Sunteți pe pagina 1din 41

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LatarBelakang
Pertolongan penderita gawat darurat dapat terjadi dimana saja baik di
dalam rumah sakit maupun di luar rumah sakit, dalam penanganannya
melibatkan tenaga medis maupun non medis termasuk masyarakat awam.
Pada pertolongan pertama yang cepat dan tepat akan menyebabkan
pasien/korban dapat tetap bertahan hidup untuk mendapatkan pertolongan
yang lebih lanjut.
Adapun yang disebut sebagai penderita gawat darurat adalah penderita
yang memerlukan pertolongan segera karena berada dalam keadaan yang
mengancam nyawa, sehingga memerlukan suatu pertolongan yang cepat,
tepat, cermat untuk mencegah kematian maupun kecacatan. Untuk
memudahkan dalam pemberian pertolongan korban harus diklasifikasikan
termasuk dalam kasus gawat darurat, darurat tidak gawat, tidak gawat tidak
darurat dan meninggal.
Salah satu kasus gawat darurat yang memerlukan tindakan segera dimana
pasien berada dalam ancaman kematian karena adanya gangguan
hemodinamik adalah trauma abdomen dimana secara anatomi organ-organ
yang berada di rongga abdomen adalah organ-organ pencernaan. Selain
trauma abdomen kasus-kasus kegawatdaruratan pada system pencernaan salah
satunya perdarahan saluran cerna baik saluran cerna bagian atas ataupun
saluran cerna bagian bawah bila hal ini dibiarkan tentu akan berakibat fatal
bagi korban atau pasien bahkan bisa menimbulkan kematian.
Oleh karena itu kita perlu memahami penanganan kegawatdaruratan pada
system pencernaan secara cepat, cermat dan tepat sehingga hal-hal tersebut
dapat kita hindari.

B. RumusanMasalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi abdomen?
2. Apa definisi kegawatan abdomen?
3. Apa penyebab kegawatan abdomen?
4. Apa saja jenis-jenis gawat darurat abdomen ?
5. Bagaimana prinsip perawatan medis gawat darurat ?
6. Bagaimana pengelolaan trauma tembus ataupun tumpul abdomen ?
2

7. Bagaimana penatalaksanaan trauma pada organ urogenetalia ?

C. Tujuan
1. TujuanUmum
Untuk memahami kejadian-kejadian yang termasuk kegawatan abdomen
2. TujuanKhusus
a. Untuk mengetahui bagaimana anatomi dan fisiologi abdomen
b. Untuk mengetahui apa definisi kegawatan abdomen
c. Untuk mengetahui penyebab kegawatan abdomen
d. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis gawat darurat abdomen
e. Untuk mengetahui bagaimana prinsip perawatan medis gawat darurat
f. Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan trauma tembus ataupun
tumpul abdomen
g. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan trauma pada organ
urogenetalia
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Anatomi dan Fisiologi Abdomen

Organ mayor dan Struktur dari system pencernaan adalah esophagus,


lambung, usus, hati, pancreas, kandung empedu dan peritoneum. Esophagus
memiliki panjang 25 cm dengan diameter 3 cm dimulai dari pharync sampai
dengan lambung. Dinding esophagus sendiri menghasilkan mucus untuk
lubrikasi makanan sehingga memudahkan makanan untuk masuk ke dalam
lambung.
Untuk memudahkan keterangan, abdomen umumnya dibagi dalam empat
kuadran dengan jalan membuat garis khayal yang memotong umbilicus, yaitu
kuadran kanan atas, kanan bawah, kiri atas dan kiri bawah.
4

Pembagian kuadran :
Kuadran Kanan Atas Kuadran Kiri Atas
1. Hepar 1. Lobus kiri dari hepar
2. Vesica fellea 2. Lambung
3. Pylorus 3. Corpus pancreas
4. Duodenum 4. Fleksura linealis kolon
5. Caput pancreas 5. Sebagian kolon transversum
6. Flesura hepatica colon 6. Kolon descenden
7. Sebagai kolon ascendens
8. Kolon transversum
Kuadran Kanan Bawah Kuadran Kiri Bawah
1. Caecum dan apendiks 1. Kolon sigmoid
2. Sebagian colon descenden 2. Sebagian colon descenden

Cara lain dapat juga dengan membagi abdomen menjadi 9 regio, yaitu :
epigastric, umbilical dan hipogastric atau supra pubik.

Terdapat spincter cardiac yang mencegah terjadinya regurgitasi makanan


dari lambung ke esophagus.
Lambung memiliki bagian yang disebut fundus, body dan antrum.
Fungsi lambung adalah mencampur makanan dengan cairan lambung seperti
pepsin, asam lambung mucus, dan intrinsic factor yang semuanya disekresi
oleh kelenjar di sumbukosa. Asam lambung sendiri mempunyai pH 1.
5

Sphincter pyloric mengontrol makanan bergerak masuk dari lambung ke


duodenum.
Usus halus dimulai dari sphincter pyloric sampai dengan proximal usus
besar. Sekresi dari pancreas dan hati membuat chime menjadi tekstur yang
semiliquid. Disini terjadi poses absorbsi nutrient dan produk-produk lain.
Segemen dari usus halus sendiri terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum.
Duodenum memiliki panjang 25 cm dan diameter 5 cm.
Usus besar memiliki panjang 1.5 m dengan bagian-bagian cecum, colon,
rectum dan anal canal (anus). Sedangkan colon terdiri dari segmen colon
ascenden, transversal, descenden dan sigmoid. Fungsi primer dari usus besar
adalah absorpsi air dan elektrolit. Hati terletak di kuadran kanan atas
abdomen. Hati diperdarahi kurang lebih 1450 ml permenit atau 29% dari
cardiac output. Memiliki banyak fungsi yaitu pertama metabolisme,
karbohidrat (glycogensis glucosa menjadi glycogen), (glycogenolysis
glycogen menjadi glucosa), (gluconeogenesis pembentukan glukosa dari
asam amino dan asam lemak), metabloisme protein (sintesis asam-asam
amino nonesential, sintesis protein plasma, sintesis faktor pembekuan,
pembentukan urea dari NH3 diman NH3 merupakan hasil akhir dari asam
amino dan aksi dari bakteria terhadap protein di kolon), detoxifikasi,
metabolisme steroid (ekskresi dan conjugasi dari kelenjar gonad dan adrenal
steroid). Fungsi ke dua adalah sintesis bilirubin, fungsi ketiga adalah sistem
pagosit mononuklear oleh sel kupffer dimana terjadi pemecahan sel darah
merah, sel darah putih, bakteri dan partikel lain, memecah hemoglobin dari
sel darah merah menjadi bilirubin dan biliverdin.
Pankreas memiliki fungsi endokrin dan eksokrin. Fungsi endokrin sel
beta pankreas mensekresi pankreas dan mempunyai fungsi regulasi level
glukosa darah. Fungsi eksokrin dimana kelenjar acini menghasilkan getah
pancreas dimana enzym pancreas itu lipase dan amylase yang dikeluarkan ke
usus halus.
Empedu menghasilkan getah-getah empedu sebanyak 30-60 ml dimana
komposisi nya 80% air, 10% bilirubin, 4-5% phospholipid dan 1% kolesterol.
Peritoneum merupakan pelindung dari hati, spleen, lambung, dan usus.
6

Memiliki membran semipermeabel, memiliki reseptor nyeri dan memiliki


kemampuan proliferatif celuluar proteksi. Peritoneum permeabel terhadap
cairan, elektrolit, urea dan toksin.
Rongga peritoneum ini pada bagian atas dibatasi oleh diafragma, bagian
bawah oleh pelvis, bagian depan oleh dinding depan abdomen, bagian lateral
oleh dinding lateral abdomen dan bagian belakang oleh dinding belakang
abdomen serta tulang belakang. Ketika bernafas khususnya pada saat
ekspirasi maksimal otot diafragma naik ke atas setinggi kira-kira interkostal
ke 4 min klavikula (setinggi papila mamae pada pria) sehingga adanya trauma
thoraks perlu dicurigai adanya trauma abdomen pada sisi kiri hepar, dan sisi
kanan pada lien.
Organ-organ di intra abdomen dibagi menjadi organ intra peritoneal dan
organ ekstra peritoneal. Organ intra peritoneal terdiri dari hepar, lien, gaster,
usus halus, sebagian besar kolon. Organ ekstra peritoneal terdiri dari ginjal,
ureter, pankreas,duodenum, rektum, vesika urinaria, dan uterus (walaupun
cenderung aman karena terlindung oleh pelvis). Sedangkan dari jenisnya
organ-organ di rongga abdomen ini dipilah menjadi organ solid (hepar dan
lien) dan organ berlumen (gaster, usus halus, dan kolon).

B. Definisi Gawat Abdomen


Kegawatan abdomen adalah cedera pada abdomen yang dapat berupa
trauma tembus, tumpul, serta trauma yang disengaja ataupun tidak disengaja
yang memerlukan pertolongan segera (Smeltzer, 2001)
Kegawatdaruratan abdomen adalah suatu keadaan yang terjadi secara
mendadak yang dapat mengancam nyawa (Brewer BJ, Golden GT, 1999)

C. Etiologi
Kerusakan organ abdomen dan pelvis dapat disebabkan oleh trauma
tembus, biasanya tembakan: atau trauma tumpul akibat kecelakaan mobil,
pukulan langsung atau jatuh. Meskipun tipe dan ukuran peluru serta
keparahan dampaknya biasanya dicerminkan oleh tingkat kerusakan visera,
namun timbul begitu banyak variasi, sehingga spekulasi klinis
7

membahayakan. Luka yang tampak ringan bisa menimbulkan cedera


eksternal yang mengancam nyawa.

D. Jenis-Jenis Gawat Darurat Abdomen


1. Kegawatdaruratan Trauma Abdomen
Berikut adalah yang termasuk di dalam kegawatan abdomen, yaitu:
a. Trauma tumpul abdomen
1) Penyebab
Dalam suatu kecelakaan lalu lintas, penting mengamati arah
trauma, keadaan mobil, tempat duduk penumpang dan cara sabuk
pengaman digunakan. Fakta-fakta ini akan menolong pemeriksa
mencari organ yang mungkin rusak. Bila sabuk pengaman dipakai
longgar dan jauh di atas pelvis, maka besar kemungkinan cedera
intraperitoneal yang serius. Bila epigastrium pengemudi terpukul
oleh gagang kemudi, maka dapat terjadi ruptura retroperitoneal
atas duodenum atau pankreatitis traumatika.
Pada korban pejalan kaki, maka urutan perangkat frekuensi cedera
intraabdomen adalah hati, limpa, usus halus dan usus besar. Lebih
dari 50% kecelakaan disertai dengan trauma kapitis.
Pada penyiksaan anak dan korban pemukulan, maka insiden cedera
abdominal tinggi. Dua perlukaan yang tersering pada kasus ini
adalah ruptura duodenum dan robekan mesenterium usus halus.
Bila terjatuh lazim terjadi cedera hati dan limpa, robekan usus
halus ditempat perlekatan mesenterium (ligamentum Treitz dan
hubungan ilosekalis) dan robekan mesenterium usus halus.
2) Penatalaksanaan awal trauma tumpul abdomen
Syok karena perdarahan kontinu menjadi sebab kematian terbesar
pada trauma abdomen. Larutan Ringer Laktat (1000 ml/jam) harus
segera mulai diberikan di tempat kecelakaan, bila terdapat syok
atau bila diperkirakan ada perdarahan intraabdominal.
Pakaian anti-syok merupakan alat penting di samping alat
lapangan. Bila ada perdarahan intra abdominal massif akut dan
syok, maka penggunaan pakaian ini dapat menyelamatkan nyawa.
Penting diingat bahwa bila pakaian dilepaskan sebelum penderita
sampai di kamar bedah maka diperlukan sekitar 2000 ml cairan
8

untuk mendapatkan tekanan darah yang sama seperti sebelum


perdarahan.
3) Diagnosis
Tanda dan gejala cedera serius meragukan, tak ada atau lambat
timbulnya, nyeri abdomenlah yang tersering timbul tetapi defans
muscular mungkin sering tak ada, bahkan tekanan darah pada
perdarahan hebat, dapat normal. Frekuensi denyut nadi dan bising
usus bukan tanda yang dapat diandalkan. Pemeriksaan dinding
abdomen terhadap adanya abrasi, kontusi dan bekas ban dapat
memberikan sejumlah bantuan untuk menimbulkan kerugian akan
organ yang mungkin terkena.
Karena trauma kapitis sering disertai dengan trauma abdomen
bersama efek keracunan atau penyalahgunaan obat, maka tanda-
tanda neurologic mungkin tak ada atau tak bias dipercaya.
Bila diduga pancreatitis traumatika, maka penentuan kadar amylase
serum dapat membantu mengkonfirmasi diagnosis dan harus
dilakukan di bagian gawat darurat sebagai bagian pemeriksaan
diagnostic pada penderita cedera abdomen.
Urinalisisa membantu diagnosis cedera kandung kemih dan ginjal.
Bila penderita trauma abdomen tak dapat berkemih setelah tiba di
bagian gawat darurat, maka harus dipasang kateter kedalam
kandung kemih, contoh urina diambil untuk evaluasi dan kateter
dibiarkan terpasang hingga kebutuhan akan pemeriksaan diagnostic
atau terapi telah dipututskan.
Pemeriksaan radiologic biasanya diindikasikan pada penderita
trauma abdomen. Pemeriksaan demikian seharusnya meliputi
fotothoraks, foto abdomen AP dan lateral, sistografi dan pielogram
bila diindikasikan.

b. Trauma tajam abdomen


Semua penderita dengan tikaman, tembakan atau trauma lain yang
mungkin menembus abdomen mula-mula harus diterapi untuk syok
yang ada atau mungkin ada (lihat terapi trauma tumpul) dan ditranspor
secepat mungkin kefasilitas yang dapat memberikan perawatan
definitive.
9

2. Kedaruratan Abdomen Non Traumatik


Penting agar sanggup membedakan perdarahan gastrointestinalis atas
dan obstruksi usus, yang merupakan kedaruratan sejati dengan keadaan
non traumatic lain yang mengenai abdomen. Tanda dan gejala penting
perdarahan gastrointestinalis dan obstruksi usus adalah perdarahan, nyeri
dan distensi abdomen.
a. Perdarahan gastrointestinalis
Bila penderita memuntahkan darah, maka sumber cedera di bagian
atas saluran pencernaan, esophagus, lambung dan duodenum. Muntahan
darah segar dihubungkan dengan peradarahan varises esophagus yang
merupakan vena besar. Keadaan tersebut terjadi sebagai penyulit
penyakit hati berat seperti pada alkoholisme menahun. Sokong sirkulasi
penderita dengan darah atau larutan Ringer Laktat dan oksigen;
penderita dipuasakan.
Muntah darah segar dengan riwayat berak hitam menggambarkan
ulkus yang berdarah yang tak semendesak perdarahan varises
esophagus. Pengeluaran darah segar dalam feses atau setelah buang air
besar merupakan tanda perdarahan saluran pencernaan bawah akibat
hemoroid, divertikula, penyakit keganasan atau polip. Perdarahan
saluran pencernaan bawah sering merupakan kedaruratan.
b. Nyeri abdomen
Jenis, intensitas dan riwayat nyeri penting dalam menegakkan
diagnosis. Nyeri kolik persisten yang tak hilang dengan perubahan
posisi, menggambarkan batu ginjal atau batu empedu. Nyeri abdomen
yang berkurang dengan menekukkan perut disertai distensi dan demam
paling mungkin disebabkan oleh pancreatitis, sering terlihat pada
penderita alkoholik. Nyeri abdomen atas parah yang diperhebat oleh
gerakan, menunjukkan ulkus duodeni yang mengalami perforasi. Nyeri
tajam sekitar umbilicus, yang kemudian bergeser kekuadran kanan
bawah, menggambarkan apendisitis. Nyeri kejang intermiten dengan
muntah dan distensi abdomen bias disebabkan oleh obstruksi usus.
Strangulasi usus dengan penghentian aliran darahnya
mengakibatkan syok hipovolemik dan penderita harus diterapi untuk
syoknya, bila di curigai adanya obstruksi usus.
c. Massa abdomen
10

Massa abdomen berpulsasi yang taknyeri atau nyeri ringan, yang


teraba diantara prosesus xifoideus dan umbilicus, yang kadang-kadang
disertai nyeri punggung atau flank dan menyebar ke lipat paha, dapat
disebabkan oleh pecah atau bocornya aneurisma aorta. Beberapa
penderita akan menderita syok ringan atau berat dan hipotensi, disertai
harus diterapi untuk syoknya. Anurisma yang pecah merupakan
kedaruratan bedah dan akan diperlukan pemasangan kateter intravena
yang besar dalam ekstremitas atas sehingga memungkinkan infuse
cairan dan darah yang cepat selama pembedahan.

E. Kasus Kegawatdaruratan Pada Abdomen


Kasus pada trauma abdomen didasarkan pada letak organ-organ pada
abdomen
1. Cidera organ intra abdomen
a. Hepar
1) Trauma hepar
Trauma hepar dapat disebabkan karena adanya trauma tembus dan
trauma tumpul yang mengenai hepar. Trauma tembus dapat
diakibatkan karena adanya penetrasi ke dalam rongga perut yang
disebabkan oleh luka tusuk atau luka tembak. Trauma tumpul pada
hepar disebabkan tanpa adanya penetrasi ke dalam rongga perut,
dapat disebabkan oleh ledakan, benturan atau pukulan. Adanya
trauma hepar tumpul diakatakan lebih berbahaya karena trauma
tumpul sulit terdekteksi. Trauma hepar akan menyebabkan terjadi
perpindahan cairan berhubungan dengan kerusakan pada jaringan,
kehilangan darah dan syok, adanya perubahan metabolic dimediasi
oleh CNS dan system makroendokrin, mikroendokrin, terjadi
masalah koagulasi atau pembekuan dihubungkan dengan perdarahan
massif dan transfusi multiple, perubahan nutrisi dan elektrolit yang
terjadi karena akibat kerusakan integritas rongga saluran pencernaan,
terjadinya inflamasi, infeksi dan pembentukan formasi disebabkan
oleh sekresi saluran pencernaan dan bakteri ke peritoneum sehingga
dapat menyebabkan terjadinya peritonitis dan sepsis.
2) Kanker hepar
11

Mayoritas pasien kanker berada dalam keadaan gawat namun tidak


darurat sehingga tidak semua hal yang dialami oleh penderita kanker
harus mendapatkan penanganan segera. Penderita pada kanker hepar
dapat mengalami kondisi darurat apabila mengalami sesak napas,
perdarahan, syok karena dehidrasi dan nyeri yang hebat.
3) Sirosis hepatis
Sirosis hepatis merupakan penyakit kronis yang menyerang organ
hati dan membuat organ hati mengalami pengecilan, pengerasan dan
pembengkakan hati/ liver. Penyakit sirosis hati dapat menyebabkan
komplikasi-komplikasi yaitu terjadinya akumulasi atau penjumlahan
kandungan air dan garam yang disebut dengan edema, peningkatan
yang terjadi dalam rongga perut ini dinamakan dengan asites, hal ini
dapat memerikan rasa tidak nyaman dan nyeri pada perut. Cairan
yang mengandung garam dan air inilah yang sempurna untuk
pertumbuhan dan perkembang biakan bakteri, secara normal rongga
perut ini juga mengandung sejumlah cairan kecil yang berfungsi
untuk melawan bakteri dan infeksi dengan baik, namun pada sirosis
ini jumlah cairan normal yang dimiliki rongga perut tidak mampu
lagi untuk melawan infeksi secara normal. Hal inilah yang
menyebabkan infeksi yang disebut dengan Spontaneous bacterial
peritonitis atau SBP. Gejala klinis yang ditimbulkan tidak seperti
pada klien dengan sirosis pada umumnya, klien dapat mengalami
demam, kedinginan, sakit perut (nyeri), diare, dan memburuknya
asites.
Pada sirosis hati terdapat jaringan parut yang dapat menghalangi
jalannya darah yang akan kembali ke jantung dari usus-usus dan
meningkatkan tekanan dalam vena portal (hipertensi portal). Akibat
dari aliran darah yang meningkat dan peningkatan tekanan yang
diakibatkan vena-vena pada kerongkongan yang lebih bawah dan
lambung bagian atas mengembang (mengalami gastric varices).
Semakin tinggi tekanan yang terjadi maka varises-varises
mengakibatkan klien mengalami perdarahan dari varises di dalam
kerongkongan (esophagus) atau lambung. Perdarahan dari varises ini
12

akan menunjukan gejala-gejala seperti muntah darah, warna feces/


kotoran yang hitam (melena), sering pingsan atau kepeningan
orthostatic yang disebabkan tekanan darah yang semakin menurun
atau tekanan darah rendah. Perdarahan bukan hanya terjadi di
kerongkongan, namun dapat terjadi di usus besar/ kolon, sehingga
perdarahan juga dapat terjadi dari varises-varises yang berada dalam
usus.
Hepatic encephalopathy juga dialami pada klien sirosis hepatis, ini
merupakan suatu kondisi di mana tubuh ketika unsure-unsur beracun
berakumulasi secara cukup dalam darah, fungsi dari otak terganggu.
Hepatorenal sindrom juga merupakan komplikasi serius,hepatoral
sindrom ini merupakan kegagalan yang sangnat serius dan fatal pada
penurunan fungsi organ ginjal dalam membersihkan unsure-unsur
dari darah dan menghasilkan jumlah urin yang cukup banyak. Jika
pada klien yang menderita penyakit hati disertai komplikasi
demikian, maka akan menambah pada terganggunya fungsi kerja
organ ginjal.
b. Limpa, ruptur limpa (lien)
Lien merupakan organ yang paling sering cedera pada saat terjadi
trauma tumpul abdomen atau trauma toraks kiri bagian bawah. Ruptur
lien merupakan kondisi yang membahayakan jiwa karena adanya
perdarahan yang hebat. Lien mendapat vaskularisasi yang banyak, yaitu
dilewati kurang lebih 350 liter darah per harinya yang hampir sama
dengan satu kantung unit darah sekali pemberian. Vaskularisasinya
meliputi arteri lienalis, variasi cabang pankreas dan beberapa cabang
dari gaster (vasa Brevis). Karena alasan ini, trauma pada lien
mengancam kelangsungan hidup seseorang. Lien terletak tepat di
bawah rangka thoraks kiri, tempat yang rentan untuk mengalami
perlukaan. Lien membantu tubuh kita untuk melawan infeksi yang ada
di dalam tubuh dan menyaring semua material yang tidak dibutuhkan
lagi dalam tubuh seperti sel tubuh yang sudah rusak.
Lien juga memproduksi sel darah merah dan berbagai jenis dari sel
darah putih. Lien kadang terkena ketika trauma pada torakoabdominal
dan trauma tembus abdomen. Penyebab utamanya adalah cedera
13

langsung karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pada
olahraga luncur atau olahraga kontak, seperti yudo, karate, dan silat.

c. Saluran cerna seperti lambung, duodenum, jejunum, ileum, dan kolon


Kasus-kasus kegawatdaruratan pada sistem pencernaan bisa disebabkan
karena trauma dan non trauma. Untuk kasus kegawatdaruratan sistem
cerna ini biasa disebut dengan akut abdomen.
Definisi dari akut abdomen sendiri adalah suatu keadaan klinik akibat
kegawatan di rongga abdomen biasanya timbul secara mendadak
dengan nyeri sebagai keluhan utama yang memerlukan penanganan
segera. Hal ini bisa disebabkan karena adanya inflamasi/ peradangan
pada apendiks secara akut atau sudah terjadi perforasi apendiks, tukak
lambung, usus tifus, pankreatitis akut, kolesistitis akut. Adanya ileus
obstruksi baik disebabkan karena adanya hernia inkarserata maupun
karena adanya volvulus usus. Adanya iskemia yang disebabkan karena
adanya kelainan atau penyumbatan vaskuler. Adanya perdarahan bisa
disebabkan karena adanya kehamilan ektopik, atau aneurisma yang
pecah, adanya cedera/trauma dimana terjadi perforasi organ berongga,
perdarahan hati atau limpa.
Salah satu kegawatdaruratan pada sistem pencernaan adalah trauma
abdomen yaitu trauma/cedera yang mengenai daerah abdomen yang
menyebabkan timbulnya gangguan/kerusakan pada organ yang ada di
dalamnya. Jenis trauma abdomen ada trauma tumpul dan trauma
tembus. Trauma ini dapat mengenai bagian lambung, usus halus (usus
kecil) yang terdiri dari ; usus dua belas jari (duodenum), usus kosong
(jejunum), usus besar (kolon), usus buntu (sekum), umbai cacing
(apendiks), rectum.
1) Apendisitis
Apendisitis adalah suatu keadaan dimana apendiks vermiformis
mengalami peradangan, bisa disebabkan oleh infeksi bakteri.
Apendisitis akut merupakan penyebab tersering inflamasi akut pada
kuadran kanan bawah rongga abdomen dan penyebab paling umum
untuk tindakan bedah abdomen darurat. Gejala klasik apendisitis
ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral
di daerah epigastrium di sekitar umbilikus.Keluhan ini sering
14

disertai mual dan kadang ada muntah.Umumnya nafsu makan


menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan
bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan
lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi
sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu
dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi.
2) Perdarahan saluran cerna
Bila penderita memuntahkan darah, maka sumber cedera di bagian
atas saluran pencernaan, esophagus, lambung, duodenum.
Muntahan darah segar dihubungkan dengan peradarahan varises
esophagus yang merupakan vena besar. Keadaan tersebut terjadi
sebagai penyulit penyakit hati berat seperti pada alkoholisme
menahun. Sokong sirkulasi penderita dengan darah atau larutan
Ringer Laktat dan oksigen; penderita dipuasakan. Muntah darah
segar dengan riwayat berak hitam menggambarkan ulkus yang
berdarah yang tak semendesak perdarahan varises esophagus.
Pengeluaran darah segar dalam feses atau setelah buang air besar
merupakan tanda perdarahan saluran pencernaan bawah akibat
hemoroid, divertikula, penyakit keganasan, atau polip. Perdarahan
saluran pencernaan bawah sering merupakan kedaruratan.
3) Massa Abdomen
Massa abdomen berpulsasi yang tak nyeri atau nyeri ringan, yang
teraba diantara prosesus xifoideus dan umbilicus, yang kadang-
kadang disertai nyeri punggung atau flank dan menyebar ke lipat
paha, dapat disebabkan oleh pecah atau bocornya aneurisma aorta.
Beberapa penderita akan menderita syok ringan atau berat dan
hipotensi, serta ia harus diterapi untuk syoknya. Anurisma yang
pecah merupakan kedaruratan bedah, dan akan diperlukan
pemasangan kateter intravena yang besar dalam ekstremitas atas
sehingga memungkinkan infuse cairan dan darah yang cepat selama
pembedahan.
d. Empedu/ kandung empedu (Colelitiasis)
15

Kolelitiasis adalah pembentukan batu empedu yang biasanya terbentuk


dalam kandung empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan
empedu (Brunner & Suddarth, 2001).
Manifestasi klinik bersifat akut dan kronis, Gangguan epigastrium: rasa
penuh, distensi abdomen, nyeri samar pada perut kanan atas, terutama
setelah klien konsumsi makanan berlemak / yang digoreng. Tanda dan
gejalanya adalah sebagai berikut :
1) Nyeri dan kolik bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu
akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan
menderita panas, teraba massa padat pada abdomen, pasien dapat
mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kanan atas
yang menjalar kepunggung atau bahu kanan, rasa nyeri disertai mual
dan muntah akan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam
sesudah makan dalam porsi besar. Pasien akan gelisah dan
membalik-balikkan badan, merasa tidak nyaman, nyerinya bukan
kolik tetapi persisten. Seorang kolik bilier semacam ini disebabkan
oleh kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan
empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam
keadaan distensi bagian fundus kandung empedu akan menyentuh
dinding adomen pada daerah kartilago kosta sembilan dan sepuluh
bagian kanan, sehingga menimbulkan nyeri tekan yang mencolok
pada kuadran kanan atas ketika inspirasi dalam.
2) Ikterus
Biasanya terjadi obstruksi duktus koledokus. Obstruksi pengaliran
getah empedu keduodenum akan menimbulkan gejala yang khas :
getah empedu tidak dibawa keduodenum tetapi diserap oleh darah
sehingga kulit dan mukosa membran berwarna kuning, disertai gatal
pada kulit.
3) Perubahan warna urine tampak gelap dan feses warna abu-abu serta
pekat karena ekskresi pigmen empedu oleh ginjal.
4) Terjadi defisiensi vitamin ADEK. Defisiensi vitamin K dapat
mengganggu pembekuan darah yang normal. Jika batu empedu terus
menyumbat saluran tersebut akan mengakibatkan abses, nekrosis dan
perforasi disertai peritonitis generalisata.
16

Batu empedu sendiri tidak menyebabkan keluhan penderita selama batu


tidak masuk ke dalam duktus sistikus atau duktus koledokus. Jika batu
tersebut masuk ke dalam ujung duktus sistikus maka barulah dapat
menyebabkan keluhan penderita dan timbulah kolesistitis akuta. Hal ini
disebabkan karena elemen empedu yang tidak diserap dan kadarnya
makin lama makin bertambah akan menimbulkan reaksi inflamasi dan
terjadilah infeksi sekunder. Akibatnya kandung empedu yang
mengalami inflamasi dapat beradhesi dengan sekitarnya dan biasanya
terjadi perforasi dengan akibat abscess di tempat tsb, sehingga dapat
menimbulkan bile peritonitis atau terjadinya rupture ke dalam
duodenum atau kolon, yang memungkinkan terjadinya fistula yang
kronis dan infeksi retrograde dari traktus biliaris. Oleh karena itu
inflamasi yang kronis dari kandung empedu kemungkinan besar
merupakan keadaan preakarsinoma.
e. Cidera pada organ retroperitoneal dan pelvis
1) Ginjal (Trauma Ginjal)
Klasifikasi trauma ginjal menurut Sargeant dan Marquadt yang
dimodifikasi oleh Federle :
Derajat Jenis kerusakan
a) Kontusio ginjal.
b) Minor laserasi korteks dan medulla tanpa gangguan pada
sistem pelviocalices.
Grade I
c) Hematom minor dari subcapsular atau perinefron (kadang
kadang).
d) 75 – 80 % dari keseluruhan trauma ginjal.
a) Laserasi parenkim yang berhubungan dengan tubulus
kolektivus sehingga terjadi extravasasi urine.
b) Sering terjadi hematom perinefron.
Grade II
c) Luka yang terjadi biasanya dalam dan meluas sampai ke
medulla.
d) 10 – 15 % dari keseluruhan trauma ginjal.
a) Laserasi ginjal sampai pada medulla ginjal, mungkin
terdapat trombosis arteri segmentalis.
Grade III
b) Trauma pada vaskularisasi pedikel ginjal
c) 5 % dari keseluruhan trauma ginjal
a) Laserasi sampai mengenai kalikes ginjal.
Grade IV
b) Laserasi dari pelvis renal
17

a) Avulsi pedikel ginjal, mungkin terjadi trombosis arteri


Grade V renalis.
b) Ginjal terbelah (shattered).

Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal sangat


bervariasi tergantung pada derajat trauma dan ada atau tidaknya
trauma pada organ lain yang menyertainya. Perlu ditanyakan
mekanisme cedera untuk memperkirakan luas kerusakan yang
terjadi. Pada trauma derajat ringan mungkin hanya didapatkan nyeri
di daerah pinggang, terlihat jejas berupa ekimosis, dan terdapat
hematuria makroskopik ataupun mikroskopik. Pada trauma mayor
atau ruptur pedikel seringkali pasien dating dalam keadaan syok
berat dan terdapat hematom di daerah pinggang yang makin lama
makin membesar. Dalam keadaan ini mungkin pasien tidak sempat
menjalani pemeriksaan PIV karena usaha untuk memperbaiki
hemodinamik seringkali tidak membuahkan hasil akibat perdarahan
yang keluar dari ginjal cukup deras. Untuk itu perlu segera dilakukan
eksplorasi laparotomi untuk menghentikan perdarahan.
Jika tidak mendapatkan perawatan yang cepat dan tepat, trauma
mayor dan trauma pedikel sering menimbulkan perdarahan yang
hebat dan berakhir dengan kematian. Selain itu kebocoran system
kaliks dapat menimbulkan ekstravasasi urine hingga menimbulkan
urinoma, abses perirenal, urosepsis, dan kadang menimbulkan fistula
renokutan. Dikemudian hari pasca cedera ginjal dapat menimbulkan
penyulit berupa hipertensi, hidronefrosis, urolitiasis, atau
pielonefritis kronis.
2) Pankreas (Trauma Pankreas)
Pada banyak kasus post trauma tumpul pankreas pada stadium dini
sering tanpa gejala dan kesan tampak tidak ada kelainan. Seringkali
pasien dengan trauma tumpul yang mengenai pankreas menunjukkan
manifestasi krisis abdominal yang tidak spesifik post trauma. Trauma
pankreas sering kali sulit dideteksi dengan temuan fisik dan pasien
awalnya mungkin menunjukkan tanda-tanda fisik yang minimal.
Alasan mengapa gejala-gejala dan tanda-tanda fisik tidak ditemukan
18

segera setelah trauma dihubungkan dengan lokasi pankreas yang


terletak retroperitonial, enzim pankreas yang tidak aktif setelah
trauma yang tersembunyi dan penurunan sekresi cairan pankreas
setelah trauma. Trauma tumpul pankreas sering kali disebabkan oleh
trauma pada organ-organ intraabdomen lainnya. Adanya contusio
jaringan lunak pada abdomen bagian atas atau disrupsi pada tulang-
tulang rusuk bawah atau costal cartilage menandakan kemungkinan
adanya trauma pankreas. Dengan adanya laserasi pada pankreas,
diikuti dengan adanya trauma pada duktus pankreas yang selanjutnya
menyebabkan masuknya sekresi pankreas ke dalam cavum abdomen
dan menghasilkan chemical peritonitis.
3) Buli-buli (Trauma Kandung kemih (vesika urinari))
Trauma kandung kemih terbanyak karena kecelakaan lalu lintas atau
kecelakaan kerja yang menyebabakan fragmen patah tulang pelvis
mncederai buli-buli.
Trauma buli-bulu atau trauma vesika urinaria merupakan keadaan
darurat bedah yang memerlukan penatalaksanaan segera, bila tidak
ditanggulangi dengan segera dapat menimbulkan komplikasi seperti
perdarahan hebat, peritonitis dan sepsis. Secara anatomic buli-buli
terletak di dalam rongga pelvis terlindung oleh tulang pelvis
sehingga jarang mengalami cedera (R. Sjamsuhidayat, 1998).
Trauma vesika urinaria tumpul dapat menyebabkan rupture buli-buli
terutama bila kandung kemih penuh atau terdapat kelainan patelegik
sepetrti tuberculosis, tumor atau obstruksi sehingga menyebabkan
rupture. Trauma vesika urinaria tajam akibat luka trusuk atau luka
tembak lebih jarang ditemukan. Luka dapat melalui daerah
suprapubik ataupun transperineal dan penyebab lain adalah
instrumentasi urologic. Fraktur tulang panggul dapat menimbulkan
kontusio atau rupture kandung kemih, pada kontusio buli-buli hanya
terjadi memar pada dinding buli-buli dengan hematuria tanpa
eksravasasi urin. Ruptur kandung kemih dapat bersifat
intraperitoneal atau ekstraperitoneal. Rupture kandung kemih
ekstraperitoneal biasanya akibat tertusuk fragmen fraktur tulang
19

pelvis pada dinding depan kandung kemih yang penuh. Pada


kejadian ini terjadi ekstravasasi urin dari rongga perivesikal.

F. Prinsip Perawatan Medis Gawat Darurat


Prinsip berikut merupakan kunci perawatan medis gawat darurat :
1. Bila diragukan adanya cedera internal, maka untuk menegakkan diagnosa
dini penting sering mengulang pemeriksaan.
2. Dalam terapi, cedera yang mengganggu pernafasan atau yang
menyebabkan perdarahan keluar. Harus dianggap lebih gawat daripada
cedera abdomen.
3. Trauma kapiler sangat sukar dinilai dan syok tidak boleh dihubungkan
dengan kerusakan oak; bilas peritoneum mempunya arti terpenting pada
pasien ini.
4. Lazim terdapat kumpulan cedera tertentu seperi fraktur iga kiri dengan
cedera limpa; fraktura pelvis dan rupture kandung kemih: fraktura pedikel
lumbal dan transeksi usus pada trama sabuk pengaman.
5. Diafragma meluas ke sela iga IV, dan cedera yang pada pemeriksaan
superfisial tampak terbatas pada toraks bisa mempunyai komponen
abdominal dan diafragmatik.
6. Jalannya peluru intraabdomen tidak dapat diramalkan berdasarkan lubang
masuk dan lubang keluarnya; ia bervariasi sesuai posisi penderita pada
saat cedera dan dengan kemungkinan perubahan arah peluru.
7. Pada luka tembus, punggung dan daerah anus penderita harus diperiksa
dengan seksama seperti halnya pinggang (‘flank’) dan permukaan ventral.
8. Sabuk pengaman dapat mengakibatkan transeksi usus total dengan hanya
sedikit tanda klinis yang dini.
9. Pemberian narktika harus dihindarkan sampai dibuat keputusan definitif
tentang keperluan pembedahan, karena narkotika dapat mengaburkan
gejala klinis.

G. Pengelolaan Trauma Tembus dan Tumpul Abdomen


1. Setelah melakukan triase dan dilanjutkan initial assessment dan
dilanjutkan dengan primary survey maka penilaian penting pada abdomen
adalah kemungkinan perdarahan yang ada di dalam abdomen.
Primary survey adalah suatu kegiatan untuk menilai kondisi penderita
(diagnostik) sekaligus tindakan (resusitasi) untuk menolong nyawa.
Mengancam nyawa adalah semua keadaan yang mengganggu sirkulasi,
jalan napas dan cairan, bila klien dalam kondisi ini maka diperlukan
20

tindakan darurat. Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi


dilakukan berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital, dan mekanisme
trauma. Pada penderita yang terluka parah, terapi diberikan berdasarkan
prioritas. Tanda vital penderita harus dinilai secara cepat dan efisien.
Pengelolaan penderita berupa triage, primary survey yang cepat dan
kemudian resusitasi, secondary survey, stabilisasi, transportasi dan
akhirnya terapi definitif. Proses ini dinamakan 6 langkah penanganan
trauma 5 langkah penanganan trauma dengan berusaha untuk mengenali
keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada
urutan berikut :
a. Airway, menjaga airway dengan control sevikal (cervical spin control)
b. Breathing, menjaga pernapasan dengan ventilasi
c. Circulation, dengan control perdarahan (hemorrhage control)
d. Disability, status neurologist
e. Exposure, buka baju penderita, tetapi mencegah hipotermia.
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus
dikenali, dan resusitasinya segera dilakukan pada saat itu juga. Penyajian
primary survey diatas adalah dalam bentuk berurutan (sekuensial), sesuai
prioritas dan agar lebih jelas, namun dalam praktek hal-hal diatas sering
dilakukan berbarengan (simultan).
2. Pemulihan fungsi vital dan memaksimalkan oksigenasi dan perfusi
jaringan dilakukan bersama saat melakukan resusitasi primary survey.
3. Menjaga sirkulasi cairan sebagai bagian dari resusitasi cairan harus segera
dilakukan control monitor cairan masuk dan keluar agar tidak menciderai
penderita lebih jauh.
4. Memasang nasogastric tube selain untuk diagnose sekaligus tindakan
dekompresi lambung, memasang urine cateter untuk monitor cairan urine
harus dilakukan dengan kewaspadaan penuh kemungkinan adanya rupture
buli ataupun uretra dan pemasangan CVP untuk monitor cairan.
5. Mengetahui biomekanika trauma akan bisa memperkirakan organ dan jenis
kerusakan organ yang terjadi.
6. Memeriksa berulang dengan interval waktu akan meminimalkan
kesalahan, mempertajam keadaan yang tersamar dan mempercepat
tindakan yang harus segera dilakukan akibat perubahan keadaan.
21

7. Mewaspadai dan pengenalan dini untuk kemungkinan intervensi


pembedahan atau mempersiapkan penderita untuk pembedahan akan
memperbaiki prognosa penderita.
8. Penting diingat bila ada bagian orga abdomen yang keluar baik omentum,
usus atau organ lain jangan dimasukkan kembali (tutup kasa steril dan
biarkan dalam keadaan lembab dengan membasahi dengan NaCl), bila ada
bagian benda yang menancap pada abdomen (parang, pedang, besi, kayu,
dll) jangan cabut dari lukanya sebelum siap di meja operasi, tindakan
eksplorasi tembus atau tidaknya benda kedalam abdomen harus dilakukan
oleh ahli bedah dan dilakukan diatas meja operasi untuk kemungkinan
lanjut pembedahan.

Indikasi Laparatomi pada Trauma Tumpul :


1. Trauma tumpul abdomen dengan DPL (diagnose peritoneal lavage)
positif atau ultrasound.
2. Trauma tumpul abdomen dengan hipotensi berulang waktu dilakukan
resusitasi yang adekuat.
3. Peritonitis dini atau yang menyusul.
4. Hipotensi dengan luka abdomen tembus.
5. Perdarahan dari gaster, anus, atau daerah genitor urinary akibat trauma
tembus.
6. Luka tembak melintas rongga peritoneum atau retroperitonel.
7. Eviscerasi (pengeluaran isi usus).

Indikasi Berdasarkan Pemeriksaan Rontgen :


1. Udara bebas, udara retroperitoneumatau rupture diagfragma setelah
trauma tumpul.
2. CT dngan kontras memperlihatkan rupture traktus gastrointestinal,
cidera kandung kemih intraperitoneal, cidera renal pedicle, cidera organ
visera.

H. Penatalaksanaan Trauma pada Organ Urogenetalia


1. Setelah melakukan penilaian inisial assessment pada saat melakukan
pemeriksaan circulasi dari primary survey maka perlu didekteksi dengan
jelas adanya gangguan sirkulasi mulai dari yang ringan hingga yang berat.
22

Hal ini penting diingat bahwa cidera pada organ urogenetalia umumnya
mengeluarkan darah dalam jumlah yang banyak. Oleh karenanya cidera
didaerah yang mungkin rupture organ urogenetalia dengan tanda klinis
hipotensi ataupun anemia penting diwaspadai.
2. Perbaikan vital sign dengan melakukan oksigenasi yang baik dan menjaga
perfusi jaringan.
3. Pemasangan urin kateter ditunjukan untuk diagnostik sekaligus monitor
jumlah cairan merupakan prosedur pada kasus trauma urogenetalia, namun
perlu diingat bahwa pemasangan kateter pada trauma urogenetalia perlu
sangat hati-hati terutama bila terdapat tetesan darah pada meatus orifisium
eksterna. Cytostomi adalah cara lain untuk menggantikan fungsi kateter
bila didapatkan rupture uretra ataupun kateter tidak dapat masuk.
Perdarahan akibat rupture buli sangat banyak sehngga sering menyumbat
jalan keluarnya urine pada pipa kateter sehingga untuk hal tersebut
dipikirkan pemasangan threeway catheter.
4. Pada fraktur tulang panggung perlu dilakukan segera imobilisasi untuk
memperkecil permukaan ring pelvis dan untuk menghentikan perdarahan,
pemasangan pneumatic anti schok garmen (PASG) bila dimiliki akan
sangat penting untuk menghentikan perdarahan. Bila tidak memiliki PASG
maka pemasangan pelvic sling traksi ataupun dengan modifikasi melilit
panggul dengan elastic verban dan menggantung pelvis dengan kain
sarung sehingga bagian pantat penderita terangkat beberapa centimeter
akan sangat menolong dalam usaha menghentikan perdarahan.
Pemasangan eksternal fiksasi adalah cara untuk penatalaksanaan definitive
untuk penderita yang mengalami patah tulang panggul.
5. Mempertahankan hemodinamika penderita adalah salah satu bagian yang
sangat serius pada trauma urogenetalia terutama bila disertai dengan patah
tulang panggul.
6. Infeksi akibat kontaminasi urine penting mendapat perhatian untuk
memberikan obat antibiotika.
23

BAB III
TINJAUAN KASUS (PERITONITIS)

A. Pengertian
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum suatu membrane yang
melapisi rongga abdomen. Peritonitis biasanya terjadi akibat masuknya
bakteri dari saluran cerna atau organ-organ abdomen ke dalam ruang
perotonium melalui perforasi usus atau rupturnya suatu organ. (Corwin,
2000).
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum yang biasanya di akibatkan
oleh infeksi bakteri, organisme yang berasal dari penyakit saluran pencernaan
atau pada organ-organ reproduktif internal wanita (Baugman dan Hackley,
2000).
Peritonitis adalah inflamasi peritonium-lapisan membran serosa rongga
abdomen dan meliputi viresela. Biasanya, akibat dari infeksi bakteri:
organisme yang berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada
wanita dari organ reproduktif internal. (Brunner & suddarth, 2002)
Peritonitis dapat berasal dari penyebaran melalui pembuluh limfe uterus ;
para metritis yang meluas ke peritoneum; salpingo-ooforitis meluas ke
peritoneum atau langsung sewaktu tindakan perabdominal. (Mochtar, Rustam
Prof.Dr.1998)
Peritonitis adalah infeksi nifas yang dapat menyebar melalui pembuluh
limfe yang berada di dalam uterus langsung mencapai peritoneum.
(Prawirohardjo, Sarwono. 2002.)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa peritonitis adalah radang
selaput perut atau inflamasi peritoneum baik bersifat primer atau sekunder,
akut atau kronis yang disebabkan oleh kontaminasi isi usus, bakteri atau
kimia.

B. Etiologi
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa
inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak
24

lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh


karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen.
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), penyebab dari peritonitis antara lain :
1. Infeksi bakteri : organisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
atau pada wanita dari organ reproduktif internal. Bakteri paling umum
yang terkait adalah E. coli, klebsiella, proteus, dan pseudomonas.
2. Sumber eksternal seperti cedera atau trauma (misal luka tembak atau luka
tusuk) atau inflamasi yang luas yang berasal dari organ diluar peritoneum
seperti ginjal.
3. Penyakit gastrointestinal : appendicitis, ulkus perforasi, divertikulitis dan
perforasi usus, trauma abdomen (luka tusuk atau tembak) trauma tumpul
(kecelakaan ) atau pembedahan gastrointestinal..
4. Proses bedah abdominal dan dialisis peritoneal.
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa
inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak
lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh
karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen
1. Infeksi bakteri
a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
b. Appendisitis yang meradang dan perforasi
c. Tukak peptik (lambung / dudenum)
d. Tukak thypoid
e. Tukan disentri amuba / colitis
f. Tukak pada tumor
g. Salpingitis
h. Divertikulitis
2. Secara langsung dari luar.
a. Operasi yang tidak steril
b. Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai
respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa
serta merupakan peritonitis lokal.
c. Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
d. Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk
pula peritonitis granulomatosa.
3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti
radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis,
glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.
25

C. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara
perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila
infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak
dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan
agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator,
seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius,
sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak
organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi
cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk.
Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu
terjadi hipovolemia. Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk
dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas
pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan
didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ
intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan
adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh
menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan
perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan
elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-
lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan
usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
26

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat
berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya
pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi
obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang
akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi
usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat
terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari
makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid
plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum
pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2
minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri
perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena
toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang
mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis
generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan
peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan
hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan
di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung,
empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut
menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi
bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu
menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam
yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
27

fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang


diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat
aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa,
dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri
terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis
atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan
akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila
mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang
timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang
bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia
onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian
atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera
sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila
bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena
mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24
jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium.

D. Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen
pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam
abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli,
Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi
dua, yaitu:
a. Spesifik : misalnya Tuberculosis
b. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.
28

Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya


malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal
ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan
asites.
2. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak
akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme
dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies
Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat
memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari:
a. Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
b. Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan
oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus
c. Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya
appendisitis.
3. Peritonitis tersier, misalnya:
a. Peritonitis yang disebabkan oleh jamur.
b. Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
c. Peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu,
getah lambung, getah pankreas, dan urine.

E. Manifestasi klinis
Menurut Corwin (2000), gambaran klinis pada penderita peritonitis adalah
sebagai berikut :
1. Nyeri terutama diatas daerah yang meradang.
2. Peningkatan kecepatan denyut jantung akibat hipovolemia karena
perpindahan cairan kedalam peritoneum.
3. Mual dan muntah.
4. Abdomen yang kaku.
5. Ileus paralitik (paralisis saluran cerna akibat respon neurogenik atau otot
terhadap trauma atau peradangan) muncul pada awal peritonitis.
29

6. Tanda-tanda umum peradangan misalnya demam, peningkatan sel darah


putih dan takikardia.
7. Rasa sakit pada daerah abdomen
8. Dehidrasi
9. Lemas
10. Nyeri tekan pada daerah abdomen
11. Bising usus berkurang atau menghilang
12. Nafas dangkal
13. Tekanan darah menurun
14. Nadi kecil dan cepat
15. Berkeringat dingin
16. Pekak hati menghilang

F. Diagnosis
Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran
klinis, pemeriksaan laboratorium dan X-Ray.
1. Gambaran klinis
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis
dan jenis organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal,
menyebar, atau umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis
bakterial primer yaitu adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan
dan bising usus yang menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran
klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal
yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (misal
perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh bagian abdomen.
Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula
dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual
dari fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan
tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan
neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan
rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus
melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial
akut sama dengan peritonitis bakterial.
Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis
adanya keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi
abdominal; sedang peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran
30

klinis nyeri abdomen yang hebat, demam dan adanya tanda-tanda


peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis,
hematokrit yang meningkat dan asidosis metabolik. Pada peritonitis
tuberculosa cairan peritoneal mengandung Prinsip umum terapi adalah
penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara
intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna
dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik
(apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan
nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.Banyak protein
(lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel
diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan
merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.

3. Pemeriksaan X-Ray
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus
halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-
kasus perforasi.
4. Terapi
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting.
Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan
pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine
tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai
keadekuatan resusitasi.
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis
bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan
kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika
didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab.
Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah.
31

Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia
akan berkembang selama operasi.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan
operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah
yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka
serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat
inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan
kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran
gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus
menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi
viskus yang perforasi.
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu
dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi
penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat
diberikan antibiotika (misal sefalosporin) atau antiseptik (misal povidon
iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya
tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat
menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena
pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum
peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen.
Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-
menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi
yang tidak dapat direseksi.
5. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (2012), pemeriksaan
diagnostic pada peritonitis adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksaan darah lengkap : sel darah putih meningkat kadang-kadang

lebih dari 20.000 /mm3. Sel darah merah mungkin meningkat


menunjukan hemokonsentrasi.
b. Albumin serum, mungkin menurun karena perpindaahan cairan.
c. Amylase serum biasanya meningkat.
d. Elektrolit serum, hipokalemia mungkin ada.
32

e. Kultur, organisme penyebab mungkin teridentifikasi dari darah,


eksudat/sekret atau cairan asites.
f. Pemeriksaan foto abdominal, dapat menyatakan distensi usus ileum.
Bila perforasi visera sebagai etiologi, udara bebas akan ditemukan pada
abdomen.
g. Foto dada, dapat menyatakan peninggian diafragma.
h. Parasentesis, contoh cairan peritoneal dapat mengandung darah,
pus/eksudat, amilase, empedu, dan kreatinin.

G. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
1. Komplikasi dini Septikemia dan syok septik Syok hipovolemik Sepsis
intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi
sistem Abses residual intraperitoneal Portal Pyemia (misal abses hepar).
2. Komplikasi lanjut Adhesi Obstruksi intestinal rekuren

H. Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan pasien peritonitis penggantian cairan, koloid dan
elektrolit adalah fokus utama. Analgesik diberikan untuk mengatasi nyeri
antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah. Terapi
oksigen dengan kanul nasal atau masker akan meningkatkan oksigenasi
secara adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan napas dan bentuk
ventilasi diperlukan. Terapi medikamentosa nonoperatif dengan terapi
antibiotik, terapi hemodinamik untuk paru dan ginjal, terapi nutrisi dan
metabolik dan terapi modulasi respon peradangan.
Menurut Netina (2001), penatalaksanaan pada peritonitis adalah sebagai
berikut :
1. Penggantian cairan, koloid dan elektrolit merupakan focus utama dari
penatalaksanaan medik.
2. Analgesik untuk nyeri, antiemetik untuk mual dan muntah.
3. Intubasi dan penghisap usus untuk menghilangkan distensi abdomen.
4. Terapi oksigen dengan nasal kanul atau masker untuk memperbaiki fungsi
ventilasi.
33

5. Kadang dilakukan intubasi jalan napas dan bantuan ventilator juga


diperlukan.
6. Therapi antibiotik masif (sepsis merupakan penyebab kematian utama).
7. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi (appendiks ), reseksi ,
memperbaiki (perforasi), dan drainase (abses).
8. Pada sepsis yang luas perlu dibuat diversi fekal
.
I. Konsep Asuhan Keperawatan Peritonitis
1. Pengkajian
a. Anamnesa :
1) Identitas pasien :
a) Nama
b) Jenis kelamin
c) Umur
d) Pekerjaan
e) Suku/bangsa
f) Pendidikan
g) Tgl MRS
2) Riwayat kesehatan:
a) Keluhan utama.
b) Riwayat penyakit sekarang.
c) Riwayat penyakit dahulu
d) Riwayat penyakit keluarga.
e) Riwayat psikososial
f) Pola kebutuhan hidup sehari-hari
b. Pemeriksaan Fisik
1) keadaan umum.
2) Pemeriksaan dari:
a) B1(breathing)
b) B2(blood)
c) B3(bren)
d) B4(bladder)
e) B5(bowel)
f) B6(bone)
c. Pola persepsi dan pemiliharaan kesehatan
1) Riwayat operasi.
2) Riwayat sakit berat.
3) Perilaku mencari bantuan
d. Pola nutrisi metabolik
1) Kebiasaan makan rendah serat
2) Makanan pedas
3) Pola makan tidak teratur
4) Mual
5) Muntah
6) Anoreksia
7) Distensi
e. Pola eliminasi
34

1) Konstipasi
2) Diare
f. Pola aktivitas dan latihan
1) Kurang aktivitas
2) Kebiasaan dalam melakukan kegiatan sehari-hari
g. Pola tidur istirahat
1) Kebiasan tidur (berapa lama)
2) Kebiasaan sebelum tidur
3) Gangguan tidur
h. Pola persepsi kognitif
1) Cara pasien mengatasi nyeri.
2) Kurang pengetahuan tentang penyakitnya
i. Pola persepsi diri dan konsep diri
1) Gangguan harga diri
j. Pola peran hubungan sesama
1) Interaksi dengan lingkungan sekitar
2) Gangguan penampilan peran
k. Pola reproduksi seksual
1) Perubahan pola seksual.
2) Jumlah anak.
3) Libido meningkat atau menurun.
l. Pola koping-toleransi terhadap stres
1) Perepsi penerimaan kesehatan.
2) Gangguan penyesuian diri
m.Pola nilai kepercayaan
1) Berdoa.
2) Sarana ibadah (Kitab Suci)
Menurut Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (1999), pengkajian pada
penderita dengan peritonitis adalah sebagai berikut :
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan
Tanda : Kesulitan ambulasi.
b. Sirkulasi
Gejala : Takikardia, berkeringat, pucat, hipotensi (tanda syok) Edema
jaringan.
c. Eliminasi
Gejala : Ketidakmampuan defekasi dan flatus, diare (kadang-kadang).
Tanda : Cegukan ; distensi abdomen, abdomen diam. Penurunan
haluaran urin, warna gelap. Penurunan/tak ada bising usus (ileus), bunyi
keras hilang timbul, bising usus kasar (obstruksi), kekakuan abdomen,
nyeri tekan. Hiperesonan/timpani (ileus), hilang suara pekak diatas hati
(udara bebas dalam abdomen).
d. Makanan/Cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah, haus.
35

Tanda : Muntah proyektil. Membran mukosa kering, lidah bengkak,


turgor kulit buruk.
e. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen tiba-tiba berat, umum atau lokal, menyebar ke
bahu, terus menerus oleh gerakan.
Tanda : Distensi, kaku, nyeri tekan. Otot tegang (abdomen), lutut fleksi,
perilaku distraksi, gelisah, fokus pada diri sendiri.
f. Pernapasan
Gejala : Pernapasan dangkal, takipnea.
g. Keamanan
Gejala : Riwayat inflamasi organ pelvik (salpingitis), infeksi pasca
melahirkan, abses peritoneal.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Pre Operasi
1) Nyeri yang berhubungan dengan penumpukan cairan di dalam cavum
peritoneal / abdomen.
2) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan
ekstraseluler, intravaskuler dan area interstisial kedalam usus dan/atau
area peritoneal
3) Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan mualk, muntah, gangguan fungsi usus, puasa.
4) Ansietas berhubungan dengan kritis situasi, ancaman kematian, status
hipermetabolik.
5) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan salah interpretasi informasi, tidak
mengenal sumber informasi.
b. Post Operasi
1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek luka
pembedahan.

3. Intervensi Keperawatan
a. Pre Operasi
1) Nyeri yang berhubungan dengan penumpukan cairan di dalam cavum
peritoneal / abdomen.
Tujuan : nyeri pasien terkontrol setelah diberi tindakan keperawatan.
Hasil yang diharapkan :
a) Pasien mengatakan nyeri berkurang / terkontrol.
b) Ekspresi wajah pasien tempak rileks.
Rencana Keperawatan :
36

a) Kaji ulang keluhan nyeri pasien meliputi intensitas, karakteristik,


lokasi.
Rasional : Perubahan lokasi, intensitas nyeri menggambarkan ke
arah komplikasi. Nyeri cenderung menjadi menetap, lebih hebat
dan menyebar ke seluruh abdomen sehingga mempercepat proses
peradangan. Nyeri dapat terlokalisasi bila terjadi abses.
b) Observasi tanda-tanda vital
Rasional : Nyeri hebat ditandai dengan peningkatan TD dan nadi.
c) Ajarkan tehnik relaksasi yang sesuai dan anjurkan pasien untuk
melakukannya bila nyeri timbul.
Rasional : Relaksasi mempermudah istrahat dan memperbaiki
respon terhadap nyeri.
d) Pertahankan posisi semi fowler sesuai kebutuhan.
Rasional : Memudahkan cairan dalam kavum abdomen ke bawah
mengikuti gaya gravitasi, mengurangi gannguan dafragma /
ketegangan abdomen dan mengurangi nyeri.
e) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapy analgetika.
Rasional : Therapi analgetik menurunkan ambang rasa nyeri,
sehingga menutupi rasa sakit selama poses penegakan diagnosa.

2) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan


ekstraseluler, intravaskuler dan area interstisial kedalam usus dan/atau
area peritoneal.
Tujuan : Terjadinya keseimbangan cairan.
Hasil yang diharapkan :
a) Haluaran urin adekuat dengan berat jenis urin stabil.
b) Tanda vital stabil.
c) Membran mukosa lembab, turgor kulit baik, dan pengisian kapiler
meningkat, dan berat badan dalam rentang normal.
Rencana Keperawatan :
a) Pantau tanda vital, catat adanya hipotensi, takikardia, takipnea,
demam.
Rasional : Membantu dalam evaluasi derajat deficit
cairan/keefektifan penggantian terapi cairan dan respon terhadap
pengobatan.
b)Pertahankan masukan dan haluaran yang akurat dan hubungkan
dengan berat badan harian.
Rasional : Menunjukan status hidrasi keseluruhan.
37

c) Observasi kulit/membran mukosa untuk kekeringan, turgor. Catat


edema perifer/sakral.
Rasional : Hipovolemia, perpindahan cairan, dan kekurangan
nutrisi memperburuk turgor kulit, menambah edema jaringan.
d)Ubah posisi dengan sering, berikan perawatan kulit dengan sering
dan pertahankan tempat tidur kering dan bebas lipatan.
Rasional : Jaringan edema dan adanya gangguan sirkulasi
cenderung merusak kulit.
e) Kolaborasi : Awasi pemerikasaan laboratorium, contoh Hb/Ht,
elektrolit, protein, albumin, BUN, kreatinin.
Rasional : Memberikan informasi tentang hidrasi, fungsi organ.
f) Berikan plasma/darah, cairan, elektrolit, diuretik sesuai indikasi.
Rasional : Mengisi/mempertahankan volume sirkulasi dan
keseimbangan elektrolit.
g) Pertahankan puasa dengan aspirasi nasogastrik/intestinal.
Rasional : Menurunkan hiperaktivitas usus dan kehilangan dari
usus.
3) Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan mualk, muntah, gangguan fungsi usus, puasa.
Tujuan : Pemenuhan nutrisi pasien adekuat setelah diberi tindakan
keperawatan
Hasil yang diharapkan :
a) Keseimbangan nutrisi terpenuhi.
b) Tidak mengalami penurunan berat badan.
c) Pasien dapat menghabiskan porsi makan yang disediakan.
Rencana tindakan :
a) Kaji bising usus dan adanya flatus.
Rasional : Menilai fungsi usus normal / tidak.
b)Monitor muntah, pengeluaran cairan melalui NGT (bila
digunakan).
Rasional : Muntah atau pengeluaran cairan NGT yang banyak
menandakan obstruksi usus yang membutuhkan evaluasi lebih
lanjut.
c) Jelaskan pada pasien pentingnya nutrisi bagi tubuh.
Rasional : Nutrisi penting bagi metabolisme tubuh dan membantu
dalam proses penyembuhan.
d) Berikan nutrisi per parenteral sesuai instruksi.
Rasional : Membantu pemberian nutrisi sehungga kebutuhan
nutrisi pasien tetap terpenuhi.
e) Timbang BB tiap hari.
38

Rasional : Mengetahui perubahan status nutrisi pasien.


f) Kolaborasi dengan dokter dan ahli gizi dalam pemberian diet
pasien.
Rasional : Diet yang tepat dan bertahap mengurangi resiko
gangguan lambung dan mencegah komplikasi.

4) Ansietas berhubungan dengan kritis situasi, ancaman kematian, status


hipermetabolik.
Tujuan : Ansietas menurun sampai tingkat dapat ditoleransi dan klien
tampak rileks.
Rencana Tindakan :
a) Evaluasi tingkat ansietas, catat respon verbal dan non-verbal pasien.
Rasional : Ketakutan dapat terjadi karena nyeri hebat, meningkatkan
perasaan sakit.
b) Berikan informasi tentang proses penyakit dan antisipasi tindakan.
Rasional : Mengetahui apa yang diharapkan dapat menurunkan
ansietas.
c) Jadwalkan istirahat adekuat dan periode menghentikan tidur.
Rasional : Membatasi kelemahan, menghemat energi dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.

5) Kurang pengetahuan ( kebutuhan belajar ) tentang perawatan dirumah


yang berhubungan dengan kurang informasi.
Tujuan : Pengetahuan pasien bertambah setelah diberi tindakan
keperawatan.
Hasil Yang Diharapkan :
a) Pasien mengatakan mengerti tentang perawatan di rumah dan tidak
lanjutnya.
b) Pasien ikut berpartisipasi dalam proses perawatan.
Rencana tindakan :
a) Kaji kembali hal – hal yang mendasar tentang proses penyakit dan
harapan kesembuhan.
Rasional : Memberikan pengetahuan dasar sehingga pasien dapat
membuat pilihan terhadap informasi yang diberikan
b) Ajarkan perawatan luka secara bersih dan kering.
Rasional : Mengurangi resiko terkontaminasi, memberi kesempatan
dalam mengevakuasi dalam proses penyembuhan.
c) Jelaskan kebutuhan latihan dan istirahat yang seimbang, hindari
latihan fisik yang berat.
39

Rasional : Latihan dan istirahat yang seimbang mecegah keletihan


dan mengindari hal – hal yang meningkatkan tekanan intra abdomen
dan ketegagan otot.
d) Diskusikan hal – hal yang membutuhkan evaluasi medik seperti :
gejala infeksi luka, demam, muntah, nyeri abdomen dan eliminasi.
Rasional : Diketahuinya gejala secepat mungkin dan pengobatan
pada komplikasi yang berkembang dapat mencegah terjadinya
keadaan yang lebih serius.
e) Diskusikan dengan pasien cara pengobatan , jadwalnya dan
kemungkinan efek samping obat.
Rasional : Pengobatan yang tepat mempecepat penyembuhan.
Antibiotik dapat diteruskan setelah keluar dari RS, tergantung berapa
lama sudah diberi sebelumnya.
b. Post-Operasi
1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek luka
pembedahan
Tujuan : integritas kulit pasien kembali adekuat setelah diberi
tindakan keperawatan.
Hasil Yang Di harapkan :
a) Luka tampak mongering dan menunjukan tanda – tanda
kesembuhan.
b) Tidak ada tanda –tanda infeksi.
Rencana tidakan :
a) Kaji keadaan luka dan tanda – tanda peradangan.
Rasional : Adanya tanda peradangan menunjukan keadaan luka
belum sembuh.
b) Anjurkan pasien untuk menjaga kebersihan daerah sekitar luka.
Rasional : Kebersihan membantu mencegah terjadinya infeksi.
c) Rawat luka secara aspetik dan antiseptik.
Rasional : Perawatan luka dengan tepat mencegah penyebaran
infeksi dan mempercepat proses penyembuhan luka .
d) Beri makanan berkualitas secara bertahap.
Rasional : Makanan yang berkualitas mempercepat penyembuhan
e) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian anti biotik.
Rasioanl : Therapi antibiotik membantu pemnyembuhan dan
mencgah infeksi.

4. Implementasi
Implementasi sesuai dengan intervensi yang di buat.

5. Evaluasi
40

Sesuai dengan kriteria hasil.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kerusakan organ abdomen dan pelvis dapat disebabkan oleh trauma
tembus, biasanya tikaman atau tembakan: atau trauma tumbul akibat
kecelakaan mobil, pukulan langsung atau jatuh. Meskipun tipe dan ukuran
peluru serta keparahan dampaknya biasanya dicerminkan oleh tingkat
kerusakan visera, namun timbul begitu banyak variasi, sehingga spekulasi
klinis membahayakan. Luka yang tampak ringan bisa menimbulkan cedera
eksterna yang mengancam nyawa.

B. Saran
Diharapkan bagi para pembaca untuk dapat lebih mencari sumber-sumber
lain yang dapat dijadikan panduan mengenai kegawatan abdomen untuk
menunjang kemampuan diri sebagai perawat professional di masa yang akan
datang.
41

DAFTAR PUSTAKA

Ambulan Gawat Darurat 118. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Secara


Terpadu. Jakarta.
Hawort, K, Mayer. BH., et.al (editors). 2004 . Critical Care Nursing, Made
Incredibly Easy. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Hudak and Gallo. 1995. Keperawtan Kritis, Pendekatan Holistik, alih bahasa:
Allenidekania. Jakarta. EGC
JMS (Jakarta Medical Service), 2013. Jakarta Medical Srvice 119 Training
Division. Jakarta
Newberry, Lorene, RN,MS,CEN.2003. Emergency Nursing Principle and
Practice. Ed.5, Mosby Philadelphia
Price, Sylvia, 1992. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed. 4
Mosby Philadelphia.
RSHS, Tim PPGD, 2009. Penanganan Penderita Gawat Darurat (PPGD Basic).
RSHS Bandung.

S-ar putea să vă placă și