Sunteți pe pagina 1din 2

Analisis kasus transfer pricing PT Toyota motor manufacturing Indonesia

Kasus PT Toyota motor facturing Indonesia dapat ditelusuru mulai tahun 2003. Pada tahun 2003,
Toyota melakukan restruturasi mendasar pada bisnisnya. Sebelumnya, semua ini bisnis produksi dan
distribusi mereka dilakukan di bawah satu bendera, yaitu PT Toyota Astra motor. Pemilik saham PT
Astra motor terdiri atas dua pihak , yaitu PT Astra internasional, Tbk (sebesar 51%) dan Toyota motor
corporation jepang (sebesar 49%). Pada pertengahan 2003, PT Astra Internasional, Tbk menjual sebagian
besar sahamnya di PT Toyota Astra Motor kepada Toyota Motor Corporation jepang. PT Astra
Internasional, Tbk menjual sahamnya di PT Astra motor karena mereka mempunyai utang jatuh tempo
yang tidak bias ditangguhkan lagi. Setelah penjualan saham tersebut, Toyota Motor Corporation jepang
menjadi pemegang saham maoritas PT Toyota motor manufacturing Indonesia (TMMIN). PT Toyota
motormanufacturing Indonesia MENJALANKAN FUNGSI PRODUKSI Toyota Indonesia.

Sementara itu, untuk menjalankan fungsi distribusi dipasar domestic, Astra dan Toyota Motor
Corporation jepang kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal pemegang merk (ATPM).
Perusahaan ini agen tunggal pemegang merk ini menggunakan nama lama, yaitu PT Toyota Astra motor
(TAM). Pada perusahaan ini, astra menjadi pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51% saham,
sementara sisanya sebesar 46% menjadi milik Toyota Motor Corporation jepang.

Kasus PT Toyota motor manufacturing Indonesia mulai tercium karena wajib pajak melakukan
permohonan pengembalian pajak (restitusi) untuk tahun pajak 2005, 2007, dan 2008. Atas permohonan
restitusi tersebut DJP melakukan pemeriksaan pajak terhadap PT Toyota motor manufacturing
Indonesia. Dari pemeriksaan pajak terhadap SPT Toyota pada tahun pajak 2005, petugas pajak
menemukan sejumlah kejanggalan. Pada 2004 misalnya, laba bruto Toyota turun lebih dari 30%, dari
Rp 1,5 triliun ( 2003) menjadi Rp 950 milyar selain, rasio groos margin (perbandingan antara laba kotor
dengan tingkat penjualan)juga mengalami penurunan , dari sebelumnya 14,59% pada tahun 2003
mrnjadi hanya 6,58% pada tahun 2004.

Sebelum rekturisasi, groos margin PT Toyota Astra Motor mengalami peningkatan 11% hingga
14% per tahun. Namun setelah dilakukan restruturisasi, groos magin PT Toyota motor manufacturing
Indonesia hanya sekitar 1,8% hungga 3% per tahun. Sementara di PT Toyota Astra motor (perusahaan
agen tunggal pemegang merk yang didirikan setelah restruturasi). Groos margin mencapai 1,8% hinga
5%. Jika groos margin PT Toyota Astra Motor digabung dengan PT Toyota motor manufacturing
Indonesia, persentasenya masih 7%. Hal ini berarti margin laba sebelum pajak setelah restrukturasi lebih
rendah 7% dibandingkan dengan margin laba kotor sebelum restruturisasi mencapai 14%.

Berdasarkan hasil pemeriksaan pajak SPT Toyota, petugas pajak menyimpulkan penyebab
turunnya groos margin adalah adanya tranver pricing dengan harga diluar prisip kewajaran dan
kelaziman usaha serta pembayaran royalty yang dinilai takwajar. Pada pembahasan kali ini penulis
hanya akan membhas mengenai transver pricing PT Toyota motor manufacturing Indonesia.

Untuk penjualan eksplornya, Toyota memiliki kebijakan bahwa PT Toyota motor manufacturing
Indonesia harus melakukan penjualan kepada Toyota motor asia pacific Pte ., Ltd, yunit bisnis Toyota
yang berkedudukan di singapura. Toyota motor asia pacific Pte., Ltd inilah yang nantinya akan
menyalurkan penjualan PT Toyota motor manufacturing Indonesia ke Negara-nrgara lainnya seperti
Filipinan dan Thailand. Sema jual beli melalui Negara.

Perantara semacam itu sbenarnya lazim saja dalam pedagangan Indonesia, perdagangan
internasional, apalagi penjualan dan pembelinya adalah bagian dari kelompok prusahaan multinasional
yang sama. Namun, hal ini akan menjadi permasalahan di bidang perpajakan jika transferrice yang di
gunakan tidak berasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha serta gunakan menyebabkan
divisi penjual dan divisi pembeli sama sama memperoleh lama dari penjualan internal. Menurut
Atkinson, Kaplan, Matsumura , dan young (20012,485), pendekatan pengotiated transfer price memiliki
kelemahan, yaitu” chan lead tu decisions that do not provide the greatest economic benefit “.

S-ar putea să vă placă și