Sunteți pe pagina 1din 12

KONSEP KEPERAWATAN

SISTEM NEUROLOGI KASUS HEMIPARESIS


A. DEFENISI
Hemiparesis adalah suatu penyakit sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak,
progesif cepat, berupa defisit neurologis yang berlangsung 24 jam atau lebih langsung
menimbulkan kematian dan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatic.
Hemiparesis berarti kelemahan pada satu sisi tubuh. Contohnya, pasien dapat mengeluhkan
kelemahan pada satu sisi tubuh yang mengarah pada lesi hemisfer serebri kontralateral. Dalam
mendiagnosis, harus dilakukan pertanyaan lebih lanjut dan mendetil mengenai waktu terjadinya
gejala sehingga dapat mengklarifikasikan perjalanan patologis dari lesi ini.
Hubungan antara waktu dengan penyebab neuropatologis spesifik, dengan mengambil contoh
lesi hemisfer serebri dengan gejala kelemahan tubuh kontralateral:
1. Onset yang cepat dan kejadian ikutan yang statis memberkesan suatu kejadian vascular (stroke),
yaitu perdarahan atau infark.
2. Suatu kejadian dengan progresi lambat lebih mengarah ke lesi berupa massa, yaitu tumor.
3. Kejadian yang berulang dengan pola remisi umumnya mengarah pada proses inflamasi atau
demielinisasi kronik, contohnya: sklerosis multiple
B. ETIOLOGI
1. Infark otak (80%)
a. Emboli
1) Emboli kardiogenik
a) Fibrilasi atrium dan aritmia lain
b) Thrombus mural dan ventrikel kiri
c) Penyakit katub mitral atau aorta
d) Endokarditis (infeksi atau non infeksi)

1) Emboli arkus aorta

b. Aterotrombotik (penyakit pembuluh darah sedang-besar)

1) Penyakit eksrakanial

a) Arteri karotis internal

b) Arteri vertebrali

2) Penyakit intracranial

a) Arteri karotis interna

b) Arteri serebri interna

c) Arteri basilaris

d) Lakuner (oklusi arteri perforans kecil)


2. Pendarahan intraserebral (15%)

a. Hipertensif

b. Malformasi artei-vena

c. Angipati amiloid

3. Pendarahan subaraknoid (5%)

4. Penyebab lain (dapat menimbulkan infark atau perdarahan)

a. Trobus sinus dura

b. Diseksi arteri karotis atau vertebralis

c. Vaskulitis system saraf pusat

d. Penyakit moya-moya (oklusi arteri besar intracranial yang progesif)

e. Migren

f. Kondisi hiperkoagulasi

g. Penyalahgunaan obat

h. Kelainan hematologist (anemia sel sabit, polisistemia,atau leukemia)

i. Miksoma atrium

C. PATOFISIOLOGI
1. Stroke non hemoragik
Iskemia disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh thrombus atau
embolus. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya aterosklerosis pada dinding
pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area thrombus menjadi
berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia akhirnya terjadi infark
pada jaringan otak. Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral
melalui arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba
berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologist fokal. Perdarahan otak dapat ddisebabkan
oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.
2. Stroke hemoragik
Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangan
subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intracranial yang seharusnya konstan.
Adanya perubahan komponen intracranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh akan
menimbulkan peningkatan TIK yang bila berlanjut akan menyebabkan herniasi otak sehingga
timbul kematian. Di samping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang subarachnoid
dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut
menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.
D. MANIFESTASI KLINIS
Pada hemiparesis, gejala utamanya adalah timbulnya deficit neurologist secara
mendadak/subakut, di dahului gejala prodromal, terjadinya pada waktu istirahat atau bangun pagi
dan biasanya kesadaran tidak menurun, kecuali bila embolus cukup besar, biasanya terjadi pada
usia > 50 tahun. Menurut WHO dalan International Statistical Dessification Of Disease And
Realeted Health Problem 10th revitoan, stroke hemoragik dibagi atas:
1. Pendarahan Intraserebral (PIS)
2. Pendarahan Subaraknoid (PSA)
3. Hemiparesis akibat PIS mempunyai gejala yang tidak jelas, kecuali nyeri kepala karena
hipertensi, serangan sering kali siang hari, saat aktifitas atau emosi/marah, sifat nyeri kepalanya
hebat sekali, mual dan muntah sering terdapat pada permulaan serangan. Hemiparesis/hemiplagi
biasa terjadi pada permulaan serangan, kesadaran biasanya menurun dan cepat masuk koma
(60% terjadi kurang dari setengah jam, 23% antara stengah jam s.d 2 jam, dan 12% terjadi
setelah 2 jam, sampai 19 hari).
Pada pasien PSA gejala prodromal berupa nyeri kepala hebat dan akut, kesadaran sering
terganggu & sangat bervariasi, ada gejala/tanda rangsangan maningeal, oedema pupil dapat
terjadi bila ada subhialoid karena pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior atau artei
karotis interna. Gejala neurologist tergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah &
lokasinya.
Manifestasi klinis stroke akut dapat berupa:
1. Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis yang timbul mendadak
2. Gangguan sensabilitas pada satu atau lebih anggota badan (gangguan hemiparesik
3. Perubahan mendadak status mental (konfusi, delirium, letargi, stupor, atau koma)
4. Afasia (bicara tidak lancar, kurangnya ucapan, atau kesulitan memahami ucapan
5. Disartria (bicara pelo atau cadel)
6. Gangguan penglihatan (hemianopia atau monokuler, atau diplopia)
7. Ataksia (trunkal atau anggota badan)
8. Vertigo, mual dan muntah, atau nyeri kepala.
Pada gangguan aliran darah otak (stroke), gejala ditentukan oleh tempat perfusi yang
terganggu, yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut. Penyumbatan pada arteri
serebri media yang sering terjadi menyebabkan kelemahan otot dan spastisitas kontralateral serta
defisit sensorik (hemianestesia) akibat kerusakan girus lateral presentralis dan postsentralis.
Akibat selanjutnya adalah deviasi ocular (“deviation conjugee” akibat kerusakan area
motorik penglihatan), hemianopsia (radiasi optikus), gangguan bicara motorik dan sensorik (area
bicara broca dan wernicke dari hemisfer dominan), gangguan persepsi spasial, apraksia,
hemineglect (lobus parietalis). Penyumbatan arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis
dan defisit sensorik kontralateral (akibat kehilangan girus presentralis dan postsentralis bagian
medial), kesulitan berbicara (akibat kerusakan area motorik tambahan) serta apraksia pada
lengan kiri jika korpus kalosum anterior dan hubungan dari hemisfer dominan ke korteks
motorik kanan terganggu.
Penyumbatan bilateral pada arteri serebri anterior menyebabkan apatis karena kerusakan
dari sistem limbic. Penyumbatan arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia kontralateral
parsial (korteks parsial primer) dan kebutaan pada penyumbatan bilateral. Selain itu, akan terjadi
kehilangan memori (lobus temporalis bagian bawah). Penyumbatan arteri karotis atau basilaris
dapat menyebabkan defisit di daerah yang disuplai oleh arteri serebri media dan anterior.
Jika arteri koroid anterior tersumbat, ganglia basalis (hipokinesia), kapsula interna
(hemiparesis), dan traktus optikus (hemianopsia) akan terkena. Penyumbatan pada cabang arteri
komunikans posterior di talamus terutama akan menyebabkan defisit sensorik.Penyumbatan total
arteri basilarismenyebabkan paralisis semua ekstremitas (tetraplegia) dan otot-otot mata serta
koma. Penyumbatan pada cabang arteri basilaris dapat menyebabkan infark pada serebelum,
mesensefalon, pons, dan medula oblongata.
E. KOMPLIKASI
1. Gangguan otak yang berat
2. Kematian bila tidak dapat mengontrol respons pernafasan atau kardiovaskuler
3. Edema Serebri dan Tekanan Intra cranial tinggi yang dapat menyebabkan herniasi atau kompresi
batang otak
4. Aspirasi Atelektasis
5. Gagal Nafas
6. Disrithmia Jantung
7. Kematian
F. PENATALAKSANAAN
1. Demam : deman dapat mengeksaserbasi cedera otak iskemik dan harus diobati secara agresif
dengan antipiretik (asetaminofen) atau kompres dingin, jika diperlukan. Penyebab deman
tersering adalah pneumonia aspirasi, lakukan kultur darah dan urine kemudian berikan antibiotik
intravena secara empiris (sulbenisilin,sepalosporin, dll) dan terapi akhir sesuai hasil kultur.
2. Nutrisi : pasien stroke memiliki risiko tinggi untuk aspirasi. Bila pasien sadar penuh tes
kemampuan menelan dapat dilakukan dengan memberikan satu sendok air putih kepada pasien
dengan posisi setengah duduk dan kepala fleksi kedepan sampai dagu menyentuh dada,
perhatikan pasien tersedak atau batuk dan apakah suaranya berubah (negative). Bila tes menelan
negative dan pasien dengan kesadaran menurun, berikan makanan enteral melalui pipa
nasoduodenal ukuran kecil dalam 24 jam pertama setelah onset stroke.
3. Hidrasi intravena : hipovolemia sering ditemukan dan harus dikoreksi dengan kristaloid isotonis.
Cairan hipotonis (misalnya dektrosa 5% dalam air, larutan NaCL 0,45%) dapat memperhebat
edema serebri dan harus dihindari
4. Glukosa : hiperglikemia dan hipoglikemia dapat menimbulkan sksaserbasiiskemia. Walaupun
relevansi klinis dari efek ini pada manusia belum jelas, tetapi para ahli sepakat bahwa
hiperglikemia (kadar glukosa darah sewaktu >200mg/dl)harus dicegah. Skala luncur (sliding
scale) setiap 6 jam selama 3-5 hari sejak onset stroke
5. Perawatan paru : fisioterapi dada setiap 4 jam harus dilakukan untuk mencegah atelaktsis paru
pada pasien yang tidak bergerak.
6. Aktivitas : pasien dengan stroke harus diimobilisasi dan harus dilakukan fisioterapi sedini
mungkin bila kondisi klinis neurologist dan hemodinamik stabil. Untuk fisioterapi pasif pada
pasien yang belum bergerak, perubahan posisi badan dan ekstremitas setiap 2 jam untuk
mencegah dekubitus, latihan gerakan sendi anggota badan secara pasif 4 kali sehari untuk
mencegah kontraktur. Splin tumit untuk mempertahankan kaki dalam posisi dorsofleksi dan
dapat juga mencegah pemendekan tendon Achilles. Posisi kepala 30 derajat dari bidang
horisontal untuk menjamin aliran darah yang adekuat ke otak dan aliran ballik vena ke jantung,
kecuali pada pasien hipotensi (posisi datar), pasien dengan muntah-muntah (dekubitus lateral
kiri), pasien dengan gangguan jalan nafas (posisi kepala ekstensi). Bila kondisi memungkinkan,
maka pasien harus diimobillisasi aktif ke posisi tegak, duduk dan pindah kekursi sesuai toleransi
hemodinamik dan neurologist.
7. Neurorestorasi dini : stimulasi sensorik, kognitif, memori, bahasa, emosi serta otak yang
terganggu. Depresi dan amnesia juga harus dikenali dan diobati sedini mungkin.
8. Profilaksis trombosis vena dalam : pasien stroke iskemiok dengan imobilisasi lama yang tidak
dalam pengobatan heparin intravena harus diobati dengan heparin 5.000 unit atau fraksiparin 0,3
cc setiap 12 jam selama 5-10 hari untuk mencegah pembentukan thrombus dalam vena profunda,
karena insidennya sangat tinggi . terapi ini juga dapat diberikan dengan pasien perdarahan
intraserebral setelah 72 jam sejak onset.
9. Perawatan vesika : kateter urine menetap (kateter foley), sebaiknya hanya dipakai hanya ada
pertimbangan khusus (kesadaran menurun, demensia, afasia global). Pada pasien yang sadar
dengan gangguan berkemih, keteterisasi intermiten secara steril setiap 6 jam lebih disukai untuk
mencegah kemungkinan infeksi, pembentukan batu, dan gangguan sfingter vesika terutama pada
pasien laki-laki yang mengalami retensi urine atau pasien wanita dengan inkontinensia atau
retensio urine. Latihan vesika harus dilakukan bila pasien sudah sadar.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Klinis
Melalui anamnesis dan pengkajian fisik (neurologis):
a. Riwayat penyakit sekarang (kapan timbulnya, lamanya serangan, gejala yang timbul).
b. Riwayat penyakit dahulu (hipertensi, jantung, DM, disritmia, ginjal, pernah mengalami trauma
kepala).
c. Riwayat penyakit keluarga (hipertensi, jantung, DM).
d. Aktivitas (sulit beraktivitas, kehilangan sensasi penglihatan, gangguan tonus otot, gangguan
tingkat kesadaran).
e. Sirkulasi (hipertensi, jantung, disritmia, gagal ginjal kronis).
f. Makanan/ cairan (nafsu makan berkurang, mual, muntah pada fase akut, hilang sensasi
pengecapan pada lidah, obesitas sebagai faktor resiko).
g. Neurosensorik (sinkop atau pingsan, vertigo, sakit kepala, penglihatan berkurang atau ganda,
hilang rasa sensorik kotralateral, afasia motorik, reaksi pupil tidak sama).
h. Kenyamanan (sakit kepala dengan intensitas yang berbeda, tingkah laku yang tidak stabil,
gelisah, ketergantungan otot).
i. Pernafasan (merokok sebagai faktor resiko, tidak mampu menelankarena batuk).
j. Interaksi social (masalah bicara, tidak mampu berkomunikasi).
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Angiografi Serebral: Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik misalnya
pertahanan atau sumbatan arteri.
b. CT SCAN (Computerized Axial Tomografi): adalah suatu prosedur yang digunakan untuk
mendapatkan gambaran dari berbagai sudut kecil dari tulang tengkorak dan otak.
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging): Menunjukkan daerah infark, perdarahan, malformasi
arteriovena (MAV).
d. USG Doppler (Ultrasonografi dopple): Mengindentifikasi penyakit arteriovena (masalah system
arteri karotis(aliran darah atau timbulnya plak) dan arteiosklerosis.
e. EEG (elekroensefalogram): Mengidentifikasi masalah pada otak dan memperlihatkan daerah
lesi yang spesifik.
f. Sinar tengkorak: Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal daerah yang berlawanan
dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada thrombosis serebral; kalsifikasi
persial dinding aneurisma pada perdarahan subarachnoid.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah Rutin
b. Gula Darah
c. Urine Rutin
d. Cairan Serebrospinal
e. Analisa Gas Darah (AGD)
f. Biokimia Darah
g. Elektrolit
H. PROGNOSIS
Prognosis stroke dipengaruhi oleh sifat dan tingkat keparahan defisit neurologis yang
dihasilkan. usia pasien, penyebab stroke, gangguan medis yang terjadi bersamaan juga
mempengaruhi prognosis. Secara keseluruhan, kurang dari 80% pasien dengan stroke bertahan
selama paling sedikit 1 bulan, dan didapatkan tingkat kelangsungan hidup dalam 10 tahun sekitar
35%. pasien yang selamat dari periode akut, sekitar satu setengah samapai dua pertiga kembali
fungsi independen, sementara sekitar 15% memerlukan perawatan institusional. Di Indonesia,
diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke, dan sekitar 25%
atau 125.000 orang meninggal dan sisanya mengalami cacat ringan atau berat. Sebanyak 28,5%
penderita stroke meninggal dunia, sisanya menderita kelumpuhan sebagian maupun total. Hanya
15% saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke dan kecacatan

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


SISTEM NEUROLOGI KASUS HEMIPARESIS
A. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari prosos keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang pasien agar dapar mengidentifikasi, mengenali
masalah-masalah, kebutuhan kesehatan, dan keperawatan pasien baik mental, sosial dan
lingkungan.
1. Identitas diri klien
a. Pasien (diisi lengkap): Nama, Umur, Jenis Kelamin, Status Perkawinan, Agama, Pendidikan,
Pekerjaan, Suku Bangsa, Tgl Masuk RS, No. CM, Alamat.
b. Penanggung Jawab (diisi lengkap): Nama, Umur, Jenis Kelamin, Agama, Pendidikan, Pekerjaan,
Alamat.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
(keluhan yang dirasakan pasien saat dilakukan pengkajian)
b. Riwayat kesehatan sekarang
(riwayat penyakit yang diderita pasien saat masuk rumah sakit)
c. Riwayat kesehatan yang lalu
(riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain yang pernah diderita oleh pasien)
d. riwayat kesehatan keluarga
(adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh anggota keluarga yang lain atau riwayat
penyakit lain baik bersifat genetis maupun tidak)
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
b. pemeriksaan persistem
1) sistem persepsi & sensori (pemeriksaan 5 indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
pengecap, perasa)
2) Sistem persarafan (bagaimana tingkat kesadaran, GCS, reflek bicara, pupil, orientasi waktu &
tempat)
3) Sistem pernafasan (Nilai frekuensi nafas, kualitas, suara, dan jalan nafas)
4) Sistem kardiovaskuler (nilai TD, nadi dari irama, kualitas dan frekuensi)
5) Sistem gastrointestinal (nilai kemampuan menelan, nafsu makan/minum, peritaltik, eliminasi)
6) Sistem integumen (nilai warna, turgor, tekstur dari kulit pasien)
7) Sistem reproduksi
8) Sistem perkemihan (nilai frekunsi BAK, volume BAK)
4. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan : pada klien hipertensi terdapat juga kebiasaan untuk
merokok, minum alcohol dan penggunaan obat-obatan.
b. Pola aktifitas dan latihan : pada klien hipertensi terkadang mengalami/merasa lemas, pusing,
kelelahan, kelemahan otot dan kesadaran menurun.
c. Pola nutrisi dan metabolisme : pada pasien hipertensi terkadang mengalami mual dan muntah.
d. Pola eliminasi : pada pasien hipertensi terkadang mengalami oliguri.
e. Pola tidur dan istirahat.
f. Pola kognitif dan perceptual
g. Persepsi diri/konsep diri
h. Pola toleransi dan koping stress : pada pasien hipertensi biasanya mengalami stress psikologi.
i. Pola seksual reproduktif
j. Pola hubungan dan peran
k. Pola nilai dan keyakinan.

B. DIAGNOSA
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d kelemahan fisik
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan berkurangnya suplai O2 ke jaringan
3. Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan neurovaskuler
4. Gangguan mobilitas fisik b.d. kerusakan neuromuskuler.
5. Defisit perawatan diri b.d keterbatasan aktivitas
6. Resiko ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan
otot dalam mengunyah dan menelan.
C. INTERVENSI
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d kelemahan fisik
Tujuan : klien mampu menggerakkan ekstremitas kiri
Kriteria hasil :
a. Klien tidak terjatuh
b. Tidak ada trauma dan komplikasi lain
Intervensi :
a. I : Pantau atau catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan
normalnya atau standar.
R : mengetahui kecenderungan tingkat kesedaran dan potensial TIK dan mengetahui lokasi,
luas, dan kemajuan atau resolisi kerusakan SSP.
b. I : pertahankan keadaan tirah baring : ciptakan lingkungan yang tenang: batasi pengunjung atau
aktivitas pasien sesuai indikasi. Berikan istirahat secara periodic antara aktivitas perawatan,
batasi lamanya setiap prosedur.
R : aktifitas atau stimulasi yang continue dapat meningkatkan TIK. Istirahat total dan ketenangan
diperlukan untuk pencegahan terhadap perdarahan dalam kasus struk hemoragi atau perdarahan
lainnya.
c. I : pantau TTV seperti mencatat : adanya hipertensi/hipotensi, bandingkan tekanan darah yang
terbaca pada kedua lengan.
R : variasi terjadi o/k tekanan atau trauma cerebral pada daerah vasomotor otak.
Hipertensi/hipotensi postural dapat menjadi factor pencetus. Hipotensi dapat terjadi karena syok
(colaps sirkulasi vaskuler). Peningkatan TIK dapat terjadi (karena edema, adanya formasi bekuan
darah).
d. I : kaji fungsi-sungsi yang lebih tinggi, seperti fungsi bicara jika pasien sadar
R : perubahan dalam isi kognitif dan bicara merupakan indicator dari lokasi atau derajat
gangguan cerebral dan mengidentifikasi penurunan atau peningkatan TIK.
e. I : anjurkan untuk melakukan ambulasi pada tingkat yang dapat ditoleransi pasien.
R : untuk meningkatkan sirkulasi pada ekstremitas.
f. I : berikan anti koagulan, sesuai program.
R : untuk mencegah thrombus. Thrombus dan embolus selanjutnya dapat menurunkan sirkulasi
arteri dan mengurangi perfusi jaringan pasien.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan berkurangnya suplai O2 ke jaringan
Tujuan :Setelah di lakukan tindakan keperawatan klien mamapu meningkatkan dan
memepertahankan keefektifan jalan nafas agar tetap bersih dan mencegah aspirasi
kriteria hasil :
a. bunyi nafas terdengar bersih
b. ronkhi tidak terdengar
c. trakeal tube bebas sumbatan
d. menunjukan batuk efektif
e. tidak ada penumpukan secret di jalan nafas
f. frekuensi pernafasan 16 -20x/menit.

Intervensi :
a. I: Kaji keadaan jalan nafas,
R: obstruksi munkin dapat di sebabkan oleh akumulasi secret.
b. Lakukan pengisapan lendir jika d perlukan.
R : pengisapan lendir dapay memebebaskan jalan nafas dan tidak terus menerus di lakukan dan
durasinya dapat di kurangi untuk mencegah hipoksia.
c. I: Ajarkan klien batuk efektif.
R : batuk efektif dapat mengeluarkan secret dari jalan nafas.
d. I: Lakukan postural drainage perkusi/penepukan.
R : mengatur ventilasi segmen paru-paru dan pengeluaran secret.
e. I: Kolaborasi : pemberian oksigen 100%.
R : denagn pemberiaan oksigen dapat membantu pernafasan dan membuat hiperpentilasi
mencegah terjadinya atelaktasisi dan mengurangi terjadinya hipoksia.
3. Gangguan mobilitas fisik b.d. kerusakan neuromuskuler.
Tujuan : Pasien mendemonstrasikan mobilisasi aktif
Kriteria hasil :
a. kontraksi otot membaik
b. mobilisasi bertahap
intervensi:
a. I : identifikasi tingkat fungsional dengan skala mobilisasi fungsional.
R : untuk menunjang kontinuitas dan menjaga tingkat kemandirian yang teridentifikasi.
b. I : Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang, miring).
R : menurunkan resiko terjadinya trauma atau iskemia jaringan.
c. I : pertahankan kaki dalam posisi netral dengan gulungan/bantalan trocanter.
R : mencegah rotasi eksternal pada pinggul.
d. I : ajarkan pasien dan anggota keluarga atau teman tentang latihan ROM, dan program
R : mobilitas untuk membantu mempersiapkan pemulangan pasien.
e. I : konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, latihan resistif, dan ambulasi pasien.
R : program yang khusus dapat dikembangkan untuk menemukan kebutuhan yang berarti atau
menjaga kekurangan tersebut dalam keseimbangan, kordinasi, dan kekuatan.
4. Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan penurunan sirkulasi darah otak.
Tujuan: Proses komunikasi klien dapat berfungsi secara optimal
Kriteria hasil:
a. Terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien dapat dipenuhi
b. Klien mampu merespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat
Intervensi:
a. I: Berikan metode alternatif komunikasi, misal dengan bahasa isyarat.
R : memenuhi kebutuhan komunikasi sesuai dengan kemampuan klien.
b. Antisipasi setiap kebutuhan klien saat berkomunikasi.
R: mencegah rasa putus asa dan ketergantungan pada orang lain.
c. Bicaralah dengan klien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang jawabannya “ya” atau
“tidak”.
R: mengurangi kecemasan dan kebingungan pada saat komunikasi.
d. Anjurkan kepada keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan klien.
R : mengurangi rasa isolasi social dan meningkatkan komunikasi yang efektif.
e. Hargai kemampuan klien dalam berkomunikasi.
R: memberi semangat pada klien agar lebih sering melakukan komunikasi.
f. Kolaborasi dengan fisioterapis untuk latihan wicara.
R: melatih klien belajar berbicara secara mandiri dengan baik dan benar

5. Deficit perawatan diri b.d keterbatasan aktivitas


Tujuan : Kemampuan merawat diri meningkat
Kriteria hasil :
a. mendemonstrasikan perubahan pola hidup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
b. Melakukan perawatan diri sesuai kemampuan
c. Mengidentifikasi dan memanfaatkan sumber bantuan
Intervensi :
a. I : lakukan program penanganan terhadap penyebab gangguan muskuloskeletas. Pantau
kemajuan, laporkan respon terhadap penanganan, baik respon yang diharapkan maupun yang
tidak diharapkan.
R : penanganan harus dilakukan secara konsisten untuk mendorong kemandirian pasien.
b. I : pantau pencapaian mandi dan hygiene setiap hari. Tetapkan tujuan mandi dan hygiene. Hargai
pencapaian mandi dan hygiene.
R : penguatan dan penghargaan akan mendorong pasien untuk terus berusaha.
c. I : sediakan alat bantu, seperti sikat gigi bergagang panjang, untuk mandi dan perawatan hygiene
: ajarkan penggunaanya.
R : alat bantu yang tepat akan meningkatkan kemandirian.
d. I : konsultasi dengan ahli fisioterapi atau ahli terapi okupasi.
R : memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana terapi dan
mengidentifikasi kebutuhan alat penyokong khusus
6. Resiko ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan
otot dalam mengunyah dan menelan.
Tujuan: kebutuhan nutrisi klien terpenuhi
kriteria hasil: asupan dapat masuk sesuai kebutuhan, terdapat kemampuan menelan, tidak
terjadi penurunan berat badan, tidak terpasang sonde.

Intervensi:
a. I: Lakukan oral higiene.
R: kebersihan mulut merangsang nafsu makan.
b. I:Observasi intake dan output nutrisi.
R: mengetahui keseimbangan nutrisi klien.
c. I: Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan dan reflek batuk.
R: untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan pada klien.
d. I: Letakan posisi kepala lebih tingggi pada waktu, selama dan sesudah makan.
R: untuk klien lebih mudah untuk menelan karena gaya gravitasi.
e. I: Stimulasi bibir untuk membuka dan menutup mulut secara manual dengan menekan ringan
diatas bibir atau dibawah dagu jika diperlukan.
R: membantu dalam melatih kembali sensorik dan meningkatkan kembali kontrolmuskular.
f. I: Berikan makan perlahan dengan lingkungan yang tenang.
R: klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya distraksi atau gangguan dari
luar.
g. I: Mulailah untuk memberi makan per oral setengah cair, makanan lunak ketika klien dapat
menelan air.
R: makan lunak/cairan kental mudah untuk mengendalikannya di dalam mulut, dan menurunkan
terjadinya aspirasi.
h. I: Kolaborasi dalam pemberian nutrisi melalui parenteral dan makanan melalui selang.
R: mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga makanan jika klien tidak
mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut.

DAFTAR PUSTAKA
ynthia M. taylor dkk: 2010. Diagnosa Keperawatan dengan Rencana Asuhan. Edisi 10. Jakarta: EGC
nsberg, Lionel. Lecture Notes Neurologi. 2007. Jakarta: EMS.
dawati. 2008. Perbedaan Pengaruh Latihan Gerak Terhadap Kekuatan Otot Pada Pasien Stroke Non-
Hemoragik Hemiparese Kanan Dibandingkan Dengan Hemiparese Kiri. Surakarta: Media
Medika Indonesia.
arilynn E. Doenges dkk:2012. Rancana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC
lbernagl, Stefan dan Florian Lang. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. 2007. Jakarta: EGC

S-ar putea să vă placă și