Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
PENDAHULUAN
Penyakit kulit yang paling sering muncul di industri percetakan adalah dermatitis okupasional
atau sering disebut dengan dermatitis kontak akibat kerja. Dermatitis Kontak Akibat Kerja
(DK-AK) adalah keadaan patologis yang terjadi pada kulit disebabkan terutama oleh pajanan
pekerjaan atau pekerjaan merupakan faktor yang mempengaruhinya (Savitri dan Sukanto, 2003).
Health and Safety Exekutive (HSE) menyatakan bahwa antara tahun 2001 sampai 2002 terdapat
sekitar 39.000 orang di Inggris terkena penyakit kulit yang disebabkan oleh pekerjaan atau
sekitar 80% dari seluruh penyakit akibat kerja (Health and Safety Executive, 2006). Pekerja
percetakan telah diidentifikasi sebagai salah satu jenis pekerjaan dengan insiden dermatitis yang
tinggi dibandingkan jenis pekerjaan yang lain. Pekerja percetakan juga memiliki risiko yang
lebih besar untuk timbulnya dermatitis (Livesley dkk., 2002).
Dermatitis terjadi ketika suatu substansi masuk menembus sawar pelindung kulit dan
merangsang reaksi peradangan kulit. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin,
menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air. Keadaan tersebut akan
menimbulkan reaksi peradangan (Sularsito dan Djuanda, 2007). Sedangkan bahan yang bersifat
alergen akan menimbulkan reaksi alergi kulit.
APA GEJALANYA ?
Gejala akut yang dapat muncul antara lain kulit terasa pedih, panas, terasa terbakar, dan kelainan
yang terlihat berupa eritema (kemerahan), edema (bengkak), bula (lepuh), mungkin juga nekrosis
(kematian jaringan). Sedangkan gejala kronik berupa kulit kering, eritema (kemerahan), skuama
(mengelupas), lambat laun kulit tebal dan likenifikasi. Sedangkan penderita alergi umumnya
mengeluh gatal (Sularsito dan Djuanda, 2007).
BAHAN CETAK APA YANG DAPAT MENIMBULKAN DERMATITIS ?
Bahan-bahan yang berpotensi menyebabkan iritasi kulit pada industri percetakan, antara lain
alkohol, alkali, bahan pengembang, tinta, lemak, lilin, soda api, kaporit, larutan pencuci, hand
cleanser, tiner, dan lain-lain. Sedangkan bahan-bahan yang dapat menyebabkan kontak alergi,
yaitu potasium dikromat, formaldehid, cat, lem hidroquinon, dan lem perekat (Health and Safety
Executive, 2000).
Tabel 1. Hasil Penelitian Bahan Kimia Percetakan yang Berpengaruh pada DK-AK.
Faktor penyebab tidak langsung (faktor predisposisi) bukan merupakan faktor utama terjadinya
dermatitis kontak. Namun, bila faktor-faktor ini terdapat pada pekerja, maka akan meningkatkan
resiko dermatitis kontak (Lestari dan Utomo, 2007). Faktor-faktor tersebut adalah: usia pekerja,
lama bekerja, riwayat alergi (hipersensitivitas tipe 1), riwayat dermatitis pada pekerjaan
sebelumnya, penggunaan alat pelindung diri (sarung tangan), segeranya mencuci tangan setelah
kontak dengan bahan kimia cetak, dan lama kontak dengan bahan kimia perhari.
1. ada 2 faktor predisposisi yang berpengaruh terhadap kejadian DK-AK, yaitu variabel usia
dan riwayat dermatitis sebelumnya.
2. didapatkan hasil bahwa individu yang berusia 30-60 tahun lebih rentan terkena DK-AK 7
kali dibandingkan individu berusia <30 tahun. Sedangkan individu berusia >60 tahun
lebih rentan terkena DK-AK 1.5 kali dibandingkan individu yang berusia <30 tahun.
Individu dengan riwayat dermatitis sebelumnya lebih rentan terkena DK-AK 6 kali
dibandingkan individu tanpa riwayat dermatitis sebelumnya (Budiyanto, 2010).
1. Gunakan bahan kimia yang lebih aman dan sedikit menimbulkan iritasi maupun alergi.
Kesehatan diri lebih penting dari pada menggunakan bahan yang murah tapi berbahaya.
2. Baca label dan petunjuk produk dengan benar dan teliti.
3. Gunakan sarung tangan yang cocok untuk melindungi kulit dari paparan bahan kimia.
4. Gunakan krim pelembab untuk melindungi kulit. Karena kulit yang kering, mudah sekali
terjadi iritasi
5. Segera cuci tangan setelah kontak dengan bahan kimia. Gunakan sabun cuci yang tidak
mengiritasi kulit dan membuat kulit kering.
6. Pekerja dengan usia di atas 40 tahun atau usia lanjut sebaiknya mengurangi kontak
dengan bahan kimia. Karena semakin tua usia kulit menjadi semakin menipis dan
kehilangan kelenturan. Hal ini memudahkan terjadinya dermatitis (Occupational Safety
and Health Branch, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Tumbangnya Orde Baru ternyata tidak otomatis membawa perbaikan lingkungan di alam reformasi ini.
Bahkan bencana ekologis bertubi ?tubi menghantam tanah air Indonesia-termasuk Provinsi Riau- yang
notebene sedang giat ? giatnya melakukan pembangunan. Sebelum dilakukannya prosesi demokrasi
pemilihan presiden secara langsung banyak harapan dari masyarakat agar kelak jika kandidat
pilihannya terpilih, maka dengan penuh keteguhan akan membuat agenda perbaikan kerusakan
lingkungan secara serius. Bahkan kemudian bermunculan diskusi ? diskusi yang dipelopori oleh para
pecinta lingkungan hidup. Segala strategi dirumuskan untuk mencari formula yang tepat dalam
melakukan perbaikan ekologis tersebut. Namun, persoalan tidak berhenti disini, karena kita harus
berhadapan dengan pemimpin yang jelas-jelas diragukan keberpihakannya kepada rakyat.
Tulisan ini mencoba mengurai seputar kesepakatan ? kesepakatan internasional tentang pentingnya
memelihara lingkungan hidup, serta Implikasinya bagi Indonesia dan daerah. Disini juga akan
dipaparkan penyebab terjadinya kerusakan lingkungan diIndonesia, dampak yang dimunculkan dan
sedikit obat penawar terhadap upaya perbaikan lingkungan hidup di Indonesia, khususnya di Provinsi
Riau. Tulisan ini juga saya persembahkan sebagai kado ulang tahun hari lingkungan hidup sedunia
yang secara kebetulan juga pemerintah dan masyarakat Kota Pekanbaru meraih penghargaan piala
Adipura sebagai kota besar terbersih tahun 2005. Selamat atas penghargaan tersebut.
Protokol Kyoto dan Implikasinya
Ada banyak kesepakatan internasional yang menekankan pentingnya pemeliharaan lingkungan untuk
menselaraskan pembangunan disetiap negara. Dalam tulisan ini penulis hanya akan memberikan
uraian singkat tentang Protokol Kyoto disertai implikasinya terhadap negara berkembang khususnya
Indonesia. Protokol Kyoto dinilai sangat strategis bagi negara berkembang untuk melakukan
perbaikan lingkungan hidup.
Protokol Kyoto merupakan sebuah kesepakatan internasional yang mengamanatkan negara- negara
maju menurunkan emisi gas rumah kaca ( GRK ) rata ? rata sebesar 5,2 persen dari tingkat emisi
tahun 1990, pada periode 2008 ? 2012. Protokol Kyoto diratifikasi pada tahun 1997 dan disetujui
sebagai mekanisme untuk mereduksi emisi gas rumah kaca. Indonesia sendiri baru meratifikasi
protocol Kyoto pada tahun 2004 lalu dan menjadi negara ke-124 setelah Algeria. (Kompas:29 juni
2004) dan sesuai dengan ketentuan pasal 25 protokol Kyoto akan berlaku secara efektif setelah 90
hari diratifikasi oleh paling sedikit 55 negara pihak konvensi, termasuk negara ? negara maju dengan
total emisi karbon dioksida paling sedikit 55 persen dari total emisi tahun 1990.
Protokol Kyoto menetapkan tiga mekanisme utama dalam implementasinya yaitu (a) Implementasi
bersama ( Joint implementation ) yang merupakan kerja sama antar negara maju. (b) Cleant
development mechanism atau mekanisme pembangunan bersih, dimana negara maju berinvestasi
dinegara berkembang untuk proyek ? proyek yang menghasilkan pengurangan emisi yang
tersertifikasi ( certified emission Reduction /CER ) serta (c) Perdagangan emisi dimana negara maju
menjual gas rumah kaca yang tidak diemisikan kenegara maju lain yang tidak dapat memenuhi
kewajiban.
Perlu dicatat bahwa protocol Kyoto hanya mewajibkan bagi negara maju untuk mengurangi tingkat
emisinya. Sedangkan negara berkembang (termasuk Indonesia) tidak memiliki kewajiban untuk itu.
Pertanyaannya adalah mengapa negara berkembang dan Indonesia perlu terlibat dalam ratifikasi
protocol Kyoto? Untuk menjadi anggota tentu harus melakukan ratifikasi terhadap protocol Kyoto
untuk kemudian dapat berpartisipasi melalui salah satu dari tiga mekanisme yang ada yaitu
mekanisme pembangunan bersih atau Clean Development Mechanism (CDM); satu ? satunya
mekanisme yang dapat dilakukan antara negara maju dan negara berkembang.
Salah satu manfaat yang diperoleh Indonesia dengan ikut serta dalam protocol Kyoto adalah
Tumbangnya Orde Baru ternyata tidak otomatis membawa perbaikan lingkungan di alam reformasi ini.
Bahkan bencana ekologis bertubi ?tubi menghantam tanah air Indonesia-termasuk Provinsi Riau- yang
notebene sedang giat ? giatnya melakukan pembangunan. Sebelum dilakukannya prosesi demokrasi
pemilihan presiden secara langsung banyak harapan dari masyarakat agar kelak jika kandidat
pilihannya terpilih, maka dengan penuh keteguhan akan membuat agenda perbaikan kerusakan
lingkungan secara serius. Bahkan kemudian bermunculan diskusi ? diskusi yang dipelopori oleh para
pecinta lingkungan hidup. Segala strategi dirumuskan untuk mencari formula yang tepat dalam
melakukan perbaikan ekologis tersebut. Namun, persoalan tidak berhenti disini, karena kita harus
berhadapan dengan pemimpin yang jelas-jelas diragukan keberpihakannya kepada rakyat.
Tulisan ini mencoba mengurai seputar kesepakatan ? kesepakatan internasional tentang pentingnya
memelihara lingkungan hidup, serta Implikasinya bagi Indonesia dan daerah. Disini juga akan
dipaparkan penyebab terjadinya kerusakan lingkungan diIndonesia, dampak yang dimunculkan dan
sedikit obat penawar terhadap upaya perbaikan lingkungan hidup di Indonesia, khususnya di Provinsi
Riau. Tulisan ini juga saya persembahkan sebagai kado ulang tahun hari lingkungan hidup sedunia
yang secara kebetulan juga pemerintah dan masyarakat Kota Pekanbaru meraih penghargaan piala
Adipura sebagai kota besar terbersih tahun 2005. Selamat atas penghargaan tersebut.
Protokol Kyoto dan Implikasinya
Ada banyak kesepakatan internasional yang menekankan pentingnya pemeliharaan lingkungan untuk
menselaraskan pembangunan disetiap negara. Dalam tulisan ini penulis hanya akan memberikan
uraian singkat tentang Protokol Kyoto disertai implikasinya terhadap negara berkembang khususnya
Indonesia. Protokol Kyoto dinilai sangat strategis bagi negara berkembang untuk melakukan
perbaikan lingkungan hidup.
Protokol Kyoto merupakan sebuah kesepakatan internasional yang mengamanatkan negara- negara
maju menurunkan emisi gas rumah kaca ( GRK ) rata ? rata sebesar 5,2 persen dari tingkat emisi
tahun 1990, pada periode 2008 ? 2012. Protokol Kyoto diratifikasi pada tahun 1997 dan disetujui
sebagai mekanisme untuk mereduksi emisi gas rumah kaca. Indonesia sendiri baru meratifikasi
protocol Kyoto pada tahun 2004 lalu dan menjadi negara ke-124 setelah Algeria. (Kompas:29 juni
2004) dan sesuai dengan ketentuan pasal 25 protokol Kyoto akan berlaku secara efektif setelah 90
hari diratifikasi oleh paling sedikit 55 negara pihak konvensi, termasuk negara ? negara maju dengan
total emisi karbon dioksida paling sedikit 55 persen dari total emisi tahun 1990.
Protokol Kyoto menetapkan tiga mekanisme utama dalam implementasinya yaitu (a) Implementasi
bersama ( Joint implementation ) yang merupakan kerja sama antar negara maju. (b) Cleant
development mechanism atau mekanisme pembangunan bersih, dimana negara maju berinvestasi
dinegara berkembang untuk proyek ? proyek yang menghasilkan pengurangan emisi yang
tersertifikasi ( certified emission Reduction /CER ) serta (c) Perdagangan emisi dimana negara maju
menjual gas rumah kaca yang tidak diemisikan kenegara maju lain yang tidak dapat memenuhi
kewajiban.
Perlu dicatat bahwa protocol Kyoto hanya mewajibkan bagi negara maju untuk mengurangi tingkat
emisinya. Sedangkan negara berkembang (termasuk Indonesia) tidak memiliki kewajiban untuk itu.
Pertanyaannya adalah mengapa negara berkembang dan Indonesia perlu terlibat dalam ratifikasi
protocol Kyoto? Untuk menjadi anggota tentu harus melakukan ratifikasi terhadap protocol Kyoto
untuk kemudian dapat berpartisipasi melalui salah satu dari tiga mekanisme yang ada yaitu
mekanisme pembangunan bersih atau Clean Development Mechanism (CDM); satu ? satunya
mekanisme yang dapat dilakukan antara negara maju dan negara berkembang.
Salah satu manfaat yang diperoleh Indonesia dengan ikut serta dalam protocol Kyoto adalah kita
mendapat kemudahan memperoleh dana internasional untuk melakukan pengurangan emisi gas
rumah kaca dalam proyek ? proyek Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). Dengan demikian
Indonesia dengan potensi hutan tropis bisa mendapat peluang alih teknologi yang rendah emisi,
tambahan inventasi, serta bantuan teknis dan keuangan dari negara maju, sebagai kewajibannya
meningkatkan kemampuan negara berkembang beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim.
Yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana Kelembagaan dari pemerintah pusat hingga pemerintah
daerah. Setelah kita menjadi anggota protocol Kyoto. Apakah masyarakat kecil disetiap pelosok negeri
ini memperoleh faedah dari paradigma mekanisme pembangunan bersih. Dalam kontek Ke-Riau-an,
fenomena global terhadap lingkungan hidup; seperti banjir besar, kekeringan yang mendorong
mudahnya terjadi kebakaran hutan, naiknya permukaan air laut, perubahan pola hujan, meningkatnya
suhu, menurunnya kualitas dan kuantitas air bersih serta merebaknya penyakit malaria dan demam
berdarah, telah dirasakan diprovinsi yang memiliki SDA terbesar kedua setelah Kalimantan Timur ini.
Namun apa kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini ? Penderitaan dan bencana ?
bencana itu hanya menjadi tontonan tahunan tanpa upaya penyelesaian !
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadyah Yogyakarta dan
Ketua I Ikatan Keluarga Pelajar Riau Yogyakarta asal Pasirpangaraian Usia Bumi Hanya Tinggal Seabad
Lagi.
« on: June 28, 2007, 10:16:50 PM »
Ketika karbon dari muka bumi terus dilepas ke atmosfer lewat pembakaran bahan bakar fosil dan organik oleh
miliaran manusia. Ketika jutaan hektar hutan sebagai pengisap karbon terus ditebang dan kian berkurang. Ketika
itulah "bom waktu" mulai bekerja menghancurkan bumi ini. Gas karbon dan gas pencemar lain, seperti sulfur dan
nitrogen, yang tergabung dalam kelompok gas rumah kaca (GRK), akibat aktivitas manusia di berbagai sektor
akan terlepas ke udara, terkumpul semakin tebal di atmosfer menyelimuti bumi. GRK di lapisan udara atas itu,
karena proses kimiawinya, akan memerangkap sinar matahari yang menembus atmosfer masuk ke permukaan
bumi. Akibatnya, lingkungan planet biru itu menjadi kian panas. Kondisi suhu bumi yang tak nyaman ini membuat
semua sistem yang selama ini berada dalam siklus yang seimbang mulai terganggu. Salah satu yang terusik adalah
sistem cuaca, yang pada dasarnya terdiri atas proses pemanasan oleh sinar matahari menjadi uap air yang
terkumpul sampai terbentuk awan, lalu diembuskan angin ke daerah yang bertekanan rendah hingga jatuh
menjadi hujan. Tanpa perubahan perilaku dan pola konsumsi manusia, juga tanpa upaya mereduksi emisi GRK
untuk mengatasi pemanasan bumi, para pakar yang tergabung dalam Intergovermental Panel on Climate Change
(IPCC) memperkirakan usia bumi tinggal 70 tahun hingga seabad lagi. Proyeksi itu berdasarkan tren kenaikan suhu
udara hingga empat derajat Celsius (C). Tingkat itu dapat tercapai bila emisi GRK terus bertambah dalam beberapa
dekade ke depan karena tidak ditegakkannya kebijakan mitigasi perubahan iklim dan pola pembangunan ramah
lingkungan dan berkelanjutan. Bila melihat data emisi GRK pada kurun waktu 1970 hingga 2004 yang dikeluarkan
IPCC awal Mei lalu, emisi GRK naik 70 persen. Tingkat itu disumbangkan dari sektor energi yang mencapai
peningkatan 145 persen. Apa yang terjadi bila suhu rata-rata global naik 2 derajat Celsius? Yang jelas ada sekitar
30 persen spesies yang peka terhadap kenaikan suhu di muka bumi ini akan punah. Hilangnya sepertiga spesies itu
berarti mengganggu keseimbangan daur hidup, termasuk mengubah pola penularan penyakit melalui serangga dan
hewan. Sementara itu, perubahan pola cuaca meningkatkan kejadian badai dan curah hujan yang tinggi. Lalu,
bagaimana bila temperatur udara naik dua kali lipat menjadi 4C? Dampaknya, antara lain, hilangnya 30 persen
lahan basah, naiknya kasus penyakit akibat udara panas, banjir dan kekeringan,