Sunteți pe pagina 1din 123

LAPORAN KEGIATAN PPDH

ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER


yang dilaksanakan di
LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

PENGUJIAN SUSU SAPI SEGAR

Oleh :

BISMI RIZKA YUNIAR, S.KH


NIM. 160130100111007

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sapi merupakan hewan ternak yang menghasilkan daging, susu, tenaga kerja
dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% kebutuhan daging di
dunia, 95% kebutuhan susu, dan 85% kebutuhan kulit (Prasetya, 2012).
Susu merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam
kehidupan manusia dan merupakan salah satu sumber protein hewani yang
didalamnya terkandung nilai gizi yang sangat tinggi. Susu yang banyak
dikonsumsi oleh manusia adalah susu yang berasal dari sapi perah.
Susu segar yang berasal dari sapi perah mengandung nilai gizi yang lengkap
dan tinggi kandungannya. Kandungan susu terdiri dari protein, lemak, vitamin,
dan mineral yang berguna dan bermanfaat untuk menjaga kesehatan manusia.
Oleh karena itu, untuk memperbaiki nilai gizi masyarakat pemerintah berusaha
untuk mendukung perkembangan industri susu di Indonesia dengan meningkatkan
produksi dan konsumsi susu. Untuk meningkatkan konsumsi susu di masyarakat
maka produsen susu ataupun peternak susu segar harus meningkatkan mutu susu
yang mereka produksi.
Mikroorganisme yang berkembang di dalam susu dapat menyebabkan susu
menjadi rusak dan juga membahayakan kesehatan masyarakat sebagai konsumen
akhir. Kerusakan pada susu disebabkan oleh terbentuknya asam laktat sebagai
hasil fermentasi laktosa oleh E. coli. Fermentasi oleh bakteri ini akan
menyebabkan aroma susu menjadi berubah dan tidak disukai oleh konsumen.
Untuk meminimalkan kontaminasi oleh mikroorganisme dan menghambat
pertumbuhan bakteri pada susu supaya dapat disimpan lebih lama maka
penanganan sesudah pemerahan hendaknya menjadi perhatian utama bagi para
peternak.
Untuk dapat dikonsumsi, susu harus memenuhi persyaratan keamanan
pangan karena susu mudah terkontaminasi mikroba (bakteri, kapang, dan khamir),
baik patogen maupun nonpatogen dari lingkungan (peralatan pemerahan, operator,

2
dan ternak), residu pestisida, logam berat dan aflatoksin dari pakan serta residu
antibiotik saat pengobatan penyakit pada ternak. Kandungan mikroba yang tinggi
menyebabkan susu cepat rusak sehingga Industri Pengolahan Susu tidak dapat
membeli susu dari peternak tersebut (Anggraeni, 2000). Oleh karena itu perlu
dilakukan pengujian atau pemeriksaan mutu dan kualitas susu segar.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana mutu dan kualitas susu sapi segar yang sesuai dengan SNI
3141.1:2011?
1.3 Tujuan
Dapat mengetahui pengujian mutu dan kualitas susu sapi segar yang sesuai
dengan SNI 3141.1:2011.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Susu


Menurut Walstra et al. (2006), susu merupakan hasil sekresi kelenjar
mamari dari mamalia, dengan fungsi utama sebagai sumber nutrisi bagi anaknya.
Sebagian besar susu yang diproduksi adalah susu sapi, baik yang dikonsumsi
dalam bentuk segar maupun sebagai bahan baku produk olahan. Karena itu, istilah
susu biasanya berasal dari susu sapi.
Menurut Muchtadi (2010) susu adalah sekresi yang komposisinya sangat
berbeda dari komposisi darah yang merupakan komponen asal susu. Sebagai
bahan pangan susu dapat digunakan dalam bentuk aslinya atau sebagai satu
kesatuan, maupun dari bagian-bagiannya.
Susu mengandung zat kimia organis atau anorganis berupa zat padat, air dan
zat terlarut dalam air yang meliputi protein, karbohidrat. Lemak, mineral, vitamin
dan enzim (Soeparno et al., 2011). Muchtadi (2010) meyatakan bahwa susu
merupakan bahan makanan yang hampir sempurna dan merupakan makanan
alamiah bagi binatang menyusui yang baru lahir, dimana susu merupakan satu-
satunya sumber makanan pemberi kehidupan segera sesudah kelahiran. Susu juga
didefinisikan sebagai hasil sekresi kelenjar susu binatang yang menyusui anaknya
(mamalia).
2.2 Susu Sapi
Susu sapi segar merupakan bahan pangan yang tinggi gizinya, sehingga
bukan saja bermanfaat bagi manusia tetapi juga bagi mikrobia pembusuk.
Kontaminasi bakteri mampu berkembang dengan cepat sekali sehingga susu
menjadi rusak dan tidak layak untuk dikonsumsi. Untuk memperpanjang daya
guna, daya tahan simpan, serta untuk meningkatkan nilai ekonomi susu, maka
diperlukan teknik penanganan dan pengolahan. Salah satu upaya pengolahan susu
yang sangat prospektif adalah dengan fermentasi susu (Widodo, 2002).
Pencemaran pada susu terjadi sejak proses pemerahan, dapat berasal dari
berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, air, tanah, debu, manusia, peralatan,

4
dan udara. Air susu yang masih di dalam kelenjar susu dapat dikatakan steril.
Setelah keluar dari ambing dapat terjadi kontaminasi, kontaminasi dapat terjadi
dari mana-mana yaitu dari ambing sapi, tubuh sapi, debu di udara, peralatan yang
kotor dan manusia yang melakukan pemerahan (Sumudhita,1989).
Pada susu yang telah dipanaskan kontaminasi bakteri masih bisa terjadi
karena adanya kontaminasi silang dari peralatan dan air pencuci. Kelompok
bakteri coliform digunakan sebagai indikator sanitasi penanganan susu, jika
bakteri coliform mengkontaminasi susu maupun jumlah bahan pangan yang relatif
besar akan menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia.
2.3 Komposisi Susu
Menurut Eniza (2004), susu memiliki komposisi yang bermanfaat,
diantaranya adalah :
1. Air
Susu mengandung air 87.90%, yang berfungsi sebagai bahan pelarut bahan
kering. Air didalam air susu sebagian besar dihasilkan dari air yang diminum
ternak sapi.
2. Lemak
Susu merupakan suspensi alam antara air dan bahan terlarut didalamnya. Salah
satu diantaranya adalah lemak. Kadar lemak didalam air susu adalah 3.45%.
Kadar lemak sangat berarti dalam penentuan nilai gizi air susu. Bahan makanan
hasil olahan dari bahan baku susu seperti mentega, keju, krim, susu kental dan
susu bubuk banyak menagndung lemak. Besar kecilnya butir lemak ditentukan
oleh kadar air yang ada didalamnya. Makin banyak air maka makin besar
globuler dan keadaan ini dikhawatirkan akan menjadi pecah. Bila globuler
pecah maka air susu disebut pecah. Susu yang pecah tidak dapat dipisahkan
lagi krimnya, dan tidak dapat dijadikan sebagai bahan makanan.
3. Protein
Kadar protein didalam susu rata-rata 3.20% yang terdiri dari : 2.70% casein
(bahan keju), dan 0.50% albumen. Berarti 26.50% dari bahan kering susu
adalah protein. Didalam susu juga terdapat globulin dalam jumlah sedikit.

5
Protein didalam susu juga merupakan penentu kualitas susu sebagai bahan
konsumsi.
4. Laktosa
Laktosa adalah bentuk karbohidrat yang terdapat didalam air susu. Bentuk ini
tidak terdapat dalam bahan-bahan makanan yang lain. Kadar laktosa di dalam
air susu adalah 4.60% dan ditemukan dalam keadaan larut. Pemberian laktosa
atau susu dapat menyebabkan mencret atau gangguan-gangguan perut bagi
orang yang tidak tahan terhadap laktosa. Hal ini disebabkan kurangnya enzim
laktase dalam mukosa usus.
5. Vitamin dan Enzim
Kadar vitamin di dalam susu tergantung dari jenis makanan yang diperoleh
ternak sapi dan waktu laktasinya. Vitamin yang terdapat didalam lemak disebut
ADEK, dan vitamin yang larut didalam susu, tergolong vitamin B komplek,
vitamin C,Vitamin A, provitamin A dan vitamin D. Vitamin yang larut didalam
susu yang terpenting ialah vitamin B1, B2, asam nikotinat dan asam pantotenat.
Enzim berfungsi untuk mengolah suatu bahan menjadi bahan lain dengan jalan
autolyse. Enzim yang terkenal adalah peroxydase, reductase, katalase dan
phospatase. Dengan adanya pemanasan, enzim tidak akan berfungsi lagi.
2.4 Persyaratan Mutu
Persyaratan mutu susu segar berdasarkan SNI 3141.1:2011 yaitu sebagai
berikut:
Tabel 1. Persyaratan mutu susu segar berdasarkan SNI 3141.1:2011
No. Karakteristik Satuan Syarat
a. Berat jenis (pada suhu 27,5oC) g/ml 1,0270
minimum
b. Kadar lemak minimum % 3,0
c. Kadar bahan kering tanpa lemak % 7,8
minimum
d. Kadar protein minimum % 2,8
e. Warna, bau, rasa, kekentalan - Tidak ada

6
perubahan
o
f. Derajat asam SH 6,0-7,5
g. pH - 6,3-6,8
h. Uji alkohol (70%) v/v - Negatif
i. Cemaran mikroba maksimum:
1. Total Plate Count CFU/ml 1x106
2. Staphylococcus aureus CFU/ml 1x102
3. Enterobacteriaceae CFU/ml 1x103
j. Jumlah sel somatis maksimum Sel/ml 4x105
k. Residu antibiotika (Golongan - Negatif
penisilin, tetrasiklin,
aminoglikosida, makrolida)
l. Uji Pemalsuan - Negatif
o
m. Titik Beku C -0,520 s.d -0,560
n. Uji peoksidase - Positif
o. Cemaran logam berat maksimum:
1. Timbal (Pb) µg/ml 0,02
2. Merkuri (Hg) µg/ml 0,03
3. Arsen (As) µg/ml 0,1

7
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat PPDH


Pengujian produk pangan asal hewan dilakukan pada tanggal 22 Mei – 2
Juni 2017 bertempat di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya.
3.2 Peserta dan Pembimbing PPDH
Peserta koasistensi Kesehatan Masyarakat Veteriner (KESMAVET) adalah
mahasiswa PPDH FKH Universitas Brawijaya.
Nama : Bismi Rizka Yuniar, S.KH
NIM : 160130100111007
yang berada dibawah bimbingan drh. Mira Fatmawati, M.Si.
3.3 Metode Kegiatan PPDH
Metode yang digunakan dalam koasistensi di Laboratorium KESMAVET
adalah pengujian terhadap sampel produk susu dan melaksanakan diskusi
kelompok dan dengan dokter hewan pembimbing koasistensi.
3.4 Jenis Pengujian
3.4.1 Sampel Susu Sapi Segar
Pengujian pada sampel susu sapi segar antara lain uji organoleptik, uji
kebersihan, uji berat jenis, uji kadar lemak susu, kadar bahan kering, kadar bahan
kering tanpa lemak (BKTL), uji alkohol, uji didih, uji Titrasi Keasaman Soxhlet
Henkel (SH), uji pH, uji CMT (California Mastitis Test), Uji TPC (Total Plate
Count), dan Uji Coliform.
3.5 Prosedur Pengujian
3.5.1 Pemeriksaan Organoleptik pada Susu Sapi Segar
Prinsip Kerja :
Pemeriksan ini dilakukan untuk melihat secara manual bentuk susu sapi
segar. Pemeriksaan organoleptik meliputi pemeriksaan bau, warna, rasa, dan
konsistensi.

8
Alat dan bahan :
Sampel susu sapi segar dan beker glass.
Cara kerja :
Bahan diletakkan ke dalam beker glass kemudian diamati bau, warna, rasa,
dan konsistensi.
3.5.2 Uji Kebersihan
Prinsip Kerja :
Kotoran yang terdapat di dalam susu akan tampak dengan mata telanjang
tertinggal di kertas saring. Kotoran dapat berupa bulu sapi, rumput, sisa makanan,
bagian-bagian feses, darah, nanah, pasir, dan sebagainya. Penilaian kebersihan
bisa berupa bersih, sedikit kotor, kotor, dan kotor sekali.
Alat dan Bahan :
Tabung Erlenmeyer, corong kaca, kertas saring, dan sampel susu sapi segar.
Cara Kerja :
Dituangkan sampel susu sebanyak 250 ml secara perlahan-lahan melewati
corong kaca yang telah diberi kertas saring ke tabung Erlenmeyer. Ambil kertas
saring lalu amati kotoran yang tertinggal.
3.5.3 Pemeriksaan Kesegaran Susu
3.5.3.1 Uji Didih
Prinsip Kerja :
Prinsip pada uji didih yaitu, susu yang memiliki kualitas yang tidak bagus
akan pecah ataupun menggumpal bila melalui proses didih. Bila susu dalam
keadaan asam menjadikan kestabilan kasein menurun, koagulasi kasein ini yang
akan mengakibatkan pecahnya susu, tetapi apabila susu dalam keadaan baik maka
hasil yang dapat dilihat dari uji didih adalah susu masih dalam keadaan homogen
atau tidak pecah.
Alat dan Bahan :
Tabung reaksi, pipet, penjepit kayu, bunsen, dan sampel susu sapi segar.
Cara Kerja :
Susu sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi dengan
menggunakan penjepit tabung, kemudian tabung dipanaskan dengan

9
menggunakan api Bunsen sampai mendidih. Uji didih menunjukkan hasil yang
positif (kualitas susu tidak baik) bila terdapat gumpalan yang menempel pada
dinding tabung reaksi, sedangkan hasil yang negatif tidak terlihatnya gumpalan
susu pada dinding tabung reaksi.
3.5.3.2 Uji Alkohol
Prinsip Kerja :
Prinsip dasar pada uji alkohol merupakan kestabilan sifat koloidal protein
susu tergantung pada selubung atau mantel air yang menyelimuti butir-butir
protein terutama kasein. Apabila susu dicampur dengan alkohol yang memiliki
daya dehidratasi, maka protein akan berkoagulasi. Semakin tinggi derajat
keasaman susu, semakin berkurang jumlah alkohol dengan kepekatan yang sama
dibutuhkan untuk memecahkan susu yang sama banyaknya.
Alat dan Bahan :
Tabung reaksi, pipet 5 ml, alkohol 70%, dan sampel susu sapi segar.
Cara Kerja :
Tuangkan susu sebanyak 3 ml ke dalam tabung reaksi kemudian tambahkan
3 ml alkohol 70%, kemudian tabung dikocok perlahan-lahan. Uji alkohol positif
ditandai dengan adanya butiran susu yang melekat pada dinding tabung reaksi,
sedangkan uji alkohol negatif ditandai dengan tidak adanya butiran susu yang
melekat pada dinding tabung reaksi.
3.5.3.3 Uji Titrasi Keasaman Soxhlet Henkel (SH)
Prinsip :
Metode pengukuran derajat asam susu dengan cara titrasi merupakan
standar yang digunakan. Derajat asam Soxhlet Henkel adalah jumlah ml NaOH
0,25 N yang diperlukan untuk menetralisasi asam yang berada dalam 100 ml susu
dengan phenolphthalein sebagai indikator.
Alat dan Bahan :
Larutan 0,25 N NaOH, larutan phenolphthalein 1%, buret skala 0,05-0,1 ml.
2 buah Erlenmeyer 50 ml, pipet berskala, dan sampel susu.

10
Cara Kerja :
Ke dalam tabung Erlenmeyer masing-masing diisikan 50 ml sampel susu
sapi segar. Kemudian tambahkan 2-4 tetes phenolphthalein. Salah satu
Erlenmeyer dititrasi dengan larutan 0,25 N NaOH sehingga terbentuk warna
merah muda yang tetap apabila dikocok. Hitung jumlah ml NaOH yang terpakai
untuk titrasi. Derajat Soxhlet Henkel adalah jumlah 0,25 N NaOH dikalikan 2.
3.5.4 Uji Berat Jenis
Prinsip kerja :
Benda yang dimasukkan ke dalam cairan mendapat gaya ke atas sebesar
berat air yang dipindahkan.
Alat dan bahan :
Gelas ukur 500 ml, Laktodensimeter, dan sampel susu sapi segar.
Cara Kerja :
Susu diaduk dengan sempurna, lalu dituangkan susu ke dalam gelas ukur.
Dimasukkan Laktodensimeter secara perlahan-lahan ke dalam gelas ukur yang
berisi susu. Setelah tenang, dibaca skala berat jenisnya (BJ) dan dibaca suhu atau
temperatur susu. Penentuan BKTL (Berat Kering Tanpa Lemak) digunakan berat
jenis standar. Cara untuk memperoleh BJ standar yaitu dengan rumus :
BJ standar = BJ terukur + (suhu terukur – 27,5) 0,0002

3.5.5 Uji Kadar Lemak Susu


Prinsip Kerja :
Dapat mengetahui kadar lemak susu sehingga dapat memperkirakan mutu
atau kualitas susu.
Alat dan Bahan :
Beker glass, Butirometer Gerber, rak, penangas air, sentrifus, pipet 10 ml,
pipet 1 ml, asam sulfat 92%, sampel susu, amil alkohol, sumbat karet, dan kain
lap.
Cara Kerja :
Susu diaduk hingga bercampur sempurna, dituang ke dalam beker glass.
Dimasukkan 10 ml asam sulfat 92% ke dalam Butirometer. Ambil 11 ml susu dan

11
dimasukkan ke dalam butirometer melalui dinding tabung. Ditabahkan 1 ml amil
alkohol dan disumbat dengan karet. Kemudian dicampur rata dengan cara
membolak-balikkan tabung sampai berwarna coklat kehitaman. Dengan posisi
sumbat karet di bawah, butirometer dimasukkan ke dalam penangas air dengan
suhu 70oC selama 10 menit. Disentrifuse dengan ujung yang berskala menuju
pusat dengan kecepatan 1200x/menit selama 5 menit. Diangkat butirometer dan
dimasukkan lagi ke dalam penangas 70oC selama 10 menit. Butirometer dilap lalu
skala diamati.
3.5.6 Kadar Bahan Kering (BK) (%)
Perhitungan menggunakan metode Fleishmann (dinyatakan dalam %)
100 (BJ−1)
BK = 1,311 L + 2,738 BJ

Keterangan :
BK = Bahan Kering
L = Lemak (%)
BJ = Berat Jenis susu pada suhu 27,5oC
3.5.7 Kadar Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL)
BKTL dapat diketahui setelah diperoleh besarnya kadar lemak (L) dan Berat
Jenis (BJ) dalam susu yang diuji. Nilai BKTL menggunakan rumus :
BKTL = BK – L
Keterangan :
BKTL = Bahan Kering Tanpa Lemak
BK = Bahan kering
L = Lemak
3.5.8 Penentuan Kadar Protein
Prinsip Kerja :
Dengan proses netralisasi dan penambahan asam oksalat jenuh, maka
penambahan formalin dapat menyebabkan terbentuknya gugus dimetinol.
Sehingga gugus amino sudah terikat dan tidak akan mempengaruhi gugus
karboksil (asam) dengan NaOH (basa), sehingga jumlah NaOH yang dipakai
setara dengan persentase protein susu.

12
Alat dan Bahan :
Erlenmeyer 100 ml, gelas piala, pipet 1 ml, 5 ml, dan 25 ml, buret, aquades,
larutan K2C2O7.H2O, larutan phenolphthalein 2%, NaOH 0,1 N, larutan Formalin
35%, dan sampel susu.
Cara Kerja :
1. 25 ml sampel susu dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml kemudian
ditambahkan 0,25 ml larutan phenolphthalein 2% dan 1 ml larutan
K2C2O7.H2O. diamkan larutan selama 2-3 menit.
2. Titrasi larutan dengan NaOH 0,1 N hingga terlihat warna standar (merah
jambu) yang tetap.
3. Setelah terlihat warna standar pada larutan, tambahkan 5 ml larutan
formalin dan lanjutkan titrasi menggunakan NaOH 0,1 N hingga terlihat
kembali warna standar yang tetap. Catat sebagai titrasi kedua (V1).
4. Dibuat titrasi blanko dengan memasukkan 25 ml aquades ke dalam
erlenmeyer 100 ml kemudian tambahkan 0,25 ml larutan phenolphthalein
2% dan 1 ml larutan K2C2O7.H2O serta 5 ml larutan formalin. Selanjutnya
titrasi dengan larutan NaOH 0,1 N. Catat sebagai titrasi blanko (V2).
Kadar protein (%) = Titrasi formol x faktor
= (V1-V2) x 1,83
Pengukuran Kadar Protein dengan rumus :
Adanya korelasi antara kadar lemak dan kadar protein susu sehingga kadar protein
dapat dihitung dengan rumus berikut :
Kadar Protein (%) = L/2 + 1,4
Keterangan : L = Kadar Lemak
3.5.9 Pengukuran pH
Alat dan bahan :
Sampel susu sapi segar, pH indikator strips, pH meter dan beker glass.
Cara kerja :
Susu dimasukkan ke dalam beker glass sebanyak 5-10 ml, kemudian
dicelupkan kertas indikator pH ke dalam beker glass. Selanjutnya kertas indikator
pH dikeringanginkan selama 1-30 detik dan disamakan dengan standar pH

13
indikator. Kemudian dilakukan pengukuran pH menggunakan pH meter untuk
mengkonfirmasi hasil pH indikator strips.
3.5.10 Uji CMT (California Mastitis Test)
Prinsip Kerja :
Prinsipnya adalah pemanfaatan reagen yang bertindak pada membran
eksternal sel (lipoprotein membran), memperlihatkan DNA seperti gel, semakin
tinggi konsistensi maka semakin tinggi akan jumlah sel somatik atau somatic cell
count (SCC), dikenal sebagai metode langsung, dimana perangkat elektronik,
melalui sistem filter optik dan inframerah, menentukan kuantitas sel somatik dan
komponen lain dalam susu, serta agen penyebab mastitis (Pradlee, et al,. 2011).
Alat dan Bahan :
Pipet, reagen CMT, paddle, dan sampel susu sapi segar.
Cara Kerja :
3 ml susu dengan 2 ml reagen CMT yang mengandung arylsulfonate di
dalam paddel. Campuran tersebut digoyang-goyang membentuk lingkaran
horizontal selama 10 detik. Reaksi ini ditandai dengan ada tidaknya perubahan
pada kekentalan susu, kemudian ditentukan berdasarkan skoring California
Mastitis Test (CMT) yaitu (-) tidak ada pengendapan pada susu, (+) terdapat
sedikit pengendapan pada susu, (++) terdapat pengendapan yang jelas namun jel
belum terbentuk, (+++) campuran menebal dan mulai terbentuk jel, serta (++++)
jel yang terbentuk menyebabkan permukaan menjadi cembung, untuk
memudahkan perhitungan statistik maka lambang-lambang tersebut diberi nilai
masing-masing, untuk lambang (-) nilainya 0, (+) nilainya 1, (++) nilainya 2,
(+++) nilainya 3 dan (++++) nilainya 4 untuk tiap puting susu (Andriani, 2010).
3.5.11 Uji TPC (Total Plate Count)
Prinsip Kerja :
Setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni sehingga
jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan satu indeks bagi jumlah
organism yang dapat hidup yang terkandung dalam sampel.

14
Alat dan Bahan:
Tabung Erlenmeyer, pipet steril, cawan petri, media PCA (Plate Count
Agar), alkohol 70%, plastik, inkubator, dan sampel susu sapi segar.
Cara Kerja :
Sebanyak 10 ml sampel susu dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer berisi
90 ml air steril (pengenceran 10-1 ), kemudian diencerkan secara seri. Suspensi
sebanyak 1 ml dari seri pengenceran yang sesuai dipipet dengan menggunakan
pipet steril dan diletakkan pada cawan petri steril kemudian dituangi medium
PCA (Plate Count Agar) steril sebanyak 12 – 15 ml yang bersuhu 50 – 55°C.
Setelah selesai, semua cawan petri diberi pelabelan dan diisolasi pada bagian
mulut cawan. Kemudian cawan-cawan petri tersebut dimasukkan ke dalam plastik
steril. Plastik dapat disterilkan dengan cara disemprotkan alkohol 70% bagian
dalamnya. Semua cawan petri diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam,
selanjutnya dihitung jumlah koloni mikrobia yang terdapat pada cawan dengan
ketentuan jumlah koloni yang dihitung jumlahnya antara 25 – 250. Jumlah koloni
yang terhitung dikalikan dengan seperfaktor pengenceran merupakan jumlah
mikrobia/ml sisa susu.
3.5.12 Uji Coliform
Prinsip kerja :
Prinsip pengujian ini menghitung jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu
produk yang tumbuh pada media agar pada suhu dan waktu inkubasi yang
ditetapkan.
Alat dan bahan :
Cawan petri, tabung reaksi, pipet volumetrik, erlenmeyer, penghitung koloni
(colony counter), gunting, pinset, ose, pembakar bunsen, timbangan, vortex,
inkubator, penangas air, autoklaf, refrigerator, freezer, media violet red bile agar
(VRBA), buffer pepton water (BPW) 0,1%, dan sampel susu.
Cara kerja :
Prosedur pertama yaitu membuat pengenceran sampel dari 10-1 hingga 10-5.
Pembuatan pengenceran yaitu sampel sebanyak 1 ml susu kemudian dimasukkan
ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan BPW 0.1% steril selanjutnya divortex

15
sampai homogen (larutan 10-1). Satu ml suspensi pengenceran 10-1 dipindahkan
ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% menggunakan pipet steril (larutan 10-2).
Langkah selanjutnya yaitu membuat pengenceran 10-1,10-2,10-3 dan seterusnya
dengan cara yang sama seperti pada prosedur sebelumnya atau sesuai kebutuhan.
Langkah selanjutnya yaitu membuat pengenceran 10-3,10-4,10-5 dan seterusnya
dengan cara yang sama seperti pada prosedur sebelumnya sesuai kebutuhan.
Prosedur selanjutnya satu ml suspensi dari setiap pengenceran dimasukkan ke
dalam cawan petri secara duplo kemudian ditambahkan 15-20 ml VRBA bersuhu
45°C ± 1°C pada masing-masing cawan. Campuran tersebut kemudian
dihomogenkan dengan cara membentuk angka delapan dan diamkan sampai
menjadi padat. Inkubasikan pada temperatur 34-36°C ± 1°C selama 24-48 jam
dengan meletakkan cawan pada posisi terbalik (SNI 2897:2008).
Perhitungan jumlah koloni dilakukan dengan cara memilih cawan dengan
jumlah 25-250 koloni. Apabila pada cawan petri memiliki jumlah koloni kurang
dari 25 maka dihitung jumlah yang ada pada cawan dari setiap pengenceran, rerata
jumlah koloni per cawan dikalikan faktor pengenceran yang ada dalam tabel nilai
TPC pada SNI 2897:2008. Apabila pada cawan petri memiliki koloni lebih dari
250 koloni maka dihitung koloni yang dapat dihitung atau mewakili dan tandai
dengan tanda bintang. Apabila pada cawan petri dari semua pengenceran tidak
menghasilkan koloni dapat dilaporkan TPC kurang dari 1 kali pengenceran
terendah yang digunakan dan ditandai dengan tanda bintang (SNI 2897:2008).

16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keterangan Sampel


Sampel susu : Susu sapi segar
Merk : Non merk/ rumahan
Asal : Desa Junrejo, Batu, Malang
Kemasan : plastik
Jumlah : 1000 ml

Gambar 1. Sampel susu sapi segar


4.2 Hasil
Untuk mengetahui mutu dan kualitas dari bahan pangan asal hewan yaitu
susu sapi segar perlu dilakukan beberapa tahapan pengujian sebagai jaminan
keamanan pangan. Berikut adalah hasil dari berbagai pengujian susu sapi segar :
Tabel 2. Hasil Pengujian Susu Sapi Segar
Syarat berdasarkan
No. Jenis Uji Hasil Uji
SNI 3141.1:2011
Organoleptik :
1. Bau Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan
Warna Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan

17
Rasa Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan
Konsistensi Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan
2. Berat Jenis 1,0277 g/ml 1,0270 g/ml
3 Kadar Lemak 3,7 % 3,0 %
Kadar bahan kering
4. 8,154% 7,8 %
tanpa lemak
5. Kadar protein 3,25 % 2,8 %
6. Derajat asam 8oSH 6,0-7,5oSH
7. pH 6,5 6,3-6,8
8. Uji alkohol 70% Negatif Negatif
9. Cemaran Mikroba
Total Plate Count 1,55 x107 CFU/ml 1x106 CFU/ml
10. Uji CMT Negatif -
11. Jumlah sel somatis 2,8x105 sel/ml 4x105 sel/ml

4.3 Pembahasan
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan, hasil organoleptik sampel susu sapi
segar menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang terjadi pada sampel susu,
baik perubahan warna, rasa, bau, maupun konsistensi. Hasil uji kebersihan juga
menunjukkan keadaan susu sapi segar yang bersih bebas dari kotoran apapun.
Secara umum, kondisi normal susu sapi segar memiliki warna putih kekuningan
yang disebabkan oleh protein kasein yang memberikan warna kekuningan pada
susu. Susu sapi segar juga memiliki aroma khas susu sapi atau tidak ada
perubahan dengan konsistensi yang normal tidak ada perubahan.
Uji didih dan uji alkohol menunjukkan hasil negatif. Pemeriksaan susu
untuk melihat keadaannya dapat dilakukan dengan uji didih, uji alkohol, dan uji
derajat asam. Uji-uji tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memeriksa derajat
keasaman susu secara tetrimetri dan untuk mengetahui kualitas susu. Pada saat
susu masih dalam kondisi tidak pecah dan tidak menggumpal setelah melewati uji
didih dan uji alkohol, maka susu dapat dikatakan sehat dan layak untuk
dikonsumsi. Sebaliknya bila susu pecah atau menggumpal, maka susu tersebut

18
tidak layak konsumsi atau susu dengan kualitas yang buruk. Pada uji didih susu
yang memiliki kualitas yang tidak bagus akan pecah ataupun menggumpal bila
melalui proses didih. Uji didih berfungsi untuk mengetahui kesegaran susu
melalui pemanasan. Bila susu dalam keadaan asam menjadikan kestabilan kasein
menurun, koagulasi kasein ini yang akan mengakibatkan pecahnya susu, tetapi
apabila susu dalam keadaan baik maka hasil yang dapat dilihat dari uji didih
adalah susu masih dalam keadaan homogen atau tidak pecah.
Uji alkohol merupakan kestabilan sifat koloidal protein susu tergantung
pada selubung atau mantel air yang menyelimuti butir-butir protein terutama
kasein. Apabila susu dicampur dengan alkohol yang memiliki daya dehidratasi,
maka protein akan berkoagulasi. Semakin tinggi derajat keasaman susu, semakin
berkurang jumlah alkohol dengan kepekatan yang sama dibutuhkan untuk
memecahkan susu yang sama banyaknya. Prinsip dasar pada uji alkohol
merupakan kestabilan sifat koloidal protein susu tergantung pada selubung atau
mantel air yang menyelimuti butir-butir protein terutama kasein. Terdapat pada
penambahan pertama 5 ml alkohol 70% ke dalam susu segar setelah
dihomogenkan tidak adanya butir-butir susu berarti hasilnya negatif atau kualitas
susu baik untuk dikonsumsi. Pada uji alkohol susu yang tidak baik (misalnya susu
asam) akan pecah atau menggumpal jika ditmbahkan alkohol 70%. Alkohol
memiliki daya dehidrasi yang akan menarik gugus H+ dari ikatan mantel air
protein, sehingga protein dapat melekat satu dengan yang lain akibatnya
kestabilan protein yang dinamakan susu pecah (Sudarwanto, 2005). Uji alkohol
adalah uji yang cepat dan sederhana yang merupakan dasar dalam kestabilan
protein ketika jumlah asam bertambah dalam susu (Buckle et al., 1987). Uji
alkohol bertujuan untuk memeriksa dengan tepat tingkat keasaman susu. Susu
yang mengandung keasaman 0,21 % tidak akan terkoagulan dengan penambahan
alkohol 70% dengan demikian, apabila uji alkohol menunjukan hasil positif
dimana dengan penambahan alkohol 70% susu terjadi penggumpalan maka susu
dalam keadaan tidak baik.

19
Gambar 2. Hasil uji didih pada susu sapi segar negatif tidak ada gumpalan
(kiri), dan Hasil uji alkohol negatif tidak ada gumpalan.
Hasil uji kesegaran susu ini diperkuat dengan hasil uji titrasi keasaman
Soxhlet Henkel (oSH). Prinsip pada uji derajat asam yaitu secara titrasi ditetapkan
kadar asam yang terbentuk dalam susu. Asam yang terbentuk sebagian besar
karena perombakan laktosa menjadi asam akibat kerja mikroorganisme. Susu
sebanyak 10 ml masukkan dalam 2 botol Erlenmeyer. Kemudian diteteskan
indikator phenolphtalein sebanyak 1 ml ke dalam botol Erlenmeyer pertama,
sedangkan botol Erlenmeyer yang kedua sebagai kontrol. Botol Erlenmeyer
pertama dititrasi dengan NaOH 0,1N setetes demi setetes sambil digoyang-
goyangkan sampai terbentuk warna merah muda, pada kondisi ini sudah tercapai
bagian antara asam dan basa. Jumlah NaOH 0,1N yang dipakai dikali empat
karena jumlah susu yang dipakai 10 ml, seharusnya 100 ml (Suardana dan
Swacita, 2004).
Berat jenis susu menunjuklan imbangan komponen zat-zat pembentuk di
dalamnya. Nilai berat jenis susu dipengaruhi oleh kadar lemak dan bahan kering
tanpa lemak, yang tidak lepas dari pengaruh makanan dan kadar air dalam susu
(Eckles et al., 1984). Makin tinggi kandungan bahan kering (BK) susu, maka
makin tinggi berat jenis susu (Girisonta, 1995). Berat jenis susu erat kaitannya
dengan komponen padatan susu dan BK konsentrat dalam ransum. Semakin tinggi
persentase BK ransum menghasilkan berat jenis susu yang semakin besar. Berat

20
jenis susu dipengaruhi oleh komponen susu terutama lemak, karena BJ lemak
lebih rendah dari pada air. Semakin tinggi kadar lemak dalam susu menyebabkan
berat jenis susu yang rendah. Menurut SNI susu segar syarat minimum BJ susu
pada sapi perah adalah 1,0280 (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Umumnya
semakin tinggi kemampuan produksi seekor sapi, maka semakin rendah kadar
lemak di dalam susu yang dihasilkan. Sapi perah mempunyai produksi yang
tinggi, tetapi kadar lemaknya rendah. Kadar lemak juga dipengaruhi oleh
frekuensi dan waktu pemerahan, pada pemerahan dua kali kadar lemak susu
pemerahan pagi hari sebesar 5,23% dibandingkan dengan pemerahan sore hari
yaitu sebesar 5,5% (Eckles, 1956). Kadar lemak susu dipengaruhi oleh kandungan
serat kasar di dalam ransum. Apabila kadar serat kasar rendah maka dapat
menurunkan kadar lemak susu yang dihasilkan (Sudono, 1999). Menurut SNI
syarat minimum kadar lemak susu segar adalah 3,0% (Badan Standarisasi
Nasional, 1998). Hasil pada pengujian Kadar Lemak Susu Sapi Segar yaitu 3,7%
sedikit tinggi melebihi syarat SNI susu sapi segar.

Gambar 3. Hasil Uji Kadar Lemak Susu Sapi Segar dengan menggunakan
Butirometer-
Gerber

21
Pada uji kadar lemak susu, pemberian H2SO4 pekat pada susu akan
merombak dan melarutkan kasein dan protein susu yang lainnya. Sedangkan
penambahan amyl-alkohol dan panas yang disebabkan karena reaksi zat-zat
tersebut akan mencairkan lemak dalam susu, sehingga butir-butir lemak menjadi
lebih besar dan menciptakan cairan jernih diatas H2SO4. Lemak merupakan
sumber utama pada susu. Baik manusia maupun sapi menyediakan sekitar 50%
energi sebagai lemak. Pada umumnya komposisi susu sapi terdiri dari air dan
bahan kering. Lemak termasuk ke dalam bahan kering susu. Lemak susu
merupakan komponen yang penting seperti halnya protein. Lemak dapat
meberikan energi yang lebih besar daripada protein maupun karbohidrat. Di
dalam lemak terdapat globula atau emulsi yaitu bulatan-bulatan minyak atau
lemak berukuran kecil di dalam serum. Ruang lingkup dari pemeriksaan kadar
lemak yaitu menetapkan metode pemeriksaan rutin untuk penentuan kadar lemak
susu misalnya susu yang dihomogenisasi dengan metode Gerber. Pereaksi yang
digunakan dalam metode Gerber yaitu asam sulfat 91-92% dengan kenampakan
tidak berwarna atau lebih terang serta amyl alkohol yang berwarna jernih. Pakan
yang diberikan untuk sapi juga mempengaruhi tinggi rendahnya kadar lemak susu
dan berhubungan dengan tinggi rendahnya produksi susu yang dihasilkan.
Kekurangan pakan pada sapi perah semestinya, akan menurunkan produksi susu.
Prinsip kerja dari butirometer pada dasarnya yaitu butir-butir lemak kecil
menggumpal menjadi butir-butir besar, dan hal ini dipercepat oleh amyl alkohol
dan pemanasan suhu 65oC. Lemak cair ini mengapung di atas campuran asam
belerang, plasma susu, dan amyl alkohol. Angka yang dapat dibaca dalam skala
butirometer disebabkan oleh perubahan laktosa menjadi caramel, seperti yang
terdapat pada Gambar 3.
Hasil uji sampel susu pada uji California Mastitis Test (CMT) menunjukkan
hasil negatif. California Mastitis Test (CMT) digunakan sebagai salah satu cara
untuk mendeteksi mastitis yang dilakukan di lapangan. Istilah viscous dalam
pemeriksaan California Mastitis Test (CMT) digunakan untuk menunjukkan
adanya produk-produk inflamasi seperti leukosit, fibrin dan serum, jumlah bakteri,
serta perubahan komposisi kimia air susu. Pada air susu mastitis terjadi

22
penambahan jumlah bakteri maupun jumlah sel radang sehingga terjadi
peningkatan reaksi. Peningkatan reaksi tersebut diduga bila ditambahkan zat aktif
permukaan (surface active agent) seperti NaOH 4% akan bereaksi dengan sel-sel
somatik dalam air susu termasuk leukosit. Sebagai akibat dari reaksi tersebut
adalah terjadi kenaikan konsentrasi air susu menjadi lebih kental (viscous) dan
membentuk gel.
Hasil Uji Residu Antibiotik menunjukkan hasil negatif. Hal ini
menunjukkan bahwa sampel susu sapi tidak terdapat residu antibiotik sesuai
dengan SNI 3141.1:2011. Penggunaan antibiotik penicillin berfungsi sebagai
indikator untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang terdapat di dalam media
MHA. Proses ini ditandai dengan terlihatnya zona hambat yang terlihat pada
media MHA.
Pada Uji Cemaran Mikroba diketahui nilai TPC menunjukkan hasil 1,55 x
107 CFU/ml. Hal ini mengindikasikan bahwa cemaran mikroba pada sampel susu
sapi segar melebihi syarat mutu dan kualitas SNI susu sapi segar. Uji TPC
berfungsi untuk mengetahui jumlah koloni cemaran mikroba yang terdapat dalam
sampel.
Tabel 3. Hasil Uji TPC Susu Sapi
105 106 107
1 186 19 3
2 124 14 2
Rata-rata 155 16,5 2,5

Jumlah rata-rata koloni dari cawan yang memiliki jumlah koloni sebesar 25-250
koloni adalah sebagai berikut :
155 x 105 = 1,55 x 107
Jadi, jumlah koloni = 1,55 x 107
Uji yang dilakukan pada sampel susu sapi segar menunjukkan adanya
cemaran bakteri E.coli yang ditunjukkan dengan terdapat warna hijau metalik
pada media EMBA. Cemaran E.coli ini dapat disebabkan akibat kontaminasi

23
bakteri dari lingkungan selama proses pemerahan ataupun cemaran selama proses
pengemasan.

Gambar 4. Hasil Uji E.coli menggunakan media EMBA

Media EMBA adalah medium selektif dan diferensial digunakan untuk


mengisolasi coliform fecal. Eosin dan methilen blue adalah pewarna indikator pH
yang bergabung untuk membentuk endapan ungu gelap pada pH rendah (asam),
mereka juga berfungsi untuk menghambat pertumbuhan organisme golongan
Gram positif. Sukrosa dan laktosa berfungsi sebagai sumber karbohidrat dapat
difermentasi yang mendorong pertumbuhan coliform. Fermentor yang kuat dari
laktosa atau sukrosa akan menghasilkan jumlah asam yang cukup untuk
membentuk kompleks warna ungu tua. Pertumbuhan organisme ini akan muncul
berwarna ungu tua sampai hitam. Escherichia coli, suatu fermentor yang kuat,
sering menghasilkan warna koloni hijau metalik. Fermentor lambat atau lemah
akan menghasilkan koloni merah muda mukoid atau berlendir. Biasanya koloni
berwarna atau tidak berwarna menunjukkan bahwa organisme fermentor laktosa
atau sukrosa terserbut bukan merupakan coliform fecal (Cheeptham, 2012).

24
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan terhadap mutu dan kualitas susu sapi
segar didapatkan bahwa susu tersebut kurang aman untuk dikonsumsi
masyarakat karena hasil dari pengujian cemaran mikroba kurang sesuai dengan
syarat mutu dan kualitas susu sapi segar berdasarkan SNI 3141.1:2011.
5.2 Saran
Perlu adanya penyuluhan atau edukasi kepada konsumen tentang tata cara
penyimpanan dan suhu yang baik untuk menyimpan susu serta cara pengolahan
susu yang benar.

25
DAFTAR PUSTAKA

Agraris, Kanisius. 2005. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Yogyakarta:


Kanisius. Aksi Agraris Kanisius (AAK), 2005. Beternak Sapi Perah.
Yogyakarta.
Andriani. 2010. Penggunaan Somatik Cell Count (SCC), Jumlah Bakteri dan
California Mastitis Test (CMT) untuk Deteksi Mastitis pada Kambing.
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Februari, 2010, Vol. XIII, No. 5.
Anggraeni. A. 2000. Keragaaan Produksi Susu Sapi Perah: Kajian pada Faktor
Koreksi Pengaruh Lingkungan Internal. Wartazoa. 9(2): 41 – 49.
Badan Standarisasi Nasional. 1998. SNI 01-3141-1998 Susu Segar. Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2011. SNI 3141.1:2011 Susu Segar Bagian I : Sapi.
Jakarta.
Buckle, K.A., T.A. Edwards, G.H. Gleet Dan M. Wolton. 1987. Ilmu Pangan.
Terjemahan Hari Purnomo Dan Adiono . Universitas –Indonesia Press,
Jakarta.
Eckles, C .H . 1956. Dairy Cattle and Milk Production, 5th Ed . The McMillan
Coy., New York.
Eckles CH, Coms WR, Macy H. 1984. Milk and Milk Product Ed ke-4. Denvile
Illinois: The Mac Graw Hill Publisher Inc.
Eniza, Saleh. 2004. Dasar Pengolahan Susu Dan Hasil Ikutan Ternak. Sumatera
Utara: Universitas Sumatra Utara Press. Hal: 2-7.
Girisonta. 1995. Petunjuk Beternak Sapi Perah. Kanisius : Yogyakarta.
Muchtadi, T.R. 2010. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Alfabeta, CV. IPB.
Bogor.
Pradlee D., Jorgea. 2011. Somatic Cell Count and Californi Mastitis Test as a
Diagnostic Tool for Subclinical Mastitis in Ewes. Acta Scientiae
Veterinariae, 2012. 40 (2): 1038.
Prasetya, H. 2012. Prospek Cerah Beternak Sapi Perah (Pembibitan,
Pemeliharaan, Manajemen Kesehatan dan Pengolahan Susu). Pustaka Baru
Press. Yogyakarta.

26
Soeparno, Indratiningsih, Rihastuti, S. Triatmojo. 2011. Dasar Teknologi Hasil
Ternak. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Standar Nasional Indonesia. 2011. Susu Segar Bagian I (Sapi). SNI 3141.1:2011.
ICS 67.100.01.
Suardana, I.W. dan I.B.N. Swacita. 2004. Food Hygiene. Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Udayana : Denpasar.
Sudarwanto M. 2005. Bahan kuliah hygiene makanan. Bahan ajar. Bagian
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi ternak.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sumudhita, M.W. 1989. Susu dan Penanganannya. Program Studi Ilmu Produksi
Ternak Perah. Fakultas Peternakan Universitas Udayana : Denpasar.
Walstra P et al. 2006. Dairy Technology: Principles of Milk Properties and
Processes. CRC/Taylor and Francis. New York.
Widodo, W. 2002. Bioteknologi Fermentasi Susu. Malang. Pusat Pengembangan
Bioteknologi. Universitas Muhammadiyah. Malang.

27
LAMPIRAN

1. Penghitungan Berat Jenis (BJ) Susu Sapi


BJ = BJ terukur + (suhu terukur – 27,5) 0,0002
= 1,0272 + (29 – 27,5) 0,0002
= 1,0272 + (2,5) 0,0002
= 1,0272 + 0,0005
= 1,0277 g/ml
2. Penghitungan Berat Kering Tanpa Lemak (BKTL) Susu Sapi
BKTL = BK – L
Keterangan : BK : Berat Kering
L : Lemak
(100(BJ−1))
BK = 1,23 L + 2,71 BJ
(100(1,0277−1))
= 1,23 x 3,7 + 2,71 1,0277
2,77
= 4,551 + 2,71
1,0277

= 4,551 + 2,71 x 2,695


= 4,551 + 7,303
= 11,854%
L = 3,7 %
BKTL = BK – L
= 11,854 – 3,7
= 8,154 %
3. Jumlah sel somatis pada sampel susu sapi
Diketahui :
1+0+2+1+0+0+2+0+1+0
Rata-rata sel somatis dalam 10 lapang pandang =
10
7
=
10
= 0,7

28
Maka, jumlah sel somatis = F x B
= 400.000 x 0,7
= 280.000 sel/ml
= 2,8 x 105 sel/ml
Keterangan :
F : Faktor mikroskop
B : Rataan sel somatis dalam 10 lapang pandang

29
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
yang dilaksanakan di
LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

PENGUJIAN YOGHURT

Oleh :

BISMI RIZKA YUNIAR, S.KH


NIM. 160130100111007

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018

30
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Yoghurt adalah produk yang dibuat dari susu melalui proses fermentasi
bakteri asam laktat, Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus.
Yoghurt sangat baik untuk kesehatan, terutama untuk menjaga keasaman lambung
dan dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen di usus. Selain itu, yoghurt juga
mengandung protein dengan kadar yang tinggi, bahkan lebih tinggi daripada
protein susu. Hal ini disebabkan penambahan protein dari sintesa mikroba dan
kandungan protein dari mikroba tersebut (Winarno, 2003).
Yoghurt juga merupakan minuman yang kaya akan gizi dan memiliki harga
yang relatif murah. Bila dinilai dari kandungan gizinya, yoghurt tidak kalah
dengan susu. Hal ini karena bahan dasar yoghurt adalah susu, bahkan ada
beberapa kelebihan pada yoghurt yang tidak dimiliki oleh susu murni diantaranya
sangat cocok dikonsumsi oleh orang yang sensitif dengan susu, bila dikonsumsi
secara rutin dapat menghamabat kadar kolesterol dalam darah karena yoghurt
mengandung bakteri lactobacillus, yoghurt lebih awet dibanding susu segar.
Yoghurt dapat disimpan lama sebab asam laktat pada yogurt berfungsi seperti
pengawet alami, yoghurt dapat meningkatkan daya tahan tubuh kita karena
yoghurt mengandung banyak bakteri yang baik sehingga secara otomatis dapat
menyeimbangkan bakteri jahat yang terdapat dalam susu. Diantara kelebihan
diatas yoghurt juga mempunyai kekurangan yaitu bagi beberapa orang kadar asam
yang terdapat pada yoghurt dapat menyebabkan nyeri pada lambung. Yoghurt
disukai karena memiliki rasa yang segar, tekstur dan aroma yang khas.
Secara umum, yoghurt yang banyak dikenal oleh masyarakat berasal dari
susu sapi. Pemanfaatan susu sapi sebagai bahan pembuatan yoghurt ialah karena
susu sapi sangat mudah diperoleh dengan harga yang tidak terlalu mahal. Oleh
karena itu perlu dilakukan pengujian mutu terhadap yoghurt susu sapi untuk
membuktikan layak atau tidak untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas sesuai
dengan standar.

31
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana mutu dan kualitas yoghurt sesuai dengan SNI 7552: 2009?
1.3 Tujuan
Dapat mengetahui pengujian mutu dan kualitas yoghurt yang sesuai dengan
SNI 7552: 2009.

32
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Susu Fermentasi


Susu fermentasi merupakan susu hasil sekresi ambing mamalia sehat yang
dilakukan proses fermentasi. Fermentasi merupakan teknik memproduksi
makanan dengan menggunakan mikrobia yang menguntungkan (Susilorini dan
Sawitri, 2006; Wahyudi dan Samsundari, 2008). Semakin banyak komponen
glukosa yang ditambahkan akan mempengaruhi pertumbuhan bakteri/mikrobia.
Yang digunakan sebagai starter sehingga kemampuan produk metabolit yang
dihasilkan akan semakin banyak. Standard susu fermentasi berdasarkan SNI 7552:
2009 dapat dilihat pada Tabel 1. Berikut :
Tabel 1. Standard Komposisi Susu Fermentasi (SNI 7552: 2009)
Komposisi Tanpa Pemanasan Pemanasan
Lemak (%) 0,5-0,6 0,5-0,6
Padatan susu tanpa lemak Min 3,0 Min 3,0
(%)
Protein (%) Min 1,0 Min 1,0
Abu (%) Maks 1,0 Maks 1,0
Total asam tertitrasi (%) 0,2-0,9 0,2-0,9

2.2 Yoghurt
Yoghurt merupakan produk olahan susu fermentasi yang mengandung asam
laktat, alkohol, karbondioksida, dan senyawa lain (Winarno dan Fernandes, 2007).
Proses pembuatan yoghurt adalah homogenasi, pasteurisasi, pendinginan,
inokulasi, dan inkubasi (Wahyudi dan Samsundari, 2008).
Yoghurt yang dibuat dengan menfermentasikan susu dengan bakteri asam
laktat dan dengan atau tanpa mikrobia lainnya yang sesuai (SNI 7552: 2009).
Bakteri asam laktat juga mempunyai kemampuan memproduksi berbagai
substansi antimikrobia yang potensial sebagai agensia pengawet yaitu : hidrogen
peroksida, karbondioksida, asam organik lainnya, diasetil, dan bakteriosin

33
(Suarsana, 2001) dengan hasil utama sejumlah besar asam laktat. Hal ini dapat
mempengaruhi penurunan pH dan menimbulkan rasa asam. Starter bakteri asam
laktat yang sering digunakan adalah Streptococcus dan Lactobacillus.
Kekentalan dapat disebabkan oleh penguraian padatan oleh bakteri asam
laktat pada proses fermentasi. Lebih lanjut dijelaskan oleh Winarno dan
Fernandes (2007) bahwa kekentalan susu dipengaruhi oleh total solid yang
terdapat dalam susu. Dalam hal ini laktosa, glukosa, galaktosa pada susu
fermentasi dan rafinosa serta stakiosa dalam filtrat ubi jalar merah diuraikan oleh
BAL sehingga mempengaruhi kekentalan susu fermentasi. Kekentalan dapat juga
dipengaruhi oleh kerusakan kasein, homogenisasi, kandungan lemak dan
pemanasan susu.
Adanya aktifitas BAL sangat mempengaruhi kekentalan susu karena BAL
akan merombak laktosa yang terdapat dalam susu menjadi asam laktat. BAL yang
menghasilkan enzim lactase dapat juga mempengaruhi kekentalan susu. Enzim
laktase dihasilkan karena adanya aktivitas Streptococcus thermophilus (Susilorini
dan Sawitri, 2006). Enzim laktase dalam susu digunakan untuk menguraikan
laktosa serta menghasilkan asam laktat yang menyebabkan ketidakstabilan protein
susu sehingga menjadi salah satu penyebab terjadinya peningkatan kekentalan.
Semakin meningkatnya aktivitas BAL mempengaruhi proses pemecahan laktosa
dalam menghasilkan asam laktat yang yang tinggi sehingga menyebabkan nilai
pH semakin turun. Analisis pH yang diperoleh adalah 6,78 – 6,58. Nilai pH yang
dihasilkan kurang optimum karena menurut Wahyudi dan Samsundari (2008) pH
susu fermentasi biasanya sekitar 4,5- 4,3. Hal ini dapat disebabkan karena proses
adaptasi BAL yang kurang sempurna karena setiap mikroba masing-masing
mempunyai pH optimum, minimum dan maksimum untuk pertumbuhannya,
sebagai contoh bakteri yang dapat tumbuh paling baik pada pH mendekati netral
(pH 7) tetapi beberapa bakteri menyukai suasana asam (pH kurang dari 4) dan
yang lain dapat tumbuh dengan sedikit asam atau dalam suasana basa (pH lebih
besar dari 7) (Imelda, 2007).

34
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat PPDH


Pengujian produk pangan asal hewan dilakukan pada tanggal 22 Mei – 2
Juni 2017 bertempat di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya.
3.2 Peserta dan Pembimbing PPDH
Peserta koasistensi Kesehatan Masyarakat Veteriner (KESMAVET) adalah
mahasiswa PPDH FKH Universitas Brawijaya.
Nama : Bismi Rizka Yuniar, S.KH
NIM : 160130100111007
yang berada dibawah bimbingan drh. Mira Fatmawati, M.Si.
3.3 Metode Kegiatan PPDH
Metode yang digunakan dalam koasistensi di Laboratorium KESMAVET
adalah pengujian terhadap sampel yoghurt dan melaksanakan diskusi kelompok
dan dengan dokter hewan pembimbing koasistensi.
3.4 Jenis Pengujian
3.4.1 Sampel Susu Fermentasi (Yoghurt)
Pengujian pada sampel yoghurt antara lain uji organoleptik, uji Kebersihan,
uji pH, Uji TPC (Total Plate Count), Uji MPN (Most Probable Number), dan Uji
Yeast and Mold.
3.5 Prosedur Pengujian
3.5.1 Pemeriksaan Organoleptik
Prinsip Kerja :
Pemeriksan ini dilakukan untuk melihat secara manual bentuk dari yoghurt.
Pemeriksaan organoleptik meliputi pemeriksaan bau, warna, rasa, dan konsistensi.
Alat dan bahan :
Sampel yoghurt dan beker glass.

35
Cara kerja :
Bahan diletakkan ke dalam beker glass kemudian diamati bau, warna, rasa,
dan konsistensi.
3.5.2 Uji Kebersihan
Prinsip Kerja :
Kotoran yang terdapat di dalam yoghurt akan tampak dengan mata telanjang
tertinggal di kertas saring. Kotoran dapat berupa bulu sapi, rumput, sisa makanan,
darah, nanah, pasir, dan sebagainya. Penilaian kebersihan bisa berupa bersih,
sedikit kotor, kotor, dan kotor sekali.
Alat dan Bahan :
Tabung Erlenmeyer, corong kaca, kertas saring, dan sampel yoghurt.
Cara Kerja :
Dituangkan sampel yoghurt sebanyak 250 ml secara perlahan-lahan
melewati corong kaca yang telah diberi kertas saring ke tabung Erlenmeyer.
Ambil kertas saring lalu amati kotoran yang tertinggal.
3.5.3 Pengukuran pH
Alat dan bahan :
Sampel yoghurt, pH indikator strips, pH meter dan beker glass.
Cara kerja :
Yoghurt dimasukkan ke dalam beker glass sebanyak 5-10 ml, kemudian
dicelupkan kertas indikator pH ke dalam beker glass. Selanjutnya kertas indikator
pH dikeringanginkan selama 1-30 detik dan disamakan dengan standar pH
indikator. Kemudian dilakukan pengukuran pH menggunakan pH meter untuk
mengkonfirmasi hasil pH indikator strips.
3.5.4 Uji Cemaran Coliform dengan metode MPN (Most Probable Number)
Prinsip :
Metode MPN (Most Probable Number) terdiri dari uji presumtif
(pendugaan) dan uji konfirmasi (peneguhan), dengan menggunakan media cair di
dalam tabung reaksi dan dilakukan berdasarkan jumlah tabung positif.
Pengamatan tabung positif dapat dilihat dengan timbulnya gas di dalam tabung
Durham.

36
Alat dan Bahan :
Timbangan, botol (150 ml) abung reaksi steril, tabung Durham, inkubator,
pipet steril larutan buffer pepton water (BPW) 0,1%, media cair Lauryl Sulfate
Tryptose Broth (LSTB), Brilian Green Lactose Broth (BGLB) dan sampel
yoghurt.
Cara kerja :
a. Uji Pendugaan
Sebanyak 1 ml sampel yoghurt dimasukkan ke dalam erlenmeyer steril yang
berisi 9 ml larutan BPW 0,1% kemudian dihomogenkan. Larutan yang terbentuk
merupakan pengenceran 10-1. Uji pendugaan dilakukan dengan pemindahan 1 ml
larutan pengencer 10-1 tersebut dengan pipet steril kedalam larutan 9 ml larutan
BPW 1% untuk mendapatkan pengenceran 10-2. Selanjutnya dengan cara yang
sama dibuat pengenceran 10-3. Sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran
dimasukkan ke dalam 3 seri tabung LSTB yang berisi tabung Durham. Tabung
reaksi diinkubasi pada temperatur 35 °C selama 24-48 jam. Perhatikan adanya gas
yang terbentuk di dalam tabung Durham. Hasil uji dinyatakan positif bila
terbentuk adanya gas.
b. Uji Konfirmasi (Peneguhan)
Dipindahkan biakan positif dari uji pendugaan dengan menggunakan jarum
inokulasidari setiap tabung LSTB ke dalam tabung BGLB yang berisi tabung
Durham. Kemudian diinkubasi pada temperatur 35oC selama 48 jam ± 2 jam.
Perhatikan adanya gas yang terbentuk di dalam tabung Durham. Hasil uji
dinyatakan positif apabila terbentuk adanya gas. Selanjutnya gunakan tabel MPN
untuk menentukan nilai MPN berdasarkan jumlah tabung BGLB yang positif
sebagai jumlah coliform per mililiter atau per gram.
3.5.5 Uji Yeast and Mold
Alat dan Bahan :
Timbangan, cawan petri, media Saboraud’s Dextrose Agar (SDA), dan
sampel yoghurt.

37
Cara Kerja :
Sebanyak 5 gram sampel diletakkan di atas media dan diletakkan di suhu
ruangan. Diperiksa adanya pertumbuhan kapang setelah 3 hari.

38
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keterangan Sampel


Sampel : Yoghurt
Merk : Cimory
Produksi : PT. Cimory
Isi : 250 ml
Asal pembelian : Indomaret Point Jl. MT. Haryono, Malang

Gambar 1. Sampel produk yoghurt

4.2 Hasil
Untuk mengetahui mutu dan kualitas dari produk bahan pangan asal hewan
yaitu yoghurt perlu dilakukan beberapa tahapan pengujian sebagai jaminan
keamanan pangan. Berikut adalah hasil dari berbagai pengujian mutu dan kualitas
yoghurt :

39
Standar (SNI 01-
No. Jenis Uji Hasil Uji
2981-2009)
1. Organoleptik :
Bau Khas Khas
Rasa Asam Asam
Warna Putih Putih
Konsistensi Homogen Homogen
Penampakan Cairan kental Cairan kental
2. Uji pH Indikator 4 3,6 - 4,1
3. Cemaran Mikroba :
Uji Most Probable Number Negatif Maks 10 APM/gr
(MPN)

4.3 Pembahasan
Berdasarkan hasil uji organoleptik yang telah dilakukan terhadap produk
yoghurt, menunjukkan mutu yoghurt tersebut sesuai dengan SNI. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa yogurt tersebut dibuat dengan tahapan-tahapan yang
sesuai dengan standar dan higienis. Bau dan rasa yoghurt dipengaruhi oleh adanya
senyawa tertentu dalam yoghurt seperti senyawa asetaldehida, diasetil, asam
asetat, dan asam-asam lainnya yang jumlahnya sangat sedikit. Senyawa ini
dibentuk oleh bakteri Streptococcus thermophillus dari laktosa susu, diproduksi
juga oleh beberapa strain bakteri Lactobacllus bulgaricus. Berdasarkan hasil uji
organoleptik juga dapat disimpulkan bahwa yoghurt tersebut disimpan dengan
waktu yang tepat sehingga didapatkan cairan dengan tekstur kental.
Yoghurt yang disimpan terlalu cepat maka teksturnya akan cair, sedangkan
yoghurt yang memenuhi standar mutu adalah yang bertekstur cairan kental.
Kekentalan yoghurt dipengaruhi oleh waktu penyimpanan yoghurt, semakin lama
waktu penyimpanan maka yoghurt akan semakin kental. Semakin lama proses
penyimpanan maka proses fermentasi akan terus berlangsung hingga makin
kental. Dalam proses fermentasi ini bakteri yoghurt pada umumnya seperti jenis
Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus dan Streptococcus salivarius subsp.

40
thermophillus akan memakan gula (laktosa) yang terdapat di dalam susu,
akibatnya susu menjadi kental dan menggumpal (Wahyudi dan Samsundari,
2008).
Pada uji terhadap cemaran mikroba Coliform dengan metode MPN
didapatkan hasil negatif atau tidak menunjukkan adanya bakteri Coliform pada
sampel yoghurt. Hal ini menunjukkan bahwa mutu dan kualitas yoghurt terhadap
bakteri Coliform sesuai dengan SNI yaitu kurang dari 10 APM/gr. Hal tersebut
menunjukkan bahwa yoghurt ini diolah secara higienis dan penggunaan bahan
baku yang bermutu dan berkualitas tinggi. Selain itu bakteri asam laktat yang
terdapat di dalam yoghurt dapat menekan pertumbuhan bakteri lain sehingga
dalam hasil pengujian cemaran mikroba hasil sesuai dengan SNI.
Pengujian ini dilakukan untuk menghindari adanya penyakit yang
disebabkan oleh produk pangan asal hewan yang tercemar mikroorganisme
patogen atau sering disebut sebagai foodborne disease. Bakteri Coliform
menyebabkan foodborne disease contohnya seperti Salmonellosis dan
Colibacillosis.
Berdasarkan uji pH dengan menggunakan pH indikator dan pH meter,
produk ini menunjukkan hasil yang sesuai dengan SNI. Hal ini menunjukkan
bahwa yoghurt tersebut dibuat dengan komposisi yang baik dan tepat, selain itu
pengolahannya juga memiliki tingkat kualitas yang tinggi.

Gambar 2. Hasil uji pH indikator sampel yoghurt


Total asam di dalam yoghurt dapat dianalogikan dengan jumlah asam laktat
yang terkandung pada produk tersebut. Asam yang terkandung dalam produk
yoghurt merupakan produk utama yang dapat menjadikan ciri khas rasa yoghurt.

41
Asam ini terbentuk dari hasil fermentasi karbohidrat susu (laktosa oleh bakteri
biakan menjadi asam laktat. Bakteri memanfaatkan laktosa sebagai sumber energi
dan sumber karbon selama masa pertumbuhan. Jumlah asam laktat yang terlalu
sedikit ataupun terlalu banyak akan mempengaruhi cita rasa dari yoghurt tersebut.

42
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan terhadap mutu dan kualitas yoghurt
didapatkan bahwa yoghurt tersebut aman untuk dikonsumsi masyarakat karena
hasil dari pengujiannya sesuai dengan syarat mutu dan kualitas telur olahan
berdasarkan SNI 01-2981-2009.
5.2 Saran
Perlu adanya penyuluhan atau edukasi kepada konsumen tentang tata cara
penyimpanan dan suhu yang baik untuk menyimpan produk yoghurt.

43
DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI-7552:2009. Minuman Susu Fermentasi


Berperisa. Jakarta.
Imelda, E. 2007. Skripsi : Karakterisasi Fisik dan Uji pH Larutan Rendaman
Kulit Melinjo Dan Kekerasan Kulit Melinjo. Program Studi Fisika Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor, Bogor
Suarsana, I. N. 2001. Potensi Zat Bakteriostatik Alami dari Bakteri Asam Laktat
yang Dijumpai dalam Yoghurt. Majalah Kedokteran Udayana. 32 [1]: 13-
16.
Susilorini, T. E dan M. E. Sawitri. 2006. Produk Olahan Susu. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Wahyudi, A dan S. Samsundari. 2008. Bugar dengan Susu Fermentasi. UMM
Press. Malang.
Winarno, F.G. 2003. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Winarno, F. G. dan I. E. Fernandez. 2007. Susu dan Produk Fermentasinya.
EMBRIO PRESS, Bogor.

44
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
yang dilaksanakan di
LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

PENGUJIAN DAGING KELINCI

Oleh :

BISMI RIZKA YUNIAR, S.KH


NIM. 160130100111007

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018

45
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelinci merupakan hewan ternak yang cukup populer di Indonesia. Kelinci
di Indonesia banyak yang diternakkan di daerah pegunungan dan kelinci juga
mempunyai potensi yang cukup besar sebagai salah satu ternak penghasil daging.
Kelebihan ternak kelinci antara lain laju pertumbuhan yang cepat, potensi
reproduksi tinggi, dan kemampuan mengkonsumsi pakan hijauan dan limbah sisa
pertanian (Sarwono, 2007). Seekor kelinci dapat menghasilkan daging 50-60%
per kg berat badan. Daging kelinci memiliki komposisi yang cukup tinggi dengan
tekstur yang lembut dan gurih ,kandungan lemak dan kolesterol jauh lebih rendah
(Masanto dan Agus, 2010).
Kelinci merupakan salah satu ternak yang mempunyai potensi tinggi untuk
dikembangbiakan sebagai penyedia daging, karena mempunyai kemampuan
produksi yang sangat pesat. Namun, pengembangan ternak kelinci sebagai
penyedia daging sampai saat ini masih menemui banyak kendala karena belum
populer dan diterima oleh sebagian masyarakat dan daging kelinci belum tersedia
di pasaran. Sifat fisik daging dapat mengalami perubahan seiring dengan lamanya
waktu setelah pemotongan (postmortem), perubahan suhu, pH, dan rigormortis.
Daya mengikat air dipengaruhi oleh lama postmortem. Nilai pH dapat
menunjukan penyimpangan kualitas daging, karena berkaitan dengan warna,
keempukan, cita rasa, daya mengikat air, dan masa simpan (Lukman et al,, 2007).
Melihat potensi kelinci yang cukup tinggi sebagai salah satu ternak
penghasil daging, maka perlu dilakukan suatu penelitian mengenai keamanan dan
kualitas daging dilakukan untuk menjamin daging aman dan layak dikonsumsi.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah mutu dan kualitas sampel daging kelinci sesuai dengan standar
pengujian mutu?

46
1.3 Tujuan
Dapat mengetahui mutu dan kualitas sampel daging kelinci sesuai dengan
standar pengujian mutu.
.

47
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daging
Daging merupakan salah satu komoditi pertanian yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan protein, karena daging mengandung protein yang bermutu
tinggi, yang mampu menyumbangkan asam amino esensial yang lengkap.
Menurut Soputan (2004), daging didefinisikan sebagai bagian dari hewan potong
yang digunakan manusia sebagai bahan makanan, selain mempunyai penampakan
yang menarik selera, juga merupakan sumber protein hewani berkualitas tinggi.
Demikian halnya dengan Soeparno (2005) yang mendefinisikan daging
sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-
jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan
kesehatan bagi yang mengkonsumsi atau memakannya. Organ-organ seperti hati,
ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa, pankreas, dan jaringan otot lainnya
termasuk dalam definisi daging. Lawrie (2003) menyatakan bahwa komposisi
daging terdiri atas 75% air, 19% protein, 3,5% substansi nonprotein terlarut, dan
2,5% lemak. Substansi non protein yang larut terdiri dari karbohidrat, vitamin dan
mineral dalam daging. Protein memiliki fungsi untuk memperbaiki dan membantu
pertumbuhan struktur jaringan dan jaringan aktif yang ada didalam tubuh. Daging
adalah daging hewan yang digunakan sebagai makanan (Lawrie, 2003). Menurut
Soeparno (2005) otot merupakan komponen utama penyusun daging, otot hewan
berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah
terhenti. Faktor yang mempengaruhi kondisi ternak sebelum pemotongan akan
mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga kualitas daging
yang dihasilkan.
Soputan (2004) menyatakan bahwa jaringan otot, jaringan lemak, jaringan
ikat, tulang dan tulang rawan merupakan komponen fisik utama daging. Jaringan
otot terdiri dari jaringan otot bergaris melintang, jaringan otot licin, dan jaringan
otot spesial. Sedangkan jaringan lemak pada daging dibedakan menurut lokasinya,
yaitu lemak subkutan, lemak intermuskular, lemak intramuskular, dan lemak

48
intraselular. Jaringan ikat yang penting adalah serabut kolagen, serabut elastin,
dan serabut retikulin. Secara garis besar struktur daging terdiri atas satu atau lebih
otot yang masing-masing disusun oleh banyak kumpulan otot, maka serabut otot
merupakan unit dasar struktur daging.
2.2 Daging Kelinci
Daging kelinci mempunyai kualitas yang lebih baik daripada daging sapi,
domba atau kambing. Hal ini disebabkan daging kelinci mengandung persentase
kadar protein yang lebih tinggi dan memiliki persentase kolesterol lebih rendah
dibandingkan daging ternak lain seperti sapi, domba maupun kambing. Daging
kelinci mempunyai serat yang halus dan warna sedikit pucat, sehingga daging
kelinci dapat dikelompokkan ke dalam golongan daging berwarna putih seperti
halnya ayam (Suradi, 2004). Daging kelinci dan daging ayam hampir memiliki
kesamaan warna yaitu putih pucat, hal ini disebabkan oleh rendahnya kandungan
mioglobin (Lawrie, 2003). Daging kelinci muda, berwarna putih, seratnya halus
dan rasanya lebih enak dari daging ayam. Kelinci dewasa, dagingnya padat, kasar
berwarna merah tua dan kurang empuk (Herman, 1989).
Banyak keunggulan yang diperoleh dari mengkonsumsi daging kelinci
dibandingkan dengan ternak lain (Tabel 1), yaitu kandungan protein yang tinggi
dan rendah kolesterol, rendah lemak, mengandung berbagai vitamin, mineral dan
yang terpenting adalah mengandung asam amino essensial sehingga daging
kelinci dapat dipromosikan sebagai daging sehat (Raharjo, 2004).
Tabel 1. Perbandingan Komposisi Kimia Daging dari Berbagai Ternak
Zat Gizi Kelinci* Ayam* Sapi** Domba** Babi**
Protein (g/100 g) 21.9 19.7 16.3 15.7 21.8
Lemak (g/100 g) 5.5 3.9 24.05 21.5 37.83
Energi (Kkal) 137 449 136 156 123
Kolesterol 53 70 58 74 123
(mg/100 g)
Kalori (Kkal) 136 215 291 267 398
Sumber : Chan, et al. (1995)

49
Keterangan : (*) bagian paha dan pinggang
(**) lean meat
Suradi (2004) menambahkan daging kelinci dapat dipromosikan sebagai
daging yang berwawasan lingkungan, karena diproduksi dengan pakan yang tidak
berkompetitif dengan manusia, dan dapat disebut juga sebagai daging alami,
karena kelinci dapat tumbuh dengan baik tanpa feed additife non nutritive seperti
antibiotik dan hormon, hanya membutuhkan pakan yang sesuai dengan
kebutuhannya.
Produksi karkas yang dihasilkan kelinci potong lokal dari bobot hidup rata-
rata 1-2,1 kg adalah 699,5 g dan dapat menghasilkan urat daging 80,07%, lemak
4,2% dan tulang 15,73% untuk kelinci jantan, sedangkan untuk kelinci betina
berat karkas mencapai 722,89 g dengan konversi urat daging, lemak dan tulang
masing-masing adalah 79,09%; 5,54% dan 15,48% dari berat karkas (Duldjaman
et al., 1983). Kelinci tipe ringan (Himalaya) yaitu bobot dewasa 2,5-3,0 kg, berat
karkas 1-1,2 kg mencapai dewasa kelamin pada umur 4 bulan; tipe medium bobot
dewasa (New Zealand White) 3,5-4,5 kg dengan dewasa kelamin pada umur 5-6
bulan dan tipe berat (Flemish Giant) bobot dewasa lebih dari 5 kg pada umur 7-8
bulan. Raharjo (2004) menambahkan bahwa umur kawin yang baik pada kelinci
adalah 6 bulan bagi betina, 7 bulan bagi jantan.
2.3 Kualitas Daging
Kualitas daging adalah karaketeristik daging yang dinilai oleh konsumen.
Menurut (Purbowati et al.,2006) beberapa karakteristik kualitas daging yang
mempengaruhi daya terima konsumen terhadap daging yakni pH, daya ikat air,
susut masak, warna dan keempukan. Dijelaskan pula bahwa faktor kualitas daging
yang dimakan meliputi warna, keempukan, tekstur, flavor (cita rasa), aroma (bau),
dan kesan jus daging (juiciness) (Soeparno, 2005). Disamping itu susut masak
cooking lost ikut menentukan kualitas daging. Zat-zat yang terdapat dalam daging
yaitu protein 19%, lemak 2,5%, air 75% dan 3,5% substansi non protein terlarut
(Lawrie, 2003). Abustam (2009) menambahkan bahwa kualitas karkas dan daging
dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum
pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah genetik,

50
spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif
(hormon, antibiotik dan mineral). Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi
kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode
pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk
daging, hormon dan antibiotika, lemak intramuskular atau marbling, metode
penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi otot daging.
Karakteristik fisik daging segar sangat berpengaruh terhadap daya tarik konsumen
untuk membeli daging (Aberle et al., 2001). Pengujian kualitas fisik daging secara
objektif dapat dilakukan dengan cara mengetahui daya putus Warner-Bratzler
(WB), kekuatan tarik dan kompresi, kehilangan berat selama pemasakan (susut
masak), pH, daya ikat air dan keempukan juga merupakan komponen kualitas
daging yang diuji (Soeparno, 2005).
2.4 Karakteristik Fisik Daging
Parameter fisik kualitas daging meliputi daya ikat air oleh protein daging,
pH dan susut masak.
a. Daya ikat air / DIA (water holding capacity)
Daya ikat air oleh protein daging dalam bahasa asing disebut sebagai Water
Holding Capacity (WHC), didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk
menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan,
misalnya pemotongan, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Daging juga
mempunyai kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari lingkungan yang
mengandung cairan (water absorption). Ada tiga bentuk ikatan air di dalam otot
yakni air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4–5% sebagai
lapisan monomolekuler pertama, kedua air terikat agak lemah sebagai lapisan
kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar kira-kira 4%, dimana
lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat. Ketiga
adalah lapisan molekul-molekul air bebas diantara molekul protein, besarnya kira-
kira 10%. Denaturasi protein tidak akan mempengaruhi perubahan molekul pada
air terikat (lapisan pertama dan kedua), sedang air bebas yang berada diantara
molekul akan menurun pada saat protein daging mengalami denaturasi. Kualitas
karkas yang berhubungan dengan umur dan lemak intramuskuler mempunyai

51
pengaruh terhadap daya ikat air (DIA) daging (Soeparno,2005). Otot yang
mempunyai kandungan lemak intramuskuler tinggi cenderung mempunyai DIA
yang tinggi. Hubungan antara lemak intramuskuler dengan DIA adalah kompleks,
lemak intramuskuler akan melonggarkan mikrostruktur daging, sehingga memberi
lebih banyak kesempatan kepada protein daging untuk mengikat air. Kemampuan
daging untuk menahan air merupakan suatu sifat penting karena dengan daya ikat
air yang tinggi, maka daging mempunyai kualitas yang baik. Menurut Soeparno
(2005) nilai daya ikat air (DIA) berkisar diantara 20% – 60%.
b. Tingkat keasaman (pH) daging
Nilai pH merupakan salah satu kriteria dalam penentuan kualitas daging,
khususnya di Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Setelah pemotongan hewan
(hewan telah mati), maka terjadilah proses biokimiawi yang sangat kompleks di
dalam jaringan otot dan jaringan lainnya sebagai konsekuen tidak adanya aliran
darah ke jaringan tersebut, karena terhentinya pompa jantung. Salah satu proses
yang terjadi dan merupakan proses yang dominan dalam jaringan otot setelah
kematian (36 jam pertama setelah kematian atau post-mortem) adalah proses
glikolisis anaerob atau glikolisis post-mortem. Dalam glikolisis anaerob ini, selain
dihasilkan energi (ATP) maka dihasilkan juga asam laktat. Asam laktat tersebut
akan terakumulasi di dalam jaringan dan mengakibatkan penurunan nilai pH
jaringan otot. Nilai pH otot (otot bergaris melintang atau otot skeletal atau yang
disebut daging) saat hewan hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral). Setelah hewan
disembelih (mati), nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun akibat adanya
akumulasi asam laktat. pH awal diukur pada awal pengukuran setelah
pemotongan sampai 45 menit, kemudian nilai pH akhir (ultimate pH value) adalah
nilai pH terendah yang dicapai pada otot setelah pemotongan (kematian).
Pengukuran nilai pH akhir biasanya dilakukan 24-36 jam setelah kematian pada
karkas sapi selama di dalam pendingin (chiller). Menurut Suardana dan Swacita
(2009) pH normal daging adalah 5,4- 5,8. Nilai pH daging post-mortem akan
ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses
glikolisis anaerob dan akan terbatas bila hewan terdepresi karena lelah. Setelah
hewan disembelih, penyedian oksigen otot terhenti. Dengan demikian persediaan

52
oksigen tidak lagi di otot dan sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan lagi dari
otot. Jadi daging hewan yang sudah disembelih akan mengalami penurunan pH.
c. Susut Masak Daging
Susut masak daging adalah perbedaan antara bobot daging sebelum dan
sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase. Susut masak dapat
dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut
otot, status kontraksi miofibril, ukuran, dan berat sampel daging serta penampang
lintang daging. Susut masak dapat meningkat dengan panjang serabut otot yang
lebih pendek. Pemasakan yang relatif lama akan menurunkan pengaruh panjang
serabut otot terhadap susut masak.
Konsumsi pakan dapat mempengaruhi besarnya susut masak. Pendapat
Soeparno (2005), bahwa pada umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi
antara 1,5–54,5% dengan kisaran 15–40%. Daging bersusut masak rendah
mempunyai kualitas yang relatif baik bila dibandingkan dengan daging bersusut
masak tinggi, karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih
sedikit. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan
dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara
otot. Daya ikat air yang rendah akan mengakibatkan nilai susut masak yang tinggi.
Daya ikat air (Water Holding Capacity) sangat dipengaruhi oleh nilai pH daging.
Menurut Soeparno (2005) apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik
isoelektrik daging (5,0−5,1) maka nilai susut masak daging tersebut akan rendah.
Tabel 2. Karakteristik sifat fisik daging kelinci
Rex Lokal
Karakteristik
Jantan Betina Jantan Betiina
pH 5.86 5.92 5.67 6.13
Keempukan
4.54 4.44 4.12 1.98
(kg/cm2)
Susut masak (%) 36.01 35.63 40.77 40.48
DIA (mgH2O) 104,71 122.18 108.57 133.29
Brahmantiyo, et al. (2014).

53
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat PPDH


Pengujian produk pangan asal hewan dilakukan pada tanggal 22 Mei – 2
Juni 2017 bertempat di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya.
3.2 Peserta dan Pembimbing PPDH
Peserta koasistensi Kesehatan Masyarakat Veteriner (KESMAVET) adalah
mahasiswa PPDH FKH Universitas Brawijaya.
Nama : Bismi Rizka Yuniar, S.KH
NIM : 160130100111007
yang berada dibawah bimbingan drh. Mira Fatmawati, M.Si.
3.3 Metode Kegiatan PPDH
Metode yang digunakan dalam koasistensi di Laboratorium Kesmavet
adalah pengujian terhadap sampel daging kelinci dan melaksanakan diskusi
kelompok dan dengan dokter hewan pembimbing koasistensi.
3.4 Jenis Pengujian
3.4.1 Sampel Daging Kelinci
Pengujian pada sampel daging kelinci antara lain uji organoleptik,
pengukuran pH, uji eber, uji kadar air, uji drip loss, uji cooking loss, uji
Kesempurnaan Pengeluaran Darah, dan uji total plate count (TPC).
3.5 Prosedur Pengujian
3.5.1 Pemeriksaan Organoleptik Daging
Prinsip Kerja :
Pemeriksan ini dilakukan untuk melihat secara manual bentuk produk
daging. Pemeriksaan organoleptik meliputi pemeriksaan bau, warna, rasa, dan
konsistensi.
Alat dan bahan :
Sampel daging kelinci dan cawan petri.

54
Cara kerja :
Bahan diletakkan di atas cawan petri kemudian diamati bau, warna, rasa.
Dan konsistensi.
3.5.2 Uji pH
Alat dan Bahan :
Sampel daging kelinci segar, pH indikator strips, pH meter dan cawan petri
Cara kerja :
Daging kelinci segar diletakkan pada cawan petri, kemudian tempelkan
kertas indikator pH pada bagian daging, kertas indikator dikeringkan kurang lebih
1-30 detik dan disamakan dengan standar pH indikator. Kenudian dilakukan
pengukuran pH menggunakan pH meter untuk mengkonfirmasi hasil pH indikator
strips.
3.5.3 Uji Eber
Prinsip kerja :
Gas NH3 yang dihasilkan pada awal proses pembusukan daging akan
bereaksi dengan reagen Eber untuk membentuk senyawa NH4CL yang tampak
seperti awan putih.
Alat dan bahan :
Reagen eber (dietil eter, HCl pekat dan alkohol 96% dengan perbandingan
1:1:3), sampel daging kelinci segar, tabung reaksi 25 ml, pipet ukur 10 ml, kawat
steril, gunting/pisau, pinset dan sumbat tabung.
Cara kerja :
Ambil sampel daging masing-masing sebanyak 5 g dengan pinset steril dan
ditusuk dengan kawat steril. Masukkan sampel daging tersebut pada tabung reaksi
yang telah diisi 5 ml larutan Eber. Uji Eber positif akan terbentuk kabut seperti
awan putih pada ruang udara tabung reaksi.
3.5.4 Uji Drip loss
Prinsip :
Air bebas akan dilepaskan dari protein otot sejalan dengan penurunan pH
otot.

55
Alat dan Bahan :
Cawan petri, benang, toples dengan kawat, kertas tisu, gunting, timbangan,
lemari es dan sampel daging.
Cara kerja :
Sepotong daging ditimbang (a gram) kemudian daging digantung pada
kawat yang terdapat di dalam toples dengan menggunakan benang lalu tutup
rapat. Daging tidak boleh bersentuhan dengan bagian dalam toples. Masukkan
toples ke dalam lemari es (7°C) selama 48 jam, daging dikeluarkan dari pastik dan
permukaan daging dikeringkan dengan tisu tanpa ditekan. Kemudian daging
ditimbang (b gram). Hitung drip loss (%) dengn rumus :
𝑎−𝑏
Drip loss (%) = x 100%
𝑎

3.5.5 Uji Cooking loss


Prinsip :
Protein daging akan terdenaturasi selama pemanasan sehingga susunan
selulernya akan rusak. Hal terdebut akam mempengaruhi daya ikat air dalam
daging. Air dari daging akan keluar selama pemanasan.
Alat dan bahan :
Kantong plastik, termometer, kertas tisu, air, timbangan, penangas air, dan
sampel daging
Cara kerja :
Daging dipotong, ditimbang (a gram) kemudian dimasukkan ke dalam
kantong plastik bersama dengan termometer yang dimasukkan ke dalam daging.
Hilangkan udara di dalam plastik lalu ikat dengan tali. Panas kan air (75°C)
kemudian kantong plastik dimasukkan ke dalam air panas dan diamkan selama 50
menit. Selanjutkan alirkan air dari kran diatas kantong plastik selama 40 menit.
Daging dikeluarkan dari plastik dan air di permukaan daging dikeringkan dengan
tisu tanpa ditekan. Kemudian timbang daging (b gram). Hitung cooking loss
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
𝑎−𝑏
Cooking loss (%) = x 100%
𝑎

56
3.5.6 Pemeriksaan Kesempurnaan Pengeluaran Darah
Prinsip :
Hewan yang dipotong tidak sempurna akan banyak ditemukan hemoglobin
(Hb) dalam dagingnya. Adanya O2 (dari gas H2O2) dalam reaksi akan mengikat
Hb sehingga zat warna malachite green tidak akan dioksidasi dan warna tetep
hijau. Jika tidak ada Hb maka O2 akan mengoksidasi malachite green dan akan
menjadi warna biru.
Alat dan bahan :
Sampel daging, aquadest, malachite green, H2O2 3%, kertas saring, pipet,
tabung reaksi, erlenmeyer 50ml, corong, pinset, gunting.
Cara kerja :
Sampel daging ditimbang 6 gram kemudian dipotong kecil-kecil untuk
selanjutnya dibuat ekstrak, ditambhkan dengan 14 ml aquades dan dimasukkan ke
dalam erlenmeyer, homogenkan. Diamkan selama 15 menit. Ekstrak diambil 0,7
ml filtratnya dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Teteskan malachite green dan
H2O2 sebanyak 1 tetes. Kemudian diamkan selama 20 menit dalam suhu ruang.
3.5.7 Uji Total Plate Count (TPC)
Prinsip Kerja :
Setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni sehingga
jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan satu indeks bagi jumlah
organism yang dapat hidup yang terkandung dalam sampel.
Alat dan Bahan:
Tabung Erlenmeyer, pipet steril, cawan petri, media PCA (Plate Count
Agar), alkohol 70%, plastik, inkubator, dan sampel daging kelinci.
Cara Kerja :
Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam keadaan steril.
Sterilisasi alat dan bahan (Erlenmeyer, pipet, cawan petri dan gunting
menggunakan oven suhu 160-180oC selama 2 jam) sedangkan (sterilisasi media
BPW dan PCA menggunakan Autoclave suhu 121oCtekanan 1 atm selama 15
menit). Sampel daging terlebih dahulu disemprot dengan alkohol 70%. Ditimbang
sampel daging sebanyak 25 gram kedalam erlenmeyer steril menggunakan pinset.

57
Ditambahkan media pencencer BPW sebanyak 225 mL kedalam erlenmeyer berisi
sampel. Dipipet 1 mL sampel kedalam masing-masing petridish (1 mL kedalam
petridish untuk pengujian TPC dan 1 mL untuk petridish pengujian
e.coli/coliform). Dituangkan (platting) media ke masing-masing petridish yang
berisi sampel (15 mL media PCA kedalam petri untuk pengujian TPC) didiamkan
beberapa menit hingga media agar memadat dan merata. Kemudian di inkubasi
selama 48 jam ke dalam inkubator suhu 37oC. Amati dan catat hasil pembacaan
pengujian TPC.
3.5.8 Uji Coliform
Prinsip kerja :
Prinsip pengujian ini menghitung jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu
produk yang tumbuh pada media agar pada suhu dan waktu inkubasi yang
ditetapkan.
Alat dan bahan :
Cawan petri, tabung reaksi, pipet volumetrik, erlenmeyer, penghitung koloni
(colony counter), gunting, pinset, ose, pembakar bunsen, timbangan, vortex,
inkubator, penangas air, autoklaf, refrigerator, freezer, media violet red bile agar
(VRBA), buffer pepton water (BPW) 0,1%.
Cara kerja :
Prosedur pertama yaitu membuat pengenceran sampel dari 10-1 hingga 10-5.
Pembuatan pengenceran yaitu sampel sebanyak 1 gram diambil dengan sendok
steril kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan BPW
0.1% steril selanjutnya divortex sampai homogen (larutan 10-1). Satu ml suspensi
pengenceran 10-1 dipindahkan ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% menggunakan
pipet steril (larutan 10-2). Langkah selanjutnya yaitu membuat pengenceran 10-
1
,10-2,10-3 dan seterusnya dengan cara yang sama seperti pada prosedur
sebelumnya atau sesuai kebutuhan. Langkah selanjutnya yaitu membuat
pengenceran 10-3,10-4,10-5 dan seterusnya dengan cara yang sama seperti pada
prosedur sebelumnya sesuai kebutuhan. Prosedur selanjutnya satu ml suspensi
dari setiap pengenceran dimasukkan ke dalam cawan petri secara duplo kemudian
ditambahkan 15-20 ml VRBA bersuhu 45°C ± 1°C pada masing-masing cawan.

58
Campuran tersebut kemudian dihomogenkan dengan cara membentuk angka
delapan dan diamkan sampai menjadi padat. Inkubasikan pada temperatur 34-
36°C ± 1°C selama 24-48 jam dengan meletakkan cawan pada posisi terbalik.
Perhitungan jumlah koloni dilakukan dengan cara memilih cawan dengan
jumlah 25-250 koloni. Apabila pada cawan petri memiliki jumlah koloni kurang
dari 25 maka dihitung jumlah yang ada pada cawan dari setiap pengenceran, rerata
jumlah koloni per cawan dikalikan faktor pengenceran yang ada dalam tabel nilai
TPC pada SNI 2897:2008. Apabila pada cawan petri memiliki koloni lebih dari
250 koloni maka dihitung koloni yang dapat dihitung atau mewakili dan tandai
dengan tanda bintang. Apabila pada cawan petri dari semua pengenceran tidak
menghasilkan koloni dapat dilaporkan TPC kurang dari 1 kali pengenceran
terendah yang digunakan dan ditandai dengan tanda bintang.
3.5.9 Uji Cemaran Salmonella
Alat dan Bahan :
Cawan petri, ose, bunsen, dan media Salmonella Shigella Agar (SSA),
sampel daging.
Cara Kerja :
Koloni pada hasil TPC di strik menggunakan ose pada media SSA.
Selanjutnya cawan petri diinkubasi pada posisi terbalik pada suhu 37 oC selama
24 jam.
3.5.10 Uji Cemaran E. Coli menggunakan media EMBA
Alat dan Bahan :
Cawan petri, inkubator, media Eosin Methylen Blue Agar (EMBA), sampel
daging kelinci dari tabung LB yang di duga positif.
Cara Kerja :
Tabung LB yang diduga positif distrik pada media padat EMBA. Diinkubasi
pada temperatur 35ºC selama 18-24 jam.
Intepretasi :
Koloni yang diduga E. coli memiliki diameter 2-3 mm, berwarna hitam atau
gelap pada bagian pusat koloni, dengan atau tanpa metalik kehijauan yang
mengkilat pada media EMBA.

59
3.5.11 Uji Yeast dan Mold
Alat dan Bahan :
Timbangan, cawan petri, media Saboraud’s Dextrose Agar (SDA), sampel
daging kelinci.
Cara Kerja :
Sebanyak 5 gram sampel diletakkan di atas media dan diletakkan di suhu
ruangan. Diperiksa adanya pertumbuhan kapang setelah 3 hari.

60
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keterangan Sampel


Sampel daging : Daging kelinci
Merk : Non merk
Asal : Desa Bumiaji, Batu, Malang
Kemasan : plastik
Jumlah : 1 ons
4.2 Hasil
Untuk mengetahui mutu dan kualitas dari bahan pangan asal hewan yaitu
daging kelinci perlu dilakukan beberapa tahapan pengujian sebagai jaminan
keamanan pangan. Berikut adalah hasil dari berbagai pengujian susu sapi segar :
Tabel 3. Hasil Pengujian Daging Kelinci
Standar II
Standar I
No. Jenis Uji Hasil Uji Setiawan
SNI 3932 : 2008
(2009)
Organoleptik :
Bau Normal Normal
1.
Warna Merah keputihan
Konsistensi kenyal
2. Ph 5,6 5,4-5,8
3. Driploss 21,4%
4. Cooking loss 39,6%
Uji Kesempurnaan Sempurna
5.
Pengeluaran Darah
Uji Pembusukan
Daging: Negatif
6.
a. Eber Negatif
b. H2S

61
7. Residu Antibiotik Negatif

o
1,275 x 107 1 x 106 koloni/g
8. ALT (30 C, 72 jam)
koloni/g
9. E. coli Positif 1 x 101 koloni/g
10. Salmonella sp. Negatif Negatif
1,965 x 104 1 x 102 koloni/g
11. Coliform
koloni/g

4.3 Pembahasan
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan organoleptik yaitu didapatkan bau
khas daging dengan warna putih kemerahan dan konsistensi kenyal. Hasil
organoleptik pada daging didapatkan sesuai dengan standar nilai normal. Nilai pH
pada sampel daging kelinci menggunakan pH indikator yaitu 5,6 yang
menunjukkan telah sesuai dengan standar yang ada.
Pada pengujian driploss diperoleh hasil sebesar 21,4%, yang artinya banyak
cairan (eksudat) yang keluar dari daging tanpa aplikasi atau penerapan tekanan
dari luar. Jika daya ikat air tinggi, maka nilai driploss kecil, demikian pula
sebaliknya. Waktu dan suhu penyimpanan dalam pendingin merupakan faktor
yang penting yang menpengaruhi drip loss. Kelembaban lingkungan berpengaruh
besar terhadap driploss misalnya akibat proses thawing. Sedangkan nilai cooking
loss yang didapatkan yaitu 39,6%. Faktor yang berpengaruh terhadap cooking loss
dan driploss adalah nilai pH dan daya ikat air. Daya ikat air adalah kemampuan
daging untuk mempertahankan kandungan air selama mengalami perlakuan dari
luar seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan, dan pengolahan. Daya ikat air
sangat berpengaruh terhadap warna, tekstur, kesegaran, sari minyak, dan
pengolahan. Cooking loss berkisar antara 1,5-54,5% (Soeparno, 2005). Daging
dengan cooking loss rendah memiliki kualitas yang relatif baik, karena resiko
kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit.
Pada pemeriksaan Kesempurnaan Pengeluaran Darah didapatkan hasil
berwarna biru yang mengartikan bahwa pengeluaran darah sempurna. Hasil
pengujian yang menunjukkan semua larutan sampel daging kelinci berwarna biru

62
yang mengindikasikan bahwa di dalam otot tidak terdapat hemoglobin (Hb)
sehingga malachite green teroksidasi oleh oksigen dari H2O2 (Lukman et
al.,2007). Pengujian terhadap sampel daging menunjukkan pengeluaran darah
sempurna yang mengindikasikan hewan kelinci tidak mengalami stres berlebih
saat penyembelihan. Penyembelihan hewan yang sempurna diindikasikan dengan
telah terpotongnya 3 saluran utama yaitu saluran pernafasan (trachea), pencernaan
(esofagus), dan pembuluh darah (arteri dan vena). Menurut Lukman et al. (2007)
hewan yang disembelih dalam keadaan sakit atau stres akan menyebabkan darah
tertinggal dalam otot sehingga ditemukan adanya hemoglobin dalam otot.
Pemeriksaan awal pembusukan dilakukan untuk mengetahui adanya hasil
metabolisme mikroorganisme berupa gas NH3 dan H2S pada awal proses
pembusukan. Uji yang dilakukan adalah uji Eber dan Uji H2S. Pada Uji Eber
diperoleh hasil negatif. Pemeriksaan awal pembusukan daging yang dilakukan
dengan uji Eber akan menunjukkan hasil positif pembusukan jika ditandai dengan
terjadinya pengeluaran asap pada dinding tabung, dimana gas NH3 yang keluar
dari potongan daging yang busuk akan berikatan dengan asam kuat (HCl) dari
reagen Eber sehingga terbentuk gas NH4Cl. Pada daging sapi ataupun daging
ayam segar, dingin, dan beku yang diperiksa awal pembusukannya menggunakan
uji Eber menunjukkan hasil negatif artinya tidak terdapat NH4Cl setelah diuji
dengan reagen Eber karena pada daging-daging tersebut belum terbentuk gas NH3.
Pada daging busuk jelas terlihat awan atau gas putih (NH4Cl) di dinding tabung
karena daging busuk tersebut sudah terbentuk gas NH3.
Uji H2S digunakan untuk awal pembusukan daging. Prinsip uji H2S yaitu
H2S yang dihasilkan oleh daging yang mulai membusuk akan berikatan dengan Pb
asetat menjadi PbS. Hasil positif (+) menunjukkan perubahan warna menjadi
coklat kehitaman, sedangkan hasil negatif (-) tidak ada perubahan warna
(Nurhadi, 2012). Hasil yang diperoleh setelah dilkukan uji H2S didapatkan hasil
negatif. Hal ini mengindikasikan daging kelinci masih dalam keadaan segar tidak
ada pembusukan.
Pemeriksaan residu antibiotik juga penting dilakukan karena pemakaian
antibiotik tidak beraturan atau tidak tepat dosis atau tidak sesuai dengan diagnosa

63
penyakitnya dapat menyebabkan residu dalam jaringan-jaringan atau organ ternak
yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya, yaitu
dapat menyebabkan reaksi alergi atau resistensi dan kemungkinan menyebabkan
keracunan. Berdasarkan uji residu antibiotik, sampel daging tidak mengandung
residu antibiotik. Hal tersebut tampak pada hasil yang menunjukkan adanya zona
hambat pertumbuhan bakteri pada media MHA. Media MHA merupakan media
untuk pertumbuhan mikroba, media ini biasa digunakan untuk tes sensitivitas
antibiotik.
Berdasarkan uji cemaran mikroba yang dilakukan, pengujian cemaran
mikroba menggunakan metode TPC dengan media PCA pada daging kelinci segar
menunjukkan koloni dengan hasil 1,275 x 107 koloni/g. Hal ini menunjukkan hasil
yang melebih dari standar, dan mengartikan bahwa daging kelinci ini tercemar
oleh berbagai macam mikroba. Untuk uji Coliform dengan media VRBA hasilnya
adalah 1,965 x 104 koloni/g yang melebihi ambang batas dari standar.
Pada uji E.coli didapatkan hasil postif, ditandai dengan adanya koloni
berwarna hijau metalik pada media EMBA. Daging kelinci juga diuji cemaran
bakteri Salmonella menggunakan media SSA dengan hasil uji negatif salmonella
sehingga daging kelinci tersebut masuk dalam kategori tidak layak dikonsumsi.

64
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uji yang dilakukan pada sampel daging kelinci sudah sesuai
dengan standar. Namun pada pemeriksaan TPC dan Coliform menunjukkan hasil
yang tidak sesuai dengan standar pada jumlah cemaran mikrobanya. Berdasarkan
hasil uji tersebut dapat disimpulkan bahwa daging kelinci tersebut tidak sesuai
dengan standar dan kurang layak untuk dikonsumsi.
5.2 Saran
Perlu dilakukan adanya penyuluhan atau edukasi kepada konsumen
mengenai cara pemilihan bahan pangan asal hewan seperti daging kelinci agar
tidak ada kerugian dari segi ekonomi maupun kesehatan. Higiene daging perlu
ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas daging yang baik.

65
DAFTAR PUSTAKA

Aberle, H.B., Forrest, J.C., E. D. Hendrick., M. D. Judge dan R.A. Merkel. 2001.
Principle of Meat Science. 4th edit. Kenda/ Hunt Publishing. Iowa.
Abustam, E. 2009. Bahan Ajar Ilmu dan Teknologi Pengolahan Daging.
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Brahmantiyo B., Setiawan, M. A., dan M. Yamin. 2014. Sifat kelinci Rex dan
Lokal (Oryctolagus cuniculus). Jurnal Peternakan Indonesia 16 (1) : 1-7.
Chan, E.W.C., Lim, Y.Y., Wang, S.K., Lim, K.K., Tan, S.P., Lianto, F.S.. 1995.
Meat, Poultry, and Game. Suplement to McCane & Widdowson’s, The
Composition of Foods. Publishing by The Royal Society of Chemistry,
Cambridge and Ministry of Agriculture, Fisheries, and Food, London.
Duldjaman, M., N. Sugana & R. Herman. 1983. Peningkatan Sumber Protein
Daging Putih Berasal dari Kelinci Lokal (Penampilan Produksinya).
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Herman, R. 1989. Produksi Kelinci. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan: Parakassi, A dan Y. Amulia. Meat
Science. UI Press. Jakarta.
Lukman DW, Sanjaya AW, Sudarwanto M, Soejoedono RR, Purnawarman T, dan
Latif H. 2007. Hygiene Pangan. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Masanto, R dan Agus, A. 2010. Beternak Kelinci Potong. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Nurhadi, M. 2012. Kesehatan Masyarakat Veteriner (Higiene Bahan Pangan Asal
Hewan dan Zoonosis). Penerbit Gosyen Publishing, Yogyakarta. Hal. 55-62.

Purbowati, E., C. I. Sutrisno, E. Baliarti, S. P. S. Budhi dan W. Lestariana. 2006.


Karakteristik fisik otot Longissimus dorsi dan Biceps femoris domba lokal
jantan yang dipelihara di pedesaan pada bobot potong yang berbeda.
J.Protein. 33(2): 147-153.

66
Sarwono, B. 2007. Kelinci Potong dan Hias. Cetakan kesembilan. Agromedia
Pustaka. Jakarta Selatan.
Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Soputan, J.E.M. 2004. Dendeng Sapi Sebagai Alternatif Pengawetan Daging.
Makalah Pribadi Pengantar ke Falsafah Sains Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Suradi, K. 2004. Potensi dan peluang teknologi pengolahan produk kelinci. Balai
Penelitian Ternak, Bogor. Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang
Pengembangan Usaha Kelinci 16-17.
Raharjo. 2004. Pengaruh Penambahan Biovet dalam Ransum dengan Berbagai
Kandungan Protein dan Energi terhadap Pertumbuhan Anak Kelinci Rex.
Media Peternakan IPB.

67
Lampiran
1. Cooking loss
a = 4,69 gram
b = 3,85 gram
𝑎−𝑏
Cooking loss = 𝑥 100%
𝑎
4,69−3,85
= 𝑥 100%
4,69

= 21,4 %
Keterangan:
a = sampel daging setelah dipotong, ditimbang, dan dicatat
b = sampel daging ditimbang kembali dan dicatat
2. Driploss
a = 4,69 gram
b = 2,83 gram
𝑎−𝑏
Driploss = 𝑥 100%
𝑎
4,69−2,83
= 𝑥 100%
4,69

= 39,6 %
Keterangan:
a = sampel daging setelah dipotong, ditimbang, dan dicatat
b = sampel daging ditimbang kembali dan dicatat

3. Hasil Uji TPC daging kelinci


105 106 107
1 118 12 5
2 137 13 7
Rata-rata 127,5 12,5 6

Jumlah rata-rata koloni dari cawan yang memiliki jumlah koloni sebesar
25-250 koloni adalah sebagai berikut :
127,5 x 105
Jadi, jumlah koloni = 127,5 x 105
= 1,275 x 107

68
4. Hasil Uji Coliform daging kelinci
101 102 103
1 TBUD 192 18
2 TBUD 201 14
Rata-rata 196,5 16

Jumlah rata-rata koloni dari cawan yang memiliki jumlah koloni sebesar
25-250 koloni adalah sebagai berikut :
196,5 x 102
Jadi, jumlah koloni = 196,5 x 102
= 1,965 x 104

69
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
yang dilaksanakan di
LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

PENGUJIAN DAGING GILING


(DAGING KEBAB)

Oleh :

BISMI RIZKA YUNIAR, S.KH


NIM. 160130100111007

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018

70
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Daging sangat penting bagi kehidupan manusia karena merupakan salah
satu sumber protein hewani untuk tubuh yang mengandung asam amino esensial
dan kaya akan manfaat yang sangat penting bagi tubuh manusia. Daging juga
merupakan salah satu pilihan bahan makanan yang cukup digemari oleh
masyarakat di Indonesia. Kandungan gizi yang baik di dalam daging sangat
memenuhi persyaratan untuk perkembangan mikroorganisme. Keberadaan
mikroorganisme dalam daging dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia
yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikonsumsi
(Siagian, 2002).
Banyak makanan berasal dari olahan daging misalnya kebab yang saat ini
sedang banyak diminati dan dinikmati oleh masyarakat. Kebab kini mulai dikenal
di Indonesia. Makanan yang berasal dari Timur Tengah ini mulai banyak
dijajakan di sejumlah kota di Indonesia, tidak terkecuali di Kota Malang. Ada
sejumlah gerai kaki lima yang menjajakan makanan dengan irisan daging
kambing atau daging sapi ini.
Untuk itu, dilakukan pengujian yang diharapkan mampu memberikan
informasi bagaimana nilai gizi daging akibat teknik pengolahan yang berbeda,
sehingga hasil pengujian ini dapat dijadikan suatu acuan untuk memilih cara
pengolahan yang tepat agar gizi produk tetap dapat dipertahankan. Selain itu
konsumen juga dapat memilih produk yang tepat, dan dapat memacu produsen
untuk menciptakan suatu teknik pengolahan yang tepat dan efisien yang dapat
mempertahankan nilai gizinya, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah mutu dan kualitas daging giling (daging kebab) sesuai dengan SNI
7388-2009?

71
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui mutu dan kualitas daging giling (daging kebab) sesuai
dengan SNI 7388-2009.
1.4 Manfaat
Mengetahui mutu dan kualitas daging giling (daging kebab) yang layak
konsumsi sesuai dengan SNI 7388-2009.

72
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daging
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil
pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging merupakan
bahan yang sangat pokok, baik penggunaannya maupun zat-zat dan vitamin-
vitamin yang terdapat di dalamnya. Daging adalah otot hewan yang tersusun dari
serat-serat yang sangat kecil, masing-masing berupa sel memanjang yang
disatukan oleh jaringan ikat, membentuk berkas ikatan yang pada kebanyakan
daging jelas kelihatan lemak pembuluh darah dan urat syaraf.
Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling
disukai oleh konsumen karena lezat rasanya. Secara umum, komposisi daging
terdiri atas, lemak protein, mineral dan karbohidrat. Menurut Heru dkk (2013)
kandungan gizi yang lengkap dan keanekaragaman produk olahannya menjadikan
daging sebagai bahan pangan yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia, namun demikian kualitas daging yang beredar di masyarakat seringkali
tidak terjamin dengan baik. Bagian terpenting yang menjadi acuan konsumen
dalam pemilihan daging adalah sifat fisik.
Komposisi daging terdiri dari 75% air, 19% protein, 3,5% substansi non
protein yang larut, dan 2,5% lemak (Lawrie, 2003). Daging dapat dibagi dalam
dua kelompok yaitu daging segar dan daging olahan. Daging segar ialah daging
yang belum mengalami pengolahan dan dapat dijadikan bahan baku pengolahan
pangan. Sedangkan daging olahan adalah daging yang diperoleh dari hasil
pengolahan dengan metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan, misalnya
sosis, dendeng, daging burger dan daging olahan dalam kaleng dan sebagainya
(Desrosier, 1988).
Menurut Soeparno (2005) otot merupakan komponen utama penyusun
daging, otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi
fisiologisnya telah terhenti. Faktor yang mempengaruhi kondisi ternak sebelum

73
pemotongan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga
kualitas daging yang dihasilkan.
Kontaminasi bakteri dapat menyebabkan perubahan warna dan bau. Selama
proses memasak, warna daging dapat mengalami perubahan dan kurang menarik.
Warna daging segar adalah warna merah terang dari oksimioglobin, warna daging
yang dimasak adalah warna coklat dari globin hemikromogen, warna daging yang
ditambahkan nitrit adalah warna merah gelap dari nitrikoksidamioglobin dan bila
dimasak. Banyak hal yang dapat mempengaruhi kualitas daging baik ketika
pemeliharaan ataupun ketika pengolahan. Faktor yang dapat mempengaruhi
penampilan daging selama proses sebelum pemotongan adalah perlakuan
transportasi dan istirahat yang dapat menentukan tingkat cekaman (stress) pada
ternak yang pada akhirnya akan menentukan kualitas daging yang dihasilkan
(Suryati, 2006).
2.2 Daging Kebab
Kata kabab berasal dari bahasa Arab atau Persia yang berarti daging yang
digoreng dan bukanlah daging yang dipanggang. Kata kabab dari bahasa Arab
tersebut berasal dari Arabaic kabbaba yang berasal dri daerah Akkadian kababu,
yang berarti “membakar atau menggosongkan”.
Kebab terbuat dari daging sapi maupun daging kambing yang digiling kasar
lalu diolah dengan bumbu-bumbu khusus dan diproses melalui tiga tahapan, yakni
pencampuran bumbu, pencetakan daging, dan pemasakan daging dengan cara
dipanggang.
Kebab adalah makanan yang terbuat dari daging sapi, digiling kasar lantas
diolah dengan bumbu-bumbu khusus. Diproses melalui tiga tahapan, yakni
pencampuran bumbu, pencetakan, dan pemasakan. Menjelang disajikan, daging
kebab dengan ketebalan kurang lebih 1 cm dipotong memanjang ukuran 3 x 17
cm, lalu dipanggang pada wajan anti lengket. Disajikan dengan Tortila (roti khas
Meksiko), dicampurkan dengan sayuran dan aneka sauce pilihan, kemudian
digulung dan dipanggang kembali.
Daging kebab sendiri berasal dari daging sapi atau daging kambing yang
digiling dan kemudian dicampurkan dengan bumbu-bumbu lalu dibentuk dengan

74
tusukan dibagian tengahnya untuk bisa dipanggang pada saat akan disajikan.
Daging giling merupakan daging yang diolah dengan cara digiling dan dicampur
dengan rempah-rempah atau bahan lainnya dan prosesnya dengan cara dimasak.

75
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat PPDH


Pengujian produk pangan asal hewan dilakukan pada tanggal 22 Mei – 2
Juni 2017 bertempat di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya.
3.2 Peserta dan Pembimbing PPDH
Peserta koasistensi Kesehatan Masyarakat Veteriner (KESMAVET) adalah
mahasiswa PPDH FKH Universitas Brawijaya.
Nama : Bismi Rizka Yuniar, S.KH
NIM : 160130100111007
yang berada dibawah bimbingan drh. Mira Fatmawati, M.Si.
3.3 Metode Kegiatan PPDH
Metode yang digunakan dalam koasistensi di Laboratorium Kesmavet
adalah pengujian terhadap sampel daging giling (daging kebab) dan melaksanakan
diskusi kelompok dan dengan dokter hewan pembimbing koasistensi.
3.4 Jenis Pengujian
3.4.1 Sampel Daging Giling (Daging Kebab)
Pengujian pada sampel daging kebab antara lain uji organoleptik,
pengukuran pH, Uji TPC (Total Plate Count), Uji Coliform, Uji MPN (Most
Probable Number), dan Uji Yeast and Mold.
3.5 Prosedur Pengujian
3.5.1 Pemeriksaan Organoleptik Daging
Prinsip Kerja :
Pemeriksan ini dilakukan untuk melihat secara manual bentuk produk
daging. Pemeriksaan organoleptik meliputi pemeriksaan bau, warna, rasa, dan
konsistensi.
Alat dan bahan :
Sampel daging kebab dan cawan petri.

76
Cara kerja :
Bahan diletakkan di atas cawan petri kemudian diamati bau, warna, rasa.
Dan konsistensi.
3.5.2 Uji pH
Alat dan Bahan :
Sampel daging kebab, pH indikator strips, pH meter dan cawan petri
Cara kerja :
Daging kebab diletakkan pada cawan petri, kemudian tempelkan kertas
indikator pH pada bagian daging, kertas indikator dikeringkan kurang lebih 1-30
detik dan disamakan dengan standar pH indikator. Kenudian dilakukan
pengukuran pH menggunakan pH meter untuk mengkonfirmasi hasil pH indikator
strips.
3.5.3 Uji Total Plate Count (TPC)
Prinsip Kerja :
Setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni sehingga
jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan satu indeks bagi jumlah
organism yang dapat hidup yang terkandung dalam sampel.
Alat dan Bahan:
Tabung Erlenmeyer, pipet steril, cawan petri, media PCA (Plate Count
Agar), alkohol 70%, plastik, inkubator, dan sampel daging kebab.
Cara Kerja :
Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam keadaan steril.
Sterilisasi alat dan bahan (Erlenmeyer, pipet, cawan petri dan gunting
menggunakan oven suhu 160-180oC selama 2 jam) sedangkan (sterilisasi media
BPW dan PCA menggunakan Autoclave suhu 121oC tekanan 1 atm selama 15
menit). Sampel daging terlebih dahulu disemprot dengan alkohol 70%. Ditimbang
sampel daging sebanyak 25 gram kedalam erlenmeyer steril menggunakan pinset.
Ditambahkan media pencencer BPW sebanyak 225 mL kedalam erlenmeyer berisi
sampel. Dipipet 1 mL sampel kedalam masing-masing petridish (1 mL kedalam
petridish untuk pengujian TPC dan 1 mL untuk petridish pengujian
e.coli/coliform). Dituangkan (platting) media ke masing-masing petridish yang

77
berisi sampel (15 mL media PCA kedalam petri untuk pengujian TPC) didiamkan
beberapa menit hingga media agar memadat dan merata. Kemudian di inkubasi
selama 48 jam ke dalam inkubator suhu 37oC. Amati dan catat hasil pembacaan
pengujian TPC.
3.5.4 Uji Coliform
Prinsip kerja :
Prinsip pengujian ini menghitung jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu
produk yang tumbuh pada media agar pada suhu dan waktu inkubasi yang
ditetapkan.
Alat dan bahan :
Cawan petri, tabung reaksi, pipet volumetrik, erlenmeyer, penghitung koloni
(colony counter), gunting, pinset, ose, pembakar bunsen, timbangan, vortex,
inkubator, penangas air, media Violet Red Bile Agar (VRBA), autoklaf, buffer
pepton water (BPW) 0,1%, dan sampel daging.
Cara kerja :
Prosedur pertama yaitu membuat pengenceran sampel dari 10-1 hingga 10-5.
Pembuatan pengenceran yaitu sampel sebanyak 1 gram diambil dengan sendok
steril kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan BPW
0.1% steril selanjutnya divortex sampai homogen (larutan 10-1). Satu ml suspensi
pengenceran 10-1 dipindahkan ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% menggunakan
pipet steril (larutan 10-2). Langkah selanjutnya yaitu membuat pengenceran 10-
1
,10-2,10-3 dan seterusnya dengan cara yang sama seperti pada prosedur
sebelumnya atau sesuai kebutuhan. Langkah selanjutnya yaitu membuat
pengenceran 10-3,10-4,10-5 dan seterusnya dengan cara yang sama seperti pada
prosedur sebelumnya sesuai kebutuhan. Prosedur selanjutnya satu ml suspensi
dari setiap pengenceran dimasukkan ke dalam cawan petri secara duplo kemudian
ditambahkan 15-20 ml VRBA bersuhu 45°C ± 1°C pada masing-masing cawan.
Campuran tersebut kemudian dihomogenkan dengan cara membentuk angka
delapan dan diamkan sampai menjadi padat. Inkubasikan pada temperatur 34-
36°C ± 1°C selama 24-48 jam dengan meletakkan cawan pada posisi terbalik.

78
Perhitungan jumlah koloni dilakukan dengan cara memilih cawan dengan
jumlah 25-250 koloni. Apabila pada cawan petri memiliki jumlah koloni kurang
dari 25 maka dihitung jumlah yang ada pada cawan dari setiap pengenceran, rerata
jumlah koloni per cawan dikalikan faktor pengenceran yang ada dalam tabel nilai
TPC pada SNI 2897:2008. Apabila pada cawan petri memiliki koloni lebih dari
250 koloni maka dihitung koloni yang dapat dihitung atau mewakili dan tandai
dengan tanda bintang. Apabila pada cawan petri dari semua pengenceran tidak
menghasilkan koloni dapat dilaporkan TPC kurang dari 1 kali pengenceran
terendah yang digunakan dan ditandai dengan tanda bintang (SNI 2897:2008).
3.5.5 Uji Yeast dan Mold
Alat dan Bahan :
Timbangan, cawan petri, media Saboraud’s Dextrose Agar (SDA), sampel
daging kebab.
Cara Kerja :
Sebanyak 5 gram sampel diletakkan di atas media dan diletakkan di suhu
ruangan. Diperiksa adanya pertumbuhan kapang setelah 3 hari.

79
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keterangan Sampel


Sampel : Daging Kebab
Kemasan : Plastik
Asal : Penjual Kebab di Jalan M, Malang.
4.2 Hasil
Untuk mengetahui mutu dan kualitas dari pangan asal hewan yaitu daging
giling (daging kebab) perlu dilakukan beberapa tahapan pengujian sebagai
jaminan keamanan pangan. Berikut adalah hasil dari berbagai pengujian daging
kebab:
Tabel 1. Hasil Pengujian Daging Kebab Berdasarkan SNI 7388: 2009
No. Jenis Uji Hasil Uji Syarat
1. Organoleptik:
Aroma Normal Normal
Rasa Normal Normal
Tekstur Normal Normal
2. Benda Asing Tidak ada benda Tidak ada benda asing
asing
3. Cemaran Mikroba:
Total Plate Count (TPC) 1,8 x 107 koloni/g 1 x 105 koloni/g
Coliform 1,495 x 104 koloni/g Maks 10

4.3 Pembahasan
Pengujian kualitas dan mutu pada daging kebab antara lain dilakukan
pengujian organoleptik meliputu aroma, rasa, dan tekstur melalui indra mata dan
pengecap. Hasil yang diperoleh yaitu aroma daging kebab normal, rasa normal,
dan tekstur juga normal. Untuk pengujian benda asing juga didapatkan bahwa
daging giling (daging kebab) tidak terdapat adanya benda asing di dalamnya.
Bahaya fisik. Jika terdapat benda-benda asing di dalam daging olahan atau

80
makanan lainnya seperti pecahan gelas, besi, rambut, serpihan tulang, dan lainnya
itu merupakan bahaya fisik. Bahaya fisik, bahaya kimiawi, dan bahaya biologis
merupakan faktor yang mempengaruhi kesehatan manusia.
Persyaratan bahan makanan yang baik dan layak dikonsumsi ditinjau dari
kandungan mikroorganisme apabila total mikroorganisme sekitar 105 koloni/gram
sampai 106 koloni/gram sedangkan bahan makanan yang tidak baik dan tidak
layak dikonsumsi apabila total bakterinya 108 koloni/gram (Brown, 1992).
Mikroorganisme terutama bakteri mempunyai peranan yang sangat penting
dalam bahan makanan, terutama terjadinya kerusakan bahan makanan oleh
tumbuhnya racun pada bahan makanan dapat membahayakan manusia serta dapat
menimbulkan proses fermentasi pada bahan makanan karena daging selain
merupakan zat makanan yang baik bagi manusia juga merupakan media yang
sangat baik bagi pertumbuhan bakteri (Soeparno, 2009). Mutu mikrobiologis pada
suatu bahan pangan ditentukan oleh jumlah bakteri yang terdapat dalam bahan
pangan tersebut. Mutu mikrobiologis pada bahan pangan ini akan menentukan
daya simpan dari produksi tersebut ditinjau dari kerusakan oleh bakteri dan
keamanan bahan pangan dari mikroorganime ditentukan oleh jumlah spesies
patogenik, uji TPC, dan Entrobacter untuk menguatkan kualiatas mikrobiologis
daging
Untuk pengujian mutu dan kualitas selanjutya dilakukan pengujian terhadap
cemaran mikroba yaitu uji Total Plate Count (TPC) dan uji Coliform.
Kontaminasi bakteri dapat menyebabkan perubahan warna dan bau pada daging.
Uji TPC merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menghitung
jumlah mikroba dalam bahan pangan. Uji TPC dilakukan dengan tujuan untuk
menghitung total koloni mikroba pada media dengan dilihat menggunakan mata
langsung atau tanpa menggunakan mikroskop. Hasil dari uji TPC pada daging
giling (daging kebab) tersebut adalah 1,8 x 107 koloni/g. Hal ini sangat jauh diatas
standar yatu maksimal 1 x 105 koloni/g, dan ini menunjukkan adanya banyak
mikroba yang mencemari daging kebab.
Daging yang tercemar mikroba akan terjadi perubahan tekstur, berlendir,
bau busuk, berjamur dan rasa tidak enakserta menyebabkan gangguan kesehatan

81
bila dikonsumsi. Penjualan daging kebab secara terbuka juga dapat menyebabkan
daging dengan mudah dapat terkontaminasi oleh mikroba yang terdapat pada
tangan penjual dan konsumen. Kondisi ini dapat menyebabkan menurunnya
kualitas daging tersebut.
Begitu juga dengan pengujian Coliform yang menggunakan media VRBA.
Dan suspensi sampel dilakukan pengenceran dari 101 sampai 103. Setelah itu
dituangkan ke dalam cawan petri masing-masing secara duplo dan dituangkan
media VRBA pada cawan petri tersebut lalu dibiarkan memadat dan diinkubasi
selama 24 jam. Hasil yang didapatkan setelah uji Coliform yaitu bahwa daging
giling (daging kebab) memiliki angka cemaran mikroba sebesar 1,495 x 104
koloni/g. angka tersebut menunjukkan bahwa daging kebab memiliki cemaran
atau kontaminasi bakteri Coliform melebih batas maksimal dari syarat mutu dan
kualitas dalam rangka jaminan keamanan bahan pangan.
Adanya bakteri Coliform di dalam makanan menunjukkan kemungkinan
adanya mikroorganisme yang bersifat enteropatogenik dan atau toksigenik yang
berbahaya bagi kesehatan tubuh. Adanya bakteri Coliform dalam makanan tidak
selalu menunjukkan kontaminasi yang berasal dari feses. Keberadaannya lebih
merupakan indikasi dari kondisi prosessing atau sanitasi yang tidak memadai dak
keberadaannya dalam jumlah tinggi (Arnia dan Efrida, 2013).
Tingginya bakteri coliform yang terdapat pada daging giling yang dijual di
pasaran menunjukan bahwa pedagang kurang menjaga kebersihan air karena
bakteri ini dapat mencemari daging yang lain apabila air atau peralatan yang
digunakan tidak bersih atau higienis. Muslimin (1996), bakteri coli merupakan
bakteri indikator biologi pada pencemaran perairan dan makanan serta indikator
pathogen. Hal ini diperkuat oleh Fardiaz (1992), daging sapi mudah rusak dan
merupakan media yang cocok bagi pertumbuhan mikroba, karena tingginya
kandungan air dan zat gizi seperti protein.

82
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Uji organoleptik, Uji TPC, dan Uji Coliform yang dilakukan sudah sesuai
dengan standar. Namun pada pemeriksaan TPC dan Coliform menunjukkan hasil
yang tidak sesuai dengan standar pada jumlah cemaran mikrobanya. Berdasarkan
hasil uji tersebut dapat disimpulkan bahwa daging kebab tersebut tidak sesuai
dengan standar dan tidak layak untuk dikonsumsi.
5.2 Saran
Perlu dilakukan adanya penyuluhan atau edukasi kepada konsumen
mengenai cara pemilihan bahan pangan agar tidak ada kerugian dari segi ekonomi
maupun kesehatan.

83
DAFTAR PUSTAKA

Arnia, dan W. Efrida. 2013. Identifikasi Kontaminasi Bakteri Coliform pada


Daging Sapi Segar yang Dijual di Pasar Sekitar Kota Bandar Lampung.
Medical Journal of Lampung University.43-50.
Brown, 1992. Tinjauan Literatur Daging. Pusat Dokumentasi Ilmu Ilmiah
Nasional LIPI. Jakarta.
Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Diterjemahkan oleh M.
Muljohardjo. UI Press: Jakarta.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Depertemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusar
Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Heru Prasetyo, Masdiana C. Padaga, dan Manik Eirry Sawitri. 2013. Kajian
Kualitas Fisiko Kimia Daging Sapi di Pasar Kota Malang. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Hasil Ternak. October 2013, Hal 1-8. ISSN 1997-0303.
Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan: Parakassi, A dan Y. Amulia. Meat
Science. UI Press. Jakarta.
Muslimin, L. W. 1996. Mikrobiologi Lingkungan. Proyek Pengembangan Pusat
Studi Lingkungan. Jakarta.
Siagian, A. 2002. Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencernaannya.
Fakultas Kesehatan Masyarakat. USU.
Standar Nasional Indonesia. SNI 7388-2009. Batas maksimum cemaran mikroba
dalam pangan. Badan Standar Nasional Indonesia. Jakarta
Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Soeparno, 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan kelima. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Suryati, T. 2006. Karakteristik Organoleptik Daging Domba yang Diberi
Stimulasi Listrik Voltase Rendah dan Injeksi Kalsium Klorida. Media
Peternakan. 29(1):1 – 6.

84
Lampiran

1. Hasil uji TPC daging giling :


Pengenceran 105 106 107
1 248 41 4
2 112 36 8
Rata-rata 180 38,5 6

Jumlah rata-rata koloni dari cawan yang memiliki jumlah koloni sebesar
25-250 koloni adalah sebagai berikut :
 180 x 105 =18x106
 38,5 x 106
𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟
 Rasio = 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙
38,5
= x 106
18

= 2,14 x 106 >2


Jika rasio >2 maka diambil angka pengenceran terendah.
Jadi, jumlah koloni = 18 x 106 = 1,8 x 107
2. Hasil Uji Coliform daging giling
Pengenceran 101 102 103
1 TBUD 132 13
2 TBUD 167 15
Rata-rata 149,5 14

Jumlah rata-rata koloni dari cawan yang memiliki jumlah koloni sebesar 25-
250 yaitu hanya pada pengenceran 102
Jadi, jumlah koloni = 149,5 x 102
= 1,495 x 104

85
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
yang dilaksanakan di
LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

PENGUJIAN TELUR PUYUH

Oleh :

BISMI RIZKA YUNIAR, S.KH


NIM. 160130100111007

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018

86
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Telur puyuh adalah produk utama yang dihasilkan oleh ternak puyuh
dengan nilai gizi yang tinggi dan disukai oleh anak-anak maupun orang dewasa
serta harga relatif murah. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
(2012) menunjukkan bahwa konsumsi telur burung puyuh per kapita per minggu
dari tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan, berturut-turut pada 2009; 2010;
dan 2011 adalah sebesar 0,040 kg; 0,043 kg dan 0,052 kg. Permintaan yang
semakin meningkat karena masyarakat menyadari keunggulan dan nilai gizinya
telur puyuh tidak kalah dari telur ayam atau telur bebek. Lukito dkk. (2012)
menyatakan bahwa telur puyuh merupakan sumber protein dan lemak terbaik.
Setiap 100 g telur puyuh mengandung 15,00 g protein dan 10,20 g lemak. Nilai
nutrisi tersebut tidak terlalu berbeda degan telur ayam dan itik, dengan kandungan
protein dan lemaknya berturut-turut adalah 12,8 g dan 11,5 g untuk telur ayam,
13,1 g dan 14,3 g untuk telur itik.
Telur puyuh memiliki kelemahan yaitu mudah rusak, kerusakan yang sering
terjadi berupa kerusakan fisik, kimia dan kerusakan yang diakibatkan oleh
mikroba, baik secara langsung atau tidak langsung dengan sumber-sumber
pencemaran mikroba yang berasal dari tanah, udara, air, debu disekitar tempat
bertelur, dan dari kotoran puyuh. Menurut Syarief dan Halid (1990) telur yang
dibiarkan dalam udara terbuka (suhu ruang) hanya bertahan 10-14 hari, setelah
waktu tersebut telur mengalami perubahan-perubahan ke arah kerusakan seperti
terjadinya penguapan kadar air melalui pori-pori kulit telur yang berakibat
berkurangnya berat telur, perubahan komposisi kimia dan terjadinya pengenceran
putih telur.
Upaya yang bisa dilakukan untuk menurangi adanya kerusakan pada telur
puyuh yang diakibatkan cemaran mikroba yaitu harus dilakukannya pengujian
mutu telur. Pengujian mutu telur puyuh dilakukan untuk memastikan kelayakan
konsumsi telur puyuh bagi masyarakat luas.

87
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana mutu dan kualitas yoghurt susu sapi segar yang sesuai dengan
standar mutu?
1.3 Tujuan
Dapat mengetahui pengujian mutu dan kualitas yoghurt susu sapi segar yang
sesuai dengan standar mutu.

88
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Telur
Telur unggas adalah zigot yang dihasilkan melalui fertilisasi dan berfungsi
memelihara dan menjaga embrio. Telur diselimuti kerak pelindung, yang
memiliki lubang yang sangat kecil agar hewan yang belumlahir tersebut dapat
bernafas. Telur juga berfungsi sebagai sumber pangan untuk konsumsi manusia.
Ukuran dan bentuk telur unggas berbeda antar spesies unggas, tetapi semua telur
memiliki tiga bagian utama telur yaitu kuning telur, putih telur, dan kerabang
telur.
Kualitas telur telah didefinisikan sebagai sifat dari setiap makanan yang
diberikan yang memiliki pengaruh pada penerimaan atau penolakan konsumen.
Kualitas telur adalah istilah umum yang mengacu pada beberapa standar yang
menentukan baik kualitas internal maupun eksternal. Kualitas eksternal
difokuskan pada kebersihan kulit, tekstur, dan bentuk telur. Sedangkan kualitas
internal mengacu pada putih telur (albumen), kebersihan dan viskositas, ukuran
sel udara, bentuk kuning telur, dan kekuatan kuning telur. Penurunan kualitas
internal dapat diketahui dengan menimbang bobot telur atau meneropong ruang
udara (air cell) dan dapat juga dengan memecah telur untuk diperiksa kondisi
kuning telur, putih telur, dan daya busanya.
Berdasarkan SNI 3926-2008 mengenai telur ayam segar untuk konsumsi
persyaratan mutu fisik telur dan mutu mikrobiologis telur dapat dilihat pada Tabel
1 dan Tabel 2 berikut :

89
Tabel 1. Tingkatan Mutu Fisik Pada Telur (SNI 3926-2008)

Tingkatan Mutu
No. Faktor Mutu
Mutu I Mutu II Mutu III
1. Kondisi Kerabang
a. Bentuk Normal Normal Abnormal
b. Kehalusan Halus Halus Sedikit Kasar
c. Ketebalan Tebal Sedang Tipis
d. Keutuhan Utuh Utuh Utuh
e. Kebersihan Bersih Sedikit noda kotor Banyak noda dan
sedikit kotor

2. Kondisi Kantung Udara (di lihat dengan peneropong)


a. Kedalaman <0,5 cm 0,5 cm-0,9 cm >0,9 cm
kantong udara
b. Kebebasan Tetap ditempatnya Bebas bergerak Bebas bergerak
bergerak dan dapat
terbentuk
gelembung udara
3. Kondisi putih telur
a. Kebersihan Bebas bercak Bebas bercak darah, Ada sedikit
darah, atau benda atau benda asing bercak darah,
asing lainnya tidak ada benda
asing lainnya

b. Kekentalan Kental Sedikit encer Encer, kuning


telur belum
tercampur
dengan putih
telur

c. Indeks 0,134-0,175 0,092-0,133 0,050-0,091

4. Kondisi Kuning
Telur
a. Bentuk Bulat Agak pipih Pipih
b. Posisi Di tengah Sedikit bergeser dari Agak kepinggir
tengah

c. Penampakan Tidak jelas Agak jelas Jelas


batas

d. Kebersihan Bersih Bersih Ada sedikit


bercak darah

90
e. Indeks 0,458-0,521 0,394-0,457 0,330-0,393

5. Bau Khas Khas Khas

Tabel 2 Mutu Mikrobiologis Telur (SNI 01-3926-2008)

No Jenis cemaran mikroba Satuan Batas Maksimum


Cemaran Mikroba
1. Total Plate Count (TPC) cfu/g 1x105
2. Coliform cfu/g 1x102
3. Escherichia coli MPN/g 5x101
4. Salmonella Per 25 g Negatif

2.2 Telur Burung Puyuh


Telur puyuh terdiri atas putih telur (albumen) 47,4%, kuning telur (yolk)
31,9% dan kerabang serta membran kerabang 20,7%. Kandungan protein telur
puyuh sekitar 13,1%, sedangkan kandungan lemaknya 11,1%. Kuning telur puyuh
mengandung 15,7%-16,6% protein, 31,8%-35,5% lemak, 0,2%-1,0% karbohidrat
dan 1,1% abu. Telur puyuh mengandung vitamin A sebesar 543 µg (per 100g)
(Stadelman & Cotterill, 1995). Ditambahkan juga oleh Bambang (2003) bahwa
kandungan protein telur puyuh sekitar 13,1%, kandungan lemaknya 11,1%, kadar
kolesterol kuning telur puyuh sebesar 2138,17 mg/100 g, sedangkan kandungan
kolesterol kuning telur ayam ras hanya 1274,5 mg/100 g. Dilihat dari nilai
gizinya, telur puyuh mengandung 13.6% protein dan 8.2% lemak (Nugroho &
Mayun, 1986). Nilai gizi telur puyuh ini tidak kalah dari nilai gizi telur ayam ras
yang mengandung 12.8% protein dan 11,5% lemak (Direktorat Gizi Departemen
Kesehatan RI, 1989).
Kandungan Nutrisi dalam telur puyuh pun hampir setara dengan kandungan
telur unggas lainnya. Adapun perbandingan kandungan gizi telur puyuh dan
unggas lain dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini :

91
Tabel 3. Perbandingan kandungan gizi telur puyuh dan unggas lain
Karbohidrat
Jenis unggas Protein (%) Lemak (%) Abu (%)
(%)
Ayam ras 12,7 11,3 0,9 1,0
Ayam buras 13,4 10,3 0,9 1,0
Itik 13,3 14,5 0,7 1,1
Angsa 13,9 13,3 1,5 1,1
Merpati 13,8 12,0 0,8 0,9
Kalkun 13,1 11,8 1,7 0,8
Burung 13,1 11,1 1,6 1,1
puyuh
Sumber : Listiyowati dan Kinanti (2005)

92
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Kegiatan PPDH ini dilakukan mulai tanggal 22 Mei – 2 Juni 2017 yang
bertempat di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
Hewan, Universitas Brawijaya, Malang.
3.2 Peserta dan Pembimbing
Peserta koasistensi Kesehatan Masyarakat Veteriner (KESMAVET) adalah
mahasiswa PPDH FKH Universitas Brawijaya.
Nama : Bismi Rizka Yuniar, S.KH
NIM : 160130100111007
yang berada dibawah bimbingan drh. Mira Fatmawati, M.Si.
3.3 Metode Kegiatan PPDH
Metode yang digunakan dalam koasistensi di Laboratorium KESMAVET
adalah pengujian terhadap sampel telur burung puyuh dan melaksanakan diskusi
kelompok dan dengan dokter hewan pembimbing koasistensi.
3.4 Jenis Pengujian
3.4.1 Sampel Telur Puyuh
Pada sampel telur puyuh akan dilakukan uji organoleptik, uji peneropongan
telur (candling), uji pengukuran tinggi kantung hawa, uji indeks putih telur, uji
indeks kuning telur ,uji Haugh Unit, uji Total Plate Count (TPC), uji cemaran
Samonella, uji E. coli dan uji Yeast and Mold.
3.5 Prosedur Pengujian
3.5.1 Uji Organoleptik Telur (SNI 3926-2008)
Prinsip Kerja :
Pemeriksan ini dilakukan untuk melihat secara manual bentuk produk telur
puyuh. Pemeriksaan organoleptik meliputi pemeriksaan bau, warna, rasa, dan
konsistensi.
Alat dan bahan :
Sampel telur puyuh dan cawan petri.

93
Cara kerja :
Bahan diletakkan di atas cawan petri kemudian diamati bau, warna, dan
rasa.
3.5.2 Uji Peneropongan Telur (Candling)
Prinsip :
Sorotan sinar lampu candler dapat membantu melihat bagian dalam isi telur
seperti kantung hawa, kuning telur, keretakan pada kuning telur, adanya bercak-
bercak darah dan pertumbuhan embrio.
Alat dan bahan :
Alat peneropongan telur (candler) dan sampel telur puyuh.
Cara Kerja :
Telur yang akan diperiksa diarahkan ke sinar dari candler sambil diputar
untuk melihat kemungkinan adanya kelainan isi telur seperti kantung hawa,
adanya bercak dan kematian embrio yang menunjukkan warna hitam. Kemudian
hasilnya dicatat.
3.5.3 Uji Pengukuran Kantung Hawa
Prinsip :
Semakin tua umur telur maka semakin besar atau tinggi kantung hawa.
Alat dan bahan :
Sampel telur puyuh, candler dan jangka sorong
Cara kerja :
Telur diletakkan di depan candler kemudian dengan menggunakan jangka
sorong dihitung diameter dan tinggi kantung hawa kemudian setelah mengetahui
tinggi kantung hawa maka akan membedakan grade dan kelas telur yaitu kelas
AA, kelas A, kelas B dan kelas C.
3.5.4 Perendaman dalam Air Garam
Prinsip :
Telur baru biasanya mempunyai kantung hawa yang relatif kecil sehingga
apabila dimasukkan dalam larutan air garam 10% atau air biasa, telur akan
tenggelam.

94
Alat dan Bahan :
Beker glass, timbangan, garam, air, dan telur burung puyuh.
Prosedur Kerja :
Dibuat larutan garam 10% dengan mencampur 10 gram garam ditambah air
hingga 100 ml dan masukkan pada beker glass. Kemudian dimasukkan telur pada
larutan air garam tersebut dan diamati serta dicatat hasilnya.
3.5.5 Uji Indeks Putih Telur (Albumin Index)
Prinsip :
Kebersihan, konsistensi putih telur, bentuk, posisi dan kebersihan kuning
telur dapat dilihat dengan panca indera.
Alat dan bahan :
Telur puyuh, cawan petri dan jangka sorong
Cara kerja :
Kulit telur dibersihkan dengan alkohol 70% pada bagian lancip dibuka dan
isi telur dituang pada cawan petri. Diukur tinggi albumin dan diameter albumin
dengan jangka sorong. Selanjutnya dilakukan perhitungan indeks albumin dengan
rumus :
𝑎
Indeks albumin = 𝑏

Keterangan : a = tinggi albumin (mm)


b = diameter rata – rata (b1+b2)/2 dari tebal albumin (mm)
3.5.6 Uji Indeks Kuning Telur (Yolk Index)
Prinsip :
Semakin tua telur maka semakin besar kuning telur dan semakin kecil
indeks kuning telur. Telur segar atau baru maka indeks kuning telur 0,33-0,52
dengan rata-rata 0,42.
Alat dan bahan :
Telur puyuh, cawan petri dan jangka sorong.
Cara kerja :
Pisahkan kuning telur dari putihnya, kemudian ukur tinggi dan diameter
kunig telur dengan menggunakan jangka sorong. Selanjutnya hitung indeks
kuning telur.

95
𝑎
Indeks kuning telur = 𝑏

Keterangan : a = tinggi kuning telur (mm)


b = diameter rata – rata (b1+b2)/2 dari tebal albumin (mm)
3.5.7 Uji Haugh Unit
Prinsip :
Haugh unit merupakan satuan yang digunakan untuk mengetahui kesegaran
isi telur terutama bagian putih telur. Suatu unit untuk melihat kesegaran telur
didasarkan pada pengkuran tinggi putih telur kental dan berat telur.semakin tinggi
nilai HU maka menunjukkan bahwa kualitas telur semakin baik.
Alat dan bahan:
Timbangan, cawan petri, mikrometer dan telur puyuh.
Cara kerja :
Telur ditimbang beratnya dan dicatat. Telur di pecah di atas cawan petri.
Ukur tebal/tinggi albumin dengan menggunakan mikronmeter. Pengukuran di atas
albumin dan kuning telur. Hitung Haugh Unit dengan rumusan :
HU = 100 log ( H+7,57-1,7 W 0,37)
Keterangan :
HU = Haugh Unit
H = Tinggi Albumin (mm)
W = Berat telur (gram)
3.5.8 Pengujian Total Plate Count (TPC) Telur Puyuh
Prinsip kerja :
Menghitung jumlah koloni bakteri penanaman sampel kerabang telur pada
media agar.
Alat dan bahan :
Cawan petri, pipet, bulb, tabung reaksi, bunsen, timer, tabung erlenmeyer,
autoclave, inkubator, waterbath, media PCA (plate count agar), BPW, dan kuning
telur puyuh.
Cara Kerja :
1 ml kuning telur dilarutan ke dalam 9 ml larutan BPW untuk mendapatkan
pengenceran 10-1 .Selanjutnya dibuat pengenceran 10-2, 10-3, 10-4 dan 10-5.

96
Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran dimasukkan ke cawan petri
kemudian ditambahkan 15 ml sampai dengan 20 ml media PCA yang sudah
didinginkan hingga temperature 45oC ± 1oC. Cawan petri diputar ke depan dan ke
belakang atau membentuk angka delapan dan diamkan sampai memadat. Cawan
petri diinkubasikan pada suhu 34oC sampai dengan 36oC selama 24 jam sampai
dengan 48 jam dengan posisi cawan terbalik.
Penghitungan :
Untuk perhitungan koloni, hitung jumlah koloni pada setiap seri
pengenceran kecuali cawan petri yang berisi koloni menyebar (spreader colony).
Pilih cawan yang mempunyai jumlah koloni 25 sampai dengan 250.
3.5.9 Uji Coliform
Prinsip Kerja :
Apabila sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan pada media agar, maka
mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat
langsung dengan mata telanjang. Ikroba yang tumbuh sebagai gambaran populasi
mikroba pada sampel.
Alat dan bahan :
Sampel telur puyuh, cawan petri, pipet ukur 1 ml steril, tabung reaksi,
gunting, pinset, bunsen, inkubator, autoklaf, colony counter, gelas ukur, stirrer,
Buffer Pepton Water (BPW) 0,1%, media Violet Red Bile Agar (VRB), dan
alkohol 70%.
Cara Kerja :
Telur puyuh dicampur bagian putih dan kuningnya, kemudian diambil 1 ml
menggunakan pipet steril dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu
ditambahkan larutan BPW 0,1% sebanyak 9 ml. Ini merupakan larutan dengan
pengenceran 10-1. Dipindahkan 1 ml suspensi pengenceran 10-1 tersebut dengan
pipet steril ke dalam larutan 9 ml BPW ,1% lainnya untuk mendapatkan
pengenceran 10-2. Kemudian buat pengenceran 10-3 dengan cara yang sama seperti
pada prosedur sebelumnya sesuai kebutuhan. Selanjutnya tambahkan 1 ml media
VRB pada masing-masing cawan yang sudah berisi suspensi pengenceran 10-1

97
sampai 10-3. Ditunggu sampai memadat dan dinkubasi pada suhu 32oC selama 24
jam sampai 48 jam dengan cara meletakkan cawan petri pada posisi terbalik.
3.5.10 Uji Cemaran Salmonella
Alat dan Bahan :
Cawan petri, ose, bunsen, dan media Salmonella Shigella Agar (SSA), dan
sampel telur puyuh.
Cara Kerja :
Koloni pada hasil TPC distrik dengan menggunakan ose pada media SSA.
Selanjutnya cawan petri diinkubasi pada posisi terbalik pada suhu 37 oC selama
24 jam.

98
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keterangan Sampel


Sampel telur : Telur puyuh
Merk : Non merk
Asal : Pasar Blimbing, Malang
Kemasan : Plastik
Jumlah : 1 kg

Gambar 1. Sampel telur puyuh


4.2 Hasil
Untuk mengetahui mutu dan kualitas dari bahan pangan asal hewan yaitu
telur puyuh perlu dilakukan beberapa tahapan pengujian sebagai jaminan
keamanan pangan. Berikut adalah hasil dari berbagai pengujian mutu telur puyuh :

99
Tabel 4. Hasil Pengujian Telur Puyuh Berdasarkan Mutu Fisik Pada Telur
(SNI 3926-2008)
Tingkatan Mutu
No. Jenis Uji Hasil
Mutu I Mutu II Mutu III
1. Organoleptik Kerabang
a. Bentuk Normal Normal Normal Abormal
b. Kehalusan Halus Halus Halus Sedikit
c. Ketebalan Tebal Tebal Sedang kasar
d. Keutuhan Utuh Utuh Utuh Tipis
e. Kebersihan Bersih Bersih Sedikit Utuh
noda kotor Banyak
noda sedikit
kotor
2. Kondisi Kantung Udara (dengan peneropongan)
a. Kedalaman 0,3 cm <0,5 cm 0,5-0,9 cm >0,9 cm
kantung udara
b. Kebebasan Tetap di Tetap Bebas Bebas
bergerak tempat ditempat bergerak bergerak
dan ada
gelembung
udara
3. Kondisi Putih Telur
a. Kebersihan Bebas Bebas Bebas Ada sedikit
bercak bercak bercak bercak
darah atau darah, atau darah, atau darah, tidak
benda asing benda benda ada benda

100
asing asing asing
lainnya.

b. Kekentalan Kental Kental Sedikit Encer,


encer kuning telur
belum
tercampur
dengan
putih telur.

c. Indeks 0,063 cm 0,134- 0,050-0,393


0,175 0,092-
0,133
4. Kondisi Kuning Telur
a. Bentuk Bulat Bulat Agak pipih Pipih

b. Posisi Di tengah Di tengah Sedikit Agak


bergeser kepinggir
dari tengah
.
c. Penampakan Tidak jelas Tidak jelas Agak jelas Jelas
batas

d. Kebersihan Bersih Bersih Bersih Ada sedikit


bercak
darah

e. Indeks 0,26 cm 0,458- 0,394- 0,330-0,393


0,521 0,457

101
5. Bau Khas Khas Khas Khas
6. Cemaran Mikroba Batas Maksimum Cemaran Mikroba
1,1,34x107
a. Total Plate
CFU/ml 1x105 CFU/ml
Count
6,7x103 1x102 CFU/ml
b. Coliform
CFU/ml Negatif
c. Salmonella
Negatif

4.3 Pembahasan
Dari pengujian organoleptik yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa telur
puyuh tidak mengalami kerusakan secara fisik, hal ini menambah nilai jual karena
setiap konsumen dipastikan akan meberikan penilaian terkait kebersihan dan
kondisi kerabang sebelum membelinya (Wulandari, 2002). Hasil pengujian secara
organoleptik tersebut meliputi warna kerabang telur putih dengan spot hitam,
bentuk telur oval dan baik, bau khas telur, kerabang halus dan licin. Selain itu
ketebalan kerabang telur tebal, utuh atau tidak ada keretakan, serta kerabang
bersih dari kotoran. Kualitas kerabang menjadi penentu utama dalam menjaga
kualitas internal telur selama masa penyimpanan. Kerabang merupakan barrier
pertama pelindung isi telur dari kontaminasi atau kerusakan fisik. Kemudian
dilakukan pemeriksaan kesegaran telur dengan pemeriksaan peneropongan telur
(candling). Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kondisi telur, keadaan
kerabang, dan tinggi kantung hawa dengan menggunakan bantuan cahaya. Hasil
menunjukkan bahwa tidak ada embrio di dalam sampel telur puyuh. Selain untuk
melihat ada tidaknya embrio, candling telur juga dapat digunakan untuk
mengukur tinggi kantung hawa. Hasil pengukuran tinggi kantung hawa yaitu 0,3
cm. Besar kecilnya kantung hawa dapat menunjukkan umur dari tlur tersebut.
Lama penyimpanan (tua) dapat berpengaruh nyata terhadap kedalaman kantung
hawa. Semakin lama penyimpanan (tua), maka akan semakin besar kedalaman
kantung hawa. Pemeriksaan kesegaran telur selanjutnya adalah perendaman telur
ke dalam air garam 10% menggunakan beker glass. Hasil perendaman dengan air
garam 10% menunjukkan telur puyuh mengambang. Hal ini menunjukkan bahwa

102
sampel telur puyuh yang digunakan bukan merupakan telur segar dan sedikit lama
masa simpannya (tua).
Pemeriksaan berikutnya yaitu melakukan pemeriksaan dengan membuka
bagian dalam telur. Pemecahan telur dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak
merusak bagian dalam telur untuk melihat kondisi bagian dalam telur puyuh
tersebut secara baik. Pemeriksaan kualitas telur dengan cara dibuka bagian
kerabangnya kemudian diletakkan di cawan petri meliputi pemeriksaan putih
telur, pemeriksaan kuning telur, albumin index, yolk index, dan Haugh Unit.
Kondisi putih telur pada saat pemeriksaan menunjukkan tidak adanya bercak
darah atau benda asing, bersih, dan dengan kondisi kuning telur yang normal
berada di bagian tengah. Selanjutnya dilakukan pengukuran indeks putih telur dan
indeks kuning telur. Nilai indeks telur merupakan perbandingan antara lebar dan
panjang telur. Semakin tinggi nilai indeks telur maka telur akan semakin bulat,
dan semakin tinggi nilai indeks maka semakin segar keadaan telur. Nilai indeks
putih telur puyuh yang didapatkan yaitu 0,06 cm dan indeks kuning telur yaitu
0,26 cm. Hasil dari nilai Haugh Unit (HU) sampel telur puyuh yaitu 76,5 yang
berarti sampel telur puyuh ini menunjukkan telur berada pada kualitas telur AA.
Menurut Sudaryani (2000), nilai Haugh Unit (HU) yang tinggi menunjukkan
kualitas telur tersebut juga tinggi.
Hasil Uji Total Plate Count (TPC) yang dilakukan menunjukkan adanya
sejumlah koloni sebanyak 1,34 x 107 CFU/ml. Hasil ini sangat jauh berbeda
dengan nilai standar telur konsumsi yaitu 1 x 105 CFU/ml. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa isi telur sudah tercemar atau terkontaminasi oleh mikroba,
dan juga sudah terlihat pada saat perendaman air garam yang menunjukkan telur
puyuh tersebut melayang/mengambang yang merupakan salah satu indikasi bahwa
umur penyimpanan telur yang sudah semakin tua.umur yang semakin tua
mempengaruhi adanya koloni mikroba yang mungkin akan semakin banyak
apabila sudah terjadi pencemaran sebelumnya. Berikut adalah tabel 5 hasil uji
TPC telur puyuh :

103
Tabel 5. Hasil Uji TPC Telur Puyuh
105 106 107
1 141 21 3
2 127 13 2
Rata-rata 134 17 2,5

Jumlah rata-rata koloni dari cawan yang memiliki jumlah koloni sebesar 25-250
yaitu hanya pada pengenceran 105 yaitu dengan rata-rata 134 x 105
Jadi, jumlah koloni = 134 x 105
= 1,34 x 107

Pengujian berikutnya yaitu dilakukan uji Coliform dengan menggunakan


media Violet Red Bile Agar (VRBA). Sampel telur puyuh yang sudah dilakukan
pengenceran dari 10-1, 10-2, dan 10-3 setelah diinkubasi selama 24 jam dengan
suhu 32oC dilakukan pengamatan dan menunjukkan hasil bahwa jumlah koloni
Coliform sebanyak 6,7 x 103 CFU/ml. Angka tersebut terlihat sangat jauh dari
syarat cemaran mikroba pada telur yaitu 1 x 102 CFU/ml. Berikut adalah tabel 6
hasil uji Coliform pada telur puyuh :
Tabel 6. Hasil Uji Coliform Telur Puyuh
101 102 103
1 TBUD 53 4
2 TBUD 81 6
Rata-rata 67 5

Jumlah rata-rata koloni dari cawan yang memiliki jumlah koloni sebesar 25-250
yaitu sebagai berikut :
67 x 102
Jadi, jumlah koloni = 67 x 102
= 6,7 x 103
Salah satu kontaminan biologi pada bahan makanan adalah bakteri golongan
Coliform. Adanya bakteri dalam makanan tidak selalu menunjukkan kontaminasi

104
yang berasal dari feses. Keberadaannya lebih merupakan indikasi dari kondisi
prosessing atau sanitasi yang tidak memadai dak keberadaannya dalam jumlah
tinggi.
Uji cemaran mikroba selanjutnya adalah uji Salmonella dengan melakukan
penanaman koloni sampe telur puyuh dari hasil TPC yang distrik menggunakan
ose pada media Salmonella Shigella Agar (SSA). Hasil yang diperoleh dari uji
Salmonella ini adalah negatif atau tidak ada koloni bening yang tumbuh pada
media SSA.

105
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Uji organoleptik, candling, Uji TPC, Uji Coliform, dan Uji Salmonella yang
dilakukan sudah sesuai dengan standar. Namun pada pemeriksaan TPC dan
Coliform menunjukkan hasil yang tidak sesuai dengan standar pada jumlah
cemaran mikrobanya. Berdasarkan hasil uji tersebut dapat disimpulkan bahwa
telur puyuh tersebut tidak sesuai dengan standar dan tidak layak untuk
dikonsumsi.
5.2 Saran
Perlu dilakukan adanya penyuluhan atau edukasi kepada konsumen
mengenai cara pemilihan telur yang baik agar tidak ada kerugian dari segi
ekonomi maupun kesehatan.

106
DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional. 2008. Telur Ayam Konsumsi. Standar Nasional


Indonesia (SNI) No. : 3926-2008. Jakarta.
Bambang, D. 2003. Efek Kolesterolemik Berbagai Telur. Media Gizi dan
Keluarga. 27 (2): 58-65.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1989. Daftar Komposisi Bahan
Makanan. Bharata. Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Daftar Populasi,
Konsumsi, dan Produksi Ternak. Jakarta.
Listiyowati, E. dan Kinanti, R., 2005. Puyuh : Tata Laksana Budi Daya Secara
Komersial. Edisi Revisi Penebar Swadaya, Jakarta.
Lukito. G. A., A. Suwarastuti, dan A. Hintono. 2012. Pengaruh berbagai metode
pengasinan terhadap kadar NaCl, kekenyalan dan tingkat kesukaan
konsumen pada telur puyuh asin. Animal Agriculture Journal, 1(1): 829-
838.
Nugroho dan Mayun I.G.T. 1986. Beternak Burung Puyuh. Eka Offset. Semarang.
Stadelman, W. J. dan O. J. Cotteril. 1995. Egg Science and Technology. 4 th Ed.
Food Products Press. An Imprint of the Haworth Press, Inc. New York.
Sudaryani, T. 2000. Pembibitan Ayam Ras. Jakarta : Penebar Swadaya.
Syarief, R. dan H. Halid. 1990. Buku Monograf Teknologi Penyimpanan Pangan.
Laboratorium Rekayasa Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wulandari, Z. 2002. Sifat Organoleptik, Sifat Fisiko-kimia, dan Total Mikroba
Telur Itik Asin Hasil Penggaraman dengan Tekanan. Thesis Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

107
Lampiran

a
1. Indeks Kuning Telur =b
0,72
= 2,725

= 0,264 cm
a
2. Indeks Putih Telur =b
0,24
= 3,8

= 0,063 cm

Keterangan :
a = tinggi kuning/putih telur
b = diameter rata-rata dari tebal albumin

3. Haugh Unit (HU)


HU = 100 log (H + 7,57 – 1,7 W 0,37)
= 100 log (0,24 + 7,57 – 1,7 x 11,12 0,37)
= 76,5
Keterangan :
HU = Haugh Unit
H = Tinggi albumin
W = Berat Telur

108
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
yang dilaksanakan di
LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

PENGUJIAN TELUR PITAN

Oleh :

BISMI RIZKA YUNIAR, S.KH


NIM. 160130100111007

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018

109
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Telur merupakan produk peternakan yang memberikan sumbangan terbesar
bagi tercapainya kecukupan gizi masyarakat. Dari sebutir telur didapatkan gizi
yang cukup sempurna karena mengandung zat-zat gizi yang lengkap dan mudah
dicerna. Oleh karenanya, telur merupakan bahan pangan yang sangat baik untuk
anak-anak yang sedang tumbuh dan memerlukan protein dan mineral dalam
jumlah banyak (Sudaryani, 2003).
Telur ayam kampung, telur ayam ras dan telur bebek merupakan yang
paling umum dikonsumsi dan sangat bernutrisi tinggi. Karena mengandung gizi
yang berlimpah, telur sangat bagus dikonsumsi untuk anak-anak yang dalam masa
pertumbuhan, terutama untuk pertumbuhan otak.
Telur ayam atau telur bebek juga dapat dijadikan sebagai telur olahan.
Misalnya seperti diolah menjadi telur asin, telur pitan, telur bacem, tepung telur,
dan lain-lain. Telur pitan sendiri adalah telur yang bagian dalamnya terdapat
kuning telur berubah menjadi abu-abu kehijauan gelap dengan tekstur yang
lebih lembut. Sementara untuk putih telur, akan berubah menjadi coklat gelap
transparan dengan rasa yang sedikit asin. Telur pitan menjadi makanan
tradisional China sejak abad ditemukannya telur pitan. Untuk mengetahui mutu
telur pitan, perlu dilakukan uji mutu telur olahan.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana mutu dan kualitas telur pitan sesuai dengan standar pengujian
mutu?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui mutu dan kualitas telur pitan sesuai dengan standar
pengujian mutu.

110
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Telur
Telur adalah salah satu bahan makanan yang berasal dari ternak yang
bernilai gizi tinggi, karena mengandung zat-zat makanan yang sangat diperlukan
oleh tubuh manusia seperti asam-asam amino yang lengkap dan seimbang,
vitamin dan mineral serta mempunyai nilai cerna yang sangat tinggi. Telur
memiliki sifat-sifat fisik kimia yang sangat berguna dalam pengolahan pangan.
Sifat-sifat tersebut meliputi daya busa, emulsi, koagulasi dan warna.
Disamping bernilai gizi tinggi, telur juga mempunyai sifat yang mudah
rusak, kerusakannya bisa bersifat fisik maupun kerusaan kimia juga yang
disebabkan oleh mikroorganisme melalui pori-pori kulit telur. Pengolahan telur
dapat dilakukan secara utuh maupun limbah pengolaha telur seperti putih telur
dengan cara pengeringan sehingga dihasilkan produk kering berupa tepung putih
telur, tepung kuning telur dan campuran keduanya.
Menurut Sudaryani (2003), telur mempunyai kandungan protein tinggi dan
mempunyai susunan protein yang lengkap, akan tetapi lemak yang terkandung
didalamnya juga tinggi. Secara umum telur ayam & telur itik merupakan telur
yang paling sering dikonsumsi oleh masyarakat karena mengandung gizi yang
melimpah, telur sangat bagus dikonsumsi oleh anak – anak dalam masa
pertumbuhan.
Pengolahan telur banyak dilakukan diantaranya adalah dengan membuat
tepung putih telur. Pengeringan telur bertujuan mengurangi dan mencegah
aktivitas mikroorganisme sehingga dapat memperpanjang umur simpan.
Pembuatan telur menjadi tepung telur dapat pula mengurangi ruang penyimpanan,
mempermudah penanganan dan transportasi (Winarno dan Sutrisno, 2002).
2.2 Telur Pitan
Telur pitan adalah telur olahan yang berasal dari telur ayam atau telur bebek
dibuat dengan cara dilapisi campuran seperti tanah liat, dari bubuk kayu, teh,

111
kapur, tanah, dan garam. Campuran akan mengeras di sekitar telur, mengawetkan,
dan bukan merusak telur tetapi menciptakan telur pitan.
Melalui sebuah proses, kuning telur menjadi berwarna hijau gelap hingga
abu-abu, dengan konsistensi yang sangat lunak dan berbau belerang serta amonia.
Sedangkan putih telur menjadi coklat gelap, kenyal, jernih, dengan ada sedikit
rasa. Unsur pengubah dalam telur pitan adalah materi basanya, yang secara
bertahap meningkatkan pH telur menjadi sekitar 9-12 atau lebih selama proses
pembuatan. Proses kimia ini memecah beberapa protein dan lemak kompleks
tanpa rasa, menghasilkan senyawa yang lebih kecil.
2.3 Komponen Telur
Menurut Paula Figoni (2008), telur memiliki beberapa komponen
didalamnya yaitu:

Gambar 1. Komponen telur


1. Putih telur Nama lain dari putih telur adalah albumen telur. Putih telur terdiri
sepenuhnya oleh protein & air. Dibandingkan dengan telur kuning, telur putih
memiliki rasa (flavor) & warna yang sangat rendah.
2. Kuning telur (Yolk) Telur kuning sekitar setengahnya mengandung uap basah
(moisture) & setengahnya adalah kuning padat (yolk solid). Semakin
bertambah umurnya telur, kuning telur akan mengambil uap basah dari putih
telur yang mengakibatkan kuning telur semakin menipis dan menjadi rata

112
ketika telur dipecahkan ke permukaan yang rata (berpengaruh kepada grade
dari telur itu sendiri). Selengkapnya akan dibahas di bagian grade telur.
3. Kulit telur (Shell) Kulit telur memiliki berat sekitar 11% dari jumlah total berat
telur. Meskipun terlihat keras & benar – benar menutupi isi telur, kulit telur itu
sebenarnya berpori (porous).

113
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat PPDH


Pengujian produk pangan asal hewan dilakukan pada tanggal 22 Mei – 2
Juni 2017 bertempat di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya, Malang.
3.2 Peserta dan Pembimbing PPDH
Peserta koasistensi Kesehatan Masyarakat Veteriner (KESMAVET) adalah
mahasiswa PPDH FKH Universitas Brawijaya.
Nama : Bismi Rizka Yuniar, S.KH
NIM : 160130100111007
yang berada dibawah bimbingan drh. Mira Fatmawati, M.Si.
3.3 Metode Kegiatan PPDH
Metode yang digunakan dalam koasistensi di Laboratorium KESMAVET
adalah pengujian terhadap sampel produk telur pitan dan melaksanakan diskusi
kelompok dan dengan dokter hewan pembimbing koasistensi.
3.4 Jenis Pengujian
3.4.1 Sampel Telur Pitan
Pengujian pada sampel telur pitan antara lain uji organoleptik, uji pH, uji
cemaran Salmonella, uji Staphylococcus aureus dan uji yeast dan mold.
3.5 Prosedur Pengujian
3.5.1 Pemeriksaan Organoleptik
Prinsip Kerja :
Pemeriksan ini dilakukan untuk melihat secara manual bentuk telur pitan.
Pemeriksaan organoleptik meliputi pemeriksaan bau, warna, rasa, dan konsistensi.
Alat dan bahan :
Sampel telur pitan dan cawan petri.
Cara kerja :
Bahan diletakkan di atas cawan petri kemudian diamati bau, warna, rasa,
dan konsistensi.

114
3.5.2 Uji pH
Alat dan bahan :
Sampel telur pitan, pH indikator strips, pH meter dan beker glass.
Cara kerja :
Telur pitan ditimbang sebanyak 1 gr dimasukkan ke dalam beker glass
kemudian dihomogenkan dengan menggunakan aquades, dicelupkan kertas
indikator pH ke dalam bekker glass. Selanjutnya kertas indikator pH
dikeringanginkan selama 1 – 30 detik dan disamakan dengan standar pH
indikator. Kemudian dilakukan pengukuran pH menggunakan pH meter untuk
mengkonfirmasi hasil pH indikator strips.
3.5.3 Uji Total Plate Count (TPC)
Prinsip kerja :
Menghitung jumlah koloni bakteri penanaman sampel telur pada media
agar.
Alat dan bahan :
Cawan petri, pipet, bulb, tabung reaksi, bunsen, timer, tabung erlenmeyer,
autoclave, inkubator, waterbath, media PCA (plate count agar), BPW, dan sampel
telur pitan.
Cara Kerja :
1 ml kuning telur dilarutan ke dalam 9 ml larutan BPW untuk mendapatkan
pengenceran 10-1 .Selanjutnya dibuat pengenceran 10-2, 10-3, 10-4 dan 10-5.
Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran dimasukkan ke cawan petri
kemudian ditambahkan 15 ml sampai dengan 20 ml media PCA yang sudah
didinginkan hingga temperature ± 45oC. Cawan petri diputar ke depan dan ke
belakang atau membentuk angka delapan dan diamkan sampai memadat. Cawan
petri diinkubasikan pada suhu 34oC sampai dengan 36oC selama 24 jam sampai
dengan 48 jam dengan posisi cawan terbalik. Penghitungan : Untuk perhitungan
koloni, hitung jumlah koloni pada setiap seri pengenceran kecuali cawan petri
yang berisi koloni menyebar (spreader colony). Pilih cawan yang mempunyai
jumlah koloni 25 sampai dengan 250.

115
3.5.4 Uji Cemaran Salmonella
Alat dan Bahan :
Cawan petri, ose, bunsen, dan media Salmonella Shigella Agar (SSA), dan
sampel telur pitan.
Cara Kerja :
Koloni pada hasil TPC di strik menggunakan ose pada media SSA.
Selanjutnya cawan petri diinkubasi pada posisi terbalik pada suhu 37 oC selama
24 jam.
Interpretasi : hasil positif akan muncul koloni tidak berwarna (bening).
3.5.5 Uji Staphylococcus aureus
Prinsip Kerja :
Adanya pertumbuhan Staphylococcus sp pada media BPA yang dicampur
dengan egg yolk yang diinkubasi selama 24 jam. Pertumbuhan koloni
Stapylococcus sp ditandai dengan adanya koloni berwarna hitam.
Alat dan Bahan :
Cawan petri, Buffer Pepton Water (BPW), Baird-Parker Agar (BPA), egg
yolk, bunsen, ose, dan sampel telur pitan.
Cara Kerja :
Sampel telur pitan dihomogenkan dengan BPW 0,1%dan dituangkan pada
media BPA+egg yolk dengan metode spread pada cawan petri. Kemudian cawan
petri diinkubasi pada suhu 36oC selama 24 jam. Setelah diinkubasi, diamati koloni
bakteri yang tumbuh pada media. Jika warna koloni hitam maka sampel tersebut
positif mengandung cemaran Staphylocccus sp.
3.5.6 Uji Yeast and Mold
Alat dan Bahan :
Timbangan, cawan petri, media Saboraud’s Dextrose Agar (SDA), dan
sampel telur pitan.
Cara Kerja :
Sebanyak 5 gram sampel diletakkan di atas media dan diletakkan di suhu
ruangan. Diperiksa adanya pertumbuhan kapang setelah 3 hari.

116
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keterangan Sampel


Sampel produk telur : Telur Pitan
Kemasan : Mika
Merk : kip
Produksi : PT. Mabar Feed Indonesia
Isi : 4 butir
Tempat pembelian : Hypermart

Gambar 2. Kemasan Sampel Telur Pitan


4.2 Hasil
Untuk mengetahui mutu dan kualitas dari pangan asal hewan yaitu telur
pitan perlu dilakukan beberapa tahapan pengujian sebagai jaminan keamanan
pangan. Berikut adalah hasil dari berbagai pengujian telur pitan :
Tabel 1. Hasil Pengujian Telur Pitan Berdasarkan SNI 01-4277-1996
No. Jenis Uji Hasil Uji Persyaratan
1. Organoleptik :
a. Bau Normal Normal
b. Warna Coklat Normal
c. Kenampakan Normal Normal

117
2. Cemaran Mikroba
Salmonella Negatif Negatif
3. Yeast and Mold Negatif Negatif

4.3 Pembahasan
Telur pitan merupakan hasil olahan telur yang diolah melalui metode
fermentasi. Pelapisan yang dilakukan pada telur berfungsi untuk mencegah
masuknya mikroorganisme serta memperpanjang masa penyimpanan telur. Dari
hasil pengujian yang telah dilakukan dengan berbagai jenis uji, diketahui bahwa
hasil organoleptik telur pitan tidak mengalami kerusakan pada cangkang.
Pengujian bau dari telur pitan didapatkan hasil bahwa telur pitan memiliki aroma
khas telur yang normal, putih telur berwarna coklat transparan dan kuning telur
berwarna abu-abu kehitaman dengan konsistensi padat. Menurut Nurwantoro dan
Sri Mulyani (2003), pengujian dapat dinilai dari dua faktor yaitu faktor luar
(cangkang) dan faktor dalam (isi telur). Telur pitan yang baik memiliki cangkang
yang bersih, bagian putih telur berwarna coklat bening dan kenyal, serta bagian
kuning telur berwarna abu-abu kehitaman yang padat.
Warna dari putih telur berubah menjadi warna coklat gelap transparan,
kenyal, dan sedikit rasa. Warna kecoklatan pada putih telur dan abu-abu pada
kuning telur diperoleh dari hasil fermentasi telur. Semakin lama proses fermentasi
yang dilakukan maka semakin gelap pula warna telur tersebut. Fermentasi pada
telur pitan juga dapat mempengaruhi pH pada telur. Unsur pengubah dalam telur
adalah materi basanya, yang secara bertahap meningkatkan pH telur sekitar 9, 12
atau lebih. Nilai pH yang tinggi pada telur pitan berfungsi untuk mencegah
adanya kontaminasi bakteri. Proses fermentasi telur pitan harus selalu
memperhatikan nilai pH karena biasanya fermentasi yang terlalu lama akan
menunjukkan pH yang terlalu tinggi, sedangkan pH yang terlalu rendah akan
menunjukkan bahwa proses fermentasi telur pitan belum sempurna.

118
Gambar 3. Sampel telur pitan pada pengujian organoleptik

Kepadatan kuning telur tersebut akibat adanya garam yang masuk ke dalam
kuning telur ketika proses pembuatan (Chang et al., 1997). Konsistensi sampel
putih telur kenyal dengan warna coklat. Warna coklat pada telur asin berasal dari
tanin dari bahan penyamak misalnya daun jambu, kulit bawang merah atau air teh
yang digunakan dalam proses pembuatan (Wirnano dan Koswara, 2002).
Rasa asin pada telur olahan yang dihasilkan terbentuk dari telur yang
mengeras. Hal ini disebabkan oleh garam yang berdifusi ke dalam kerabang dan
tertangkap oleh albumin. Kadar garam yang tinggi pada albumin akan menarik air
pada kuning telur sehingga menyebabkan kuning telur semakin mengental dan
memberikan rasa asin (Sarwono, 1994).
Uji cemaran Salmonella juga dilakukan pada sampel telur pitan karena
menurut Doyle dan Cliver (1990) ayam merupakan ternak yang berpotensi besar
sebagai sumber penularan Salmonella sp kepada manusia. Hasil yang diperoleh
dari pengujian cemaran Salmonella sp yaitu didapatkan hasil negatif. Tidak ada
koloni dari Salmonella sp dengan ciri khas koloni tidak berwarna (bening) pada
media Salmonella Shigella Agar (SSA).

119
Gambar 4. Hasil negatif (-) dari Uji Cemaran Salmonella sp.

Salah satu hal yang penting dalam syarat mutu dan kualitas produk asal
hewan adalah bebas dari cemaran mikroba patogen termasuk Salmonella sp.
Peningkatan kasus foodborne disease yang disebabkan oleh Salmonella enteritidis
ditularkan melalui daging ayam, telur, dan produk-produk olahannya.
Kumunculan wabah Salmonella enteritidis sebagai masalah kesehatan
masyarakat, berhubungan dengan penerapan tata cara peternakan modern dan
menurunnya kualitas generik unggas (Baumler et al., 2000). Untuk mencegah hal
tersebut terjadi, maka perlu dilakukan pengawasan (surveilans, monitoring, dan
inspeksi) terhadap produk pangan asal hewan salah satunya telur olahan seperti
telur pitan.
Pada uji Yeast and Mold telur pitan diperoleh hasil negatif. Pengujian Yeast
and Mold menggunakan media Sabaroud Dextrose Agar (SDA) dan diinkubasi
selama 3 hari dalam suhu ruang. Yeast dan mold tidak akan tumbuh pada produk
apabila produk telur pitan disimpan dan dikemas dengan baik. Sampel telur pitan
yang digunakan mampu disimpan dalam suhu ruang maksimal selama 2 hari,
karena pada hari ketiga mulai ditumbuhi yeast yang dapat membahayakan
kesehatan jika dikonsumsi.

120
Gambar 6. Hasil uji Yeast and Mold pada telur pitan setelah inkubasi 3 hari

121
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan terhadap mutu dan kualitas telur pitan
bahwa telur pitan tersebut aman untuk dikonsumsi masyarakat karena hasil dari
pengujiannya tidak melebihi ambang batas syarat mutu dan kualitas telur olahan
berdasarkan SNI 01-4277-1996.
5.2 Saran
Perlu adanya penyuluhan atau edukasi kepada konsumen tentang tata cara
penyimpanan dan suhu yang baik untuk menyimpan produk telur olahan maupun
telur mentah.

122
DAFTAR PUSTAKA

Badan Standardisasi Nasional. 1996. SNI 01-4277-1996: Telur Asin. Standar


Nasional Indonesia. Jakarta.
Baumler, A.J., B.M. Hargis, and R.M. Tsolis. 2000. Tracing Origin of Salmonella
Outbreaks, Science. 287 (5450): 50-52.
Chang, K. O., G. E. Ha, G. S. Han, K. H. Seol, H. W. Kim, S. G. Jeong, M. H.
Oh, B. Y. Park, and J. S. Ham. 1997. Antioxidant peptide derived from the
ultrafiltrate of ovomucin hydrolysate. J. Agric. Food Chem. Vol. 61 (30), pp
7294-7300.
Doyle, M.P., dan D.O. Cliver. 1990. Salmonella, in: Foodborne Disease. D.O.
Cliver (ed). Academic Press, Inc. 185-204.
Figoni, Paula. 2008. How Baking Works : Exploring the Fundamentals of Baking
Science. John Wiley and Sons, Inc. ISBN 978-0-471-74723-9. Page : 251.
Forsythe SJ, Hayes PR. 1998. Food Hygiene, Microbiology and HACCP Third
Edition. Gaithersburg: Aspen Pub.
Nurwantoro dan S. Mulyani. 2003. Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Sudaryani, T. 2003. Kualitas Telur. Penebar Swadaya. Jakarta
Sarwono B. 1994. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur. PT. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Winarno, F.G. dan S. Koswara. 2002. Telur: Komposisi, Penanganan, dan
Pengolahannya. M-Brio Press. Bogor.
Winarno, F. G. dan Sutrisno K. 2002. Telur: Komposisi, Penanganan dan
Pengolahannya. M-Brio Press, Bogor.

123

S-ar putea să vă placă și