Sunteți pe pagina 1din 8

Sabda, Volume 8, Tahun 2013 : 91-97 ____________ ISSN 1410 - 7910

SEKE DAN IKAN MALALUGIS di Desa Bebalang,


Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara
WidyaRatmaya Program Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas

Diponegoro

Abstract
Coastal society is a group of indigenous people or local people who reside or live in coastal regions and
have particular custom in managing its surroundings/row generation to generation. The people manage
their coastal resource traditionally and locally; their social structure and activities are still simple. The
people have their local wisdom, namely Hak Ulayat Laut, which can conceptually be translated into sea
tenure. Hak Ulayat Laut is a form of communal marine resource management. The traditional local
wisdom can be manifested in social values, custom norms, ethics, system of belief, traditional site
planning, as well as tools and environment-friendly simple technology.
The fishing community of Bebalang Village, Sangihe Islands Regency, is a group of indigenous people
who have their local wisdom in maintaining and using marine resource. The local wisdom is manifested
in a traditional institution which manages the usage of the available natural resources. In the institution
there are a number of rules concerning the usage of marine resource as well as the applicable
technology and territorial-operating borders. Besides that, the people of Bebalang Village uphold the law
regulating the catching of malalugis, a species of kite fish. They catch malalugis by using seke,
bamboo-woven traps. The traps appear like bubu, but they have bigger sizes.

Keywords: Bebalang Village, Hak Ulayat Laut, malalugis fish, sea tenure, seke
1. Pcndahulnan 3. Bentuk pemanfaatannya terbatas dalam
Masyarakat pesisir merupakan suatu kelompok skalakecil;
masyarakat adat atau masyarakat lokal yang 4. Tipe masyarakat dan kegiatannya relatif
bermukim atau tinggal di wilayah pesisir dan homogen
memiliki adat/ tata cara tersendiri dalam 5. Komponen pengelolaannnya berasal dan
mengelola lingkungannya secara turun temurun berakar pada masyarakat
(UU No. 27 tahun 2007). Dalam pengelolaan 6. Rasa kepemilikan dan ketergantungan
sumberdaya alam di wilayah pesisir, mereka terhadap sumberdaya alam tmggi
masih melakukan secara tradisional, bersifat (Wahyudin,2003).
lokal dan struktur masyarakat Selain itu, aturan-aturan yang digunakan pada
sertaaktivitasnyasecarasederhana. Beberapa ciri umumnya berakar dari permasalahan
dari pengelolaan sumberdaya alam secara -permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat
tradisional antara lain: setempat. Aturan-aturan dan kebijakan
1. Pengelolaan sumberdaya alam dilakukan tradisional ini kemudian ditetapkan dan
secara berkelanjutan disepakati bersama oleh masyarakat sebagai
2. Struktur pihak yang terlibat masih sangat suatu undang-undang atau hukum yang lebih
sederhana dikenal sebagai hukum adat. Aturan-aturan

SEKE DAN IKAN MALALUGIS KELEMBAGAAN TRADISIONAL 91


Sabda, Volume 8, Tahun 2013: 91-97
itulah yang mengatur semua tata cara masyarakat masyarakat melainkan juga menyangkut
dalam mengelola suatu sumberdaya alam yang pengetahuan, pemahaman dan adat maupun
ada. kebiasaan manusia alam dan bagaimana relasi di
Secara konsepsional kearifan lokal atau yang antara semua penghuni komunitas ekologi
lebih dikenal dengan Hal Ulayat Laut merupakan tersebut. Seluruh kearifan tradisional ini dihayati,
terjemahan dari istilah Sea Tenure (Adhuri, dipraktikan, diajarkan dan diwariskan secara
1993). Hak Ulayat mempakan suatu bentuk turun-temurun yang sekaligus membentuk pola
pengelolaan sumberdaya laut yang bersifat perilaku manusia sehari-hari baik terhadap
komunal. Menurut Sudo 1983 dalam Imron, dkk, sesama manusia maupun terhadap alam.
2006 istilah Sea tenure mengaju kepada Aturan-aturan yang terbentuk dalam sistem
seperangkat hak dan kewajiban timbal balik yang penguasaan bersama pada Hak Ulayat Laut
muncul dalm hubungannya dengan kepemilikan merupakan suatu kesadaran bersama seluruh
wilayah laut. Sea Tenure merupakan suatu sistem, masyarakat, yang mengandung dua sifat pokok
di mana beberapa orang atau kelompok sosial yaitu: kesadaran bersama dari suatu komunitas
memanfaatkan wilayah laut, mengatur tingkat sesungguhnya berada di luar pribadi dari setiap
eksploitasi sumberdaya alam laut termasuk individu anggota masyarakat, Sedangkan yang
melindunginya dari eksploitasi yang berlebihan kedua, kesadaran bersama memiliki sudut
(over exploitation) (Sudo, 1983 dalam Wahyono, kekuatan psikis yang memaksa masing-masing
dkk, 2000). Selanjutnya menurut Akimichi 1991 individu anggota komunitas untuk menyesuaikan
dalam imron, dkk, 2006 mengatakan bahwa diri dengan aturan-aturan tersebut (Wahyono
hak-hak kepemilikan tersebut (property right), dkk,2000 dalam Hammar» 2009)
mempunyai konotasi sebagai memiliki (to own), Masyarakat Nelayan Desa Bebalang Kabupaten
memasuki (to acces) dan memanfaatkan (to use). Kepulauan Sangihe merupakan salah satu
Ketiga hal tersebut tidak hanya mengacu pada kelompok masyarakat adat yang mempunyai
suatu wilayah penangkapan (fishing ground), suatu kearifan lokal tradisional dalam menjaga
tetapijuga pada teknik-teknik penangkapan, dan memanfaafkan bumberdaya laut (Adhuri,
peralatan (teknologi) yang digunakan, dan 1993; Wahyono, 1993; Nikijuluw, 1998; Imron,
sumberdaya yang dikumpulkan. 2002). Bentuk kearifan lokal tersebut dituangkan
Kearifan lokal tadisional tersebut dapat dalam bentuk suatu kelembagaan tradisional
diwujudkan dalam nilai sosial, norma adat, etika, yang mengatur semua kegiatan pemanfaatan
sistem kepercayaan, pola penataan ruang sumberdaya yang ada. Didalam lembaga
tadisional, serta peralatan dan teknologi tradisional tersebut ada beberapa aturan
sederhana yang ramah lingkungan. Sumber daya mengenai pemanfaatan sumberdaya alam laut,
sosial yang diwarisi secara turun temurun tersebut dan juga teknologi yang digunakan serta batasan
pada kenyataannya terbukti efektif menjaga wilayah pengoperasian. (Adhuri, 1993;
kelestarian lingkungan, serta menjamin kelestarian Wahyono, 1993). Selain itu, masyarakat Desa
lingkungan sosial. Menurut Keraf (2003), kearifan Bebalang Juga mempunyai aturan bahwa
tradisional merupakan semua bentuk pengetahuan, mereka melakukan penangkapan spesifik yaitu
keyakinan, • pemahaman atau wawasan serta adat penangkapan khusus pada ikan "malalugis", yaitu
dan kebiasaan atau etika yang menuntun semua sejenis ikan layang. Mereka menangkap Ikan
perilaku manusia atau anggota masyarakat dalam malalugis dengan menggunakan jebakan yang
kehidupan di dalam suatu komunitas ekologis. terbuat dari bambu yang disebut "kke". Alat ini
Kearifan tradisional bukan hanya menyangkut mirip dengan bubu, tetapi dengan ukuran yang
pengetahuan atau pemahaman masyarakat adat lebih besar (Nikijuluw, 1998;
tentang manusia dan • bagaimana relasi yang baik Imron, 2002).
di antara anggota
2. Protll Kabupaten Kepulauan Sangihe

92 SEKE DAN IKAN MALALUGIS KELEMBAGAAN TRADISIONAL


Sabda, Volume 8, Tahun 2013 : 91-97
2,1. KondisiGeografis Gambar 1. Wilayah Kepulauan Sangihe Talaud
Kabupaten Keputauan Sangihe Talaud (Anonim,2010)
merupakan salah satu kabupatcn di Provinsi Iklim di wilayah ini dipengaruhi oleh angin
Sulawesi Uara yang berbatasan dengan Filipina. muson. Terdapat duamusim seperti pada
Kabupaten ini memiliki luas daratan mencapai kebanyakan witayah tropis, yaitu musim kemarau
1.012,94 km, dengan ibukota Tahuna. Kabupaten dan musim penghujan. Secara umum suhu udara
Kepulauan Sangihe terdiri dari dua gugusan rata-rata perbulan pada pengukuran Stasiun
kepulauan yaitu gugusan Kepulauan Meteorologi Naha adalah 27"C. Daerah Sangihe
Siau-Tagulandang-Biaro dan'gugusan kepulauan Talaud mempunyai curah hujan yang tinggi
Sangihe Besar. Secara keseluruhan jumlah pulau mencapai 2500 ilmi pertahun. Wilayah yang
yang ada di kedua gugusan kepulauan ini didominasi oleh laut, membuat Kepulaan Sargihe
berjumlah 82pulauyang tidak berpenghuni dan 30 Talaud mempunyai kekayaan sumberdaya hayati
pulau berpenghuni. Letak pulau-pulau di laut yang sangat potensial. Kekayaan tersebut
Kabupaten Kepulauan Sangihe telah dimanfaatkan penduduknya untuk
membentangberjejer dari selatan yaitu pulau menopang kehidupan mereka. Kekayaan inilah
Biaro yang paling dekat dengan ibukota Propinsi yang juga sering menyebabkan terjadinya konflik
Sulawesi Utara (Manado), sampai dengan pulau antar nelayan yang datang dari luar Daerah
Marore di bagian utara yang berbatasan dengan Sangihe Talaud, terutama nelayan dari Filipina
pulau Balut dan Saranggani tvilayah Republik (Bappeda Kab. Sangihe, 2009).
Filipina (Mindanao Selatan). Kabupaten 2.2. Desa Bebalang
Kepulauan Sangihe Secara geografis terletak Bebalang merupakan sebuah pulau kecil dengan
diantara 41'4'13"-4044'22"LU dan 125° 125" 56' luas 3,4 km2 yang secara administradf merupakan
57". BT, berada antara Pulau Sulawesi dengan sebuah desa yang berada di Kecamatan Mangan
Pulau Mindanao (Fiiipina). Ibukota Tahuna Kabupaten Kepulauan Sangihe. Desa Bebalang
berjarak 142 mil laut dari Manado, ibukota dipimpin oleh seorang kepala desa yang disebut
Provmsi Sulawesi Utara (Bappeda Kab. Sangihe, Apo-Laa, yang merupakan pemimpin formal dan
2009). informal dari desa ini (Adhuri, 1993). Penduduk
Struktur geografik dan teritorial Kepulauan Desa Bebalang tersebar di tiga dusun, yaitu
Sangihe mempunyai sifat yang unik. Daerah Dusun Satu, Dusun Dua dan Dusun Tiga.
tersebut terletak antara Pulau Sulawesi dan Pulau Menunrt Adhuri (1993), penyebaran penduduk
Mindanao (Filipina), sehingga merupakan daerah pada ketiga dusun tersebut hanya didasari atas
perbatasan. Teritori Sangihe Talaud mempunyai pertimbangan administratif, yaitu jumlah
luas 44.000 km2, namun hanya sekitar 50% saja keluarga dalam sebuah dusun, sementara itu di
yang merupakan daratan. Topografi Kepulauan Dusun Tiga, penduduk Dusun Tiga memang
Sangihe Talaud adalah kasar dengan 75 % dianggap kelompok sosial yang berbeda
daratan mempunyai kemiringan di atas 150° dan meskipun berasal dari nenek moyang yang sama.
bahkan mencapai kemiringan 40°(Bappeda Kab. Penduduk Desa Bebalang sebagian besar bermata
Sangihe, 2009). pencaharian sebagai nelayan. Mereka
memanfaatkan sumberdaya perikanan dengan
menggunakan teknologi yang sederhana seperti
tombak, panah, Seke, dan beberapajaring kecil
(Adhuri, 1993; Nikijuluw, 1998).
Masyarakat Desa Bebalang menggunakan alat
tangkap yang bemama Sefre. Mereka
menggunakan alat tangkap ini untuk menangkap
ikan malulugis. yang merupakan sejenis ikan
layang (Nikijuluw. 1998). Sete

SEKE DAN IKAN MALALUGIS KELEMBAGAAN TRADISIONAL 93


Sabda, Volume 8, Tsbun 2013: 8^-97.
sendiri merupakan suatu alat tangkap yang daratan. (Wahyono dkk. BO). 3.2. Organisasi
terbuat dari bambu yang berbentuk segi empat dan Keanggotaan dalam Seke
dan mirip dengan bubu. Pengoperasian Seke Masyarakat Desa Bebalang mempunyai sebuah
dilakukan secara bersama sama oleh seluruh kelompok nelayan yang diberi nama Seke.
anggota masyarakat dan hasil yang didapatkan Dalam ketompok Seke, ada beberapa istilah
akan dibagi bersama (Adhuri, 1993; Wahyona lokal mengenai keanggotaan berdasarkan fungsi
dkk. 1991 dalamNikijuluw, 1998) dan tugasnya masing-masing yaitu Lekdeng,
Tatalide, Seke kengkang. Malabo, Tonaas,
3. Pengelolaan Sumberdaya Perikanen Mandora dan Mendoreso (Wahyono, dkk, 1991
BerdasarkaniffAe dalam Wahyono, 1993), Lekdeng merupakan
3.1. Seise istilah lokal yang berarti anggota, sedangkan
Seke merupakan salah satu mekanisme Tatalide adalah sebutan untuk anggota yang
kelembagaan adat tradisional dalam mengelola ditugaskan memegang talonlong. Talontong
sumberdaya perikanan di daerah Sangihe sendiri merupakan sejenis tongkat yang
Talaud, khususnya di desa Bebalang. Nama digunakan untuk menjaga Seke agar posisinya
Seke sendiri diambil.dari alat tangkap yang tegak lurus dengan permukaan laut.
mereka gunakan untuk menangkap ikan. Tugas Tatalide adalah menggerak-gerakan Seke
Masyarakat Desa Bebalang menerapkan supaya ikan yang sudah, masuk di dalamnya tidak
penangkapan eksklusif, yaitu sutu mekanisme tari ke luar. Seke Kengkang adalah sebutan lokal
penangkapan pada satujenis ikan saja. Mereka untuk anggota yang berada di atas perahu tempat
menggunakan alat tangkap Sefre khusus untuk meletakkan Seke, yang disebut perahu kengkang.
menangkap ikan layang atau mereka Anggota ini bertugas menurunkan Seke ke laut
menyabutnya ikan malalugis (Adhuri, 1993; jika sudah ada-aba yang diberikan pemimpin
Wahyono, 1993;Nikijuluw, 1998). Alat pengoperasian seke. Matobo merupakan seorang
tangkap ini terbuat dari tumbuh-tumbuhan juru selama yang bertugas menyelam dan melihat
lokal, yaitu bulo (bambu), kayu nibung, uwe posisi gerombolan ikan layang sebelum Sete
(rotan) dan bongo (daun kelapa atau janur diturunkan ke laut (Wahyono dkk, 1993 dalam
kuning). Berbetuk persegi panjang dan memiliki Nikijuluw,1998).
ukuran panjang 30 m dan lebar 82 cm. Para Tonaas adalah orang yang memimpin
anggota kelompok membuat atat tangkap Seke pengoperasian Seke, sedangkan wakilnya disebut
dari rangkaian potongan bambu kecil yang Tonaseng Karuane. Tonaas yang akan
diikat menjadi satu untaian memanjang dan memberikan aba-aba ketika Seke diturunkan atau
diikat dengan ijuk, Seke merupakan alat angkap dinaikkan. Tonaas dipercaya memiliki kekuatan
komunal, mulai dari proses pembuatan dan gaib yang disebut opo-opo yang mampu
pengoperasiannya dilakukan secara memanggil ikan layang sehingga mereka
bersama-sama. Keseluruhan kegiatan yang mendapatkan hasil yang banyak. Untuk Tnnaas
berhubungan dengan Seke melibatkan banyak sendiri akan mendapatkan bagian tiga kali lipat
orang, bahkan hampir keseluruhan penduduk dari perolehan anggota yang tain (Adhuri. 1993)
desa yang dianggap mampu tua-muda laki-laki Dalam kelompok tersehul ada juga seseorang
maupun perempuan semua terlibat (Adhuri. yang bertugas membangunkan anggota Sete
1993) setiap kali pergi beroperasi dan membagi hasil
Dalam mengoperasikan Seke. masvarakal Desa tangkapan kepada anggota yang disebut
Behalang memhagi ^ jems wilayah Mandore. Mandore ini merupakan orang yang
penangkapan (fishing ground). yailu Sanglu. mempunyai kemampuan dalam menaksir jumlah
Inahe dan EUe. Sangle adalah suatu wilayah hasil tangkapan yang akan dibagikan ke seluruh
laut habitat terumbu karang di mana banyak anggota. Sedangkan orang yang bertugas menjadi
dihuni ikan-ikan karang. Inahe adalah wilayah bendahara
perairan yang berbatasan antara sanghe dan
elie. Sedangkan elie adalah wilayah
penangkapan ikan yang paling jauh dari

94 SEKE DAN IKAN MALALUGIS KELEMBAGAAN TRADISIONAL


Sabda, Volume 8, Tahun 2013 :91-97
organisasi Sete disebut Uendoreso (Wahyono Dua sedangkan seke yang lain dioperasikan oleh
dkk.. 1993 dalomNikijuluw, 1998), penduduk Dusun Tiga. Seke-seke tersebut
Menurut Adhuri (1993) dan Wahyono (1993), dioperasikan dan dirawat bersama-sama.
dalam kelompok Seke sislem pembagian hasii Mengenai penguasaan witayah perairan, mereka
tangkapan yang dilakukan didasarkan pada melakukan pembagian wilayah penangkapan
empat pertimbangan, yaitu: 1) hasil tangkapan antar ketiga dusun tersebut. Pembagian wilayah
yang diberikan kepada warga desa yang sudah ini berhubungan dengan pengoperasian Seke
berkeluarga (termasuk janda/duda); 2) hasil yang berarti juga merupakan habitat ikan
tangkapan untuk warga desa yang belum malalugis (Adhuri, 1993) 3.4. Ikan Malalugis
berkeluarga; 3) hasil tangkapan yang didasarlcan Ikan malalugis merupakan jenis ikan layang.
dari status sosial tertentu, seperti kepala dssa, Dalam kaitannya dengan penangkapan ikam
guru, pendeta, tctua adat, pejabat dan sebagainya; mafalugis menggunakan alat tangkap Seke. ada
4) hasil tangkapan yang diberikan menurut status beberapa aturan yang harus dipatuhi oleh para
keanggotaan dalam organisasi Seke, yaitu penduduk Desa Bebalang dan juga oleh orang
tonflo.s'.niandorJui-uselama dan sebagainya. asing. Di Desa Bobalang dan kawasan perairan
3.3. Fengoperasian dan Kepemilikan Seke sekitamya, berdasarkan konsep Hak Ulayat Laut
Pengoperasian Seke selalu dikalukan Desa Bebalang jenis ikan ini dianggap sebagai
bersama-sama seluruh anggota, Seke. Kelompok jenis ikan yang hanya boleh ditangkap oleh
nelayan Seke dalam pengoperasianya penduduk Desa Bebalang sepanjang berada di
menerapkan konsep penangkapan ikan eksklusif perairan yang meraka anggap sebagai bagan dari
artinya hanya menangkap ikan yang sejenis. perairan Bebalang. Aturan ini merupakan suatu
Selain itu juga menerapkan lokasi penangkapan aturan yang sudah berkembang secara
ikan yang eksklusif, dalam arti bahwa terdapat turun-temurun (Adhuri, 1993)
kaitan antara satu lokasi dengan satu jenis alat Menurut Adhuri (1993), nelayan Desa Bebalang
tangkap. Dalam kelompok Seke terdapat juga menghubungkan ikan malalugis ini dengan
pengaturan penangkapan di tern pat-tem pat kepercayaan nenek moyang tnengenai penunggu
penangkapan yang dilakukan secara bergilir. laut. Meraka percaya bahwa malalugis
Daiam satu minggu, Seke dioperasikan setiap merupakan ikan yang menjadi mainan seorang
hari kecuali hari Minggu. Dalam setiap harinya dewi yang menjadi penguasa laut yang dikenal
ada empat Seke yang dioperasikan pada empat dengan nama Dewi AdW. Ikan ini dianggap
tempat penangkapan ikan yang berbeda sebagai ikan yang sakral, oleh
(Wahyono, 1993; Wahyono dkk,l943 dalam karena itu seiruia ke^atan, 'pa,rika.t\ax\ •ya^^,
Nikijuluw,1998). berhubungan dengan tkan malalugis harus
Dalam keanggotaan Seke ada aturan-aturan yang disertai dengan ritual-ritual khusus.
harus dipatuhi para anggotanya. Apabila terdapat Tempat-tempatyang merupakan habitat ikan
pelanggaran, pihak yang melanggar dikenakan malalugis juga dikeramatkan dan pada
sanksi ganti rugi berupa barang yaitu 5-10 sak tempat-tempat tersebut pula mereka
semen atau uang senilai barang itu. mengoperasikan Seke. Masyarakat Bebalang
Barang ini nantinya digunakan untuk keperluan melarang keras terhadap orang asing ataupun
pembangunan gereja atau fasilitas umum lainnya orang luar untuk mengadakan penangkapan
di Desa Bebalang (Wahyono, 1993;Adhuri,!998). terhadap ikan malalugis, temtamajika
Di Desa Bebalang sendiri terdapat beberapa Seke penangkapan tersebut dilakukan dengan
yang dimiliki bersama oleh semua warga desa. menggunakan teknoiogi yang lebih modem dan
Beberapa Sete dimiliki bersama oleh penduduk hasil tangkapannya lebih banyak serta tujuan dari
Dusun Satu dan Dusun penangkapan ini beroriantasi ke pasar. Sementara
itu bagi warga Bebalang ikan malalugis
merupakan ikan

SEKE DAN IKAN MALALUGIS KELEMBAGAAN TRADISIONAL 95


Sabda, Volume 8, Tsihun 2013: 91-97,
komunal, artinya semua orang mempunyai hak kelompok masyarakat tersebut.
untuk mendapatkan bagian pada setiap kegiatan Kedua tradisi Sete juga mengajarkan pentingnya
penangkapan ikan ini (Adhuri, 1993; kebersamaan dan pemerataan dalam kehidupan
Wahyono, 1993;Nikijuluw, 1998). schari-hari. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan
yang hubungan dengan Seke mulai dari
4. Pen u tup
pembuatan, pengoperasian dan perawatan yang
Masyarakat pesisir merupakan suatu kelompok dilakukan secara bersama-sama seluruh anggota
masyarakat adat atau masyarakat lokat yang masyarakat. Selain itu dapat dilihat juga pada
bermukim atau tinggal di wilayah pesisir dan sistem bagi hasil yang diterapkan di mana
memiliki adat-tata cara terssndiri dalam seluruh anggota masyarakat mendapat bagi hasil
mengelola lingkungannya secara turun temurun. dari penangkapan ikan yang diperoleh oleh
Dalam pengelolaan sumberdaya alam di wilayah sebuah kelompok Seke tertentu.
pesisir, mereka menetapkan suatu aturan-aturan Pentingnya ikan malalugis bagi warga Bebalang
tradisional, bersifat lokai dan struktur masyarakat mendorong mereka untuk melindungi wilayah
serta aktivitasnya masih sederhana. Selain itu, yang dianggap sebagai habitat ikan tersebut,
aturan-aturan yang digunakan padaumumnya bahkan beberapa tempat di sekitarnya dianggap
muncul dan berakar dari ksramat. Oleh karena itu wajar jika warga
permasalahan-permasalahan yang dihadapt oleh Bebalang menganggap wilayah perairan sekitar
masyarakat setempat. Aturan-aturan dan Pulau Bebalang adalah milik mereka sedangkan
kebijakan tradisional ini kemudian ditetapkan dan orang asing hanya bisa melakukan penangkapan
disepakati bersama oleh masyarakat sebagai ikan di wilayah perairan Bebalang dengan
suatu undang-undang atau hukum yang lebih membayar semacam ueng sewa kepada Desa
dikenal sebagai hukum adat. Aturan-aturan itulah Bebalang dengan catatan orang asing tersebut
yang mengatur semua tata cara masyarakat dalam tidak menangkap ikan malalugis. Bila mereka
mengelola suatu sumberdaya alam yang ada. melanggar batas wilayah yang telah ditentukan
Aturan-aturan yang terbentuk dalam sistem atau mereka menangkap ikan malalugis, warga
penguatan bersama pada Hak Ulayat Lcmt Desa Bebalang akan langsung mengusimya
merupakan suatu kesadaran bersama seluruh (Adhuri 1993).
anggota masyarakat yang mengandung arti Keberadaan Hak Ulayat Laut semacam ini
kebersamaan dan pemerataan. Mekanisme sebaiknya terus dijaga dan dilestarikan untuk
pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat menghindari pemanfaatan sumber daya yang
Desa Bebalang ini merupakan salah satu contoh berlebihan yang dapat menyababkan kelangkaan
pengelolaan sumberdaya hayati, dalam hal ini sumberdaya tersebut, dalam hal ini khususnya
adalah sumberdaya perikpnan, yang muncul dan sumberdaya perikanan.
dilakukan oleh masyarakat secara tradisional dan
mandiri sesuai aturan-aturan yang telah berlaku
DaftarPustaka
di dalam kelompok mereka secara turun temurun.
Pelajaran yang dapat diapetik dari pengelolaan Adhuri, D.S. 1993. Hak Ulayat Laut dan
sumberdaya ikan dengan organisasi tradisional dinamika masyarakat nelayan di Indonesia
seke adalah: bagian timur: studi kasus d P. Bebalang, Desa
Pertama, Seke mengatur sekelompok masyarakat Sathean dan Demta. Masyarakat IndonesiaXX(\)\
untuk senantiasa memberikan perhatian kepada 143-163.
disribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya
alam khususnya ikan kepada seluruh anggota Anonim. 2010. Sangihe Talaud Islands.
masyarakat. Hai ini tercermin dari adanya http://north-su I awesj-bl ogspot.com/p/san gi h
pembagian waktu dan lokasi untuk setiap e-tajaud-lslands_26.html. Diakses 14 Juni 2011
kelompok Sete dalam satu periode waktu. pukul 01:50,
Pengaturan ini menghindarkan terjadinya konflik
pemanfaatan di antara

SEKE DAN TKAN MALALUGIS KELEMBAGAAN TRADISIONAL


Sabda, Volume 8, Tahun 2013: 91-97

Bappeda Kabupaten Sangihe. 2009. Buku Rencana:


Rencana Tata Ruang WHayah Kabupaten
Kepulauan Sangihe.

Hammar,R. K. R. 2009. HakUlayatLautdatam


perspektif otonomi daerah di Kepulauan Kei dan
Papua- Mimbar Hukum, 21 (2):
302-323.

Imron, M, Sudiyono, S. Ali dan I.G.PAntariksa.


2006. Manajemen Sumberdaya Laut dalam
Perspektif Otonomi Daerah:
Kasus Kota Padang dan Kota Tidore. LIPI Press:
Jakarta,

Imron, M. 2002. Malombo: sebuah model


pengelolaan sumberdaya laut di Salurang, Sangihe
Talaud. Penduduk dan Pembangwan, XIII (I):
49-65.

Keraf, A.S. 2003. Etika Lingkungan. Jakarta:


Penerbit Buku Kompas.

Nikijuluw, V.P.H. 1998. Identification of


indigenous coastal fisheries management (ICFM)
system in Sulawesi, Maluku and Irian Jaya. Pesisir
dan Lautan, 1 (2): 40-70.

Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang


Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-PulauKecil.

Wahyono. A 1W. Peruhahan kesadaran herkelompok


pada nelavan pukal (purse •tCinet di Kepulauan
Sagihe-(alaud. Sringihe-I alaud. Sulawesi I'tara Masy
arakal Indonesia. XXI (I): 61-73-

Wahyono, A., A.R. PatJi, D.S. Laksono, R.


Indrawasih, Sudiyono dan S. Ali. 2000. Hak Ulayat
Laut di Kawasan Timur Indonesia. Media
Pressmdo.Yogyakarta.

Wahyudin, Y. 2003. Sistem sosial ekonomi dan


budaya masyarakat pesisir. Makalah disampaikan
pada Pelatihan Pengelolaan Kawasan Konservasi
Perairan. Bogor, 5 Desember2003.

SEKE DAN IKAN MALALUGIS KELEMBAGAAN TRADISIONAL 97

S-ar putea să vă placă și