Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Pertolongan penderita gawat darurat dapat terjadi dimana saja baik di
dalam rumah sakit maupun di luar rumah sakit, dalam penanganannya
melibatkan tenaga medis maupun non medis termasuk masyarakat awam.
Pada pertolongan pertama yang cepat dan tepat akan menyebabkan
pasien/korban dapat tetap bertahan hidup untuk mendapatkan pertolongan
yang lebih lanjut.
Adapun yang disebut sebagai penderita gawat darurat adalah penderita
yang memerlukan pertolongan segera karena berada dalam keadaan yang
mengancam nyawa, sehingga memerlukan suatu pertolongan yang cepat,
tepat, cermat untuk mencegah kematian maupun kecacatan. Untuk
memudahkan dalam pemberian pertolongan korban harus diklasifikasikan
termasuk dalam kasus gawat darurat, darurat tidak gawat, tidak gawat tidak
darurat dan meninggal.
Salah satu kasus gawat darurat yang memerlukan tindakan segera dimana
pasien berada dalam ancaman kematian karena adanya gangguan
hemodinamik adalah trauma abdomen dimana secara anatomi organ-organ
yang berada di rongga abdomen adalah organ-organ pencernaan. Selain
trauma abdomen kasus-kasus kegawatdaruratan pada system pencernaan salah
satunya perdarahan saluran cerna baik saluran cerna bagian atas ataupun
saluran cerna bagian bawah bila hal ini dibiarkan tentu akan berakibat fatal
bagi korban atau pasien bahkan bisa menimbulkan kematian.
Oleh karena itu kita perlu memahami penanganan kegawatdaruratan pada
system pencernaan secara cepat, cermat dan tepat sehingga hal-hal tersebut
dapat kita hindari.
B. RumusanMasalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi abdomen?
2. Apa definisi kegawatan abdomen?
3. Apa penyebab kegawatan abdomen?
4. Apa saja jenis-jenis gawat darurat abdomen ?
5. Bagaimana prinsip perawatan medis gawat darurat ?
6. Bagaimana pengelolaan trauma tembus ataupun tumpul abdomen ?
2
C. Tujuan
1. TujuanUmum
Untuk memahami kejadian-kejadian yang termasuk kegawatan abdomen
2. TujuanKhusus
a. Untuk mengetahui bagaimana anatomi dan fisiologi abdomen
b. Untuk mengetahui apa definisi kegawatan abdomen
c. Untuk mengetahui penyebab kegawatan abdomen
d. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis gawat darurat abdomen
e. Untuk mengetahui bagaimana prinsip perawatan medis gawat darurat
f. Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan trauma tembus ataupun
tumpul abdomen
g. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan trauma pada organ
urogenetalia
3
BAB II
PEMBAHASAN
Pembagian kuadran :
Kuadran Kanan Atas Kuadran Kiri Atas
1. Hepar 1. Lobus kiri dari hepar
2. Vesica fellea 2. Lambung
3. Pylorus 3. Corpus pancreas
4. Duodenum 4. Fleksura linealis kolon
5. Caput pancreas 5. Sebagian kolon transversum
6. Flesura hepatica colon 6. Kolon descenden
7. Sebagai kolon ascendens
8. Kolon transversum
Kuadran Kanan Bawah Kuadran Kiri Bawah
1. Caecum dan apendiks 1. Kolon sigmoid
2. Sebagian colon descenden 2. Sebagian colon descenden
Cara lain dapat juga dengan membagi abdomen menjadi 9 regio, yaitu :
epigastric, umbilical dan hipogastric atau supra pubik.
C. Etiologi
Kerusakan organ abdomen dan pelvis dapat disebabkan oleh trauma
tembus, biasanya tembakan: atau trauma tumpul akibat kecelakaan mobil,
pukulan langsung atau jatuh. Meskipun tipe dan ukuran peluru serta
keparahan dampaknya biasanya dicerminkan oleh tingkat kerusakan visera,
namun timbul begitu banyak variasi, sehingga spekulasi klinis
7
langsung karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pada
olahraga luncur atau olahraga kontak, seperti yudo, karate, dan silat.
Hal ini penting diingat bahwa cidera pada organ urogenetalia umumnya
mengeluarkan darah dalam jumlah yang banyak. Oleh karenanya cidera
didaerah yang mungkin rupture organ urogenetalia dengan tanda klinis
hipotensi ataupun anemia penting diwaspadai.
2. Perbaikan vital sign dengan melakukan oksigenasi yang baik dan menjaga
perfusi jaringan.
3. Pemasangan urin kateter ditunjukan untuk diagnostik sekaligus monitor
jumlah cairan merupakan prosedur pada kasus trauma urogenetalia, namun
perlu diingat bahwa pemasangan kateter pada trauma urogenetalia perlu
sangat hati-hati terutama bila terdapat tetesan darah pada meatus orifisium
eksterna. Cytostomi adalah cara lain untuk menggantikan fungsi kateter
bila didapatkan rupture uretra ataupun kateter tidak dapat masuk.
Perdarahan akibat rupture buli sangat banyak sehngga sering menyumbat
jalan keluarnya urine pada pipa kateter sehingga untuk hal tersebut
dipikirkan pemasangan threeway catheter.
4. Pada fraktur tulang panggung perlu dilakukan segera imobilisasi untuk
memperkecil permukaan ring pelvis dan untuk menghentikan perdarahan,
pemasangan pneumatic anti schok garmen (PASG) bila dimiliki akan
sangat penting untuk menghentikan perdarahan. Bila tidak memiliki PASG
maka pemasangan pelvic sling traksi ataupun dengan modifikasi melilit
panggul dengan elastic verban dan menggantung pelvis dengan kain
sarung sehingga bagian pantat penderita terangkat beberapa centimeter
akan sangat menolong dalam usaha menghentikan perdarahan.
Pemasangan eksternal fiksasi adalah cara untuk penatalaksanaan definitive
untuk penderita yang mengalami patah tulang panggul.
5. Mempertahankan hemodinamika penderita adalah salah satu bagian yang
sangat serius pada trauma urogenetalia terutama bila disertai dengan patah
tulang panggul.
6. Infeksi akibat kontaminasi urine penting mendapat perhatian untuk
memberikan obat antibiotika.
23
BAB III
TINJAUAN KASUS (PERITONITIS)
A. Pengertian
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum suatu membrane yang
melapisi rongga abdomen. Peritonitis biasanya terjadi akibat masuknya
bakteri dari saluran cerna atau organ-organ abdomen ke dalam ruang
perotonium melalui perforasi usus atau rupturnya suatu organ. (Corwin,
2000).
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum yang biasanya di akibatkan
oleh infeksi bakteri, organisme yang berasal dari penyakit saluran pencernaan
atau pada organ-organ reproduktif internal wanita (Baugman dan Hackley,
2000).
Peritonitis adalah inflamasi peritonium-lapisan membran serosa rongga
abdomen dan meliputi viresela. Biasanya, akibat dari infeksi bakteri:
organisme yang berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada
wanita dari organ reproduktif internal. (Brunner & suddarth, 2002)
Peritonitis dapat berasal dari penyebaran melalui pembuluh limfe uterus ;
para metritis yang meluas ke peritoneum; salpingo-ooforitis meluas ke
peritoneum atau langsung sewaktu tindakan perabdominal. (Mochtar, Rustam
Prof.Dr.1998)
Peritonitis adalah infeksi nifas yang dapat menyebar melalui pembuluh
limfe yang berada di dalam uterus langsung mencapai peritoneum.
(Prawirohardjo, Sarwono. 2002.)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa peritonitis adalah radang
selaput perut atau inflamasi peritoneum baik bersifat primer atau sekunder,
akut atau kronis yang disebabkan oleh kontaminasi isi usus, bakteri atau
kimia.
B. Etiologi
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa
inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak
24
C. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara
perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila
infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak
dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan
agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator,
seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius,
sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak
organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi
cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk.
Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu
terjadi hipovolemia. Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk
dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas
pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan
didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ
intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan
adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh
menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan
perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan
elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-
lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan
usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
26
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat
berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya
pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi
obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang
akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi
usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat
terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari
makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid
plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum
pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2
minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri
perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena
toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang
mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis
generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan
peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan
hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan
di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung,
empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut
menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi
bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu
menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam
yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
27
D. Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen
pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam
abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli,
Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi
dua, yaitu:
a. Spesifik : misalnya Tuberculosis
b. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.
28
E. Manifestasi klinis
Menurut Corwin (2000), gambaran klinis pada penderita peritonitis adalah
sebagai berikut :
1. Nyeri terutama diatas daerah yang meradang.
2. Peningkatan kecepatan denyut jantung akibat hipovolemia karena
perpindahan cairan kedalam peritoneum.
3. Mual dan muntah.
4. Abdomen yang kaku.
5. Ileus paralitik (paralisis saluran cerna akibat respon neurogenik atau otot
terhadap trauma atau peradangan) muncul pada awal peritonitis.
29
F. Diagnosis
Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran
klinis, pemeriksaan laboratorium dan X-Ray.
1. Gambaran klinis
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis
dan jenis organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal,
menyebar, atau umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis
bakterial primer yaitu adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan
dan bising usus yang menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran
klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal
yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (misal
perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh bagian abdomen.
Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula
dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual
dari fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan
tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan
neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan
rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus
melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial
akut sama dengan peritonitis bakterial.
Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis
adanya keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi
abdominal; sedang peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran
30
3. Pemeriksaan X-Ray
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus
halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-
kasus perforasi.
4. Terapi
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting.
Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan
pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine
tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai
keadekuatan resusitasi.
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis
bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan
kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika
didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab.
Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah.
31
Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia
akan berkembang selama operasi.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan
operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah
yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka
serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat
inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan
kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran
gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus
menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi
viskus yang perforasi.
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu
dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi
penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat
diberikan antibiotika (misal sefalosporin) atau antiseptik (misal povidon
iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya
tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat
menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena
pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum
peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen.
Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-
menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi
yang tidak dapat direseksi.
5. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (2012), pemeriksaan
diagnostic pada peritonitis adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksaan darah lengkap : sel darah putih meningkat kadang-kadang
G. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
1. Komplikasi dini Septikemia dan syok septik Syok hipovolemik Sepsis
intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi
sistem Abses residual intraperitoneal Portal Pyemia (misal abses hepar).
2. Komplikasi lanjut Adhesi Obstruksi intestinal rekuren
H. Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan pasien peritonitis penggantian cairan, koloid dan
elektrolit adalah fokus utama. Analgesik diberikan untuk mengatasi nyeri
antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah. Terapi
oksigen dengan kanul nasal atau masker akan meningkatkan oksigenasi
secara adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan napas dan bentuk
ventilasi diperlukan. Terapi medikamentosa nonoperatif dengan terapi
antibiotik, terapi hemodinamik untuk paru dan ginjal, terapi nutrisi dan
metabolik dan terapi modulasi respon peradangan.
Menurut Netina (2001), penatalaksanaan pada peritonitis adalah sebagai
berikut :
1. Penggantian cairan, koloid dan elektrolit merupakan focus utama dari
penatalaksanaan medik.
2. Analgesik untuk nyeri, antiemetik untuk mual dan muntah.
3. Intubasi dan penghisap usus untuk menghilangkan distensi abdomen.
4. Terapi oksigen dengan nasal kanul atau masker untuk memperbaiki fungsi
ventilasi.
33
1) Konstipasi
2) Diare
f. Pola aktivitas dan latihan
1) Kurang aktivitas
2) Kebiasaan dalam melakukan kegiatan sehari-hari
g. Pola tidur istirahat
1) Kebiasan tidur (berapa lama)
2) Kebiasaan sebelum tidur
3) Gangguan tidur
h. Pola persepsi kognitif
1) Cara pasien mengatasi nyeri.
2) Kurang pengetahuan tentang penyakitnya
i. Pola persepsi diri dan konsep diri
1) Gangguan harga diri
j. Pola peran hubungan sesama
1) Interaksi dengan lingkungan sekitar
2) Gangguan penampilan peran
k. Pola reproduksi seksual
1) Perubahan pola seksual.
2) Jumlah anak.
3) Libido meningkat atau menurun.
l. Pola koping-toleransi terhadap stres
1) Perepsi penerimaan kesehatan.
2) Gangguan penyesuian diri
m.Pola nilai kepercayaan
1) Berdoa.
2) Sarana ibadah (Kitab Suci)
Menurut Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (1999), pengkajian pada
penderita dengan peritonitis adalah sebagai berikut :
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan
Tanda : Kesulitan ambulasi.
b. Sirkulasi
Gejala : Takikardia, berkeringat, pucat, hipotensi (tanda syok) Edema
jaringan.
c. Eliminasi
Gejala : Ketidakmampuan defekasi dan flatus, diare (kadang-kadang).
Tanda : Cegukan ; distensi abdomen, abdomen diam. Penurunan
haluaran urin, warna gelap. Penurunan/tak ada bising usus (ileus), bunyi
keras hilang timbul, bising usus kasar (obstruksi), kekakuan abdomen,
nyeri tekan. Hiperesonan/timpani (ileus), hilang suara pekak diatas hati
(udara bebas dalam abdomen).
d. Makanan/Cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah, haus.
35
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pre Operasi
1) Nyeri yang berhubungan dengan penumpukan cairan di dalam cavum
peritoneal / abdomen.
2) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan
ekstraseluler, intravaskuler dan area interstisial kedalam usus dan/atau
area peritoneal
3) Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan mualk, muntah, gangguan fungsi usus, puasa.
4) Ansietas berhubungan dengan kritis situasi, ancaman kematian, status
hipermetabolik.
5) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan salah interpretasi informasi, tidak
mengenal sumber informasi.
b. Post Operasi
1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek luka
pembedahan.
3. Intervensi Keperawatan
a. Pre Operasi
1) Nyeri yang berhubungan dengan penumpukan cairan di dalam cavum
peritoneal / abdomen.
Tujuan : nyeri pasien terkontrol setelah diberi tindakan keperawatan.
Hasil yang diharapkan :
a) Pasien mengatakan nyeri berkurang / terkontrol.
b) Ekspresi wajah pasien tempak rileks.
Rencana Keperawatan :
36
4. Implementasi
Implementasi sesuai dengan intervensi yang di buat.
5. Evaluasi
40
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kerusakan organ abdomen dan pelvis dapat disebabkan oleh trauma
tembus, biasanya tikaman atau tembakan: atau trauma tumbul akibat
kecelakaan mobil, pukulan langsung atau jatuh. Meskipun tipe dan ukuran
peluru serta keparahan dampaknya biasanya dicerminkan oleh tingkat
kerusakan visera, namun timbul begitu banyak variasi, sehingga spekulasi
klinis membahayakan. Luka yang tampak ringan bisa menimbulkan cedera
eksterna yang mengancam nyawa.
B. Saran
Diharapkan bagi para pembaca untuk dapat lebih mencari sumber-sumber
lain yang dapat dijadikan panduan mengenai kegawatan abdomen untuk
menunjang kemampuan diri sebagai perawat professional di masa yang akan
datang.
41
DAFTAR PUSTAKA