuk kabut seperti
awan putih pada ruang udara tabung reaksi.
3.5.4 Uji Drip loss
Prinsip :
Air bebas akan dilepaskan dari protein otot sejalan dengan penurunan pH
otot.
55
Alat dan Bahan :
Cawan petri, benang, toples dengan kawat, kertas tisu, gunting, timbangan,
lemari es dan sampel daging.
Cara kerja :
Sepotong daging ditimbang (a gram) kemudian daging digantung pada
kawat yang terdapat di dalam toples dengan menggunakan benang lalu tutup
rapat. Daging tidak boleh bersentuhan dengan bagian dalam toples. Masukkan
toples ke dalam lemari es (7°C) selama 48 jam, daging dikeluarkan dari pastik dan
permukaan daging dikeringkan dengan tisu tanpa ditekan. Kemudian daging
ditimbang (b gram). Hitung drip loss (%) dengn rumus :
𝑎−𝑏
Drip loss (%) = x 100%
𝑎
56
3.5.6 Pemeriksaan Kesempurnaan Pengeluaran Darah
Prinsip :
Hewan yang dipotong tidak sempurna akan banyak ditemukan hemoglobin
(Hb) dalam dagingnya. Adanya O2 (dari gas H2O2) dalam reaksi akan mengikat
Hb sehingga zat warna malachite green tidak akan dioksidasi dan warna tetep
hijau. Jika tidak ada Hb maka O2 akan mengoksidasi malachite green dan akan
menjadi warna biru.
Alat dan bahan :
Sampel daging, aquadest, malachite green, H2O2 3%, kertas saring, pipet,
tabung reaksi, erlenmeyer 50ml, corong, pinset, gunting.
Cara kerja :
Sampel daging ditimbang 6 gram kemudian dipotong kecil-kecil untuk
selanjutnya dibuat ekstrak, ditambhkan dengan 14 ml aquades dan dimasukkan ke
dalam erlenmeyer, homogenkan. Diamkan selama 15 menit. Ekstrak diambil 0,7
ml filtratnya dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Teteskan malachite green dan
H2O2 sebanyak 1 tetes. Kemudian diamkan selama 20 menit dalam suhu ruang.
3.5.7 Uji Total Plate Count (TPC)
Prinsip Kerja :
Setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni sehingga
jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan satu indeks bagi jumlah
organism yang dapat hidup yang terkandung dalam sampel.
Alat dan Bahan:
Tabung Erlenmeyer, pipet steril, cawan petri, media PCA (Plate Count
Agar), alkohol 70%, plastik, inkubator, dan sampel daging kelinci.
Cara Kerja :
Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam keadaan steril.
Sterilisasi alat dan bahan (Erlenmeyer, pipet, cawan petri dan gunting
menggunakan oven suhu 160-180oC selama 2 jam) sedangkan (sterilisasi media
BPW dan PCA menggunakan Autoclave suhu 121oCtekanan 1 atm selama 15
menit). Sampel daging terlebih dahulu disemprot dengan alkohol 70%. Ditimbang
sampel daging sebanyak 25 gram kedalam erlenmeyer steril menggunakan pinset.
57
Ditambahkan media pencencer BPW sebanyak 225 mL kedalam erlenmeyer berisi
sampel. Dipipet 1 mL sampel kedalam masing-masing petridish (1 mL kedalam
petridish untuk pengujian TPC dan 1 mL untuk petridish pengujian
e.coli/coliform). Dituangkan (platting) media ke masing-masing petridish yang
berisi sampel (15 mL media PCA kedalam petri untuk pengujian TPC) didiamkan
beberapa menit hingga media agar memadat dan merata. Kemudian di inkubasi
selama 48 jam ke dalam inkubator suhu 37oC. Amati dan catat hasil pembacaan
pengujian TPC.
3.5.8 Uji Coliform
Prinsip kerja :
Prinsip pengujian ini menghitung jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu
produk yang tumbuh pada media agar pada suhu dan waktu inkubasi yang
ditetapkan.
Alat dan bahan :
Cawan petri, tabung reaksi, pipet volumetrik, erlenmeyer, penghitung koloni
(colony counter), gunting, pinset, ose, pembakar bunsen, timbangan, vortex,
inkubator, penangas air, autoklaf, refrigerator, freezer, media violet red bile agar
(VRBA), buffer pepton water (BPW) 0,1%.
Cara kerja :
Prosedur pertama yaitu membuat pengenceran sampel dari 10-1 hingga 10-5.
Pembuatan pengenceran yaitu sampel sebanyak 1 gram diambil dengan sendok
steril kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan BPW
0.1% steril selanjutnya divortex sampai homogen (larutan 10-1). Satu ml suspensi
pengenceran 10-1 dipindahkan ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% menggunakan
pipet steril (larutan 10-2). Langkah selanjutnya yaitu membuat pengenceran 10-
1
,10-2,10-3 dan seterusnya dengan cara yang sama seperti pada prosedur
sebelumnya atau sesuai kebutuhan. Langkah selanjutnya yaitu membuat
pengenceran 10-3,10-4,10-5 dan seterusnya dengan cara yang sama seperti pada
prosedur sebelumnya sesuai kebutuhan. Prosedur selanjutnya satu ml suspensi
dari setiap pengenceran dimasukkan ke dalam cawan petri secara duplo kemudian
ditambahkan 15-20 ml VRBA bersuhu 45°C ± 1°C pada masing-masing cawan.
58
Campuran tersebut kemudian dihomogenkan dengan cara membentuk angka
delapan dan diamkan sampai menjadi padat. Inkubasikan pada temperatur 34-
36°C ± 1°C selama 24-48 jam dengan meletakkan cawan pada posisi terbalik.
Perhitungan jumlah koloni dilakukan dengan cara memilih cawan dengan
jumlah 25-250 koloni. Apabila pada cawan petri memiliki jumlah koloni kurang
dari 25 maka dihitung jumlah yang ada pada cawan dari setiap pengenceran, rerata
jumlah koloni per cawan dikalikan faktor pengenceran yang ada dalam tabel nilai
TPC pada SNI 2897:2008. Apabila pada cawan petri memiliki koloni lebih dari
250 koloni maka dihitung koloni yang dapat dihitung atau mewakili dan tandai
dengan tanda bintang. Apabila pada cawan petri dari semua pengenceran tidak
menghasilkan koloni dapat dilaporkan TPC kurang dari 1 kali pengenceran
terendah yang digunakan dan ditandai dengan tanda bintang.
3.5.9 Uji Cemaran Salmonella
Alat dan Bahan :
Cawan petri, ose, bunsen, dan media Salmonella Shigella Agar (SSA),
sampel daging.
Cara Kerja :
Koloni pada hasil TPC di strik menggunakan ose pada media SSA.
Selanjutnya cawan petri diinkubasi pada posisi terbalik pada suhu 37 oC selama
24 jam.
3.5.10 Uji Cemaran E. Coli menggunakan media EMBA
Alat dan Bahan :
Cawan petri, inkubator, media Eosin Methylen Blue Agar (EMBA), sampel
daging kelinci dari tabung LB yang di duga positif.
Cara Kerja :
Tabung LB yang diduga positif distrik pada media padat EMBA. Diinkubasi
pada temperatur 35ºC selama 18-24 jam.
Intepretasi :
Koloni yang diduga E. coli memiliki diameter 2-3 mm, berwarna hitam atau
gelap pada bagian pusat koloni, dengan atau tanpa metalik kehijauan yang
mengkilat pada media EMBA.
59
3.5.11 Uji Yeast dan Mold
Alat dan Bahan :
Timbangan, cawan petri, media Saboraud’s Dextrose Agar (SDA), sampel
daging kelinci.
Cara Kerja :
Sebanyak 5 gram sampel diletakkan di atas media dan diletakkan di suhu
ruangan. Diperiksa adanya pertumbuhan kapang setelah 3 hari.
60
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
61
7. Residu Antibiotik Negatif
o
1,275 x 107 1 x 106 koloni/g
8. ALT (30 C, 72 jam)
koloni/g
9. E. coli Positif 1 x 101 koloni/g
10. Salmonella sp. Negatif Negatif
1,965 x 104 1 x 102 koloni/g
11. Coliform
koloni/g
4.3 Pembahasan
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan organoleptik yaitu didapatkan bau
khas daging dengan warna putih kemerahan dan konsistensi kenyal. Hasil
organoleptik pada daging didapatkan sesuai dengan standar nilai normal. Nilai pH
pada sampel daging kelinci menggunakan pH indikator yaitu 5,6 yang
menunjukkan telah sesuai dengan standar yang ada.
Pada pengujian driploss diperoleh hasil sebesar 21,4%, yang artinya banyak
cairan (eksudat) yang keluar dari daging tanpa aplikasi atau penerapan tekanan
dari luar. Jika daya ikat air tinggi, maka nilai driploss kecil, demikian pula
sebaliknya. Waktu dan suhu penyimpanan dalam pendingin merupakan faktor
yang penting yang menpengaruhi drip loss. Kelembaban lingkungan berpengaruh
besar terhadap driploss misalnya akibat proses thawing. Sedangkan nilai cooking
loss yang didapatkan yaitu 39,6%. Faktor yang berpengaruh terhadap cooking loss
dan driploss adalah nilai pH dan daya ikat air. Daya ikat air adalah kemampuan
daging untuk mempertahankan kandungan air selama mengalami perlakuan dari
luar seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan, dan pengolahan. Daya ikat air
sangat berpengaruh terhadap warna, tekstur, kesegaran, sari minyak, dan
pengolahan. Cooking loss berkisar antara 1,5-54,5% (Soeparno, 2005). Daging
dengan cooking loss rendah memiliki kualitas yang relatif baik, karena resiko
kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit.
Pada pemeriksaan Kesempurnaan Pengeluaran Darah didapatkan hasil
berwarna biru yang mengartikan bahwa pengeluaran darah sempurna. Hasil
pengujian yang menunjukkan semua larutan sampel daging kelinci berwarna biru
62
yang mengindikasikan bahwa di dalam otot tidak terdapat hemoglobin (Hb)
sehingga malachite green teroksidasi oleh oksigen dari H2O2 (Lukman et
al.,2007). Pengujian terhadap sampel daging menunjukkan pengeluaran darah
sempurna yang mengindikasikan hewan kelinci tidak mengalami stres berlebih
saat penyembelihan. Penyembelihan hewan yang sempurna diindikasikan dengan
telah terpotongnya 3 saluran utama yaitu saluran pernafasan (trachea), pencernaan
(esofagus), dan pembuluh darah (arteri dan vena). Menurut Lukman et al. (2007)
hewan yang disembelih dalam keadaan sakit atau stres akan menyebabkan darah
tertinggal dalam otot sehingga ditemukan adanya hemoglobin dalam otot.
Pemeriksaan awal pembusukan dilakukan untuk mengetahui adanya hasil
metabolisme mikroorganisme berupa gas NH3 dan H2S pada awal proses
pembusukan. Uji yang dilakukan adalah uji Eber dan Uji H2S. Pada Uji Eber
diperoleh hasil negatif. Pemeriksaan awal pembusukan daging yang dilakukan
dengan uji Eber akan menunjukkan hasil positif pembusukan jika ditandai dengan
terjadinya pengeluaran asap pada dinding tabung, dimana gas NH3 yang keluar
dari potongan daging yang busuk akan berikatan dengan asam kuat (HCl) dari
reagen Eber sehingga terbentuk gas NH4Cl. Pada daging sapi ataupun daging
ayam segar, dingin, dan beku yang diperiksa awal pembusukannya menggunakan
uji Eber menunjukkan hasil negatif artinya tidak terdapat NH4Cl setelah diuji
dengan reagen Eber karena pada daging-daging tersebut belum terbentuk gas NH3.
Pada daging busuk jelas terlihat awan atau gas putih (NH4Cl) di dinding tabung
karena daging busuk tersebut sudah terbentuk gas NH3.
Uji H2S digunakan untuk awal pembusukan daging. Prinsip uji H2S yaitu
H2S yang dihasilkan oleh daging yang mulai membusuk akan berikatan dengan Pb
asetat menjadi PbS. Hasil positif (+) menunjukkan perubahan warna menjadi
coklat kehitaman, sedangkan hasil negatif (-) tidak ada perubahan warna
(Nurhadi, 2012). Hasil yang diperoleh setelah dilkukan uji H2S didapatkan hasil
negatif. Hal ini mengindikasikan daging kelinci masih dalam keadaan segar tidak
ada pembusukan.
Pemeriksaan residu antibiotik juga penting dilakukan karena pemakaian
antibiotik tidak beraturan atau tidak tepat dosis atau tidak sesuai dengan diagnosa
63
penyakitnya dapat menyebabkan residu dalam jaringan-jaringan atau organ ternak
yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya, yaitu
dapat menyebabkan reaksi alergi atau resistensi dan kemungkinan menyebabkan
keracunan. Berdasarkan uji residu antibiotik, sampel daging tidak mengandung
residu antibiotik. Hal tersebut tampak pada hasil yang menunjukkan adanya zona
hambat pertumbuhan bakteri pada media MHA. Media MHA merupakan media
untuk pertumbuhan mikroba, media ini biasa digunakan untuk tes sensitivitas
antibiotik.
Berdasarkan uji cemaran mikroba yang dilakukan, pengujian cemaran
mikroba menggunakan metode TPC dengan media PCA pada daging kelinci segar
menunjukkan koloni dengan hasil 1,275 x 107 koloni/g. Hal ini menunjukkan hasil
yang melebih dari standar, dan mengartikan bahwa daging kelinci ini tercemar
oleh berbagai macam mikroba. Untuk uji Coliform dengan media VRBA hasilnya
adalah 1,965 x 104 koloni/g yang melebihi ambang batas dari standar.
Pada uji E.coli didapatkan hasil postif, ditandai dengan adanya koloni
berwarna hijau metalik pada media EMBA. Daging kelinci juga diuji cemaran
bakteri Salmonella menggunakan media SSA dengan hasil uji negatif salmonella
sehingga daging kelinci tersebut masuk dalam kategori tidak layak dikonsumsi.
64
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uji yang dilakukan pada sampel daging kelinci sudah sesuai
dengan standar. Namun pada pemeriksaan TPC dan Coliform menunjukkan hasil
yang tidak sesuai dengan standar pada jumlah cemaran mikrobanya. Berdasarkan
hasil uji tersebut dapat disimpulkan bahwa daging kelinci tersebut tidak sesuai
dengan standar dan kurang layak untuk dikonsumsi.
5.2 Saran
Perlu dilakukan adanya penyuluhan atau edukasi kepada konsumen
mengenai cara pemilihan bahan pangan asal hewan seperti daging kelinci agar
tidak ada kerugian dari segi ekonomi maupun kesehatan. Higiene daging perlu
ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas daging yang baik.
65
DAFTAR PUSTAKA
Aberle, H.B., Forrest, J.C., E. D. Hendrick., M. D. Judge dan R.A. Merkel. 2001.
Principle of Meat Science. 4th edit. Kenda/ Hunt Publishing. Iowa.
Abustam, E. 2009. Bahan Ajar Ilmu dan Teknologi Pengolahan Daging.
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Brahmantiyo B., Setiawan, M. A., dan M. Yamin. 2014. Sifat kelinci Rex dan
Lokal (Oryctolagus cuniculus). Jurnal Peternakan Indonesia 16 (1) : 1-7.
Chan, E.W.C., Lim, Y.Y., Wang, S.K., Lim, K.K., Tan, S.P., Lianto, F.S.. 1995.
Meat, Poultry, and Game. Suplement to McCane & Widdowson’s, The
Composition of Foods. Publishing by The Royal Society of Chemistry,
Cambridge and Ministry of Agriculture, Fisheries, and Food, London.
Duldjaman, M., N. Sugana & R. Herman. 1983. Peningkatan Sumber Protein
Daging Putih Berasal dari Kelinci Lokal (Penampilan Produksinya).
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Herman, R. 1989. Produksi Kelinci. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan: Parakassi, A dan Y. Amulia. Meat
Science. UI Press. Jakarta.
Lukman DW, Sanjaya AW, Sudarwanto M, Soejoedono RR, Purnawarman T, dan
Latif H. 2007. Hygiene Pangan. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Masanto, R dan Agus, A. 2010. Beternak Kelinci Potong. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Nurhadi, M. 2012. Kesehatan Masyarakat Veteriner (Higiene Bahan Pangan Asal
Hewan dan Zoonosis). Penerbit Gosyen Publishing, Yogyakarta. Hal. 55-62.
66
Sarwono, B. 2007. Kelinci Potong dan Hias. Cetakan kesembilan. Agromedia
Pustaka. Jakarta Selatan.
Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Soputan, J.E.M. 2004. Dendeng Sapi Sebagai Alternatif Pengawetan Daging.
Makalah Pribadi Pengantar ke Falsafah Sains Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Suradi, K. 2004. Potensi dan peluang teknologi pengolahan produk kelinci. Balai
Penelitian Ternak, Bogor. Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang
Pengembangan Usaha Kelinci 16-17.
Raharjo. 2004. Pengaruh Penambahan Biovet dalam Ransum dengan Berbagai
Kandungan Protein dan Energi terhadap Pertumbuhan Anak Kelinci Rex.
Media Peternakan IPB.
67
Lampiran
1. Cooking loss
a = 4,69 gram
b = 3,85 gram
𝑎−𝑏
Cooking loss = 𝑥 100%
𝑎
4,69−3,85
= 𝑥 100%
4,69
= 21,4 %
Keterangan:
a = sampel daging setelah dipotong, ditimbang, dan dicatat
b = sampel daging ditimbang kembali dan dicatat
2. Driploss
a = 4,69 gram
b = 2,83 gram
𝑎−𝑏
Driploss = 𝑥 100%
𝑎
4,69−2,83
= 𝑥 100%
4,69
= 39,6 %
Keterangan:
a = sampel daging setelah dipotong, ditimbang, dan dicatat
b = sampel daging ditimbang kembali dan dicatat
Jumlah rata-rata koloni dari cawan yang memiliki jumlah koloni sebesar
25-250 koloni adalah sebagai berikut :
127,5 x 105
Jadi, jumlah koloni = 127,5 x 105
= 1,275 x 107
68
4. Hasil Uji Coliform daging kelinci
101 102 103
1 TBUD 192 18
2 TBUD 201 14
Rata-rata 196,5 16
Jumlah rata-rata koloni dari cawan yang memiliki jumlah koloni sebesar
25-250 koloni adalah sebagai berikut :
196,5 x 102
Jadi, jumlah koloni = 196,5 x 102
= 1,965 x 104
69
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
yang dilaksanakan di
LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Oleh :
70
BAB I
PENDAHULUAN
71
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui mutu dan kualitas daging giling (daging kebab) sesuai
dengan SNI 7388-2009.
1.4 Manfaat
Mengetahui mutu dan kualitas daging giling (daging kebab) yang layak
konsumsi sesuai dengan SNI 7388-2009.
72
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daging
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil
pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging merupakan
bahan yang sangat pokok, baik penggunaannya maupun zat-zat dan vitamin-
vitamin yang terdapat di dalamnya. Daging adalah otot hewan yang tersusun dari
serat-serat yang sangat kecil, masing-masing berupa sel memanjang yang
disatukan oleh jaringan ikat, membentuk berkas ikatan yang pada kebanyakan
daging jelas kelihatan lemak pembuluh darah dan urat syaraf.
Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling
disukai oleh konsumen karena lezat rasanya. Secara umum, komposisi daging
terdiri atas, lemak protein, mineral dan karbohidrat. Menurut Heru dkk (2013)
kandungan gizi yang lengkap dan keanekaragaman produk olahannya menjadikan
daging sebagai bahan pangan yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia, namun demikian kualitas daging yang beredar di masyarakat seringkali
tidak terjamin dengan baik. Bagian terpenting yang menjadi acuan konsumen
dalam pemilihan daging adalah sifat fisik.
Komposisi daging terdiri dari 75% air, 19% protein, 3,5% substansi non
protein yang larut, dan 2,5% lemak (Lawrie, 2003). Daging dapat dibagi dalam
dua kelompok yaitu daging segar dan daging olahan. Daging segar ialah daging
yang belum mengalami pengolahan dan dapat dijadikan bahan baku pengolahan
pangan. Sedangkan daging olahan adalah daging yang diperoleh dari hasil
pengolahan dengan metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan, misalnya
sosis, dendeng, daging burger dan daging olahan dalam kaleng dan sebagainya
(Desrosier, 1988).
Menurut Soeparno (2005) otot merupakan komponen utama penyusun
daging, otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi
fisiologisnya telah terhenti. Faktor yang mempengaruhi kondisi ternak sebelum
73
pemotongan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga
kualitas daging yang dihasilkan.
Kontaminasi bakteri dapat menyebabkan perubahan warna dan bau. Selama
proses memasak, warna daging dapat mengalami perubahan dan kurang menarik.
Warna daging segar adalah warna merah terang dari oksimioglobin, warna daging
yang dimasak adalah warna coklat dari globin hemikromogen, warna daging yang
ditambahkan nitrit adalah warna merah gelap dari nitrikoksidamioglobin dan bila
dimasak. Banyak hal yang dapat mempengaruhi kualitas daging baik ketika
pemeliharaan ataupun ketika pengolahan. Faktor yang dapat mempengaruhi
penampilan daging selama proses sebelum pemotongan adalah perlakuan
transportasi dan istirahat yang dapat menentukan tingkat cekaman (stress) pada
ternak yang pada akhirnya akan menentukan kualitas daging yang dihasilkan
(Suryati, 2006).
2.2 Daging Kebab
Kata kabab berasal dari bahasa Arab atau Persia yang berarti daging yang
digoreng dan bukanlah daging yang dipanggang. Kata kabab dari bahasa Arab
tersebut berasal dari Arabaic kabbaba yang berasal dri daerah Akkadian kababu,
yang berarti “membakar atau menggosongkan”.
Kebab terbuat dari daging sapi maupun daging kambing yang digiling kasar
lalu diolah dengan bumbu-bumbu khusus dan diproses melalui tiga tahapan, yakni
pencampuran bumbu, pencetakan daging, dan pemasakan daging dengan cara
dipanggang.
Kebab adalah makanan yang terbuat dari daging sapi, digiling kasar lantas
diolah dengan bumbu-bumbu khusus. Diproses melalui tiga tahapan, yakni
pencampuran bumbu, pencetakan, dan pemasakan. Menjelang disajikan, daging
kebab dengan ketebalan kurang lebih 1 cm dipotong memanjang ukuran 3 x 17
cm, lalu dipanggang pada wajan anti lengket. Disajikan dengan Tortila (roti khas
Meksiko), dicampurkan dengan sayuran dan aneka sauce pilihan, kemudian
digulung dan dipanggang kembali.
Daging kebab sendiri berasal dari daging sapi atau daging kambing yang
digiling dan kemudian dicampurkan dengan bumbu-bumbu lalu dibentuk dengan
74
tusukan dibagian tengahnya untuk bisa dipanggang pada saat akan disajikan.
Daging giling merupakan daging yang diolah dengan cara digiling dan dicampur
dengan rempah-rempah atau bahan lainnya dan prosesnya dengan cara dimasak.
75
BAB III
METODOLOGI
76
Cara kerja :
Bahan diletakkan di atas cawan petri kemudian diamati bau, warna, rasa.
Dan konsistensi.
3.5.2 Uji pH
Alat dan Bahan :
Sampel daging kebab, pH indikator strips, pH meter dan cawan petri
Cara kerja :
Daging kebab diletakkan pada cawan petri, kemudian tempelkan kertas
indikator pH pada bagian daging, kertas indikator dikeringkan kurang lebih 1-30
detik dan disamakan dengan standar pH indikator. Kenudian dilakukan
pengukuran pH menggunakan pH meter untuk mengkonfirmasi hasil pH indikator
strips.
3.5.3 Uji Total Plate Count (TPC)
Prinsip Kerja :
Setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni sehingga
jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan satu indeks bagi jumlah
organism yang dapat hidup yang terkandung dalam sampel.
Alat dan Bahan:
Tabung Erlenmeyer, pipet steril, cawan petri, media PCA (Plate Count
Agar), alkohol 70%, plastik, inkubator, dan sampel daging kebab.
Cara Kerja :
Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam keadaan steril.
Sterilisasi alat dan bahan (Erlenmeyer, pipet, cawan petri dan gunting
menggunakan oven suhu 160-180oC selama 2 jam) sedangkan (sterilisasi media
BPW dan PCA menggunakan Autoclave suhu 121oC tekanan 1 atm selama 15
menit). Sampel daging terlebih dahulu disemprot dengan alkohol 70%. Ditimbang
sampel daging sebanyak 25 gram kedalam erlenmeyer steril menggunakan pinset.
Ditambahkan media pencencer BPW sebanyak 225 mL kedalam erlenmeyer berisi
sampel. Dipipet 1 mL sampel kedalam masing-masing petridish (1 mL kedalam
petridish untuk pengujian TPC dan 1 mL untuk petridish pengujian
e.coli/coliform). Dituangkan (platting) media ke masing-masing petridish yang
77
berisi sampel (15 mL media PCA kedalam petri untuk pengujian TPC) didiamkan
beberapa menit hingga media agar memadat dan merata. Kemudian di inkubasi
selama 48 jam ke dalam inkubator suhu 37oC. Amati dan catat hasil pembacaan
pengujian TPC.
3.5.4 Uji Coliform
Prinsip kerja :
Prinsip pengujian ini menghitung jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu
produk yang tumbuh pada media agar pada suhu dan waktu inkubasi yang
ditetapkan.
Alat dan bahan :
Cawan petri, tabung reaksi, pipet volumetrik, erlenmeyer, penghitung koloni
(colony counter), gunting, pinset, ose, pembakar bunsen, timbangan, vortex,
inkubator, penangas air, media Violet Red Bile Agar (VRBA), autoklaf, buffer
pepton water (BPW) 0,1%, dan sampel daging.
Cara kerja :
Prosedur pertama yaitu membuat pengenceran sampel dari 10-1 hingga 10-5.
Pembuatan pengenceran yaitu sampel sebanyak 1 gram diambil dengan sendok
steril kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan BPW
0.1% steril selanjutnya divortex sampai homogen (larutan 10-1). Satu ml suspensi
pengenceran 10-1 dipindahkan ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% menggunakan
pipet steril (larutan 10-2). Langkah selanjutnya yaitu membuat pengenceran 10-
1
,10-2,10-3 dan seterusnya dengan cara yang sama seperti pada prosedur
sebelumnya atau sesuai kebutuhan. Langkah selanjutnya yaitu membuat
pengenceran 10-3,10-4,10-5 dan seterusnya dengan cara yang sama seperti pada
prosedur sebelumnya sesuai kebutuhan. Prosedur selanjutnya satu ml suspensi
dari setiap pengenceran dimasukkan ke dalam cawan petri secara duplo kemudian
ditambahkan 15-20 ml VRBA bersuhu 45°C ± 1°C pada masing-masing cawan.
Campuran tersebut kemudian dihomogenkan dengan cara membentuk angka
delapan dan diamkan sampai menjadi padat. Inkubasikan pada temperatur 34-
36°C ± 1°C selama 24-48 jam dengan meletakkan cawan pada posisi terbalik.
78
Perhitungan jumlah koloni dilakukan dengan cara memilih cawan dengan
jumlah 25-250 koloni. Apabila pada cawan petri memiliki jumlah koloni kurang
dari 25 maka dihitung jumlah yang ada pada cawan dari setiap pengenceran, rerata
jumlah koloni per cawan dikalikan faktor pengenceran yang ada dalam tabel nilai
TPC pada SNI 2897:2008. Apabila pada cawan petri memiliki koloni lebih dari
250 koloni maka dihitung koloni yang dapat dihitung atau mewakili dan tandai
dengan tanda bintang. Apabila pada cawan petri dari semua pengenceran tidak
menghasilkan koloni dapat dilaporkan TPC kurang dari 1 kali pengenceran
terendah yang digunakan dan ditandai dengan tanda bintang (SNI 2897:2008).
3.5.5 Uji Yeast dan Mold
Alat dan Bahan :
Timbangan, cawan petri, media Saboraud’s Dextrose Agar (SDA), sampel
daging kebab.
Cara Kerja :
Sebanyak 5 gram sampel diletakkan di atas media dan diletakkan di suhu
ruangan. Diperiksa adanya pertumbuhan kapang setelah 3 hari.
79
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.3 Pembahasan
Pengujian kualitas dan mutu pada daging kebab antara lain dilakukan
pengujian organoleptik meliputu aroma, rasa, dan tekstur melalui indra mata dan
pengecap. Hasil yang diperoleh yaitu aroma daging kebab normal, rasa normal,
dan tekstur juga normal. Untuk pengujian benda asing juga didapatkan bahwa
daging giling (daging kebab) tidak terdapat adanya benda asing di dalamnya.
Bahaya fisik. Jika terdapat benda-benda asing di dalam daging olahan atau
80
makanan lainnya seperti pecahan gelas, besi, rambut, serpihan tulang, dan lainnya
itu merupakan bahaya fisik. Bahaya fisik, bahaya kimiawi, dan bahaya biologis
merupakan faktor yang mempengaruhi kesehatan manusia.
Persyaratan bahan makanan yang baik dan layak dikonsumsi ditinjau dari
kandungan mikroorganisme apabila total mikroorganisme sekitar 105 koloni/gram
sampai 106 koloni/gram sedangkan bahan makanan yang tidak baik dan tidak
layak dikonsumsi apabila total bakterinya 108 koloni/gram (Brown, 1992).
Mikroorganisme terutama bakteri mempunyai peranan yang sangat penting
dalam bahan makanan, terutama terjadinya kerusakan bahan makanan oleh
tumbuhnya racun pada bahan makanan dapat membahayakan manusia serta dapat
menimbulkan proses fermentasi pada bahan makanan karena daging selain
merupakan zat makanan yang baik bagi manusia juga merupakan media yang
sangat baik bagi pertumbuhan bakteri (Soeparno, 2009). Mutu mikrobiologis pada
suatu bahan pangan ditentukan oleh jumlah bakteri yang terdapat dalam bahan
pangan tersebut. Mutu mikrobiologis pada bahan pangan ini akan menentukan
daya simpan dari produksi tersebut ditinjau dari kerusakan oleh bakteri dan
keamanan bahan pangan dari mikroorganime ditentukan oleh jumlah spesies
patogenik, uji TPC, dan Entrobacter untuk menguatkan kualiatas mikrobiologis
daging
Untuk pengujian mutu dan kualitas selanjutya dilakukan pengujian terhadap
cemaran mikroba yaitu uji Total Plate Count (TPC) dan uji Coliform.
Kontaminasi bakteri dapat menyebabkan perubahan warna dan bau pada daging.
Uji TPC merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menghitung
jumlah mikroba dalam bahan pangan. Uji TPC dilakukan dengan tujuan untuk
menghitung total koloni mikroba pada media dengan dilihat menggunakan mata
langsung atau tanpa menggunakan mikroskop. Hasil dari uji TPC pada daging
giling (daging kebab) tersebut adalah 1,8 x 107 koloni/g. Hal ini sangat jauh diatas
standar yatu maksimal 1 x 105 koloni/g, dan ini menunjukkan adanya banyak
mikroba yang mencemari daging kebab.
Daging yang tercemar mikroba akan terjadi perubahan tekstur, berlendir,
bau busuk, berjamur dan rasa tidak enakserta menyebabkan gangguan kesehatan
81
bila dikonsumsi. Penjualan daging kebab secara terbuka juga dapat menyebabkan
daging dengan mudah dapat terkontaminasi oleh mikroba yang terdapat pada
tangan penjual dan konsumen. Kondisi ini dapat menyebabkan menurunnya
kualitas daging tersebut.
Begitu juga dengan pengujian Coliform yang menggunakan media VRBA.
Dan suspensi sampel dilakukan pengenceran dari 101 sampai 103. Setelah itu
dituangkan ke dalam cawan petri masing-masing secara duplo dan dituangkan
media VRBA pada cawan petri tersebut lalu dibiarkan memadat dan diinkubasi
selama 24 jam. Hasil yang didapatkan setelah uji Coliform yaitu bahwa daging
giling (daging kebab) memiliki angka cemaran mikroba sebesar 1,495 x 104
koloni/g. angka tersebut menunjukkan bahwa daging kebab memiliki cemaran
atau kontaminasi bakteri Coliform melebih batas maksimal dari syarat mutu dan
kualitas dalam rangka jaminan keamanan bahan pangan.
Adanya bakteri Coliform di dalam makanan menunjukkan kemungkinan
adanya mikroorganisme yang bersifat enteropatogenik dan atau toksigenik yang
berbahaya bagi kesehatan tubuh. Adanya bakteri Coliform dalam makanan tidak
selalu menunjukkan kontaminasi yang berasal dari feses. Keberadaannya lebih
merupakan indikasi dari kondisi prosessing atau sanitasi yang tidak memadai dak
keberadaannya dalam jumlah tinggi (Arnia dan Efrida, 2013).
Tingginya bakteri coliform yang terdapat pada daging giling yang dijual di
pasaran menunjukan bahwa pedagang kurang menjaga kebersihan air karena
bakteri ini dapat mencemari daging yang lain apabila air atau peralatan yang
digunakan tidak bersih atau higienis. Muslimin (1996), bakteri coli merupakan
bakteri indikator biologi pada pencemaran perairan dan makanan serta indikator
pathogen. Hal ini diperkuat oleh Fardiaz (1992), daging sapi mudah rusak dan
merupakan media yang cocok bagi pertumbuhan mikroba, karena tingginya
kandungan air dan zat gizi seperti protein.
82
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Uji organoleptik, Uji TPC, dan Uji Coliform yang dilakukan sudah sesuai
dengan standar. Namun pada pemeriksaan TPC dan Coliform menunjukkan hasil
yang tidak sesuai dengan standar pada jumlah cemaran mikrobanya. Berdasarkan
hasil uji tersebut dapat disimpulkan bahwa daging kebab tersebut tidak sesuai
dengan standar dan tidak layak untuk dikonsumsi.
5.2 Saran
Perlu dilakukan adanya penyuluhan atau edukasi kepada konsumen
mengenai cara pemilihan bahan pangan agar tidak ada kerugian dari segi ekonomi
maupun kesehatan.
83
DAFTAR PUSTAKA
84
Lampiran
Jumlah rata-rata koloni dari cawan yang memiliki jumlah koloni sebesar
25-250 koloni adalah sebagai berikut :
180 x 105 =18x106
38,5 x 106
𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟
Rasio = 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙
38,5
= x 106
18
Jumlah rata-rata koloni dari cawan yang memiliki jumlah koloni sebesar 25-
250 yaitu hanya pada pengenceran 102
Jadi, jumlah koloni = 149,5 x 102
= 1,495 x 104
85
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
yang dilaksanakan di
LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Oleh :
86
BAB I
PENDAHULUAN
87
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana mutu dan kualitas yoghurt susu sapi segar yang sesuai dengan
standar mutu?
1.3 Tujuan
Dapat mengetahui pengujian mutu dan kualitas yoghurt susu sapi segar yang
sesuai dengan standar mutu.
88
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Telur
Telur unggas adalah zigot yang dihasilkan melalui fertilisasi dan berfungsi
memelihara dan menjaga embrio. Telur diselimuti kerak pelindung, yang
memiliki lubang yang sangat kecil agar hewan yang belumlahir tersebut dapat
bernafas. Telur juga berfungsi sebagai sumber pangan untuk konsumsi manusia.
Ukuran dan bentuk telur unggas berbeda antar spesies unggas, tetapi semua telur
memiliki tiga bagian utama telur yaitu kuning telur, putih telur, dan kerabang
telur.
Kualitas telur telah didefinisikan sebagai sifat dari setiap makanan yang
diberikan yang memiliki pengaruh pada penerimaan atau penolakan konsumen.
Kualitas telur adalah istilah umum yang mengacu pada beberapa standar yang
menentukan baik kualitas internal maupun eksternal. Kualitas eksternal
difokuskan pada kebersihan kulit, tekstur, dan bentuk telur. Sedangkan kualitas
internal mengacu pada putih telur (albumen), kebersihan dan viskositas, ukuran
sel udara, bentuk kuning telur, dan kekuatan kuning telur. Penurunan kualitas
internal dapat diketahui dengan menimbang bobot telur atau meneropong ruang
udara (air cell) dan dapat juga dengan memecah telur untuk diperiksa kondisi
kuning telur, putih telur, dan daya busanya.
Berdasarkan SNI 3926-2008 mengenai telur ayam segar untuk konsumsi
persyaratan mutu fisik telur dan mutu mikrobiologis telur dapat dilihat pada Tabel
1 dan Tabel 2 berikut :
89
Tabel 1. Tingkatan Mutu Fisik Pada Telur (SNI 3926-2008)
Tingkatan Mutu
No. Faktor Mutu
Mutu I Mutu II Mutu III
1. Kondisi Kerabang
a. Bentuk Normal Normal Abnormal
b. Kehalusan Halus Halus Sedikit Kasar
c. Ketebalan Tebal Sedang Tipis
d. Keutuhan Utuh Utuh Utuh
e. Kebersihan Bersih Sedikit noda kotor Banyak noda dan
sedikit kotor
4. Kondisi Kuning
Telur
a. Bentuk Bulat Agak pipih Pipih
b. Posisi Di tengah Sedikit bergeser dari Agak kepinggir
tengah
90
e. Indeks 0,458-0,521 0,394-0,457 0,330-0,393
91
Tabel 3. Perbandingan kandungan gizi telur puyuh dan unggas lain
Karbohidrat
Jenis unggas Protein (%) Lemak (%) Abu (%)
(%)
Ayam ras 12,7 11,3 0,9 1,0
Ayam buras 13,4 10,3 0,9 1,0
Itik 13,3 14,5 0,7 1,1
Angsa 13,9 13,3 1,5 1,1
Merpati 13,8 12,0 0,8 0,9
Kalkun 13,1 11,8 1,7 0,8
Burung 13,1 11,1 1,6 1,1
puyuh
Sumber : Listiyowati dan Kinanti (2005)
92
BAB III
METODOLOGI
93
Cara kerja :
Bahan diletakkan di atas cawan petri kemudian diamati bau, warna, dan
rasa.
3.5.2 Uji Peneropongan Telur (Candling)
Prinsip :
Sorotan sinar lampu candler dapat membantu melihat bagian dalam isi telur
seperti kantung hawa, kuning telur, keretakan pada kuning telur, adanya bercak-
bercak darah dan pertumbuhan embrio.
Alat dan bahan :
Alat peneropongan telur (candler) dan sampel telur puyuh.
Cara Kerja :
Telur yang akan diperiksa diarahkan ke sinar dari candler sambil diputar
untuk melihat kemungkinan adanya kelainan isi telur seperti kantung hawa,
adanya bercak dan kematian embrio yang menunjukkan warna hitam. Kemudian
hasilnya dicatat.
3.5.3 Uji Pengukuran Kantung Hawa
Prinsip :
Semakin tua umur telur maka semakin besar atau tinggi kantung hawa.
Alat dan bahan :
Sampel telur puyuh, candler dan jangka sorong
Cara kerja :
Telur diletakkan di depan candler kemudian dengan menggunakan jangka
sorong dihitung diameter dan tinggi kantung hawa kemudian setelah mengetahui
tinggi kantung hawa maka akan membedakan grade dan kelas telur yaitu kelas
AA, kelas A, kelas B dan kelas C.
3.5.4 Perendaman dalam Air Garam
Prinsip :
Telur baru biasanya mempunyai kantung hawa yang relatif kecil sehingga
apabila dimasukkan dalam larutan air garam 10% atau air biasa, telur akan
tenggelam.
94
Alat dan Bahan :
Beker glass, timbangan, garam, air, dan telur burung puyuh.
Prosedur Kerja :
Dibuat larutan garam 10% dengan mencampur 10 gram garam ditambah air
hingga 100 ml dan masukkan pada beker glass. Kemudian dimasukkan telur pada
larutan air garam tersebut dan diamati serta dicatat hasilnya.
3.5.5 Uji Indeks Putih Telur (Albumin Index)
Prinsip :
Kebersihan, konsistensi putih telur, bentuk, posisi dan kebersihan kuning
telur dapat dilihat dengan panca indera.
Alat dan bahan :
Telur puyuh, cawan petri dan jangka sorong
Cara kerja :
Kulit telur dibersihkan dengan alkohol 70% pada bagian lancip dibuka dan
isi telur dituang pada cawan petri. Diukur tinggi albumin dan diameter albumin
dengan jangka sorong. Selanjutnya dilakukan perhitungan indeks albumin dengan
rumus :
𝑎
Indeks albumin = 𝑏
95
𝑎
Indeks kuning telur = 𝑏
96
Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran dimasukkan ke cawan petri
kemudian ditambahkan 15 ml sampai dengan 20 ml media PCA yang sudah
didinginkan hingga temperature 45oC ± 1oC. Cawan petri diputar ke depan dan ke
belakang atau membentuk angka delapan dan diamkan sampai memadat. Cawan
petri diinkubasikan pada suhu 34oC sampai dengan 36oC selama 24 jam sampai
dengan 48 jam dengan posisi cawan terbalik.
Penghitungan :
Untuk perhitungan koloni, hitung jumlah koloni pada setiap seri
pengenceran kecuali cawan petri yang berisi koloni menyebar (spreader colony).
Pilih cawan yang mempunyai jumlah koloni 25 sampai dengan 250.
3.5.9 Uji Coliform
Prinsip Kerja :
Apabila sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan pada media agar, maka
mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat
langsung dengan mata telanjang. Ikroba yang tumbuh sebagai gambaran populasi
mikroba pada sampel.
Alat dan bahan :
Sampel telur puyuh, cawan petri, pipet ukur 1 ml steril, tabung reaksi,
gunting, pinset, bunsen, inkubator, autoklaf, colony counter, gelas ukur, stirrer,
Buffer Pepton Water (BPW) 0,1%, media Violet Red Bile Agar (VRB), dan
alkohol 70%.
Cara Kerja :
Telur puyuh dicampur bagian putih dan kuningnya, kemudian diambil 1 ml
menggunakan pipet steril dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu
ditambahkan larutan BPW 0,1% sebanyak 9 ml. Ini merupakan larutan dengan
pengenceran 10-1. Dipindahkan 1 ml suspensi pengenceran 10-1 tersebut dengan
pipet steril ke dalam larutan 9 ml BPW ,1% lainnya untuk mendapatkan
pengenceran 10-2. Kemudian buat pengenceran 10-3 dengan cara yang sama seperti
pada prosedur sebelumnya sesuai kebutuhan. Selanjutnya tambahkan 1 ml media
VRB pada masing-masing cawan yang sudah berisi suspensi pengenceran 10-1
97
sampai 10-3. Ditunggu sampai memadat dan dinkubasi pada suhu 32oC selama 24
jam sampai 48 jam dengan cara meletakkan cawan petri pada posisi terbalik.
3.5.10 Uji Cemaran Salmonella
Alat dan Bahan :
Cawan petri, ose, bunsen, dan media Salmonella Shigella Agar (SSA), dan
sampel telur puyuh.
Cara Kerja :
Koloni pada hasil TPC distrik dengan menggunakan ose pada media SSA.
Selanjutnya cawan petri diinkubasi pada posisi terbalik pada suhu 37 oC selama
24 jam.
98
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
99
Tabel 4. Hasil Pengujian Telur Puyuh Berdasarkan Mutu Fisik Pada Telur
(SNI 3926-2008)
Tingkatan Mutu
No. Jenis Uji Hasil
Mutu I Mutu II Mutu III
1. Organoleptik Kerabang
a. Bentuk Normal Normal Normal Abormal
b. Kehalusan Halus Halus Halus Sedikit
c. Ketebalan Tebal Tebal Sedang kasar
d. Keutuhan Utuh Utuh Utuh Tipis
e. Kebersihan Bersih Bersih Sedikit Utuh
noda kotor Banyak
noda sedikit
kotor
2. Kondisi Kantung Udara (dengan peneropongan)
a. Kedalaman 0,3 cm <0,5 cm 0,5-0,9 cm >0,9 cm
kantung udara
b. Kebebasan Tetap di Tetap Bebas Bebas
bergerak tempat ditempat bergerak bergerak
dan ada
gelembung
udara
3. Kondisi Putih Telur
a. Kebersihan Bebas Bebas Bebas Ada sedikit
bercak bercak bercak bercak
darah atau darah, atau darah, atau darah, tidak
benda asing benda benda ada benda
100
asing asing asing
lainnya.
101
5. Bau Khas Khas Khas Khas
6. Cemaran Mikroba Batas Maksimum Cemaran Mikroba
1,1,34x107
a. Total Plate
CFU/ml 1x105 CFU/ml
Count
6,7x103 1x102 CFU/ml
b. Coliform
CFU/ml Negatif
c. Salmonella
Negatif
4.3 Pembahasan
Dari pengujian organoleptik yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa telur
puyuh tidak mengalami kerusakan secara fisik, hal ini menambah nilai jual karena
setiap konsumen dipastikan akan meberikan penilaian terkait kebersihan dan
kondisi kerabang sebelum membelinya (Wulandari, 2002). Hasil pengujian secara
organoleptik tersebut meliputi warna kerabang telur putih dengan spot hitam,
bentuk telur oval dan baik, bau khas telur, kerabang halus dan licin. Selain itu
ketebalan kerabang telur tebal, utuh atau tidak ada keretakan, serta kerabang
bersih dari kotoran. Kualitas kerabang menjadi penentu utama dalam menjaga
kualitas internal telur selama masa penyimpanan. Kerabang merupakan barrier
pertama pelindung isi telur dari kontaminasi atau kerusakan fisik. Kemudian
dilakukan pemeriksaan kesegaran telur dengan pemeriksaan peneropongan telur
(candling). Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kondisi telur, keadaan
kerabang, dan tinggi kantung hawa dengan menggunakan bantuan cahaya. Hasil
menunjukkan bahwa tidak ada embrio di dalam sampel telur puyuh. Selain untuk
melihat ada tidaknya embrio, candling telur juga dapat digunakan untuk
mengukur tinggi kantung hawa. Hasil pengukuran tinggi kantung hawa yaitu 0,3
cm. Besar kecilnya kantung hawa dapat menunjukkan umur dari tlur tersebut.
Lama penyimpanan (tua) dapat berpengaruh nyata terhadap kedalaman kantung
hawa. Semakin lama penyimpanan (tua), maka akan semakin besar kedalaman
kantung hawa. Pemeriksaan kesegaran telur selanjutnya adalah perendaman telur
ke dalam air garam 10% menggunakan beker glass. Hasil perendaman dengan air
garam 10% menunjukkan telur puyuh mengambang. Hal ini menunjukkan bahwa
102
sampel telur puyuh yang digunakan bukan merupakan telur segar dan sedikit lama
masa simpannya (tua).
Pemeriksaan berikutnya yaitu melakukan pemeriksaan dengan membuka
bagian dalam telur. Pemecahan telur dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak
merusak bagian dalam telur untuk melihat kondisi bagian dalam telur puyuh
tersebut secara baik. Pemeriksaan kualitas telur dengan cara dibuka bagian
kerabangnya kemudian diletakkan di cawan petri meliputi pemeriksaan putih
telur, pemeriksaan kuning telur, albumin index, yolk index, dan Haugh Unit.
Kondisi putih telur pada saat pemeriksaan menunjukkan tidak adanya bercak
darah atau benda asing, bersih, dan dengan kondisi kuning telur yang normal
berada di bagian tengah. Selanjutnya dilakukan pengukuran indeks putih telur dan
indeks kuning telur. Nilai indeks telur merupakan perbandingan antara lebar dan
panjang telur. Semakin tinggi nilai indeks telur maka telur akan semakin bulat,
dan semakin tinggi nilai indeks maka semakin segar keadaan telur. Nilai indeks
putih telur puyuh yang didapatkan yaitu 0,06 cm dan indeks kuning telur yaitu
0,26 cm. Hasil dari nilai Haugh Unit (HU) sampel telur puyuh yaitu 76,5 yang
berarti sampel telur puyuh ini menunjukkan telur berada pada kualitas telur AA.
Menurut Sudaryani (2000), nilai Haugh Unit (HU) yang tinggi menunjukkan
kualitas telur tersebut juga tinggi.
Hasil Uji Total Plate Count (TPC) yang dilakukan menunjukkan adanya
sejumlah koloni sebanyak 1,34 x 107 CFU/ml. Hasil ini sangat jauh berbeda
dengan nilai standar telur konsumsi yaitu 1 x 105 CFU/ml. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa isi telur sudah tercemar atau terkontaminasi oleh mikroba,
dan juga sudah terlihat pada saat perendaman air garam yang menunjukkan telur
puyuh tersebut melayang/mengambang yang merupakan salah satu indikasi bahwa
umur penyimpanan telur yang sudah semakin tua.umur yang semakin tua
mempengaruhi adanya koloni mikroba yang mungkin akan semakin banyak
apabila sudah terjadi pencemaran sebelumnya. Berikut adalah tabel 5 hasil uji
TPC telur puyuh :
103
Tabel 5. Hasil Uji TPC Telur Puyuh
105 106 107
1 141 21 3
2 127 13 2
Rata-rata 134 17 2,5
Jumlah rata-rata koloni dari cawan yang memiliki jumlah koloni sebesar 25-250
yaitu hanya pada pengenceran 105 yaitu dengan rata-rata 134 x 105
Jadi, jumlah koloni = 134 x 105
= 1,34 x 107
Jumlah rata-rata koloni dari cawan yang memiliki jumlah koloni sebesar 25-250
yaitu sebagai berikut :
67 x 102
Jadi, jumlah koloni = 67 x 102
= 6,7 x 103
Salah satu kontaminan biologi pada bahan makanan adalah bakteri golongan
Coliform. Adanya bakteri dalam makanan tidak selalu menunjukkan kontaminasi
104
yang berasal dari feses. Keberadaannya lebih merupakan indikasi dari kondisi
prosessing atau sanitasi yang tidak memadai dak keberadaannya dalam jumlah
tinggi.
Uji cemaran mikroba selanjutnya adalah uji Salmonella dengan melakukan
penanaman koloni sampe telur puyuh dari hasil TPC yang distrik menggunakan
ose pada media Salmonella Shigella Agar (SSA). Hasil yang diperoleh dari uji
Salmonella ini adalah negatif atau tidak ada koloni bening yang tumbuh pada
media SSA.
105
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Uji organoleptik, candling, Uji TPC, Uji Coliform, dan Uji Salmonella yang
dilakukan sudah sesuai dengan standar. Namun pada pemeriksaan TPC dan
Coliform menunjukkan hasil yang tidak sesuai dengan standar pada jumlah
cemaran mikrobanya. Berdasarkan hasil uji tersebut dapat disimpulkan bahwa
telur puyuh tersebut tidak sesuai dengan standar dan tidak layak untuk
dikonsumsi.
5.2 Saran
Perlu dilakukan adanya penyuluhan atau edukasi kepada konsumen
mengenai cara pemilihan telur yang baik agar tidak ada kerugian dari segi
ekonomi maupun kesehatan.
106
DAFTAR PUSTAKA
107
Lampiran
a
1. Indeks Kuning Telur =b
0,72
= 2,725
= 0,264 cm
a
2. Indeks Putih Telur =b
0,24
= 3,8
= 0,063 cm
Keterangan :
a = tinggi kuning/putih telur
b = diameter rata-rata dari tebal albumin
108
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
yang dilaksanakan di
LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Oleh :
109
BAB I
PENDAHULUAN
110
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Telur
Telur adalah salah satu bahan makanan yang berasal dari ternak yang
bernilai gizi tinggi, karena mengandung zat-zat makanan yang sangat diperlukan
oleh tubuh manusia seperti asam-asam amino yang lengkap dan seimbang,
vitamin dan mineral serta mempunyai nilai cerna yang sangat tinggi. Telur
memiliki sifat-sifat fisik kimia yang sangat berguna dalam pengolahan pangan.
Sifat-sifat tersebut meliputi daya busa, emulsi, koagulasi dan warna.
Disamping bernilai gizi tinggi, telur juga mempunyai sifat yang mudah
rusak, kerusakannya bisa bersifat fisik maupun kerusaan kimia juga yang
disebabkan oleh mikroorganisme melalui pori-pori kulit telur. Pengolahan telur
dapat dilakukan secara utuh maupun limbah pengolaha telur seperti putih telur
dengan cara pengeringan sehingga dihasilkan produk kering berupa tepung putih
telur, tepung kuning telur dan campuran keduanya.
Menurut Sudaryani (2003), telur mempunyai kandungan protein tinggi dan
mempunyai susunan protein yang lengkap, akan tetapi lemak yang terkandung
didalamnya juga tinggi. Secara umum telur ayam & telur itik merupakan telur
yang paling sering dikonsumsi oleh masyarakat karena mengandung gizi yang
melimpah, telur sangat bagus dikonsumsi oleh anak – anak dalam masa
pertumbuhan.
Pengolahan telur banyak dilakukan diantaranya adalah dengan membuat
tepung putih telur. Pengeringan telur bertujuan mengurangi dan mencegah
aktivitas mikroorganisme sehingga dapat memperpanjang umur simpan.
Pembuatan telur menjadi tepung telur dapat pula mengurangi ruang penyimpanan,
mempermudah penanganan dan transportasi (Winarno dan Sutrisno, 2002).
2.2 Telur Pitan
Telur pitan adalah telur olahan yang berasal dari telur ayam atau telur bebek
dibuat dengan cara dilapisi campuran seperti tanah liat, dari bubuk kayu, teh,
111
kapur, tanah, dan garam. Campuran akan mengeras di sekitar telur, mengawetkan,
dan bukan merusak telur tetapi menciptakan telur pitan.
Melalui sebuah proses, kuning telur menjadi berwarna hijau gelap hingga
abu-abu, dengan konsistensi yang sangat lunak dan berbau belerang serta amonia.
Sedangkan putih telur menjadi coklat gelap, kenyal, jernih, dengan ada sedikit
rasa. Unsur pengubah dalam telur pitan adalah materi basanya, yang secara
bertahap meningkatkan pH telur menjadi sekitar 9-12 atau lebih selama proses
pembuatan. Proses kimia ini memecah beberapa protein dan lemak kompleks
tanpa rasa, menghasilkan senyawa yang lebih kecil.
2.3 Komponen Telur
Menurut Paula Figoni (2008), telur memiliki beberapa komponen
didalamnya yaitu:
112
ketika telur dipecahkan ke permukaan yang rata (berpengaruh kepada grade
dari telur itu sendiri). Selengkapnya akan dibahas di bagian grade telur.
3. Kulit telur (Shell) Kulit telur memiliki berat sekitar 11% dari jumlah total berat
telur. Meskipun terlihat keras & benar – benar menutupi isi telur, kulit telur itu
sebenarnya berpori (porous).
113
BAB III
METODOLOGI
114
3.5.2 Uji pH
Alat dan bahan :
Sampel telur pitan, pH indikator strips, pH meter dan beker glass.
Cara kerja :
Telur pitan ditimbang sebanyak 1 gr dimasukkan ke dalam beker glass
kemudian dihomogenkan dengan menggunakan aquades, dicelupkan kertas
indikator pH ke dalam bekker glass. Selanjutnya kertas indikator pH
dikeringanginkan selama 1 – 30 detik dan disamakan dengan standar pH
indikator. Kemudian dilakukan pengukuran pH menggunakan pH meter untuk
mengkonfirmasi hasil pH indikator strips.
3.5.3 Uji Total Plate Count (TPC)
Prinsip kerja :
Menghitung jumlah koloni bakteri penanaman sampel telur pada media
agar.
Alat dan bahan :
Cawan petri, pipet, bulb, tabung reaksi, bunsen, timer, tabung erlenmeyer,
autoclave, inkubator, waterbath, media PCA (plate count agar), BPW, dan sampel
telur pitan.
Cara Kerja :
1 ml kuning telur dilarutan ke dalam 9 ml larutan BPW untuk mendapatkan
pengenceran 10-1 .Selanjutnya dibuat pengenceran 10-2, 10-3, 10-4 dan 10-5.
Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran dimasukkan ke cawan petri
kemudian ditambahkan 15 ml sampai dengan 20 ml media PCA yang sudah
didinginkan hingga temperature ± 45oC. Cawan petri diputar ke depan dan ke
belakang atau membentuk angka delapan dan diamkan sampai memadat. Cawan
petri diinkubasikan pada suhu 34oC sampai dengan 36oC selama 24 jam sampai
dengan 48 jam dengan posisi cawan terbalik. Penghitungan : Untuk perhitungan
koloni, hitung jumlah koloni pada setiap seri pengenceran kecuali cawan petri
yang berisi koloni menyebar (spreader colony). Pilih cawan yang mempunyai
jumlah koloni 25 sampai dengan 250.
115
3.5.4 Uji Cemaran Salmonella
Alat dan Bahan :
Cawan petri, ose, bunsen, dan media Salmonella Shigella Agar (SSA), dan
sampel telur pitan.
Cara Kerja :
Koloni pada hasil TPC di strik menggunakan ose pada media SSA.
Selanjutnya cawan petri diinkubasi pada posisi terbalik pada suhu 37 oC selama
24 jam.
Interpretasi : hasil positif akan muncul koloni tidak berwarna (bening).
3.5.5 Uji Staphylococcus aureus
Prinsip Kerja :
Adanya pertumbuhan Staphylococcus sp pada media BPA yang dicampur
dengan egg yolk yang diinkubasi selama 24 jam. Pertumbuhan koloni
Stapylococcus sp ditandai dengan adanya koloni berwarna hitam.
Alat dan Bahan :
Cawan petri, Buffer Pepton Water (BPW), Baird-Parker Agar (BPA), egg
yolk, bunsen, ose, dan sampel telur pitan.
Cara Kerja :
Sampel telur pitan dihomogenkan dengan BPW 0,1%dan dituangkan pada
media BPA+egg yolk dengan metode spread pada cawan petri. Kemudian cawan
petri diinkubasi pada suhu 36oC selama 24 jam. Setelah diinkubasi, diamati koloni
bakteri yang tumbuh pada media. Jika warna koloni hitam maka sampel tersebut
positif mengandung cemaran Staphylocccus sp.
3.5.6 Uji Yeast and Mold
Alat dan Bahan :
Timbangan, cawan petri, media Saboraud’s Dextrose Agar (SDA), dan
sampel telur pitan.
Cara Kerja :
Sebanyak 5 gram sampel diletakkan di atas media dan diletakkan di suhu
ruangan. Diperiksa adanya pertumbuhan kapang setelah 3 hari.
116
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
117
2. Cemaran Mikroba
Salmonella Negatif Negatif
3. Yeast and Mold Negatif Negatif
4.3 Pembahasan
Telur pitan merupakan hasil olahan telur yang diolah melalui metode
fermentasi. Pelapisan yang dilakukan pada telur berfungsi untuk mencegah
masuknya mikroorganisme serta memperpanjang masa penyimpanan telur. Dari
hasil pengujian yang telah dilakukan dengan berbagai jenis uji, diketahui bahwa
hasil organoleptik telur pitan tidak mengalami kerusakan pada cangkang.
Pengujian bau dari telur pitan didapatkan hasil bahwa telur pitan memiliki aroma
khas telur yang normal, putih telur berwarna coklat transparan dan kuning telur
berwarna abu-abu kehitaman dengan konsistensi padat. Menurut Nurwantoro dan
Sri Mulyani (2003), pengujian dapat dinilai dari dua faktor yaitu faktor luar
(cangkang) dan faktor dalam (isi telur). Telur pitan yang baik memiliki cangkang
yang bersih, bagian putih telur berwarna coklat bening dan kenyal, serta bagian
kuning telur berwarna abu-abu kehitaman yang padat.
Warna dari putih telur berubah menjadi warna coklat gelap transparan,
kenyal, dan sedikit rasa. Warna kecoklatan pada putih telur dan abu-abu pada
kuning telur diperoleh dari hasil fermentasi telur. Semakin lama proses fermentasi
yang dilakukan maka semakin gelap pula warna telur tersebut. Fermentasi pada
telur pitan juga dapat mempengaruhi pH pada telur. Unsur pengubah dalam telur
adalah materi basanya, yang secara bertahap meningkatkan pH telur sekitar 9, 12
atau lebih. Nilai pH yang tinggi pada telur pitan berfungsi untuk mencegah
adanya kontaminasi bakteri. Proses fermentasi telur pitan harus selalu
memperhatikan nilai pH karena biasanya fermentasi yang terlalu lama akan
menunjukkan pH yang terlalu tinggi, sedangkan pH yang terlalu rendah akan
menunjukkan bahwa proses fermentasi telur pitan belum sempurna.
118
Gambar 3. Sampel telur pitan pada pengujian organoleptik
Kepadatan kuning telur tersebut akibat adanya garam yang masuk ke dalam
kuning telur ketika proses pembuatan (Chang et al., 1997). Konsistensi sampel
putih telur kenyal dengan warna coklat. Warna coklat pada telur asin berasal dari
tanin dari bahan penyamak misalnya daun jambu, kulit bawang merah atau air teh
yang digunakan dalam proses pembuatan (Wirnano dan Koswara, 2002).
Rasa asin pada telur olahan yang dihasilkan terbentuk dari telur yang
mengeras. Hal ini disebabkan oleh garam yang berdifusi ke dalam kerabang dan
tertangkap oleh albumin. Kadar garam yang tinggi pada albumin akan menarik air
pada kuning telur sehingga menyebabkan kuning telur semakin mengental dan
memberikan rasa asin (Sarwono, 1994).
Uji cemaran Salmonella juga dilakukan pada sampel telur pitan karena
menurut Doyle dan Cliver (1990) ayam merupakan ternak yang berpotensi besar
sebagai sumber penularan Salmonella sp kepada manusia. Hasil yang diperoleh
dari pengujian cemaran Salmonella sp yaitu didapatkan hasil negatif. Tidak ada
koloni dari Salmonella sp dengan ciri khas koloni tidak berwarna (bening) pada
media Salmonella Shigella Agar (SSA).
119
Gambar 4. Hasil negatif (-) dari Uji Cemaran Salmonella sp.
Salah satu hal yang penting dalam syarat mutu dan kualitas produk asal
hewan adalah bebas dari cemaran mikroba patogen termasuk Salmonella sp.
Peningkatan kasus foodborne disease yang disebabkan oleh Salmonella enteritidis
ditularkan melalui daging ayam, telur, dan produk-produk olahannya.
Kumunculan wabah Salmonella enteritidis sebagai masalah kesehatan
masyarakat, berhubungan dengan penerapan tata cara peternakan modern dan
menurunnya kualitas generik unggas (Baumler et al., 2000). Untuk mencegah hal
tersebut terjadi, maka perlu dilakukan pengawasan (surveilans, monitoring, dan
inspeksi) terhadap produk pangan asal hewan salah satunya telur olahan seperti
telur pitan.
Pada uji Yeast and Mold telur pitan diperoleh hasil negatif. Pengujian Yeast
and Mold menggunakan media Sabaroud Dextrose Agar (SDA) dan diinkubasi
selama 3 hari dalam suhu ruang. Yeast dan mold tidak akan tumbuh pada produk
apabila produk telur pitan disimpan dan dikemas dengan baik. Sampel telur pitan
yang digunakan mampu disimpan dalam suhu ruang maksimal selama 2 hari,
karena pada hari ketiga mulai ditumbuhi yeast yang dapat membahayakan
kesehatan jika dikonsumsi.
120
Gambar 6. Hasil uji Yeast and Mold pada telur pitan setelah inkubasi 3 hari
121
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan terhadap mutu dan kualitas telur pitan
bahwa telur pitan tersebut aman untuk dikonsumsi masyarakat karena hasil dari
pengujiannya tidak melebihi ambang batas syarat mutu dan kualitas telur olahan
berdasarkan SNI 01-4277-1996.
5.2 Saran
Perlu adanya penyuluhan atau edukasi kepada konsumen tentang tata cara
penyimpanan dan suhu yang baik untuk menyimpan produk telur olahan maupun
telur mentah.
122
DAFTAR PUSTAKA
123