Sunteți pe pagina 1din 12

PENYAKIT KULIT DI INDUSTRI PERCETAKAN

OLEH CARKO BUDIYANTO (Abu Idris CaKo Wae)

PENDAHULUAN

Penyakit kulit yang paling sering muncul di industri percetakan adalah dermatitis okupasional
atau sering disebut dengan dermatitis kontak akibat kerja. Dermatitis Kontak Akibat Kerja
(DK-AK) adalah keadaan patologis yang terjadi pada kulit disebabkan terutama oleh pajanan
pekerjaan atau pekerjaan merupakan faktor yang mempengaruhinya (Savitri dan Sukanto, 2003).

Health and Safety Exekutive (HSE) menyatakan bahwa antara tahun 2001 sampai 2002 terdapat
sekitar 39.000 orang di Inggris terkena penyakit kulit yang disebabkan oleh pekerjaan atau
sekitar 80% dari seluruh penyakit akibat kerja (Health and Safety Executive, 2006). Pekerja
percetakan telah diidentifikasi sebagai salah satu jenis pekerjaan dengan insiden dermatitis yang
tinggi dibandingkan jenis pekerjaan yang lain. Pekerja percetakan juga memiliki risiko yang
lebih besar untuk timbulnya dermatitis (Livesley dkk., 2002).

BAGAIMANA DERMATITIS TERJADI ?

Dermatitis terjadi ketika suatu substansi masuk menembus sawar pelindung kulit dan
merangsang reaksi peradangan kulit. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin,
menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air. Keadaan tersebut akan
menimbulkan reaksi peradangan (Sularsito dan Djuanda, 2007). Sedangkan bahan yang bersifat
alergen akan menimbulkan reaksi alergi kulit.

APA GEJALANYA ?

Gejala akut yang dapat muncul antara lain kulit terasa pedih, panas, terasa terbakar, dan kelainan
yang terlihat berupa eritema (kemerahan), edema (bengkak), bula (lepuh), mungkin juga nekrosis
(kematian jaringan). Sedangkan gejala kronik berupa kulit kering, eritema (kemerahan), skuama
(mengelupas), lambat laun kulit tebal dan likenifikasi. Sedangkan penderita alergi umumnya
mengeluh gatal (Sularsito dan Djuanda, 2007).
BAHAN CETAK APA YANG DAPAT MENIMBULKAN DERMATITIS ?

Bahan-bahan yang berpotensi menyebabkan iritasi kulit pada industri percetakan, antara lain
alkohol, alkali, bahan pengembang, tinta, lemak, lilin, soda api, kaporit, larutan pencuci, hand
cleanser, tiner, dan lain-lain. Sedangkan bahan-bahan yang dapat menyebabkan kontak alergi,
yaitu potasium dikromat, formaldehid, cat, lem hidroquinon, dan lem perekat (Health and Safety
Executive, 2000).

Tabel 1. Hasil Penelitian Bahan Kimia Percetakan yang Berpengaruh pada DK-AK.

Peneliti Tahun Bahan kimia Diagnosis penyakit Pekerjaan


Spruit & Malten 1975 Potassium bichromate Contact dermatitis Cetak Offset
& cobalt chloride
Tilsley 1975 Dermatitis Printer
Nyloprint
Pye & Peachey 1976 Contact dermatitis Platemaking
Nyloprint
Bjorkner etal 1980 Dermatitis Printer
Acrylates
Nethercott 1981 Dermatitis Printer
Epoxy acrylate
Pedersen et al 1982 Contact dermatitis Typographer
Acrylamides
Nethercottetal 1983 Contact dermatitis Printers
Urethane acrylates
Freeman 1984 Contact dermatitis Lithoprinter
Benzisoiazoline
English et al. 1986 Contact dermatitis Printer
1Methylquinoxalinium-
Whitfield & 1991 ptoluene sulphonate Dermatitis Screen printer
Freeman
1992 UV-cured inks Contact dermatitis Printer
Rycroft & Neild
1995 MCI/MI biocide Dermatitis Printer
Kanerva et al. 1996 Polyfunctional aziridine Contact dermatitis Offset printer

Kanerva et al. 1998 Cobalt-2-ethylhexoate Severe dermatitis Printer

Wahlberg NAPP printing plates

(Health and Safety Executive, 2000)

HASIL PENELITIAN YANG SAYA LAKUKAN ?

Faktor penyebab tidak langsung (faktor predisposisi) bukan merupakan faktor utama terjadinya
dermatitis kontak. Namun, bila faktor-faktor ini terdapat pada pekerja, maka akan meningkatkan
resiko dermatitis kontak (Lestari dan Utomo, 2007). Faktor-faktor tersebut adalah: usia pekerja,
lama bekerja, riwayat alergi (hipersensitivitas tipe 1), riwayat dermatitis pada pekerjaan
sebelumnya, penggunaan alat pelindung diri (sarung tangan), segeranya mencuci tangan setelah
kontak dengan bahan kimia cetak, dan lama kontak dengan bahan kimia perhari.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :

1. ada 2 faktor predisposisi yang berpengaruh terhadap kejadian DK-AK, yaitu variabel usia
dan riwayat dermatitis sebelumnya.
2. didapatkan hasil bahwa individu yang berusia 30-60 tahun lebih rentan terkena DK-AK 7
kali dibandingkan individu berusia <30 tahun. Sedangkan individu berusia >60 tahun
lebih rentan terkena DK-AK 1.5 kali dibandingkan individu yang berusia <30 tahun.
Individu dengan riwayat dermatitis sebelumnya lebih rentan terkena DK-AK 6 kali
dibandingkan individu tanpa riwayat dermatitis sebelumnya (Budiyanto, 2010).

BAGAIMANA MENCEGAH DERMATITIS ?

1. Gunakan bahan kimia yang lebih aman dan sedikit menimbulkan iritasi maupun alergi.
Kesehatan diri lebih penting dari pada menggunakan bahan yang murah tapi berbahaya.
2. Baca label dan petunjuk produk dengan benar dan teliti.
3. Gunakan sarung tangan yang cocok untuk melindungi kulit dari paparan bahan kimia.
4. Gunakan krim pelembab untuk melindungi kulit. Karena kulit yang kering, mudah sekali
terjadi iritasi
5. Segera cuci tangan setelah kontak dengan bahan kimia. Gunakan sabun cuci yang tidak
mengiritasi kulit dan membuat kulit kering.
6. Pekerja dengan usia di atas 40 tahun atau usia lanjut sebaiknya mengurangi kontak
dengan bahan kimia. Karena semakin tua usia kulit menjadi semakin menipis dan
kehilangan kelenturan. Hal ini memudahkan terjadinya dermatitis (Occupational Safety
and Health Branch, 2004).
DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto, Carko. 2010. Faktor Predisposisi yang Berpengaruh terhadap Kejadian


Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Pekerja Percetakan. Surakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
2. Health and Safety Executive. 2000. The prevalence of occupational dermatitis amongst
printers in the Midlands. http://www.hse.gov.uk/research/crr_pdf/2000/crr00307.pdf
(diakses 3 Maret 2010).
3. Health and Safety Executive. 2006. Preventing Dermatitis : Intervention in the Printing
and Publishing Industries.
http://www.hse.gov.uk/foi/internalops/sectors/manuf/3_06_02.pdf (diakses 20 Maret
2010).
4. Lestari F. dan Utomo H.S., 2007. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Dermatitis
Kontak pada Pekerja di PT Inti Pantja Press Industri.
http://journal.ui.ac.id/upload/artikel/03_FatmahLestari_Faktor%20Dermatitis.PDF
(diakses 3 Maret 2010).
5. Livesley E.J., Rushton L., English J.S., dan Williams H.C. 2002. The Prevalence of
Occupational Dermatitis in the UK Printing Industry.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1740323/pdf/v059p00487.pdf (diakses 20
Maret 2010).
6. Occupational Safety and Health Branch. 2004. Occupational Disease Casebook – Contact
Dermatitis. http://www.labour.gov.hk/eng/public/oh/OHB91b.pdf (diakses 20 Maret
2010).
7. Savitri D. dan Sukanto H.. 2003. Penderita dermatitis kontak akibat kerja di Divisi Alergi
Uni Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode
1997-2001. Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 15: 121-34.
8. Sularsito S.A. dan Djuanda S.. 2007. Dermatitis. In : Djuanda A., dkk (eds). Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed ke-5. Jakarta: FKUI, pp : 129-53.
Penyakit Paru Akibat Debu Industri
KEMAJUAN dalam bidang industri di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Proses
pengembangan industri yang menggunakan beraneka ragam teknologi modern sesuai dengan
pembangunan perekonomian nasional tersebut mampu menyerap jutaan tenaga kerja.
Peningkatan ini memberikan berbagai dampak positif, yaitu terbukanya lapangan kerja dan
meningkatnya taraf sosial ekonomi masyarakat. Namun, dampak negatif pun tak dapat dielakkan,
salah satunya adalah pencemaran udara oleh debu yang timbul dari proses pengolahan atau hasil
industri.
Risiko terserang penyakit paru akibat debu tidak hanya mengancam para pekerja, tetapi juga
masyarakat yang bermukim di sekitar daerah industri. Pengetahuan yang cukup tentang dampak debu
sebenarnya sangat diperlukan untuk dapat mengidentifikasi bahan yang dapat mencemari udara,
mengenali kelainan yang timbul, dan melakukan usaha pencegahan.
Secara fisik, debu atau particulate dikategorikan sebagai pencemar udara aerosol. Debu terdiri atas
dua golongan, yaitu padat (solid) dan cair (likuid). Debu yang terdiri atas partikel-partikel padat
dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu dust, fumes, dan smoke.
Dust terdiri atas berbagai ukuran mulai dari yang submikroskopik sampai yang besar. Yang
berbahaya adalah ukuran yang bisa terhisap ke dalam sistem pernapasan, umumnya lebih kecil dari
100 mikron dan bersifat dapat terhisap ke dalam tubuh.
Fumes adalah partikel padat yang terbentuk dari proses evaporasi atau kondensasi. Pemanasan
berbagai logam misalnya, menghasilkan uap logam yang kemudian berkondensasi menjadi partikel-
partikel metal fumes, misalnya logam (Cd) dan timbal (Pb).
Terakhir smoke atau asap adalah produk dari pembakaran bahan organik yang tidak sempurna dan
berukuran sekira 0,5 mikron. Sementara itu, partikel cair biasanya disebut mist atau fog (awan) yang
dihasilkan melalui proses kondensasi atau atomizing, contoh sederhana adalah hair spray atau obat
nyamuk semprot.
Partikel debu
Dokter spesialis paru dan pernapasan, dr. Emil B. Moerad, Sp.P., menjelaskan debu industri yang
terdapat dalam udara dibagi dua, yaitu deposit particulate matter dan suspended particulate matter.
Deposit particulate matter yaitu partikel debu yang hanya berada sementara di udara. Partikel ini
segera mengendap karena daya tarik bumi. Yang kedua, suspended particulate matter adalah debu
yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap.
Menurut Emil, debu dengan berbagai faktor tertentu dapat menyebabkan timbulnya gangguan pada
saluran pernapasan. Faktor tersebut antara lain, ukuran partikel, bentuk, konsentrasi, daya larut, sifat
kimiawi, dan lama pajanan. ”Debu yang berukuran antara lima hingga 10 mikron bila terisap akan
tertahan dan tertimbun pada saluran napas bagian atas, sedangkan yang berukuran antara tiga hingga
lima mikron akan tertahan dan tertimbun pada saluran napas tengah,” katanya.
Partikel debu yang berukuran satu hingga tiga mikron disebut juga debu respirabel dan merupakan
ukuran yang paling berbahaya karena dapat tertahan di saluran pernapasan.
Selain itu, debu tersebut juga akan tertimbun mulai dari bronkiolus terminalis atau saluran napas
kecil paling ujung sampai ke ”alveoli” atau gelembung-gelembung udara yang merupakan akhir dari
saluran pernapasan.
Debu yang berukuran kurang dari satu mikron tidak mudah mengendap di alveoli, debu yang
ukurannya antara 0,1-0,5 mikron berdifusi dengan gerak Brown keluar masuk alveoli. Bila
membentur alveoli, ia dapat tertimbun di situ.
Meskipun batas ukuran debu respirabel adalah lima mikron, tetapi debu dengan ukuran lima hingga
10 mikron dengan kadar berbeda dapat masuk ke dalam alveoli. ”Debu yang berukuran lebih dari
lima mikron akan dikeluarkan semuanya bila jumlahnya kurang dari 10 partikel per milimeter udara.
Namun, bila jumlahnya 1.000 partikel per milimeter udara, 10 persen dari jumlah tersebut akan
ditimbun dalam paru,” katanya.
Dahulu debu besi, kapur, dan timah digolongkan sebagai debu yang nonfibrogenik atau debu yang
tidak menimbulkan reaksi jaringan paru dan tidak merusak paru atau disebut debu inert. Belakangan
diketahui bahwa tidak ada debu yang benar-benar aman bagi kesehatan paru.
Kelenjar mukus
Dalam dosis besar, semua debu bersifat merangsang dan dapat menimbulkan reaksi walaupun ringan.
Reaksi tersebut berupa produksi lendir berlebihan. Apabila ini terus berlangsung, dapat terjadi
hiperlasi kelenjar mukus atau pertumbuhan kelenjar mukus yang memproduksi lendir secara
berlebihan.
Debu yang masuk ke saluran napas menyebabkan timbulnya reaksi mekanisme pertahanan tubuh
berupa batuk dan bersin. Otot polos di sekitar jalan napas dapat terangsang sehingga menimbulkan
penyempitan. Keadaan ini terjadi bila debu melebihi nilai ambang batas.
”Lendir yang ke luar melalui seluruh permukaan saluran pernapasan merupakan bentuk pertahanan
tubuh. Bila sistem mukosiliter mengalami gangguan, produksi lendirnya akan bertambah. Kalau
mekanisme pengeluarannya juga tidak sempurna, bisa terjadi obstruksi saluran napas atau
penyempitan saluran napas,” katanya.
Dijelaskan, di seluruh permukaan saluran pernapasan terdapat bulu-bulu halus atau silia dan lendir
atau mukus yang bergerak bersama-sama mendorong debu dan kotoran yang masuk keluar saluran
pernapasan dalam bentuk batuk.
Tidak dapat diobati
Dokter Emil yang juga Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi Kalimantan Timur mengatakan
bahwa penyakit paru akibat debu industri punya gejala dan tanda yang mirip dengan penyakit paru
lainnya. ”Pasien hendaknya menjalani pemeriksaan radiologis dan faal paru guna menegakkan
diagnosis serta menilai kecacatan paru pada penyakit paru akibat debu yang diderita tersebut. Ini
merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat penting,” katanya.
Ia menyebutkan, penyakit paru kerja yang dapat timbul akibat debu industri antara lain adalah
pneumokoniosis batubara, silikosis, bronkitis industri, asma kerja, dan kanker paru. Apabila penyakit
paru kerja telah terjadi, umumnya penyakit tersebut tidak dapat diobati.
Pengobatan pada penyakit paru kerja, katanya, hanya bersifat simptomatis atau bersifat mengurangi
gejala dan kelun penderita, sedangkan obat lain yang diberikan bersifat suportif. ”Upaya pencegahan
merupakan tindakan yang paling penting pada pencegahan penyakit paru akibat debu industri guna
mengurangi laju perkembangan penyakit yang telah terjadi,” katanya.
Menurut dia, pekerja hendaknya melakukan pemeriksaan faal paru dan radiologi sebelum menjadi
karyawan di suatu perusahaan dan tetap melakukan pemeriksaan secara berkala guna mendeteksi
setiap kelainan yang timbul.
Selain itu, pekerja diwajibkan memakai alat pelindung berupa masker atau respirator selama bekerja.
Bagi seseorang telah menderita penyakit paru, hendaknya melapor dan mengajukan pemindahan ke
tempat lain yang tidak terpolusi debu agar dapat mengurangi laju perkembangan penyakit.
”Pekerja hendaknya berhenti merokok, terutama bila bekerja di tempat-tempat yang punya risiko
terjadi penyakit bronkitis dan kanker paru karena asap rokok dapat meningkatkan risiko timbulnya
penyakit tersebut,” ungkap dr Emil. (Dwi R.)***

Ribuan Warga Sumber Terjangkit Penyakit ISPA Diduga Akibat


Pencemaran Limbah Industri Rotan
CIREBON, (PR).- Ribuan warga di Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon dan sekitarnya,
terjangkit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan penyakit kulit. Diduga kuat, penyakit tersebut
merupakan dampak pencemaran limbah pabrik rotan.
Penyakit ISPA yang diderita secara massal itu terungkap setelah instansi terkait melakukan
pengobatan gratis belum lama ini. Dari 500 warga yang menerima fasilitas
pengobatan gratis, Sabtu pekan lalu, 450 warga di antaranya terserang penyakit ISPA dan penyakit
kulit.
Jumlah warga yang terjangkit ISPA akan jauh lebih besar bila seluruh warga di Kecamatan Sumber
memeriksakan kesehatannya ke puskesmas atau dokter. Berdasarkan keterangan medis, penyakit
ISPA yang diderita warga diduga akibat pencemaran limbah cair dan udara.
Penyakit yang menjangkiti warga tampaknya berasal dari limbah pabrik rotan. Sebab, kebetulan
tempat tinggal warga di Sumber berdekatan dengan Kecamatan Plumbon, yang dikenal sebagai
kawasan industri, khususnya rotan.
Di Kecamatan Plumbon, sedikitnya ada 1.000 pabrik rotan dan pabrik lainnya yang membuang
limbah cair secara sembarangan. Limbah sisa produksi atau hasil pembakaran pabrik itu dibuang
begitu saja tanpa melalui instalasi pengolahan air limbah (IPAL).
Berdasarkan hasil pelaksanaan pengobatan gratis, ISPA dan penyakit kulit menyerang warga dari
semua kelompok usia, mulai balita sampai usia 65 tahun. Kondisi ini benar-benar memprihatinkan
dan menuntut adanya tanggung jawab sosial dari para pemilik industri rotan yang berada di Plumbon.
"Warga yang berobat ke sini, sekira 80 persen terkena ISPA dan penyakit kulit," kata Suparji, dokter
yang menangani pasien pengobatan gratis itu.
Menurut Suparji, berdasarkan catatan pada pelaksanaan pengobatan gratis, warga yang bermukim
sekira 5-10 km dari lokasi pabrik terjangkit penyakit ISPA dan penyakit kulit dengan tingkat yang
cukup mengkhawatirkan. Sedangkan yang paling parah dialami warga yang rumahnya lebih dekat,
sekira 2-4 km dari lokasi pabrik.
"Kami menilai perlu segera dilakukan penelitian khusus. Sebab, limbah jenis ini sangat berbahaya
dan harus ada penanganan tim ahli Amdal. Bila tidak, penyakit ISPA yang menyerang warga akan
mendorong lahirnya penyakit yang degeneratif (mematikan)," kata Suparji.
Berdasarkan hasil diagnosis secara fisik, warga Sumber yang terjangkit ISPA rata-rata menggunakan
air sumur eretan untuk keperluan MCK, bahkan untuk memasak dan air minum. Air ledeng sendiri
kebetulan tidak masuk ke wilayah permukiman penduduk miskin ini.
Dari pemeriksaan mata, lidah, hingga ke jantung, dan paru-paru, kondisi kesehatan penduduk di
Sumber, rata-rata buruk dan sangat gampang terserang ISPA dan penyakit kulit. Dalam kondisi
seperti itu, mereka justru mengalami kesulitan air bersih karena selama ini cuma menggantungkan air
dari sumur eretan.
Pelanggaran UU LH
Sementara itu, Direktur LSM Yayasan Buruh dan Lingkungan Hidup (YBLH), Yoyon Suharyono,
membenarkan banyak pabrik di Plumbon yang membuang limbah sembarangan. Limbah itu dibuang
begitu saja ke sungai tanpa terlebih dulu melalui proses IPAL.
Akibatnya, pencemaran yang terjadi pada aliran sungai yang melintas di sekitar pabrik sudah sangat
memprihatinkan. "Tingkat pencemaran sungai di Plumbon sudah sangat serius. Hal ini dibuktikan
hasil penelitian yang menunjukkan kandungan BOD dan COG sungai di Plumbon sudah melebihi
ambang batas," katanya.
Yoyon menuturkan, pencemaran yang terjadi di sungai Plumbon menunjukkan masih banyaknya
industri yang tidak memerhatikan kelestarian lingkungan hidup. Banyak pabrik rotan dan pabrik
lainnya yang melanggar UU No. 23/97 tentang Lingkungan Hidup (LH).
Untuk mengatasi hal itu, kata Yoyon, pihak YLBH berencana membawa dan mengadukan kasus
pencemaran itu ke Kementerian Lingkungan Hidup.
"Tapi, sebelum ke Jakarta menemui menteri Lingkungan Hidup, kami akan
mengadu dulu ke bupati. Pemkab harus bisa berbuat tegas kepada pabrik-
pabrik yang membuang limbah sembarangan," tandasnya. (A-93)***
Pembangunan Daerah Dan Kelestarian Lingkungan Pembangunan Daerah Dan
Kelestarian Lingkungan

Pembangunan Daerah Dan Kelestarian Lingkungan Pembangunan Daerah Dan Kelestarian


Lingkungan
Kondisi bumi tidak membaik pasca KTT Bumi di Rio. Melalui laporannya Global Challenge, Global
Opportunity, PBB mengeluarkan sejumlah peringatan. 40 persen penduduk bumi mengalami
kekurangan air. Permukaan laut meninggi akibat perubahan iklim. Tiga juta orang meninggal dunia
akibat pencemaran udara. Semakin banyak jenis flora dan fauna punah. Diprediksi bila tidak ada
perubahan maka kekayaan alam akan habis pada 2050, sehingga kebutuhan bahan baku tidak
mungkin terpenuhi. Menurut lembaga Dana Alam Dunia, musibah banjir di Eropa Tengah dan
pencemaran udara di Asia membuktikan bahwa perlu diambil langkah-langkah penanggulangan
selekasnya.
Dua tantangan global terbesar saat ini adalah pengikisan kemiskinan dan penghentian degradasi
lingkungan. Kedua tantangan ini sangat kompleks, saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain. Kedua hal ini juga termaktub di dalam Millenium Development Goals, dimana
masyarakat internasional telah membangun komitmen bersama untuk mengatasinya. Tujuan tersebut
termasuk di antaranya penghapusan kemiskinan ekstrim dan kelaparan dan sekaligus memastikan
keberlanjutan kehidupan.
Sementara itu, dalam Pertemuan Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (WSSD) di Johannesberg,
Afrika Selatan, para pemimpin dunia juga telah menegaskan kembali komitmen mereka untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan memastikan tiga aspek utama -lingkungan,
sosial, dan ekonomi- dalam pembangunan dengan pola keseimbangan tanpa saling mendominasi.
Tercapainya ketiga aspek tersebut secara bersama-sama adalah prasyarat bagi tercapainya
pembangunan berkelanjutan dan pada akhirnya dapat menjamin pondasi keberlanjutan kehidupan
umat manusia di planet yang semakin rapuh ini.

Tumbangnya Orde Baru ternyata tidak otomatis membawa perbaikan lingkungan di alam reformasi ini.
Bahkan bencana ekologis bertubi ?tubi menghantam tanah air Indonesia-termasuk Provinsi Riau- yang
notebene sedang giat ? giatnya melakukan pembangunan. Sebelum dilakukannya prosesi demokrasi
pemilihan presiden secara langsung banyak harapan dari masyarakat agar kelak jika kandidat
pilihannya terpilih, maka dengan penuh keteguhan akan membuat agenda perbaikan kerusakan
lingkungan secara serius. Bahkan kemudian bermunculan diskusi ? diskusi yang dipelopori oleh para
pecinta lingkungan hidup. Segala strategi dirumuskan untuk mencari formula yang tepat dalam
melakukan perbaikan ekologis tersebut. Namun, persoalan tidak berhenti disini, karena kita harus
berhadapan dengan pemimpin yang jelas-jelas diragukan keberpihakannya kepada rakyat.
Tulisan ini mencoba mengurai seputar kesepakatan ? kesepakatan internasional tentang pentingnya
memelihara lingkungan hidup, serta Implikasinya bagi Indonesia dan daerah. Disini juga akan
dipaparkan penyebab terjadinya kerusakan lingkungan diIndonesia, dampak yang dimunculkan dan
sedikit obat penawar terhadap upaya perbaikan lingkungan hidup di Indonesia, khususnya di Provinsi
Riau. Tulisan ini juga saya persembahkan sebagai kado ulang tahun hari lingkungan hidup sedunia
yang secara kebetulan juga pemerintah dan masyarakat Kota Pekanbaru meraih penghargaan piala
Adipura sebagai kota besar terbersih tahun 2005. Selamat atas penghargaan tersebut.
Protokol Kyoto dan Implikasinya
Ada banyak kesepakatan internasional yang menekankan pentingnya pemeliharaan lingkungan untuk
menselaraskan pembangunan disetiap negara. Dalam tulisan ini penulis hanya akan memberikan
uraian singkat tentang Protokol Kyoto disertai implikasinya terhadap negara berkembang khususnya
Indonesia. Protokol Kyoto dinilai sangat strategis bagi negara berkembang untuk melakukan
perbaikan lingkungan hidup.
Protokol Kyoto merupakan sebuah kesepakatan internasional yang mengamanatkan negara- negara
maju menurunkan emisi gas rumah kaca ( GRK ) rata ? rata sebesar 5,2 persen dari tingkat emisi
tahun 1990, pada periode 2008 ? 2012. Protokol Kyoto diratifikasi pada tahun 1997 dan disetujui
sebagai mekanisme untuk mereduksi emisi gas rumah kaca. Indonesia sendiri baru meratifikasi
protocol Kyoto pada tahun 2004 lalu dan menjadi negara ke-124 setelah Algeria. (Kompas:29 juni
2004) dan sesuai dengan ketentuan pasal 25 protokol Kyoto akan berlaku secara efektif setelah 90
hari diratifikasi oleh paling sedikit 55 negara pihak konvensi, termasuk negara ? negara maju dengan
total emisi karbon dioksida paling sedikit 55 persen dari total emisi tahun 1990.
Protokol Kyoto menetapkan tiga mekanisme utama dalam implementasinya yaitu (a) Implementasi
bersama ( Joint implementation ) yang merupakan kerja sama antar negara maju. (b) Cleant
development mechanism atau mekanisme pembangunan bersih, dimana negara maju berinvestasi
dinegara berkembang untuk proyek ? proyek yang menghasilkan pengurangan emisi yang
tersertifikasi ( certified emission Reduction /CER ) serta (c) Perdagangan emisi dimana negara maju
menjual gas rumah kaca yang tidak diemisikan kenegara maju lain yang tidak dapat memenuhi
kewajiban.
Perlu dicatat bahwa protocol Kyoto hanya mewajibkan bagi negara maju untuk mengurangi tingkat
emisinya. Sedangkan negara berkembang (termasuk Indonesia) tidak memiliki kewajiban untuk itu.
Pertanyaannya adalah mengapa negara berkembang dan Indonesia perlu terlibat dalam ratifikasi
protocol Kyoto? Untuk menjadi anggota tentu harus melakukan ratifikasi terhadap protocol Kyoto
untuk kemudian dapat berpartisipasi melalui salah satu dari tiga mekanisme yang ada yaitu
mekanisme pembangunan bersih atau Clean Development Mechanism (CDM); satu ? satunya
mekanisme yang dapat dilakukan antara negara maju dan negara berkembang.
Salah satu manfaat yang diperoleh Indonesia dengan ikut serta dalam protocol Kyoto adalah
Tumbangnya Orde Baru ternyata tidak otomatis membawa perbaikan lingkungan di alam reformasi ini.
Bahkan bencana ekologis bertubi ?tubi menghantam tanah air Indonesia-termasuk Provinsi Riau- yang
notebene sedang giat ? giatnya melakukan pembangunan. Sebelum dilakukannya prosesi demokrasi
pemilihan presiden secara langsung banyak harapan dari masyarakat agar kelak jika kandidat
pilihannya terpilih, maka dengan penuh keteguhan akan membuat agenda perbaikan kerusakan
lingkungan secara serius. Bahkan kemudian bermunculan diskusi ? diskusi yang dipelopori oleh para
pecinta lingkungan hidup. Segala strategi dirumuskan untuk mencari formula yang tepat dalam
melakukan perbaikan ekologis tersebut. Namun, persoalan tidak berhenti disini, karena kita harus
berhadapan dengan pemimpin yang jelas-jelas diragukan keberpihakannya kepada rakyat.
Tulisan ini mencoba mengurai seputar kesepakatan ? kesepakatan internasional tentang pentingnya
memelihara lingkungan hidup, serta Implikasinya bagi Indonesia dan daerah. Disini juga akan
dipaparkan penyebab terjadinya kerusakan lingkungan diIndonesia, dampak yang dimunculkan dan
sedikit obat penawar terhadap upaya perbaikan lingkungan hidup di Indonesia, khususnya di Provinsi
Riau. Tulisan ini juga saya persembahkan sebagai kado ulang tahun hari lingkungan hidup sedunia
yang secara kebetulan juga pemerintah dan masyarakat Kota Pekanbaru meraih penghargaan piala
Adipura sebagai kota besar terbersih tahun 2005. Selamat atas penghargaan tersebut.
Protokol Kyoto dan Implikasinya
Ada banyak kesepakatan internasional yang menekankan pentingnya pemeliharaan lingkungan untuk
menselaraskan pembangunan disetiap negara. Dalam tulisan ini penulis hanya akan memberikan
uraian singkat tentang Protokol Kyoto disertai implikasinya terhadap negara berkembang khususnya
Indonesia. Protokol Kyoto dinilai sangat strategis bagi negara berkembang untuk melakukan
perbaikan lingkungan hidup.
Protokol Kyoto merupakan sebuah kesepakatan internasional yang mengamanatkan negara- negara
maju menurunkan emisi gas rumah kaca ( GRK ) rata ? rata sebesar 5,2 persen dari tingkat emisi
tahun 1990, pada periode 2008 ? 2012. Protokol Kyoto diratifikasi pada tahun 1997 dan disetujui
sebagai mekanisme untuk mereduksi emisi gas rumah kaca. Indonesia sendiri baru meratifikasi
protocol Kyoto pada tahun 2004 lalu dan menjadi negara ke-124 setelah Algeria. (Kompas:29 juni
2004) dan sesuai dengan ketentuan pasal 25 protokol Kyoto akan berlaku secara efektif setelah 90
hari diratifikasi oleh paling sedikit 55 negara pihak konvensi, termasuk negara ? negara maju dengan
total emisi karbon dioksida paling sedikit 55 persen dari total emisi tahun 1990.
Protokol Kyoto menetapkan tiga mekanisme utama dalam implementasinya yaitu (a) Implementasi
bersama ( Joint implementation ) yang merupakan kerja sama antar negara maju. (b) Cleant
development mechanism atau mekanisme pembangunan bersih, dimana negara maju berinvestasi
dinegara berkembang untuk proyek ? proyek yang menghasilkan pengurangan emisi yang
tersertifikasi ( certified emission Reduction /CER ) serta (c) Perdagangan emisi dimana negara maju
menjual gas rumah kaca yang tidak diemisikan kenegara maju lain yang tidak dapat memenuhi
kewajiban.
Perlu dicatat bahwa protocol Kyoto hanya mewajibkan bagi negara maju untuk mengurangi tingkat
emisinya. Sedangkan negara berkembang (termasuk Indonesia) tidak memiliki kewajiban untuk itu.
Pertanyaannya adalah mengapa negara berkembang dan Indonesia perlu terlibat dalam ratifikasi
protocol Kyoto? Untuk menjadi anggota tentu harus melakukan ratifikasi terhadap protocol Kyoto
untuk kemudian dapat berpartisipasi melalui salah satu dari tiga mekanisme yang ada yaitu
mekanisme pembangunan bersih atau Clean Development Mechanism (CDM); satu ? satunya
mekanisme yang dapat dilakukan antara negara maju dan negara berkembang.
Salah satu manfaat yang diperoleh Indonesia dengan ikut serta dalam protocol Kyoto adalah kita
mendapat kemudahan memperoleh dana internasional untuk melakukan pengurangan emisi gas
rumah kaca dalam proyek ? proyek Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). Dengan demikian
Indonesia dengan potensi hutan tropis bisa mendapat peluang alih teknologi yang rendah emisi,
tambahan inventasi, serta bantuan teknis dan keuangan dari negara maju, sebagai kewajibannya
meningkatkan kemampuan negara berkembang beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim.
Yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana Kelembagaan dari pemerintah pusat hingga pemerintah
daerah. Setelah kita menjadi anggota protocol Kyoto. Apakah masyarakat kecil disetiap pelosok negeri
ini memperoleh faedah dari paradigma mekanisme pembangunan bersih. Dalam kontek Ke-Riau-an,
fenomena global terhadap lingkungan hidup; seperti banjir besar, kekeringan yang mendorong
mudahnya terjadi kebakaran hutan, naiknya permukaan air laut, perubahan pola hujan, meningkatnya
suhu, menurunnya kualitas dan kuantitas air bersih serta merebaknya penyakit malaria dan demam
berdarah, telah dirasakan diprovinsi yang memiliki SDA terbesar kedua setelah Kalimantan Timur ini.
Namun apa kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini ? Penderitaan dan bencana ?
bencana itu hanya menjadi tontonan tahunan tanpa upaya penyelesaian !
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadyah Yogyakarta dan
Ketua I Ikatan Keluarga Pelajar Riau Yogyakarta asal Pasirpangaraian Usia Bumi Hanya Tinggal Seabad
Lagi.
« on: June 28, 2007, 10:16:50 PM »
Ketika karbon dari muka bumi terus dilepas ke atmosfer lewat pembakaran bahan bakar fosil dan organik oleh
miliaran manusia. Ketika jutaan hektar hutan sebagai pengisap karbon terus ditebang dan kian berkurang. Ketika
itulah "bom waktu" mulai bekerja menghancurkan bumi ini. Gas karbon dan gas pencemar lain, seperti sulfur dan
nitrogen, yang tergabung dalam kelompok gas rumah kaca (GRK), akibat aktivitas manusia di berbagai sektor
akan terlepas ke udara, terkumpul semakin tebal di atmosfer menyelimuti bumi. GRK di lapisan udara atas itu,
karena proses kimiawinya, akan memerangkap sinar matahari yang menembus atmosfer masuk ke permukaan
bumi. Akibatnya, lingkungan planet biru itu menjadi kian panas. Kondisi suhu bumi yang tak nyaman ini membuat
semua sistem yang selama ini berada dalam siklus yang seimbang mulai terganggu. Salah satu yang terusik adalah
sistem cuaca, yang pada dasarnya terdiri atas proses pemanasan oleh sinar matahari menjadi uap air yang
terkumpul sampai terbentuk awan, lalu diembuskan angin ke daerah yang bertekanan rendah hingga jatuh
menjadi hujan. Tanpa perubahan perilaku dan pola konsumsi manusia, juga tanpa upaya mereduksi emisi GRK
untuk mengatasi pemanasan bumi, para pakar yang tergabung dalam Intergovermental Panel on Climate Change
(IPCC) memperkirakan usia bumi tinggal 70 tahun hingga seabad lagi. Proyeksi itu berdasarkan tren kenaikan suhu
udara hingga empat derajat Celsius (C). Tingkat itu dapat tercapai bila emisi GRK terus bertambah dalam beberapa
dekade ke depan karena tidak ditegakkannya kebijakan mitigasi perubahan iklim dan pola pembangunan ramah
lingkungan dan berkelanjutan. Bila melihat data emisi GRK pada kurun waktu 1970 hingga 2004 yang dikeluarkan
IPCC awal Mei lalu, emisi GRK naik 70 persen. Tingkat itu disumbangkan dari sektor energi yang mencapai
peningkatan 145 persen. Apa yang terjadi bila suhu rata-rata global naik 2 derajat Celsius? Yang jelas ada sekitar
30 persen spesies yang peka terhadap kenaikan suhu di muka bumi ini akan punah. Hilangnya sepertiga spesies itu
berarti mengganggu keseimbangan daur hidup, termasuk mengubah pola penularan penyakit melalui serangga dan
hewan. Sementara itu, perubahan pola cuaca meningkatkan kejadian badai dan curah hujan yang tinggi. Lalu,
bagaimana bila temperatur udara naik dua kali lipat menjadi 4C? Dampaknya, antara lain, hilangnya 30 persen
lahan basah, naiknya kasus penyakit akibat udara panas, banjir dan kekeringan,

S-ar putea să vă placă și