Sunteți pe pagina 1din 19

*..WELCOME TO HARNA'S WORLD..

ASKEP HALUSINASI
harnawatiaj

10 tahun yang lalu


Iklan

Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran

Pengertian

Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses diterimanya rangsang sampai rangsang itu
disadari dan dimengerti oleh penginderaan atau sensasi: proses penerimaan rangsang
(Stuart, 2007).
Persepsi merupakan tanggapan indera terhadap rangsangan yang datang dari luar,
dimana rangsangan tersebut dapat berupa rangsangan penglihatan, penciuman,
pendengaran, pengecapan dan perabaan. Interpretasi (tafsir) terhadap rangsangan yang
datang dari luar itu dapat mengalami gangguan sehingga terjadilah salah tafsir
(missinterpretation). Salah tafsir tersebut terjadi antara lain karena adanya keadaan afek
yang luar biasa, seperti marah, takut, excited (tercengang), sedih dan nafsu yang
memuncak sehingga terjadi gangguan atau perubahan persepsi (Triwahono, 2004).
Perubahan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam membedakan antara
rangsang yang timbul dari sumber internal seperti pikiran, perasaan, sensasi somatik
dengan impuls dan stimulus eksternal. Dengan maksud bahwa manusia masih
mempunyai kemampuan dalam membandingkan dan mengenal mana yang merupakan
respon dari luar dirinya. Manusia yang mempunyai ego yang sehat dapat membedakan
antara fantasi dan kenyataaan. Mereka dalam menggunakan proses pikir yang logis,
membedakan dengan pengalaman dan dapat memvalidasikan serta mengevaluasinya
secara akurat (Nasution, 2003).
Perubahan persepsi sensori ditandai oleh adanya halusinasi. Beberapa pengertian
mengenai halusinasi di bawah ini dikemukakan oleh beberapa ahli:

Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus)


misalnya penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya padahal tidak ada
sumber dari suara bisikan itu (Hawari, 2001).
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca indera (Isaacs,
2002).
Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera tanpa adanya
rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi pada
saat kesadaran individu itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada
saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari dalam diri individu. Dengan
kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan
oleh klien dan tidak dapat dibuktikan (Nasution, 2003).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien mempersepsikan
sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada
rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca
indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2005).
Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan. Klien merasa melihat,
mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa kecap meskipun tidak ada sesuatu rangsang
yang tertuju pada kelima indera tersebut (Izzudin, 2005).
Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart, 2007).
Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara manusia, hewan atau mesin, barang,
kejadian alamiah dan musik dalam keadaan sadar tanpa adanya rangsang apapun
(Maramis, 2005).
Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara atau bunyi yang berkisar dari suara
sederhana sampai suara yang berbicara mengenai klien sehingga klien berespon terhadap
suara atau bunyi tersebut (Stuart, 2007).
Dari beberapa pengertian yang dikemukan oleh para ahli mengenai halusinasi di atas,
maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa halusinasi adalah persepsi klien
melalui panca indera terhadap lingkungan tanpa ada stimulus atau rangsangan yang
nyata. Sedangkan halusinasi pendengaran adalah kondisi dimana pasien mendengar
suara, terutamanya suara–suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang
dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.

Etiologi

Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:


Faktor predisposisi
1). Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon
neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-
penelitian yang berikut:
a). Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas
dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik
berhubungan dengan perilaku psikotik.
b). Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan
masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
c). Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi
yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis,
ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil
(cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-
mortem).

2). Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi
psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan
orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.

3). Sosial Budaya


Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan,
konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi
disertai stress.

Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya
hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan
tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
1). Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi
serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak
untuk diinterpretasikan.
2). Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk
menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3). Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

Gejala Halusinasi

Menurut Hamid (2000), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah sebagai
berikut:

Bicara sendiri.
Senyum sendiri.
Ketawa sendiri.
Menggerakkan bibir tanpa suara.
Pergerakan mata yang cepat
Respon verbal yang lambat
Menarik diri dari orang lain.
Berusaha untuk menghindari orang lain.
Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.
Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.
Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik.
Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori.
Sulit berhubungan dengan orang lain.
Ekspresi muka tegang.
Mudah tersinggung, jengkel dan marah.
Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.
Tampak tremor dan berkeringat.
Perilaku panik.
Agitasi dan kataton.
Curiga dan bermusuhan.
Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan.
Ketakutan.
Tidak dapat mengurus diri.
Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.

Menurut Stuart dan Sundeen (1998) yang dikutip oleh Nasution (2003), seseorang yang
mengalami halusinasi biasanya memperlihatkan gejala-gejala yang khas yaitu:

Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai.


Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara.
Gerakan mata abnormal.
Respon verbal yang lambat.
Diam.
Bertindak seolah-olah dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan.
Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya peningkatan
nadi, pernafasan dan tekanan darah.
Penyempitan kemampuan konsenstrasi.
Dipenuhi dengan pengalaman sensori.
Mungkin kehilangan kemampuan untuk membedakan antara halusinasi dengan realitas.
Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya daripada
menolaknya.
Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain.
Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik.
Berkeringat banyak.
Tremor.
Ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk.
Perilaku menyerang teror seperti panik.
Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain.
Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk dan agitasi.
Menarik diri atau katatonik.
Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks.
Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.

Jenis-Jenis Halusinasi

Menurut Stuart (2007) halusinasi terdiri dari tujuh jenis. Penjelasan secara detail
mengenai karakteristik dari setiap jenis halusinasi terdapat pada tabel 1.

Jenis Halusinasi

Pendengaran
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan
yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai
pada percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang
terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan
sesuatu kadang dapat membahayakan.

Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartun,
bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias yang menyenangkan atau
menakutkan seperti melihat monster.

Penghidu
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya bau-bauan
yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat stroke, tumor, kejang, atau
dimensia.

Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.

Perabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik
yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.

Cenestetik
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makan atau
pembentukan urine.
Kinistetik
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

Tahapan halusinasi

Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase menurut Stuart dan Laraia (2001) dan
setiap fase memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu:

Fase I : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah
dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk
meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.
Fase II : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali
dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang
dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat
ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan
darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk
membedakan halusinasi dengan realita.
Fase III : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah
pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat,
tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang
sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.
Fase IV : Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah
halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu
berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1
orang. Kondisi klien sangat membahayakan.

Rentang respon halusinasi.

Menurut Stuart dan Laraia (2001), halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif
individu yang berada dalam rentang respon neurobiologi. Rentang respon tersebut
digambarkan pada gambar 2 di bawah ini.

Rentang respon neurobiologi pada gambar 2 dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pikiran logis: yaitu ide yang berjalan secara logis dan koheren.
Persepsi akurat: yaitu proses diterimanya rangsang melalui panca indra yang didahului
oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu yang ada di dalam
maupun di luar dirinya.
Emosi konsisten: yaitu manifestasi perasaan yang konsisten atau afek keluar disertai
banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak lama.
Perilaku sesuai: perilaku individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaian masalah
masih dapat diterima oleh norma-norma social dan budaya umum yang berlaku.
Hubungan social harmonis: yaitu hubungan yang dinamis menyangkut hubungan antar
individu dan individu, individu dan kelompok dalam bentuk kerjasama.
Proses pikir kadang terganggu (ilusi): yaitu menifestasi dari persepsi impuls eksternal
melalui alat panca indra yang memproduksi gambaran sensorik pada area tertentu di
otak kemudian diinterpretasi sesuai dengan kejadian yang telah dialami sebelumnya.
Emosi berlebihan atau kurang: yaitu menifestasi perasaan atau afek keluar berlebihan
atau kurang.
Perilaku tidak sesuai atau biasa: yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam
penyelesaian masalahnya tidak diterima oleh norma – norma social atau budaya umum
yang berlaku.
Perilaku aneh atau tidak biasa: perilaku individu berupa tindakan nyata dalam
menyelesaikan masalahnya tidak diterima oleh norma-norma sosial atau budaya umum
yang berlaku.
Menarik diri: yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain.
Isolasi sosial: menghindari dan dihindari oleh lingkungan sosial dalam berinteraksi.

Berdasarkan gambar diketahui bahwa halusinasi merupakan respon persepsi paling


maladaptif. Jika klien sehat, persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan
menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra
(pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan), sedangkan klien
dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indra walaupun sebenarnya
stimulus itu tidak ada.

Konsep Dasar Keperawatan

Menurut Carpenito (1996) dikutip oleh Keliat (2006), pemberian asuhan keperawatan
merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama antara perawat
dengan klien, keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal.
Asuhan keperawatan juga menggunakan pendekatan proses keperawatan yang terdiri
dari pengkajian menentukan masalah atau diagnosa, menyusun rencana tindakan
keperawatan, implementasi dan evaluasi.

Pengkajian

Menurut Stuart dan Laraia (2001), pengkajian merupakan tahapan awal dan dasar utama
dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data meliputi data
biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat
dikelompokkam menjadi faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap
stressor, sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki klien.

Berbagai aspek pengkajian sesuai dengan pedoman pengkajian umum, pada formulir
pengkajian proses keperawatan. Pengkajian menurut Keliat (2006) meliputi beberapa
faktor antara lain:

Identitas klien dan penanggung


Yang perlu dikaji yaitu: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, status, pendidikan,
pekerjaan, dan alamat.

Alasan masuk rumah sakit


Umumnya klien halusinasi di bawa ke rumah sakit karena keluarga merasa tidak mampu
merawat, terganggu karena perilaku klien dan hal lain, gejala yang dinampakkan di
rumah sehingga klien dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.

Faktor predisposisi

1). Faktor perkembangan terlambat


a). Usia bayi tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum dan rasa aman.
b). Usia balita, tidak terpenuhi kebutuhan otonomi.
c ). Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak terselesaikan.
2). Faktor komunikasi dalam keluarga
a). Komunikasi peran ganda.
b). Tidak ada komunikasi.
c). Tidak ada kehangatan.
d). Komunikasi dengan emosi berlebihan.
e) . Komunikasi tertutup.
f). Orang tua yang membandingkan anak – anaknya, orang tua yang otoritas dan
komplik orang tua.

3). Faktor sosial budaya


Isolasi sosial pada yang usia lanjut, cacat, sakit kronis, tuntutan lingkungan yang terlalu
tinggi.

4). Faktor psikologis


Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri, ideal diri tinggi,
harga diri rendah, identitas diri tidak jelas, krisis peran, gambaran diri negatif dan
koping destruktif.
5). Faktor biologis
Adanya kejadian terhadap fisik, berupa : atrofi otak, pembesaran vertikel, perubahan
besar dan bentuk sel korteks dan limbik.
6). Faktor genetik
Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui kromoson tertentu.
Namun demikian kromoson yang keberapa yang menjadi faktor penentu gangguan ini
sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Diduga letak gen skizofrenia adalah
kromoson nomor enam, dengan kontribusi genetik tambahan nomor 4,8,5 dan 22. Anak
kembar identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah
satunya mengalami skizofrenia, sementara jika di zygote peluangnya sebesar 15 %,
seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15%
mengalami skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka peluangnya
menjadi 35 %.

Faktor presipitasi
Faktor –faktor pencetus respon neurobiologis meliputi:
1).Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang menerima dan memproses
informasi di thalamus dan frontal otak.
2).Mekanisme penghataran listrik di syaraf terganggu (mekanisme penerimaan
abnormal).
3). Adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus
asa dan tidak berdaya.

Menurut Stuart (2007), pemicu gejala respon neurobiologis maladaptif adalah kesehatan,
lingkungan dan perilaku seperti yang tercantum pada tabel 2 di dibawah ini:

Tabel 2. Faktor pemicu gejala respon neurobiologis halusinasi (Stuart, 2007).

Faktor pemicu
Respon neurobiologis
Kesehatan
Nutrisi dan tidur kurang, ketidaksiembangan irama sirkardian, kelelahan dan infeksi,
obat-obatan system syaraf pusat, kurangnya latihan dan hambatan untuk menjangkau
pelayanan kesehatan.
Lingkungan

Lingkungan sekitar yang memusuhi, masalah dalam rumah tangga, kehilangan


kebebasan hidup dalam melaksanakan pola aktivitas sehari-hari, sukar dalam
berhubungan dengan orang lain, isoalsi social, kurangnya dukungan social, tekanan
kerja (kurang terampil dalam bekerja), stigmasasi, kemiskinan, kurangnya alat
transportasi dan ketidakmamapuan mendapat pekerjaan.
Sikap
Merasa tidak mampu (harga diri rendah), putus asa (tidak percaya diri), merasa gagal
(kehilangan motivasi menggunakan keterampilan diri), kehilangan kendali diri
(demoralisasi), merasa punya kekuatan berlebihan, merasa malang (tidak mampu
memenuhi kebutuhan spiritual), bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia maupun
kebudayaan, rendahnya kemampuan sosialisasi, perilaku agresif, perilaku kekerasan,
ketidakadekuatan pengobatan dan ketidak adekuatan penanganan gejala.

3). Perilaku
Respon perilaku klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, rasa tidak
aman, gelisah, bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu
mengambil keputusan, bicara inkoheren, bicara sendiri, tidak membedakan yang nyata
dengan yang tidak nyata.
Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis halusinasinya.
Apabila perawat mengidentifikasi adanya tanda –tanda dan perilaku halusinasi maka
pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya sekedar mengetahui jenis halusinasi
saja. Validasi informasi tentang halusinasi yang diperlukan meliputi:
a). Isi halusinasi
Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang dikatakan
suara itu, jika halusinasi audiotorik. Apa bentuk bayangan yang dilihat oleh klien, jika
halusinasi visual, bau apa yang tercium jika halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap
jika halusinasi pengecapan,dan apa yang dirasakan dipermukaan tubuh jika halusinasi
perabaan.
b). Waktu dan frekuensi.
Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman halusinasi muncul,
berapa kali sehari, seminggu, atau sebulan pengalaman halusinasi itu muncul. Informasi
ini sangat penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan bilamana
klien perlu perhatian saat mengalami halusinasi.
c). Situasi pencetus halusinasi.
Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum halusinasi muncul. Selain
itu perawat juga bias mengobservasi apa yang dialami klien menjelang munculnya
halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.
d). Respon Klien
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien bisa dikaji dengan
apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien
masih bisa mengontrol stimulus halusinasinya atau sudah tidak berdaya terhadap
halusinasinya.

a.Pemeriksaan fisik
Yang dikaji adalah tanda-tanda vital (suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah), berat
badan, tinggi badan serta keluhan fisik yang dirasakan klien.
Status Mental
Pengkajian pada status mental meliputi:
1).Penampilan: tidak rapi, tidak serasi dan cara berpakaian.
2). Pembicaraan: terorganisir atau berbelit-belit.
3).Aktivitas motorik: meningkat atau menurun.
4).Alam perasaan: suasana hati dan emosi.
5).Afek: sesuai atau maladaptif seperti tumpul, datar, labil dan ambivalen
6).Interaksi selama wawancara: respon verbal dan nonverbal.
7).Persepsi : ketidakmampuan menginterpretasikan stimulus yang ada sesuai dengan
informasi.
8).Proses pikir: proses informasi yang diterima tidak berfungsi dengan baik dan dapat
mempengaruhi proses pikir.
9).Isi pikir: berisikan keyakinan berdasarkan penilaian realistis.
10).Tingkat kesadaran: orientasi waktu, tempat dan orang.
11). Memori
a). Memori jangka panjang: mengingat peristiwa setelah lebih setahun berlalu.
b). Memori jangka pendek: mengingat peristiwa seminggu yang lalu dan pada saat
dikaji.
12). Kemampuan konsentrasi dan berhitung: kemampuan menyelesaikan tugas dan
berhitung sederhana.
13). Kemampuan penilaian: apakah terdapay masalah ringan sampai berat.
14). Daya tilik diri: kemampuan dalam mengambil keputusan tentang diri.
Kebutuhan persiapan pulang: yaitu pola aktifitas sehari-hari termasuk makan dan
minum, BAB dan BAK, istirahat tidur, perawatan diri, pengobatan dan pemeliharaan
kesehatan sera aktifitas dalam dan luar ruangan.

Mekanisme koping
1). Regresi: menjadi malas beraktifitas sehari-hari.
2). Proyeksi: menjelaskan prubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk mengalihkan
tanggung jawab kepada orang lain.
3). Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal.

Masalah psikososial dan lingkungan: masalah berkenaan dengan ekonomi, pekerjaan,


pendidikan dan perumahan atau pemukiman.

Aspek medik: diagnosa medik dan terapi medik.

Masalah Keperawatan

Menurut Keliat (2006) masalah keperawatan yang sering terjadi pada klien halusinasi
adalah:

Perubahan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.


Resiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan.
Isolasi sosial : menarik diri.
Gangguan konsep diri : harga diri rendah.
Intoleransi aktifitas.
Defisit perawatan diri.

Pohon masalah
Klien yang mengalami halusinasi dapat kehilangan kontrol dirinya sehingga bisa
membahayakan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal ini terjadi jika
halusinasi sudah sampai pada fase empat, dimana klien mengalami panik dan
perilakunya dikendalikan oleh isi halusinasinya. Masalah yang menyebabkan halusinasi
itu adalah harga diri rendah dan isolasi sosial, akibat rendah diri dan kurangnya
berhubungan sosial maka klien menjadi menarik diri dari lingkungan (Keliat, 2006).
Berdasarkan masalah-masalah tersebut, maka dapat disusun pohon masalah sebagai
berikut:

Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah penilaian teknik mengenai respon individu, keluarga,


komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual maupun
potensial (NANDA, 2001 dikutip oleh Keliat, 2006).

Rumusan diagnosis menurut Keliat (2006) dapat berupa:

Problem (masalah): nama atau label diagnosa.


Etiology (penyebab): alasan yang dicurigai dari respon yang telah diidentifikasi dari
pengkajian.
Sign dan sympton (tanda dan gejala): manifesitasi yang diidentifikasi dalam pengkajian
yang menyokong diagnosa keperawatan.

Ada beberapa diagnosa keperawatan yang sering ditemukan pada klien dengan
halusinasi menurut Keliat (2006) yaitu:
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan berhubungan dengan
halusinasi pendengaran.
Perubahan persepsi sensori: halusinasi pendengaran berhubungan dengan menarik diri.
Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktifitas.

Perencanaan

Perencanaan tindakan keperawatan menurut Keliat (2006 ) terdiri dari tiga aspek yaitu
tujuan umum, tujuan khusus dan intervensi keperawatan. Rencana tindakan keperawatan
pada klien dengan masalah utama perubahan persepsi sensori: halusinasi pendengaran
adalah sebagai berikut:

Diagnosa 1: Resiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan halusinasi pendengaran.

Tujuan umum:
Tidak terjadi perilaku kekerasan yang diarahkan kepada diri sendiri, orang lain dan
lingkungan.
Tujuan khusus:
TUK 1:
Klien dapat membina hubungan saling percaya
Ekspresi wajah bersahabat, klien nampak tenang, mau berjabat tangan, membalas salam,
mau duduk dekat perawat.
Intervensi:
1.1.1Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan menggunakan/ komunikasi
terapeutik yaitu sapa klien dengan ramah, baik secara verbal maupun non verbal,
perkenalkan nama perawat, tanyakan nama lengkap klien dan panggilan yang disukai,
jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji, bersikap empati dan menerima klien
apa adanya.
Rasional:
Hubungan saling percaya sebagai dasar interaksi perawat dan klien.
1.1.2 Dorong klien mengungkapkan perasaannya.
Rasional:
Mengetahui masalah yang dialami oleh klien.
1.1.3 Dengarkan klien dengan penuh perhatian dan empati.
Rasional:
Agar klien merasa diperhatikan.
TUK 2:
Klien dapat mengenal halusinasinya.
2.1Klien dapat membedakan antara nyata dan tidak nyata.

Intervensi:
2.1.1 Adakan kontak sering dan singkat.
Rasional:
Menghindari waktu kosong yang dapat menyebabkan timbulnya halusinasi.
2.1.2 Observasi segala perilaku klien verbal dan non verbal yang berhubungan dengan
halusinasi.
Rasional:
Halusinasi harus kenal terlebih dahulu agar intervensi efektif
2.1.3 Terima halusinasi klien sebagai hal yang nyata bagi klien, tapi tidak nyata bagi
perawat.
Rasional:
Meningkatkan realita klien dan rasa percaya klien.
2.2Klien dapat menyebutkan situasi yg dapat menimbulkan dan tidak menimbulkan
halusinasi.
2.2.1 Diskusikan dengan klien situasi yang menimbulkan dan tidak menimbulkan
situasi.
Rasional:
Peran serta aktif klien membantu dalam melakukan intervensi keperawatan.
2.2.2Diskusikan dengan klien faktor predisposisi terjadinya halusinasi.
Rasional :
Dengan diketahuinya faktor predisposisi membantu dalam mengontrol halusinasi.
TUK 3:
Klien dapat mengontrol halusinasi.
3.1 Klien dapat menyebutkan tindakan yang dapat dilakukan apabila halusinasinya
timbul.
Intervensi:
Diskusikan dengan klien tentang tindakan yang dilakukan bila halusinasinya timbul.
Rasional:
Mengetahui tindakan yang dilakukan dalam mengontrol halusinasinya.
3.2 Klien akan dapat menyebutkan cara memutuskan halusinasi yaitu dengan melawan
suara itu dengan mengatakan tidak mau mendengar, lakukan kegiatan :
menyapu/mengepel, minum obat secara teratur, dan lapor pada perawat pada saat timbul
halusinasi.
3.2.1Diskusikan dengan klien tentang cara memutuskan halusinasinya.
Rasional:
Meningkatkan pengetahuan klien tentang cara memutuskan halusinasi.
3.2.2.Dorong klien menyebutkan kembali cara memutuskan halusinasi.
Rasional:
hasil diskusi sebagai bukti dari perhatian klien atas apa yg dijelaskan.
3.2.3.Berikan reinforcement positif atas keberhasilan klien menyebutkan kembali cara
memutuskan halusinasinya.
Rasional:
Meningkatkan harga diri klien.
TUK 4:
Klien dapat memanfaatkan obat dalam mengontrol halusinanya.
4.1Klien mau minum obat dengan teratur.
Intervensi :
4.1.1Diskusikan dengan klien tentang obat untuk mengontrol halusinasinya.
Rasional:
Meningkatkan pengetahuan klien tentang fungsi obat yang diminum agar klien mau
minum obat secara teratur.
TUK 5:
Klien mendapat sistem pendukung keluarga dalam mengontrol halusinasinya.
5.1Klien mendapat sistem pendukung keluarga.
Intervensi:
5.1.1Kaji kemampuan keluarga tentang tindakan yg dilakukan dalam merawat klien bila
halusinasinya timbul.
Rasional :
Mengetahui tindakan yang dilakukan oleh keluarga dalam merawat klien.
5.1.2Diskusikan juga dengan keluarga tentang cara merawat klien yaitu jangan biarkan
klien menyendiri, selalu berinteraksi dengan klien, anjurkan kepada klien untuk rajin
minum obat, setelah pulang kontrol 1 x dalam sebulan.
Rasional:
Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang cara merawat klien.

a.Diagnosa 2: perubahan persepsi sensori; halusinasi pendengaran berhubungan dengan


menarik diri.
1).Tujuan umum:
Klien dapat berhubungan dengan orang lain untuk mencegah timbulnya halusinasi.
Tujuan khusus:
TUK 1:
Klien dapat membina hubungan saling percaya.
1.1Ekspresi wajah bersahabat, klien nampak tenang, mau berjabat tangan, membalas
salam, mau duduk dekat perawat.
Intervensi:
1.1.1Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan menggunakan/ komunikasi
terapeutik yaitu sapa klien dengan ramah, baik secara verbal maupun non verbal,
perkenalkan nama perawat, tanyakan nama lengkap klien dan panggilan yang disukai,
jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji, bersikap empati dan menerima klien
apa adanya.
Rasional:
Hubungan saling percaya sebagai dasar interaksi perawat dan klien.
1.1.2Dorong klien mengungkapkan perasaannya.
Rasional:
Mengetahui masalah yang dialami oleh klien.
1.1.3Dengarkan klien dengan penuh perhatian dan empati
Rasional :
Agar klien merasa diperhatikan.
TUK 2:
Klien dapat mengenal penyebab menarik diri.
2.1 Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri pada dirinya.
Intervensi:
2.1.1Kaji Pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri.

Rasional:
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan klien tentang menarik diri.
2.1.2Dorong klien untuk menyebutkan kembali penyebab menarik diri.
Rasional:
Membantu mengetahui penyebab menarik diri sehingga membantu dlm melaksanakan
intervensi selanjutnya.
2.1.3Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien dalam mengungkapkan penyebab
menarik diri.
Rasional:
Meningkatkan harga diri klien.
TUK 3:
Klien dapat mengetahui manfaat berhubungan dengan orang lain.
3.1Klien dapat mengungkapkan keuntungan berhubungan dengan orang lain.
Intervensi:
Diskusikan bersama klien manfaat berhubungan dengan orang lain.
Rasional:
Meningkatkan pengetahuan klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain.
3.1.2 Dorong klien untuk menyebutkan kembali manfaat berhubungan dengan orang
lain.
Rasional:
Mengetahui tingkat pemahaman klien tentang informasi yg diberikan.
3.1.3 Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menyebutkan kembali manfaat
berhubungan dengan orang lain.
Rasional:
Meningkatkan harga diri klien.
TUK 4:
Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap.
4.1Klien dapat menyebutkan cara berhubungan dengan orang lain secara bertahap.
Intervensi:
4.1.1 Dorong klien untuk berhubungan dengan orang lain.
Rasional:
Mencegah timbulnya halusinasi.
4.1.2 Diskusikan dengan klien cara berhubungan dengan orang lain secara bertahap.
Rasional:
Meningkatkan pengetahuan klien cara yang yg dilakukan dalam berhubungan dengan
orang lain.
4.1.3 Beri reinforcement atas keberhasilan yg dilakukan.
Rasional:
Meningkatkan harga diri klien.
TUK 5 :
Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain.
5..1Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain.
Intervensi :
5.1.1 Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya berhubungan dengan orang lain.
Rasional:
Untuk mengetahui perasaan klien setelah berhubungan dengan orang lain.
5.1.2 Diskusikan dengan klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain.
Rasional:
Mengetahui pengetahuan klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain.
5.1.3 Berikan reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan
manfaat berhubungan orang lain.
Rasional:
Meningkatkan harga diri klien.
TUK 6:
Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga.
6.1 Keluarga dapat menjelaskan cara merawat klien yang menarik diri.
Intervensi:
6.1.1 Bina hubungan saling percaya dengan keluarga.
Rasional:
Agar terbina rasa percaya keluarga kepada perawat.
6.1.2 Diskusikan dengan anggota keluarga perilaku menarik diri, penyebab perilaku
menarik diri dab cara keluarga menghadapi klien.
Rasional:
Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang menarik diri dan cara merawatnya.
6.1.3 Anjurkan kepada keluarga secara rutin dan bergantian datang menjenguk klien (1 x
seminggu).
Rasional:
Agar klien merasa diperhatikan.

b.Diagnosa 3: isolasi sosial; menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.

1) Tujuan umum:
Klien dapat berhubungan dengan orang lain tanpa merasa rendah diri.
2). Tujuan khusus:
TUK 1:
Klien dapat membina hubungan saling percaya.
1.2Ekspresi wajah bersahabat, klien nampak tenang, mau berjabat tangan, membalas
salam, mau duduk dekat perawat.
Intervensi:
1.2.1Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan menggunakan/ komunikasi
terapeutik yaitu sapa klien dengan ramah, baik secara verbal maupun non verbal,
perkenalkan nama perawat, tanyakan nama lengkap klien dan panggilan yang disukai,
jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji, bersikap empati dan menerima klien
apa adanya.
Rasional:
Hubungan saling percaya sebagai dasar interaksi perawat dan klien.
1.2.2 Dorong klien mengungkapkan perasaannya.
Rasional:
Mengetahui masalah yang dialami oleh klien.
1.2.3 Dengarkan klien dengan penuh perhatian dan empati.
Rasional:
Agar klien merasa diperhatikan.
TUK 2 :
Klien dapat mengidenfikasi kemampuan dan sisi positif yang dimiliki.
2.1 Klien dapat menyebutkan cita-cita dan harapan sesuai dengan kemampuannya.

Intervensi:
2.1.1Diskusikan dengan klien tentang ideal dirinya : apa harapan klien bila pulang nanti
dan apa yg menjadi cita-citanya.
Rasional:
Untuk mengetahui sampai dimana realitas dari harapan klien.
2.1.2Bantu klien mengembangkan antara keinginan dengan kemampuan yang
dimilikinya.
Rasional:
Membantu klien membentuk harapan yang realitas.
TUK 3:
Klien dapat menyebutkan keberhasilan yang pernah dialaminya.
3.1 Klien dapat mengevaluasi dirinya.
Intervensi:
Diskusikan dengan klien keberhasilan yg pernah dialaminya.
Rasional:
Mengingatkan klien bahwa tidak selamanya dia gagal.
3.2 Klien dapat menyebutkan kegagalan yang pernah terjadi pada dirinya
3.2.1 Diskusikan dengan klien kegagalan yang pernah terjadi pada dirinya.
Rasional:
Mengetahui sejauh mana kegagalan yg dialami oleh klien.
3.2.2 Beri reinforcement positif atas kemampuan klien menyebutkan keberhasilan dan
kegagalan yang pernah dialaminya.
Rasional:
Meningkatkan harga diri klien.
TUK 4:
Klien dapat membuat rencana yang realistis.
4.1 Klien dapat menyebutkan tujuan yang ingin dicapai.

Intervensi:
4.1.1 Bantu klien merumuskan tujuan yang ingin di capai.
Rasional:
Agar klien tetap realistis dengan kemampuan yang dimilikinya.
4.2 Klien dapat membuat keputusan dalam mencapai tujuan.
4.2.1 Motivasi klien untuk melakukan kegiatan yang telah dipilih.
Rasional:
Menghargai keputusan yang dipilih oleh klien.
4.2.2 Berikan pujian atas keberhasilan yang telah dilakukan.
Rasional:
Meningkatkan harga diri.
TUK 5:
Klien dapat memanfaatkan system pendukung keluarga.
5.1 Keluarga memberi dukungan dan ujian.
Intervensi:
5.1.1 Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentan cara merawat klien dengan harga
diri rendah.
Rasional:
Untuk meningkatkan pengetahuan keluarga tentang cara merawat klien dengan harga
diri rendah.
5.1.2 Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat.
Rasional :
Support system keluarga akan sangat berpengaruh dalam mempercepat penyembuhan
klien.
5.2 Keluarga memahami jadwal kegiatan harian klien.
5.2.1 Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.
Rasional:
Meningkatkan peran serta keluarga dalam merawat klien di rumah.
5.2.2 Jelaskan cara pelaksanaan jadwal kegiatan klien di rumah.
Rasional:
Untuk meningkatkan pengetahuan keluarga tentang perawatan klien di rumah.
5.2.3 Anjurkan memberi pujian pada klien setiap berhasil.
Rasional:
Meningkatkan harga diri klien.

c.Diagnosa 4: defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktifitas.


1). Tujuan umum:
Klien dapat meningkatkan motivasi dalam mempertahankan kebersihan diri.
2). Tujuan khusus:

TUK 1:
Klien dapat membina hubungan saling percaya.
1.1.Ekspresi wajah bersahabat, klien nampak tenang, mau berjabat tangan, membalas
salam, mau duduk dekat perawat.
Intervensi:
1.1.1.Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan menggunakan/ komunikasi
terapeutik yaitu sapa klien dengan ramah, baik secara verbal maupun non verbal,
perkenalkan nama perawat, tanyakan nama lengkap klien dan panggilan yang disukai,
jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji, bersikap empati dan menerima klien
apa adanya.
Rasional:
Hubungan saling percaya sebagai dasar interaksi perawat dan klien.
1.1.2 Dorong klien mengungkapkan perasaannya.
Rasional:
Mengetahui masalah yang dialami oleh klien.
1.1.3 Dengarkan klien dengan penuh perhatian dan empati.
Rasional:
Agar klien merasa diperhatikan.
TUK 2 :
Klien dapat mengenal pentingnya perawatan diri.
2.1 Klien dapat menyebutkan tanda kebersihan diri yaitu badan tidak bau, rambut rapi,
bersih dan tidak bau, gigi bersih dan tidak bau, baju rapi tidak bau, kuku pendek.
Intervensi:
2.1.1 Diskusikan bersama klien pentingnya kebersihan diri dengan cara menjelaskan
pengertian tentang aarti bersih dan tanda-tanda bersih.
Rasional:
Meningkatkan pemahaman klien tentang kebersihan diri.
2.1.2 Dorong klien untuk menyebutkan kembali tanda-tanda kebersihan diri.
Rasional:
Mengetahui pemahaman klien ttg kebersihan diri.
2.1.3 Berikan pujian atas kemampuan klien menyebutkan kembali tanda-tanda
kebersihan diri.
Rasional:
Meningkatkan harga diri klien.
2.2 Klien dapat menyebutkan tentang pentingnya dalam perawatan diri, memberi rasa
segar, mencegah penyakit mulut dan memberikan rasa nyaman.
2.2.1 Beri penjelasan kepada klien tentang pentingnya dalam melakukan perawatan diri.
Rasional:
Meningkatkan pemahaman klien tentang kebersihan diri.
2.2.2 Dorong klien untuk menyebutkan kembali manfaat dalam melakukan perawatan
diri.
Rasional:
Mengetahui pemahaman informasi yang telah diberikan.
2.2.3 Berikan pujian atas keberhasilan klien menyebutkan kembali manfaat perawatan
diri.
Rasional:
Meningkatkan harga diri klien.
2.3 Klien dapat menjelaskan cara merawat diri yaitu mandi 2 x sehari, pakai sabun ,
gosok gigi minimal 2 x sehari , cuci rambut 2- 3 x sehari dan ganti pakaian 1 x sehari.

TUK 3:
Klien dapat melakukan kebersihan diri secara mandiri maupun bantuan perawat.
3.1 Klien berusaha untuk memelihara kebersihan diri.
Intervensi:
3.1.1 Motivasi dan bimbingan klien untuk memelihara kebersihan diri.
Rasional:
Agar klien melaksanakan kebersihan diri.
3.1.2 Anjurkan untuk mengganti baju.
Rasional:
Memberikan kesegaran.
TUK 4:
Klien dapat mempertahankan kebersihan diri secara mandiri.
4.1 Klien selalu rapi dan bersih.
Intervensi:
4.1.1 Beri Reinforcement positif jika klien berhasil melakukan kebersihan diri.
Rasional:
Meningkatkan harga diri sendiri.
TUK 5:
Klien mendapat dukungan keluarga dalam melakukan kebersihan diri
5.1 Keluarga selalu mengingat hal-hal yang berhubungan dengan kebersihan diri.
Intervensi:
5.1.1 Jelaskan pada keluarga tentang penyebab kurang minatnya klien menjaga
kebersihan diri.
Rasional:
Untuk memberi penjelasan kepada keluarga tentang penyebab kurangnya kebersihan
pada klien.
5.1.2 Diskusikan bersama keluarga tentang tindakan yang dilakukan klien selama di RS
dalam menjaga kebersihan.
Rasional:
Klien dapat mengetahui tentang tindakan perawatan diri yang mampu dilakukan oleh
klien.

Implementasi

Menurut Keliat (2006), implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan


keperawatan dengan memperhatikan dan mengutamakan masalah utama yang aktual dan
mengancam integritas klien beserta lingkungannya. Sebelum melaksanakan tindakan
keperawatan yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana
tindakan keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien pada saat ini
(here and now). Hubungan saling percaya antara perawat dengan klien merupakan dasar
utama dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.

Evaluasi

Evaluasi menurut Keliat (2006) adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek
dari tindakan keperawatan kepada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon
klien terhadap tindakan keperawatan yang dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi menjadi
dua jenis yaitu evaluasi proses atau formatif yang dilakukan tiap selesai melakukan
tindakan keperawatan dan evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan
membandingkan respons klien dengan tujuan yang telah ditentukan.

Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP dengan penjelasan


sebagai berikut:

S : Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang diberikan. Dapat diukur
dengan menanyakan pertanyaan sederhana terkait dengan tindakan keperawatan seperti
“coba bapak sebutkan kembali bagaimana cara mengontrol atau memutuskan halusinasi
yang benar?”.
O : Respon objektif dari klien terhadap tindakan keperawatan yang telah diberikan.
Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku klien pada saat tindakan dilakukan.
A : Analisis ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah
masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang kontradiksi dengan masalah
yang ada. Dapat pula membandingkan hasil dengan tujuan.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon klien yang
terdiri dari tindak lanjut klien dan tindak lanjut perawat. Rencana tindak lanjut dapat
berupa:

a.Rencana diteruskan, jika masalah tidak berubah.


b.Rencana dimodifikasi jika masalah tetap, semua tindakan sudah dijalankan tetapi hasil
belum memuaskan.
c.Rencana dibatalkan jika ditemukan masalah baru dan bertolak belakang dengan
masalah yang ada serta diagnosa lama diberikan.

Hasil yang diharapkan pada asuhan keperawatan klien dengan halusinasi adalah:

a.Klien mampu memutuskan halusinasi dengan berbagai cara yang telah diajarkan.
b.Klien mampu mengetahui tentang halusinasinya.
c.Meminta bantuan atau partisipasi keluarga.
d.Mampu berhubungan dengan orang lain.
e.Menggunakan obat dengan benar.
f.Keluarga mampu mengidentifikasi gejala halusinasi.
g.Keluarga mampu merawat klien di rumah dan mengetahui tentang cara mengatasi
halusinasi serta dapat mendukung kegiatan-kegiatan klien.

Sumber:
1.Hamid, Achir Yani. (2000). Buku Pedoman Askep Jiwa-1 Keperawatan Jiwa Teori
dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
2.Hawari, Dadang. (2001). Pendekatan Holistik pada gangguan Jiwa Skizofrenia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3.Isaacs, Ann. (2005). Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4.Keliat, Budi Anna. (2006) Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
5.Maramis, W. F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9. Surabaya: Airlangga
University Press.
6.Townsend, Mary. C. (2000). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts Of Care.
Edisi 3. Philadelphia: F. A. Davis Company
7.Stuart dan Laraia. (2001). Principle and Practice Of Psychiatric Nursing. edisi 6. St.
Louis: Mosby Year Book.
Iklan

Kategori: 1. ASKEP ZONE

Tinggalkan sebuah Komentar

*..WELCOME TO HARNA'S WORLD..*

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.


Kembali ke atas
Iklan

S-ar putea să vă placă și