Sunteți pe pagina 1din 30

BAB III

PEMBAHASAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN “L” DENGAN


MENINGITIS PADA ANAK USIA 4 BULAN DI RSUD KAJEN

A. Pengkajian
Nama anak : An “L”
Umur : 4 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Nomor Register : 10261115
Lahir : Normal (Spontan B)
Tempat/tanggal lahir : Surabaya, 13 Mei 2017
Diagnosa Medis : Meningtis
Tanggal MRS : 8 September 2017 jam 03.00 WIB
Nama Ibu : Ny. “H”
Umur : 34 tahun
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : -
Penghasilan : -
Alamat : Pucang Jajar 42 Surabaya
Nama Ayah : Tn. “B”
Umur : 36 tahun
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Pucang Jajar 42 Surabaya

B. Riwayat kesehatan
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Ibu klien mengatakan pada tanggal 7-9-2017 jam 14.30 WIB Anak mulai
panas lalu diberi obat penurun panas (Sirup Salmol) 1 kali dan dikompres,
disertai batuk dan pilek. Tetapi panas tidak turun. Muntah sebanyak 2 kali
yaitu jam 23.30 WIB dan 01.30 WIB sebanyak ± 2-3 sendok makan dengan
berisi makanan. Lalu kejang terjadi pada jam 02.30 WIB sebanyak 1 kali,
lamanya ± 5-10 menit, tidak mengeluarkan busa dari mulut. Keadaan saat
kejang adalah mata melirik ke atas, kedua tangan fleksi, dan kedua kaki kaku
(ekstensi). Setelah kejang terjadi anak langsung menangis. Batuk tidak
mengeluarkan dahak, suara grok-grok, konsistensi pilek agak kental, jernih,
dan keluar kadang-kadang, tetapi tidak sesak.
2. Keluhan utama : Kejang
3. Penyakit Riwayat Dahulu
Sebelumnya anak tidak pernah menderita/mengalami kejang, epilepsi, trauma
kepala, radang selaput otak, ostitis media akut. Penyakit yang pernah diderita
anak yaitu panas, batuk, pilek tetapi jarang terjadi.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Ayah : tidak ada keluarga yang menderita penyakit epilepsi, kelainan
syaraf, penyakit menular ataupun menurun dari ayah.
Ibu : ibu menderita hipotensi. Orang tua perempuan ibu menderita
penyakit diabetes mellitus sejak tahun 1992, dari keluarga ibu tidak
ada yang menderita kelainan syaraf, epilepsi.
Anak : kakaknya menderita sakit batuk dan pilek selama satu minggu

C. Pola Kebiasaan Fungsional Gordon


1. Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat
Sebelum sakit : mandi 2 kali/hari, keramas 2 kali/minggu, ganti celana
setiap ngompol, baju ganti tiap pagi dan sore.
Setelah sakit : mandi 2 kali/hari, tidak pernah keramas, ganti baju tiap pagi
dan sore dan celana ganti tiap ngompol.
Keluarga sangat khawatir saat anaknya kejang karena selama ini tidak ada
keluarga yang kejang. Keluarga tidak tahu cara pencegahan dan pertolongan
kejang. Kalau anak sakit biasanya dibawa ke dokter atau rumah sakit bila
setelah diberi obat paracetamol atau bodrexin tidak sembuh. Anak bila sakit
rewel, sering minta digendong. Anak tampak takut bila ada petugas kesehatan
yang akan melakukan perawatan/ tindakan medik.
2. Pola Nutrisi
Sebelum sakit : makan 3-4 kali/hari, dengan porsi satu mangkuk kecil habis,
tidak ada pantangan dalam makanan, komposisinya nasi tim
dan lauknya bervariasi tiap hari yaitu tahu, tempe, ikan laut,
telur dan daging kadang-kadang dengan ukuran 1 satu porsi
sebesar korek api. Sayurnya seperti bayam, sup, soto, dan
lain-lain.
Minum : air putih ± 3 – 5 gelas (ukuran 100 cc), anak masih menetek.
Selama sakit : sehari makan 3 kali/hari, porsi yang disediakan rumah sakit
dimakan separuh. Komposisinya nasi tim, lauk, sayur, dan
buah. Anak lebih sering menetek. Minum air putih ± 4 – 6
kali/100 cc, pasi (SGM 2) baru diberikan 2 sendok lalu
dimuntahkan.
3. Pola Eliminasi
Sebelum sakit : BAK ± 4 – 5 kali/hari, warna kuning, nyeri tidak ada. BAB
lancar setiap pagi hari, konsistensi lembek, warna kuning.
Selama sakit : BAK ± 4 – 5 kali/hari, warna kuning, nyeri tidak ada. BAB
setiap hari, konsistensi lembek, warna kuning.
4. Pola Aktivitas dan Latihan
Sebelum sakit : Bermain bersama kakaknya ± 4 – 5 jam sehari, waktu
terbanyak bersama ibu. Bersama ayah kadang–kadang,
antara 3 – 4 jam. Biasanya anak juga bermain sendiri sambil
melihat TV atau mendengarkan musik sambil menari.
Selama sakit : aktivitas anak menjadi menurun karena terpasang infus di
tangan kiri, anak sering minta digendong ibu.
5. Pola Tidur dan Istirahat
Sebelum sakit : tidur malam antara jam 20.00 – 05.00 WIB, siang tidur
antara jam 12.00 – 15.00 WIB, terbangun bila ngompol.
Selama sakit : pada siang hari tidurnya sulit ± ½ - 1 jam, tidurnya sering
terbangun dan rewel minta digendong. Pada malam hari
tidurnya jam 01.00 – 04.00 WIB, anak rewel dan tidurnya
sering terjaga.

D. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : lemah
2. Kesadaran : composmentis
3. Tekanan darah :-
Nadi : 132 kali/menit
Respirasi : 30 kali/menit
Suhu : 38,2 ºC
4. BB / TB : 9 kg / 77 cm
Status gizi : 2n + 8
2(1,5) + 8 = 11 kg
9/11 x 100 % = 81,8 % (gizi kurang)
5. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala
Tak ada tanda – tanda mikrochepali ataupun makrochepali, lingkar
kepala 46 cm, ubun – ubun besar menutup, bentuk kepala normal.
b. Rambut
Warna pirang, rambut tidak mudah dicabut, ketebalan rambut cukup,
tidak terdapat kutu.
c. Muka / wajah
Tidak ada rhisus sardonicus, simetris, tidak terdapat oedema, wajah
tidak tampak pucat.
d. Mata
Ketajaman penglihatan baik, palpebra simetris, tak ada midriasis atau
miosis, sklera tidak ikterus, konjungtiva tak anemis, pergerakan normal,
tak ada strabismus.
e. Hidung
Bentuk normal, tidak terdapat epistaksis, nampak keluar sekret
berwarna kental dan jumlahnya sedikit, tidak ada polip, tidak ada
pernapasan cuping hidung.
f. Telinga
Simetris kanan dan kiri, pendengaran normal, tak tampak keluar cairan.
g. Mulut
Simetris, tak tampak cyanosis, gigi berjumlah 8 buah, tak ada karies,
lidah bersih, tidak terdapat stomatis, tak ada strismus, bibir tampak
kering dan pecah-pecah
h. Tenggorokan
Tonsil tak tampak kemerahan dan tak tampak pembesaran, faring
tampak kemerahan, tak ada eksudat.
i. Leher
Tak ada kaku kuduk, tak ada pembesaran kelenjar tiroid, tak ada
pembesaran vena jugularis, tak ada pembesaran kelenjar getah bening.
j. Dada / Thorax
Lingkar dada 46 cm, bentuk dada normal, tak ada refraksi intercostal,
tidak terdapat ronchi, tak ada wheezing, pernaasan cepat dan iramanya
teratur.
k. Jantung
Detak jantung normal dan frekwensinya teratur
l. Abdomen
Turgor kulit cukup, tak ada meteorismus, keadaan lien dan hepar
normal, tidak teraba benjolan / tumor, gerak peristaltik normal.
m. Kulit
Kebersihan kulit cukup, tidak ada hemangioma, tidak ada oedem, kulit
teraba panas.
n. Ekstrimitas
Ekstrimitas atas: tak ada oedem, pergerakan normal, pada tangan kiri
terpasang infus sejak8 september 2001, tak ada tanda – tanda flebitis,
akral hangat, lila = 14 cm.
Ekstrimitas bawah: tak ada oedem, pergerakan normal, akral hangat.
o. Genetalia
Vulva : kebersihan cukup, tidak tampak keluar sekret, tidak ada
oedema maupun iritasi.
Anus : kebersihan cukup, haemorroid tidak tampak.

E. Pemeriksaan Penunjang
Data Laboratorium
Laboratorium 8 – 9 2001 jam 03.30
Pemeriksaan darah
HB : 12,00 gr % (P 11,4 – 15,1)
Leukosyt : 19 x 109/L (P 4,3 – 11,3)
Trombosyt : 173 x 109/L (150 – 350)
PCV : 0,35 (P 0,38 – 0,42)
Glukosa darah acak : 288 mq/dl (< 200)
Elektrolit : Kalium = 3,60 meq/L (3,8 - 5)
Natrium : 133 meq/L (135 - 144)
LP (lumbal pungsi) : Keluarga menolak walaupun
sudah diberikan penjelasan tujuan dan prosedurnya.
Data Lain
Therapi yang diberikan :
8-9-2001 : Ampicilin 3x300 mg IV
Paracetamol 3x100 mg P.O
Diazepam 2,7 mg IV (bila kejang)
Infus D5 ¼ S 500 cc/24 jam.

F. Analisa Data
No Pengelompokan data Kemungkinan Penyebab Diagnosa/masalah

1 Tanggal 8-9-2017 Hipertermia Potensial kejang


jam 11.00 WIB ¯ ulang
S : Ibu mengatakan bahwa gangguan metabolisme
anaknya masih panas dan otak
rewel minta menetek terus, ¯
sebelumnya anak tidak Perubahan
pernah sakit kejang. keseimbangan dari sel
O : keadaan composmentis neuron
Tanda vital : ¯
S : 38,2oC difusi ion kalium dan
N : 132x/mnt natrium
RR : 30x/mnt ¯
Kulit terasa panas, akral Lepas muatan listrik
hangat, anak tampak rewel ¯
dan sedang menetek. Bibir kejang
tampak kering dan pecah-
pecah , turgor kulit cukup.
Pemeriksaan
laboratorium: Hb : 12 gr %
(N : 11,4-15,1)
Leucocyt : 9x109/L
(N : 4,3-11,3)
Trombocyt : 173x109/L
(N : 150-350)
PCV : 0,35
(N : 0,38-0,42)
Glukosa darah acak :
288 mq/dl
(N kurang dari 200)
Elektrolit :
- Kalium : 3,6 meq/L (N :
3,8-5)
- Natrium : 133 meq/L (N :
135-144)
2 Tanggal 8-9-2017 Proses penyakit Gangguan
jam 11.00 WIB (faringitis) pemenuhan nutrisi
S : Ibu mengatakan porsi dari ¯
rumah sakit dihabiskan kesulitan dalam menelan
separuh, pasi (SGM 2) baru ¯
diberikan 2 sendok, lalu asupan nutrisi berkurang
dimuntahkan, anak sering
menetek, dan minum air
putih + 4 - 6x/100cc
O : turgor kulit cukup, wajah
dan telapak tangan tidak
pucat. Konjungtiva tidak
anemis.
BB : 9 kg (N : 11 kg)
Status gizi kurang
Lila : 14 cm
3 Tanggal 8-9-2017 jam 11.00 Kurangnya atau Kurangnya
WIB keterbatasan informasi pengetahuan
S . Ibu bertanya mengapa bisa ¯
terjadi kejang padahal sering bertanya
sebelumnya anak tidak
pernah kejang dan panasnya
belum turun setelah diberi
obat penurun panas.
O : Ibu tampak khawatir dengan
keadaan anaknya. Ibu sering
bertanya tentang keadan
anaknya dan setiap tindakan
yang akan dilakukan.

G. Diagnosa Keperawatan
1. Potensial terjadi kejang ulang berhubungan dengan hiperthermi
2. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan nyeri saat menelan yang
ditandai dengan porsi makan tidak dihabiskan, BB kurang dari normal, anak
tidak mau PASI.
3. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan informasi yang
ditandai dengan keluarga sering bertanya tentang penyakit anaknya.

H. Intervensi
No. Rencana Rasional

1. Tanggal 8-9-2017 jam 11.30 WIB


Potensial kejang berulang
berhubungan dengan hipertermi
Tujuan : kejang ulang tidak terjadi
dalam waktu 2x24 jam
Kriteria :
- Tidak terjadi serangan ulang
- Suhu tubuh normal (36-37,5oC)
- Nadi (100-110 x /mnt)
- RR (24-28 x /mnt)
- Kesadaran composmentis
Rencana keperawatan :
1. 1.Longgarkan pakaian, berikan pakaian
1. 1. Proses konveksi akan terhaalang
tipis yang menyerap keringat oleh pakaian ketat dan tidak
2. 2. Berikan kompres dingin pada kepala menyerap keringat
dan ketiak 2. 2.Perpindahan panas secara
3. 3. Berikan ekstra cairan (pasi, asi, sari konduksi
buah, dan lain-lain) 3. 3.Saat demam kebutuhan akan
Cairan: 1150–1300 cc/24 Jam cairan tubuh semakin meningkat
4. 4. Observasi kejang dan tanda vital tiap
4. 4.Pemantauan yang teratur
4 jam menentukan tindakan yang akan
dilakukan selanjutnya
5.Batasi aktivitas selama anak panas 5. 5.Aktivitas dapat meningkatkan
metabolisme sehingga
meningkatkan suhu tubuh
6.
B 6. Berikan anti piretika dan pengobatan
6. 6. Menurunkan panas pada pusat
sesuai advise dokter hipotalamusdan sebagai propilaksis
- Valium 2,7 mg IV (bila kejang)
- Ampicillin 3 x 300 mgIV
- Paracetamol 3 x 100 mg (per oral)
7. Berikan health education kepada
7. 7. Menjaga kebersihan dan
keluarga tentangpersonal hygene: kelembaban bibir
membersihkan daerah bibir dengan
air hangat 2 x/hari dan mengolesi
bibir dengan madu

2. Tanggal 8-9-2017 jam 11.10 WIB


Diagnosa / masalah :
Gangguan pemenuhan nutrisi
berhubungan dengan nyeri saat
menelan
Tujuan : nutrisi terpenuhi dalam 2x24
jam
Kriteria Hasil :
- porsi makan yang disediakan dihabiska
anak mau minum pasi BB anak
meningkat turgor kulit baik,
konjungtiva tidak anemis

Rencana Keperawatan:
1. 1. Beri penjelasan pada keluarga
1. 1. Dengan pemberian penjelasan
tentang penyebab gangguan keluarga diharapkan mengerti, dan
pemenuhan nutrisi, pentingmya nutrisi dapat mendukung program
bagi tubuh dan cara mengatasinya perawatan yang diberikan
2. 2. Berikan health educational kepada 2. Untuk mengurangi nyeri saat
keluarga tentang : menelan dan untuk mencukupi
- 3. Berikan makanan pada anak dengan kebutuhan nutrisi
porsi kecil dan frekuensinya sering
- 4. Berikan pasi ditambah dengan madu 4.Sebagai fungsi dependen
secara bertahap perawat/bidan dengan ahli lain.
3. 5. Kolaborasi dengan tim gizi untuk 5. Mengetahui keseimbangan
pemberian diit : jumlah nutrisi tubuh.
TKTP 900 kalori, 20 gr protein 5.
PASI 6 x 100 cc 6. Deteksi perubahan BB sebagai
4. 6. Observasi intake dan output
5. 7. Lakukan penimbangan BB tiap hari 7. Evaluasi pemberian diit

3 Tanggal 8-9-2017 jam 11.30 WIB


Kurangnya pengetahuan keluarga
tentang penyakit berhubungan dengan
keterbatasan informasi
Tujuan :
pengetahuan keluarga bertambah
tentang penyakit anaknya dalam 24
jam

Kriteria Hasil :
- - keluarga tidak sering bertanya tentang
penyakit anaknya
- -keluarga mampu diikutsertakan dalam
proses perawatan
-R Rencana Keperawatan : 1.
1. 1. Kaji tingkat pengetahuan keluarga 1. 1.Mengetahui sejauh mana
pengetahuan yang dimiliki
keluarga.
2. 2. Beri penjelasan tentang penyakit
2. 2. Agar keluarga dapat menerima
yang diderita anak dan semua informasi dengan mudah dan tepat
prosedur perawatan yang akan sehingga tidak timbul
dilakukan kesalahpahaman sehingga keluarga
lebih kooperatif
3. 3. Berikan health education cara
3. 3. Sebagai upaya alih informasi dan
menolong anak kejang dan mencegah mendidik keluarga agar mandiri
kejang : dalam mengatasi masalah
- jangan panik saat kejang kesehatan
- baringkan anak di tempat rata
- kepala dimiringkan
- pasang gagang sendok di mulut
yang telah dibungkus kain bersih
- setelah kejang berhenti dan anak
sadar segera minumkan obat dan
tunggu sampai keadaan tenang
- jika suhu tinggi, lakukan kompres
dingin dan beri minum banyak
- segera bawa ke RS bila kejang
lama
4. 4. Berikan helath education agar selalu
4. 4. Mencegah peningkatan suhu
sedia obat penurun panas (sesuai lebih tinggi dan serangan kejang
dengan anjuran dokter) bila anak panas ulang
segera bawa RS bila suhu belum turun
24 jam berikutnya
5. 5. Beritahu keluarga agar memberikan 5. Imunisasi pertusis memberikan
informasi pada petugas imunisasi reaksi panas yang dapat
bahwa anaknya pernah mendapat menyebabkan kejang ulang
serangan kejang sehingga pemberian
imunisasi DPT tidak diberikan
pertusis, hanya DT saja

I. Implementasi Keperawatan
Tanggal 8- Dx
9-2017 1. potensial terjadi kejang ulang berhubungan dengan hiperthermi
Jam 11.30
1. - Melonggarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah
WIB menyerap keringat
Jam 11.31
2. - Memberikan kompres dingin pada kepala dan ketiak
WIB 3. - Memberikan ekstra cairan :
infus : D5 ¼S . 500 cc/24 jam,ASI
minum pasi : anak menolak (dimuntahkan)
4. - Mengobservasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam
N : 132x/mnt RR : 30x/mnt Suhu : 38,2oC
Jam 12.00
5. - Membatasi aktivitas selama anak panas. Terapi : bed rest
WIB 6. - Memberikan antipiretika dan pengobatan sesuai advise :
Terapi :
- Valium 2,7 mg IV (bila kejang)
- Ampicillin 3x300 mgIV
- Paracetamol 3x100 mg (per oral)
Jam 12.157. - Memberikan health education kepada keluarga tentang personal
hygiene : membersihkan daerah bibir dengan air hangat 2
x/hari, dan mengolesi bibir dengan madu

Jam 07.00 2. Ganggguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan nyeri saat


WIB menelan
Jam 15.00 - Memberikan penjelasan pada keluarga tentang penyebab
WIB gangguan pemenuhan nutrisi, pentingnya nutrisi bagi tubuh dan
Jam 23.00 cara mengatasinya
WIB 2. - Memberikan health education kepada keluarga tentang :
- - Berikan makanan kepada anak dengan porsi kecil dan
frekuensinya sering
- -Berikan pasi ditambah dengan madu secara bertahap
3. - Melakukan kolaborasi dengan tim gizi untuk pemberian diit.
Jam 11.50 TKTP : 900 kalori, 20 gr protein
WIB PASI : 6 x 100 cc/24 jam
4. -Mengobservasi intake dan output.
PASI : diberi 2-3 sendok lalu dimuntahkan
5. Melakukan penimbangan BB tiap hari BB : 9 kg
.

Tanggal 8 3. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang penyakit berhubungan


September dengan keterbatasan informasi.
2017 1. - Mengkaji tingkat pengetahuan keluarga.
Jam 11.30
2. - Memberikan penjelasan tentang penyakit yang diderita anak dan
WIB semua prosedur perawatan yang akan dilakukan
Jam 12.00
3. - Memberikan health education cara menolong anak kejang dan
WIB mencegah kejang :
1. Jangan panik saat kejang
2. Baringkan anak di tempat rata dan lembut.
3. Kepala dimiringkan.
4. Pasang batang sendok di mulut yang telah dibungkus kain bersih.
5. Setelah kejang berhenti dan anak sadar segera minumkan obat dan
tunggu sampai keadaan tenang.
6. Jika suhu tinggi, lakukan kompres dingin dan beri minum banyak.
7. Segera bawa ke RS bila anak kejang.
Jam 12.154. - Memberikan health education agar selalu sedia obat penurun panas
WIB (sesuai dengan advis) bila anak panas, segera bawa ke RS bila suhu
belum turun 24 jam berikutnya.
Jam 12.205. - Memberitahukan keluarga agar memberikan informasi pada petugas
WIB imunisasi bahwa anaknya pernah mendapat kejang sehingga
pemberian imunisasi DPT tidak diberikan pertusis, hanya DT saja.

J. Evaluasi
1. Potensial terjadi kejang berulang berhubungan dengan hiperthermi
Catatan Perkembangan :
Tanggal 9-9-2017 jam 09.00 WIB
S : Ibu mengatakan kalau anaknya tidak mengalami kejang ulang dan badannya
masih panas, anak masih rewel, ibu sudah membersihkan bibir anaknya dan
mengolesi dengan madu.
O : Kejang ulang tidak terjadi, badan teraba panas akral hangat, turgor kulit
baik, anak tampak rewel, kelembaban bibir cukup, bibir tampak bersih.
Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda vital :
S : 38oC N : 128 x/mnt RR : 28 x/mnt
A : Tujuan belum berhasil
P : Rencana dipertahankan
a. Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah menyerap keringat
b.Berikan kompres dingin pada kepala dan ketiak
c. Berikan ekstra cairan
Infus : D5 ¼ S 500cc / 24 jam, ASI, PASI : 6 x 100cc
d. Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam
e. Batasi aktivitas selama anak panas
f. Berikan pengobatan sesuai dengan advis dokter.
Terapi : Valium 2,7 mgIV (bila kejang)
Ampicilin 3 x 300 mgIV
Paracetamol 3 x 100 mg per oral

Evaluasi :
Tanggal 10-9-2017 jam 11.00 WIB
S : Ibu mengatakan kalau anaknya tidak mengalami kejang ulang, badannya tidak
panas lagi, anak tidak rewel dan bisa tidur nyenyak, anak kembali ceria lagi.
O : Kejang ulang tidak terjadi kulit tidak teraba panas, turgor kulit baik anak
tampak ceria, infus dilepas sejak jam 09.00 WIB
Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda vital :
S : 37,2oC N : 100 x/mnt RR : 25 x/mnt
A : Tujuan berhasil
P : Rencana dihentikan

2. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan nyeri saat menelan


Catatan Perkembangan
Tanggal 9-9-2017 jam 10.00 WIB
S : Ibu mengatakan porsi makan yang disediakan dimakan separuh, anak mau
minum PASI 2 - 3 x 100cc
O : BB : 9 kg, turgor kulit baik, akral tidak pucat, konjungtiva tidak anemi,
PASI yang diberikan diminum 2 – 3 x 100cc
A : Tujuan berhasil sebagian
P : Rencana dipertahankan
a. Obserasi intake dan output
b. Lakukan penimbangan BB tiap hari
Evaluasi :
Tanggal 10-9-2017 jam 11.10 WIB
S : Ibu mengatakan nafsu makan anak bertambah, porsi makan yang
disediakan habis,, PASI yang diberikan diminum 5 – 6 x 100cc
O : BB : 9 kg, turgor lebih baik, akral tidak pucat, conjungtiva tidak anemis,
anak masih menetek, anak tampak ceria kembali
A : Tujuan berhasil sebagian
P : Rencana dipertahankan
a. Obserasi intake dan output
b. Lakukan penimbangan BB tiap hari

Catatan Perkembangan :
Tanggal 11-9-2017 jam 08.00 WIB
S : Ibu mengatakan nafsu makan anak bertambah, porsi makan yang disediakan
habis PASI yang diberikan diminum 5 – 6 x 100 cc.
O : BB : 9 kg, turgor kurang baik, akral tidak pucat, conjungtiva tidak anemis,
anak masih menetek, anak tampak ceria dan bisa diajak bercanda
A : Tujuan berhasil sebagian
P : Rencana hari ini pulang.

2. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang penyakit berhubungan dengan


keterbatasan informasi
Tanggal 8-9-2017 jam 12.30 WIB

S : Ibu mengatakan sudah mengerti tentang penyakit anaknya dan cara


pencegahannya.
O : Ibu / keluarga dapat mengulang kembali penjelasan yang diberikan
Keluarga mau dan mampu diikut sertakan dalam proses perawatan,
A : Tujuan berhasil
P : Rencana dihentikan
BAB IV

ANALISIS JURNAL

Jurnal I

Kejadian Meningitis Bakterial pada Anak usia 6-18


bulan yang Menderita Kejang Demam Pertama Anggraini Alam
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUDDr.HasanSadikin,Bandung
Latar belakang. Kebijakan melakukan pungsi lumbal pada anak yang menderita
kejang demam pertama sudah ditinggalkan di negara maju seiring dengan penurunan
kejadian meningitis bakterial sebagai keberhasilan imunisasi terhadap Haemophilus
influenzae tipe B (Hib) dan Streptococcus pneumonia. Namun cakupan kedua jenis
imunisasi tersebut di negara berkembang masih sangat rendah, sehingga kebijakan
melakukan prosedur pungsi lumbal pada penderita kejang demam pertama masih
perlu dipertimbangkan.
Tujuan. Mengetahui kejadian meningitis bakterial pada pasien yang mengalami
kejang demam pertama pada usia 6-18 bulan.
Metode. Penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang dilaksanakan
di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, dari 1
November 2007 sampai dengan 31 Desember 2010. Subyek penelitian adalah anak
usia 6–18 bulan yang mengalami kejang demam pertama. Semua subyek dilakukan
pungsi lumbal, diagnosis meningitis bakterial ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan likuor cerebrospinal (LCS) adalah jumlah sel >7/mm3, perbandingan
kadar gula dengan serum <0,4; protein > 80 mg/dL, apus Gram ditemukan bakteri
atau hasil biakan positif.
Hasil. Di antara 183 subyek penelitian, 72 (39,3%) pasien menderita meningitis
bakterial yang terutama ditemukan pada kelompok umur 6–12. Terdapat perbedaan
bermakna antara kelompok meningitis dan bukan, yaitu lama kejang ≥15 menit
(p=0,001), frekuensi kejang/24 jam (p=0,001), penonjolan ubun-ubun besar
(p=0,001), keluhan muntah, malas minum (p=0,001), serta pernah mendapat
antibiotik sebelumnya (p=0,001). Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa lama
kejang ≥15 menit merupakan faktor utama yang berhubungan secara bermakna
dengan kejadian meningitis bakterialis (OR 15,84, IK95% 4,91–51,11, p=0,001).
Kesimpulan. Kejadian meningitis bakterial pada kejang demam pertama usia 6–18
bulan masih cukup tinggi terutama pada usia 6–12 bulan. Lama kejang ≥15 menit
secara bermakna berhubungan dengan kejadian meningitis bakterial. Disarankan
pemeriksaan pungsi lumbal tetap harus dilakukan pada setiap anak usia kurang dari
18 bulan yang menderita kejang demam pertama terutama apabila mengalami kejang
lebih dari 15 menit. Sari Pediatri 2011;13(4):293-8. Kejang demam sering dijumpai
pada anak, sering membuat panik orang tua sehingga anak dibawa ke rumah sakit,
namun jarang sekali berakibat fatal.1,2 Insidensi kejang demam bervariasi, yaitu 2%–
5% di Amerika Serikat dan Eropa Barat, 5%–10% di India, 8,8% di Jepang, dan 14%
di Guam, sedangkan data dari negara berkembang lainnya sangat terbatas. Kejang
demam umumnya muncul di sekitar usia 6 bulan sampai 3 tahun, dan insidensi
tertinggi pada usia 18 bulan. Kejang pertama jarang disebabkan oleh meningitis,3-6
namun apabila disebabkan meningitis akan menimbulkan morbiditas dan mortalitas
yang tinggi, sehingga sangat penting memastikan apakah kejang merupakan
manifestasi infeksi susunan saraf pusat (SSP) atau bukan.7 Meningitis bakterial
merupakan infeksi SSP, terutama menyerang anak usia <2 tahun, dengan puncak
angka kejadian pada usia 6-18 bulan.8 Dibandingkan dengan beberapa dekade yang
lalu, pemberian antibiotic hanya berhasil menurunkan angka kematian meningitis
bakterial sekitar separuhnya, sedangkan beberapa infeksi lain dapat ditekan hingga
duaratus kali.9 Penyebab utama meningitis pada anak adalah Haemophilus influenzae
tipe B (Hib) dan Streptococcus pneumoniae (invasive pneumococcal diseases/IPD).
Insidens meningitis bakterialis dinegara maju sudah menurun sebagai akibat
keberhasilan imunisasi Hib dan IPD.10 Kejadian meningitis bakterial oleh Hib
menurun 94%, dan insidensi penyakit invasif oleh S.pneumoniae menurun dari 51,5-
98,2 kasus/100.000 anak usia 1 tahun menjadi 0 kasus setelah 4 tahun program
imunisasi nasional PCV7 dilaksanakan.11,12 Di Indonesia, kasus tersangka
meningitis bakterialis sekitar 158/100.000 per tahun, dengan etiologi Hib16/100.000
dan bakteri lain 67/100.000, angka yang tinggi apabila dibandingkan dengan negara
maju.13 Tindakan pungsi lumbal adalah cara yang sangat penting untuk mengetahui
apakah kejang demam merupakan tanda dan gejala suatu infeksi SSP,6 namun sejak
berbagai penelitian yang dilaksanakan di negara maju memperlihatkan risiko
meningitis pada anak kejang demam sederhana setara dengan anak demam tanpa
kejang, yaitu <1,3%, maka tindakan invasive tersebut mulai jarang dilakukan di
negara maju.14-18 Meningitis bakterial yang memberikan gejala pertama kejang
demam terjadi pada 24% kasus anak,19 pada anak usia prasekolah angkkejadian
tersebut lebih tinggi.20 Di Indonesia dengan cakupan imunisasi Hib dan IPD sangat
rendah, perlu dipertimbangkan meningitis bakterial sebagai salah satu penyebab
kejang demam pertama. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kejadian meningitis
bakterial pada anak usia 6–18 bulan yang menderita kejang demam pertama.
Metode
Penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang dilaksanakan di
Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Dr. Hasan Sadikin dari tanggal 1 November 2007 sampai
dengan 31 Desember 2010. Subyek penelitian adalah anak usia 6–18 bulan yang
mengalami kejang demam pertama. Semua subyek dilakukan pungsi lumbal,
diagnosis meningitis bakterial ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan likuor
cerebrospinal (LCS): yaitu jumlah sel >7/mm3, perbandingan kadar gula dengan
serum <0,4; protein >80 mg/dL, apus LCS Gram ditemukan bakteri atau hasil kultur
positif. Pasien sindrom epilepsi, kelainan neurologis kronik (palsi serebral,
hidrosefalus, tumor otak), serta gangguan metabolik dan elektrolit, tidak
diikutsertakan dalam penelitian.
Variabel lama kejang, jumlah episode kejang dalam 24 jam, penonjolan ubun-ubun
besar, muntah, malas minum/menetek, serta pemberian antibiotik sebelum timbul
kejang demam, dibandingkan antara kelompok yang menderita meningitis bakterial
dengan kelompok yang bukan meningitis bakterial dengan menggunakan uji tabulasi
silang (metode kai kuadrat) dan uji Fischer
exact. Variabel yang menunjukkan perbedaan yang bermakna dianalisis lebih lanjut
dengan metode regresi logistik multipel. Penelitian telah mendapat persetujuan
Bagian Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin.
Hasil
Didapatkan 259 kasus kejang demam pertama anak usia 6–18 bulan berobat ke RSUP
Dr. Hasan Sadikin pada periode 1 November 2007 sampai 31 Desember 2010.
Sebagian besar pasien berasal dari daerah urban sekitar RSUP Dr. Hasan Sadikin dan
belum pernah mendapat imunisasi Hib maupun IPD. Enampuluh delapan (26,3%)
pasien kejang demam pertama menolak tindakan pungsi lumbal. Pungsi lumbal
dilakukan terhadap 191 (73,7%) pasien yang telah menandatangani surat persetujuan
untuk mengikuti penelitian, namun 8 subyek tidak memiliki data LCS
lengkap sehingga didapatkan 183 subyek yang dapat dianalisis (Gambar 1). Di antara
183 subyek, 88 (48,1%) adalah lakilaki dan 95 (51,9%) bayi perempuan, rata-rata
usia subyek 11,4 bulan, kisaran suhu tubuh saat masuk rawat di rumah sakit 37,7–
40,50C (median 38,70C). Jumlah leukosit berkisar antara 3.000-54.000 (median
18.353/mm3, nilai normal untuk usia 6–18 bulan 5.000 17.500/mm3).21 Hasil
analisis LCS tertera pada
Tabel 1.
Didapatkan 72 (39,3%) pasien kejang demam pertama memenuhi kriteria meningitis
bakterial
sedangkan 111 (60,7%) pasien bukan meningitis. Semua subyek pada kelompok
meningitis bacterial mengalami peningkatan jumlah sel di atas >7 sel/ mm3, pada
37/72 (51,2%) dan 29/72 (40,3%) subyek berturut-turut disertai dengan perbandingan
glukosa LCS/darah <0,4 dan peningkatan nilai protein. Hasil kultur LCS positif
ditemukan pada 20/72
(27,7%) kasus meningitis, yaitu S. pneumoniae (1), S. viridans (1), Enterococcus sp.
(1), K. pneumoniae (1), A. baumannii (1), S. aureus (2), S. hemolyticus (2), S.
maltophilia (2), M. catarrhalis (2), E. aerogenes (2), S.typhi (2), dan B. cepacia (2).
Apus Gram LCS bakteri gram-positif kokus tersusun duplo didapat dari pasien
dengan hasil kultur LCS B. cepacia dan S. viridans. Delapan (11,1%) pasien
meningitis meninggal memiliki hasil kultur LCS S. pneumoniae, H. influenzae
B, S. aureus, S. epidermidis, S. viridans, sedangkan 3 pasien tidak ditemukan
pertumbuhan bakteri. Tidak ada pasien dari kelompok bukan meningitis yang
meninggal.
Tabel 2 memperlihatkan kelompok usia, jenis
kelamin, kondisi kejang, tanda dan gejala meningitis, serta riwayat pemberian
antibiotik sebelumnya, pada pasien meningitis bakterialis dan yang bukan menderita
meningitis bakteralis.
Ditinjau dari variabel usia subyek, meningitis bakterial lebih sering ditemukan pada
usia 6-<12 bulan (55,6% versus 36.9%, p=0,015), sedangkan pada usia 12–18 bulan
dan jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan bermakna diantara kelompok
meningitis bakterial dan non meningitis. Lama kejang ≥15 menit, frekuensi kejang >1
kali dalam 24 jam, penonjolan ubun-ubun besar, keluhan muntah, malas minum atau
menetek, serta telah mendapatkan antibiotic. sebelumnya, terdapat perbedaan
bermakna diantara kedua kelompok. Untuk mengetahui faktor utama yang paling
berperan dalam membedakan antara pasien meningitis dan yang bukan, dilakukan
analisis regresi logistic multipel (Tabel 3).
Dari analisis tersebut, lama kejang ≥15 menit adalah faktor risiko yang berhubungan
secara
bermakna dengan kejadian meningitis (OR 15,84, IK95% 4,91–51,11, p=0,001)

Pembahasan
Subyek dari penelitian ini dipilih anak usia 6–18 bulan karena memiliki insidens
meningitis bacterial yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lain. Disamping
memiliki kesesuaian dengan fokus usia pada rekomendasi AAP untuk melakukan
evaluasi prosedur neurodiagnostik pada anak dengan kejang demam.24 Penelitian
kami memperlihatkan kejadian meningitis
bakterialis yang cukup tinggi pada anak dengan kejang. demam pertama usia 6–18
bulan yaitu 39,3%. Penelitian di negara berkembang lain seperti di Pakistan, Iran, dan
Nigeria, menunjukkan bahwa kejadian meningitis ditemukan pada sekitar 25%–30%
dari anak yang mengalami kejang demam.3,20,23 Namun berbeda apabila
dibandingkan dengan di negara maju, dengan semakin baik keadaan sosioekonomi,
pelayanan kesehatan, dan cakupan imunisasi Hib dan IPD, telah menurunkan
kejadian meningitis bakterialis pada anak dengan kejang demam menjadi 0,4%
1,2%.25 Ditinjau dari segi usia, meningitis bakterial lebih sering ditemukan pada
anak usia 6-<12 bulan yang mengalami kejang demam pertama (p<0,05). Temuan
tersebut harus mendapat perhatian khusus karena pada anak berusia muda tanda dan
gejala meningitis seringkali tidak khas sehingga sulit membedakan apakah kejang
demam yang terjadi merupakan tanda dan gejala
meningitis atau bukan meningitis.24 Lama kejang ≥15 menit pada kelompok
meningitis
bakterial ditemukan pada 59,7% subyek, lama kejang ini termasuk dalam kriteria
kejang demam kompleks.25 Penelitian kami menunjukkan bahwa lama kejang ≥15
menit merupakan faktor risiko utama untuk terjadi meningitis bakterial pada anak
usia 6–18 bulan yang mengalami kejang pertama. Subyek yang mengalami kejang
sama atau lebih dari 15 menit memiliki risiko lebih dari 15 kali lipat untuk
mengalami meningitis bacterial dibanding dengan subyek dengan lama kejang kurang
dari 15 menit. Penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa meningitis bakterial
dengan gejala pertama kejang demam, pada umumnya kejang demam yang terjadi
berbentuk kejang demam kompleks.3,20,23 Hal lain yang menarik dari hasil
penelitian kami adalah pemberian antibiotik sebelum anak mengalami kejang demam
pertama memiliki hubungan dengan gejala meningitis. Pemberian antibiotik sebelum
terjadinya kejang demam pertama baik sistemik
maupun oral tampaknya berhubungan dengan kejadian meningitis. Rosenberg dkk,26
melakukan review terhadap pasien meningitis yang mendapat antibiotic oral
sebelumnya, ternyata tanda dan gejala meningitis menjadi tidak khas yaitu hanya
berupa kejang demam. Penelitian lain bahkan menunjukkan bahwa profil LCS
mendekati normal dan sulit mendapatkan hasil apus Gram dan kultur apabila pasien
telah mendapat antibiotik >12 jam.27 Hasil penelitian kami diharapkan dapat menjadi
pertimbangan para klinisi dalam mengelola pasien yang
mengalami kejang demam pertama. Tindakan pungsi lumbal perlu dilakukan pada
anak kejang demam pertama usia 6–18 bulan terutama yang mengalami kejang ≥15
menit, dengan mempertimbangkan pula kondisi lain seperti pemberian antibiotik
sebelumnya serta status imunisasi Hib dan IPD. The American Academy of Pediatrics
pada tahun 2011 menyatakan bahwa status imunisasi Hib dan IPD pasien merupakan
salah satu kondisi yang harus diperhitungkan dalam menentukan apakah pemeriksaan
neurodiagnostik seperti pungsi lumbal perlu dilakukan atau tidak.24 Keterbatasan
penelitian ini adalah subyek yang diambil adalah pasien yang datang ke RSUP Dr.
Hasan Sadikin, rumah sakit tipe A yang merupakan rujukan untuk Propinsi Jawa
Barat. Penelitian lanjutan diperlukan dengan mengikutsertakan sejawat di fasilitas
kesehatan primer dan di rumah sakit kota/kabupaten untuk menggambarkan lebih
baik kejadian meningitis bakterial di masyarakat.
Kesimpulan
Prinsip kewaspadaan pada tiap anak usia 6–18 bulan yang mengalami kejang demam
pertama harus diterapkan terutama bila mengalami kejang ≥15 menit karena memiliki
risiko tinggi mengalami meningitis bakterial. Tindakan pungsi lumbal perlu
dilaksanakan untuk memastikan ada/tidaknya meningitis bakterial atau infeksi SSP
lain. Keterlambatan penegakkan diagnosis
dan tata laksana akan berbahaya bagi keselamatan pasien di samping meningkatkan
kemungkinan kecacatan di kemudian hari. Penundaan tindakan lumbal pungsi tidak
direkomendasikan pada anak usia 6–18 bulan yang mengalami kejang demam
pertama ≥ 15 menit.

Daftar pustaka
1. Hampers LC, Trainer JL, Listernick R. Setting based practice variation in the
management of simple fbrile seizure. Acad Emerg Med 2000; 7:21-7.
2. Verity CM. Do seizures damage the brain? The epidemiological evidence. Arch
Dis Child. 1998;78:70-8.
3. Green SM, Rothrock SG, Clem KJ, Zurcher RF, Mellick L. Can seizures be the
sole manifestation of meningitis in febrile children? Pediatrics 1993; 92:527-34.
4. American Academy of Pediatrics, provisional Committee on Quality Improvement,
Subcommittee on Febrile
Seizures. Practice parameter: the neurodiagnostic evaluation of the child with a frst
simple febrile seizure. Pediatrics 1996; 97:769-72.
5. Trainor JL, Hampers LC, Krug SE, Listernick R. Children with frst-time simple
febrile seizures are at low risk of serious bacterial illness. Academic Emerg Med
2001; 8:781-7.
6. Rosman NP. Evaluation of the child who convulses with fever. Pediatr Drugs
2003; 5:457-61.
7. Sadleir LG, Scheffer IE. Febrile seizures. BMJ 2007; 334: 307-11.
8. Novariani M, Herini ES, SY Patria. Faktor risiko sekuele meningitis bakterial pada
anak. Sari Pediatri 2008; 9:342-7.
9. Feigin RD, Cutrer WB. Bacterial meningitis beyond the neonatal period. Feigin
RD, Cherry JD, DemmlerHarrison GJ, Kaplan SL, penyunting. Textbook of pediatric
infectious diseases. Edisi ke-6. Philadelphia. Sauders elsevier; 2009. h. 439 71.
10. Golnik A. Pneumococcal meningitis presenting with a simple febrile seizure and
negative blood-culture result.
Pediatrics 2007; 120:c428-33

Analisi Jurnal dengan metode PICOT

1. Populasi dan Sampel


Populasi : Meningitis pada anak RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Sampel :
2. Intervensi
Penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang dilaksanakan
di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, dari
1 November 2007 sampai dengan 31 Desember 2010. Subyek penelitian
adalah anak usia 6–18 bulan yang mengalami kejang demam pertama. Semua
subyek dilakukan pungsi lumbal, diagnosis meningitis bakterial ditegakkan
berdasarkan hasil pemeriksaan likuor cerebrospinal (LCS) adalah jumlah sel
>7/mm3, perbandingan kadar gula dengan serum <0,4; protein > 80 mg/dL,
apus Gram ditemukan bakteri atau hasil biakan positif.
3. Comparasion
4. Out Came
Berdasarkam hasil penelitian dari jurnal tersebut diperoleh hasil di antara 183
subyek penelitian, 72 (39,3%) pasien menderita meningitis bakterial yang
terutama ditemukan pada kelompok umur 6–12. Terdapat perbedaan
bermakna antara kelompok meningitis dan bukan, yaitu lama kejang ≥15
menit (p=0,001), frekuensi kejang/24 jam (p=0,001), penonjolan ubun-ubun
besar (p=0,001), keluhan muntah, malas minum (p=0,001), serta pernah
mendapat antibiotik sebelumnya (p=0,001). Analisis regresi logistik
menunjukkan bahwa lama kejang ≥15 menit merupakan faktor utama yang
berhubungan secara bermakna dengan kejadian meningitis bakterialis (OR
15,84, IK95% 4,91–51,11, p=0,001).
5. Time

S-ar putea să vă placă și