Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Nama Mahasiswa:
Nama Pembimbing :
Saran Pembimbing :
B. Etiologi
1. Inflamasi akut pada appendik dan edema
2. Ulserasi pada mukosa
3. Obstruksi pada kolon oleh fecalit (feses yang keras)
4. Pemberian barium
5. Berbagai macam penyakit cacing
6. Tumor atau benda asing
7. Striktur karena fibrosis pada dinding usus (Dermawan, 2010).
8. Penyumbatan: sisa makanan atau kotoran yang mengeras dapat terjebak di
dalam lubang pada rongga perut yang mengisi apendiks
9. Infeksi: appendiksitis dapat juga dikarenakan infeksi, seperti infeksi virus
gastrointestinal, atau mungkin karena jenis pembengkakan lainnya (Abata,
2014).
C. Patofisiologi
Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat
atau tersumbat, kemungkinan oleh fekalit (massa keras dari feses), tumor, atau
benda asing. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal,
menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif,
dalam beberapa jam, terlokalisasi di kuadran kanan bawah abdomen.
Akhirnya, apendiks yang terinflamasi berisi pus (Smeltzer, 2001).
Bila apendiks tersumbat, tekanan intraluminal meningkat, menimbulkan
penurunan drainase vena, thrombosis, edema dan invasi bakteri dinding usus.
Bila obstruksi berlanjut, apendiks menjadi semakin hiperemik, hangat, dan
tertutup eksudat yang seterusnya menjadi gangren dan perforasi (Ester, 2001).
D. Manifestasi klinik
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari
oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat. Nyeri
kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah
dan hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan
dapat dirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada
antara umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan,
spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada
beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar dibelakang
sekum, nyeri dan nyeritekan terasa didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada
pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. Nyeri
pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum. Nyeri pada
saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung
kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan
dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran
bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran
kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar.
Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk.
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi.
Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus
atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai
ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi
pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan
kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda (Smeltzer C. Suzanne,
2002).
E. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
a. Pembedahan (konvensional atau laparoskopi) diindikasikan apabila
diagnosa apendisitis telah ditegakkan dan harus segera dilakukan untuk
mengurangi risiko iritasi
b. Berikan antibiotik dan cairan IV sampai pembedahan dilakukan
c. Agens analgesic dapat dibedakan setelah diagnosis ditegakkan
(Brunner, 2013)
2. Penatalaksanaan keperawatan
a. Tujuan keperawatan mencakup upaya meredakan nyeri, mencagah
defisit volume cairan, menurunkan ansietas, mengatasi infeksi yang
disebabkan oleh gangguan potensial atau aktual pada saluran GI,
mepertahankan integritas kulit, dan mencapai nutrisi yang optimal
b. Sebelum operasi, siapkan pasien untuk menjalani pembedahan, mulai
jalur IV, berikan antibiotik, dan masukkan selang nasogastrik (bila
terbukti pada ileus paralitik). Jangan berikan enema atau laksatif (dapat
menyebabkan perforasi)
c. Setelah operasi, posisikan pasien fowler-tinggi, berikan analgesic
narkotik sesuai program, berikan cairan oral apabila dapat ditoleransi,
berikan makanan yang disukai pasien pada hari pembedahan (jika
dapat ditoleransi). Jika pasien dehidrasi sebelum pembedahan beikan
cairan IV
d. Jika drain terpasang pada area insisi, pantau secara ketat adanya tanda-
tanda obstruksi usus halus, hemoragi sekunder, atau abses sekunder
(misal demama, takikardi, dan peningkatan jumlh leukosit (Brunner,
2013).
3. Penatalaksanaan medis
a. Pembedahan : apendektomi (dilakukan bila diagnosa apendisitis
ditegakkan) menurunkan resiko perforasi
1) Sebelum operasi
a) Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan
gejala apendisitis seringkali masih belum jelas. Dalam keadaan
ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan
tirah baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila
dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk peritonitis lainnya.
Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah
(leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodic. Foto
abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari
kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus,
diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan
bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
b) Intubasi bila perlu
c) Antibiotik
2) Operasi apendektomi
3) Pasca operasi
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui
terjadinya perdarahan di dalam syok, hipertermia, atau gangguan
pernapasan. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar,
sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien
dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak
terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan
operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum,
puasakan diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.
Kemudian berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam
lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesaokan harinya diberikan
makanan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
Satu hari pascaoperasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak
di tempat tidur selama 2x30 menit. Pada hari kedua pasien dapat
berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ke tujuh jahitan dapat
diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
4) Penatalaksanaan gawat darurat non-operasi
Bila tidak ada fasilitas bedah, berikan penatalaksanaan
seperti dalam peritonitis akut. Dengan demikian, gejala
apendisitis akut akan mereda, dan kemungkinan terjadinya
komplikasi akan berkurang.
b. Pemasangan NGT
c. Pemberian antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur
d. Transfusi untuk mengatasi anemia dan penanganan syok septic secara
intensif (Dermawan, 2010).
4. Penatalaksanaan medis
a. Tirah baring dalam posisi fowler medium (setengah duduk)
b. Puasa
c. Koreksi cairan dan elektrolit (Dermawan, 2010)
F. Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10%
sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara
umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan
suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan
abdomen yang kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002).
Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1–3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan
baik.
4 – 6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai,
dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat
mengikuti perintah dengan baik.
7 – 9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak
dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul
Obstruksi lumen
Apendisitis
Nyeri akut
Kemungkinan masuk
mikroorganisme ke
tubuh
Resiko
infeksi
Intervensi Rasional
Awasi tanda-tanda vital. Dugaan adanya infeksi/terjadinya
sepsis, abses, peritonitis
Lakukan pencucian tangan yang Menurunkan risiko penurunan
baik dan perawatan luka yang bakteri
aseptic
Observasi keadaan luka dan insisi Memberikan deteksi dini terjadinya
proses infeksi dan pengawasan
penyembuhan peritonitis yang tidak
ada sebelumnya
Kolaborasi dengan pemberian Mungkin diberikan secara
antibiotik sesuai indikasi profilaktik atau menurunkan jumlah
organisme dan untuk menurunkan
penyebaran dan penyembuhan pada
rongga abdomen.
Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama
Ny. A mengeluh nyeri perut kanan bawah selama 5 hari, badan greges dan
lemas.
2. Riwayat penyakit sekarang
Nyeri perut kanan bawah, lemas dan nafsu makan turun.
3. Riwayat penyakit dahulu
Keluarga Ny. A pada nenek mempunyai usus buntu dan ibu DM.
Pengkajian fokus
1. Pola oksigenasi
Sebelum sakit : Ny. A mengatakan dapat bernapas normal tanpa alat bantu
Saat dikaji : Ny. A bernafas normal tanpa alat bantu.
2. Nutrisi
Sebelum sakit : sebelum sakit makan masih normal, sehari 3 kali
Setelah sakit : Ny. A makan sebanyak 3 sendok, minum sehari 1 gelas.
3. Pola eleminasi
Sebelum sakit : Ny. A mengatakan BAB 2-3 hari 1 kali dengan bantuan
pencahar, BAK 4-5 kali banyaknya ±1200 ml/hari
Saat sakit : Pasien belum bisa BAB, BAK sulit.
4. Pola aktivitas
Sebelum sakit : Ny. A dapat beraktivitas mandiri
Saat sakit : Pasien dibantu keluarga untuk beraktifitas
5. Rasa aman dan nyaman
Sebelum sakit : Ny. A mengatakan nyaman di rumah
Saat dikaji : Pasien tidak nyaman karena nyeri pada perut bagian
bawah.
P : Ny. A mengatakan nyeri pada saat bergerak.
Q : pasien mengatakan nyeri seperti cenut-cenut.
R : pasien mengatakan nyeri dibagian perut kanan bawah.
S : skala nyeri 4
T : pasien mengatakan nyeri terusan
Pemeriksaan fisik
1. Kepala : bentuk simetris, rambut warna hitam dan sedikit ada uban,
tidak ada jejas
2. Mata : konjungtiva anemis, reflek cahaya
3. Hidung : hidung bersih, tidak terpasang oksigenasi
4. Telinga : tidak ada serumen, fungsi pendengaran baik
5. Mulut : tidak bau mulut, bibir lembab
6. Leher : tidak ada pembenjolan thyroid
7. Dada
a. Paru :
Inspeksi : bentuk dada simetris, tidak menggunakan otot bantu nafas
Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada dada
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikular pada kedua paru
b. Jantung
Inspeksi : tidak terlihat iktitus cordis
Palpasi : filthkus cordis ada di intercosta
Perkusi : redup
Auskultasi : terdengar s1 dan s2
c. Abdomen
Inspeksi : ada bekas luka operas panjang 10 cm dengan hecting 12,
keadaan balutan baik tanda-tanda infeksi tidak ada dan turgor kulit
kering.
Auskultasi : bising usus lebih dari 30 x/menit
Palpasi :-
Perkusi : timpani
Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Hasil :
Nama test Hasil Satuan Nilai rujukan
HEMATOLOGI
Darah lengkap :
Hemoglobin L 11,0 g/dL 11,7-15,5
Lekosit 7200 /mm3 3600-11000
Hematokrit 31,8 % 35-45
Trombosit 164000 /mm3 150000-
440000
Eritrosit 3,14 Juta/uL 3,8-5,2
LED - % 0-20
Index eritrosit
MCV 101,0 fl 80-100
MCH 35,1 pg 26-34
MCHC 34,7 g/dL 32-36
RDW 11,7 %
MPV 9,3 Fl 7,0-11,0
Hitung jenis (diff)
Eosinofil 1,1 % 2-4
Basofil 0,2 % 0-1
Neutrofil 68,3 % 50-70
Limfosit 23,2 % 25-40
Monosit 7,2 % 2-8
KIMIA KLINIK
Glukosa sewaktu 91 Mg/dL 75-140
ELEKTROLIT
Kalium 3,9 mEq/L 3,5-5,0
Natrium 143 mEq/L 135-147
Chloride 104 mEq/L 95-105
Calcium 9,0 Mg/dL 8,8-10,2
Analisa data
Data (DS dan DO) Problem Etiologi
DS : pasien Nyeri Apendiks
mengatakan nyeri
pada perut bagian
bawah Apendektomi
DO : gelisah
Susah tidur
Skala nyeri 4 Pasca operasi
P : nyeri pada
saat bergerak
Q : nyeri cenut- Kerusakan jaringan
cenut pasca bedah
R : nyeri di perut
bagian bawah
S : skala nyeri 4 Nyeri
T : nyeri terusan
DS :- Resiko infeksi Tindakan pembedahan
DO : tampak ada luka
insisi di perut kuadran Terputusnya
kanan bawah kontinuitas jaringan
Berkurangnya fungsi
kulit sebagai proteksi
Kemungkinan masuk
mikroorganisme ke
tubuh
Resiko infeksi
DS: pasien Resiko kekurangan Apendisitis
mengatakan minum cairan
sehari segelas,
mengeluh lemah dan Apendektomi
mengatakan haus
DO: mukosa mulut
terlihat kering, output Pembatasan intake
urine 300 ml selama
cairan
24 jam
5) Intervensi rasional
No. Waktu Tujuan &
Rencana Rasional
Dx (tanggal/jam) kriteria hasil
3 Januari Setelah a. Pantau TTV a. Untuk
2018, jam
dilakukan b. Kaji respon memantau
15.00 WIB
tindakan nyeri dengan tekanan darah,
keperawatan PQRST suhu, SpO2
2x24 jam c. Atur posisi b. Untuk
diharapkan semifowler menentukan
nyeri berkurang d. Ajarkan teknik rencana
dengan distraksi pada intervensi
Kriteria hasil saat nyeri c. Untuk
3. Monitor 3. Menurunnya
masukan, output dan
pengeluaran konsentrasi urine
dan catat akan meningkatkan
warna kepekaa/endapan
urin/konsentra sebagai salah satu
si kesan adanya
dehidrasi dan
membutuhkan
peningkatan cairan
4. Auskultasi 4. Indicator
bising usus dan kembalinya
catat kelancaran peristaltic,
flatus kesiapan untuk
pemasukan per
oral
5. Berikan 5. Dehidrasi
perawatan mulut mengakibatkan
sering bibir dan mulut
kering dan
pecah-pecah
6. Berikan cairan 6. Peritoneum
IV dan elektrolit bereaksi
terhadap
iritasi/infeksi
dengan
menghasilkan
sejumlaah besar
cairan yang
dapat
menurunkan
sirkulasi darah,
mengakibatkan
hipovolemia.
Dehidrasi dan
dapat terjadi
ketidakseimban
gan elektrolit.
6) Implementasi
No. Dx Waktu Tindakan Respon pasien TT
(tanggal/jam)
3 Januari 1. Mengkaji skala 1. Pasien
2018, jam nyeri 1-10 (lokasi, mengatakan nyeri
16.00 WIB durasi, kualitas berkurang skala
dan faktor nyeri menjadi
presipitasi dan ringan.
pemeriksaan 2. Pasien dapat
PQRST). melakukan teknik
2. Mengajarkan nafas dalam
1 teknik nafas 3. Tanda-tanda
dalam vital normal (TD,
3. Mengobservasi Nadi, suhu dalam
TTV rentang normal).
4. pemberian
obat analgetik
1. Nyeri
3 Januari 1. Mengkaji berkurang
2018, jam tingkat nyeri 2. Pasien bisa
17.30 WIB 2. Mengevaluasi melakukan
teknik nafas 3. Untuk
dalam mengurangi
3. Pemberian nyeri
obat
farmakologi
1. Merupakan
1. Awasi tekanan
indikator secara
darah dan tanda
dini tentang
vital
hypovolemia
2. Kaji turgor
2. Indikator
kulit, membran
keadekuatan
mukosa, capilary
sirkulasi perifer
refill
dan hidrasi seluler
3.Monitor
3. Menurunnya
masukan,
output dan
pengeluaran dan
konsentrasi urine
catat warna
akan
urin/konsentrasi
meningkatkan
kepekaa/endapan
sebagai salah satu
kesan adanya
dehidrasi dan
membutuhkan
peningkatan cairan
4.Indicator
4. Auskultasi
kembalinya
bising usus
peristaltic,
dan catat
kesiapan untuk
kelancaran
pemasukan per
flatus
oral
5. Dehidrasi
5. Berikan
mengakibatkan
perawatan
bibir dan mulut
mulut sering
kering dan
pecah-pecah
6. Berikan cairan
6. Peritoneum
IV dan elektrolit
bereaksi
terhadap
iritasi/infeksi
dengan
menghasilkan
sejumlaah
besar cairan
yang dapat
menurunkan
sirkulasi darah,
mengakibatkan
hipovolemia.
Dehidrasi dan
dapat terjadi
ketidakseimba
ngan elektrolit.
7) Evaluasi
No. Dx Waktu Evaluasi TT
(tanggal/jam)
1 3 Januari 2018, S : pasien
jam 16.00 mengatakan nyeri
berkurang
O : lebih tenang,
skala nyeri 4
A : melanjutkan
intervensi
P : masalah
teratasi sebagian
4 Januari 2018, S : Pasien
jam 10.00 mengatakan
sudah bisa
melakukan nafas
dalam secara
mandiri dan nyeri
berkurang.
O : Lebih rileks,
skala nyeri 2
A : Melanjutkan
Intervensi
P : Masalah
tertasi sebagian
2. S:-
O : Tidak tampak
adanya tanda-
tanda infeksi
A : masalah
teratasi
P : melanjutkan
intervensi
3. S : pasien
mnegatakan
lemas berkurang
O : bibir mukosa
pasien terlihat
lembab
A : masalah
teratasi
P : lanjutkan
intervensi
Daftar Pustaka
Abata, Qorry ‘Aina. (2014). Ilmu Penyakit Dalam. Madiun : Yayasan PP Al-
Furqon.
Brunner. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Brunner&Suddarth. Alih
bahasa, Devi Yulianti. E.d.12. Jakarta : EGC.
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku :Patofisiologi. Alih bahasa, Nike
Budhi Subekti. Ed.3. Jakarta : EGC
Dermawan, Deden & Tutik Rahayuningsih. (2010). Keperawatan Medikal
Bedah (Sistem Pencernaan). Yogyakarta : Gosyen Publishing.
Ester, Monica. (2001). Keperawatan Medikal Bedah : Pendekatan Sistem
Gastrointestinal. Jakarta : EGC.
Muttaqin, Arif & Kumala sari. (2013). Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika.
Sjamsuhidajat. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2 . Jakarta : EGC