Sunteți pe pagina 1din 43

Bayi Berat Lahir Sangat Rendah

a. Pengertian

Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) adalah bayi baru lahir dengan berat badan di

bawah normal kisaran 1000 – 1500 gram (Indrasanto dkk, 2008).

Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) adalah bayi baru lahir dengan berat badan di

bawah normal kisaran 1000 – 1500 gram pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu (Nelson,

2010).

b. Etiologi

Menurut Sarwono (2005), Bayi Berat Lahir Sangat Rendah disebabkan oleh beberapa faktor

yaitu :

1) Faktor ibu :

Penyakit : Toxemia gravidarum (keracunan kehamilan), perdarahan ante

partum, trauma fisik atau psikologis, nefritis akut (peradangan ginjal), diabetes mellitus.

Usia ibu : Kurang dari 16 tahun atau lebih dari 35 tahun, multigravida dengan

jarak kehamilan dekat.

Keadaan sosial ekonomi rendah.

2) Faktor janin :

Hidramnion, gemeli, kelainan kromosom

3) Faktor lingkungan :

Radiasi, tinggal di dataran tinggi, zat racun.

c. Bayi dengan berat badan lahir sangat rendah dibagi menjadi dua golongan :

1) Prematuritas murni
Prematuritas murni adalah bayi dengan masa kehamilan yang kurang dari 37 minggu dan berat

badan sesuai dengan berat badan untuk usia kehamilan (berat terletak antara persentil ke-10

sampai persentil ke-90), pada intrauterus growth curve atau di sebut :

a) Neonatus Kurang Bulan – Sesuai untuk Masa Kehamilan (NKB - SMK).

b) Neonatus Cukup Bulan – Sesuai Masa Kehamilan (NCB - SMK).

c) Neonatus Lebih Bulan – Sesuai Masa Kehamilan (NLB - SMK).

2) Dismatur adalah bayi dengan berat badan kurang dari seharusnya untuk masa gestasi /

kehamilan akibat bayi mengalami retardasi intra uteri dan merupakan bayi yang kecil untuk masa

pertumbuhan (KMK). Dismatur dapat terjadi dalam preterm, term dan post term yang terbagi

dalam :

a) Neonatus kurang bulan – kecil untuk masa kehamilan (NKB - KMK).

b) Neonatus cukup bulan – kecil untuk masa kehamilan (NCB - KMK).

c) Neonatus lebih bulan – kecil untuk masa kehamilan (NLB - KMK).

(Maryunani, 2013).

d. Tanda - tanda bayi dengan berat badan lahir sangat rendah

Menurut Proverawati (2010), Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah mempunyai tanda – tanda :

1) Berat kurang dari 2500 gram.

2) Panjang kurang dari 45 cm.

3) Lingkar dada kurang dari 30 cm.

4) Lingkar kepala kurang dari 33 cm.

5) Jaringan lemak subkutan tipis atau kurang.

6) Umur kehamilan kurang dari 37 minggu.

7) Kepala lebih besar.


8) Kulit tipis transparan, rambut lanugo banyak, lemak kurang.

9) Tulang rawan daun telinga belum sempurna pertumbuhannya.

10) Otot hipotonik lemah merupakan otot yang tidak ada gerakan aktif pada lengan dan sikunya.

11) Pernapasan tidak teratur dapat terjadi apnea.

12) Ekstermitas : paha abduksi, sendi lutut/kaki fleksi-lurus, tumit mengkilap, telapak kaki halus,

kuku jari tangan dan kaki belum mencapai ujung jari.

13) Kepala tidak mampu tegak, fungsi syaraf yang belum atau tidak efektif dan tangisnya lemah.

14) Pernapasan 40 – 50 kali/ menit dan nadi 100 - 140 kali/ menit.

15) Jaringan kelenjar mammae masih kurang akibat pertumbuhan otot dan jaringan lemak masih

kurang.

Prematur juga sering digunakan untuk menunjukkan imaturitas. Bayi dengan Bayi Berat Lahir

Sangat Rendah (BBLSR) yaitu bayi baru lahir dengan berat badan kurang dari 1500 gram juga

sering disebut neonates imatur, jadi tanda – tanda Bayi Berat Lahir Sangat Rendah sama dengan

tanda – tanda bayi berat lahir rendah/ prematur yang membedakan hanya berat badan Bayi Berat

Lahir Sangat Rendah yaitu kurang dari 1500 gram (Nelson, 2010).

e. Masalah – masalah Bayi Berat Lahir Sangat Rendah

Menurut Ika Pantiawati (2010), masalah - masalah yang terjadi :

1) Hipotermi

Suhu bayi kurang dari 36,5° C dan bayi teraba dingin, kurang aktif dan tangis lemah, malas

minum, kulit mengeras kemerahan frekuensi jantung < 100 x/ menit, nafas pelan dan dalam.

2) Hipoglikemia
Kadar glukosa darah kurang 45 mg/ dl, kejang, tremor, letargi/ kurang aktif, timbul saat lahir

sampai dengan hari ke tiga, riwayat ibu dengan diabetes milletus, hipotermi, sianosis, apneu

intermiten.

3) Ikterik/ hiperbilirubin

Puncak hidung, sekitar mulut, dada, perut, dan ekstremitas berwarna kuning, konjungtiva

berwarna kuning pucat, kejang, kemampuan menghisap menurun, letargi, kadar bilirubin bayi

lebih dari 10 mg/ dl.

4) Infeksi/ sepsis

Bayi malas minum, suhu bayi hipertermi atau hipotermi, terdapat gangguan nafas, letargi,

kejang, kulit ikterus.

5) Gangguan pernafasan

Pernafasan tidak teratur, merintih waktu ekspirasi, thoraks yang lunak dan otot respirasi yang

lemah, resiko aspirasi akibat belum terkoordinirnya reflek menghisap dan reflek menelan.

6) Perdarahan intracranial

Kegagalan umum untuk bergerak normal, reflek moro menurun atau tidak ada, tonus otot

menurun, letargi (kesadaran menurun), pucat dan sianosis (kebiruan), apnea (henti nafas),

muntah yang kuat, tangisan bernada tinggi dan tajam, kejang, kelumpuhan, gagal menetek.

f. Penatalaksanaan bayi dengan Bayi Berat Lahir Sangat Rendah

Menurut Weni (2009), penatalaksanaan yang dilakukan :

1) Menjaga kehangatan dan mempertahankan suhu tubuh bayi

Bayi prematur akan cepat mengalami kehilangan panas badan dan menjadi hipotermi,

karena pusat pengaturan panas badan belum berfungsi dengan baik, metabolismenya rendah, dan

permukaan badan relative luas. Oleh karena itu, bayi prematur harus dirawat didalam incubator
sehingga panas badannya mendekati dalam rahim

(Atika, 2010).

Inkubator adalah salah satu alat medis yang berfungsi untuk menjaga suhu sebuah

ruangan supaya suhu tetap konstan/ stabil. Bayi umur 1 - 10 hari dengan suhu 35° C, bayi umur

11 hari – 3 minggu dengan suhu 34° C, bayi umur 3 – 5 minggu dengan suhu 33° C, bayi umur

lebih dari 5 minggu dengan suhu 32° C. Apabila suhu kamar

28 - 29° C hendaknya diturunkan 1° C setiap minggu dan apabila berat badan bayi sudah

mencapai 2000 gram bayi boleh dirawat diluar incubator dengan suhu 27° C (Sudarti dan

fauziah, 2013).

2) Nutrisi

a) Bila keadaan bayi sehat

ASI peras minumkan lewat NGT, minumkan 8x dalam 24 jam tiap 3 jam sekali, lanjutkan

dengan cangkir/ sendok bila keadaan stabil, jika baik dengan cangkir/ sendok langsung menyusu

pada ibunya.

Tabel 2.1 Jumlah cairan IV dan ASI untuk bayi sehat


Umur (hari)
Pemberian
1 2 3 4 5 6 7
Jumlah ASI tiap 3 jam
10 15 18 22 26 28 30
(ml/ kali)
(Sudarti dan Fauziah, 2013)

b) Bila keadaan bayi sakit

Berikan cairan IV 24 jam pertama, berikan ASI peras lewat NGT, beri minum 8x dalam 24 jam

tiap 3 jam, jika masih lapar bisa di tambah ASI/ PASI, lanjutkan pemberian minum lewat

cangkir/ sendok, bila keadaan stabil, bila minum dengan cangkir/ sendok baik, maka langsung

menyusu ibu.
Tabel 2.2 Jumlah cairan IV dan ASI untuk bayi sakit
Umur (hari)
Pemberian
1 2 3 4 5 6 7
Kecepatan cairan IV (ml/
jam atau tetes mikro/ 3 3 3 2 2 0 0
menit)
Jumlah ASI tiap 3 jam
0 6 9 16 20 28 30
(ml/kali)
(Sudarti dan Fauziah, 2013)

3) Mencegah infeksi yang ketat

Memberi perlindungan pada bayi dengan Bayi Berat Lahir Rendah dari bahaya infeksi

dengan cara bayi tidak boleh kontak dengan penderita infeksi dalam bentuk apapun itu.

Digunakan masker dan baju khusus dalam penanganan bayi, perawatan luka tali pusat dan kulit

dilakukan dengan teknik septik dan antiseptik serta begitupun dengan alat-alat yang digunakan,

isolasi pasien, jumlah pasien dibatasi, rasio perawat pasien ideal, mengatur kunjungan,

menghindari perawatan yang terlalu lama. Bayi prematur mudah sekali terkena infeksi karena

daya tahan tubuh yang masih lemah, kemampuan leokosit masih kurang, serta pembentukan anti

bodi belum sempurna (Atikah, 2010).

Memisahkan bayi yang terkena infeksi dengan bayi yang tidak terkena infeksi, mencuci

tangan setiap sebelum dan sesuah memegang bayi, membersihkan tempat tidur bayi segera

setelah tidak di pakai lagi dengan antiseptik, membersihkan ruangan pada waktu tertentu, setiap

bayi diwajibkan mempunyai perlengkapan sendiri, kalau mungkin bayi di mandikan di tempat

tidur masing – masing dengan perlengkapan sendiri, merawat kulit dan tali pusat bayi dengan

sebaik – baiknya, pengunjung tidak di perbolehkan masuk di ruang perawatan bayi

(Wiknjosastro, 2005).

4) Penimbangan berat badan


Perubahan berat badan mencerminkan kondisi gizi/ nutrisi bayi dan erat kaitannya dengan daya

dan tubuh, oleh sebab itu penimbangan berat badan agar bayi tidak menderita hipoglikemia dan

hiperbilirubinemia. Pada umumnya bayi berat lahir kurang dari 1500 gram bayi diberi minum

melalui sonde. Sesudah 5 hari bayi lahir dicoba menyusu pada ibunya, bila daya hisap cukup

baik maka pemberian air susu ibu diteruskan (Winkjosastro, 2005).

5) Pemberian Oksigen

Oksigen hanya diperlukan bila bayi mengalami sianosis atau kesulitan bernafas. Oksigen

diberikan dengan aliran rendah untuk membuat bayi tetap berwarna merah muda (kurang lebih

0,5 liter/ menit dan tidak boleh lebih dari 10 liter/ menit) (Yuliasti, 2010).

6) Pemberian injeksi dosis pertama, jika terjadi kemungkinan infeksi bakteri : gentamisin 4 mg/ kg

BB I.M (atau kanamisin), ditambah ampisilin 100 mg/kg BB I.M (atau benzil penisilin)

(Saifuddin, 2010).
ASUHAN KEPERAWATAN

BBLR DENGAN KETIDAKSEIMBANGAN TERMOREGULASI


"HIPOTERMI"

A. Konsep Medis Penyakit

1. Definisi

BBLR adalah neonatus dengan berat badan lahir pada saat kelahiran kurang dari 2500

gram (sampai 2499 gram) tanpa memandang masa kehamilan (Ambarwati & Rismintari, 2009 :

26; Maryanti, et al., 2012 : 167).

2. Etiologi

Menurut Maryanti, et al (2012:169) faktor yang mempengaruhi terjadinya BBLR adalah :

a. Faktor ibu

1) Penyakit

Penyakit yang berhubungan langsung dengan kehamilan, misalnya perdarahan antepartum,

trauma fisik dan psikologis, DM, toksemia gravidarum, dan nefritis akut.

2) Usia ibu

Angka kejadian prematuritas tertinggi ialah pada usia <20 tahun, dan multigravida yang jarak

kelahiran terlalu dekat.

3) Keadaan sosial ekonomi

Kejadian tertinggi terdapat pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini disebabkan oleh

keadaan gizi yang kurang baik dan pengawasan antenatal yang kurang.

4) Sebab lain

Ibu perokok, ibu peminum alkohol dan pecandu obat narkotik.

b. Faktor janin
Hidramnion atau polihidramnion, kehamilan ganda, dan kelainan koromosom.

c. Faktor lingkungan

Tempat tinggal dataran tinggi radiasi dan zat-zat racun.

3. Klasifikasi

Menurut Mitayani (2013 : 172) BBLR dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

a. Prematuritas murni

Yaitu bayi yang lahir dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat bayi sesuai

dengan gestasi atau yang disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan.

b. Bayi small for gestational age (SGA)

Berat bayi lahir sesuai dengan masa kehamilan. SGA sendiri terdiri atas tiga jenis:

1) Simetris (intrauterus for gestatational age) yaitu terjadi gangguan nutrisi pada awal kehamilan

dan dalam jangka waktu yang lama

2) Asimetris (intrauterus growth retardation) yaitu terjadi defisit nutrisi pada fase akhir kehamilan

3) Dismaturitas yaitu bayi yang lahir kurang dari berat badan yang seharusnya untuk masa gestasi

dan si bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri serta merupakan bayi kecil untuk masa

kehamilan

Selain itu, BBLR dapat juga dibagi menjadi 3 stadium yaitu :

1) Stadium 1

Bayi tampak kurus dan relatif lebih panjang, kulit longgar, kering seperti permen karet, namun

belum terdapat noda mekonium.

2) Stadium 2

Bila didapatkan tanda-tanda stadium 1 ditambah warna kehijauan pada kulit, plasenta, dan

umbilikal.
3) Stadium 3

Ditemukan tanda stadium II ditambah kulit berwarna kuning, demikian pula kuku dan tali pusat.

Sedangkan klasifikasi menurut Surasmi dalam Amirudin & Hasmi, (2014 : 146) adalah :

a. Bayi berat badan amat sangat rendah, yaitu bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 1000

gram.

b. Bayi berat badan lahir sangat rendah adalah bayi yang lahir dengan berat kurang dari 1500 gram.

Bayi berat badan cukup rendah adalah bayi yang baru lahir dengan berat badan 1501-2500 gram.

4. Patofisiologi

Menurut Maryanti, et al (2012:169) faktor yang mempengaruhi terjadinya BBLR terdiri

dari faktor ibu yang meliputi penyakit ibu, usia ibu, keadaan sosial ekonomi dan sebab lain

berupa kebiasaan ibu, faktor janin, dan faktor lingkungan. BBLR dengan faktor risiko paritas

terjadi karena sistem reproduksi ibu sudah mengalami penipisan akibat sering melahirkan Hal ini

disebabkan oleh semakin tinggi paritas ibu, kualitas endometrium akan semakin menurun.

Kehamilan yang berulang-ulang akan mempengaruhi sirkulasi nutrisi ke janin dimana jumlah

nutrisi akan berkurang dibandingkan dengan kehamilan sebelumnya (Mahayana et al., 2015 :

669).

Menurut Samuel S Gidding dalam Amirudin & Hasmi (2014:85-86) mekanisme pajanan

asap rokok terhadap kejadian BBLR dan berat plasenta dengan beberapa mekanisme yaitu

kandungan tembakau seperti nikotin, CO dan polysiklik hydrokarbon, diketahui dapat menembus

plasenta. Carbonmonoksida mempunyai afinitas berikatan dengan hemoglobin membentuk

karboksihemoglobin, yang menurunkan kapasitas darah mengangkut oksigen ke janin.

Sedangkan nikotin menyebabkan vasokontriksi arteri umbilikal dan menekan aliran darah

plasenta. Perubahan ini mempengaruhi aliran darah di plasenta. Kombinasi hypoxia


intrauterine dan plasenta yang tidak sempurna mengalirkan darah diyakini menjadi penghambat

pertumbuhan janin.

Faktor yang juga mempengaruhi terjadinya BBLR adalah penyakit pada ibu hamil. Anemia

pada ibu hamil dapat mengakibatkan penurunan suplai oksigen ke jaringan, selain itu juga dapat

merubah struktur vaskularisasi plasenta, hal ini akan mengganggu pertumbuhan janin sehingga

akan memperkuat risiko terjadinya persalinan prematur dan kelahiran bayi dengan berat badan

lahir rendah terutama untuk kadar hemoglobin yang rendah mulai dari trimester awal

kehamilan (Cunningham, et al., 2010). Selain anemia, implantasi plasenta abnormal seperti

plasenta previa berakibat terbatasnya ruang plasenta untuk tumbuh, sehingga akan

mempengaruhi luas permukaannya. Pada keadaan ini lepasnya tepi plasenta disertai perdarahan

dan terbentuknya jaringan parut sering terjadi, sehingga meningkatkan risiko untuk terjadi

perdarahan antepartum (Prawirohardjo, 2008). Apabila perdarahan banyak dan kehamilan tidak

dapat dipertahankan, maka terminasi kehamilan harus dilakukan pada usia gestasi berapapun.

Hal ini menyebabkan tingginya kejadian prematuritas yang memiliki berat badan lahir rendah

disertai mortalitas dan morbiditas yang tinggi.

Menurut Wiknjosastro dalam Masitoh, et al. (2014 : 132) pre eklamsi ringan jarang sekali

menyebabkan kematian dan bila tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan yang menetap pada

sistem syaraf, pembuluh darah atau ginjal dari ibu sehingga terjadi keterbelakangan pada janin

karena kurangnya aliran darah melalui plasenta atau kurangnya oksigen pada janin yang

menyebabkan BBLR.

Keadaan sosial ekonomi secara tidak langsung mempengaruhi kejadian BBLR, karena

pada umumnya ibu dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah akan mempunyai intake makan
yang lebih rendah baik secara kualitas maupun secra kuantitas, yang berakibat kepada rendahnya

status gizi pada ibu hamil (Amalia, 2011 : 258).

Selain itu, gangguan psikologis selama kehamilan berhubungan dengan terjadinya

peningkatan indeks resistensi arteri uterina. Hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan

konsentrasi noradrenalin dalam plasma, sehingga aliran darah ke uterus menurun dan uterus

sangat sensitif terhadap noradrenalin sehingga menimbulkan efek vasokonstriksi. Mekanisme

inilah yang mengakibatkan terhambatnya proses pertumbuhan dan perkembangan janin intra

uterin sehingga terjadi BBLR (Hapisah, et al., 2010 : 86-87).

Menurut Maryanti et al. (2012:169) penyebab BBLR dapat dipengaruhi dari faktor janin

berupa hidramnion atau polihidramnion, kehamilan ganda, dan kelainan koromosom.

Hidramnion merupakan kehamilan dengan jumlah air ketuban lebih dari 2 liter. Produksi air

ketuban berlebih dapat merangsang persalinan sebelum kehamilan 28 minggu, sehingga dapat

menyebabkan kelahiran prematur dan dapat meningkatkan kejadian BBLR. Pada kehamilan

ganda berat badan kedua janin pada kehamilan tidak sama, dapat berbeda 50-1000 gram, hal ini

terjadi karena pembagian darah pada plasenta untuk kedua janin tidak sama. Pada kehamilan

kembar distensi (peregangan) uterus berlebihan, sehingga melewati batas toleransi dan sering

terjadi persalinan prematur (Amirudin & Hasmi, 2014 : 110-111). Menurut Saifuddin dalam

Amirudin & Hasmi (2013 : 111-112) kelainan kongenital atau cacat bawaan merupakan

kelaianan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur.

Bayi yang lahir dengan kelainan kongenital, umumnya akan dilahirkan sebagai BBLR atau bayi

kecil.

Pada BBLR ditemukan tanda dan gejala berupa disproporsi berat badan dibandingkan

dengan panjang dan lingkar kepala, kulit kering pecah-pecah dan terkelupas serta tidak adanya
jaringan subkutan (Mitayani, 2013 : 176). Karena suplai lemak subkutan terbatas dan area

permukaan kulit yang besar dengan berat badan menyebabkan bayi mudah menghantarkan panas

pada lingkungan (Sondakh, 2013 : 152). Sehingga bayi dengan BBLR dengan cepat akan

kehilangan panas badan dan menjadi hipotermia (Maryanti, 2012 : 171). Selain itu tipisnya

lemak subkutan menyebabkan struktur kulit belum matang dan rapuh. Sensitivitas kulit yang

akan memudahkan terjadinya kerusakan integritas kulit, terutama pada daerah yang sering

tertekan dalam waktu yang lama (Pantiawati, 2010 : 28). Pada bayi prematuritas juga mudah

sekali terkena infeksi, karena daya tahan tubuh yang masih lemah, kemampuan leukosit masih

kurang dan pembentukan antibodi belum sempurna (Maryanti, 2012 : 172).

Kesukaran pada pernafasan bayi prematur dapat disebabakan belum sempurnanya

pembentukan membran hialin surfaktan paru yang merupakan suatu zat yang dapat menurunkan

tegangan dinding alveoli paru. Defisiensi surfaktan menyebabkan gangguan kemampuan paru

untuk mempertahankan stabilitasnya, alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi

sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negative intratoraks yang lebih besar

yang disertai usaha inspirasi yang kuat. Hal tersebut menyebakan ketidakefektifan pola

nafas (Pantiawati, 2010 : 24-25).

Alat pencernaan bayi BBLR masih belum sempurna, lambung kecil, enzim pencernaan

belum matang (Maryanti et al., 2012 : 171). Selain itu jaringan lemak subkutan yang tipis

menyebabkan cadangan energi berkurang yang menyebabkan malnutrisi dan hipoglikemi. Akibat

fungsi organ-organ belum baik terutama pada otak dapat menyebabkan imaturitas pada sentrum-

sentrum vital yang menyebabkan reflek menelan belum sempurna dan reflek menghisap lemah.

Hal ini menyebabkan diskontinuitas pemberian ASI (Nurarif & Kusuma, 2015 54-55).

5. Gambaran Klinis
Menurut Maryanti, et al. (2012 : 167-168) gambaran klinis dari BBLR menurut

klasifikasinya adalah :

a. Prematuritas murni

1) Berat badan kurang dari 2500 gram

2) Panjang badan kurang dari 45 cm

3) Lingkar kepala kurang dari 33 cm

4) Lingkar dada kurang dari 33 cm

5) Masa gestasi kurang dari 37 minggu

6) Kulit transparan

7) Kepala lebih besar daripada badan

8) Lanugo banyak terutama pada dahi, pelipis, telinga, dan lengan

9) Lemak subkutan kurang

10) Ubun-ubun dan sutura lebar

11) Labio minora belum tertutup pleh labia mayora (pada wanita), pada laki-laki testis belum turun

12) Tulang rawan dan daun telinga imatur

13) Bayi kecil

14) Posisi masih fetal

15) Pergerakan lemah dan kurang

16) Tangisan lemah

17) Pernafasan belum teratur dan sering mengalami serangan apnea

18) Reflex tonus leher lemah, reflek menghisap dan menelan serta reflex batuk belum sempurna

b. Dismatur

1) Kulit terselubung verniks kaseosa tipis atau tidak ada


2) Kulit pucat atau bernoda mekonium

3) Kering keriput tipis

4) Jaringan lemak di bawah kulit tipis

5) Bayi tampak gesit, aktif dan kuat

6) Tali pusat berwarna kuning kehijauan. Hal ini disebabkan oleh mekonium yang tercampur dalam

amnion yang kemudian mengendap ke dalam kulit, umbilikus dan plasenta sebagai akibat

anoksia intrauterin.

6. Komplikasi

Menurut Deslidel et al. (2011 : 108) komplikasi BBLR bergantung pada klasifikasi BBLR,

yaitu :

a. BBLR prematur atau kurang bulan

1) Sindrom gangguan pernafasan ideopatik (penyakit membran hialin)

2) Pnemonia aspirasi karena refkek menelan dan batuk belum sempurna, bayi belum dapat

menyusu

3) Perdarahan periventrikuler dan perdarahan intraventrikuler (P/IVH) otak lateral akibat anoksia

otak (erat kaitannya dengan gangguan pernafasan)

4) Hipotermia karena sumber panas bayi prematur baik lemak subkutan yang masih sedikit

maupun brown fat belum terbentuk.

Beberapa ciri jika seorang bayi terkena hipotermi antara lain :

a) Bayi menggigil (walau biasanya ciri ini tidak mudah terlihat pada bayi kecil).

b) Kulit anak terlihat belang-belang, merah bercampur putih atau timbul bercak-bercak.

c) Anak terlihat apatis atau diam saja.

d) Gerakan bayi kurang dari normal.


e) Lebih parah lagi jika anak menjadi biru yang bisa dilihat pada bibir dan ujung-ujung jarinya.

(Walyani, 2015 : 161).

5) Hiperbilirubinemia karena fungsi hati belum matang

b. BBLR tidak sesuai usia kehamilan atau dimatur

1) Sindrom aspirasi mekonium

2) Hiperbilirubinemia

3) Hipoglikemia

4) Hipotermia

7. Penatalaksanaan Medis

Menurut Amirudin, et al. (2014 : 142-143) ketika seorang ibu melahirkan bayi BBLR berikut

langkah-langkah penangannya :

a. Mempertahkan suhu dengan ketat

Menurut (Maryanti et al., 2012) bayi BBL dengan cepat akan kehilangan panas badan dan

menjadi hopitermia, karena pusat pengaturan panas badan belum berfunsi dengan baik,

metabolismenya rendah dan permukaan badan relatif luas oleh karena itu bayi BBLR harus

dirawat dalam inkubator sehingga panas badannya mendekati dalam rahim.

Selain itu mempertahankan suhu tubuh bayi BBL dan penangannya jika lahir di puskesmas atau

petugas kesehatan adaah sebagai berikut (Amirudin & Hasmi, 2014 : 142) :

1) Keringkan bayi BBLR dengan handuk hangat

2) Kain yang basah secepatnya diganti dengan yang kering dan hangat dan pertahankan tubuhnya

tetap hangat

3) Beri lampu 60 watt dengan jarak minimal 60 cm dari bayi

4) Beri oksigen
5) Tali pusat dalam keadaan bersih

b. Mencegah infeksi dengan ketat

Bayi BBLR mudah sekali terkena infeksi, karena daya tahan tubuh yang masih lemah, leukosit

masih kurang dan pembentukan atibodi belum sempurna (Maryanti et al., 2012 : 172). Maka

prinsip-prinsip pencegahan infeksi termasuk mencuci tangan sebelum memegang bayi sangat

perlu dilakukan (Amirudin & Hasmi, 2014 : 142).

c. Pengawasan nutrisi (ASI)

Reflek menelan bayi BBRL masih belum sempurna dan sangat lemah, sehingga pemberian

nutrisi harus dilakukan dengan cernat. Sebagai langkah awal jika bayi dapat menelan adalah

tetesi ASI dan jika bayi BBLR belum bisa menelan segera dirujuk (rujuk ke rumah sakit jika bayi

BBLRnya ditangani di puskesmas).

Selain itu pencernaan bayi BBLR masih belum sempurna, lambung kecil, enzim pencernaan

belum matang, sedangkan kebutuhan protein 3-5 gr/kgBB dan kalori 110 kal/kgBB sehingga

tumbuhnya dapat meningkat. Pemberian minum bayi sekitar 3 jam setelah lahir dan didahului

dengan menghisap cairan lambung. Reflek menghisap masih lemah, sehingga pemberian minum

sebaiknya sedikit demi sedikit, tetapi frekuensi yang lebih sering. Permulaan cairan diberikan

sekitar 50-60 cc/kgBB/hari dan terus dinaikkan sampai mencapai sekitar 200

cc/kgBB/hari (Maryanti et al., 2012 : 171). Perhatikan selama pemberian minum bayi menjadi

cepat lelah, menjadi biru aatu perut membesar atau kembung (Amirudin & Hasmi, 2014 : 143).

d. Pemberian oksigen

Ekpansi paru yang buruk merupakan masalah yang serius bagi bayi preterm BBLR, akibat tidak

adanya alveoli dan surfaktan. Konsentrasi O2 yang diberikan sekitar 30-35 % dengan

menggunakan head box, konsentrasi O2 yang tinggi dalam masa yang panjang dapat
menimbulkan kebutaan. Oksigen yang diberikan pada payi prematur tidak boleh lebih dari 40 %,

hal ini dapat dicapai dengan memberikan oksigen dengan kecepatan 2 liter

permenit (Proverawati & Sulistyorini, 2010).

e. Penimbangan ketat

Perubahan berat badan mencerminkan kondisi gizi atau nutrisi bayi dan erat kaitannya dengan

daya tahan tubuh, oleh sebab itu penimbangan berat badan harus dilakukan dengan

ketat (Amirudin, et al., 2014 : 142-143).

f. Medikamentosa

Pemberian vitamin K1

1) Injeksi 1 mg IM sekali pemberian, atau

2) Peroral 2 mg sekali pemberian atau 1 mg 3 kali pemberian (saat lahir, umur 3-10 hari, dan umur

4-6 minggu)

(Pantiawati, 2010 : 55).

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada bayi dengan BBLR adalah sebagai

berikut :

a. Jumlah darah lengkap untuk menunjukkan adanya penurunan Hb/Ht yang dihubungkan dengn

anemia atau ehilangan darah.

b. Dekstrosik bertujuan untuk menyatakan hipoglikemi.

c. Analisa gas darah untuk menentukan derajat keparahan distres pernafasan bila ada.

d. Elektrolit serum untuk mengkaji adanya hipokalsemia.

e. Bilirubin mungkin meningkat pada polisitemia.

f. Urinalisa untuk mengkaji homeostasis.

g. EKG, EEG, USG, dan angiografi untuk mengetahui defek konginetal dan komplikasi.
(Mitayani, 2013 : 176-177).

B. Konsep Kebutuhan Termoregulasi

1. Kebutuhan Pengaturan Suhu Tubuh

Suhu tubuh adalah perbedaan antara jumlah panas yang dihasilkan tubuh dengan jumlah

panas yang hilang ke lingkungan luar (Potter & Perry, 2010 : 163).

Suhu tubuh relatif konstan. Hal ini diperlukan untuk sel-sel tubuh agar dapat berfungsi

secara efektif. Suhu tubuh dapat diartikan sebagai keseimbangan antara panas yang diproduksi

dengan panas yang hilang dari tubuh. Kulit merupakan organ yang bertanggunga jawab untuk

memelihara suhu tubuh agar tetap normal dengan mekanisme tertentu (Asmadi, 2008 : 154).

Mekanisme fisiologis dan perilaku mengatur keseimbangan antara panas yang hilang dan

dihasilkan, atau lebih sering disebut sebagai termoregulasi. Mekanisme tubuh harus

mempertahankan hubungan antara produksi panas dan kehilangan panas agar suhu tubuh tetap

kostan dan normal (Potter & Perry, 2010 : 164).

Menurut Atoilah & Kusnadi (2013 : 157) suhu tubuh terdiri dari dua macam, yaitu :

a. Suhu inti yaitu suhu di jaringan tubuh bagian dalam yang relatif konstan 37 oC ± 1 oF (± 0,6 oC)

keculai bila orang menderita demam.


b. Suhu permukaan yaitu suhu dipermukaan tubuh. Naik turun suhu lingkungan akan memengaruhi
suhu permukaan tubuh.

Mekanisme pengaturan suhu tubuh pada bayi baru lahir belum berfungsi sempurna, untuk

itu perlu dilakukan upaya pencegahan kehilangan panas dari tubuh bayi karena bayi berisiko

mengalami hipotermia. Bayi dengan hipotermia sangat rentan terhadap kesakitan dan

kematian (Indrayani & Djami, 2013 : 318).

Mekanisme kelhilangan panas pada bayi adalah sebagai berikut (Syafrudin & Hamida,

2009) :
a. Radiasi, yaitu panas tubuh bayi memancar ke lingkungan sekitar bayi yang lebih dingin.

Misalnya, bayi baru lahir diletakkan ditempat yang dingin.

b. Evaporasi, yaitu perpindahan panas dengan cara merubah cairan menjadi uap, yang dipengaruhi

oleh jumlah panas yang dipakai, tingkat kelembabpan udara, aliran udara yang

melewati (Indrayani & Djami, 2013 : 317). Contohnya bayi lahir tidak langsung dikeringkan dari

air ketuban.

c. Konduksi, yaitu pindahnya panas tubuh bayi karena kulit bayi langsung kontak dengan

permukaan yang lebih dingin. Misalnya, popok atau celana bayi basah yang tidak langsung

diganti.

d. Konveksi, yaitu hilangnya panas tubuh bayi karena aliran udara sekeliling bayi. Misalnya, bayi

diletakkan dekat pintu atau jendela terbuka.

Menurut Potter & Perry (2010 : 167) Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu tubuh adalah

sebagai berikut :

a. Usia

Pada bayi dan balita belum terjadi kematangan mekanisme pengaturan suhu sehingga dapat

terjadi perubahan suhu sehingga dapat terjadi perubahan suhu tubuh yang drastis terhadap

lingkungan.

b. Olahraga

Aktivitas otot membutuhkan lebih banyak darah serta peningkatan pemecahan karbohidrat dan

lemak. Berbagai bentuk olahraga meningkatkan metabolisme dan dapat meninglatkan

metabolisme dan dapat meningkatkan produksi panas sehingga terjadi peningkatan suhu tubuh.

c. Kadar hormon
Umumnya wanita mengalami fluktuasi suhu tubuh yang lebih besar. Hal ini dikarenakan adanya

variasi hormonal saat siklus menstruasi. Kadar progesteron naik dan turun sesuai siklus

menstruasi. Saat progesteron rendah, suhu tubuh berada dibawah suhu dasar yaitu sekitar

1/10nya. Suhu ini bertahan sampai terjadi ovulasi. Perubahan suhu tubuh juga terjadi pada

wanita saat menopouse.

d. Irama sikardian

Suhu tubuh yang normal berubah 0,5-1 oC selama periode 24 jam. Suhu terendah berada diantara

pukul 1 sampai 4 pagi. Pada siang hari suhu tubuh meningkat dan mencapai maksimum pada

pukul 6 sore, lalu menurun kembali sampai pagi hari.

e. Stres

Stres fisik maupun emosional meningatkan suhu tubuh melalui stimulasi hormonal dan syaraf.

Perubahan fisiologis ini menyebabkan metabolisme, yang akan meningkatkan produksi panas.

f. Lingkungan

Tanpa mekanisme kompensasi yang tetap, suhu tubuh manusia akan berubah mengikuti suhu

lingkungan. Suhu lingkungan lebih mempengaruhi anak-anak dan dewasa tua karena mekanisme

regulasi suhu mereka yang kurang efisien.

g. Perubahan suhu

Perubahan suhu tubuh di luar kisaran normal akan mempengaruhi titik pengaturan hipotalamus.

Perubahan ini berhubungan dengan produksi panas berlebihan, kehilangan panas berlebihan,

produksi panas minimal, kehilangan panas minimal, atau kombinasi hal di atas.

2. Fisiologi Pertahanan Suhu Tubuh


Tubuh secara normal mempertahankan keseimbangan antara produksi dan penghilangan

suhu melalui sistem pengendali suhu. Ada beberapa faktor yang berperan dalam

mempertahankan suhu tubuh menurut Muttaqin (2012 : 37), yaitu :

a. Hipotalamus bekerja sebagai sebuah termostat, merasakan perubahan minor suhu tubuh dan

mengaktifkan penghilangan atau produksi panas untuk mempertahankan suhu inti tubuh tetap

dalam kisaran fisiologis yang aman.

b. Pengaturan perilaku melibatkan kerja volunter, mempertebal pakaian, bergerak ke tempat yang

lebih dingin atau yang lebih hangat untuk mempertahankan suhu tubuh yang nyaman.

c. Peran kulit dalam pengaturan panas meliputi sebagai penyekat tubuh, vasokontriksi (yang

memengaruhi aliran darah dan hilangnya panas ke kulit), dan sensai tubuh. Suhu berpindah dari

darah melalui dinding pembuluh kepermukaan kulit dan hilang ke lingkungan sekitar melalui

mekanisme penghilangan panas. Bila suhu tubuh rendah, pembuluh darah konstriksi. Saat suhu

tinggi, hipotalamus menghambat vasokontriksi dan pembuluh dilatasi. Saat kulit menjadi dingin,

sensori megirim informasi ke hipotalamus, yang mengakibatkan menggigil, mengahambat

keringat, dan vasokonstriksi.

Termoregulasi bergantung pada fungsi normal dari proses produksi panas. Panas yang

dihasilkan tubuh adalah hasil sampingan metabolisme, yaitu reaksi kimia dalam seluruh sel

tubuh. Makanan merupakan sember utama bahan bakar untuk metabolisme. Aktivitas yang

membutuhkan reaksi kimia tambahan akan meningkatkan laju metabolik, yang juga akan

menambah produksi panas (Potter & Perry, 2010 : 164).

Sumber termoregulasi yang digunakan bayi baru lahir adalah dengan penggunaan lemak

coklat, lemak coklat berada di daerah interskapula, di sekitar leher, aksila, sekitar masuk thorak,

disepanjang kolumna vertebralis dan sekitar ginjal. Panas yang dihasilkan dari aktivitas lipid
dalam bentuk lemak coklat dapat menghangatkan bayi baru lahir dengan meningkatkan produksi

panas hingga 100%. Cadangan lemak coklat lebih banyak terdapat pada bayi baru lahir cukup

bulan di banding dengan bayi lahir prematur (Maryanti et al., 2012 : 11).

3. Hipotermi

Menurut Syafrudin & Hamida (2009 : 141) hipotermia terjadi jika suhu tubuh di bawah

36,5 oC (suhu normal pada neonatus adalah 36,5-37,5 oC) pada pengukuran suhu melalui ketiak.

Bayi baru lahir mudah sekali terkenan hipotermia. Hal ini disebabkan oleh hal-hal berikut :

a. Pusat pengaturan suhu tubuh pada bayi belum berfungsi dngan sempurna

b. Permukaan tubuh bayi relatif luas

c. Tubuh bayi terlalu kecil untuk memproduksi dan menyimpan panas

d. Bayi belum mampu mengatur posisi tubuh dan pakaiannya agar ia tidak kedinginan

Hipotermi diklasifikasikan menjadi hipotermi ringan, hipotermi sedang, dan hipotermi

berat, yang akan dijelaskan pada tabel berikut :


Tabel 2.1 Klasifikasi Hipotermi
Hipotermi ringan Hipotermi sedang Hipotermi berat
o
>34 C 30-34 oC <30 oC
Masih menggigil Rigiditas otot “Tampak meninggal”
atau koma
Takikardi Diuresis dingin Pupil berdilatasi dan
tidak responsif
Vasokontriksi perifer Penurunan kesadaran Henti nafas dan
progesif hingga koma fibrilasi ventrikel
Ataksia, gangguan Tanda vital sulit untuk Penghangatan aktif
berbicara, gangguan dideteksi hingga mencapai suhu
pengambilan 30 oC : lavase
keputusan, atau menghasilkan suhu
o
perlambatan mental. 3 C, sementara
ECMO menghasilkan
suhu 9 oC/jam
Obati dengan EKG : gelombang J
penghangatan pasif atau osbourne pada
sadapan inferolateral
Selimut hangat Mikardium resisten
terhadap defibrilasi dan
pengobatan pada suhu
<30 oC

Sumber : (Lalani, 2011 : 131)

Jika suhu tubuh turun dibawah 34,4oC, terjadi penurunan denyut jantung, frekuensi nafas,

dan tekanan darah. Kulit menjadi sianotik. Jika hipotermia terus berlanjut, pasien mengalami

disritmia jantung, kehilangan kesadaran, dan tidak responsif terhadap nyeri (Potter & Perry,

2010).

C. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Biodata

Berat badan bayi biasanya kurang dari 2500 gram serta umur kehamilan biasanya antara 24

sampai 37 minggu (Pantiawati, 2010 : 28-29). Angka kejadian tertinggi BBLR adalah pada usia

ibu dibawah 20 tahun khususnya pada multigravida dengan jarak kehamilan yang terlalu dekat,

dan pada keluarga dengan ekonomi rendah (Masitoh et al., 2014 : 151).

b. Keluhan utama

Bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram (Mitayani, 2013 : 175).

c. Riwayat kesehatan

1) Riwayat penyakit sekarang

pada riwayat penyakit sekarang ditemukan umur kehamilan biasanya antara 24 sampai 37

minggu, rendahnya berat badan pada saat kelahiran, berat biasanya kurang dari 2500 gram,

kurus, lapisan lemak subkutan sedikit atau tidak ada, kepala relative lebih besar dibandingkan

badan, 3 cm lebih besar dibandingkan lebar dada, kelainan fisik mungkin terlihat, nilai APGAR

pada 1 sampai 5 menit, 0 sampai 3 menunjukkan kegawatan yang parah, 4 sampai 6 kegawatan

yang sedang, dan 7 sampai 10 normal (Pantiawati, 2010 : 29).


2) Riwayat penyakit dahulu

Ibu dengan riwayat melahirkan BBLR pada partus sebelumnya mempunyai kemungkinan untuk

melahirkan anak berikutnya dengan BBLR (Amirudin & Hasmi, 2014).

d. Riwayat kehamilan dan persalinan

1) Riwayat prenatal

Pada umumnya ibu hamil dengan pemeriksaan ANC < 4 kali berisiko bayi lahir dengan

BBLR (Amalia, 2011 : 258).

2) Riwayat natal

Umur kehamilan biasanya antara 24 sampai 37 minggu, berat biasanya kurang dari 2500 gram,

nilai APGAR pada 1 sampai 5 menit, 0 sampai 3 menunnjukkan kegawatan yang parah, 4 sampai

6 kegawatan yang sedang, dan 7 sampai 10 normal (Pantiawati, 2010 : 29).

3) Riwayat post natal

Pada bayi BBLR, biasanya bayi pergerakannya lemah dan kurang, tangisan lemah, pernafasan

belum teratur dan sering mengalami serangan apnea, reflek tonus leher lemah, reflek menghisap

dan menelan serta reflek batuk belum sempurna, dan tali pusat berwarna kuning

kehijauan (Maryanti, et al., 2012 : 167-168).

e. Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum

Bayi BBLR memiliki berat kurang dari 2500 gram, panjang badan kurang dari 45 cm, pernafasan

belum teratur dan sering mengalami serangan apnea, dan bayi BBLR mudah mengalami

hipotermia (Maryanti et al., 2012 : 174-175).

Penilaian keadaan umum bayi berdasarkan nilai APGAR


Tabel 2.2 Apgar Skor
APGAR 0 1 2
Appearance (Warna Pucat Badan merah, Seluruh tubuh
kulit) ekstremitas biru kemeraha-
merahan
Pulse Rate Tidak ada < 100 >100
(Frekuensi nadi)
Grimace (Reaksi Tidak ada Sedikit gerakan Batuk atau
rangsang) mimik bersin
(grimace)
Activity Tidak ada Ekstremitas Gerakan aktif
(Tonus otot) dalam sedikit
fleksi
Respiration (Pernafasan) Tidak ada Lemah atau Baik atau
tidak teratur menangis

Sumber : (Sondakh, 2013 : 158)

Keterangan :

Nilai 7-10 : Kondisi baik

Nilai 4-6 : Depresi pernafasan sedang

Nilai 0-3 : Depresi pernafasan berat


Tabel 2.3 Penilaian Balard Score (Aspek Kematangan fisik)
SCORE
SIGN
-1 0 1 2 3 4 5 TOTA
superficial parchment, (NEURO
gelatinous, smooth cracking, leathery,
Sticky, friable, peeling &/or deep PH
Skin red, pink, visible pale areas, cracked,
transparent rash, few cracking, no
translucent veins rare veins wrinkled
veins vessels

Lanugo none sparse abundant thinning bald areas mostly bald

heel-toe anterior
Plantar >50 mm faint red creases ant. creases over
40-50mm: -1 transverse
Surface no crease marks 2/3 entire sole
<40mm: -2 crease only
raised
stippled full areola
barely flat areola areola
Breast imperceptable areola 5-10 mm
perceptable no bud 3-4 mm
1-2 mm bud bud
bud
well-curved formed &
lids fused lids open sl. curved thick
pinna; soft firm
Eye / Ear loosely: -1 pinna flat pinna; soft; cartilage
but ready instant
tightly: -2 stays folded slow recoil ear stiff
recoil recoil
scrotum testes in testes testes testes
Genitals scrotum flat,
empty, upper canal, descending, down, pendulous,
(Male) smooth
faint rugae rare rugae few rugae good rugae deep rugae

Sumber
: (Ballard prominent prominent majora & majora majora
JL, clitoris
clitoris & clitoris & minora large, cover
Khoury prominent &
small labia enlarging equally minora clitoris &
JC, labia flat
minora minora prominent small minora
Wedig K,
1991)
Tabel 2.4 Penilaian Balard Score (Aspek Kematangan Neuromuskuler)
SCORE
SIGN
-1 0 1 2 3 4 5
Posture
Square
Windo
w
Arm
Recoil
Poplitea
l Angle
Scarf
Sign
Heel To
Ear
Sumber : (Ballard JL, Khoury JC, Wedig K, 1991)

2) Pemeriksaan fisik (Head to Toe)

Kepala dan Leher

Inspeksi : Lingkar kepala kurang dari 33 cm, kepala lebih besar

daripada badan, dan tulang rawan dan daun telinga imatur (Maryanti et al., 2012 : 167-168),

batang hidung cekung, hidung pendek mencuat, bibir atas tipis, dan dagu maju, serta pelebaran

tampilan mata (Mitayani, 2013 : 176).

Palpasi : Ubun-ubun dan sutura lebar (Maryanti et al., 2012 : 167-

168). Adanya penonjolan tulang karena ketidakadekuatan pertumbuhan tulang, dan dahi

menonjol (Mitayani, 2013 : 176). Lingkar kepala kurang dari 33 cm (Maryunani & Puspita, 2013

: 317).

Dada

a) Paru-paru

Inspeksi : Jumlah pernafasan rata-rata antara 40-60 per menit


diselingi dengan periode apnea, pernafasan tidak teratu, dengan flaring nasal melebar, adanya

retraksi (intercostal, suprasternal, substernal) (Pantiawati, 2010 : 31).

Palpasi : Lingkar dada kurang dari 30 cm (Maryunani &

Puspita, 2013 : 317).

Auskultasi : Terdengar suara gemerisik dan dengkuran.

b) Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tampak.

Palpasi : Tulang rusuk lunak, ictus cordis teraba di ICS 4-5.

Auskultasi : Denyut jantung rata-rata 120-160 per menit pada

bagian apikal dengan ritme teratur pada saat kelahiran, kebisingan jantung terdengar pada

seperempat bagian interkostal (Pantiawati, 2010 : 29-30).

Abdomen

Inspeksi : Penonjolan abdomen, tali pusat berwarna kuning

kehijauan (Maryanti, et al., 2012 : 167).

Auskultasi : Peristaltik usus peristaltik dapat dimulai 6-12 jam setelah

kelahiran.

Genetalia

Inspeksi : Pada bayi perempuan ditemukan klitoris yang menonjol

dengan labia mayora yang belum berkembang, sedangkan pada bayi laki-laki skrotum belum

berkembang sempurna dengan ruga yang kecil, dan testis tidak turun ke dalam

skrotum (Pantiawati, 2010 : 31).

Anus
Inspeksi : Pengeluaran mekonium biasanya terjadi dalam

waktu 12 jam, terdapat anus (Maryanti, et al., 2012 : 167).

Ektremitas

Inspeksi : Tonus otot dapat tampak kencang dengan fleksi

ekstremitas bawah dan atas serta keterbatasan gerak, penurunan masaa otot, khususunya pada

pipi, bokong dan paha (Mitayani, 2013 : 176).

Palpasi : Tulang tengkorak lunak

Kulit (intergumen)

Inspeksi : Kulit berwarna merah muda atau merah, kekuning-

kuningan, sedikit venik kaseosa dengan lanugo disekujur tubuh, kulit tampak transparan, halus

dan mengkilap, kuku pendek belum melewati ujung jari (Pantiawati, 2010 : 30).

3) Pemeriksaan neurologis

a) Refleks rooting dan menghisap

Respon bayi dalam menolehkan kepala ke arah stimulus lemah, membuka mulut membuka

mulut, dan mulai menhisap lemah (Sondakh, 2013 : 154).

b) Menelan

Terjadi muntah, batuk atau regurgitasi cairan (Sondakh, 2013 : 154).

c) Ekstrusi

Ekstrusi lidah secara kontinue atau menjulurkan lidah yang berulang-ulang terjadi pada kelainan

SSP dan kejang (Sondakh, 2013 : 154).

d) Moro

Respon asimetris pada pemeriksaan reflek moro (Sondakh, 2013 : 154), fleksi ekstremitas bawah

dan atas serta keterbatasan gerak (Mitayani, 2013 : 176).


e) Tonik leher atau fencing

Reflex tonus leher lemah (Maryanti, et al., 2012 : 167).

f) Glabellar “blink”

Terus berkedip dan gagal untuk berkedip menandakan kemungkianan gangguan

neurologis (Sondakh, 2013 : 155).

g) Palmar grasp

Pada bayi normal jari bayi akan melekuk di sekeliling benda dan menggegamnya seketika bila

jari diletakkan di tangan bayi, namun pada bayi dengan BBLR respon ini berkurang (Sondakh,

2013 : 155).

h) Plantar grasp

Pada bayi normal jari bayi akan melekuk di sekeliling benda dan menggegamnya seketika bila

jari diletakkan ditelapak kaki bayi, namun pada bayi BBLR respon ini berkurang (Sondakh, 2013

: 155).

i) Tanda babinski

Jari-jari kaki akan hiperektensi dan terpisah seperti kipas dari dorsofleksi ibu jari kaki bila satu

sisi kaki di gosok dari tumit ke atas melintasi bantalan kaki pada respon normal bayi, namun

pada defisit SSP tidak ada respon yang terjadi pada pemeriksaan tanda babinski (Sondakh, 2013 :

155).

4) Pemeriksaan penunjang

a) Jumlah sel darah putih 18.000/mm3, neutrofil meningkat sampai 23.000-24.000/mm3, hari

pertama setelah lahir (menurun bila ada sepsis).

b) Hematokrit (Ht) 43% - 61% (peningkatan lebih dari 65% atau lebih menandakan polisitemia,

penurunan kadar menunjukkan anemia atau hemoragic prenatal atau perinatal.


c) Hemoglobin (Hb) 15 – 20 g/dl

d) Bilirubin total 6 mg/dl pada hari pertama kehidupan, 8 mg/dl 1-2 hari, dan 12 mg/dl pada 3-5

hari.

e) Destrosix tetes glukosa pertama selama 4-6 jam pertama setelah kelahiran rata-rata 40-50 mg/dl

meningkat 60-70 mg/dl pada hari ketiga.

f) Pemantauan elektrolit (Na, K, Cl) biasanya dalam batas normal pada awalnya.

(Maryanti et al., 2012 : 172-173).

2. Diagnosa Keperawatan

a. Ketidakefektifan termoregulasi : hipotermi b.d disproporsi berat badan dibandingkan dengan

panjang dan lingkar kepala, kulit kering pecah-pecah dan terkelupas serta tidak adanya jaringan

subkutan.

b. Ketidakefektifan pola nafas b.d belum sempurnanya pembentukan membran hialin surfaktan

paru.

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan simpanan nutrisi,

imaturitas simpanan enzim, reflek menelan dan menghisap lemah, otot abdominal lemah.

d. Diskontinuitas pemberian ASI b.d reflek menelan dan menghisap lemah, dan prematuritas.

e. Risiko infeksi b.d pertahanan imunologis tidak adekuat.

f. Ikterus neonatus b.d bilirubin tak terkonjugasi dalam sirkulasi.

g. Risiko kerusakan integritas kulit b.d kulit kering pecah-pecah dan terkelupas serta tidak adanya

jaringan subkutan.
3. Rencana Tindakan Keperawatan

a. Ketidakseimbangan termoregulasi : hipotermi b.d disproporsi berat badan dibandingkan dengan

panjang dan lingkar kepala, kulit kering pecah-pecah dan terkelupas serta tidak adanya jaringan

subkutan.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x

24 jam termoregulasi menjadi efektif sesuai perkembangannya.

Kriteria hasil :

1) Mempertahankan suhu kulit atau aksila (35-37,3 oC)

2) Bebas rasa dingin

Intervensi :

1) Kaji suhu dengan memeriksa suhu rektal pada awalnya, selanjutnya periksa suhu aksila atau

gunakan alat termostat dengan dasar terbuka dan penyebar hangat.

Rasional : Hipotermia membuat bayi bayi cenderung merasa stres

karena dingin, penggunaan simpanan lemak tidak dapat diperbahasrui bila ada dan penurunan

sensitivitas untuk meningkatkan kadar CO2 ataupenurunan kadar O2.

2) Kaji haluaran dan berat jenis urine.

Rasional : Penurunan keluaran dan peningkatan berat jenis urine

berhubungan dengan penurunan perfusi ginjal selama periode sttres karena rasa dingin.

3) Observasi perkembangan takikardi, warna kemerahan, diaforesis, apnea, atau aktivitas kejang.

Rasional : Tanda-tanda hipertemia ini dapat berlanjut pada kerusakan

otak bila tidak teratasi.

4) Tempatkan bayi pada inkubator atau dalam keadaan hangat dengan KMC.

Rasional : Stres dingin meningkatkan kebutuhan terhadap gula


glukosa dan osigen serta dapat mengakibatkan masalah asam basa bila bayi mengalami

metabolisme anaerobik bila kadar oksigen yang cukup tidak tersedia. Peningkatan bilirubin

indirek dapat terjadi karena pelepasan asam lemak dari metabolisme lemak coklat dengan asam

lemak bersaing dengan bilirubin pada bagian ikatan di albumin.

5) Kolaborasi dengan dokter pemberian obat-obatan sesuai indikasi (natrium bikarbonat)

Rasional : Natrium bikarbonat dapat memperbaiki asidosis yang

dapat terjadi pada hipotermia dan hipertermia.

b. Ketidakefektifan pola nafas b.d belum sempurnanya pembentukan membran hialin surfaktan

paru.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x

24 jam pola nafas kembali efektif.

Kriteria hasil :

1) Neonatus akan mempertahankan pola nafas

2) RR dalam batas normal (30-60 x/menit)

3) Tidak ada penggunaan oto bantu pernafasn, tidak ada pernafasan cuping hidung.

Intervensi :

1) Kaji frekuensi dan pola pernafasan, perhatikan adanya apnea dan perubahan frekuensi jantung

Rasional : Membantu dalam membedakan periode perputaran

pernafasan normal dari serangan apnetik sejati, terutama sering terjadi pada gestasi minggu ke-

30.

2) Isap jalan nafas sesuai kebutuhan

Rasinal : Menghilangkan mukus yang menyumbat jalan nafas.


3) Posisikan bayi pada abdomen atau posisi terlentang dengan gulungan popok dibawah bahu untuk

menghasilkan hiperekstensi

Rasional : Posisi ini memudahkan perbafasan dan menurunkan

episode apnea, khususunya bila ditemukan adanya hipoksia, asidosis metabolik, atau hiperapnea.

4) Observasi hasil laboratorium sesuai indikasi

Rasional : Hipoksia, asidosis metabolik, hipoglikemi, hipokalsemi,

dan sepsis dapat memperberat serangan apnetik.

5) Kolaborasi dengan dokter pemberian oksigen

Rasional : Perbaikan kadar oksigen dan karbondioksida dapat

meningkatkan fungsi pernafasan.

6) Kolaborasi dengan dokter pemberian natrium bikarbonat dan aminopilin

Rasional : Natrium bikarbonat dapat memperbaiki asidosis,

sedangkan aminopilin dapat meningkatkan aktivitas pusat pernafasan dan menurunkan

sensitivitas terhadap CO2, menurunkan frekuensi apnea.

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan simpanan nutrisi,

imaturitas simpanan enzim, reflek menelan dan menghisap lemah, otot abdominal lemah.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x

24 jam nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhan

Kriteria hasil :

1) Mempertahankan pertumbuhan dan peningkatan berat badan dalam kurva normal dengan

penambahan berat badan tetap.

2) Peningkatan BB sedikitnya 20-30 gram/hari.

Intervensi :
1) Kaji maturitas reflek berkenaan dengan pemberian makan (misalnya menghisap, menelan, dan

batuk).

Rasional : Menentukan metode pemberian makan yang tepat untuk

bayi.

2) Kaji berat badan dengan menimbang berat badan tiap hari.

Rasional : Mengidentiifikasikan adanya risiko derajat dan risiko

terhadap pola pertumbuhan.

3) Auskultasi bising usus dan kaji status fisik.

Rasional : Pemberian makan stabil memiliki peristaltik dapat dimulai

6-12 jam setelah kelahiran.

4) Observasi masukan dan penegluaran. Hitung konsumsi kalori dan elektrolit setiap hari.

Rasional : Memberikan informasi tentang masukan aktual dalam

hubungannya dengan perkiraan kebutuhan untuk digunakan dalam penyesuaian diet.

5) Kaji tingkat hidrasi, perhatikan fontanel, turgor kulit, kondisi membran mukosa, fluktuasi berat

badan.

Rasional : Peningkatan kebutuhan metabolik dari bayi BBLR dapat

meningkatkan kebutuhan cairan.

6) Berikan nutrisi (ASI) dalam jumlah sedikit tetapi sering dengan sendok.

Rasional : Meningkatkan asupan nutrisi yang masuk dan mengurangi

usaha menghisap yang dapat membuat bayi mudah lelah.

7) Kolaborasi dengan dokter pemberian suplemen elektrolit sesuai indikasi misalnya kalsium

glukonat 10 %.

Rasional : Ketidakstabilan metabolik pada bayi BBLR dapat


memerlukan suplemen untuk mempertahankan homeostasis.

d. Diskontinuitas pemberian ASI b.d reflek menelan dan menghisap lemah, dan prematuritas.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x

24 jam diharapkan terjadi pemeliharaan pemberian ASI.

Kriteria hasil :

1) Keberlangsungan pemberian ASI

2) Peningkatan pemahaman ibu tentang laktasi

3) Kemampuan ibu untuk mengumpulkan ASI

4) Bayi mampu menerima pemberian ASI

Intervensi :

1) Kaji keinginan dan motivasi ibu untuk menyusui

Rasional : Identifikasi keadekuatan pemberian ASI

2) Kaji kesiapan bayi untuk transisi ke payudara (obserfasi reflek hisap, rooting dan menelan)

Rasional : Identifikasi kesiapan bayi untuk menyusu ke ibu

3) Observasi BB harian

Rasional : Melihat perkembangan BB bayi

4) Observasi pola BAB

Rasional : Menetahui maturitas pencernaan

5) Anjurkan ibu untuk memerah ASI

Rasional : Agar pemberian ASI adekuat

6) Saat baby show lakukan penyuluhan tentang pemberian ASI

Rasional : Memberikan informasi tentang metode pemberian ASI

pada keluarga
e. Risiko infeksi b.d pertahanan imunologis tidak adekuat.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x

24 jam tidak terjadi infeksi

Kriteria hasil :

1. Memtidak ada tanda-tanda infeksi

2. Leukosit dalam batas normal

Intervensi :

1) Observasi tanda dan gejala infeksi lokal

Rasional : Bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi

2) Observasi TTV tiap 1 – 2 jam

Rasional : Perubahan suhu tubuh menunjukkan respon adanya

Infeksi

3) Jaga kebersihan lingkungan

Rasional : Mencegah kontaminasi silang serta mengontrol infeksi

diruang perawatan

4) Gunakan teknik aseptic (mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan sebelum interaksi

dengan bayi)

Rasional : Mencuci tangan merupakan teknik yang paling penting

untuk mencegah kontaminasi silang serta mengontrol infeksi diruang perawatan

5) Lakukan perawatan tali pusat dengan teknik septik.

Rasional : Mencegah terjadinya infeksi dimana tali pusat sebagai

Port de entry

6) Mandikan atau seka bayi dua kali atau hari.


Rasional : Meningkatkan hygiene bayi dan mencegah kontaminasi

silang

7) Kolaborasi pemberian antibiotik yang sesuai

Rasional : Antibiotik berperan sebagai agen perlawanan infeksi

enterik

f. Ikterus neonatus b.d bilirubin tak terkonjugasi dalam sirkulasi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 2 x 24 jam diharapkan

tidak terjadi kerusakan integritas kulit.

Kriteria hasil :

1) Sensasi, elastisitas, pigmentasi kulit dalam keadaan normal

2) Tidak terjadi lesi pada kulit

3) Perfusi jaringan baik

Intervensi :

1) Jaga kebersihan kulit Agar tetap kering dan bersih

Rasional : Kemerahan pada kulit merupakan tanda-tanda infeksi

2) Cek kadar bilirubin tiap hari

Rasional : Mengetahui status perkembangan pasien menentukan

tidakan selanjunya

3) Anjurkan pada ibu untuk menyusui dengan ASI tiap 2 jam sekali

Rasional : Pemberian ASI atau kolostrum merupakan laksatif alami yang membantu

menurunkan kadar bilirubin.

4) Mobilisasi bayi setiap 2 jam sekali, seperti miring kanan-kiri, telungkup atau terlentang
Rasional : Mencegah terjadinya gangguan pada kulit

5) Kolaborasi dalam pemberian fototerapi

Rasional : Membantu menurunkan bilirubin sehingga dapat

menghilangkan warna kuning pada tubuh bayi

g. Risiko kerusakan integritas kulit b.d kulit kering pecah-pecah dan terkelupas serta tidak adanya

jaringan subkutan.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam diharapkan

tidak terjadi kerusakan integritas kulit.

Kriteria hasil : Keutuhan kulit tetap terjaga, perfusi jaringan adekuat,

tidak terjadi lecet.

Intervensi :

1) Minimalkan penekanan pada bagian tubuh

Rasional : Membantu dalam menjaga peredaran darah tetap lancar

dan mengurangi resiko terjadinya dekubitus.

2) Kaji kulit dan membran mukosa tiap 2 – 4 jam

Rasional : Mengidentifikasi area potensial kerusakan dermal, yang

akan mengakibatkan sepsis.

3) Ubah atau atur posisi bayi tiap 2 – 4 jam

Rasional : Mengurangi penekanan pada salah satu sisi tubuh yang

dapat mengakibatkan dekubitus.

4) Lindungi bayi dari kontaminasi feses dan urine.

Rasional : Feses dan urin sebagai media berkembangnya bakteri


patogen yang menyebabkan iritasi.

5) Hindari penggunaan lotion, cream, atau powder yang berlebihan

Rasional : Kulit bersifat bakterisida, penggunaan lotion, cream,

atau powder yang berlebihan menjadi tempat berkembang bakteri patogen.

4. Implementasi

Implementasi merupakan tindakan yang sesuia dengan yang telah direncanakan, mencakup

tindakan mandiri dan kolaborasi. Tindakan mandiri adalah tindakan keperawatan berdasarkan

analisis dan kesimpulan perawat dan bukan atas petunjuk tenaga kesehatan yang lain.

Sedangkan tindakan kolaborasi adalah tindakan keperawatan yang didasarkan oleh hasil

keputusan bersama dengan dokter atau petugas kesehatan yang lain (Mitayani, 2013 : 182).

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan hasil perkembangan ibu denagn berpedoman kepada hasil dan tujuan
yang hendak dicapai (Mitayani, 2013 : 182).

DAFTAR PUSTAKA
Amalia, L. (2011). Faktor Risiko Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah BBLR di RSU Dr MM Dunda
Limboto Kabupaten Gorontalo. Jurnal Sainstek, 6(3), 249–260. Retrieved from
http://repository.ung.ac.id/get/simlit_res/1/399/Faktor-Risiko-KejadianBayi-Berat-Lahir-
Rendah-BBLR-di-RSU-Dr-MM-Dunda-Limboto-Kabupaten-Gorontalo-Risk-factors-in-the-
Incidence-of-Low-Birth-Weight-Birth-at-Dr-MM-Dunda-Limboto-Gorontalo-Regency.pdf.
Ambarwati, E. R., & Rismintari, Y. S. (2009). Asuhan Kebidanan Komunitas. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Amirudin, R., & Hasmi. (2014). Determinan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: TIM.
Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep dan AplikasiKebutuhan Dasar Klien.
Jakarta: Salemba Medika.
Atoilah, E. M., & Kusnadi, E. (2013). Askep pada Klien dengan Gangguan Kebutuhan Dasr Manusia.
Garut: In Media.
Ballard JL, Khoury JC, Wedig K, et al. (1991). New Ballard Score, expanded to include extremely
premature infants. Jurnal Pediatrics, (119), 417–423. Retrieved from
http://www.ballardscore.com/Pages/ScoreSheet.aspx
Cunningham FG, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Rouse D, S. C. (2010). Obstetri Williams (Edisi ke 2).
Jakarta: EGC.
Deslidel, Hasan, Z., Hevrialni, R., & Sartika, Y. (2011). Buku Ajar Asuhan Neonatus, Bayi, dan
Balita. Jakarta: EGC.
Djaelani, A. R. (2013, March). Teknik Pengumpulan Data Dalam Penelitian Kualitatif. FPTK IKIP
Veteran Semarang, 82–92. Retrieved from http://www.e-journal.ikip-
veteran.ac.id/index.php/pawiyatan/article/download/55/64
Hapisah, Dasuki, D., & Prabandari, Y. S. (2010). Depressive Symptoms Pada Ibu Hamil dan Bayi
Berat Lahir Rendah. Berita Kedokteran MasyarakatMasyarakat, 26(2), 81–89. Retrieved from
http://jurnal.ugm.ac.id/bkm/article/view/3472/2999
Indrayani, & Djami, M. E. U. (2013). Asuhan Persalinan dan Bayi Baru Lahir. Jakarta: TIM.
Jatim, D. (2013). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2012, 38–40
Lalani, A. (2011). Kegawatdaruratan Pediatri. Jakarta: EGC.
Mahayana, S. A. S., Chundrayetti, E., & Yulistini. (2015). Artikel Penelitian Faktor Risiko yang
Berpengaruh terhadap Kejadian Berat. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(3), 664–673. Retrieved
from http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/viewFile/345/300
Marcdante, K. J., Kliegman, R. M., Jenson, H. B., & Behrman, R. E. (2011). Nelson Ilmu
Kesehatan Anak Esensial (Edisi keen). Jakarta.
Maryanti, D., Sujianti, & Budiarti, T. (2012). Buku Ajar Neonatus, Bayi, dan Balita. Jakarta: Trans
Info Media.
Maryunani, A., & Puspita, E. (2013). Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatus. Jakarta:
TIM.
Masitoh, S., Syarifudin, & Delmaifanis. (2014). Hamil Ganda Penyebab Bermakna Berat Bayi
Lahir Rendah. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kesehatan, 1(2), 129–134. Retrieved from
http://ejurnal.poltekkesjakarta3.ac.id/index.php/JITEK/article/view/55/48
Mitayani. (2013). Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, A. (2012). Pengkajian Keperawatan : Aplikasi pada Praktik Klinik. Jakarta: sa.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis NANDA NIC-NOC (Jilid 3). Yogyakarta: Media Action Publishing.
Pantiawati, I. (2010). Bayi dengan BBLR. Yogyakarta: Nuha Medika.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010). Fundamental Keperawatan (Edisi 7). Jakarta: Salemba
Medika.
Prawirohardjo, S. (2008). Ilmu kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Proverawati, A., & Sulistyorini, C. I. (2010). Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Yogyakarta:
Nuha Medika.
Putri, Y. R., Gusnila, E., & Silvia. (2015). Pengaruh Perawatan Metode Kanguru Terhadap
Perubahan Berat Badan Bayi Lahir Rendah. Jurnal IPTEK Terapan, 9(1), 1–10. Retrieved
from http://ejournal.stikesmukla.ac.id/index.php/involusi/article/download/62/58
Rahmat, P. S. (2009). Jurnal Penelitian Kualitatif. Equilibrium, 5(9), 1–8. Retrieved from
http://yusuf.staff.ub.ac.id/files/2012/11/Jurnal-Penelitian-Kualitatif.pdf
Sondakh, J. J. S. (2013). Asuhan Kebidanan Persalinan dan Bayi Baru Lahir. Jakarta: Erlangga.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: ALFABETA.
Syafrudin, & Hamida. (2009). Kebidanan Komunitas. Jakarta: EGC.
Tazkiah, M., Wahyuni, C. U., Martini, S., & Timur, J. (2013). Determinan Epidemologi Kejadian
BBLR Pada Daerah Endemis Malaria Di Kabupaten Banjar. Jurnal Berkala
Epidemologi, 1(2), 266–276. Retrieved from http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-
jbe6e2decf148full.pdf

Walyani, E. S. (2015). Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal.


Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

S-ar putea să vă placă și