Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
I. Tujuan
Dapat memahami profil disolusi obat dalam berbagai kondisi pH
Melihat pengaruh formulasi sediaan obat terhadap laju disolusi
II. Teori
Untuk mencapai absorbsi sistemik, suatu obat padatan akan mengikuti beberapa proses
seperti disintegrasi, disolusi dan absorbsi melalui membran sel. Pada proses tersebut,
laju obat mencapai sirkulasi sistemik ditentukan oleh tahapan yang paling lambat “rate
limiting step”. Obat yang memiliki kelarutan yang buruk dalam air, maka disolusi
merupakan tahap penentu dalam proses tersebut.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi disolusi obat, di antaranya sifat fisikokimia
bahan obat, faktor formulasi, anatomi dan fisiologi saluran cerna, dll. Salah satu faktor
yang akan diamati adalah pengaruh formulasi sediaan obat.
A. Parasetamol
Parasetamol merupakan metabolit aktif yang bertanggung jawab bagi efek analgesiknya. Ia
menghambat prostaglandin yang lemah dan efek antiinflamasinya tidak bermakna.
Asetaminofen di Indonesia dikenal dengan nama parasetamol dan diberikan secara per oral,
parasetamol kurang mengiritasi lambung dan karena itu secara umum lebih disukai.
Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0%, mempunyai
rumus molekul C8H9NO2 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan, dengan bobot
molekul 151,16.
Parasetamol mempunyai bentuk hablur atau serbuk putih, tidak berbau, rasa pahit, memiliki
suhu lebur 169 C sampai 172 C. larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%)P,
dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol P,
larut dalam larutan alkali hidroksida.
Disolusi
Disolusi adalah suatu perubahan proses dari bentuk padat ke bentuk cairan atau larut,
dimana dimulai dengan disintegrasi kemudian melarut sehingga menghasilkan bentuk
larutan. Laju disolusi merupakan waktu yang diperlukan obat untuk melarut dalam cairan.
Laju disolusi dinyatakan sebagai milligram zat yang dilarutkan permenit sentimeter persegi
(mg/ menit/ cm2). Disolusi dapat mengakibatkan perbedaan aktifitas biologi dari suatu zat
obat mungkin diakibatkan oleh laju dimana obat menjadi tersedia untuk diserap tubuh.
bentuk amorf dari obat lebih memberikan kelarutan yang besar dan laju disolusi
yang lebih tinggi daripada bentuk kristal.
b. Polimorfisme.
merupakan bentuk kristal obat yang terdiri lebih dari satu bentuk kristal.
polimorfisme dalam bentuk hidrat, solvate atau kompleks secara nyata
mempengaruhi karakteristik disolusi & obat.
c. Karakteristik partikel.
2. Faktor formulasi
a. Bahan tambahan.
Laju disolusi suatu obat murni dapat berubah secara bermakna saat dicampur
dengan berbagai bahan tambahan selama proses pencetakan bentuk sediaan.
b. Ukuran partikel.
Untuk meningkatkan laju disolusi dipilih ukuran partikel optimal yaitu cukup kecil
untuk memberikan luas permukaan spesifik yang berarti, tetapi tidak terlalu kecil
agar kesulitan pembasahan yang disebabkan oleh muatan partikel yang terjadi
selama penggerusan dapat dihindari.
Uji Disolusi Tablet yaitu untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang
tertera dalam masing-masing monografi (missal Farmakope) untuk sediaan tablet dan kapsul,
kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku
untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan dalam masing-masing monografi.
III. Alat dan Bahan
A. Alat-Alat:
1. Labu Ukur 5. Gelas Ukur
2. Pipet Ukur 6. Timbangan
3. Beaker Glass 7. Dissolution Tester
4. Batang Pengaduk 8. Spektrofotometer UV-Vis
B. Bahan
1. Parasetamol
2. Tablet Parasetamol Paten
3. Tablet Parasetamol Generik
4. HCL 0,1 N
5. Aqua dest
V. Hasil Percobaan
1. Pembuatan PCT Induk dalam HCL 0,1N 100 ml
10 mg PCT + HCL 0,1 N ad 100ml
2. Pengenceran larutan PCT Induk 4,6,8,10,12,14 µg / ml
a. V1. 100 µg/ml = 50 ml . 4 µg/ml
V1 = 2 ml
b. V1. 100 µg/ml = 50 ml . 6 µg/ml
V1 = 3 ml
c. V1. 100 µg/ml = 50 ml . 8 µg/ml
V1 = 4 ml
d. V1. 100 µg/ml = 50 ml . 10 µg/ml
V1 = 3 ml
e. V1. 100 µg/ml = 50 ml . 12 µg/ml
V1 = 6 ml
f. V1. 100 µg/ml = 50 ml . 14 µg/ml
V1 = 7 ml
Kurva Baku Larutan Standar Parasetamol dalam HCl 0.1 N
Konsentrasi
Absorbansi
(μg/ml)
A= 0,158 4 0,380
6 0,401
B= 0,469
8 0,507
r= 0,955 10 0,657
12 0,983
14 0,984
Y= a + bx
Y = 0,158 + 0,469x
Generik ( Kadar )
Kadar = X0 . V0 . HCl . Fp
1000
𝟎,𝟒𝟏𝟐 . 𝟗𝟎𝟎 .𝟐𝟓
a. Kadar = = 9,27 mg
𝟏𝟎𝟎𝟎
𝟎,𝟑𝟔𝟐 . 𝟗𝟎𝟎 .𝟐𝟓
b. Kadar = = 8,145 mg
𝟏𝟎𝟎𝟎
𝟎,𝟐𝟐𝟎 . 𝟗𝟎𝟎 .𝟐𝟓
c. Kadar = = 4,95 mg
𝟏𝟎𝟎𝟎
𝟎,𝟏𝟗𝟔 . 𝟗𝟎𝟎 .𝟐𝟓
d. Kadar = = 4,41 mg
𝟏𝟎𝟎𝟎
𝟎,𝟒𝟓𝟎 . 𝟗𝟎𝟎 .𝟐𝟓
e. Kadar = = 10,125 mg
𝟏𝟎𝟎𝟎
( 𝑲𝒂𝒅𝒂𝒓+𝑭𝒌 )
% terdisolusi = x 100 %
𝑫𝒐𝒔𝒊𝒔
a. Fk 5 “ = 0
( 𝟗,𝟐𝟕+𝟎 )
% terdisolusi = x 100 %
𝟓𝟎𝟎
= 1,854 %
b. Fk 10 “ = ( 5 / 900) x ( 9,27 + 0 ) = 0,0515
( 𝟖,𝟏𝟒𝟓+𝟎,𝟎𝟓𝟏𝟓 )
% terdisolusi = x 100 %
𝟓𝟎𝟎
= 1,639 %
c. Fk 15” = ( 5 / 900) x ( 8,145 + 0,0515) = 0,0455
( 𝟒,𝟗𝟓+𝟎,𝟎𝟒𝟓𝟓 )
% terdisolusi = x 100 %
𝟓𝟎𝟎
= 0,999 %
d. Fk 20” = ( 5 / 900) x ( 4,95 + 0,0455) = 0,0278
( 𝟒,𝟒𝟏+𝟎,𝟎𝟐𝟕𝟖 )
% terdisolusi = x 100 %
𝟓𝟎𝟎
= 0,888 %
e. Fk 30” = ( 5 / 900) x ( 4,41 + 0,0278) = 0,0247
( 𝟏𝟎,𝟏𝟐𝟓+𝟎,𝟎𝟐𝟒𝟕 )
% terdisolusi = x 100 %
𝟓𝟎𝟎
= 2,0299 %
Paten ( kadar )
𝒚−𝑨 𝟎,𝟐𝟎𝟐 − 𝟎,𝟏𝟓𝟖
a. X1 = = = 0,0938 mg / ml
𝑩 𝟎,𝟒𝟔𝟗
𝒚−𝑨 𝟎,𝟐𝟏𝟐 − 𝟎,𝟏𝟓𝟖
b. X2 = = = 0,115 mg / ml
𝑩 𝟎,𝟒𝟔𝟗
𝒚−𝑨 𝟎,𝟑𝟏𝟕 − 𝟎,𝟏𝟓𝟖
c. X3 = = = 0,339 mg / ml
𝑩 𝟎,𝟒𝟔𝟗
𝒚−𝑨 𝟎,𝟑𝟗𝟏 − 𝟎,𝟏𝟓𝟖
d. X4 = = = 0,497 mg / ml
𝑩 𝟎,𝟒𝟔𝟗
𝒚−𝑨 𝟎,𝟑𝟗𝟗 − 𝟎,𝟏𝟓𝟖
e. X3 = = = 0,514 mg / ml
𝑩 𝟎,𝟒𝟔𝟗
a. Fk 5 “ = 0
( 𝟐,𝟏𝟏𝟏+ 𝟎 )
% terdisolusi = x 100 %
𝟓𝟎𝟎
= 0,422 %
b. Fk 10 “ = ( 5 / 900) x ( 2,111 + 0 ) = 0,0117
( 𝟐,𝟓𝟖𝟖 + 𝟎,𝟎𝟏𝟏𝟕 )
% terdisolusi = x 100 %
𝟓𝟎𝟎
= 0,520 %
c. Fk 15” = ( 5 / 900) x ( 2,588 + 0,0117) = 0,0144
( 𝟕,𝟔𝟐𝟖 +𝟎,𝟎𝟏𝟒𝟒 )
% terdisolusi = x 100 %
𝟓𝟎𝟎
= 0,528 %
d. Fk 20” = ( 5 / 900) x ( 7,628 + 0,0144) = 0,0425
( 𝟏𝟏,𝟏𝟖𝟑 +𝟎,𝟎𝟒𝟐𝟓 )
% terdisolusi = x 100 %
𝟓𝟎𝟎
= 2,245 %
e. Fk 30” = ( 5 / 900) x (11,183 + 0,0425 ) = 0,0624
( 𝟏𝟏,𝟓𝟔𝟓+𝟎,𝟎𝟔𝟐𝟒)
% terdisolusi = x 100 % = 2,325 %
𝟓𝟎𝟎
VI. Pembahasan
Disolusi adalah proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat daalam media
pelarut, atau dengan kata lain disolusi adalah jumlah zat aktif dari obat yang dapat larut
dalam cairan tubuh. Sedangkan laju disolusi adalah laju zat aktif untuk melarut dalam
media pelarut seingga apabila zat aktif memiliki kecepatan melarut yang cepat maka
efek yang ditimbulkan juga cepat dan begitupun sebaliknya.
Mekanisme disolusi suatu obat khususnya tablet yaitu tablet yang ditelan akan masuk
kedalam lambung akan pecah, mengalami disentigrasi menjadi banyak granul kecil,
yang terdiri dari zat aktif yang tercampur dengan zat pengisi dan pelekat. Setelah
granul-granul ini pecah zat aktif terlepas dan jika daya larutan cukup besar, akan larut
dalam cairan lambung atau usus. Tergantung pada tempat dimana saat itu obat berada.
Hal ini ditentukan oleh waktu pengosongan lambung, yang pada umunya berkisar pada
2-3 jam setelah makan. Baru setelah obat larut, proses reabsorbsi oleh usus dapat
dimulai.peristiwa ini disebut sebagai pharmasheutican availability.
Pada percobaan ini akan ditentukan tetapan disolusi dari tablet paracetamol 500 mg
dalam media air suling, dimana besarnya tetapan tersebut menunjukkan cepat
lambatnya disolusi atau kelarutan dari tablet paracetamol tersebut. Di sini digunakan
air suling sebagai media disolusi karena air merupakan cairan penyusun utama dalam
tubuh manusia, jadi diumpamakan obat berdisolusi di dalam tubuh. Selain itu juga
karena paracetamol kelarutannya dalam air sangat baik. Adapun volume dari labu
disolusi yang digunakan adalah 900 ml. Hal ini dianalogikan terhadap suatu gelembung
udara, maka gelembung udara tersebut akan masuk ke pori-pori dan bekerja sebagai
barier pada interfase sehingga mengganggu disolusi obat. Adapun suhu yang
digunakan, dipertahankan 37° C, dengan maksud agar sesuai dengan suhu fisiologis
suhu tubuh manusia. Hal ini sebagai pembanding jika obat tersebut berada dalam tubuh
manusia, adapun waktu yang digunakan yaitu 30 menit karena waktu yang digunakan
paracetamol untuk dapat terdisolusi adalah 30 menit.
Untuk media disolusi digunakan pelarut seperti yang tertera dalam masing-masing
monografi. Bila media disolusi adalah suatu larutan dapar, diatur pH larutan sedemikian
hingga berada dalam batas 0.05 satuan pH yang tertera pada masing-masing monografi.
Untuk memilih media disolusi dapat dipertimbangkan seperti halnya jika kelarutan zat
aktif tidak dipenggaruhi oleh pH, maka sebagai media disolusi dipakai air suling.
Sedangkan jika kelarutan zat aktif dipengaruhi pH, maka sebagai media disolusi dipakai
cairan lambung buatan atau cairan usus buatan.
Pertama-tama alat uji disolusi diaktifkan, kemudian diatur waktu, suhu, interval waktu,
dan rpmnya, kemudian setelah 45 menit dan terdengar suara beep yang panjang dari
alat uji disolusi maka paracetamol dimasukkan kedalam alat uji disolusi. Setelah obat
dimasukkan ke dalam alat uji disolusi, dilakukan pemipetan dalam tiap interval waktu
5, 10, 15, 20, 25, dan 30 menit, tetapi pada saat dilakukan pemipetan dari alat uji
disolusi, maka larutan yang diambil dalam alat uji disolusi harus diganti dengan air
steril sesuai dengan volume yang diambil.
Dari hasil perhitungan terlihat bahwa % nilai disolusi selalu terjadi kenaikan disetiap
menitnya. Pada paracetamol generic pada menit ke 30, % yang didapat yaitu 2,0299 %.
Sedangkan pada paracetamol paten, % disolusi didapat pada menit ke 30 yaitu 2,325
%.
VII. Kesimpulan
Dari hasil percobaan di peroleh data absorbansi :
Ditjen POM., (1979), “Farmakope Indonesia”, Edisi III, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.
Ansel.C, Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press. Hal 118 –
124.
Martin, A., Swarbrick, J., & Cammarata, A. 2008. Farmasi Fisik 2. Universitas Indonesia
Press. Jakarta.
Martin, Alfred et al. 1990.Farmasi Fisik Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia
Laporan Praktikum Biofarmasetika D
Pengaruh Formulasi Terhadap Laju Disolusi
NPM : 1543050022
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA
2018