Sunteți pe pagina 1din 231

PENYIAPAN KELAYAKAN PERSYARATAN DASAR DAN

PENYUSUNAN RENCANA HACCP


(Hazard Analysis Critical Control Point)
UNTUK PRODUKSI MI KERING PADA PT KUALA PANGAN
DI CITEUREUP, BOGOR

AGUS SUDIBYO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Penyiapan Kelayakan


Persyaratan Dasar dan Penyusunan Rencana HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point) Untuk Produksi Mi Kering Pada PT Kuala Pangan di Citeureup,
Bogor adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian Akhir
Tugas Akhir ini.

Bogor, Juli 2008


Agus Sudibyo
ABSTRACT

AGUS SUDIBYO. Preparation of Prerequisite Programs and HACCP (Hazard


Analysis Critical Control Point) Plan Establishment for Dry Noodle Production In
PT Kuala Pangan at Citeureup, Bogor. Under the supervision of BETTY SRI
LAKSMI JENIE and SUTRISNO KOSWARA.

The aim of this study was to prepare the prerequisite programs (PRP) and
HACCP Plan for dry noodle production in PT Kuala Pangan at Citeureup, Bogor.
The methodology of the research was conducted by steps as follows : Data base
of the existing conditions related to PRP or GMP implementation of the industry
were first evaluated. Second step was to establish HACCP Plan for dry noodle
according to Indonesian standard (SNI) 01.4852-1998 and its guideline for
implementation, and finally giving recommendation to the company regarding
steps needed in developing, implementing and certification of HACCP systems.
Observation and inspection on the existing of GMP implementation at the
company resulted in good category. There were 13 findings need to be
addressed attention before HACCP implementation. The chemical hazards such
as (Pb, Cu, Hg and As) come from wheat flour and salt will be controlled by
supplier control because there was no elimination step in noodle production;
while biological hazards from wheat flour and dry eggs flour (E. coli, coliform
group, Salmonella, Staphylococcus) will be controlled by drying process as
critical control point or CCP, while from de-mineralized water is controlled by
sanitation standard operating procedures (SSOP). The microbiological hazards
contamination were also observed during processing steps which come from the
equipments and personnel. All these hazards will be controlled by SSOP and
GMP (personnel hygiene). Based on the result, it was concluded that PRP
programs (GMP) should be improved before implementation and the HACCP
Plan should be finalized and implementation before certification.

Keyword : Dry noodle, HACCP Plan, GMP, CCP, SSOP.


ABSTRAK

AGUS SUDIBYO. Penyiapan Kelayakan Persyaratan Dasar dan Penyusunan


Rencana HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Untuk Produksi Mi
Kering Pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor. Dibimbing oleh BETTY SRI
LAKSMI JENIE and SUTRISNO KOSWARA.

Tujuan dari penelitian ini adalah mempersiapkan kelayakan persyaratan


dasar dan menyusun rencana HACCP (HACCP Plan) pada produksi mi kering
pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor sebagai studi kasus. Penelitian ini
dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : Pertama, melakukan evaluasi
terhadap kondisi kelayakan persyaratan dasar atau good manufacturing practice
(GMP) di perusahaan PT Kuala Pangan sebelum mengimplementasikan sistem
HACCP; kedua, menyusun rencana HACCP untuk produksi mi kering pada PT
Kuala Pangan sesuai dengan SNI 01. 4852-1998 yang terdiri dari 7 prinsip
HACCP dan 12 langkah penerapan sistem HACCP; dan terakhir memberikan
rekomendasi rencana pengembangan sistem HACCP di perusahaan yang akan
diimplementasikan dan disertifikasikan ke lembaga akreditasi sistem HACCP.
Berdasarkan pengamatan dan inspeksi yang dilakukan di lapangan atas
penerapan cara produksi pangan yang baik atau GMP, masuk dalam tingkat
(rating) kategori B (baik) dan ditemukan 13 penyimpangan atau ketidaksesuaian,
yaitu 1 kategori serius, 6 kategori mayor dan 6 kategori minor. Penyimpangan-
penyimpangan tersebut perlu diperbaiki terlebih dahulu sebelum menerapkan
HACCP. Bahaya kimia seperti logam-logam berat (Pb, Cu, Hg dan As) berasal
dari bahan baku tepung terigu dan garam perlu dikendalikan sebagai control
point (CP) dengan cara kontrol terhadap pemasok/supplier karena pada
perusahaan tidak ada tahap untuk mengeliminasi bahaya kimia pada proses
produksinya; sedangkan bahaya biologis pada bahan baku tepung terigu dan
tepung telur (E. coli, coliform group, Salmonella dan Staphylococcus) akan
dikendalikan pada tahap pengeringan sebagai titik kendali kritis atau CCP; dan
untuk air perlu dikendalikan dengan penerapan sanitation standard operating
procedure (SSOP). Bahaya mikrobiologi (Staphylococcus dan biofilm) karena
adanya kontaminasi juga dikendalikan pada proses dan peralatan produksi,
terutama yang berasal dari kontaminasi alat dan karyawan. Semua bahaya pada
tahapan proses produksi dan peralatan yang berasal dari kontaminasi alat dan
karyawan ini dikendalikan dengan SSOP dan GMP (higiene karyawan).
Berdasarkan penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menerapkan dan
mengembangkan sistem HACCP di perusahaan adalah program kelayakan
persyaratan dasar atau GMP perlu diperbaiki terlebih dahulu sebelum
implementasi sistem HACCP, dan rencana HACCP (HACCP Plan) yang telah
disusun perlu difinalisasi dan diimplementasikan di perusahaan sebelum
disertifikasikan ke Lembaga/Badan Sertifikasi HACCP.

Kata kunci : Mi kering, rencana HACCP, GMP, SSOP, CCP.


RINGKASAN

AGUS SUDIBYO. Penyiapan Kelayakan Persyaratan Dasar dan Penyusunan


Rencana HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Untuk Produksi Mi
Kering Pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor. Dibimbing oleh BETTY SRI
LAKSMI JENIE dan SUTRISNO KOSWARA.

Mi merupakan salah satu produk pangan yang saat ini banyak digemari
mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, karena rasanya enak, praktis dan
mudah cara penyajiannya. Maraknya penggunaan formalin dan boraks pada
bahan pangan seperti mi basah atau mi mentah, bakso, tahu, ikan asin, ikan
segar dan ayam potong pada tahun 2005-2007 yang dilaporkan oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berdampak negatif pada industri pembuat
mi kering yang mengalami penurunan. Hal tersebut juga berdampak pada citra
produk pangan Indonesia di mata konsumen serta berdampak pada kemampuan
bersaing produk pangan yang dihasilkan oleh industri pangan di Indonesia. Salah
satu usaha untuk menjamin mutu dan keamanan pangan adalah pengembangan dan
penerapan sistem HACCP pada industri pangan. Sistem HACCP ini sudah
dikenalkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) ke negara-negara
anggota termasuk di Indonesia; dan telah ditetapkan oleh organisasi
perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) sebagai sistem
standar penjamin keamanan pangan pada perdagangan pangan internasional. Di
Indonesia, sistem HACCP ini telah diadopsi oleh Badan Standarisasi Nasional
(BSN) yang ditetapkan dalam SNI 01. 4852-1998.

Penelitian bertujuan untuk : (a) Mempersiapkan kelayakan persyaratan


dasar atau good manufacturing practice (GMP) pada perusahaan PT Kuala
Pangan; (b) Menyusun rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering
pada perusahaan PT Kuala Pangan; dan (c) Merekomendasikan untuk
pengembangan sistem HACCP di perusahaan PT Kuala Pangan. Manfaat
penelitian ini adalah dengan tersusunnya rencana HACCP yang didukung
dengan pemenuhan GMP serta diimplementasikan sistem HACCP dalam
perusahaan, maka perusahaan tersebut diharapkan : (1) Mampu dan sanggup
menghasilkan produk pangan yang memenuhi persyaratan keamanan pangan
bagi kepentingan kesehatan manusia, (2) Meningkatkan jaminan keamanan
pangan terhadap produk pangan yang dihasilkan oleh perusahaan, (3)
Mencegah terjadinya penarikan produk pangan yang dihasilkan, dan (4)
Meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap perusahaan atas produk pangan
yang dihasilkannya.

Penelitian ini dilakukan di perusahaan PT Kuala Pangan yang berlokasi di


Jalan Depan Terminal Kav. 23-25 Citeureup, Bogor selama 6 bulan dari awal
bulan Oktober 2007 sampai dengan akhir bulan Maret 2008. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : bahan baku utama tepung terigu dan
air, bahan pembantu utama garam dan tepung telur, serta bahan tambahan
pangan (BTP) berupa garam alkali (natrium dan kalium karbonat) dan bahan
pewarna tartrazin CI 1940. Semua bahan-bahan tersebut diperoleh dan berasal
dari perusahaan PT Kuala Pangan dan digunakan untuk tujuan : percobaan
proses produksi, sebagai sampel (contoh) untuk pengujian di laboratorium yang
sudah terakreditasi, untuk identifikasi dan analisis bahaya, serta verifikasi dan
validasi sistem HACCP. Selain bahan-bahan tersebut , digunakan pula bahan-
bahan lain yang terdiri : (1) Check list Form A untuk penilaian GMP yang
dikeluarkan dari Badan POM untuk mengidentifikasi dan mengetahui
implementasi program kelayakan persyaratan dasar atau good manufacturing
practice (GMP) yang sudah dijalankan perusahaan sebelum menerapkan sistem
HACCP, (2) Formulir/lembar kertas kerja untuk penentuan deskripsi produk, (3)
Formulir/lembar kertas untuk pembuatan diagram alir proses produksi, (4)
Formulir/lembar kertas kerja untuk analisis dan evaluasi bahaya, (5)
Formulir/lembar kertas kerja untuk penentuan titik kendali kritis atau critical
control point (CCP), (6) Formulir/lembar kertas kerja untuk pengendalian dan
pemantauan rencana sistem HACCP atau HACCP Plan. Penelitian dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut : Pertama, melakukan evaluasi terhadap
kelayakan persyaratan dasar atau GMP di perusahaan dengan cara observasi di
lapang, wawancara, pengamatan keadaan nyata dan pencatatan data yang ada
di perusahaan untuk mengetahui sejauh mana kondisi kesiapan perusahaan
dalam rencana menerapkan sistem HACCP dan hal-hal apa yang perlu diperbaiki
untuk rencana penerapan sistem HACCP tersebut; Kedua, menyusun rencana
HACCP untuk produksi mi kering di perusahaan sesuai dengan SNI 01. 4852-
1998 yang mencakup 7 prinsip HACCP dan 12 tahap/langkah penerapan
HACCP untuk mengetahui bahaya potensial pada bahan baku dan bahan
lainnya, proses dan peralatan produksi yang digunakan untuk memproduksi mi
kering yang perlu dikendalikan dan dimonitor dalam sistem HACCP; dan Ketiga,
memberikan rekomendasi rencana pengembangan sistem HACCP di perusahaan
berdasarkan studi dan kajian yang dilakukan pada tahap-tahap sebelumnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan observasi dan inspeksi


di lapangan atas penerapan GMP di perusahaan menggunakan kriteria penilaian
pada check list Form A dari Badan POM ditemukan 13 penyimpangan, yaitu
aspek bangunan (2 penyimpangan berkategori minor), aspek fasilitas sanitasi (3
penyimpangan berkategori minor), aspek peralatan (1 penyimpangan berkategori
minor), aspek higiene karyawan (1 penyimpangan berkategori serius dan 3
berkategori mayor), aspek penyimpanan (1 penyimpangan mayor), aspek
pemeliharaan sarana pengolahan dan sanitasi serta pengendalian hama (1
penyimpangan berkategori mayor) dan aspek manajemen dan pelatihan (1
penyimpangan berkategori mayor). Hasil penilaian kondisi penerapan GMP ini
sesuai dengan standar yang dikeluarkan Badan POM termasuk dalam tingkat (rating)
B (Baik). Penyimpangan-penyimpangan tersebut merupakan penyimpangan yang
sangat penting yang harus segera diatasi sebelum diterapkannya sistem HACCP di
perusahaan.

Bahaya potensial pada bahan baku, bahan penolong/pembantu dan


bahan tambahan pangan yang perlu dikendalikan adalah bahan baku tepung
terigu, garam, tepung telur dan air. Pada bahan baku tepung terigu dan dan
tepung telur, bahaya potensialnya adalah bakteri patogen E. coli, coliform,
Salmonella, dan Staphylococcus serta cemaran logam-logam berat seperti timbal
(Pb), tembaga (Cu), merkuri (Hg), dan arsen (As). Cemaran logam-logam berat
pada bahan baku tepung terigu dan garam perlu dikendalikan sebagai control
point (CP) dengan cara kontrol terhadap pemasok/supplier karena bahaya kimia
berupa logam-logam berat tersebut dalam proses produksinya tidak dapat
dieliminasi secara khusus oleh perusahaan; begitu pula untuk cemaran bakteri
patogen E. coli, Salmonella, Staphylococcus pada bahan baku tepung terigu dan
tepung telur perlu dikendalikan sebagai control point (CP) melalui kontrol
terhadap supplier, sedang air dikendalikan dengan penerapan SSOP keamanan
air secara efektif. Pada bahan tambahan pangan (BTP) natrium dan kalium
karbonat serta pewarna tartrazin bahaya potensialnya relatif tidak ada, tetapi
dapat disebabkan oleh penggunaan dosis yang tidak tepat atau melebihi batas
maksimal yang diizinkan oleh Badan POM, sehingga perlu dikendalikan sebagai
Control point (CP) melalui penimbangan kedua jenis bahan yang tepat
(penerapan SSOP) dan GMP secara efektif dan konsisten. Sedangkan bahaya
potensial pada tahapan proses dan peralatan produksi adalah berupa
kemungkinan terkontaminasinya bakteri patogen dari pekerja/karyawan dan
peralataan yang digunakan dalam proses produksi serta tumbuhnya bakteri
biofilm pada unit peralatan mixer, roll presser, slitter dan cutter; oleh karena itu
perlu dikendalikan melalui SSOP peralatan yang kontak dengan produk secara
efektif, dan melalui SSOP pengendalian kesehatan karyawan dan higiene
personil. Kecuali untuk tahap proses pengeringan harus dikendalikan sebagai
titik kendali kritis atau CCP, karena dirancang khusus untuk/spesifik untuk
menghilangkan/ memusnahkan bahaya berupa bakteri patogen E. coli,
Salmonella, Staphylococcus yang berasal dari bahan tepung terigu, tepung telur,
dan air yang digunakan.

Untuk pengembangan sistem HACCP di perusahaan PT Kuala Pangan


direkomendasikan sebagai berikut : (1) Perbaikan terhadap penerapan GMP di
perusahaan terlebih dahulu sebelum menerapkan sistem HACCP sehingga dapat
masuk dalam penilaian tingkat (rating) 1 (sangat baik), (2) Melakukan kaji ulang
(review) akhir konsep rencana HACCP (HACCP Plan) yang sudah disusun
sebelum melaksanakan implementasinya secara penuh, termasuk melengkapi
data validasi dan verifikasi terhadap rencana HACCP yang sudah ditetapkan;
dan (3) Jika semuanya sudah memenuhi syarat, maka meminta Lembaga/Badan
Sertifikasi Sistem HACCP untuk dilakukan sertifikasi terhadap sistem HACCP
yang telah diimplementasikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kondisi kelayakan persyaratan dasar atau GMP di perusahaan PT Kuala Pangan
mempunyai fondasi yang baik untuk penerapan sistem HACCP, meskipun masih
ada beberapa penyimpangan yang perlu diperbaiki terlebih dahulu sebelum
menerapkan sistem HACCP. Untuk mengembangkan sistem HACCP di PT Kuala
Pangan, langkah yang paling efektif dan efisien adalah mengintegrasikan aspek
GMP yang telah diterapkan perusahaan ke dalam sistem HACCP sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan dalam SNI 01.4852-1998.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008
Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumber .
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENYIAPAN KELAYAKAN PERSYARATAN DASAR DAN
PENYUSUNAN RENCANA HACCP
(Hazard Analysis Critical Control Point)
UNTUK PRODUKSI MI KERING PADA PT KUALA PANGAN
DI CITEUREUP, BOGOR

AGUS SUDIBYO

Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi Teknologi Pangan
pada Program Magister Profesi Teknologi Pangan
Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
\
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir : Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc
Judul Tesis : Penyiapan Kelayakan Persyaratan Dasar (GMP) dan Penyusunan
Rencana HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Untuk
Produksi Mi Kering Pada PT Kuala Pangan Di Citeureup, Bogor.
Nama : Agus Sudibyo
NIM : F. 252050175

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS. Ir. Sutrisno Koswara, Msi.
(Ketua) (Anggota)

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Magister Profesi Teknologi Pangan

Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS

Tanggal Ujian : ................................ Tanggal Lulus : .....................................


KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Esa yang telah memberi berkat
dan bimbingan kepada penulis sehingga tesis ini dapat dirampungkan/
diselesaikan. Pemahaman akan kaidah-kaidah ilmiah terasa bertambah dari
waktu ke waktu selama studi dilakukan, berkat bimbingan yang tak kenal lelah
dari komisi pembimbing, yaitu Ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS sebagai
Ketua dan Bapak Ir. Sutrisno Koswara, Msi. sebagai anggota. Kepada beliau-
beliaulah penghargaan dan terimakasih yang setinggi-tingginya pertama-tama
penulis sampaikan. Kedua, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak
Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. sebagai tim penguji dari luar Komisi Pembimbing
yang telah memberikan masukan berharga bagi penyempurnaan Tesis ini.
Penyiapan kelayakan persyaratan dasar dan penyusunan rencana
HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering pada PT Kuala Pangan di
Citeureup, Bogor ini didasarkan pada studi kasus untuk membantu
mempersiapkan perusahaan dalam menerapkan sistem HACCP dan rencana
sertifikasinya guna menjamin produk mi kering yang dihasilkan. Penerapan dan
pengembangan sistem HACCP tersebut, diharapkan dapat menjadi salah satu
alternatif jawaban bagi perusahaan PT Kuala Pangan untuk meningkatkan daya
saing perusahaannya.
Studi ini tidak akan mungkin dilakukan tanpa bantuan berbagai pihak.
Terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada
perusahaan PT Kuala Pangan yang telah menyediakan diri dipakai untuk studi
kasus beserta karyawannya; atas kerjasama dan dukungannya yang baik dan
cukup konsisten selama pelaksanaan studi. Terima kasih pula kepada Pimpinan
Balai Besar Industri Agro (BBIA) dan stafnya serta kepada semua pihak yang
turut membantu peneyelesaian tulisan ini yang tidak mungkin disebutkan satu per
satu.
Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan pula
kepada Bapak Ir. Yang Yang Setiawan, MSc., Kepala Balai Besar Industri Agro
(BBIA) Bogor yang sebagai atasan bukan hanya memberikan keleluasaan waktu
kepada penulis, namun juga secara pribadi ikut mendukung dalam membantu
memberikan komitmen pembiayaan melalui anggaran DIPA BBIA Bogor.
Terakhir, penulis ingin menyampaikan hormat dan terima kasih yang
tinggi kepada Dr. Lily Siana Dewi Hoetomo, yang sebagai seorang isteri selalu
mendorong penulis untuk mengembangkan ilmu dan berkarya. Beliaulah yang
menyarankan penulis untuk mengambil program Magister Profesional Teknologi
Pangan ini. Juga kepada ananda Andreas Alphadeo Adetomo, yang selalu
memberi semangat dan pengertian yang tinggi selama pekerjaan ini
diselesaikan.

Semoga karya ilmiah bermanfaat.

Bogor, Juli 2008.


Agus Sudibyo.
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klaten (Jawa Tengah) pada tanggal 6 Juli 1957 dari
ayah FX Soebroto Djojowiratmo (alm.) dan ibu Christiana Kasiyem (alm.). Penulis
merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar
ditempuh di SD Tegalyoso II Klaten, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri
II Klaten dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri I Klaten. Pendidikan
Sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1978 dan
menamatkannya pada tahun 1982. Penulis pernah bekerja di PT Berca Jakarta
dari tahun 1982 hingga akhir tahun 1984. Pada tahun 1984 hingga sekarang
penulis bekerja di Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor, di bawah Badan
Penelitian dan Pengembangan Industri, Departemen Perindustrian sebagai
tenaga fungsional peneliti. Selama bekerja di BBIA Bogor, penulis pernah
berkesempatan mendapat tugas belajar di Department of Food, Technology and
Life Science, Cornell University, Ithaca, New York states USA dalam bidang
Food Science and Technology pada tahun 1993 dan di Department of Food
Science and Technology, Maryland University, Maryland state USA serta Food
Drug and Administration (FDA) di Washington, DC - USA dalam bidang Food
Safety System pada tahun 1999. Setahun kemudian penulis ditugaskan lagi di
Australian Government Analytical Laboratories (AGAL) dan Australian Quarantine
and Inspection Service (AQIS) di Perth, Western Australia dalam bidang Food
Safety Monitoring for Small Food Industry pada tahun 2001. Pada tahun 2005,
penulis diterima melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor pada Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan,
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor (IPB). Jabatan fungsional peneliti penulis sekarang di Balai
Besar Industri Agro (BBIA) Bogor adalah Peneliti Madya.
DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK/ABSTRACT .............................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. ix
DAFTAR ISI ............................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xviii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xix

I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG ........................................................................ 1
B. TUJUAN ........................................................................................... 5
C. KEGUNAAN/MANFAAT ................................................................ 6
II. DESKRIPSI UMUM PERUSAHAAN PT KUALA PANGAN ............ 7
A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN ................. 7
B. LOKASI PABRIK ............................................................................. 7
C. STRUKTUR ORGANISASI DAN KETENAGAKERJAAN ........... 8
D. SARANA PENUNJANG PRODUKSI .............................................. 10
1. Air .................................................................................................. 11
2. Tenaga Listrik ................................................................................ 11
3. Sumber Tenaga Uap ....................................................................... 12
4. Peralatan Produksi .......................................................................... 12
E. JENIS PRODUK PERUSAHAAN PT KUALA PANGAN ............. 14
III. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 16
A. BAHAN BAKU DAN BAHAN LAIN SERTA PROSES
PRODUKSI MI KERING ................................................................ 16
1. Bahan Baku Utama ....................................................................... 18
2. Bahan Baku Pembantu .................................................................. 18
3. Bahan Tambahan Pangan (BTP) .................................................... 20
4. Bahan Kemasan .............................................................................. 23
5. Proses Produksi Mi Kering ............................................................ 24
Halaman

B. CEMARAN PADA MI KERING ..................................................... 30


1. Cemaran Mikrobiologis ................................................................ 30
2. Cemaran Kimia ............................................................................. 32
3. Cemaran Fisik ............................................................................... 33
C. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN PADA
INDUSTRI PANGAN ...................................................................... 33
D. PENERAPAN GMP SEBAGAI PERSYARATAN
KELAYAKAN DASAR DALAM SISTEM HACCP ...................... 37
E. PRINSIP HACCP DAN IMPLEMENTASINYA DALAM
INDUSTRI PANGAN ...................................................................... 40
1. Definisi dan Terminologi HACCP ................................................ 40
2. Prinsip HACCP Dan Implementasinya Dalam Industri Pangan .... 43
F. KENDALA DALAM PENERAPAN SISTEM HACCP .................. 56
1. Kurangnya Manajemen Komitmen ............................................... 57
2. Hambatan Mental (Psikologis) ...................................................... 58
3. Hambatan Organisasi .................................................................... 59
4. Hambatan Dalam Biaya Implementasi dan Operasi
Sistem HACCP .............................................................................. 59
5. Konsepsi Yang Salah tentang Sistem HACCP .............................. 60
IV. METODOLOGI ..................................................................................... 63
A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ......................................... 63
B. BAHAN DAN ALAT ....................................................................... 63
C. METODE PENELITIAN ................................................................... 64
1. Melakukan Evaluasi Kondisi Kelayakan Persyaratan Dasar
(GMP) di Perusahaan .................................................................... 64
2. Menyusun Rencana HACCP (HACCP Plan) Untuk
Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan ....................................... 65
3. Memberikan Rekomendasi Untuk Pengembangan Sistem
HACCP di Perusahaan PT Kuala Pangan ...................................... 78
Halaman
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 79
A. EVALUASI KONDISI KELAYAKAN PERSYARATAN
DASAR (GMP) DI PERUSAHAAN ............................................... 79
B. PENYUSUNAN RENCANA HACCP (HACCP PLAN) UNTUK
PRODUKSI MI KERING PADA PT KUALA PANGAN ............. 94
1. Melakukan Pelatihan Sistem HACCP ......................................... 94
2. Menetapkan Kebijakan Mutu Dan Kemanan Pangan ................. 97
3. Pembentukan Tim HACCP ......................................................... 98
4. Deskripsi Produk Dan Identifikasi Pengguna ............................. 100
5. Penentuan Dan Verifikasi Diagram Alir Proses .......................... 101
6. Analisis Bahaya Dan Penentuan Tindakan Pencegahannya ........ 114
7. Menentukan Titik Kendali Kritis ................................................ 132
8. Menentukan Batas Kritis ............................................................. 146
9. Menetapkan Prosedur Monitoring ............................................... 147
10. Menetapkan Prosedur Tindakan Koreksi .................................... 148
11. Menetapkan Tindakan Verifikasi ................................................ 149
12. Menetapkan prosedur Sistem Dokumentasi ................................ 158
13. Menetapkan Prosedur Pengaduan Konsumen ............................. 160
14. Menetapkan Prosedur Recall ....................................................... 162
15. Kendala Dalam Penerapan HACCP di PT Kuala Pangan ........... 162
C. REKOMENDASI UNTUK PENGEMBANGAN SISTEM
HACCP DI PERUSAHAAN ........................................................... 164
1. Perbaikan Penerapan GMP Di Perusahaan PT Kuala Pangan ..... 164
2. Pengembangan Sistem HACCP Di Perusahaan
PT Kuala Pangan .......................................................................... 166
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 168
A. KESIMPULAN .............................................................................. 168
B. SARAN ........................................................................................... 171
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 172
LAMPIRAN ................................................................................................. 182
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Syarat Mutu Mi Kering Menurut SNI 01-2974-1992 ................... 15


Tabel 2. Syarat Mutu Tepung Terigu Menurut SNI 01. 3751-2006 ........... 17
Tabel 3. Persyaratan Kualitas Air Minum Menurur PerMenKes
No. 907/MenKes/SK/VII/2002 tanggal 29 Juli 2002 .................... 18
Tabel 4. Syarat Mutu Garam Konsumsi Beryodium menurut
SNI 01.3556-2000 ......................................................................... 19
Tabel 5. Standar Mutu Tepung Telur Ayam Menurut FDA-USA .............. 20
Tabel 6. Kadar Tartrazin Dalam Produk Pangan yang Dikonsumsi
oleh Responden Dibandingkan dengan kandungan Tartrazin
yang Ditetapkan Dalam Regulasi .................................................. 23
Tabel 7. Persentase Industri Pangan yang Sudah Memahami dan
Menerapkan Aspek Keamanan Pangan .......................................... 35
Tabel 8. Persentase Industri kecil Pangan yang Mengimplementasikan
dan Tidak Mengimplementasikan Higiene ................................... 36
Tabel 9. Langkah-langkah Penerapan dan Pengembangan Sistem HACCP
Dalam Industri Pangan Menurut NACMCF (National Advisory
Committee on Microbiological Criteria for Foods) dan CAC
(Codex Alimentarius Commission) ............................................... 45
Tabel 10. Bahaya Mikrobiologis (Mikroba, Virus, dan Parasit) yang
Dibagi Berdasarkan Risiko Keparahan Bahayanya ....................... 47
Tabel 11. Bahan Kimia Berbahaya pada Pangan ......................................... 48
Tabel 12. Material Utama yang Menyebabkan Bahaya Fisik ...................... 49
Tabel 13. Karakteristik Bahaya pada Produk Pangan .................................. 50
Tabel 14. Penetapan Kategori Risiko Produk Pangan ................................. 50
Tabel 15. Penetapan Kategori Risiko Suatu Bahan Pangan ......................... 51
Tabel 16. Matriks Risiko Boevee (Matriks Penentuan Signifikansi
Bahaya .......................................................................................... 70
Halaman

Tabel 17. Tingkat Keseriusan Mikroorganisme Patogen ............................. 70


Tabel 18. Hasil Identifikasi Penyimpangan/Ketidaksesuaian Dalam
Penerapan Unsur-Unsur GMP di Perusahaan .............................. 80
Tabel 19. Hasil Pengamatan Terhadap Pelaksanaan SSOP di
Perusahaan ................................................................................... 88
Tabel 20. Pemantauan pada Program Sanitation Standard Operating
Procedure (SSOP) di Perusahaan ……………………………….. 92
Tabel 21. Materi yang Diajarkan dalam Pelatihan Sistem HACCP di
Perusahaan PT Kuala Pangan ...................................................... 95
Tabel 22. Hasil Evaluasi Penilaian Tingkat Pengertian dan Pema-
haman Peserta (Sebelum dan setelah) Pelatihan .......................... 96
Tabel 23. Struktur Organisasi Tim HACCP di perusahaan PT Kuala
Pangan .......................................................................................... 98
Tabel 24. Uraian Tugas Tim HACCP di Perusahaan PT Kuala
Pangan ......................................................................................... 99
Tabel 25. Deskripsi Produk Mi Kering Produksi PT Kuala Pangan ............ 101
Tabel 26. Analisis dan Evaluasi Bahaya serta Tindakan Pencegahan-
nya pada Bahan Baku di PT Kuala Pangan.................................. 115
Tabel 27. Hasil Pengujian Cemaran Fisik, Kimia, dan Mikroba pada
Bahan Baku tepung Terigu .......................................................... 124
Tabel 28. Hasil pengujian Cemaran Fisik, Kimia, dan Mikroba pada
Bahan baku Tepung Telur ............................................................. 125
Tabel 29. Hasil Pengujian Cemaran Fisik dan Kimia pada Bahan
baku Garam Konsumsi Beryodium .............................................. 125
Tabel 30. Hasil Pengujian Cemaran Fisik, Kimia, dan Mikroba pada
Air di Perusahaan ......................................................................... 125
Tabel 31. Hasil Pengujian Cemaran Logam-logam Berat dan arsen
pada Produk Mi Kering ................................................................ 131
Halaman

Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada


Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan ......................... 133
Tabel 33. Batas Kritis Yang Ditetapkan pada CCP Untuk Produksi
Mi kering di PT Kuala Pangan ..................................................... 146
Tabel 34. Hasil pengujian Cemaran Logam-logam Berat dan arsen
Pada Bahan Baku Tepung Terigu dan Garam serta Bak-
teri patogen pada Produk Mi Kering ............................................ 147
Tabel 35. Rencana HACCP (HACCP Plan) pada Produksi Mi Kering
pada Perusahaan PT Kuala Pangan .............................................. 150
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi
Mi Kering di Perusahaan PT Kuala Pangan .................................. 151
Tabel 38. Beberapa Contoh Dokumen dan Rekaman pada Penerapan
Sistem HACCP di PT Kuala Pangan ........................................... 160
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Mi Kering pada PT Kuala


Pangan di Citeureup, Bogor ....................................................... 25

Gambar 2. Diagram Alir Pohon Penentuan Titik Kendali Kritis


Atau Critical Control Point (CCP) (Sumber : BSN,
1998; CAC, 1997) ....................................................................... 53

Gambar 3. Diagram Alir Pohon Penentuan Titik Kendali Kritis atau


CCP Untuk Pengembangan Rencana HACCP (HACCP Plan)
di PT Kuala Pangan ..................................................................... 73

Gambar 4. Diagram Alir Proses Produksi Mi Kering Di PT Kuala


Pangan Hasil Verifikasi di Lapangan ......................................... 103

Gambar 5. Diagram Penanganan Pengaduan Konsumen Di PT Kuala


Pangan ........................................................................................ 161
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Denah Site Plant pada PT Kuala Pangan, Citeureup


Bogor ...................................................................................... 182
Lampiran 2. Struktur Organisasi pada Perusahaan PT Kuala Pangan ........ 183
Lampiran 3. Contoh Soal Untuk Evaluasi dan Mengetahui Tingkat
Pemahaman Terhadap Peserta Pelatihan SistemHACCP di
PT Kuala Pangan .................................................................... 184
Lampiran 4. Contoh Lembar Kertas Kerja Pernyataan Kebijakan
Mutu Perusahaan .................................................................... 190
Lampiran 5. Contoh Lembar Kertas Kerja Pembentukan Organisasi
Tim HACCP Perusahaan ...................................................... 191
Lampiran 6. Contoh Lembar Kertas Kerja Pembuatan Deskripsi dan
Tujuan Penggunaan Produk ................................................... 192
Lampiran 7. Contoh Lembar Kertas Kerja Untuk Pembuatan Diagram
Alir Proses Produksi ............................................................... 193
Lampiran 8. Contoh Lembar Kertas Kerja Untuk Penentuan Analisis
Bahaya, Penentuan Risiko (Peluang dan Keparahan) dan
Tindakan Pencegahannya ....................................................... 194
Lampiran 9. Contoh Lembar Kertas Kerja Untuk Sistem Penentuan
Titik Kendali Kritis Untuk Pengembangan Sistem Mana-
jemen Keamanan Pangan Berdasarkan HACCP ................... 195
Lampiran 10. Contoh Lembar Kertas Kerja Untuk Pengembangan dan
Pemantauan Rencana HACCP pada Perusahaan Yang
akan Menerapkan Sistem HACCP ........................................ 196
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan GMP Sarana Produksi Pangan pada
PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor .................................. 197
Lampiran 12. Contoh Prosedur dan Jadwal Kebersihan Ruangan di
Perusahaan PT Kuala Pangan ............................................... 206
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Beberapa puluh tahun terakhir ini, masalah mengenai keracunan pangan
dan isu keamanan pangan di dunia telah meningkat sebagai akibat adanya insiden
keracunan pangan yang berdampak pada perdagangan pangan internasional dan
perhatian publik yang meningkat terhadap isu keamanan pangan tersebut. Di
negara Asia termasuk di Indonesia pun terdapat kecenderungan (trend) yang sama
(Ben Embarek, 2004). Beberapa jenis penyebab keracunan pangan adalah
listeriosis, salmonellosis, flu burung (Asian influenza), sapi gila atau mad cow
(Bovine Spongiform Encephalophaty), penyakit kuku dan mulut pada sapi, dioksin
dan ancaman bioterorisme. Menurut Badan Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit atau Centre for Diseases Control and Prevention (CDC), terjadi 6-53
juta kasus keracunan pangan di Amerika Serikat. Sebanyak 50.000 kasus di
antaranya disebabkan oleh Salmonella (CDC, 2001).
Di negara-negara yang sedang berkembang, penyakit akibat keracunan
pangan dan air bila dihitung dapat mencapai 0,8 juta orang meninggal setiap
tahun. Sedang di negara-negara industri yang sudah maju, penyakit karena
keracunan pangan berakibat mencapai 30% dari jumlah populasi manusianya, dan
20 orang di antara dari 1 juta orang yang ada meninggal setiap tahun karena kasus
penyakit keracunan pangan. Bahkan di negara-negara Asia, kasus penyakit yang
disebabkan karena keracunan pangan telah meningkat pada tahun 2003 dan 2004 yang
disebabkan karena adanya penyediaan pangan dari jasa boga untuk keperluan
di kantin sekolah, kantin perusahaan, dan untuk keperluan sosial dalam rangka pesta
perayaan perkawinan (Ben Embarek, 2004).
Isu masalah keamanan pangan di Indonesia pun semakin mendapat
perhatian masyarakat Indonesia, baik yang menyangkut produk pangan yang
diekspor ke luar negeri maupun untuk produk pangan yang dikonsumsi di dalam
negeri. Misalnya, banyak produk industri pangan dan pertanian Indonesia yang
ditolak oleh negara tujuan ekspor karena tidak memenuhi persyaratan mutu dan
keamanan pangan serta dicurigai sebagai produk yang tidak aman untuk
dikonsumsi. Beberapa komoditas pangan pernah ditolak di Amerika Serikat oleh

1
US FDA karena terkontaminasi Salmonella (paha kodok, lobster, lada hitam, lada
putih, udang), atau menyalahi peraturan low acid canned food (bekicot, jamur, dan
ketam kecil dalam kaleng) (Fardiaz, 1996). Contoh lain adalah ditolaknya ekspor
85.000 ton minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO) oleh Belanda akibat
terkontaminasi solar (Menhutbun, 2000). Sedang salah satu isu masalah keamanan
pangan produk pangan di dalam negeri pada beberapa tahun terakhir yang
mendapat perhatian publik adalah isu penggunaan formalin dan boraks dalam
beberapa produk pangan termasuk produk pangan mi.
Mi merupakan makanan yang sangat digemari mulai dari anak-anak
sampai orang dewasa. Alasannya karena rasanya yang enak, praktis dan mudah
cara penyajiannya. Di pasaran saat ini dikenal ada beberapa jenis mi, yaitu mi
mentah (mi pangsit), mi basah (mi kuning), mi kering dan mi instan. Mi basah
atau mi kuning adalah jenis mi yang mengalami proses perebusan dalam air
mendidih terlebih dahulu setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan.
Kadar air mi basah dapat mencapai sekitar 52% (Winarno dan Rahayu, 1994)
sehingga menyebabkan cepat mengalami kerusakan atau penurunan mutu dan
daya tahan atau keawetannya cukup singkat, yaitu sekitar 16 jam pada suhu kamar
(Astawan, 2005). Sedangkan mi kering dan mi instan merupakan mi yang kering
dengan kadar air yang rendah (sekitar 10 %) sehingga lebih awet dibandingkan
dengan mi mentah dan mi basah (Widyaningsih dan Murtini, 2006).
Pada umumnya di Indonesia mi basah dan mi mentah banyak diproduksi
dan dihasilkan oleh industri skala kecil sedangkan mi kering dan mi instan banyak
diproduksi dan dihasilkan oleh industri skala menengah dan besar. Saat ini jumlah
industri mi kering di Indonesia mencapai 42 industri sedangkan jumlah industri
mi instan mencapai 23 industri (BPS, 2005).
Maraknya penggunaan formalin dan boraks pada bahan pangan seperti mi
basah/mi mentah, bakso, tahu, ikan asin, ikan segar dan ayam potong pada tahun
2005 dan 2007 yang dilaporkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) berdampak negatif pada industri pembuat mi kering yang mengalami
penurunan. Pada proses pembuatan mi kering sebenarnya tidak menggunakan
kedua jenis bahan tambahan tersebut; sedang penggunaan formalin dan boraks
tidak diperlukan pada proses pembuatan mi basah atau mi mentah bila bahan yang

2
digunakan dan proses dalam pembuatan mi benar. Hal tersebut dapat berdampak pada
citra produk pangan Indonesia di mata konsumen di dalam negeri mapun
konsumen di luar negeri serta berdampak pada kemampuan bersaing produk
pangan yang dihasilkan oleh industri pangan di Indonesia.
Dilema yang dihadapi khususnya pada produk mi adalah mi dengan
penambahan formalin yang dihasilkan oleh industri pangan memang lebih unggul
dalam hal kekenyalan, keliatan, dan keawetan karena sampai hari ke-4 baru mulai
berbau asam dan berlendir sehingga industri tersebut tanpa bersusah payah
memperbaiki mutu dan keamanan produknya; di sisi lain formalin menurut
lembaga internasional untuk penelitian kanker, menggolongkan formalin sebagai
senyawa yang bersifat karsinogen atau senyawa yang dapat memacu pertumbuhan
sel-sel kanker (Widyaningsih dan Murtini, 2006) sehingga industri pangan
tersebut tetap beroperasi dengan proses produksi dan pengendalian keamanan
pangan seadanya. Oleh karena itu, pemberdayaan industri pangan tersebut perlu
dilakukan.
Salah satu usaha menjamin mutu dan keamanan pangan adalah
pengembangan dan penerapan sistem Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP) pada industri pangan. Sistem HACCP ini sudah dikenalkan oleh Codex
Alimentarius Commission (CAC) ke negara-negara anggota sejak tanggal 28 Juni
1993 (WHO, 1993), dan telah ditetapkan oleh organisasi perdagangan dunia atau
World Trade Organization (WTO) sebagai sistem standar penjamin keamanan
pangan pada perdagangan pangan internasional (Hathaway, 1999; Orris, 1999).
Untuk mengantisipasi pasar global yang semakin kompetitif, pemerintah
Indonesia melalui BSN (Badan Standardisasi Nasional) telah memutuskan untuk
mengadopsi sistem mutu ISO 9000 dan sistem keamanan pangan model HACCP serta
akan mengadopsi juga sistem manajemen keamanan pangan ISO 22000. BSN
telah mengadopsi CAC HACCP System : Guidelines for apllication yang
dimodifikasi menjadi SNI 01-4852-1998 (Sistem Analisa Bahaya dan
Pengendalian Titik Kritis/HACCP – serta Pedoman penerapannya) dan telah
menetapkan panduannya, yaitu Pedoman BSN 1004-1999 (Panduan Penyusunan
Rencana HACCP) (Suprapto, 1999). Namun Pedoman BSN 1004-1999 ini telah
direvisi menjadi Pedoman BSN 1004 -2002 (BSN, 2002).

3
PT Kuala Pangan adalah satu perusahaan yang bergerak di bidang
pengolahan pangan dan menghasilkan produk mi kering. Perusahaan ini berdiri
sejak tahun 1974 dan berlokasi di jalan Depan Terminal Kavling 23 – 25,
Citeureup, Bogor. Produk perusahaan ini sebagian besar (95%) dijual dan
dipasarkan di Indonesia, sedangkan sebagian kecil lainnya untuk diekspor ke
negara Belgia, Belanda/Netherland, Timur Tengah dan Luxenburg serta Australia.
Produksi mi kering yang dihasilkan perusahaan PT Kuala Pangan ini mencapai
sekitar 12,5-15,0 ton per hari.
Mi kering adalah produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu,
dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan
(BTP) yang diizinkan, berbentuk khas mi (SNI 01-2974-1992). Mi kering yang
diproduksi dan dihasilkan oleh perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan ini
dibuat dari bahan tepung terigu, dengan penambahan bahan pangan seperti garam,
tepung telur, potasium/kalium karbonat, sodium/natrium karbonat dan bahan
tambahan pangan (BTP) pewarna tartrazin CI 1940 yang diizinkan oleh Deparmen
Kesehatan atau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Menyadari pentingnya jaminan penerapan sistem manajemen mutu dan
keamanan pangan di perusahaan serta menanggapi maraknya isu penggunaan
formalin dalam industri pembuatan mi dan adanya permintaan jaminan keamanan
pangan dari pelanggan berdasarkan sistem HACCP, maka pihak manajemen PT
Kuala Pangan berkeinginan untuk menerapkan sistem HACCP (Hazard analysis
critical control point). Sistem HACCP ini telah diakui secara internasional baik
oleh Codex, European Union (EU), dan World Trade Organization (WTO) serta telah
diadopsi oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) di atas.
Penerapan sistem HACCP pada industri pangan seperti yang akan
diterapkan pada PT Kuala Pangan dinilai cukup efektif untuk mencegah dan
meminimisasi risiko bahaya keracunan pangan, sehingga dinilai cukup baik untuk
memberi jaminan keamanan pangan (Bauman, 1990; Marriott, 1997). Pertama,
penerapan sistem HACCP dapat mengurangi tingkat risiko terhadap morbiditas
dan mortalitas yang dikaitkan dengan konsumsi pangan yang tidak aman (Antle,
1999). Biaya-biaya yang berkaitan dengan tingkat risiko tersebut antara lain,
misalnya : biaya untuk penanganan pasien yang terkena keracunan pangan,

4
hilangnya pendapatan pasien penderita keracunan pangan sebagai akibat
kehilangan waktu kerja mereka karena tidak masuk kantor/perusahaan, biaya
untuk penyembuhan karena kasus keracunan pangan dan ketidakgunaan/
ketidakmampuan mereka selama sakit karena keracunan pangan. Kedua,
Penerapan sistem HACCP sebagai bagian dari sistem manajemen mutu
menyeluruh (total quality management) bila diimplementasikan secara tepat dapat
memberi keuntungan sebagai berikut : perbaikan dalam efisiensi operasional,
mengurangi biaya transaksi dan menciptakan keuntungan yang lebih kompetitif
(Caswell et al, 1998; Bredahl et al, 2001; Farina dan Reardon, 2000). Selain itu,
penerapan sistem HACCP tidak berdiri sendiri, tetapi dapat diterapkan dan
diintegrasikan bersama dengan sistem lain misalnya good manufacturing practice
(GMP) dan ISO 9000 (Sunarya, 1999).
Produksi bahan baku atau ingredien yang digunakan oleh PT Kuala
Pangan untuk bahan pangan haruslah dilakukan sesuai dengan sistem manajemen
mutu dan keamanan pangan yang baik agar produk yang dihasilkan aman untuk
dikonsumsi. Melalui penerapan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan
HACCP, diharapkan perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan bisa
menghasilkan produk pangan dengan kualitas yang baik dan konsisten, serta yang
paling penting adalah aman untuk dikonsumsi, yang pada akhirnya akan
meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk perusahaan dan
meningkatkan penjualan produk perusahaan.

B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mempersiapkan kelayakan persyaratan dasar
sesuai GMP (Good Manufacturing Practice) dan penyusunan rencana HACCP
(hazard analysis critical control point)) atau HACCP Plan untuk produksi mi
kering pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor sebagai studi kasus, sesuai
dengan Standar Nasional Indonesia – SNI 01. 4852-1998 (Sistem Analisis
Bahaya dan Pengendalian Titik Kendali Kritis – HACCP) serta Pedoman Badan
Standarisasi Nasional (BSN) 1004-2002.

5
Secara rinci penelitian ini bertujuan :
1. Mengevaluasi kondisi persyaratan kelayakan dasar sesuai persyaratan GMP
pada perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan sebelum menerapkan/
mengimplementasikan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan
sistem HACCP ;
2. Menyusun dokumen rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering
pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor yang akan digunakan perusahaan
sebagai panduan dalam penerapan sistem HACCP ;
3. Merekomendasikan rencana HACCP tersebut untuk pengembangan sistem
HACCP pada perusahaan PT Kuala Pangan di Citeureup,Bogor.
Dengan demikian, penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan fondasi bagi
penyusunan, penerapan dan sertifikasi sistem HACCP untuk produksi mi kering
pada perusahaaan industri pangan PT Kuala Pangan.

C. KEGUNAAN/MANFAAT
Dengan telah tersusunnya sistem manajemen HACCP (Hazard Analysis
Critical Control Point) yang didukung dengan pemenuhan dokumen persyaratan
kelayakan dasar (prerequisite programs) dan cara produksi pangan yang baik atau
good manufacturing practice (GMP) pada industri pangan yang menghasilkan produk
mi kering di PT Kuala Pangan, maka dapat dilakukan penerapan dan sertifikasi
sistem HACCP, sesuai dengan Standar Nasional Indonesia – SNI 01-
4852-1998 (Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kendali Kritis –
HACCP) serta Pedoman Penerapannya (Pedoman BSN 1004-2002).
Dengan demikian, perusahaan industri pangan yang menghasilkan produk
mi kering di PT Kuala Pangan tersebut diharapkan : (1) Mampu dan sanggup
menghasilkan produk pangan yang memenuhi persyaratan keamanan pangan bagi
kepentingan kesehatan manusia, (2) Meningkatkan jaminan keamanan pangan
pada produk pangan yang dihasilkan oleh perusahaan, (3) Mencegah terjadinya
penarikan produk pangan yang dihasilkan, dan (4) Meningkatkan kepercayaan
konsumen terhadap perusahaan.

6
II. DESKRIPSI UMUM PERUSAHAAN PT KUALA PANGAN

A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN


PT Kuala Pangan didirikan pada tanggal 1 Juni 1974. Pada awalnya
perusahaan ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan/trading
untuk produk-produk hasil pertanian. Kemudian perusahaan tersebut setelah
berkembang secara resmi mendirikan pabrik mi kering sejak tanggal 7 Nopember
1988 yang dikukuhkan dengan Surat Keputusan Menteri Perindustrian No.
064/DJAI/IUT-1/NON-PMA-PMDN/II/1988 tanggal 11 Februari 1988 dan Surat
Izin Perluasan (Tanpa melalui Tahap Persetujuan Prinsip) oleh Direktorat Jendral
Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan, Departemen Perindustrian No.
236/DJIHPK/D.2/Perluasan/VIII/1998, tanggal 28 Agustus 1998.
Mengacu pada Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 286/M/SK/
1989, maka perusahaan PT Kuala Pangan dikategorikan atau termasuk sebagai
industri pangan berskala menengah karena mempunyai nilai aset lebih besar dari 5
milyard rupiah (tidak termasuk tanah dan bangunan) dengan jumlah tenaga kerja
sekitar 200 orang karyawan.

B. LOKASI PABRIK
Pabrik PT Kuala Pangan berlokasi di lingkungan Terminal Citeureup-
Kabupaten Bogor, tepatnya di Jalan Depan Terminal No. 23-25 Desa Citeureup,
Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor. PT Kuala Pangan juga mempunyai
kantor di Jalan Depan Terminal No. 23-25 Citeureup tersebut dengan nomor
telepon (021) 8752467 dan Nomor Fax (021) 8751013.
Pabrik terdiri atas beberapa bangunan dan fasiltas, yaitu : bangunan
pabrik, bangunan gudang 1 sampai 4, ruang pengemasan, ruang diesel, ruang
boiler, gudang terigu, fasilitas kamar mandi dan WC, poliklinik, pos Satpam dan
fasilitas tempat parkir.
Bangunan pabrik memiliki areal seluas 4.992,53 m2 yang terdiri dari
beberapa ruangan, yaitu : ruang kantor utama, ruang administrasi, ruang produksi,
ruang persiapan bahan baku, ruang gudang, ruang alat mesin, ruang diesel, ruang
boiler dan gedung olahraga; sedangkan lahan terbuka untuk jalan, tempat parkir

7
dan penghijauan memiliki areal seluas 1007,47m2. Denah pabrik dapat dilihat
pada Lampiran 1.

C. STRUKTUR ORGANISASI DAN KETENAGAKERJAAN


Struktur organisasi adalah hal yang penting dalam setiap organisasi atau
perusahaan. Dengan adanya struktur organisasi akan tergambar jelas wewenang
dan tanggung jawab setiap bagian. Setiap bagian tersebut melaksanakan pekerjaannya
sesuai dengan tanggung jawab masing-masing sehingga tujuan perusahaan dapat
tercapai secara maksimal. Struktur organisasi PT Kuala Pangan menerapkan bentuk
organisasi lini dan staf. Pada bentuk organisasi lini dan staf, pelimpahan wewenang
berlangsung secara vertikal dan sepenuhnya dari pimpinan tertinggi kepada unit di
bawahnya (Hasibuan, 1990). Sedangkan tenaga kerja PT Kuala Pangan terdiri dari 2
kelompok, yaitu kelompok staf dan non-staf. Tingkat pendidikan mereka terdiri dari
SLTP, SLTA Kejuruan atau program Diploma untuk bagian produksi, pemasaran
sampai sarjana untuk tingkat manajerial. Kelompok staf meliputi : Direktur Utama,
Direktur Pelaksana, Manager Umum dan Pembelian, Manager Personalia, Manager
Keuangan (Manager Accounting), Manager Penjualan, Manager Gudang/Pengiriman,
Manager Teknik dan Manager Produksi. Struktur organisasi PT Kuala Pangan dapat
dilihat pada Lampiran 2.
Direktur Utama selaku penanggung jawab dan pemegang wewenang
utama PT Kuala Pangan. Direktur Utama bertugas dan bertanggung jawab dalam :
(a) menetapkan garis-garis pokok kebijaksanaan pimpinan PT Kuala Pangan, (b)
menjalankan koordinasi dan pengawasan atau penyelenggaraan wewenang para
anggota manager, (c) mengetahui dan memimpin rapat dengan manager, (d)
melaksanakan koordinasi pabrik dalam melaksanakan hubungan PT Kuala Pangan
dengan dunia luar perusahaan, masyarakat dan pemerintah.
Direktur Pelaksana bertugas dan bertanggung jawab membantu tugas
Direktur Utama dalam melaksanakan koordinasi dengan tugas-tugas manager
serta membantu Direktur Utama sebagai Wakil perusahaan untuk berhubungan
dengan dunia luar perusahaan, dan masyarakat.

8
Manager Umum dan Pembelian bertugas dan bertanggung jawab dalam
mengorder dan mutu pembelian bahan baku, bahan penolong/pembantu, bahan
tambahan pangan, dan bahan pengemas serta bahan kertas dan alat tulis kantor.
Manager Personalia bertugas dan bertanggung jawab terhadap rekruitmen
karyawan dan pengelolaan karyawan serta bertanggung jawab membina hubungan
internal dan eksternal perusahaan.
Manager Keuangan (Manager Akunting) bertugas dan bertanggung jawab
membuat rencana pengeluaran biaya operasional, melakukan pencatatan transaksi,
mengeluarkan analisis biaya dan melakukan pengendalian (kontrol) terhadap
biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan. Departemen ini mempunyai 2
bagian, yaitu bagian akuntasi keuangan (finance accounting) dan bagian biaya
akuntansi (cost accounting).
Manager Pemasaran/Penjualan bertugas dan bertanggung jawab terhadap
perencanaan dan pemasaran produk mi kering yang dihasilkan perusahaan,
menjalankan kebijakan dan semua strategi pemasaran yang ditetapkan oleh
perusahaan (strategi produk, strategi harga, dan strategi distribusi) serta
melakukan riset pemasaran. Departemen ini dibantu oleh beberapa staf salesman
yang membantu Manager Pemasaran dalam memasarkan produk mi kering yang
dihasilkan perusahaan.
Manager Gudang & Pengiriman bertugas dan bertanggung jawab terhadap
perencanaan dan pengelolaan gudang penyimpanan serta bertanggung jawab
dalam melakukan pengiriman dan distribusi produk akhir.
Manager Teknik bertugas dan bertanggung jawab atas penanganan dan
pengembangan alat-alat dan mesin, boiler, listrik dan bengkel (utilitas pabrik),
pemeliharaan mesin dan peralatan termasuk suku cadang (maintenance) untuk
kelangsungan proses produksi; dan memastikan seluruh mesin-mesin dan
peralatan yang digunakan dalam produksi selalau dalam kondisi baik dan seluruh
peralatan yang baru terinstalasi dengan benar.
Manager Produksi bertanggung jawab dalam mengelola dan
merealisasikan order/permintaan dari pelanggan dengan efisiensi yang tinggi,
menganalisa produk limbah dan hasil produksi, membina dan memotivasi

9
karyawan bagian produksi, serta bertanggung jawab dalam menjalankan sistem
manajemen mutu.
Supervisor bertugas memimpin dan bertanggung jawab terhadap
kelangsungan kelancaran kegiatan produksi pada seksi produksinya, melakukan
pengawasan terhadap tenaga kerja yang berada pada seksinya dengan dibantu
operator, dan memberikan masukan kepada manager tentang efisiensi produksi.
Operator bertugas mengawasi langsung tenaga kerja yang bertugas pada
unit-unit lingkungan seksi produksinya, bertanggung jawab terhadap kebersihan,
perawatan dan kelancaran mesin, dan bersama-sama dengan operator lainnya
menjamin kesinambungan dan kemantapan kerja seksi produksi.
Kelompok karyawan non-staf terdiri dari karyawan tetap dan karyawan
harian yang perbedaannya adalah dari segi penerimaan gaji dan tingkat kerja yang
dilakukan. Karyawan harian akan menerima gaji sebesar jumlah hari kerja yang
dilakukan sehingga pada saat tidak kerja maka mereka tidak mendapat gaji;
sedangkan karyawan tetap akan menerima gaji bulanan. Karyawan tetap di pabrik
PT Kuala Pangan ini berjumlah 50 orang dan karyawan hariannya berjumlah 150
orang.
Jam kerja karyawan dimulai pukul 08.00 sampai dengan pukul 17.00
untuk hari Senin-Kamis dengan waktu istirahat pukul 12.00-13.00; sedangkan hari
Jum’at waktu pukul 11.30-13.00 dan hari Sabtu pukul 08.00-12.30 dengan tidak
ada waktu istirahat. Sedangkan jam kerja dalam sehari untuk bagian produksi
dibagi dalam 2 shift kerja, yaitu : (a) Shift pagi : pukul 07.00-14.30; jam istirahat
antara pukul 11.30-12.30 dan (b) Shift siang/sore : pukul 14.30-22.00; jam
istirahat antara pukul 18.00-19.00. Pertukaran Shift kerja dilakukan setiap
minggu.
Sistem pembayaran gaji dilakukan setiap bulan, yaitu pada tanggal 28
kecuali untuk karyawan harian. Besarnya gaji diberikan berdasarkan posisi yang
dijabat dan lamanya jam lembur. Selain itu, gaji karyawan juga disesuaikan
dengan standar upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Untuk memenuhi
kebutuhan rohani karyawan yang memeluk agama islam, perusahaan
menyediakan musholla yang berada di dalam pabrik.

10
D. SARANA PENUNJANG PRODUKSI
Dalam memproduksi mi kering di perusahaan PT Kuala Pangan Citeureup,
Bogor diperlukan sarana-sarana penunjang kegiatan produksi. Sarana-sarana
penunjang tersebut antara lain air, tenaga listrik, uap dan peralatan produksi mi
kering.
1. Air
Seluruh air yang digunakan di PT Kuala Pangan Citeureup, Bogor untuk
kegiatan produksi maupun untuk keperluan lainnya berasal dari sumur bawah
tanah. Air dari sumur tersebut diolah terlebih dahulu berdasarkan kegunaannya
melalui beberapa tahapan sehingga menghasilkan air olahan dengan tiga
golongan, yaitu air sebagai bahan baku dan bahan pencampur untuk keperluan
produksi mi kering, air sebagai media atau sarana proses produksi atau untuk
boiler, dan air sebagai media dan sarana pembersih untuk keperluan umum
(general use).
Air yang dipergunakan untuk bahan baku pencampuran dengan bahan
tepung terigu, garam, kalium dan natrium karbonat dan bahan pewarna tartrazin harus
memenuhi standar air minum yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan. Air
untuk keperluan umum merupakan air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
akan air secara umum, seperti untuk kebutuhan kantor, musholla, pencucian mobil,
membersihkan lantai ruangan pabrik (sanitasi ruangan), penyiraman tanaman,
dan untuk keperluan mandi dan toilet.
Penggunaan air untuk keperluan produksi mi kering rata-rata mencapai 15 m3
setiap harinya; sedangkan untuk keperluan boiler rata-rata mencapai 45 m3 per
hari dan untuk MCK (mandi, cuci, kakus/wc) rata-rata sekitar 10 m3 setiap
harinya. Dalam industri perlu dilakukan upaya pengendalian terhadap air, yaitu
dengan menghitung jumlah besar air yang diperlukan dalam berbagai proses.
Pengendalian bertujuan untuk meminimalisasi penggunaan air sehingga lebih
efisien dan ketersediaan air untuk kebutuhan proses dapat dikendalikan dengan
baik.
2. Tenaga Listrik
Listrik memegang peranan penting dalam kegiatan produksi dan aktifitas
lainnya karena berperan sebagai energi. Sumber listrik untuk kebutuhan

11
perusahaan diperoleh dari PLN dengan kapasitas 240 KVA. Untuk keperluan
cadangan, PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor memeliki sebuah genset yang
dipakai hanya bila aliran listrik dari PLN terhenti. Kapasitas genset tersebut tidak
mampu menghasilkan energi listrik untuk kegiatan produksi. Dengan kapasitas
tersebut, maka energi listrik yang dihasilkan genset hanya digunakan untuk
keperluan umum seperti penerangan, sehingga bila aliran listrik di PLN terputus
maka kegiatan produksi untuk sementara dihentikan.

3. Sumber Tenaga Uap (Steam)


Tenaga uap diperlukan dalam proses pengukusan dan pengeringan mi. Tenaga
uap ini dihasilkan dari mesin boiler yang mendidihkan air menjadi uap panas
yang akan digunakan untuk menyuplai kebutuhan uap selama proses produksi.
Air yang digunakan untuk menghasilkan uap tersebut berasal dari air yang telah
mengalami penurunan kesadahan (soft water). Bahan yang ditambahkan
untuk menurunkan kesadahan air antara lain Katalyzed, Adjunt Lh, Ametol N23,
Adventage 114 dan Emergy 5000. Air dengan kesadahan tinggi tidak layak
digunakan karena akan mempertinggi titik uap, sehingga energi dibutuhkan untuk
menguapkan air akan lebih banyak.

4. Peralatan Produksi
Peralatan untuk produksi mi kering yang dimiliki dan dioperasikan untuk
kegiatan produksi mi kering di PT Kuala Pangan Citeureup, Bogor terdiri atas :
alat penampung terigu (hopper) 1 buah, alat pencampur adonan (mixer) sebanyak
3 buah, alat pengumpan (feeder) bahan adonan ke alat pengepres 2 buah, alat
pengepres adonan untuk membuat lembar adonan dalam bentuk roll pressing 2
buah, alat pembentuk untaian mi (slitter), alat pengukus mi dalam bentuk
terowongan atau steamer 2 buah, alat pemotong cetakan mi atau micro cutter 2
buah, alat pengering mi (tunnel dryer) 2 buah, alat konveyor dan kipas pendingin
(cooler) 2 buah, satu set alat boiler dan alat pengemas untuk mengemas produk mi
sebanyak 2 buah serta mesin pembungkus band sealer 2 buah.

12
a. Hopper
Hopper merupakan alat penampung terigu yang akan digunakan untuk
produksi pada waktu itu. Pada alat ini terdapat screw conveyor yang akan
menarik terigu ke dalam mixer.

b. Mixer
Mixer adalah alat yang digunakan untuk mencampur bahan baku (terigu)
agar tercampur rata, selain itu juga berfungsi sebagai pencampur antara bahan
baku dengan larutan alkali, air dan bahan pewarna tartrazin sehingga terbentuk
adonan yang rata dan homogen.

c. Feeder
Feeder merupakan alat yang berfungsi sebagai penampung sebelum
adonan masuk ke dalam mesin pengepres (pressing) dan dilengkapi dengan
pengaduk yang berfungsi sebagai pendorong adonan keluar dari feeder.

d. Roll pressing
Roll pressing adalah alat yang digunakan dalam pembentukan adonan
menjadi lembaran dengan ketebalan tertentu. Pada proses ini adonan akan
melewati 5 atau 7 roll pressing. Pada awalnya, lembaran akan dibentuk tebal,
selanjutnya akan semakin tipis sesuai dengan ketebalan yang diinginkan.

e. Slitter
Slitter berfungsi sebagai pembentuk untaian pada lembaran adonan
setelah melalui roll pressing. Slitter yang digunakan pada produk mi berbeda-
beda sesuai dengan jenis dan bobot mi-nya. Perbedaaan slitter yang digunakan
akan berpengaruh terhadap untaian mi yang dihasilkan.

f. Steamer
Steamer merupakan alat yang berfungsi untuk proses pengukusan
untaian mi setelah keluar dari proses slitting dengan menggunakan uap panas.

13
Alat ini berbentuk kotak persegi panjang menyerupai terowongan yang
didalamnya dilengkapi dengan steamnet yang berfungsi sebagai konveyor.

g. Dryer
Dryer merupakan alat yang berfungsi untuk proses pengeringan untaian
mi setelah keluar dari proses pembentukan dalam cetakan mi dengan
menggunakan uap panas dalam bentuk oven pengering yang dilengkapi
dengan kipas/blower penghembus udara panas.

g. Cutter
Cutter berfungsi sebagai alat pemotong mi yang telah melalui proses
pengukusan (steaming). Setelah mi dipotong, mi akan dilipat sehingga
diperoleh mi dengan bentuk segi empat yang rata.

h. Cooler
Cooler merupakan alat yang digunakan untuk menurunkan suhu mi
setelah melewati proses pengeringan. Di dalam mesin tersebut terdapat blower
yang dapat menurunkan suhu mi, sehingga pada saat pengemasan (packing)
suhu mi mendekati suhu ruang, dan penampakan mi juga akan lebih baik.

i. Mesin packing
Mesin ini digunakan untuk mengemas mi kering yang telah dilengkapi
dengan alat untuk memberi tanda kode produksi dan tanggal kadaluwarsa.

E. JENIS PRODUK
Jenis produk yang diproduksi dan dihasilkan oleh perusahaan PT Kuala
Pangan adalah mi kering dengan merk Cap Atom Bulan. Mi kering ini adalah
produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan
tambahan makanan lain dan bahan tambahan pangan (BTP) yang diijinkan, berbentuk
khas mi yang langsung dikeringkan dan mempunyai kadar air sekitar
10%. Produk mi kering PT Kuala Pangan ini dikemas dalam plastik polipropilen
(PP) dengan bobot netto 200 gram per kemasan plastik dan kemudian dikemas

14
lagi dalam kemasan kotak karton (boks) dengan kapasitas 20 kemasan plastik PP.
Produk mi kering yang dihasilkan oleh PT Kuala Pangan ini mengacu pada SNI
01-2974-1992. Syarat mutu mi kering pada SNI 01-2974-1992 tersebut dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat Mutu Mi Kering menurut SNI 01-2974-1992 (*)
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Mutu I Mutu II
1. Keadaan
1.1. Bau - normal normal
1.2. Warna - normal normal
1.3. Rasa - normal normal
2. Air % (b/b) Maksimal 8 Maksimal 10
3. Abu % (b/b) Maksimum 3 Maksimum 3
4. Protein (N x 6,25) % (b/b) Minimum 11 Minimum 8
5. Bahan tambahan pangan
5.1. Boraks atau formalin Tidak boleh ada Tidak boleh ada
5.2. Pewarna (Tartrazin) Sesuai dengan SNI Sesuai dengan SNI
0222-M dan Pera- 0222-M dan Pera-
turan MenKes turan MenKes
No.722/MenKes/ No.722/MenKes/
Per/IX/88 Per/ IX / 88
6. Cemaran logam :
6.1. Timbal (Pb) mg/kg Maksimum 1,0 Maksimum 1,0
6.2. Tembaga (Cu) mg/kg Maksimum 10,0 Maksimum 10,0
6.3. Seng (Zn) mg/kg Maksimum 40,0 Maksimum 40,0
6.4. Raksa (Hg) mg/kg Maksimum 0,05 Maksimum 0,05
7. Arsen (As) mg/kg Maksimum 0,5 Maksimum 0,5
8. Cemaran mikroba :
8.1. Angka lempeng total Koloni/g Maksimum 1,0x106 Maksimum 1,0x106
8.2. E. coli APM/g Maksimum 10 Maksimum 10
8.3. Kapang Koloni/g Maksimum 1,0x104 Maksiumu 1,0x104
(*)Sumber : Pustan Departemen Perindustrian (1992).

15
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING

Bahan baku utama dan bahan-bahan lain yang digunakan dalam proses
produksi mi kering pada umumnya terdiri atas 4 kelompok, yaitu : bahan baku
utama, bahan baku pembantu dan bahan tambahan pangan (BTP) serta bahan
pengemas.

1. Bahan Baku Utama


a. Tepung Terigu
Tepung terigu yang digunakan untuk memproduksi mi kering adalah
tepung terigu dengan kadar gluten 10-12%. Tepung terigu ini tergolong dalam
medium hard fluor yang diperoleh dari PT Bogasari Flour Mills di Jakarta.
Tepung terigu ini berfungsi membentuk struktur mi, sumber protein dan
karbohidrat. Kandungan protein utama dari tepung terigu yang berperan dalam
pembuatan mi adalah gluten. Gluten adalah suatu jenis protein yang terdiri dari
dari 36% gliadin, 20% glutenin, 17% mesonin dan 7% campuran albumin dan
globulin (Darmawan, 1994). Apabila ke dalam tepung terigu ditambah air,
glutenin akan mengembang. Selama proses pengembangan, glutenin akan
menyerap gliadin, mesonin dan sebagian protein yang dapat larut dalam air
sehingga membentuk suatu massa yang kenyal dan elastis (Ridwan dan Wiriarno,
1984) sehingga akan mempengaruhi sifat elastisitas dan tekstur mi yang
dihasilkan. Menurut Ruiter (1987), karakteristik elastisitas gluten dianggap
berasal dari fraksi glutenin, sedangkan karakteristik liat dan melekat diperoleh
dari fraksi prolamin.
Tepung terigu sebagai bahan pangan (makanan) menurut SNI 01.3751-
2006 didefinisikan sebagai tepung terigu yang dibuat dari endosperma biji
gandum Triticum aestivum L (Club wheat) dan/atau Triticum compacticum Host
atau campuran keduanya dengan penambahan zat besi (Fe), seng (Zn), vitamin B1
(thiamin), vitamin B2 (riboflavin) dan asam folat sebagai fortifikan. Sedangkan
bahan tambahan pangan (BTP) yang dizinkan untuk produk terigu sesuai dengan

16
peraturan tentang BTP. Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan pangan
(makanan) menurut SNI 01.3751-2006 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Syarat mutu tepung terigu menurut SNI 01.3751-2006 (*)
No. Jenis uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan
1.1. Bentuk - Serbuk
1.2. Bau - Normal (bebas dari
bau asing)
1.3. Warna - Putih, khas terigu
2. Benda asing - Tidak ada
3. Serangga dalam semua bentuk stadia dan - Tidak ada
potongan-potongannya yang tampak
4. Kehalusan, lolos ayakan 212 μm No. 70 % (b/b) Minimum 95
5. Kadar air % (b/b) Maksimum 14,5
6. Kadar abu % (b/b) Maksimum 0,6
7. Kadar protein % (b/b) Minimum 7,0
8. Keasaman mg KOH/100 g Maksimum 50
9. Falling number (atas dasar kadar air 14%) detik Mimimum 300
10. Besi (Fe) mg/kg Minimum 50
11. Seng (Zn) mg/kg Minimum 30
12. Vitamin B1 (thiamin) mg/kg Minimum 2,5
13. Vitamin B2 (riboflavin) mg/kg Minimum 4
14. Asam folat mg/kg Minimum 2
15. Cemaran logam
15.1. Timbal (Pb) mg/kg Maksimum 1,00
15.2. Raksa (Hg) mg/kg Maksimum 0,05
15.3. Tembaga (Cu) mg/kg Maksimum 10
16. Cemaran arsen mg/kg Maksimum 0,50
17.
17.1. Angka lempeng total koloni/g Maksimum 106
17.2. E. coli APM/g Maksimum 10
17.3. Kapang koloni/g Maksimum 104
(*) Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2006).

b. Air
Bahan baku utama lain yang digunakan untuk memproduksi mi kering
adalah air. Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat,
melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Pati dan gluten akan
mengembang dengan adanya air. Menurut Chung et al. (1985) yang dikutip oleh
Mulya (1988) menyebutkan bahwa air sebaiknya memiliki pH antara 6-9. Pada
selang pH 4-8, makin tinggi pH air maka mi yang dihasilkan tidak mudah patah
karena absorpsi air meningkat dengan meningkatnya pH. Jumlah air yang optimal
akan membentuk pasta yang baik.

17
Air sebagai bahan tambahan lain menurut Surat Keputusan Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 disebutkan/dinyatakan
pada pasal 2 bahwa air yang digunakan untuk produksi makanan dan minuman
yang disajikan kepada masyarakat harus memenuhi syarat kesehatan air minum.
Persyaratan kualitas air minum berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indoneia Nomor 907/ MENKES/ VII/2002 mencakup persyaratan/
parameter fisik, kimiawi, mikrobiologi dan kimia anorganik dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Persyaratan kualitas air minum menurut PerMenKes No. 907/ MENKES/
SK/VII/2002 tanggal 29 Juli 2002 (*)
No. Jenis/Parameter uji Satuan Kadar maksimum
yang diperbolehkan
1. Parameter fisik
1.1. Warna TCU 15
1.2. Rasa dan bau - oC Tidak berasa & berbau
1.3. Suhu/temperatur Suhu udara ± 3 oC
1.4. Kekeruhan NTU 5
1.5. Jumlah zat padat terlarut (TDS) mg/l 1000
2. Parameter Kimiawi
2.1. Aluminium (Al) mg/l 0,2
2.2. Besi (Fe) mg/l 0,3
2.3. Kesadahan mg/l 500
2.4. Klorida (Cl) mg/l 250
2.5. Mangan (Mn) mg/l 0,1
2.6. pH
- 6,5 – 8,5
2.7. Natrium (Na) 200
mg/l
2.8. Sulfat 250
mg/l
2.9. Tembaga (Cu) 1,0
mg/l
2.10. Sisa klor -
mg/l
2.11. Amonia 1,5
mg/l
2.12. Air raksa (Hg) 0,001
2.13. Antimon (At) mg/l 0,005
2.14. Barium (Ba) mg/l 0,7
2.15. Boron (B) mg/l 0,3
mg/l
3. Kimia An-organik
3.1. Arsen (As) mg/l 0,05
3.2. Fluorida (F) mg/l 1,5
3.3. Kromium-valensi 6 mg/l 0,05
3.4. Kadmium (Cd) mg/l 0,003
3.5. Nitrit, sebgai NO2 mg/l 3
3.6. Nitrat, sebagai NO3 mg/l 50
3.7. Sianida (CN) mg/l 0,07
3.8. Selenium (Se) 0,01
mg/l
4. Parameter Mikrobiologi -
4.1. E. coli atau feacal coli Jumlah/100 ml 0
4.2. Total bakteri coliform Jumlah/100 ml 0
(*) Sumber : Departemen Kesehatan (2002).

2. Bahan Baku Pembantu


Bahan baku pembantu yang digunakan dalam proses produksi mi kering
terdiri dari jenis, yaitu : garam dan tepung telur.

18
a. Garam
Garam atau lebih dikenal dengan garam dapur yang dikonsumsi, pada
pembuatan mi instant atau mi kering berfungsi sebagai pemberi rasa, memperkuat
tekstur mi, membantu reaksi antara gluten dengan karbohidrat (meningkatkan
elastisitas dan fleksibelitas), dan untuk mengikat air (Sunaryo, 1985). Garam
dapur juga berfungsi untuk menghambat aktivitas enzim protease dan amilase
sehingga mi tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan
(Mulya, 1988). Garam dapur yang dipergunakan oleh PT Kuala Pangan berasal
dari PT Saltindo di Jakarta.
Menurut BSN atau Badan Standarisasi Nasional (2000), garam yang
digunakan dalam produk makanan merupakan garam yang didefinisikan sebagai
pangan (makanan) yang komponen utamanya natrium klorida (NaCl) dengan
penambahan kalium yodat (KIO3). Syarat mutu garam konsumsi beryodium sesuai
dengan SNI 01.3556-2000 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Syarat mutu garam konsumsi beryodium menurut SNI 01.3556-2000 (*)
No. Kriteria uji Satuan Persyaratan mutu
1. Kadar air (H2O) % (b/b) Maksimum 7
2. Kadar NaCl (natrium klorida) dihitung % (b/b), atas Minimum 94,7
dari jumlah klorida dasar bahan
kering
3. Yodium dihitung sebagai kalium yodat mg/kg Minimum 30
(KIO3)
4. Cemaran logam
4.1. Timbal (Pb) mg/kg Maksimum 10
4.2. Tembaga (Cu) mg/kg Maksimum 10
4.3. Raksa (Hg) mg/kg Maksimum 0,1
5. Arsen (As) mg/kg Maksimum 0,1
(*) Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2000).

b. Tepung Telur
Tepung telur ini diperoleh dengan cara mengimpor dari negara Belgia,
Belanda atau India. Tepung telur dalam pembuatan mi kering ini fungsinya untuk
menghasilkan suatu lapisan yang tipis dan kuat pada permukaan mi. Lapisan
tersebut cukup efektif untuk mencegah penyerapan minyak sewaktu digoreng dan
kekeruhan saus mi waktu pemasakan. Lesitin yang terdapat pada kuning telur
merupakan pengemulsi yang baik, dapat mempercepat hidrasi air pada terigu, dan
bersifat mengembangkan adonan (Sunaryo, 1985).

19
Penggunaan tepung telur dalam industri pangan mempunyai kelebihan/
keuntungan sebagai berikut : (a) Umur simpan lebih lama; (b) Penyimpannya
lebih mudah atau tanpa refrigerasi; (c) Mengurangi ruang penyimpanan, biaya
penyimpanan dan biaya transportasi, dan (d) Mempermudah pengaturan
komposisi bahan (Dijen IKAH, Depperindag & Fakultas Teknologi Pertanian –
IPB, 2003). Syarat mutu tepung telur ayam menurut Food And Drug
Administration (FDA) USA dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Standar mutu tepung telur ayam menurut FDA-USA (*)
No. Kriteria uji Satuan Persyaratan mutu
1. Kadar air % Maksimum 5,0
2. Kadar lemak % 40,0
3. Kadar protein % Minimum 45,0
4. Kadar abu % 3,7
5. Gula pereduksi % Maksimum 0,1
6. Total mikroba koloni/g Maksimum 25.000
7. Bakteri koliform koloni/g Maksimum 10
8. Bakteri Salmonella - Negatif atau nol
9. Warna - Specified on purchase
10. Bau - Lembut
(*) Sumber : Ditjen IKAH, Depperindag dan Fakultas Teknologi Pertanian –IPB
(2003).

3. Bahan Tambahan Pangan (BTP)


Bahan tambahan pangan (BTP) adalah senyawa atau campuran berbagai
senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan dan terlibat dalam proses
pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan dan bukan merupakan bahan
utama (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1996). Menurut Codex
Alimentarius Commission di dalam Branen dan Haggerty (2002), BTP
didefinisikan sebagai bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan
biasanya bukan merupakan komposisi (ingredient) khas makanan, dapat bernilai
gizi atau tidak bernilai gizi, ditambahkan ke dalam pangan dengan sengaja untuk
membantu teknik pengolahan pangan (termasuk organoleptik) baik dalam proses
pembuatan, pengolahan, persiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan,
pengangkutan, dan penyimpanan produk pangan olahan, agar menghasilkan atau
diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu pangan yang lebih
baik atau secara nyata mempengaruhi sifat khas pangan tersebut.

20
Di Indonesia, penggunaan BTP telah diatur sejak tahun 1988 dalam
Permenkes No.722/MenKes/Per./IX/1988 yang dikuatkan dengan Permenkes No.
1168/MenKes/ Per/VI/1999 menyebutkan bahwa yang termasuk BTP adalah
pewarna, pemanis buatan, pengawet, antioksidan, antikempal, penyedap dan
penguat rasa, pengatur keasaman, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi,
pengental, pengeras, dan sekuestran (untuk memantapkan warna dan tekstur
makanan).
Bahan tambahan pangan (BTP) yang digunakan pada pembuatan mi
kering di PT Kuala Pangan adalah garam alkali sodium karbonat atau natrium
karbonat (Na2CO3) dan potasium karbonat atau kalium karbonat (K2CO3) serta
bahan pewarna tartrazin CI 19140. Ketiga bahan tambahan pangan tersebut
diperoleh dan dibeli dari Amerika Serikat (USA) dan Inggris melalui pemasok
lokal PT Union Ajidharma, PT Halim Sakti dan PT Wasiat Chemical atau PT
United Chemical Inter Aneka di Jakarta.
a. Garam Alkali (Natrium Karbonat dan Kalium Karbonat)
Natrium karbonat dan kalium karbonat adalah bahan tambahan yang wajib
ditambahkan sebagai bahan alkali pada proses pembuatan mi kering dan memiliki
peranan yang sangat penting dalam proses pembuatan mi. Mi tidak akan jadi jika tidak
menggunakan garam alkali tersebut (Puspasari, 2007). Kedua bahan tersebut
ditambahkan dengan perbandingan 9:1 dan dilarutkan dalam air serta berfungsi
untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas
mi, meningkatkan kehalusan tekstur, dan meningkatkan sifat kenyal. Bahaya pada
kedua bahan tambahan pangan tersebut adalah dapat menyebabkan iritasi pada
kulit manusia (Sax, 1975). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.722/
MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan
natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan sama penggunaannya dengan
kalium klorida sebagai pengental, yaitu sebanyak 5 gram per kg.
b. Tartrazin C1 19140
Tartrazin merupakan zat warna yang digunakan untuk memberikan warna
kuning khas mi dan untuk menambah daya tarik produk mi. Zat warna yang
digunakan adalah tartrazin CI 19140, yang merupakan zat warna sintetis
berbentuk tepung berwarna kuning yang larut dalam air, dengan larutannya

21
berwarna kuning keamasan. Menurut Winarno (1989), tartrazin tahan terhadap
cahaya, asam asetat, asam klorida (HCl), dan natrium hidroksida (NaOH) 10
persen. Pada NaOH 30% akan menjadikan warna berubah kemerah-merahan.
Mudah luntur oleh adanya oksidator, FeSO4 membuat larutan zat berwarna
menjadi keruh, tetapi aluminium (Al) tidak berpengaruh.
Zat warna tartrazin C1 19140 yang digunakan oleh perusahaan PT Kuala
Pangan berasal dari PT Wasiat Chemical, Jakarta dan PT United Chemical Inter
Aneka, Jakarta.
Batas maksimal penggunaan tartrazin dalam produk pangan diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/MenKes/Per./IX/88
tentang Bahan Tambahan Makanan tahun 1988 sedangkan oleh organisasi
internasional Codex masih dalam tahap pembahasan (CAC, 2006). Namun dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Anisyah (2007) tentang ”Kajian Paparan
Tartrazin Dengan Metode Survei Frekuensi Konsumsi Pangan di Wilayah Jakarta
Utara” menyimpulkan bahwa : (a) Hasil survei konsumsi pangan yang
mengandung tartrazin di wilayah Jakarta Utara menunjukkan nilai konsumsi rata-
rata pada seluruh responden sebesar 306,38 g/orang/hari, nilai konsumsi rata-rata total
tertinggi pada responden anak-anak karena frekuensi konsumsi dan ukuran porsinya
relatif lebih besar; (b) Seluruh nilai paparan tartrazin pada hasil penelitian
belum melampaui nilai ADI (Acceptable Daily Intake) tartrazin. Tingkat
paparan rata-rata total pada seluruh responden sebesar 231,24 μg/kg BB (3,08 %
ADI), nilai paparan rata-rata total tertinggi pada responden anak-anak karena
tingkat konsumsinya relatif tinggi sedangkan berat badannya relatif rendah.
Jenis pangan yang berpotensi memberi paparan tartrazin tertinggi pada seluruh
responden adalah mi instan, minuman nonkarbonasi, minuman serbuk, makanan
ringan dan biskuit; dan (c) Mi instan merupakan produk pangan yang memiliki
tingkat konsumsi terbanyak dan berpotensi memberi paparan tartrazin terbesar
pada seluruh responden dan tiap kelompok responden di wilayah Jakarta Utara.
Anak-anak merupakan responden yang memiliki tingkat konsumsi dan tingkat
paparan tartrazin tertinggi di wilayah Jakarta Utara. Hasil penelitian kajian paparan
tartrazin dengan metode survei frekuensi konsumsi pangan di wilayah Jakarta
Utara yang dilaporkan Anisyah (2007) dapat dilihat pada Tabel 6.

22
Tabel 6. Kadar tartrazin dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh responden
dibandingkan dengan kadar tartrazin yang ditetapkan dalam regulasi (*)
No. Produk pangan Kadar tartrazin dalam produk Batas maksimum tartrazin dalam produk pangan
pangan (mg/kg) menurut peraturan (mg/kg)
Rata-rata Min - Maks Indonesia Codex Eropa
1. Mi Instan atau Mi
kering 300 300 -
- Sebelum diolah 22,50 1 - 100
- Setelah diolah 16,77 8,28 - 27,25
2. Kembang gula 90,53 5 - 300 300 300 300
3. Minuman 13 10 - 15 70 mg/l (produk siap konsumsi) 300 100
berkarbonasi
4. Minuman 22 10 - 40 70 mg/l (produk siap konsumsi) 300 100
nonkarbonasi
5. Minuman serbuk 13,30 0,16 - 40 70 mg/l (produk siap konsumsi) 300 100
6. Minuman buah, 10 4 - 20 70 mg/l (produk siap konsumsi) 300 100
squash
7. Sirup 18 4,2 - 33,33 70 mg/l (produk siap konsumsi) 300 100
8. Kue lapis 200 200 - 200 300 300 200
9. Biskuit 72,86 10 - 200 300 300 200
10. Roti 11 11 - 11 300 300 200
11. Makanan ringan 88,57 10 - 200 300 300 200
12. Jelli 25,95 5,4 - 84,35 200 500 -
13. Jem, selai 213 200 - 226 200 500 -
14. Es krim 76 10 - 200 100 - -
15. Susu fermentasi 50,50 1 - 100 18 (berasal dari aroma yang 300 -
digunakan)
(*) Sumber : Anisyah (2007).

4. Bahan Kemasan
Kemasan dibutuhkan salah satunya adalah berfungsi untuk melindungi
produk mi kering yang dihasilkan dari kerusakan. Bahan pengemas yang
digunakan pada produksi mi kering di PT Kuala Pangan Citeureup, Bogor terdiri
dari dua jenis, yaitu pengemas primer berupa plastik poli propilen atau plastik
jenis PP yang sudah ada labelnya dengan bobot netto 200 gram per kemasan dan
kemasan sekunder (kotak karton atau karton boks) dengan kapasitas 20 kemasan
plastik .
a. Plastik Polipropilen (Plastik jenis PP)
Plastik jenis Polipropilen (PP) merupakan kemasan yang ringan, mudah
dibentuk, kekuatan tarik lebih besar dan tahan terhadap suhu tinggi, serta
merupakan polimer plastik yang memiliki densitas paling rendah di antara
polimer-polimer plastik lainnya. PP umumnya tersedia di pasaran dalam dua jenis,
yaitu PP tebal dan PP tipis. Perbedaan keduanya adalah pada ketebalan bahan
(Puspasari, 2007).
Sifat utama dari polipropilen (PP) adalah ringan (densitas 0,9 g/cm3),
mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk kemasan kaku.
Polipropilen memiliki kekuatan tarik lebih besar dan lebih kaku daripada

23
polietilen (PE), sertra tidak mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan dan
distribusi. Namun, permeabilitas uap air PP rendah, permeabilitas gas sedang dan
tidak cocok untuk makanan yang peka terhadap oksigen. Plastik PP tahan
terhadap suhu tinggi sampai 150oC, sehingga dapat dipakai untuk makanan yang
harus disterilisasi. Polipropilen juga tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak
(Puspasari, 2007).

b. Kotak Karton
Kemasan sekunder adalah kemasan setelah kemasan primer yang
berfungsi untuk melindungi mi dari kerusakan fisik yang dapat terjadi pada saat
distribusi atau pengiriman. Kemasan yang digunakan adalah karton jenis CFB
(Corrugated Fibred Board). Semua jenis pengemas tersebut didatangkan dari
pemasok lokal di daerah Jakarta dan sekitarnya.

5. Proses Produksi Mi Kering


Proses produksi untuk pembuatan mi kering yang dilakukan di perusahaan
industri yang memproduksi mi kering menurut Ridwan dan Wiriano (1990) pada
prinsipnya hampir sama dengan proses pembuatan mi instan, perbedaannya
hanyalah pada tahap setelah pemotongan (cutting); yaitu pada pembuatan mi
kering setelah tahap pemotongan dilakukan pengeringan, sedang pada pembuatan
mi instan setelah tahap pemotongan dilakukan penggorengan. Proses produksi mi
kering secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1 dan meliputi tahap-tahap
sebagai berikut : penimbangan bahan baku dan bahan lain untuk produksi mi,
pembutan larutan alkali, pencampuran adonan (mixing), pengepresan dengan roll
press, pembentukan untaian pita mi (slitting), pengukusan (steaming),
pendinginan (cooling), pemotongan (cutting), penge-ringan dengan oven (drying),
pendinginan (cooling), pengemasan produk mi kering dan penyimpanan di
gudang.

24
Penimbangan Pembuatan Larutan Alkali
Bahan baku dan
Bahan Lain

Pencampuran (Mixing)

Pembentukan adonan menjadi


lembaran dengan roll press

Pembentukan untaian pita mi


(Slitting)

Pengukusan dengan
menggunakan uap panas
(Steaming)

Pendinginan (Cooling)

Pemotongan (Cutting)

Pengeringan dengan
menggunakan uap panas

Pendinginan (Cooling)

Pengemasan produk mi kering


dalam plastik PP & kotak
karton

Penyimpanan di Gudang

Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Mi Kering (Sumber : Ridwan dan


Wiriano, 1990).

25
a. Penimbangan Bahan Baku dan Bahan Lain Untuk Produksi Mi
Penimbangan bahan baku dan bahan lain merupakan tahap awal
pembuatan mi. Pada proses ini dilakukan penimbangan bahan-bahan yang
digunakan untuk proses pembuatan mi kering seperti tepung terigu, garam dapur,
tepung telur, bahan tambahan soda abu (natrium karbonat dan kalium karbonat)
dan bahan pewarna tartrazin untuk pembuatan larutan alkali. Selain penimbangan
bahan-bahan tersebut juga dilakukan pengkuran jumlah volume air yang akan
digunakan untuk pembuatan larutan alkali.

b. Pembuatan Larutan Alkali


Pembuatan larutan alkali bertujuan untuk menghasilkan larutan alkali yang
merupakan merupakan campuran dari soda natrium dan kalium karbonat, air,
garam, tepung telur dan bahan pewarna tartrazin. Larutan alkali berfungsi untuk
memberi warna, rasa, dan memperkuat struktur mi. Pada pembuatan larutan alkali,
uji yang dilakukan yaitu uji standar viskositas, pH, penampakan dan warna.
Viskositas larutan alkali diukur dengan menggunakan viskometer, sedangkan nilai
pH diukur dengan menggunakan pH meter. Penampakan larutan alkali berwarna
kuning, larutan homogen dan tidak terdapat benda asing.

c. Pencampuran Adonan (Mixing)


Proses pencampuran adonan (mixing) merupakan proses awal pembuatan
mi, yaitu pencampuran dan pengadukan tepung terigu dengan larutan alkali yang
dilakukan didalam mixer. Proses pencampuran bertujuan untuk menghasilkan
campuran yang homogen, menghindrasi tepung dengan air dan membentuk
adonan dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi halus dan elastis. Hal yang
harus diperhatikan dalam proses ini adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu
adonan dan waktu pengadukan ( Pribadi, 2004). Umumnya air yang ditambahkan
sekitar 28-35% dari total bobot tepung. Pencampuran adonan dilakukan dan
dipertahankan pada kisaran suhu 32-38oC. Suhu tersebut dipertahankan dengan
cara memanaskan alat mixer menggunakan pemanasan sistem jacket dengan uap
panas. Apabila suhunya kurang dari 32oC adonan menjadi keras, rapuh dan kasar;
sedangkan jika suhunya lebih dari 38oC adonan menjadi lengket dan mi menjadi

26
kurang elastis. Waktu pengadukan biasanya dilakukan sekitar 15-25 menit, karena
bila waktu pengadukan kurang dari 15 menit, adonan menjadi lunak dan lengket;
sedangkan bila lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh dan kering.
Selama proses pengadukan akan terjadi kenaikan suhu akibat gesekan baling-
baling mesin adonan. Kenaikan suhu tersebut berpengaruh terhadap
pengembangan dan kelembutan adonan akibat terjadinya penyebaran dan
distribusi air dalam tepung.

d. Pengepresan Dengan Roll Press


Pengepresan dengan roll press bertujuan untuk membentuk adonan
menjadi lembaran adonan yang halus dan elastis, menghaluskan serat-serat gluten
dan membuat adonan menjadi lembaran. Hal ini dilakukan dengan cara
melewatkan adonan berulang-ulang di antara dua roll logam sampai dicapai
ketebalan tertentu sehingga adonan siap dicetak menjadi untaian pita mi.
Pembentukan lembaran dengan roll press akan menyebabkan pembentukan serat-
serat gluten yang halus, homogen, serta mempunyai ketebalan 1,0 – 1,1 mm. Hal
ini akan mempengaruhi mutu mi yang dihasilkan (Pribadi, 2004). Agar dapat
menghasilkan lembaran yang halus dengan jalur serat yang searah dan lembaran
adonan tidak kasar dan pecah-pecah, maka suhu pengepresan dilakukan pada suhu
sekitar 35-37oC dengan menggunakan pemanas dari uap panas yang berasal dari
boiler melalui saluran uap panas yang mengalir pada alat roll press tersebut.
Mesin pengepres terdiri dari beberapa buah silinder berpasangan yang
berputar berlawanan arah. Pada saat melewati roll press, lembaran akan
mengalami peregangan dan mengalami relaksasi saat keluar dari roll press.
Supaya peregangan dan relaksasi berlangsung dengan baik, maka kedudukan roll
press harus diatur sedemikian rupa sehingga lembaran adonan merata di seluruh
permukaan roll dan seimbang antara roll awal sampai roll akhir.

d. Pembentukan/Pencetakan Untaian Mi (Slitting)


Pencetakan untaian pita mi (slitting) merupakan suatu proses pengubahan
lembaran adonan menjadi untaian pita sesuai dengan ukuran yang diinginkan,
kemudian siap dibentuk menjadi gelombang mi (Ridwan dan Wiriano, 1990).

27
Proses slitting dimulai dengan melewatkan lembaran tipis adonan yang keluar dari
mesin pengepres ke suatu silinder logam beralur kecil (slitter) yang akan
memotong lembaran adonan menjadi untaian mi yang terpisah oleh sisir-sisir
bergerigi (Noerthana, 2005); selanjutnya untaian mi dilewatkan ke suatu mangkuk
slitter berbentuk segi empat. Mangkuk slitter terdiri dari beberapa lajur yang pada
setiap lajur menghasilkan 70-80 untaian mi tergantung dari nomor slitter yang
digunakan. Dalam mangkuk slitter, mi dipadatkan sehingga terbentuk gelombang-
gelombang mi. Selanjutnya, untaian pita mi akan masuk ke dalam waving net
yang kecepatannya lebih rendah dari mangkuk slitter, sehingga dihasilkan mi
yang bergelombang rata.
Menurut Noerthana (2005), agar untaian mi yang dihasilkan oleh hasil
slitting baik, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : (1) Hasil
mixing adonan harus homogen dengan kadar air cukup dengan suhu adonan tidak
panas; (2) Pisau slitter harus tajam dan ukurannya seragam; (3) Fungsi sisir mi
(noodle comb) harus dalam kondisi baik; (4) Ketepatan pemasangan mangkuk
pemisah mi (devider); (5) Khusus untuk slitter baru agar diperhatikan kedalaman
roll cutter-nya, karena semakin dalam akan menyebabkan roll cutter-nya cepat
tumpul; dan (6) kebersihan alat.

e. Pengukusan (Steaming)
Pengukusan (steaming) merupakan proses pengukusan mi yang keluar dari
slitter secara kontinyu dengan menggunakan uap panas. Pada proses ini terjadi
gelatinasasi pati dan koagulasi gluten sehingga dengan terjadinya dehidrasi air
dari gluten akan menyebabkan terjadinya kekenyalan pada mi. Hal ini disebabkan
oleh putusnya ikatan hidrogen, sehingga rantai ikatan kompleks pati-gluten
menjadi lebih rapat (Pribadi, 2004). Pada waktu sebelum dikukus, ikatan bersifat
lunak dan fleksibel, tetapi setelah dikukus menjadi keras dan kuat (Prangdimurti,
1991). Gelatinasasi merupakan peristiwa pembengkakan granula pati sehingga
granula tersebut tidak dapat kembali pada kondisi semula (Winarno, 1995). Lebih
lanjut Sunaryo (1985) menyatakan bahwa gelatinisasi ini menyebabkan pati
meleleh, kemudian membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mi yang dapat

28
memberikan kelembutan mi, meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi
daya rehidrasi mi.

f. Pendinginan (Cooling)
Pendinginan (cooling) merupakan proses setelah mi keluar dari proses
pengukusan dengan menggunakan kipas angin. Proses pendinginan ini
dimaksudkan untuk mencegah mi melekat pada conveyor yang berjalan.
Kemudian proses dilanjutkan ke tahap proses pemotongan.

g. Pemotongan (Cutting)
Pemotongan (cutting) mi dilakukan dengan mesin pemotong. Dalam
proses ini mi dipotong dan dibentuk lipatan dengan mendorong bagian tengah
potongan ke dalam dengan menggunakan alat seperti cangkul. Pada bagian atas
tersebut terdapat roll berputar yang berfungsi sebagai alat pelipat yang akan
melipat mi menjadi dua bagian yang sama panjang.

h. Pengeringan (Drying)
Pengeringan didefinisikan sebagai suatu proses pemanasan pada produk
bahan pangan pada kondisi yang terkendali dengan cara menguapkan air yang
terkandung dalam bahan pangan tersebut dengan tujuan untuk memperpanjang
daya simpan dengan mengurangi aktivitas airnya atau aw-nya (Fellows, 2000).
Dalam pembuatan mi kering, bertujuan untuk memantapkan pati tergelatinisasi,
menurunkan kadar air dan mengeringkan mi sehingga produk akan menjadi
kering, kaku dan awet serta memiliki kadar air sekitar 7-8 persen dan mi dapat
disimpan dalam jangka waktu yang lama. Proses pengeringan untuk pembuatan
mi kering biasanya dilakukan pada suhu sekitar 100oC selama 30 menit.

i. Pendinginan (Cooling)
Pendinginan (cooling) adalah proses pendinginan yang dilakukan dengan
cara melewatkan mi dalam suatu kotak (tunnel) yang di dalamnya terdapat
sejumlah kipas angin yang menghembuskan udara segar. Tujuan dari proses ini
adalah agar mi yang baru keluar dari proses pengeringan dapat diturunkan

29
suhunya sehingga mencapai suhu sekitar 32oC sebelum dikemas dengan etiket
(Pribadi, 2004). Mi yang telah melalui alat pendingin diharapkan telah mengalami
pendinginan secara sempurna.

j. Pengemasan (Packing)
Setelah dilakukan pendinginan, mi langsung dikemas dengan cara
memasukkan produk mi kering ke dalam kemasan plastik yang sudah disiapkan
secara manual. Pengemasan ini bertujuan untuk melindungi mi dari kemungkinan-
kemungkinan tercemar atau rusak sehingga mi tidak mengalami penurunan mutu
sampai di tangan konsumen. Dengan pengemasan yang baik, produk akan
terhindar pencemaran debu dan kotoran tangan, kelembaban oksigen di udara,
serangan serangga, dan lain sebagainya (Syarief et al, 1989).

B. CEMARAN PADA PRODUK MI KERING


Cemaran pada produk mi kering kemungkinan dapat berupa cemaran
mikrobiologis, cemaran kimia dan cemaran fisik. Cemaran-cemaran tersebut dapat
berasal dari bahan baku utama, bahan baku pembantu lain dan bahan tambahan
pangan (BTP).
1. Cemaran Mikrobiologis
Mi kering merupakan produk mi yang telah dikukus dan dikeringkan
terlebih dahulu dan memiliki kadar air sekitar 8-10%. Mi kering memiliki aw
sekitar 0,80 dan pH sebesar 8,7 (Yustiareni, 2000). Menurut Fardiaz (1992) dan
Buckle et. al (2007), pangan dengan kadar air yang rendah dan pH relatif tinggi
(pH > 8,5) dikelompokkan sebagai pangan yang tidak mudah rusak. Dengan
demikian, kadar air yang rendah dan aw yang rendah menyebabkan mi kering
tidak riskan jika disimpan pada suhu ruang. Namun demikian, bukan berarti
produk mi kering tersebut tidak bebas dari adanya kemungkinan pencemaran atau
kontaminasi baik adanya cemaran mikroba/biologis, kimia maupun fisik yang
berasal dari bahan baku dan bahan lainnya.
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01.2974-1992 untuk
produk mi kering (PUSTAN Departemen Perindustrian, 1992), cemaran mikroba
yang mungkin terdapat pada mi kering dapat berupa bakteri E. Coli, kapang dan

30
angka lempeng total. Oleh karena itu, cemaran mikroba tersebut ditetapkan
batasnya di dalam SNI dalam keadaan negatif atau tidak boleh ada cemaran
mikroba dalam produk mi kering. Menurut Jay (2000), mikroba perusak yang
mungkin tumbuh pada produk olahan terigu adalah bakteri genus Bacillus dan
beberapa jenis kapang; sedang Fardiaz (1992) menyatakan bahwa jika tumbuh
pada bahan pangan, bakteri dapat menyebakan berbagai perubahan pada
penampakan maupun komposisi kimia dan cita rasa bahan pangan tersebut.
Adanya aktifitas mikroorganisme pembentuk asam misalnya, ditandai dengan
terdeteksinya bau asam pada mi basah yang telah rusak. Pada bakteri aerobik
pembentuk spora yang dapat memproduksi amilase mungkin tumbuh pada kadar
air yang tinggi dengan memanfaatkan terigu dan hasil olahannya sebagai sumber
energi. Pada kondisi kadar air lebih rendah, kapang berpotensi untuk tumbuh yang
ditandai dengan pembentukan miselia dan spora. Kapang yang tumbuh umumnya
berasal dari genus Rhizopus yang dapat dikenali dengan adanya spora berwarna hitam
(Jay, 2000).
Selain cemaran bakteri dan kapang tersebut, mi kering kemungkinan dapat
tercemar oleh bakteri jenis Salmonella dan Staphylococcus yang berasal dari
bahan tepung telur serta E. coli dan coliform yang berasal dari bahan air yang
digunakan dalam proses pencampuran. Menurut ICMSF (1998), produk yang
ingrediennya mengandung tepung telur atau telur kering seperti custard, cream
cakes, angel cake dan mi kering dapat terkontaminasi oleh Salmonella dan
Staphylococcus. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Matic et. al (1990) dan
Narvaiz et. al (1992) dinyatakan bahwa Salmonella yang terdapat pada tepung
telur dapat diinaktifkan dengan cara irradiasi dengan sinar gamma dengan dosis
0,8 kGy untuk jenis bakteri S. Enteritidis, S. Typhimurium dan S. Lille. Sedangkan
untuk mereduksi sebanyak 103 bakteri diperlukan dosis 2,4 kGy. Produk tepung
telur yang telah diirradiasi ini tahan disimpan selama 4 minggu.
Untuk mengendalikan produk kering seperti halnya mi kering yang
mengandung bahan ingredien tepung telur disarankan oleh ICMSF (1998)
sebaiknya melindungi produk itu dari kemungkinan terjadinya kondensasi air ke
dalam produk kering tersebut. Oleh karena itu, produk mi kering yang telah

31
dikemas dalam plastik diharapkan tidak ada yang bocor dan terkena kondensasi
oleh air dari luar.
Cemaran bakteri pada air yang digunakan untuk proses pencampuran guna
menghasilkan produk mi kering, kemungkinannya dapat berupa bakteri patogen E.
Coli, Campylobacter jejuni, Salmonella sp, Shigella, Vibrio cholerae, Yersinia
enterolita dan Aeromonas hydrophila; bila air air tersebut tidak diolah terlebih
dahulu untuk menghasilkan kualitas air yang layak diminum/dikonsumsi (Jones
dan Watkins, 1989). Dengan demikian, air yang digunakan untuk produksi mi
kering pada saat proses pencampuran harus memenuhi persyaratan kualitas air
minum menurut PerMenKes No. 907/MENKES/SK/VIII/2002 tanggal 29 Juli
2002, yaitu harus bebas dari bakteri E. coli dan bakteri coliform. Hal ini
disebabkan karena bakteri E. coli dan coliform digunakan sebagai indikator
tercemarnya air tersebut oleh adanya cemaran yang berasal dari buangan air besar
manusia ataupun kotoran hewan. Lebih lanjut Havelar (1994) menyarankan
bahwa untuk menghasilkan air yang aman untuk dikonsumsi, sebaiknya dalam
proses pengolahannya mengimplementasikan sistem HACCP.

2. Cemaran Kimia
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01. 2974-1992 untuk
produk mi kering (PUSTAN Departemen Perindustrian, 1992), ditetapkan bahwa
cemaran kimia yang mungkin timbul/terdapat pada mi kering berupa cemaran
kimia logam-logam berat berupa timbal (Pb), tembaga (Cu), seng (Zn),
raksa/merkuri (Hg) dan arsen (As). Cemaran kimia logam-logam berat ini diduga
berasal dari bahan baku tepung terigu, garam dan air yang digunakan dalam
proses produksi mi kering. Sumber cemaran kimia logam-logam berat seperti Pb,
Cu, Hg, Zn dan As dapat berasal dari lingkungan dan tanah tempat tumbuh asal
tanaman terigu yang terkontaminasi oleh polusi asap kendaraaan bermotor dan
hasil buangan limbah industri yang mengandung logam-logam berat; selain itu
dari bahan baku garam yang tercamar oleh logam-logam berat di tempat asalnya.
Sedang seng (Zn) dan tembaga (Cu) dapat berasal darti proses produksi
pembuatan tepung terigu di pabrik yang menghasilkan tepung terigu dan proses
produksi mi kering di pabrik yang menghasilkan produk mi kering.

32
3. Cemaran Fisik
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01.2974-1992 untuk
produk mi kering (PUSTAN Departemen Perindustrian, 1992), ditetapkan bahwa
cemaran fisik yang mungkin terdapat pada produk mi kering berupa serangga
dalam berbagai bentuk stadia dan potongan-potongannya serta benda-benda asing
lainnya. Cemaran fisik benda-benda asing ini dapat berupa rambut, kotoran (pasir,
tanah), kelupasan cat, karat, debu, potongan kertas dan tali plastik. Sumber
cemaran fisik tersebut dapat berasal dari pekerja/karyawan yang menangani
produk, pallet kayu, peralatan yang sudah lama tidak digunakan dan tali plastik
yang digunakan untuk pengemasan. Oleh karena itu, cemaran fisik benda-benda
asing pada produk mi kering tersebut oleh SNI 01. 2974-1992 ditetapkan harus
negatif.

C. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN PADA INDUSTRI


PANGAN
Pemerintah Indonesia sebagai fasilitator dan regulator di bidang pangan
telah menetapkan bahwa dalam memproduksi pangan untuk diperdagangkan,
setiap industri pangan baik skala besar, menengah, menegah-kecil maupun skala
kecil tanpa kecuali diharuskan memenuhi kaidah/aturan dan persyaratan yang
ditetapkan oleh pemerintah dari aspek penyediaan fasilitas produksi, proses
produksi/pengolahan, pengemasan produk, distribusi dan perdagangannya guna
menjamin mutu dan keamanan produk pangannya. Pemerintah juga telah
mengeluarkan berbagai macam aturan agar setiap industri pangan mampu dan
sanggup menghasilkan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan
gizi pangan bagi kepentingan kesehatan manusia serta tercipta perdagangan
pangan yang jujur dan bertanggung jawab. Beberapa peraturan itu antara lain :
PerMenKes No. 23/MenKes/SK/I/1978 tentang pedoman cara produksi pangan
yang baik (CPPB) atau good manufacturing practice (GMP); Undang-Undang
Kesehatan No. 23 Tahun 1992; PerMenKes No. 722/MenKes/IX/1988 tentang
bahan tambahan pangan (BTP) dan penggunaannya; Pedoman higiene makanan
Tahun 1996 (Departemen Kesehatan, 1998); Undang-Undang Pangan RI No. 7
Tahun 1996 tentang keamanan pangan yang tercantum pada pasal 4 sampai

33
dengan pasal 23 (Kantor Menpangan, 1996); dan Peraturam Pemerintah (PP) No.
28 Tahun 2004 tentang keamanan pangan, mutu dan gizi pangan (Badan POM,
2004).
Melengkapi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan mutu dan
keamanan pangan di atas, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Peraturan
Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan
pangan dengan tujuan dan pertimbangan supaya : (1) Setiap industri pangan
memberi informasi mengenai pangan yang disampikan kepada masyarakat adalah
benar tidak menyesatkan, (2) Konsumen/masyarakat berhak menuntut dan
mengetahui bagaimana produk pangan dihasilkan mulai dari hulu sampai di
hilirnya baik menyangkut aspek gizi, mutu dan keamanan pangan maupun
lingkungannya (Kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura, 1999).
Sementara itu, didalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen pada pasal 4 ayat a dan b disebutkan bahwa konsumen mempunyai hak
atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang serta
jaminan yang dijanjikannya (Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, 1999).
Implikasinya, konsumen pangan di Indonesia berhak mendapat jaminan mutu dan
keamanan pangan dari setiap produsen/industri pangan yang memperdagangkan
produk pangannya di Indonesia, tidak terkecuali bagi industri pangan skala
menengah.
Berdasarkan laporan selama Pelita V dan VI serta laporan pemberitaan di
media massa menunjukkan bahwa masih banyak ditemukan peredaran produk
pangan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan, misalnya
adanya cemaran mikroba pada produk pangan; penggunaan bahan tambahan
pangan (BTP) yang dilarang atau melebihi batas yang diperbolehkan, terutama zat
pewarna, pengawet dan pemanis; adanya residu pestisida yang masih tinggi pada
produk-produk hortikultura, adanya cemaran logam berat dan lain-lain.
Disamping itu, masih banyak ditemukan peredaran produk pangan yang
komposisinya tidak sesuai dengan label dan iklan pangan dipromosikan, produk
pangan yang tidak mencantumkan masa kadaluwarsa dan produk pangan yang
tidak memenuhi standar mutu (Anggrahini, 1997).

34
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudibyo et al (2001) menunjukkan
bahwa dari sebanyak 80 sampel industri pangan yang digunakan dalam penelitian,
pada umumnya industri pangan tersebut banyak yang belum menerapkan prinsip-
prinsip atau aspek manajemen keamanan pangan yang baik untuk menjamin
keamanan pangan produk pangan yang dihasilkannya. Persentase industri pangan
yang sudah mengerti dan menerapkan/mengimplementasikan aspek keamanan
pangan dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Persentase Industri Pangan Yang Sudah Memahami dan Menerapkan
Aspek Keamanan Pangan (*)
Persentase (%) Industri Pangan Yang Sudah Memahami dan
Menerapkan Aspek Keamanan Pangan
Aspek Keamanan Paham dan Paham tapi Paham tapi Paham tapi
menerapkan menerapkan menerapkan tidak
Pangan
secara penuh sebagian besar sebagian kecil menerapkan
sama sekali
- GMP (Good Ma- 25 40 25 10
nufacturing
Practice)
- SOP (Standard 25 35 7,5 32,5
Operating Pro-
cedure)
- Sanitasi dan Higiene 30 45 20 5

Sumber : Sudibyo et al. (2001).

Berdasarkan data dan keterangan di atas terlihat bahwa bila dirata-ratakan


hasil persentasenya, maka baru sekitar 35-40% industri pangan berskala
menengah yang mempunyai kesadaran, tanggung jawab dan komitmen untuk
menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek penerapan GMP,
sanitasi dan higiene serta SOP. Padahal ketiga aspek tersebut dalam program
jaminan keamanan pangan merupakan program persyaratan dasar (prerequisite
program) yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh setiap industri pangan
termasuk industri pangan berskala menengah sebelum melangkah lebih lanjut
dalam menerapkan sistem HACCP (WHO, 1997; NACMCF, 1998).
Hasil penelitian Sudibyo dan Sumarsi (2004) menunjukkan bahwa industri
pangan yang tidak mempraktekkan atau mengimplementasikan higiene pangan
pada perusahaannya mencapai 2-5 kalinya dibandingkan dengan industri kecil
pangan yang mempraktekkan/mengimplementasikan higiene pangan. Persentase

35
industri kecil pangan yang sudah mengimplementasikan dan yang tidak
mengimplementasikan higiene dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Persentase Industri Kecil Pangan Yang Mengimplementasikan dan Tidak


Mengimplementasikan Higiene (*).
Persentase (%) Industri Kecil
No. Aspek Kegiatan Pangan yang
mengimplementasikan/ tidak
mengimplementasikan higiene
Ya Tidak
1. Pelatihan terhadap karyawan yang 15,5 84,5
menangani pangan
2. Pengendalian bahan baku dan bahan 25,5 74,5
pembantu lain yang dipakai
3. Pengendalian penggunaan bahan tambahan 30,0 70,0
pangan (BTP)
4. Pengendalian kebersihan pribadi karyawan 30,0 70,0
(higiene personil)
5. Pengendalian proses produksi dan 40,0 60,0
peralatan produksi yang digunakan
6. Pengendalian dalam penanganan dan 45,5 55,5
penyimpanan pangan untuk mencegah
kontaminasi
7. Pengendalian alat-alat pembersih (sapu, 40,0 60,0
alat pengepel, cairan deterjen, dan lain-
lain)
8. Pengendalian hama 35,0 65,0
9. Pengendalian catatan/dokumen 20,0 80,0
(*) Sumber : Sudibyo dan Sumarsi, 2004.

Dari data dan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa industri pangan
berskala menengah yang memiliki kesadaran, tanggung jawab dan komitmen
untuk menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek penerapan
sistem manajemen HACCP secara komulatif baru mencapai 40%. Hal ini
menunjukkan bahwa penerapan sistem manajemen HACCP dalam industri pangan
berskala menengah-kecil relatif masih rendah dan terdapat hambatan/kendala
dalam pengembangan dan penerapannya.
Secara umum berdasarkan hasil penelitian Sudibyo et al (2001) terhadap
industri pangan berskala menengah di Indonesia teridentifikasi bahwa program
keamanan pangan dan penerapan sistem keamanan pangan ditinjau dari aspek
GMP, sanitasi dan higiene, SOP, sistem HACCP dan pelatihan sistem keamanan
pangan belum dilaksanakan secara penuh sehingga industri pangan berskala

36
menengah tersebut perlu dibina, diberdayakan dan ditingkatkan kinerjanya dalam
bidang keamanan pangan. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka era globalisasi
dan perdagangan bebas, industri pangan dituntut untuk menghasilkan produk
pangan yang bermutu tinggi dan aman dikonsumsi oleh konsumen, sehingga
mampu bersaing dengan produk pangan sejenis yang dihasilkan oleh industri
pangan dari luar.

D. PENERAPAN GMP SEBAGAI PERSYARATAN KELAYAKAN DASAR


DALAM PENERAPAN SISTEM HACCP
Di dalam setiap industri pengolahan pangan yang akan menerapkan sistem
keamanan pangan model HACCP harus merencanakan, merancang/mendisain dan
mengimplementasikan suatu program persyaratan kelayakan dasar atau sering
disebut dengan istilah "prerequisite programs". Persyaratan kelayakan dasar
dapat diartikan sebagai suatu ukuran untuk mengetahui suatu unit pengolahan
pangan sudah memenuhi persyaratan, baik dalam segi/aspek sanitasi dan higiene
maupun dalam aspek cara berproduksi. Program persyaratan kelayakan dasar atau
prerequisite programs ini menurut Bernard dan Parkinson (1999) merupakan
suatu fondasi yang harus dan perlu dipenuhi oleh setiap industri pangan guna
menghasilkan produk pangan yang aman dan bermutu ditinjau dari aspek
keamanan dan kesehatan.
Konsep program persyaratan kelayakan dasar ini pertama kali berasal dan
dicetuskan oleh Agriculture and Agri-Food Canada's (AAFC) dalam rangka
program peningkatan keamanan pangan di Kanada dan mereka mendefinisikan
program persyaratan kelayakan dasar ini sebagai "suatu langkah-langkah universal
atau prosedur yang mengendalikan kondisi oprasional dalam suatu industri
pangan yang didirikannya guna memenuhi kondisi lingkungan tetap baik untuk
menghasilkan pangan yang aman" (Gombas dan Stevenson, 2000). NACMCF
(National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods) (1998)
mendefinisikan program persyaratan kelayakan dasar sebagai "suatu prosedur
termasuk prosedur cara produksi pangan yang baik atau good manufacturing
practice (GMP) yang ditujukan untuk menyediakan kondisi operasional dasar
sistem HACCP". Pada prinsipnya program persyaratan kelayakan dasar untuk

37
sistem HACCP mencakup suatu program dan prosedur yang sudah harus tersedia
di dalam industri pangan yang didirikannya; termasuk juga didalamnya program
penerimaan bahan baku dan cara penyimpanannya, manajemen terhadap adanya
keluhan pelanggan/konsumen, kemampuan telusur bahan ingredien yang
digunakan hingga produk pangan dihasilkan serta program persetujuan untuk
pemasok (approved supplier) barang-barang yang masuk ke dalam perusahaan
industri pangan (Gombas dan Stevenson, 2000).
Menurut Bernard dan Parkinson (1999), program persyaratan kelayakan
dasar ini seperti halnya rancangan HACCP (HACCP Plan) sebaiknya
terdokumentasi dengan baik dalam standard operating procedures (SOP) yang
tertulis dan sebaiknya juga dimengerti dan dihayati oleh setiap karyawan yang
bekerja di industri pangan yang bersangkutan. Bahkan program persyaratan
kelayakan dasar atau prerequisite programs ini jika diperlukan dapat
ditinjau/dikaji ulang dan direvisi kembali oleh setiap industri pangan guna
menjamin bahwa program yang didisain dan direncanakan, diimplementasikan secara
efektif sesuai dengan tujuan keamanan pangan yang hendak dicapai (NACMCF,
1998).
Pada dasarnya, program persyaratan kelayakan dasar terdiri dari dua
bagian, yaitu cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing
practice (GMP) dan standard prosedur oprasional sanitasi atau sanitation
standard operating procedure (SSOP). Di Indonesia, sesuai dengan peraturan
yang ada di Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan yang sekarang
berubah menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menerbitkan
pedoman cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau GMP. Pedoman penerapan
GMP ini disusun berdasarkan pedoman umum higiene pangan dan peraturan
perundang-undangan di bidang pangan, terutama yang mengatur mengenai
produksi pangan.
Menurut Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM,
1996), tujuan penerapan GMP adalah menghasilkan produk akhir pangan yang
bermutu, aman dikonsumsi, dan sesuai dengan selera atau tuntutan konsumen,
baik konsumen domestik maupun internasional. Sedang tujuan khusus penerapan
GMP adalah : (1) Memberikan prinsip-prinsip dasar yang penting dalam produksi

38
pangan yang dapat diterapkan sepanjang rantai pangan mulai dari produksi primer
sampai konsumen akhir, untuk menjamin bahwa pangan yang diproduksi aman
dan layak untuk dikonsumsi; (2) Mengarahkan industri agar dapat memenuhi
berbagai persyaratan produksi, seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas,
peralatan produksi, bahan, proses, mutu produk akhir, serta persyaratan
penyimpanan dan distribusi; dan (3) Mengarahkan pendekatan dan penerapan
sistem HACCP sebagai suatu cara untuk meningkatkan keamanan pangan.
Pedoman penerapan GMP ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar
untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara
produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) Melindungi konsumen dari
penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh pangan yang tidak memenuhi
persyaratan, (2) Memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang
dikonsumsi merupakan pangan yang layak, (3) Mempertahankan atau
meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang diperdagangkan secara
internasional, dan (4) Memberikan bahan acuan dalam program pendidikan kesehatan
di bidang pangan kepada industri dan konsumen. Sedang bagi industri pangan sebagai
acuan dalam menerapkan praktek cara produksi pangan yang baik dalam rangka : (1)
Memproduksi dan menyediakan pangan yang aman dan layak bagi konsumen; (2)
Memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti kepada masyarakat,
misalnya dengan pelabelan dan pemberian petunjuk mengenai cara penyimpanan dan
penyediaannya, sehingga masyarakat dapat melindungi pangan terhadap
kemungkinan terjadinya kontaminasi dan kerusakan pangan, yaitu dengan cara
penyimpanan, penanganan dan penyiapan yang baik; dan (3) Mempertahankan
atau meningkatkan kepercayaan dunia internasional terhadap pangan yang
diproduksinya (Ditjen POM, 1996).
Standar prosedur operasi sanitasi atau sanitation standard operating
procedure (SSOP) juga merupakan salah satu unsur/komponen program
persyaratan kelayakan dasar yang penting untuk mengimplementasikan dan
menjaga sistem HACCP berjalan dengan baik dan sukses; bahkan SSOP yang
sudah tertulis dan terdokumentasi dengan baik telah direkomendasikan dan
dimandatorikan untuk diimplementasikan secara wajib dalam industri pangan

39
berisiko tinggi seperti pada industri pengolahan ikan dan daging oleh US FDA
dan USDA (Katsuyama dan Jantschke, 1999).
Program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs yang
perlu dipersiapkan oleh setiap industri pangan untuk mendukung penerapan
sistem manajemen HACCP menurut Codex Alimentarius Commission atau CAC
(2003) dalam General Principles of Food Hygiene mencakup : Desain bangunan,
fasilitas dan peralatan produksi, Pengendalian proses produksi atau operasi
(Pengendalian bahaya, sistem pengendalian higiene, persyaratan bahan mentah,
pengemasan, pengolahan air, manajemen dan supervisi, dokumentasi dan
rekaman, prosedur penarikan produk), Pemeliharaan (Maintenance) dan Sanitasi
(Pemeliharaan dan pembersihan, program pembersihan, sistem pengendalian
hama dan penyakit menular, pengelolaan dan pengolahan limbah, dan keefektifan
pemantauan), Higiene/kebersihan personil/karyawan (Status kesehatan karyawan,
kebersihan personil, tingkah laku personil, prosedur penerimaan
tamu/pengunjung), Transportasi (Persyaratan, penggunaan dan pemeliharaannya),
Informasi Produk dan Kesadaran (Identifikasi lot, informasi produk, labelling),
dan pendidikan konsumen; serta Pelatihan.

E. PRINSIP HACCP DAN IMPLEMENTASINYA DALAM INDUSTRI


PANGAN

1. Definisi dan Terminologi HACCP


HACCP atau hazard analysis critical control point adalah suatu
pendekatan sistem manajemen yang bersifat sistematis untuk mengidentifikasi,
mengevaluasi, dan mengendalikan bahaya-bahaya keamanan pangan (NACMCF,
1998). Pendekatan sistem manajemen keamanan pangan ini pertama kali dimulai
dalam tahun 1960-an oleh perusahaan industri pengolah pangan Pillsbury
company yang bekerja sama dengan NASA (National Aeronatics and Space of
America) untuk memasok/mensuplai produk pangan yang diperlukan oleh para
astronotnya dalam program ruang angkasanya (Stevenson, 1999). Konsep asli
awalnya sistem HACCP sendiri terdiri tiga prinsip, yaitu : prinsip pertama,
identifikasi dan pengkajian bahaya yang berhubungan dengan pemanenan hingga
penyediaannya; prinsip kedua, penentuan titik kendali kritis dan batas kritis untuk

40
mengendalikan bahaya yang terdidentifikasi; dan prinsip ketiga, menetapkan
sistem prosedur untuk memantau titik kendali kritis (Bauman, 1995).
Selanjutnya, konsep sistem HACCP ini dari tiga prinsip diperluas oleh the
internasional commission on microbiological specifications for foods atau ICMSF
(1988) dan national advisory committee on microbiological criteria for foods atau
NACMCF (1989) menjadi tujuh prinsip. NACMCF membuat konsep sistem
HACCP menjadi lebih ringkas (concise), ada bagian yang dihilangkan, direvisi
dan penambahan definisi, termasuk bagian baru yang disebut sebagai program
persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs, adanya pendidikan dan
pelatihan, serta implementasi dan pemeliharaan rencana/rancangan HACCP-nya.
Sejak saat itu, HACCP telah diusulkan secara kuat sebagai sistem pendekatan
manajemen keamanan pangan yang efektif untuk pencegahan preventif bahaya-
bahaya keamanan pangan oleh kelompok-kelompok ilmuwan nasional dan
internasional, korporasi, lembaga pemerintah dan perguruan tinggi/universitas
serta lembaga penelitian dan pengembangan (Pierson, 1995). Selanjutnya, codex
alimentarius commission (CAC) yang tergabung dalam WHO/FAO dan
NACMCF merevisi dan memperhalus penjelasan prinsip-prinsip HACCP serta
memberikan suatu pedoman (guidelines) yang dapat digunakan dalam penerapan
prinsip-prinsip HACCP pada berbagai industri pengolahan pangan. Saat ini,
komisi gabungan Codex yang berasal dari WHO/FAO telah mengadopsi versi
terakhir pedoman penerapan sistem HACCP yang memasukkan gagasan
NACMCF (FAO/WHO, 1997).
Menurut Motarjeni et al (1996) dan Stevenson (1990), HACCP merupakan
sistem manajemen pengawasan dan pengendalian keamanan pangan secara
preventif yang bersifat ilmiah, rasional, sistematis dan komprehensif dengan
tujuan mengidentifikasi, memantau atau memonitor dan mengendalikan bahaya
(hazard) mulai dari bahan baku, proses produksi/pengolahan, manufakturing,
penanganan dan penggunaan bahan pangan; untuk menjamin bahwa pangan
tersebut aman bila dikonsumsi. Dengan demikian, dalam sistem HACCP, bahan
atau materi yang dapat membahayakan keselamatan manusia atau yang merugikan
ataupun yang dapat menyebabkan produk pangan tidak dikehendaki; diidentifikasi
dan dikaji dimana kemungkinan besar terjadinya kontaminasi atau kerusakan

41
produk pangan mulai dari penyediaan bahan baku, selama tahap proses
pengolahan hingga sampai distribusi dan penggunaannya.
Sistem HACCP bersifat rasional atau logis, karena pendekatannya
didasarkan pada data historis tentang penyebab suatu penyakit yang timbul
(illness) dan kerusakan pangannya (spoilage). HACCP dikatakan bersifat
sistematis, karena sistem HACCP merupakan rencana yang teliti dan cermat serta
meliputi kegiatan operasional tahap demi tahap, prosedur dan ukuran kriteria tindakan
pencegahan/pengendaliannya. Sedang sistem HACCP juga disebut bersifat
kontinyu, karena apabila ditemukan atau terjadi suatu masalah maka dapat segera
melaksanakan tindakan koreksi untuk memperbaikinya (Bryan, 1990). Disamping
itu, sistem HACCP dikatakan bersifat komprehensif, karena sistem HACCP ini
berkaitan erat dengan ramuan/ingredien pangan, proses pengolahan dan tujuan
penggunaan produk pangan selanjutnya (Stevenson, 1999).
Dalam beberapa kamus bahasa Inggris disebutkan bahwa istilah bahaya
(hazard) dan risiko (risk) kurang lebih hampir sama atau bersinonim. Dalam
istilah HACCP, bahaya (hazard) didefinisikan sebagai suatu yang berpotensi
menyebabkan kerusakan atau bahaya. NACMCF (1997) dan CAC (1997)
mendefinisikan bahaya sebagai suatu agen biologis, kimia dan fisik yang
berpotensi menyebabkan sakit (illness) atau cedera (injury) sebagai akibat dari
tidak adanya pengendalian. Sedang risiko (risk) adalah peluang kemungkinan
terjadinya suatu bahaya.
Sampai saat ini sistem HACCP telah dan sedang dikaji untuk diadopsi atau
diterapkan dalam peraturan/hukum di beberapa negara. Di EU (European Union),
HACCP telah diadopsi melalui peraturan the Directive 93/43 pada tahun 1993
(Ziggers, 2000). Di Amerika Serikat, sistem HACCP telah dimandatorikan dalam
industri pengolahan ikan tahun 1995, untuk industri daging dan ternak unggas
pada tahun 1998 dan untuk industri pembuatan sari buah (juice) pada tahun 2001
(FDA, 2001). Di Indonesia, melalui BSN (Badan Standardisasi Nasional) telah
memutuskan untuk mengadopsi sistem HACCP (CAC HACCP System :
Guidelines for application) menjadi SNI 01-4852-1998 (Sistem Analisa Bahaya
dan Pengendalian Titik Kritis/HACCP – serta Pedoman Penerapannya) dan telah
menetapkan panduannya, yaitu Pedoman BSN 1004-1999 tentang panduan

42
penyusunan rencana sistem analisis bahaya dan pengendalian titik kritis – HACC
P (Suprapto, 1999).
Menurut Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan (1996), dinyatakan bawa
tujuan umum HACCP adalah meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara
mencegah atau mengurangi kasus keracunan dan penyakit melalui pangan, sedang
tujuan khusus HACCP adalah : (1) Mengevaluasi cara memproduksi pangan
untuk mengetahui bahaya yang mungkin timbul dari makanan, (2) Memperbaiki
cara memproduksi pangan dengan memberi perhatian khusus terhadap tahap-
tahap proses yang dianggap kritis, (3) Memantau dan mengevaluasi cara-cara
penanganan dan pengolahan pangan serta penerapan sanitasi dalam memproduksi
pangan, dan (4) Meningkatkan inspeksi mandiri terhadap industri pangan oleh
operator dan karyawan. Disamping itu, HACCP sangat berguna bagi industri
pangan, yaitu dalam hal : mencegah penarikan produk, mencegah penutupan
pabrik, meningkatkan jaminan keamanan produk pangan, pembenahan dan
pembersihan pabrik, mencegah kehilangan pembeli atau pasar, meningkatkan
kepercayaan konsumen dan mencegah pemborosan biaya atau kerugian yang
mungkin timbul karena masalah keamanan produk pangan.

2.Prinsip HACCP dan Implementasinya Dalam Industri Pangan


Sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan hazard analysis critical
control point (HACCP) pada dasarnya terdiri dari tujuh prinsip sebagai berikut :
(CAC, 1997; Ditjen POM, 1996; NACMCF, 1999) : (1) Analisis bahaya dan
penetapan risiko, yaitu identifikasi secara hati-hati bahaya yang mungkin
timbul/terdapat pada bahan pangan , mulai dari pemanenan bahan mentah dan
ingredien, pengolahan, distribusi, pengangkutan dan konsumsi pangan; (2)
Identifikasi titik kendali kritis atau CCP (critical control point), yaitu suatu titik,
proses atau prosedur yang jika pengendaliannya kurang baik akan menimbulkan
risiko bahaya keamanan pangan yang tinggi; (3) Penetapan batas kritis yang harus
dipenuhi untuk setiap CCP yang telah ditentukan/teridentifikasi; (4) Penetapan
prosedur pemantauan untuk setiap CCP yang perlu dimonitor; (5) Menentukan
tindakan koreksi (corrective action) yang segera diambil untuk memperbaiki
sistem jika terjadi penyimpangan pada batas kritisnya; (6) Penetapan dan

43
pengembangan sistem dokumentasi yang efektif terhadap catatan operasi (record-
keeping) dan merupakan bagian dari dokumen rancangan HACCP; dan (7)
Penetapan prosedur verifikasi yang menunjukkan bahwa sistem HACCP telah
berjalan dengan baik.
Untuk menerapkan dan mengembangan sistem HACCP dalam industri
pangan, tahap pertama yang harus dilakukan oleh setiap industri pangan adalah
perlu adanya komitmen dan manajemen kepemimpinan perusahaan industri
pangan dengan fokus keamananan pangan serta pemenuhan terhadap persyaratan
kelayakan dasar sistem HACCP. Adanya komitmen dan manajemen
kepemimpinan dari perusahaan industri pangan berarti dari pihak manajemen
puncak hingga seluruh karyawan/staf yang terlibat, dalam proses produksi pangan
harus mendukung dan melaksanakan program keamanan pangan yang
dicanangkan dalam kebijakan perusahaannya. Tanpa adanya komitmen dan
manajemen kepemimpinan yang baik, program tersebut tidak akan berhasil
dilaksanakan.
Persyaratan kelayakan dasar untuk penerapan sistem HACCP yang sangat
penting untuk diperhatikan oleh pemilik atau pimpinan atau penanggung jawab
manajemen perusahaan industri pangan adalah pemenuhan terhadap persyaratan
cara produksi pangan yang baik atau good manufacturing practice (GMP)
termasuk higiene dan sanitasinya (IFST, 1991). Salah satu buku petunjuk yang
dipakai sebagai acuan untuk memenuhi persyaratan GMP ini di Indonesia adalah
buku "pedoman penerapan cara produksi pangan yang baik" oleh Departemen
Kesehatan (Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan, 1996). Aspek-aspek yang
perlu diperhatikan meliputi : pengadaan bahan mentah, disain bangunan dan
fasilitas pabrik, proses pengolahan pangan, bahan pengemas, mutu produk akhir,
keterangan produk, higiene dan kesehatan karyawan, pemeliharaan fasilitas dan
program sanitasi, penyimpanan, transportasi, laboratorium dan pemeriksaan,
manajemen dan pengawasan, dokumentasi/pencatatan dan penarikan produk
(recall) serta pelatihan dan pembinaan karyawan.
Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP (Hazard
Analysis Critical Control Point) dalam industri pangan menurut standar
NACMCF (1997) dan CAC (1997) disajikan secara ringkas pada Tabel 9.

44
Tabel 9. Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP dalam industri
pangan menurut standar NACMCF (National Advisory Committee on
Microbilogical Criteria for Foods) dan CAC (Codex Alimentarius
Commission) (*)
No. Kegiatan yang dilakukan untuk penerapan dan Keterangan
pengembangan sistem HACCP
1. Penyusunan tim HACCP dan penentuan lingkup Langkah pendahuluan
penerapan sistem HACCP pertama
2. Penyusunan deskripsi produk dan metode distribusinya Langkah pendahuluan
kedua
3. Penyusunan deskripsi tujuan penggunaan produk Langkah pendahuluan
pangan ketiga
4. Penyusunan diagram alir proses produksi secara lengkap Langkah pendahuluan
keempat
5. Verifikasi diagram proses produksi (on-site) di lapangan Langkah pendahuluan
kelima
6. Penyusunan dan penentuan semua bahaya yang Prinsip HACCP
berkaitan dengan setiap langkah proses atau pembuatan pertama
tabel analisis bahaya dan penentuan tindakan untuk
pengendaliannya
7. Penentuan titik kendali kritis atau critical control point Prinsip HACCP kedua
(CCP)
8. Penentuan batas kritis untuk setiap CCP Prinsip HACCP ketiga
9. Penetapan prosedur pemantauan untuk setiap CCP Prinsip HACCP
keempat
10. Penyusunan rencana tindakan koreksi untuk setiap Prinsip HACCP kelima
kemungkinan penyimpangan atau ketidaksesuaian
11. Penyusunan prosedur perekaman dan dokumentasi Prinsip HACCP
sistem HACCP keenam
12. Penyusunan prosedur verifikasi sistem HACCP Prinsip HACCP
ketujuh
(*) Sumber : NACMCF (1997) dan CAC (1997).

Langkah-langkah 1 sampai dengan 5 pada Tabel 9 tersebut merupakan


langkah pendahuluan penerapan dan pengembangan sistem HACCP. Dalam hal
ini, perusahaan industri pengolah pangan perlu menyusun tim HACCP terlebih
dahulu. Tim bisa berjumlah 3-5 orang atau lebih (tergantung besar kecil dan ruang
lingkup kegiatan industri pangan) dan tim ini sebaiknya berasal dari berbagai
disiplin ilmu serta pernah mendapat pelatihan sistem HACCP. Anggota tim
HACCP tidak perlu dibatasi dan dapat berasal dari bagian : produksi,
pengendalian mutu atau quality control (QC), jaminan mutu atau quality
assurance (QA), manufakturing, keteknikan (engineering), penelitian dan
pengembangan atau research and development (R & D) serta sanitasi. Tim
HACCP merupakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan dan

45
pengalaman di bidang pekerjaannya masing-masing sehingga informasi teknis dan
masukan atau input dari mereka bermanfaat untuk mengembangkan sistem
HACCP secara efektif dan benar. Bila tim belum pernah mendapat pelatihan
sistem HACCP, sebaiknya diberi pelatihan terlebih dahulu baik melalui program
pelatihan di luar perusahaan (eksternal) ataupun pelatihan di dalam perusahaan
(internal). Tujuannya supaya anggota tim HACCP tersebut mampu dan kompeten
menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP dalam perusahaan industri
pangan yang bersangkutan. Bila perlu dapat juga memanfaatkan jasa konsultan
(tenaga ahli) yang sudah berpengalaman dalam menerapkan dan mengembangkan
sistem HACCP.
Deskripsi produk pangan yang dihasilkan oleh industri pangan dan cara
distribusinya diusahakan disusun secara lengkap (langkah pendahuluan ke-2) dan
didiskusikan oleh anggota tim HACCP. Deskripsi produk mencakup : nama
produk, bahan baku, uraian singkat proses pengolahan, pengemasan, daya simpan
atau keawetan produk, sistem penjualan, instruksi pada label, metode distribusi, target
pengguna, serta informasi lain yang sekiranya diperlukan. Sedangkan deskripsi
tujuan penggunaan produk perlu dijelaskan, misalnya dikonsumsi langsung
(ready-to-eat atau ready-to-drink), dimasak terlebih dahulu, dan sebagainya.
Langkah pendahuluan selanjutnya adalah penyusunan diagram alir proses
produksi pada industri pangan secara lengkap. Diagram alir proses ini harus
dibuat lengkap dari penerimaan bahan di pabrik, bahan penolong untuk keperluan
pengolahan pangan, dan bahan pengemas yang dipakai sampai dengan
penyimpanan produk dan distribusinya. Kemudian, diagram alir proses harus
diverifikasi di lokasi proses produksi agar mencerminkan keadaan/kondisi yang
ada di lapangan (NACMCF, 1999).
Langkah berikutnya adalah penerapan prinsip-prinsip HACCP mulai dari
prinsip pertama HACCP sampai dengan prinsip ketujuh HACCP. Langkah
penerapan prinsip pertama adalah tim HACCP yang dibentuk menganalisis dan
mendaftar semua potensi bahaya (biologis, kimia, fisik) yang mungkin timbul
pada setiap titik/tahap proses pengolahan pangannya beserta menentukan cara
pencegahan/pengendaliannya (preventive measure). Menurut NACMCF (1999)

46
ataupun CAC (1997). Tujuan dilaksanakannya analisis bahaya ini adalah untuk
mengembangkan suatu daftar bahaya yang beberapa di antaranya diketahui nyata
(signifikan) dapat menyebabkan cidera atau sakit bila tidak dikendalikan secara
efektif, sedang proses analisis bahaya itu sendiri terdiri atas dua tahap, yaitu :
identifikasi bahaya dan evaluasi bahaya.
Bahaya (hazards) didalam konteks keamanan pangan menurut Mortimore
dan Wallace (1995) adalah perangkat biologis, kimiawi, dan fisik yang dapat
menyebabkan pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi manusia dan dapat
menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. International Commission of
Microbiological Specifications for Food (ICMSF, 1992) membagi bahaya biologi
berdasarkan tingkat risiko bahaya, yaitu Grup I yang mempunyai bahaya besar,
grup II mempunyai tingkat bahaya sedang tetapi bahaya penyakit yang
ditimbulkannya berpotensi untuk meyebar, dan grup III yang mempunyai tingkat
bahaya sedang dengan penyebarannya yang terbatas. Jenis-jenis bahaya
mikrobiologis tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Bahaya mikrobiologis (mikroba, virus dan parasit) yang dibagi berdasarkan
risiko keparahan bahayanya (*).
Bahaya Tinggi (Grup I) Bahaya Sedang , Potensial Bahaya Sedang, Terbatas
menyebar (Grup II) Penyebarannya (Grup III)
Clostridium botulinum tipe A, B, Listeria monocytogenes Bacillus cereus
E dan F
Shigella dysenteriae Salmonella sp Campylobacter jejuni
Salmonella typhii, paratyphy A, Shigella sp Clostridium perfringens
B
Virus Hepatitis A dan E Enterovirulent Escherichia coli Staphyloccus aureus
(EEC)
Brucella abortis; B. suis Streptococcus pyrogenes Vibrio cholerae, non O1
Vibrio cholerae O1 Rotavirus Vibrioparahaemolyticus
Vibrio vulnivicus Norwalk virus grup Yersinia enterocolotica
Taenia solium Entamoeba histolytica Giardia lamblia
Trichinella spiralis Diphyllobothrium latum Taenia saginata
Ascaris lumbricoides
Cryptosporodium parvum
(*) Sumber : ICMSF (1992).

Menurut Cliver (1992) bahaya kimia dalam makanan dibagi menjadi dua
macam, yaitu yang secara alami terjadi dan kedua bahan kimia yang ditambahkan
dengan sengaja. Bahan yang tidak disengaja ditambahkan berasal dari
residu/kontaminan dari bahan yang bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan
produksi, bahan mentah pada penanganan yang terus terbawa sampai saat

47
dikonsumsi, terdapat pada bahan pangan (sedikit atau banyak) akibat perlakuan
selama proses produksi, pengolahan dan pengemasan, sisa pestisida, pupuk,
antibiotik, herbisida dan logam berat; sedangkan yang sengaja ditambahkan
misalnya bahan pengawet, antioksidan, pengemulsi dan penstabil, pewarna,
penguat rasa, humektan, pewangi, pengasam, pemanis, pemutih, enzim, penambah
nilai gizi dan lain-lain. Bahan-bahan kimia yang berbahaya pada pangan dapat
dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Bahan kimia berbahaya pada pangan (*)
Sumber Bahan Kimia Jenis Bahan Kimia Berbahaya
Terbentuk secara tidak sengaja - Mikotoksin
- Skrombotoksin (histamin)
- Ciguatoksin
- Toksin jamur
- Toksin kerang : toksin paralitik (PSP), toksin diare (DSP),
neurotoksin (NSP), toksin amnesik (ASP)
- Alkaloid pirolizidin
- Fitohemaglutinin
- PCB (polychlorinated biphenyl)
Ditambahkan secara sengaja - Bahan kimia pertanian : pestisida, fungisida, pupuk, insektisida,
atau tidak sengaja antibiotik, hormon pertumbuhan
- Logam berbahaya (Pb, Zn, As, Hg, sianida)
- Bahan tambahan (jumlah terbatas) : pengawet (nitrit dan sulfit),
perangsang cita rasa (MSG), penambah gizi (niasin), bahan pewarna
(amaranth, methanyl yellow, rhodamin B), bahan pemanis
- Bahan bangunan dan sanitasi : lubrikan, pembersih, sanitaiser, pelapis
cat.
(*) Sumber : Fardiaz (1996).

Bahaya fisik didefinisikan sebagai benda asing yang berbentuk fisik yang
secara normalnya tidak terdapat dalam pangan dan dapat menimbulkan penyakit
(termasuk trauma psikologis) atau luka terhadap individu (Corlett, 1992). Sumber
bahaya fisik antara lain berasal dari bahan mentah air, gedung, peralatan, material
gedung dan pekerja. Bahaya yang terkait dengan bahaya fisik dapat dilihat pada Tabel
12. Selain bahaya fisik di atas, bahaya fisik lainnya meliputi rambut, kotoran,
kelupasan cat, karat, debu dan kertas (Pierson dan Corlett, 1992).
Bahaya kimia sangat dikenali oleh sebagian besar konsumen, padahal pada
kenyataannya memberikan risiko kesehatan tidak cukup fatal dan umumnya
memberikan pengaruh dalam waktu yang panjang. Bahaya biologis lebih besar,
kemungkinan bahaya yang ditimbulkannya dalam bentuk keracunan pangan/
makanan. Adapun bahaya fisik sangat mudah dikenali dan dihindari oleh
konsumen (Thaheer, 2005).

48
Tabel 12. Material utama yang menyebabkan bahaya fisik (*)
Material Bahaya Potensial Sumber
Gelas Terpotong, berdarah, luka dan Botol, wadah, lampu, peralatan
mungkin memerlukan operasi untuk pengolahan
menghilangkannya
Kayu Terpotong, infeksi, tercekik dan Pallet, boks, gedung, pohon/ ranting
mungkin memerlukan operasi untuk
menghilangkannya
Batu/kerikil Tercekik, gigi patah Lapangan, gedung
Logam Terpotong, infeksi, mungkin perlu Mesin pengolahan lapangan, kawat,
operasi untuk menghilangkannya pekerja
Serangga dan kotorannya Penyakit, trauma psikologis dan Lapangan, peralatan yang sudah
tercekik lama tidak digunakan, gudang
Bahan insulasi Tercekik, penggunaan asbes dalam Material bangunan
waktu lama
Potongan tulang Tercekik, trauma Lapangan, proses pengolahan
(pemisahan tulang yang tidak benar)
Plastik Tercekik, terpotong, infeksi, mungkin Lapngan, bahan pengemas, pallet,
memerlukan operasi untuk pekerja
menghilangkannya
Bagian tubuh (kuku, Tercekik, terpotong, gigi patah dan Pekerja/karyawan
rambut, bulu, dan lain- mungkin perlu operasi untuk
lain) menghilangkannya
Sisik, kulit Tercekik Pembersihan sisik ikan dan
pengulitan hewan secara tidak benar
(*) Sumber : Corlett (1992)

Identifikasi bahaya kadang-kadang atau seringkali dilakukan dengan cara


mengumpulkan bahan-bahan informasi dari peraturan pemerintah, undang-undang
yang berlaku, hasil penelitian dari lembaga/instansi yang kompeten di bidangnya oleh
tim HACCP dan selanjutnya tim HACCP akan meninjau atau mengkaji ulang tentang
: bahan baku dan/atau ingredien yang digunakan dalam produk, aktivitas yang
dilakukan pada setiap langkah proses pengolahan, peralatan yang digunakan untuk
membuat/ menghasilkan produk pangan, cara penyimpanan dan distribusi, serta
tujuan penggunaan produk dan konsumen yang memanfaatkannya. Sedang evaluasi
bahaya dilakukan setelah bahaya-bahaya yang teridentifikasi tersebut dievaluasi
berdasarkan dua faktor, yaitu berdasarkan tingkat keparahannya menyebabkan sakit
atau cidera dan peluang kemungkinan terjadinya bahaya tersebut (Bernard et al,
1999). Bahkan analisis bahaya ini diperlukan sebagai dasar penyediaan informasi
penentuan titik kendali kritis atau CCP (critical control point).
Untuk menentukan risiko atau peluang tentang terjadinya suatu bahaya
pada produk pangan, maka dapat dilakukan penetapan kategori risiko. Kategori
risiko bahaya pada produk pangan ada enam bahaya, yaitu bahaya A sampai F

49
disajikan pada Tabel 13, sedang penetapan kategori risiko produk dapat dilihat
pada Tabel 14.
Tabel 13. Karakteristik Bahaya Pada Produk Pangan (*)
Kelompok Bahaya Karakteristik Bahaya
Bahaya A Produk-produk pangan yang tidak steril dan dibuat untuk konsumsi
kelompok berisiko tinggi (lansia, bayi, immunocompromised)
Bahaya B Produk mengandung ingredient yang sensitif terhadap bahaya biologi, kimia
atau fisik
Bahaya C Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang terkendali, yang secara efektif
membunuh mikroba berbahaya atau menghilangkan bahaya kimia atau fisik
Bahaya D Produk mungkin mengalami rekontaminasi setelah pengolahan sebelum
pengemasan
Bahaya E Ada potensi terjadinya kesalahan penanganan selama distribusi atau oleh
konsumen yang menyebabkan produk berbahaya
Bahaya F Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah pengemasan atau di tangan
konsumen, atau tidak ada pemanasan akhir atau pemusnahan mikroba
setelah pengemasan sebelum memasuki pabrik (untuk bahan baku), atau
tidak ada cara apapun bagi konsumen untuk mendeteksi, menghilangkan
atau menghancurkan bahaya kimia atau fisik
(*) Sumber : NACMCF (1995)

Tabel 14. Penetapan Kategori Risiko Produk (*)


Produk Berisiko Tinggi Produk Berisiko Sedang Produk Berisiko Rendah
. Produk-produk yang . Produk-produk kering atau . Produk asam (nilai pH di bawah
mengandung ikan, telur, beku yang mengandung 4,6) seperti pikel, buah-buahan,
sayur, serealia dan/atau ikan, daging, telur, sayuran konsentrat buah, sari buah dan
ingredien susu yang perlu atau serealia dan atau minuman asam
direfrigerasi ingredien atau penggantinya
dan produk lain yang tidak
termasuk dalam regulasi
higiene makanan
. Daging, ikan mentah dan . Sandwich dan kue pies . Sayuran mentah yang tidak
produk-produk olahan daging untuk konsumsi diolah dan tidak dikemas
susu segar
. Produk-produk dengan . Produk-produk berbasis . Selai (jam), marmelade dan
nilai pH 4,6 atau di atasnya lemak misalnya coklat, conserves
yang disterilisasi dalam margarin, spreads, mayones
wadah yang tertutup secara dan dressing
hermetis
. Produk-produk konfeksioneri
berbasis gula
. Minyak dan lemak
(*) Sumber : NACMCF (1995).

Dari beberapa banyak bahaya yang dimiliki oleh suatu bahan baku,
ingredien pangan dan produk pangan, maka National Advisory Committee on
Microbiological Criteria for Foods (1995) mengelompokkan kategori risiko

50
bahaya dalam enam kategori, yaitu kategori risiko I sampai dengan VI seperti
yang tercantum pada Tabel 15 berikut.

Tabel 15. Penetapan Kategori Risiko Suatu Bahan Pangan (*)


Karakteristik Bahaya Kategori Jenis Bahaya
Risiko
0 0 Tidak mengandung bahaya A sampai F
(+) I Mengandung satu bahaya B sampai F
(++) II Mengandung dua bahaya B sampai F
(+++) III Mengandung tiga bahaya B sampai F
(++++) IV Mengandung empat bahaya B sampai F
(+++++) V Mengandung lima bahaya B sampai F
A+ (Kategori khusus) VI Kategori risiko paling tinggi (semua produk
dengan atau tanpa bahaya B- yang mempunyai bahaya A)
F
(*) Sumber : NACMCF (1995).

Setelah bahaya-bahaya tersebut teridentifikasi, dengan menggunakan


petunjuk yang disebut "diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis"
(Gambar 2), maka tim HACCP dapat menentukan pada tahap atau titik mana yang
ditetapkan sebagai titik kendali kritis atau CCP (critical control point). NACMCF
(1999) dan CAC (1997) mendefinisikan titik kendali kritis atau CCP sebagai suatu
titik lokasi/tahap atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan penting
untuk mencegah atau mengeliminasi atau mengurangi bahaya keamanan pangan
hingga tingkat yang dapat diterima. Beberapa contoh pada tahap produksi pangan
yang dapat dikatakan sebagai CCP misalnya : proses thermal, pendinginan
(chilling), pembekuan (freezing), pengujian ingredien untuk residu bahan kimia,
pengendalian formulasi produk, dan pengujian produk terhadap kontaminasi
logam. Oleh karena itu, CCP harus dikembangkan dan didokumentasikan dengan
baik oleh tim HACCP.
Setelah CCP ditetapkan, tim HACCP pada industri pangan harus
menetapkan batas kritisnya, karena batas kritis pada titik kendali kritis atau CCP
menujukkan batas keamanan pangan. NACMCF (1999) mendefinisikan batas
kritis sebagai nilai toleransi maksimal dan/atau minimal parameter biologi, kimia atau
fisik yang ditetapkan dan harus dipenuhi untuk mengendalikan bahaya tersebut
pada CCP secara efektif sampai tingkat yang dapat diterima. Beberapa

51
contoh batas kritis yang perlu ditetapkan dan harus dipenuhi sebagai alat tindakan
pengendalian/pencegahan bahaya dalam industri pengolahan pangan misalnya
adalah : suhu dan waktu maksimal yang ditetapkan untuk proses kecukupan
thermal, suhu maksimal untuk menjaga kondisi pendingin-an/pembekuan, jumlah
maksimal residu pestisida yang diperkenankan ada dalam bahan pangan, pH
maksimal yang diperkenankan pada tahap proses formulasi bahan dan batas maksimal
penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang digunakan dalam proses
produksi pangan.

52
Apakah ada tindakan pengendalian Lakukan modifikasi tahapan
P1 dalam proses atau produk
terhadap bahaya yang diidentifikasi ?

Ya Tidak

Apakah pengendalian pd langkah


ini perlu untuk pengamanan ? Ya

Bukan Berhenti *)
Tidak CCP

Apakah langkah tsb dirancang khusus/


P2 spesifik untuk menghilangkan atau Ya
mengurangi bahaya yg mungkin terjadi
sampai ke tingkat yg dapat diterima ? (**)

Tidak

Dapatkah kontaminasi dgn bahaya yg


teridentifikasi terjadi melebihi batas yg dpt
P3 diterima atau dapatkah ini meningkat/
berkembang sampai tingkatan yg tdk dapat
diterima ?

Ya Tidak Bukan CCP Berhenti *)

Apakah langkah/tahapan berikutnya dpt Ya


menghilangkan bahaya yg teridentifikasi Bukan
P4 atau mengurangi tingkatan kemungkinan Berhenti *
CCP
terjadinya bahaya sampai ke tingkat yg dpt
diterima ? **)

Titik Kendali
Tidak Kritis (CCP)

* ) Identifikasi bahaya dalam menggambarkan proses


** ) Tingkatan yang dapat diterima & tidak dapat diterima yang diperlukan didefinisikan dalam
semua tujuan mengidentifikasi CCP dalam rencana HACCP

Gambar 2. Diagram alir bagan penentuan titik kendali kritis atau CCP (Sumber : BSN,
1998; Codex Alimentarius Commission/CAC, 1997)

53
Langkah penerapan selanjutnya adalah pemantauan (monitoring) terhadap
titik kendali kritis dan batas kritisnya. Monitoring/pemantauan menurut
NACMCF (1999) merupakan rencana pengawasan dan pengukuran
berkesinambungan untuk mengetahui apakah suatu CCP dan batas kritisnya dalam
keadaan terkendali dan menghasilkan catatan (record) yang tepat untuk digunakan
dalam tahap verifikasi berikutnya. Kegiatan monitoring ini mencakup : (1)
Pemeriksaan apakah prosedur penanganan dan pengolahan pada CCP dapat
dikendalikan dengan baik; (2) Pengujian atau pengamatan terjadwal terhadap
efektifitas suatu proses untuk mengendalikan CCP dan batas kritisnya; dan (3)
Pengukuran dan pengamatan batas kritis untuk memperoleh data yang teliti
dengan tujuan untuk menjamin bahwa batas kritis yang ditetapkan dapat
menjamin keamanan produk (Corlett, 1991).
Cara dan prosedur monitoring untuk setiap CCP perlu diidentifikasi oleh
tim HACCP agar dapat memberi jaminan bahwa proses pengendalian pengolahan
produk pangan masih dalam batas kritisnya dan menjamin tidak ada bahayanya.
Idealnya, pemantauan/monitoring pada CCP dilakukan secara kontinyu hingga
dicapai tingkat kepercayaan 100% sehingga efektif dalam memberi jaminan
keamanan pangan terhadap produk pangan yang dihasilkan. Namun bila hal ini
tidak memungkinkan, dapat dilakukan pemantauan secara tidak kontinyu dengan
syarat terlebih dahulu harus ditetapkan interval waktu yang sesuai sehingga keamanan
benar-benar terjamin.
Kegiatan pemantauan/monitoring terhadap CCP dan batas kritisnya
mencakup, yaitu : apa (what) yang dipantau, dimana (where) tempat dilakukan
pemantauan, bagaimana (how) cara melakukan pemantauan, kapan (when)
pemantauan dilakukan dan siapa (who) orang yang melaksanakan tindakan
pemantauan (Gombas et al, 2000).
Langkah penerapan berikutnya adalah menerapkan prosedur untuk
melakukan tindakan koreksi (corrective action) apabila pada CCP tersebut terjadi
penyimpangan (bias). Menurut NACMCF (1999) dinyatakan bahwa tindakan
koreksi sebaiknya mencakup beberapa unsur sebagai berikut : (a) Penentuan dan
pengoreksian penyebab terjadinya ketidaksesuaian (non-compliance), (b)
Penentuan disposisi produk yang tidak sesuai atau tidak memenuhi standar proses

54
yang ditetapkan sehingga tidak mengakibatkan potensi bahaya baru, dan (c)
Pencatatan dan pendokumentasian terhadap tindakan koreksi yang telah diambil
dengan tujuan untuk memodifikasi suatu proses atau pengembangan lainnya.
Langkah penerapan selanjutnya adalah menerapkan prosedur pencatatan
dan pendokumentasian sistem HACCP yang efektif. Dokumentasi dan rekaman
sistem HACCP sangat penting bagi industri pangan untuk keperluan kaji ulang
(review) penerapan sistem HACCP dan bagi auditor keamanan pangan untuk
mengetahui apakah rancangan HACCP-nya sudah diterapkan secara efektif dan
konsisten dalam operasionalnya.
Dokumen-dokumen dan rekaman-rekaman sistem HACCP yang
diperlukan untuk keperluan audit keamanan pangan mencakup : susunan tim
HACCP yang telah disahkan oleh pimpinan manajemen perusahaan, deskripsi
produk yang dibuat termasuk penggunaannya, diagram alir dan denah area
produksi, tabel analisis dan identifikasi bahaya, tabel penentuan CCP (critical
control point), tabel pengendalian sistem HACCP, instruksi kerja CCP, rekaman
pemantauan lainnya dan daftar amandemen atau perubahan dokumen.
Langkah penerapan berikutnya adalah tim HACCP melakukan kegiatan
verifikasi terhadap sistem HACCP. Kegiatan verifikasi tim HACCP dalam
industri pangan dapat dilakukan dengan cara mengaji ulang dan audit untuk
mencek terhadap metode, prosedur, cara uji, cara analisis dan lain-lain yang
dipraktekan di lapangan untuk mengetahui apakah sistem HACCP sudah sesuai
dengan rancangan HACCP (HACCP Plan) yang sudah disusun dan
beroperasi/bekerja dengan efektif dan benar (NACMCF, 1999). Verifikasi
menurut SNI 01-4852-1998 adalah penerapan metode, prosedur, pengujian, dan
cara pendataannya, disamping pemantauan untuk menentukan kesesuaian dengan
rencana HACCP (HACCP Plan). Dalam panduan HACCP yang dikeluarkan oleh
Codex Alimentarius Commission (CAC) yang diadopsi oleh SNI 01-4852-1998
memasukkan validasi ke dalam bagian dari verifikasi. Sementara itu, dalam
standar ISO 22000 : 2005, verifikasi disebutkan sebagai konfirmasi melalui
penyediaan bukti obyektif bahwa suatu persyaratan khusus telah terpenuhi.
Sedang, validasi ditegaskan sebagai konfirmasi melalui penyediaan bukti obyektif

55
bahwa persyaratan bagi penggunaan khusus atau penerapan telah mampu
dipenuhi.
Verifikasi yang dilakukan oleh tim HACCP mencakup berbagai kegiatan
evaluasi terhadap rancangan dan penerapan sistem HACCP, yaitu : penetapan
jadwal verifikasi yang tepat, peninjauan kembali (review) rancangan HACCP,
pemeriksaan dan penyesuaian catatan CCP dengan kondisi proses sebenarnya,
pemeriksaan penyimpangan terhadap CCP dan prosedur koreksi/perbaikan yang
harus dilakukan, pengambilan contoh dan analisis (fisik, kimia dan/atau
mikrobiologis) secara acak pada tahap-tahap yang dianggap kritis; catatan tertulis
mengenai kesuaian dengan rancangan HACCP, penyimpangan terhadap rancangan
dan tindakan koreksi/perbaikan yang dilakukan; validasi rancangan HACCP,
termasuk pemeriksaan kembali diagram alir dan CCP serta pemeriksaan kembali
modifikasi rancangan HACCP (Corlett, 1991). Selain itu, verifikasi oleh tim
HACCP dilakukan dengan cara melakukan audit internal dan kaji ulang manajemen
atau management review.
Sementara itu, jadwal kegiatan verifikasi dapat dilakukan pada saat-saat
tertentu, yaitu : (a) secara rutin atau tidak terduga untuk menjamin bahwa CCP
yang ditetapkan masih dapat dikendalikan; (b) jika diketahui bahwa produk
tertentu memerlukan perhatian khuus karena informasi terbaru tentang keamanan
pangan; (c) jika produk yang dihasilkan diketahui atau diduga sebagai penyebab
terjadinya keracunan pangan; dan (d) jika kriteria yang ditetapkan dalam
rancangan HACCP dirasakan belum mantap, atau jika ada saran/rekomendasi dari
instansi yang berwenang dan kompeten di bidang keamanan pangan.

F. KENDALA DALAM PENERAPAN SISTEM HACCP


Penerapan sistem HACCP dalam industri pangan memerlukan perubahan
sistem manajemen operasional yang harus diikuti oleh seluruh staf organisasi
perusahaan. Untuk mencapai keberhasilan penerapan sistem HACCP, program-
program HACCP memerlukan dukungan yang tepat dan sistem manajemen yang
baik, karena program HACCP tidak bekerja secara otomatis (Stevenson dan
Bernard, 1999). Namun demikian, terdapat bukti bahwa penerapan sistem
HACCP dalam industri pangan mempunyai beberapa kendala dalam

56
penerapannya. Kendala-kendala dalam penerapan sistem HACCP dalam industri
pangan dapat mencakup : kurangnya manajemen komitmen, hambatan mental
(psikologis), hambatan oraganisasi, biaya yang dikeluarkan untuk implementasi
dan operasional sumber daya sistem HACCP, pengalokasian waktu dan adanya
pemahaman konsep yang salah (misconception) tentang sistem HACCP.

1. Kurangnya Komitmen Manajemen


Program HACCP tidaklah berbeda dengan program-program manajemen
lainnya, yakni menyangkut adanya komitmen dalam pengelolaan sumber daya
manusia dan sumber daya lainnya sehingga hasilnya akan terlihat selama
penerapannya (Stevenson dan Bernard, 1999). Oleh karena itu, kurangnya
manajemen komitmen dari pihak pimpinan manajemen dapat memunculkan
masalah-masalah dan kegagalan dalam praktek penerapan sistem HACCP. Tanpa
adanya dukungan dan komitmen dari individu-individu yang terlibat dalam sistem
HACCP, menyebabkan sistem HACCP akan menjadi tidak dipraktekan dengan
baik dan HACCP tidak akan mencapai sasaran sesuai yang diharapkan sebagai
program keamanan yang dijanjikan (Mayes, 1994). Dengan demikian, agar sistem
HACCP berhasil diterapkan dalam industri pangan, harus ada komitmen yang
jelas terhadap keamanan pangan dan konsep atau filosofi sistem HACCP.
Perlu diketahui bahwa pengorganisasian dan pengelolaan program
HACCP, pihak manajemen harus komitmen untuk menyediakan dan
mengalokasikan waktu dan sumber daya yang cukup melalui pendidikan dan
pelatihan bagi penyelia (supervisor), karyawan pabrik dan personil yang
bertanggung jawab di bidang teknis tentang fungsi dan peran mereka dalam sistem
HACCP. Penting untuk dicatat/diperhatikan bahwa komitmen manajemen ini
sebagai proses yang terus berjalan (Woody et al, 1999). Bahkan setelah awal
periode pelatihan sistem HACCP, pelatihan tambahan lain yang diperlukan untuk
pengembangan dan penerapan HACCP perlu diidentifikasi dan dilakukan.
Misalnya, untuk karyawan yang bukan anggota tim HACCP, tetapi karyawan
tersebut mempunyai tanggung jawab untuk memantau CCP, melakukan prosedur
tindakan koreksi bila ada penyimpangan dan menyimpan hasil rekamannya.
Karyawan tersebut perlu diberi pelatihan agar memahami dan mengerti tidak

57
hanya apa tanggung jawabnya tetapi juga mengapa tanggung jawab tersebut
penting dan dibebankan kepada karyawan yang bersangkutan. Oleh karena itu,
pihak manajemen harus komit terhadap penyediaan waktu dan sumber daya yang
diperlukan sebelum pelatihan secara formal sistem HACCP dilakukan. Komitmen
manajemen ini harus dipelihara atau dijaga dalam rencana pengembangan sistem
HACCP dan penerapannya, serta pengkajian kembali rencana HACCP yang sudah
disusun bila program HACCP itu ingin berhasil diterapkan.

2. Hambatan Mental (Psikologis)


Hambatan mental atau psikologis biasanya ditemui terhadap para peserta
seminar atau pelatihan pada saat pengenalan sistem HACCP melaui seminar atau
pelatihan, karena mereka beranggapan dan berpikir bahwa mereka akan
mendapatkan kesulitan dalam menerapkan sistem HACCP dalam perusahaan
industri pangannya. Mereka biasanya mempunyai perasaan pesimis dengan
kondisi realistik perusahaan yang ada saat ini yang tidak memungkinkan untuk
menerapkan sistem HACCP, bila kondisi perusahaan tidak didukung oleh pihak
manajemen, misalnya perlu adanya penggantian peralatan baru untuk mendukung
sistem HACCP, masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman karyawan tentang
sistem HACCP; dan standar prosedur operasi (SOP), instruksi kerja dan lembar
catatan kerja belum dibuat. Disamping itu, hambatan psikologis lainnya adalah
kurangnya dukungan sumber keuangan dan daya beli perusahaan (Jouve, 1994),
lebih kompleksnya praktek dalam penanganan pangan (Sheppard et al, 1990) dan
kurangnya tenaga ahli di bidang teknik/rekayasa/proses dan personil dibidangnya
(Stevenson, 1990), sehingga semua hal tersebut dikatakan sebagai hambatan
mental (psikologis) dalam pengembangan sistem HACCP di industri pangan.
Namun demikian, persepsi mereka terhadap sistem HACCP menjadi gugur,
karena mereka pada prinsipnya belum memahami sistem HACCP secara jelas.
Setelah karyawan dan staf diberi pendidikan dan pelatihan berkenaan
dengan pemahaman sistem HACCP (termasuk definisi/terminologi, filosofi,
prinsip-prinsip, keuntungan dan penerapan HACCP dalam perusahaan industri
pangan), pembuatan dokumen standar prosedur operasi dan instruksi kerja serta
program kelayakan dasar, maka mereka menjadi lebih percaya diri dan lebih

58
perhatian terhadap pengendalian keamanan pangan karena dirasakan dapat lebih
menjamin keamanan produk pangannya.

3. Hambatan Organisasi
Pada awalnya, umumnya industri pangan tidak mengenal sebelumnya
suatu struktur organisasi khusus yang bertanggung jawab untuk menerapkan
sistem HACCP guna menjamin keamanan pangan produk yang dihasilkan.
Perusahaan industri pangan hanya mengenal suatu organisasi fungsional sesuai
dengan kebutuhan perusahaan industri pangan. Padahal salah satu keuntungan
sistem HACCP adalah kenyataan bahwa manajemen dalam industri pangan perlu
program organisasi standar yang bertanggung jawab terhadap keamanan pangan
yang mencakup sebagai berikut : bagian penjamin mutu dan keamanan pangan
atau bagian pengendalian mutu; bagian pendidikan dan pelatihan tentang sistem;
pengendalian proses yang ditujukan pada CCP; perbaikan mutu dan keamanan;
inspeksi selama proses produksi dan pengendalian CCP, inspeksi terhadap bahan
baku dan pengujiannya; pengujian produk akhir serta pengendalian dokumen dan
penyimpnan data rekaman.
Namun demikian, tidak berarti bahwa organisasi fungsional tidak dapat
mengelola bagian-bagian tersebut, karena dalam kenyataannya bahwa tugas-tugas
tersebut dapat didisain dan dibangun dengan baik pada setiap departemen yang
sesuai dengan lingkup tanggung jawab tugasnya. Menurut hasil studi Henson et al
(1999), dinyatakan bahwa persoalan mendasar dalam menerapkan dan
mengoperasikan sistem HACCP yang sering dijumpai adalah berkaitan dengan
penempatan personil/karyawan atau staffing. Hal ini disebabkan oleh : Pertama,
perlu adanya pelatihan kembali karyawan terutama personil di tingkat penyelia
(supervisor) dan ditingkat manajerial. Kedua, motivasi karyawan, tidak hanya
termasuk di bagian produksi saja tetapi juga personil di bagian supervisor atau
manajerial.

4. Hambatan Dalam Biaya Implementasi Dan Operasi Sistem HACCP


Untuk menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP dalam industri
pangan memerlukan biaya yang cukup besar tidaklah dipungkiri, karena adanya

59
beberapa perbaikan dalam sistem yang memerlukan biaya guna mendukung
keberhasilan penerapan sistem HACCP. Pertanyaanya adalah apa saja yang
memerlukan biaya besar untuk menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP?
Menurut hasil penelitian Henson et al (1999) dinyatakan bahwa biaya besar utama
untuk menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP terdiri dari atau mencakup
: biaya untuk konsultan dari luar, biaya investasi untuk peralatan baru, biaya untuk
pendidikan dan pelatihan karyawan, biaya untuk perubahan manajerial, biaya
untuk perubahan struktur pada pabrik dan biaya yang dikeluarkan untuk
menyelesaikan pembuatan dokumen sistem HACCP.

5. Konsepsi Yang Salah Tentang Sistem HACCP


Kendala lain yang membatasi dalam penerapan dan pengoperasian sistem
HACCP adalah adanya sejumlah kontroversi yang timbul dari konsepsi yang salah
tentang sistem HACCP. Bila konsepsi yang salah ini berlanjut hingga bertahan
lama akan dapat merusak reputasi HACCP dan akan membahayakan
keuntungannya terhadap masyarakat (Motarjemi dan kaferstein, 1999). Oleh
karena itu, sangat penting sekali untuk diklarifikasi tentang konsep yang salah ini
pada saat sistem HACCP ini sedang diperkenalkan.
Menurut Motarjemi dan Kaferstein (1999), beberapa konsepsi yang salah
yang perlu diklarifikasi adalah sebagai berikut : Pertama, HACCP dianggap
sebagai suatu metode baru yang menggantikan metode yang sebelumnya sudah
ada untuk menjamin keamanan pangan yang berdasarkan aplikasi cara praktek
higiene yang baik atau good hygiene practice. Meskipun hal tersebut memang
benar bahwa metode tradisional diketahui mempunyai kelemahan dan perbedaan
yang tajam dalam pendekatannya ke arah jaminan keamanan pangan, HACCP
tidak bisa mengganti metode tersebut. Dalam hal ini sistem HACCP dikenal
sebagai pelengkap (komplemen) metode tradisional tersebut dengan cara : (a)
Mengidentifikasi beberapa tindakan pengendalian tambahan atau yang bersifat
khusus pada pangan atau adanya pertanyaan pada saat sedang beroperasi, (b)
Menempatkan penekanan tambahan pada beberapa titik cara praktek higiene yang
baik dan bersifat sangat penting atau adanya operasi yang sedang dipertanyakan
dan perlu dipantau secara ketat, dan (c) Mengamati pengukuran tindakan koreksi

60
bila hasil pemantauan menunjukkan terjadinya hilang kendali atau lepas kendali
dan (d) Dengan memberi lebih banyak pelatihan dan tanggung jawab kepada
operatornya.
Kedua, penerapan sistem HACCP dalam industri pangan cukup kompleks dan
mencakup sejumlah dokumentasi dan penyimpanan catatan hasil perekaman yang
banyak. Biasanya setiap sistem baru awalnya kelihatan rumit, khususnya bila
personil-personil yang berkenaan menangani dengan hal tersebut tidak diberi
pelatihan secara tepat atau bila pendekatan yang digunakan untuk pelatihan belum
diadopsi. Dalam pengenalan sistem HACCP kepada perusahaan industri pengolah
pangan, sebaiknya dan penting untuk diperhatikan jangan membuat bingung
peserta pelatihan sehingga perlu penyedehanaan konsep serta menerangkan
kebutuhan dan keuntungan sistem HACCP untuk keprluan bisnis perusahaannya.
Pada tahap awal, penekanan sebaiknya difokuskan pada lima langkah/tahap
prinsip HACCP yang membuat sistem benar-benar berbeda dalam konteks
keamanan pangan. Kemudian perusahaan industri pangan perlu menyadari
kebutuhan adanya program verifikasi, penyimpanan rekaman (catatan) dan
dokumentasi. Dengan demikian, dokumen sistem HACCP tersebut perlu dilihat
sebagai alat bukti penjamin keamanan pangan yang memadai dari pada sekedar hanya
memenuhi aturan yang dibuat oleh pemerintah saja.
Ketiga, penerapan sistem HACCP perlu dukungan suatu sumber daya yang
besar. Memang benar, pada tahap awal penerapan, penerapan sistem HACCP
memerlukan sumber daya tambahan selain sumber daya yang sudah tersedia di
perusahaan industri pangan, misalnya : untuk pelatihan personil/karyawan
perusahaan, dukungan bagian teknisi untuk menjaga sistem keamanan dan
kemungkinan adanya penambahan peralatan dan bahan tambahan lain yang baru.
Tetapi, dalam jangka panjang adanya investasi baru untuk mendukung sumber
daya, peralatan dan bahan tambahan lain tersebut akan kembali terbayar dengan
menurunnya biaya untuk kasus penarikan produk yang terkontaminasi, perbaikan
dalam keamanan pangan, makin tingginya kepercayaan pelanggan terhadap
produk yang dihasilkan, dan berkurangnya keluhan dari pelanggan.
Keempat, penerapan sistem HACCP pada industri menengah-kecil pangan
tidak memungkinkan. Kenyataan menunjukkan bahwa perusahaan industri pangan

61
skala menengah-kecil pada umumnya mempunyai kesulitan dalam menerapakan
sistem HACCP. Beberapa permasalahan tersebut adalah : karena kurangnya
tenaga ahli teknis-teknologis, terutama yang berkenaan dengan personil yang bisa
melakukan analisis bahaya dan pemantauan secara tepat; makin besarnya perasaan
ketidaknyamanan mereka dalam menyimpan catatan hasil rekaman dan
dokumentasi, cepatnya karyawan perusahaan yang sering pindah ke perusahaan
lain dan makin besarnya berbagai jenis pangan yang mereka sediakan.
Menurut Jouve (1994), masalah utama yang dihadapi oleh indutri
menengah-kecil pangan dalam menerapkan sistem HACCP adalah berkaitan
dengan semakin kecilnya sumber keuangan yang dimiliki oleh perusahaan untuk
keperluan persiapan penerapan sistem HACCP (misalnya : biaya potensial
penerapan sistem HACCP relatif lebih besar dibandingkan dengan tingkat
kembalinya modal yang diinvestasikan; ketidakmampuan dan daya beli
perusahaan yang rendah untuk mengusahakan kecukupan penerapan HACCP
berpengaruh terhadap pengembangan sistem HACCP; ketidakcukupan
tersedianya sumber daya teknis, yaitu : tenaga teknis dan data ilmiah yang tepat,
kurangnya tenaga ahli khusus di bidang teknologi, mikrobiologi, kimia pangan
yang berkontribusi terhadap studi HACCP; serta terbatasnya waktu untuk
mendapatkan personil yang ahli untuk mengembangkan sistem HACCP.

62
IV. METODOLOGI

A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian terhadap persiapan kelayakan persyaratan dasar (GMP) dan


penyusunan rencana HACCP (hazard analysis critical control point) untuk
produksi mi kering ini dilakukan pada sebuah perusahaan industri pangan PT
Kuala Pangan yang berlokasi di Jl. Depan Terminal Kav. 23-25 Citeureup, Bogor.
Penelitian atau pengkajian terhadap persiapan kelayakan persyaratan dasar dan
penyusunan rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering di PT
Kuala Pangan, Citeureup-Bogor dilakukan selama 6 (enam) bulan dari awal bulan
Oktober tahun 2007 sampai dengan akhir bulan Maret tahun 2008.

B. BAHAN DAN ALAT


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : bahan baku utama
tepung terigu dan air, bahan pembantu utama garam dan tepung telur, serta bahan
tambahan pangan (BTP) yang berupa garam alkali (senyawa natrium dan kalium
karbonat) dan bahan pewarna tartrazin C1 1940. Semua bahan-bahan tersebut
diperoleh dan berasal dari perusahaan PT Kuala Pangan dan digunakan untuk
tujuan : percobaan proses produksi, sebagai sampel pengujian di laboratorium
yang sudah terakreditasi, identifikasi dan analisis bahaya, serta verifikasi dan
validasi sistem HACCP.
Selain bahan-bahan tersebut, dalam penelitian ini digunakan pula bahan-
bahan lain yang terdiri dari : (1) Check-list Form A untuk penilaian cara produksi
pangan yang baik (CPPB) yang dikeluarkan dari Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM), Jakarta; untuk mengidentifikasi pola pengendalian keamanan
pangan yang sudah ada di perusahaan dan mengetahui program persyaratan
kelayakan dasar sistem HACCP (prerequisite programs) perusahaan; (2) Lembar
kertas kerja untuk penentuan deskripsi produk; (3) Lembar kertas kerja untuk
pembuatan diagram alir proses produksi; (4) Lembar kertas kerja untuk analisis
dan evaluasi bahaya; (5) Lembar kertas kerja untuk penentuan titik kendali kritis
atau CCP (critical control point); dan (6) Lembar kertas kerja untuk pengendalian
dan pemantauan sistem HACCP atau HACCP Plan.

63
Peralatan yang digunakan dalam penelitian dan percobaan ini terdiri dari
alat-alat yang digunakan untuk proses produksi mi kering dan peralatan
laboratorium yang digunakan untuk pengujian produk mi kering yang dihasilkan.
Peralatan produksi yang digunakan untuk penelitian dan percobaan terdiri atas :
alat pencampur adonan (mixer), alat pengumpan bahan (feeder), alat pengepres
adonan untuk menjadi bentuk lembaran adonan (roll presser), alat pengukus
dalam terowongan (tunnel steamer), alat pemotong cetakan mi (cutter), alat
pengering mi (dryer), alat konveyor untuk membantu proses produksi mi, alat
pendingin dalam bentuk kipas (blower), alat pengemas produk mi dan satu set alat
pembangkit uap panas (boiler). Kesemua alat tersebut disediakan oleh perusahaan
PT Kuala Pangan. Sedangkan alat-alat laboratorium yang digunakan untuk proses
pengujian meliputi alat-alat untuk uji fisik, kimia dan mikrobiologis sebagian
disediakan oleh perusahaan PT Kuala Pangan dan sebagian alat lain menggunakan
fasilitas alat yang tersedia di laboratorium Balai Besar Industri Agro (BBIA)
Bogor.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian persiapan kelayakan persyaratan dasar atau GMP dan


penyusunan rencana HACCP untuk produksi mi kering pada PT Kuala Pangan di
Citeureup, Bogor dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1. Melakukan Evaluasi Kondisi Kelayakan Persyaratan Dasar (GMP) di
Perusahaan
Evaluasi kondisi kelayakan persyaratan dasar atau GMP di perusahaan
dilakukan dengan cara membandingkan pemenuhan persyaratan kelayakan dasar
atau good manufacturing practice (GMP) di perusahaan PT Kuala Pangan dengan
persyaratan standar kelayakan dasar yang ditetapkan oleh pemerintah (Badan
POM). Pemenuhan persyaratan kelayakan dasar (GMP) ini merupakan persyaratan
yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum menerapkan sistem HACCP di
perusahaan.
Evaluasi kondisi kelayakan persyaratan dasar dilakukan dengan cara
mengamati kondisi GMP perusahaan berdasarkan observasi di lapang,
wawancara, pengamatan keadaaan nyata perusahaan, dan pencatatan data yang

64
ada di perusahaan menggunakan check-list penilaian GMP yang berasal dari
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai sarana untuk pemeriksaan
kondisi GMP pada industri pangan di Indonesia.
Evaluasi kondisi kelayakan persyaratan dasar ini dilakukan pula untuk
membandingkan pemenuhan persyaratan kelayakan dasar atau GMP di
perusahaan terhadap kelengkapan standar prosedur operasi untuk sanitasi atau
Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) yang harus dibuat dan dipenuhi
oleh perusahaan sebelum menerapkan HACCP, yang mencakup: (a) SSOP untuk
menjaga keamanan air yang digunakan, (b) SSOP untuk menjaga kondisi dan
kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan, (c) SSOP untuk
pencegahan kontaminasi silang, (d) SSOP untuk menjaga fasilitas pencuci tangan,
sanitasi dan toilet, serta peralatan yang digunakan, (e) SSOP untuk proteksi dari
bahan-bahan kontaminan, (f) SSOP untuk pelabelan, penyimpanan dan
penggunaan bahan berbahaya (toksin) yang benar, (g) SSOP untuk pengawasan
kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi, dan (h) SSOP
untuk mencegah/menghilangkan hama dan penyakit dari unit pengolahan.
Hasil evaluasi kondisi kelayakan persyaratan dasar dan penilaian terhadap
program pemenuhan persyaratan kelayakan dasar (GMP) yang diperoleh ini dapat
menjadi bahan rujukan dan bahan masukan untuk perbaikan terhadap GMP dan
fasilitas perusahaan yang akan menerapkan sistem HACCP. Selain evaluasi
terhadap kondisi kelayakan persyaratan dasar itu, dilakukan pula identifikasi dan
analisis terhadap kendala-kendala yang dihadapi perusahaan dalam menerapkan
sistem HACCP di perusahaan.

2. Menyusun Rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi Mi Kering


Penyusunan rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering
pada PT Kuala Pangan dilakukan sesuai dengan SNI 01-4852-1998 dan Pedoman
BSN 1004-2002 dengan tahapan sebagai berikut :
a. Melakukan pelatihan sistem HACCP
Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam penyusunan rencana
HACCP adalah memberi pelatihan kepada para calon penanggung jawab dan
pelaksana sistem HACCP pada perusahaan. Peserta yang dilatih berjumlah 25

65
orang yang berasal dari bagian produksi, pengendalian mutu, teknik dan maintenance,
gudang, pembelian, dan bagian pengemasan. Model pelatihan yang diterapkan adalah
presentasi mengajar di kelas dengan cara tatap muka, tanya jawab, diskusi dan
workshop dengan materi terdiri dari : (a) Cara produksi pangan yang baik atau GMP
sebagai persyaratan kelayakan dasar dalam penerapan HACCP, (b) Keamanan
pangan dan sumber kontaminasi (fisik, kimia dan biologis/mikrobiologis), (c)
Sanitasi dan sistem pengendalian hama, (d) Prinsip HACCP dalam industri pangan,
(e) Implementasi HACCP dalam industri pangan, (f) Dokumentasi GMP dan sistem
HACCP serta Workshop penyusunan rencana HACCP atau HACCP Plan. Untuk
mengetahui tingkat pemahaman dan efektivitas pelatihan sistem HACCP dilakukan
evaluasi penilaian dengan cara memberi beberapa pertanyaan dalam bentuk pilihan
berganda dan essai pada saat sebelum dan sesudah pelatihan dilakukan sehingga
dapat diketahui tingkat pemahaman dan pengetahuan peserta. Contoh soal dan
pertanyaan untuk evaluasi terhadap peserta pelatihan dan efektifitasnya dapat dilihat
pada Lampiran 3.

b. Menetapkan Kebijakan Mutu dan Keamanan Pangan Yang Berhubungan


Dengan HACCP Plan
Pemimpin puncak (top management) PT Kuala Pangan harus menetapkan
kebijakan mutu dan keamanan pangan perusahaan. Kebijakan mutu dan keamanan
pangan merupakan pernyataan yang diungkapkan oleh pimpinan puncak/tertinggi
dari suatu organisasi PT Kuala Pangan yang berupa janji atau komitmen untuk
melaksanakan dan menegakkan serta memelihara standar mutu yang tinggi.
Kebijakan mutu dan keamanan pangan ini harus mencakup tujuan, sumber daya
yang digunakan, dan alasan manajemen jaminan mutu yang digunakan. Contoh
lembar kertas kerja pernyataan kebijakan mutu dapat dilihat pada Lampiran 4.

c. Pembentukan Organisasi Tim HACCP


Pembentukan organisasi tim HACCP sesuai dengan persyaratan SNI 01-
4852-1998 perlu melibatkan semua komponen dalam industri yang terlibat dalam
menghasilkan produk pangan yang aman, termasuk dari bagian produksi,
pengendalian mutu (QC/QA), pembelian, gudang, dan teknik dan pemeliharan

66
(maintenance). Tim HACCP sebaiknya terdiri dari individu-individu dengan latar
belakang pendidikan atau disiplin ilmu yang beragam; dan memiliki keahlian
spesifik dari bidang ilmu yang bersangkutan, misalnya ahli mikrobiologi, ahli
mesin/rekayasa proses, teknolog pangan, ahli kimia, dan lain sebagainya sehingga
dapat melakukan analisis bahaya dan menetapkan tindakan pengendalian bahaya
yang tepat dalam mengambil keputusan. Pembentukan organisasi tim HACCP
meliputi : identitas dan kualifikasi personil yang dibentuk, uraian tugas, tanggung
jawab dan wewenang tim HACCP, serta prosedur yang terkait yang menunjukkan
personil yang bertanggung jawab terhadap pengembangan, penerapan dan
berjalannya Rencana HACCP atau HACCP Plan perusahaan. Contoh lembar
kertas kerja pembentukan organisasi tim HACCP dapat dilihat pada Lampiran 5.

d. Menentukan Ruang Lingkup Penerapan Sistem HACCP


Tim HACCP yang telah dibentuk kemudian menentukan ruang lingkup
penerapan sistem HACCP. Penentuan ruang lingkup penerapan sistem HACCP di
PT Kuala Pangan ditetapkan berdasarkan kegiatan badan usaha tersebut, yaitu
mencakup lokasi, jenis jasa yang diberikan dan bidang kegiatan utama
perusahaan. Cakupannya dapat mulai dari penerimaan bahan baku, proses
produksi, distribusi, hingga penanganan produk oleh konsumen.

e. Mendeskripsikan Produk dan Metode Distribusinya


Tim HACCP yang telah dibentuk selanjutnya menyusun deskripsi atau
uraian yang lengkap dari produk pangan yang akan disusun rencana HACCP-nya.
Tahapan ini berisi tentang gambaran/kumpulan informasi lengkap mengenai
produk. Deskripsi produk yang dilakukan berupa informasi yang mencakup nama
produk, komposisi produk, formulasi, proses pengolahan atau proses produksi,
metode pengawetan, umur/daya simpan produk, standar mutu produk menurut
SNI, bahan pengemas dan cara pengemasan yang dipakai, kondisi penyimpanan,
metode distribusi serta keterangan lain yang berhubungan dengan produk. Semua
informasi tersebut diperlukan oleh Tim HACCP untuk melakukan evaluasi secara
luas dan komprehensif. Pendeskripsian produk dan metode distribusinya

67
ditetapkan dengan menggunakan lembar kertas deskripsi produk seperti yang
terlihat pada Lampiran 6.

f. Mendeskripsikan Tujuan Penggunaan produk


Pada tahapan ini, tim HACCP setelah menyusun deskripsi produk dan
metode distribusinya, perlu menuliskan siapa yang menjadi target sasaran
kelompok pengguna produk atau sasaran konsumennya dan bagaimana konsumen
yang menjadi target menggunakan produk mi kering tersebut. Deskripsi tujuan
penggunaan produk juga ditetapkan dengan menggunakan lembar kertas kerja
seperti pada Lampiran 6.

g. Menyusun Persyaratan Kelayakan Dasar (Prerequisite)


Pada tahapan ini, tim HACCP perlu menyusun dan melengkapi cara baku
yang menjelaskan bagaimana program sanitasi yang berjalan di perusahaan dapat
dipantau dan dilaksanakan. Cara baku ini dituangkan dalam bentuk matriks
model generik ringkasan sanitation standard operating procedure (SSOP) yang
mencakup : SSOP untuk pengolahan air dan cara mendapatkan air yang aman
dikonsumsi; SSOP untuk menjaga kondisi kebersihan permukaan yang kontak dengan
bahan pangan; SSOP untuk pencegahan kontaminasi silang; SSOP untuk menjaga
fasilitas sanitasi dan peralatan yang digunakan; SSOP untuk mencegah/melindungi
bahan pangan dari kontaminan; SSOP dan untuk pelabelan, penyimpanan dan
penggunaan senyawa toksik dengan benar; SSOP dan untuk pengawasan kondisi
kesehatan karyawan; dan SSOP untuk pengendalian hama dan penyakit dalam
unit pengolahan.

h. Menyusun Diagram Alir Proses


Pada tahapan ini, tim HACCP selanjutnya menyusun diagram alir proses
produksi pembuatan produk secara sistematis dengan cara mencatat seluruh
tahapan proses, sejak bahan baku diterima hingga produk siap disimpan/
dikarantina dan didistribusikan sesuai dengan Pedoman BSN 1004 : 2002. Dalam
penyusunan diagram alir ini, perlu mencantumkan pula bahan-bahan yang
digunakan selama pengolahan (bahan baku utama, air, bahan tambahan pangan,

68
pengemas dan sebagainya) dan bahan-bahan yang dihasilkan sebagai produk
sampingan (limbah, dan sebagainya) maupun produk akhir.
Diagram alir disusun dengan tujuan untuk menggambarkan keseluruhan
proses produksi. Disamping itu, selain bermanfaat untuk membantu tim HACCP
dalam melaksanakan kerjanya, dapat juga berfungsi sebagai pedoman bagi orang
atau lembaga lainnya yang ingin mengerti/memahami proses dan verifikasinya.
Contoh lembar kertas kerja untuk pembuatan diagram alir proses dapat dilihat
pada Lampiran 7.

i. Verifikasi Diagram Alir Proses Di Lapangan


Setelah menyusun diagram alir proses, tim HACCP selanjutnya
melakukan verifikasi diagram alir proses dengan cara melakukan peninjauan dan
pengamatan ketepatan proses pengolahan yang telah dibuat di lapangan, yaitu
dengan mengamati aliran proses, wawancara, pengambilan contoh, dan percobaan
namun bukan untuk produksi. Bila diagram alir proses yang dibuat ternyata tidak
tepat atau kurang sempurna, maka tim HACCP dapat melakukan modifikasi dan
perubahan terhadap diagram alir tersebut. Selanjutnya diagram alir proses yang
telah diverifikasi harus didokumentasikan dan dapat dipakai sebagai bahan
persiapan untuk analisis bahaya pada tahap berikutnya.

j. Analisis Bahaya Serta Penentuan Tindakan Pencegahannya


Pada tahapan ini, tim HACCP selanjutnya melakukan analisis bahaya yang
mencakup identifikasi dan evaluasi bahaya beserta cara-cara tindakan pencegahan
untuk mengendalikannya, dengan menggunakan Pedoman BSN 1004 : 2002.
Analisis bahaya amat penting untuk dilakukan terhadap bahan baku, komposisi
(ingredients), setiap tahapan proses produksi, penyimpanan produk, dan distribusi
hingga tahap penggunaan oleh konsumen. Tujuan analisis bahaya adalah untuk
mengenali bahaya-bahaya apa saja yang mungkin terjadi dalam suatu proses
pengolahan sejak awal hingga ke tangan konsumen.
Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap, yaitu : identifikasi potensi bahaya,
penentuan kategori risiko (peluang kejadian dan tingkat keparahan/keakutannya)
dan signifikansi bahaya, serta penetapan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk

69
pencegahannya (preventive measure). Penentuan kategori risiko atau signifikansi
bahaya ditetapkan dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Boevee
(matriks risiko Boevee atau matriks penentuan signifikansi bahaya) yang dikutip
oleh Thaheer (2005) seperti yang disajikan pada Tabel 16. Sedangkan penentuan
tingkat keseriusan mikroorganisme patogen ditetapkan dengan melihat dampaknya
terhadap kesehatan konsumen dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 16. Matriks Risiko Boevee (Matriks Penentuan Signifikasi Bahaya) (*)
Skema Ranking Risiko Berdasarkan Tingkat keparahan bahaya yang dapat ditimbulkan
(Severity of hazard) dan Peluang kemungkinan terjadinya bahaya (Probability of hazard)
Tingkat keparahan/ Peluang Kemungkinan Terjadinya Bahaya
keseriusan bahaya yang Rendah (l) Sedang (m) Tinggi (h)
dapat ditimbulkan
Tinggi (H) (Hl) Tidak (Hm) Signifikan (Hh) Sangat
Signifikan (**) Signifikan (**)
Sedang (M) (Ml) Tidak (Mm) Tidak (Mh) Signifikan
Signifikan Signifikan (**)
Rendah (L) (Ll) Tidak (Lm)Tidak (Lh) Tidak
Signifikan signifikan Signifikan
(*) Sumber : Thaheer (2005).
(**) Umumnya bila signifikan, akan diteruskan/dipertimbangkan dalam penetapan CCP.

Tabel 17. Tingkat Keseriusan Mikroorganisme Patogen (*)


Bahaya Tinggi Bahaya Sedang Bahaya Rendah
. Clostridium botulinum tipe . Listeria monocytogenes . Bacillus cereus
A, B, E dan F . Salmonella sp., Shigella sp. . Taenia saginata
. Shigella dysenteriae . Campylobacter jejuni . Clostridium perfringens
. Salmonella typhi . Enteroinvasive Escherichia coli . Staphylococcus aureus
. Salmonella paratyphi A, B (EIEC)
. Trichinella spiralis . Streptococcus pyrogenes
. Brucella militensis, B. Suis . Rotavirus, Norwalk virus grup
. Vibrio cholerae O1 . Yersinia enterocolitica
. Vibrio vulnificus . Entamoeba histolytica
. Taenia solium . Diphyllobothrium latum
. Ascaris lumricoides
. Hepatitis A dan E, Aeromonas sp.
. Brucella abortus, Giardia lamblia
. Plasiomonas shigelloides
. Vibrio parahaemolyticus

(*) Sumber : Syamsir et al (2007).

70
Oleh karena itu, dalam analisis bahaya ini, tim HACCP perlu
mempersiapkan daftar bahan mentah dan ingredient yang digunakan dalam
proses, diagram alir proses yang telah diverifikasi, cara penyimpanan, serta
persyaratan regulasi yang mendukung keamanan pangan yang telah ditetapkan
oleh pemerintah; misalnya standar nasional Indonesia (SNI) untuk tepung terigu,
SNI untuk garam dan SNI untuk produk mi kering yang telah ditetapkan oleh
BSN; standar mutu tepung telur dari FDA-USA; PerMenKes No.
907/MenKes/SK/VII/2002 tentang persyaratan kualitas air minum, PerMenKes
No. 722/MenKes/Per./IX/1988 tentang bahan tambahan pangan (BTP) yang
ditetapkan oleh Departemen Kesehatan atau Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM), serta spesifikasi persyaratan bahan-bahan yang digunakan perusahaan
yang berasal dari pemasok/supplier.
Analisis bahaya adalah salah satu hal yang sangat penting dalam
penyusunan suatu rencana HACCP. Untuk menetapkan rencana dalam rangka
mencegah bahaya keamanan pangan, maka hanya bahaya yang signifikan atau
memiliki risiko tinggi yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan titik kendali
kritis (CCP). Lembar kertas kerja untuk penentuan tabel analisis bahaya,
penentuan risiko (peluang dan keparahan) dan tindakan pencegahannya dapat
dilihat pada Lampiran 8.

k. Penentuan Titik Kendali Kritis atau Critical Control Point (CCP)


Pada tahapan ini, tim HACCP selanjutnya menentukan titik kendali kritis
atau CCP. Titik kendali kritis atau CCP didefinisikan sebagai suatu titik, langkah
atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan
pangan dapat dicegah, dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat
diterima. Pada setiap bahaya yang telah diidentifikasi dalam proses sebelumnya,
maka dapat ditentukan satu atau beberapa CCP dimana suatu bahaya dapat
dikendalikan.
Masing-masing titik penerapan tindakan pencegahan yang telah ditetapkan
diuji dengan menggunakan CCP decision tree atau diagram pohon penentuan CCP
yang direkomendasikan oleh Codex Alimentarius Commission dan telah diadopsi
oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dalam SNI 01-4852-1998 (Gambar 3)

71
untuk menentukan CCP. Decision tree ini berisi urutan pertanyaan mengenai
bahaya yang muncul dalam suatu langkah proses, dan dapat juga diaplikasikan
pada bahan baku untuk mengidentifikasi bahan baku yang sensitif terhadap
bahaya atau untuk menghindari terjadinya kontaminasi silang. Suatu CCP dapat
digunakan untuk mengendalikan satu atau beberapa bahaya, misalnya suatu CCP
secara bersama-sama dapat dikendalikan untuk mengurangi bahaya fisik dan
mikrobiologi. Lembar kertas kerja untuk penentuan CCP dapat dilihat pada
Lampiran 9.

l. Menetapkan Batas Kritis pada Titik Kendali Kritis


Pada tahapan ini, tim HACCP selanjutnya menetapkan batas kritis pada
titik kendali kritisnya. Setiap tahap yang menjadi titik kendali kritis (CCP) harus
ditentukan batas kritisnya. Batas kritis atau Critical Limit adalah suatu kriteria
yang harus dipenuhi untuk setiap tindakan pencegahan yang ditujukan untuk
menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai batas aman. Batas ini akan
memisahkan antara produk ”yang diterima” dan ”yang ditolak”, berupa kisaran
toleransi pada setiap CCP. Batas kritis ini ditetapkan untuk menjamin bahwa
CCP dapat dikendalikan dengan baik.
Penetapan batas kritis harus memiliki alasan kuat mengapa batas tersebut
diimplementasikan dan harus dapat divalidasi, artinya sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan serta dapat diukur. Penetapan batas kritis dapat dilakukan dengan
3 cara, yaitu : Pertama, mengacu pada regulasi internasional dan nasional di
bidang mutu dan keamanan pangan yang ditetapkan oleh lembaga pemerintah
ataupun lembaga internasional, misalnya Codex Alimentarius Commission (CAC),
International Commission on Microbiological Safety of Foods (ICMSF), World
Health Organization (WHO), United States Food and Drug Administration (US
FDA), Badan Standarisasi Nasional (BSN), Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM), Departemen Kesehatan, literatur pengetahuan/ilmiah; Kedua, mengacu
pada pendapat dari para ahli/pakar yang diakui kepakarannya, misalnya ahli
mikrobiologi, pakar di bidang kimia, pakar di bidang proses thermal ; dan Ketiga,
pengujian terhadap bahan yang digunakan atau produk yang dihasilkan sesuai
dengan persyaratan dalam standar SNI atau standar lainnya serta data experiment.

72
Apakah ada tindakan pengendalian Lakukan modifikasi tahapan
P1 dalam proses atau produk
terhadap bahaya yang diidentifikasi ?

Ya Tidak

Apakah pengendalian pd langkah


ini perlu untuk pengamanan ? Ya

Bukan Berhenti *)
Tidak CCP

Apakah langkah tsb dirancang khusus/


P2 spesifik untuk menghilangkan atau Ya
mengurangi bahaya yg mungkin terjadi
sampai ke tingkat yg dapat diterima ? (**)

Tidak

Dapatkah kontaminasi dgn bahaya yg


teridentifikasi terjadi melebihi batas yg dpt
P3 diterima atau dapatkah ini meningkat/
berkembang sampai tingkatan yg tdk dapat
diterima ?

Ya Tidak Bukan CCP Berhenti *)

Apakah langkah/tahapan berikutnya dpt Ya


menghilangkan bahaya yg teridentifikasi Bukan
P4 atau mengurangi tingkatan kemungkinan Berhenti *
CCP
terjadinya bahaya sampai ke tingkat yg dpt
diterima ? **)

Titik Kendali
Tidak Kritis (CCP)

* ) Identifikasi bahaya dalam menggambarkan proses


** ) Tingkatan yang dapat diterima & tidak dapat diterima yang diperlukan didefinisikan dalam
semua tujuan mengidentifikasi CCP dalam rencana HACCP

Gambar 3. Diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis atau CCP untuk
pengembangan HACCP Plan di PT Kuala Pangan.

73
Untuk menetapkan batas kritis, maka pertanyaan yang harus dijawab
adalah : apakah parameter kritis yang berhubungan dengan CCP? Suatu CCP
mungkin memiliki beberapa parameter yang harus dikendalikan untuk menjamin
keamanan produk pangan. Secara umum batas kritis dapat digolongkan ke dalam
batas fisik (suhu, waktu), batas kimia (pH, kadar garam, kadar toksin, kadar logam
berat). Penggunaan batas mikrobiologi (jumlah mikroba dan sebagainya)
sebaiknya dihindari karena memerlukan waktu untuk mengukurnya, kecuali jika
terdapat uji cepat untuk pengukuran tersebut.

m. Menyusun Prosedur Pemantauan (Monitoring) Untuk Setiap CCP


Batas kritis yang sudah ditentukan terhadap titik kendali kritis (CCP) haruslah
dimonitor keberadaannya. Hal ini untuk memastikan apakah prosedur pengolahan
atau penanganan pada CCP di bawah kendali. Oleh karena itu, pada tahapan ini, tim
HACCP selanjutnya menyusun prosedur pemantauan untuk setiap CCP-nya.
Prosedur pemantauan ini dapat dilakukan oleh personil yang terampil dengan cara
pengamatan (observasi) secara visual yang direkam dalam suatu daftar periksa
(checklist) atau pun dengan cara pengujian yang merupakan pengukuran (kimia,
fisik) yang direkam ke dalam suatu data sheet. Dalam prosedur pemantauan ini
harus mencakup : apa yang akan dipantau (what), dimana akan dilakukan
pemantauan (where), siapa yang bertanggung jawab akan melakukan monitoring
(who), bagaimana cara memantaunya (how) dan kapan akan dilakukan
pemantauan/ monitoringnya (when).
Data yang diperoleh dari kegiatan monitoring harus dievaluasi oleh
petugas yang ditunjuk sesuai dengan pengetahuan dan kewenangannya untuk
melaksanakan tindakan perbaikan bila terjadi indikasi penyimpangan atau bias.
Contoh lembar kerja pemantauan/ monitoring untuk CCP dapat dilihat pada
Lampiran 10.

n. Menetapkan Prosedur Tindakan Koreksi


Pada tahapan ini, tim HACCP di perusahaan selanjutnya menetapkan
prosedur tindakan koreksi. Tindakan koreksi adalah setiap tindakan yang harus

74
dilakukan jika hasil pemantauan atau monitoring pada suatu titik kendali kritis
(CCP) menunjukkan proses tidak terkendali (loss of control) atau terjadi
penyimpangan. Tujuan untuk menetapkan tindakan koreksi adalah untuk
menjamin eliminasi potensi bahaya; memiliki rencana yang pasti untuk mencegah
penyimpangan yang terjadi pada setiap CCP, dan tindakan koreksi diperlukan
untuk mengendalikan proses produksi.
Ada dua level atau tingkatan tindakan koreksi yang dapat dilakukan, yaitu
: Pertama, tindakan koreksi berupa tindakan pencegahan, yakni tindakan koreksi
dari hasil pemantauan yang memiliki kecenderungan untuk keluar atau mendekati
batas kritis; dan Kedua, tindakan koreksi segera, yakni tindakan koreksi untuk
pemantauan, dimana hasil CCP yang dipantau telah melampaui batas kritis.
Tindakan segera dapat berupa penghentian proses produksi sebelum
penyimpangan dikoreksi, penahanan produk dan tidak boleh dipasarkan,
pengujian keamanan produk. Tindakan koreksi yang dapat dilakukan selain
menghentikan proses produksi antara lain mengeliminasi produk, memisahkan
produk yang cacat dan mengulangi proses pengolahan.
Tindakan pencegahan dapat berupa memverifikasi setiap perubahan yang
telah diterapkan dalam proses dan memastikannya agar tetap efektif, misalnya
pertanggungjawaban untuk tindakan koreksi dan pencatatan tindakan koreksi.
Pertanggungjawaban untuk tindakan koreksi merupakan tanggung jawab petugas
dengan jabatan tertentu di dalam perusahaan, misalnya supervisor produksi atau
kepala bagian produksi. Pencatatan/rekaman tindakan koreksi dilakukan dengan
pengisian formulir khusus tindakan koreksi, yang berisi identifikasi produk (kode
produksi, tanggal kadaluwarsa, jumlah produk yang ditahan), deskripsi
penyimpangan (alasan penahanan produk dan penyebab penyimpangan), tindakan
koreksi yang dilakukan, tindakan lanjutan untuk mengkaji efektivitas tindakan
koreksi, individu yang bertanggung jawab untuk melakukan tindakan koreksi dan
evaluasi hasil pelaksanaan tindakan koreksi serta tanda tangan penanggung jawab.

o. Menetapkan Prosedur Verifikasi


Pada tahapan ini, selanjutnya tim HACCP menetapkan prosedur verifikasi.
Verifikasi adalah metode, prosedur dan pengujian yang digunakan untuk

75
menentukan bahwa pelaksanaan sistem HACCP telah sesuai dengan rencana
HACCP yang ditetapkan. Dengan verifikasi maka diharapkan bahwa kesesuaian
program HACCP dapat diperiksa dan efektivitas pelaksanaan HACCP dapat
dijamin. Verifikasi ini bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman
tiap karyawan perusahaan akan sistem HACCP, menyediakan dokumentasi
pelaksanaan HACCP, membuang dokumen yang sudah tidak relevan dan menetapkan
langkah pengembangan sistem HACCP.
Verifikasi terhadap rencana HACCP atau HACCP Plan yang disusun pada
perusahaan PT Kuala Pangan dilakukan dalam 3 fase, yaitu : validasi, verifikasi
berjalan dan audit pihak lain. Fase pertama adalah Validasi yang dilakukan
dengan cara verifikasi ilmiah dan teknis dari penetapan batas kritis. Proses
validasi ini cukup kompleks dan membutuhkan keterlibatan intensif dari pihak
profesional dengan kemampuan tinggi dari berbagai disiplin ilmu. Validasi ini
dilakukan untuk mencari pembuktian terhadap beberapa hal sebagai berikut :
penetapan daftar bahaya potensial benar-benar didasarkan pada data ilmiah; daftar
pertanyaan yang dipakai untuk memeriksa signifikansi bahaya menggunakan
pengetahuan teknis dan ilmiah; ukuran kendali dan tindakan pengendalian, baik
umum maupun khusus yang disediakan untuk pengendalian bahaya, bisa
dibuktikan pada batas yang dapat diterima, tolok ukur dan metode yang digunakan
pada ukuran pengendalian cukup memadai, dan tindakan koreksi cukup memadai
dan mencegah pelepasan produk yang tidak aman serta dapat menyediakan bukti
bahwa keadaan dapat dikoreksi. Fase Kedua adalah verifikasi berjalan yang
dilakukan untuk menguji kelengkapan sistem HACCP yang akan diterapkan, yang
mencakup : peninjauan kelengkapan rencana HACCP; pemastian ulang akurasi
diagram aliran proses; kaji ulang sistem HACCP dan kecukupan fasilitas;
melakukan kalibrasi peralatan; melakukan pengambilan contoh secara acak dan
pengujian terhadap bahan baku utama tepung terigu, garam, tepung telur, air yang
digunakan, dan produk yang dihasilkan; audit internal dan tinjauan manajemen
(management review). Verifikasi pada fase ini juga dilakukan, jika ada informasi baru
yang menyangkut dengan masalah keamanan pangan. Fase ketiga adalah audit
oleh pihak lain atau audit eksternal yang direncanakan akan dilakukan oleh lembaga
sertifikasi yang sudah terakreditasi.

76
p. Menetapkan Prosedur Dokumentasi Dan Pencatatan
Pada tahapan ini, tim HACCP selanjutnya menetapkan prosedur
dokumentasi dan pencatatan (rekaman) dalam sistem HACCP yang dirancang.
Dokumentasi program HACCP meliputi pendataan tertulis seluruh program
HACCP sehingga program tersebut dapat diperiksa ulang dan dipertahankan
selama periode waktu tertentu. Dokumentasi mencakup semua catatan mengenai
CCP, batas kritis, rekaman hasil pemantauan batas kritis, tindakan koreksi yang
dilakukan terhadap penyimpangan, catatan tentang verifikasi dan sebagainya.
Penetapan prosedur pencatatan dan dokumentasi bertujuan untuk menjaga
dan mempermudah pengendalian/pembaruan catatan dari HACCP Plan. Dokumen
menjadi bukti pelaksanaan HACCP dan pengendalian atas tiap bahaya yang
timbul selama proses pengolahan. Catatan/rekaman juga menunjukkan bahwa
batas kritis telah dipenuhi dan telah dilakukan tindakan koreksi yang sesuai atas
penyimpangan batas kritis. Contoh pencatatan dan rakaman : kegiatan
pemantauan titik kendali kritis, penyimpangan dan tindakan perbaikan yang
terkait, dan perubahan pada sistem HACCP. Oleh karena itu, dokumen ini dapat
ditunjukkan kepada inspektur pengawas makanan jika dilakukan audit eksternal
dan dapat juga digunakan oleh operator.

q. Menetapkan Prosedur Pengaduan Konsumen dan Prosedur Recall


Pada tahapan ini, tim HACCP selanjutnya menetapkan prosedur
pengaduan konsumen dan prosedur recall. Prosedur pengaduan konsumen adalah
suatu prosedur untuk menangani, mengalamatkan dan mencatat keluhan-keluhan
konsumen/pelanggan kepada perusahaan industri pangan yang bersangkutan.
Sedangkan prosedur recall adalah suatu cara/metode untuk mengidentifikasi,
menempatkan dan menarik kembali produk bila terjadi kasus keracunan atau
produk telah mengalami kerusakan sehingga tidak layak lagi untuk dikonsumsi
oleh konsumen.

77
3. Memberikan Rekomendasi Untuk Pengembangan Sistem HACCP di
Perusahaan
Rekomendasi model generik untuk pengembangan sistem HACCP pada
industri pangan di PT Kuala Pangan dilakukan berdasarkan hasil verifikasi dan
validasi sistem HACCP yang dibuat serta berdasarkan hasil kajian yang telah
dilakukan pada tahap-tahap sebelumnya sehingga diberikan rekomendasi langkah-
langkah yang harus dilakukan perusahaan dalam pengembangan sistem HACCP
di perusahaan.

78
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. EVALUASI KELAYAKAN PERSYARATAN DASAR (GMP) DI


PERUSAHAAN
PT Kuala Pangan sejak berdiri (tahun 1988) sampai dengan pada saat ini
(tahun 2008) dalam pengelolaan produksinya belum menerapkan sistem
manajemen mutu ISO 9000 : 2000 ataupun sistem manajemen keamanan pangan
berdasarkan sistem HACCP. Namun demikian, pihak manajemen PT Kuala
Pangan menyadari pentingnya jaminan keamanan pangan bagi produk mi kering yang
dihasilkan, sehingga pihak manajemen berencana untuk menerapkan sistem
manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP di perusahaan, lebih-
lebih adanya permintaan sertifikat HACCP dari pihak importir produk mi kering
kepada perusahaan PT Kuala Pangan.
Penerapan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem
HACCP di perusahaan akan berjalan dengan sukses apabila penerapan good
manufacturing practice (GMP) sebagai fondasi sistem manajemen keamanan
pangan berdasarkan sistem HACCP ini telah berjalan dengan efektif. Oleh karena
itu, sebelum dilakukan penerapan dan pengembangan sistem manajemen
keamanan pangan berdasarkan/berbasis sistem HACCP, akan lebih baik jika
dievaluasi terlebih dahulu penerapan GMP yang sudah dijalankan dan
dibandingkan dengan standar penerapan GMP yang ada, yaitu standar GMP dari
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2002. Hal ini disebabkan
karena GMP merupakan suatu persyaratan dasar dan program umum bagi industri
pangan untuk menghasilkan produk bermutu, layak dan aman secara konsisten.
Berdasarkan pengamatan (observasi) yang dilakukan di lapangan,
wawancara dan pengamatan keadaan nyata perusahaan atas penerapan GMP di PT
Kuala Pangan dibandingkan dengan standar yang ada (berdasarkan kriteria
penilaian yang digunakan BPOM tahun 2002) ditemukan 13 penyimpangan; yaitu
1 penyimpangan berkategori serius, 6 penyimpangan mayor dan 6 penyimpangan
minor. Oleh karena itu, berdasarkan standar tingkat (rating) kelayakan sarana
produksi dari Badan POM tersebut, tingkat (rating) GMP di PT Kuala Pangan

79
masuk dalam peringkat B (baik). Hasil selengkapnya dari pemeriksaan GMP
sarana produksi pangan di PT Kuala Pangan dapat dilihat pada Lampiran 11.
Hasil identifikasi dan ketiga-belas hasil penyimpangan atau ketidak-
sesuaian tersebut dapat dikelompokkan dalam unsur-unsur GMP yang disajikan
pada Tabel 18.
Tabel 18. Hasil Identifikasi Penyimpangan/Ketidaksesuaian Dalam Penerapan
Unsur-Unsur GMP di Perusahaan.
No Unsur/Elemen GMP Penyimpangan/Ketidaksesuaian Kategori
1. Bangunan - Pertemuan antara lantai dan dinding serta antara dinding - Minor
dengan dinding berbentuk siku, sehingga hal ini tidak
mudah untuk pembersihan bila ada deposit kotoran ;
- Rancang bangun untuk pabrik, khususnya dengan disain
penutup (canopy) untuk perlindungan pada proses - Minor
produksi di bagian atas proses pembentukan untaian mi
belum lengkap untuk mencegah adanya kontaminasi silang.

2. Fasilitas Sanitasi - Fasilitas untuk pencucian tangan tidak tersedia sabun cair - Minor
dan pengering serta tidak adanya peringatan pencucian
tangan sebelum bekerja atau setelah dari toilet ;
- Fasilitas toilet/urinoir karyawan tidak terawat dengan baik,
ada pintu yang sudah rusak dan perlu adanya - Minor
perbaikan ;
- Sebagian tempat sampah yang disediakan oleh
perusahaan tidak ada penutupnya, sehingga dapat
- Minor
berpotensi menimbulkan adanya kontaminasi silang.
3. Peralatan - Tidak ada program pemantauan untuk membuang wadah - Minor
dan peralatan yang sudah rusak atau tidk digunakan oleh
perusahaan
4. Higiene Karyawan - Tidak ada pengawasan dalam hal sanitasi pencucian - Serius
tangan dan kaki sebelum masuk ke ruang pengolahan dan
setelah keluar dari toilet ;
- Fasilitas klinik tidak digunakan untuk check up rutin - Mayor
seluruh karyawan, khususnya di bagian produksi ;
- Manajemen unit pengolahan tidak memiliki tindakan - Mayor
efektif untuk mencegah karyawan yang diketahui
mengidap penyakit yang dapat mengkontaminasi produk ;
- Kebersihan karyawan tidak terjaga dengan baik dan
kurang memperhatikan aspek sanitasi dan higiene
- Mayor
(misalnya pakaian seragam celemek ada yang kotor,
kebiasaan minum di ruang produksi).
5. Penyimpanan - Di ruang gudang biasa/kering ditemukan adanya - Mayor
penempatan barang yang tidak teratur dan tidak
memisahkan penyimpanan bahan pangan dan bahan non-
pangan
6. Pemeliharaan Sarana - Pencegahan binatang pengganggu tikus di dalam pabrik - Mayor
Pengolahan dan Sani- belum efektif, terutama di gudang penyimpanan kering ;
tasi serta Pengendalian - Pest control hingga saat ini dikerjakan oleh perusahaan
Hama sendiri
7. Manajemen dan - Pimpinan/pihak manajemen mempunyai wawasan - Mayor
Pelatihan terhadap metode pengawasan modern (ISO 9000,
HACCP, TQM, dan lain-lain), tetapi belum melaksanakan
penerapannya dalam perusahaan ;
- Alasan belum melaksanakan penerapan HACCP di
perusahaan adalah HACCP cukup rumit dan perlu
persiapan waktu, tenaga dan sumber daya lain.

80
Penyimpangan/ketidaksesuaian pertama dan kedua, adalah saling terkait
dan berhubungan dengan persyaratan bangunan serta berkaitan dengan upaya
untuk mencegah adanya kontaminasi silang yang disebabkan oleh keadaaan
lingkungan perusahaan/pabrik. Oleh karena itu, untuk mengatasi kedua
penyimpangan ini dapat dilakukan dengan program pemasangan penutup (canopy)
di ruang produksi mi terutama di atas proses pencetakan/pembentukan kembang
mi, memodifikasi bangunan pabrik di bagian proses tersebut agar sesuai dengan
jenis pangan mi yang diproduksi dan dihasilkan; dan modifikasi ruang pengolahan
khususnya di sudut-sudut pertemuan antara dinding dengan dinding dan dinding
dengan lantai untuk dibuat lengkungan sehingga memudahkan pembersihannya.
Penyimpangan ini merupakan penyimpangan yang cukup penting yang perlu
diatasi sebelum diterapkannya sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan
sistem HACCP, mengingat rancang bangun dan kontsruksi bangunan di ruang
pengolahan/proses produksi sangat penting artinya dalam mendukung pelaksanaan
persyaratan dasar sistem HACCP.
Penyimpangan/ketidaksesuaian ketiga, keempat dan kelima adalah saling
terkait dan berhubungan dengan persyaratan fasilitas sanitasi, serta berkaitan
dengan upaya untuk mencegah adanya kontaminasi silang yang disebabkan oleh
kebersihan dan kesehatan karyawan. Hal ini berkaitan pula dengan program
persyaratan dasar (prerequisite programs) sebelum menerapkan manajemen
keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP. Oleh karena itu, program
perbaikan fasilitas sanitasi dan higiene karyawan khususnya berkaitan dengan
fasilitas cuci tangan dan toilet harus dilakukan untuk memenuhi fondasi
persyaratan dasar dalam sistem HACCP tersebut. Misalnya perbaikan terhadap
konstruksi lantai, dinding dan pintu yang sudah rusak pada toilet/urinoir
karyawan, penyediaan fasilitas sabun (cair) dan pengering tangan atau tissue
pengering/kain lap serta penyediaan fasiltas tanda peringatan pencucian sebelum
bekerja atau setelah ke toilet. Selain itu, perusahaan juga harus melengkapi
penutup tempat sampah untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang.
Penyimpangan/ketidaksesuaian ini merupakan penyimpangan yang sangat penting
yang harus diatasi sebelum diterapakannya sistem manajemen keamanan pangan
berdasarkan sistem HACCP, mengingat kebersihan dan sanitasi sangat penting

81
artinya dalam pengolahan pangan karena mereka (karyawan) terlibat langsung dan
mengalami kontak dengan makanan sehingga kemungkinan kontaminasi terhadap
produk sangat tinggi. Dengan demikian, program perbaikan fasilitas sanitasi dan
higiene karyawan perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan implementasinya.
Penggunaan sanitaiser dalam proses pencucian tangan sangat membantu
terwujudnya tangan pekerja yang higienis, karena pada prinsipnya ada beberapa
bahan pangan atau kotoran yang melekat di tangan sulit dibersihkan kecuali
melibatkan penggunaan sanitaiser. Menurut Jenie (1998), untuk pencucian tangan
karyawan/pekerja di bagian produksi dapat menggunakan sabun antiseptik yang
mengandung senyawa triklosan (trikloro-hidroksi-difenil-eter), atau mengandung
senyawa hipoklorit (klorin) 50 part per million (ppm), senyawa yodofor (yodium),
amonium kwartener dan alkohol 70%; selanjutnya dibilas dengan air akan
menghilangkan banyak mikroba patogen yang berasal dari makanan, kemudian
setelah itu ditambahkan dengan penggunaan air hangat dengan kisaran antara 40-
50 oC atau larutan pembersih lainnya.
Penyimpangan keenam berhubungan dengan persyaratan peralatan dan
mesin yang digunakan untuk proses produksi, yaitu tidak ada program
pemantauan untuk menangani/membuang peralatan yang sudah rusak/tidak
digunakan lagi oleh perusahaan. Hal ini ditandai dengan cara penanganan bekas
peralatan yang sudah rusak atau tidak digunakan oleh perusahaan yang tidak
terkontrol dengan baik, misalnya menaruh peralatan yang sudah rusak di ruang
yang dekat dengan ruang untuk proses produksi. Karena tidak ada program
pemantauan dan ruang tersebut tidak dijaga kebersihan dan sanitasinya,
mengakibatkan ruang tersebut kotor dan dipakai sarang tikus.
Penyimpangan ketujuh, kedelapan, kesembilan dan kesepuluh juga
merupakan empat hal yang saling terkait, yaitu berkaitan dengan upaya untuk
mencegah adanya kontaminasi silang yang disebabkan oleh status kesehatan
karyawan, kebersihan karyawan, dan kebiasaan karyawan (Higiene Karyawan).
Oleh karenanya, untuk mengatasi keempat penyimpangan/ketidaksesuaian ini
dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dan pemantauan kesehatan
karyawan (khususnya bagian produksi) secara berkala, misalnya setahun 3 kali,
untuk memastikan bahwa karyawan terbebas dari penyakit yang dapat

82
mengkontaminasi produk. Pemantauan dan pemeriksaan kesehatan karyawan
dapat dilakukan secara visual, misalnya luka, penyakit kulit dan lainnya dapat
dilakukan langsung oleh supervisor (ketua regu/kelompok) yang sedang bertugas.
Apabila dijumpai ada karyawan yang mempunyai luka dan penyakit kulit (luka
terbuka), maka karyawan/pekerja tersebut bisa dikeluarkan dari ruang di bagian
produksi dan dari pekerjaan penanganan kritis lainnya. Pekerja/karyawan di
bagian produksi harus melapor pada penyelia (supervisor) pabrik atau petugas
pemeriksa kesehatan di klinik apabila menderita penyakit-penyakit, seperti :
hepatitis (sakit kuning), tifus, infeksi Salmonella, disentri, dan infeksi
Staphylococcus (termasuk noda, bisul, dan luka terbuka di tangan serta kudis dan
eksim yang luas terutama di muka, jari, dan tangan (Jenie, 2007).
Sedang, apabila dijumpai/ditemui ada karyawan yang tidak menjaga
kebersihan dan tingkah laku karyawannya selama proses produksi, maka
karyawan yang bersangkutan dapat ditegur/diperingatkan dan dicatat terlebih
dahulu. Bila karyawan yang sudah diperingatkan dan dicatat sudah 5 kali tetapi
masih berperi laku yang tidak sesuai dengan aturan penerapan sanitasi dan higiene
serta kebiasaan karyawan yang tidak sesuai dengan aturan perusahaan, maka
diperlukan adanya pelatihan kembali terhadap karyawan yang bersangkutan dalam
hal sanitasi dan higiene sekaligus untuk memperbaiki sikap dan perilaku
karyawan dalam berkomitmen untuk mendukung program rencana penerapan
sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP di perusahaan.
Penyimpangan/ketidaksesuaian di atas merupakan penyimpangan yang
sangat penting yang perlu segera diatasi dan diprogramkan implementasinya
sebelum diterapkannya sistem manajemen kemanan pangan berdasarkan sistem
HACCP; mengingat pengendalian kondisi kesehatan karyawan yang berpotensi
menghasilkan kontaminasi mikrobiologis terhadap pangan, bahan kemasan
pangan dan permukaan yang kontak dengan pangan ini harus dikendalikan dengan
baik melalui program penerapan yang efektif.
Penyimpangan kesebelas, berhubungan dengan aspek GMP penyimpanan,
yaitu di gudang kering, yang mana penempatan barang tidak teratur dan sebagian
tidak dipisahkan (penyimpanan bahan pengemas dan bahan- bahan lain, bahan kimia
dan desinfektan/deterjen), hal ini dapat segera diatasi

83
dengan mengelompokkan atau memisahkan sesuai dengan jenisnya dalam suatu
rak/tempat yang terpisah dan khusus untuk jenis barang-barang tersebut.
Pengaturan ini perlu dibakukan dan dilaksanakan/ dijalankan secara konsisten.
Penyimpangan kedua-belas, berhubungan dengan aspek GMP
pemeliharaan sarana pengolahan dan sanitasi serta pengendalian hama,
yaitu di gudang kering tempat penyimpanan bahan baku dan di gudang kering
tempat penyimpanan produk mi kering yang dihasilkan; pencegahan binatang
pengerat tikus yang dapat membawa bibit penyakit pes belum efektif dan
dilaksanakan secara konsisten. Hal ini ditandai dengan tidak adanya denah
pentunjuk penempatan umpan tikus, belum dilaksanakannya pengendalian
binatang tikus ini baik oleh perusahaan sendiri ataupun melalui kontrak yang
dilakukan oleh pihak lain. Oleh karena itu, penyimpangan ini dapat segera diatasi
dengan melaksanakan dan membuat prosedur pengendalian hama tikus dengan
cara menempatkan jebakan/umpan tikus atau menempatkan suatu alat yang
menghasilkan gelombang suara tertentu sehingga binatang pengganggu/tikus tidak
suka memasuki gudang penyimpanan kering. Pengendalian hama tikus tersebut
dapat pula dilakukan dengan cara kontrak dengan pihak kedua yang melakukan
program pest control.
Penyimpangan ketiga-belas berhubungan dengan aspek manajemen dan
pelatihan, yaitu pimpinan/pihak manajemen mempunyai wawasan terhadap
metode pengawasan modern (ISO 9000, HACCP) tetapi belum atau sedang akan
melaksanakan penerapannya. Berdasarkan wawancara dengan pihak manajemen
terungkap bahwa perusahaan mempunyai kendala/hambatan dalam
mengembangkan dan menerapkan sistem HACCP di perusahaan disebabkan
karena : (1) Kurangnya informasi pengetahuan tentang sistem keamanan pangan
dan tenaga ahli/sumber daya manusia yang mengerti sistem HACCP; (2) Adanya
perkiraan tingginya biaya yang harus ditanggung perusahaan untuk
mengoperasikan sistem HACCP; (3) Adanya perkiraan tingginya biaya yang
diperlukan untuk memberi pelatihan sistem HACCP kepada karyawannya; (4)
Adanya perkiraan tingginya biaya lain yang derlukan untuk mebangun fasilitas
laboratorium dan fasilitas pemeliharaan peralatan lainnya guna mendukung
penerapan sistem HACCP dalam perusahaan, dan (5) Terbatasnya waktu untuk

84
mempersiapkan penerapan sistem HACCP sebagai akibat kurangnya sumber daya
manusia yang mengerti dan memahami sistem HACCP.
Ditinjau dari aspek cara produksi pangan yang baik atau good
manufacturing practice (GMP) yang sudah diterapkan perusahaan, selain
penyimpangan atau ketidaksesuaian yang ditemukan di atas; ada beberapa
penyimpangan lain dalam bentuk penyimpangan administrasi, fisik dan oprasional
sebagai berikut :
a. Spesifikasi bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan pangan belum
diterapkan secara konsisten karena standar persyaratan spesifikasi yang
ditetapkan perusahaan masih suka berubah, oleh karena itu perlu ditetapkan
standar persyaratan spesifikasi bahan-bahan tersebut yang tetap dan konsisten
penerapannya;
b. Tempat fasilitas sanitasi dan cuci tangan terutama toilet dan urinoir karyawan
pada prinsipnya jumlahnya sudah memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam pedoman GMP Badan POM yaitu ada 6 toilet untuk 80 orang, namun
kondisi fisiknya sudah perlu adanya perbaikan, karena pintunya sudah ada
yang mulai rusak dan dinding tempat toilet tersebut sudah mulai kotor dan
perlu adanya pengecatan dinding kembali, sehingga program perbaikan fisik
sarana fasilitas sanitasi dan cuci tangan ini perlu segera diprogramkan
perbaikannya;
c. Alat-alat mesin-mesin yang sudah rusak dan tidak dipakai, sebagian masih ada
yang disimpan di bagian ruang proses produksi meskipun diletakkan di lantai
bawah dan agak terpisah; namun barang-barang (alat-alat) tersebut dapat
menjadi tempat sarang tikus dan berpotensi menimbulkan kontaminasi silang.
Dengan demikian, perusahaan tidak mempunyai program pemantauan untuk
menangani/membuang peralatan yang sudah rusak/tidak digunakan dengan
baik. Sebaiknya alat-alat ini dipindahkan dan diletakkan di ruang khusus
bagian teknik/bengkel dan maintenance, sehingga kebersihan dan higiene di
ruang proses produksi bisa dijaga dengan baik atau dibuang;
d. Pada higiene karyawan ditemukan kekurangan dalam pelaksanaan GMP pada
saat produksi, antara lain masih adanya karyawan yang menggunakan
perhiasan atau jam tangan pada waktu bekerja, penutup kepala yang dipakai

85
tidak menutup seluruh rambutnya dan masih ada karyawan berbicara pada saat
berproduksi serta tidak memakai penutup mulut untuk di bagian pengumpulan
produk mi kering sebelum dikemas dengan plastik jenis PP (kemasan primer);
e. Kondisi sanitasi di ruang/gudang penyimpanan bahan baku tepung terigu saat
diobservasi/diinspeksi kurang bersih dan kurang terkontrol. Cukup banyak
debu dan kotoran pada lantai dan dindingnya. Kemungkinan kegiatan sanitasi
di gudang penyimpanan bahan baku tepung terigu ini belum terjadwal dan
terkontrol dengan baik. Oleh karena itu, kegiatan sanitasi di gudang
penyimpanan ini harus terjadwal dan terkontrol dengan baik untuk mencegah
kontaminasi terhadap bahan baku dari cemaran fisik, debu, kotoran dan
serangga;
f. Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan pangan terutama pada
alat roll presser, slitter, cutter dan conveyor meskipun sudah dilakukan
program pembersihan dan sanitasi; namun pada saat tidak digunakan/dipakai
terlihat masih ada sisa-sisa produk yang menempel pada perlatan tersebut,
sehingga dapat memungkinkan terjadinya kontaminai ke produk mi kering
yang akan diproduksi/dihasilkan. Oleh karena itu, program pembersihan dan
sanitasi pada perlatan tersebut perlu lebih diefektifkan untuk menghilangkan
sisa-sisa kotoran adonan mi yang lengket pada alat dan menjaga agar kondisi
bagian peralatan yang kontak dengan produk pangan tetap bersih dan higienis.
Menurut Winarno (2002), prosedur pembersihan peralatan dapat meliputi
tahapan perendaman atau penggosokan, pencucian dengan air bersih,
pembilasan dengan pembersih seperti deterjen atau sabun, pengecekan secara
visual untuk memastikan bahwa permukaan alat sudah bersih, penggunaan
desinfektan untuk membunuh mikroba, dan pembersihan akhir untuk
membilas desinfektan serta pembilasan kering untuk mengeringkan
desinfektan tanpa dilap. Pembersihan peralatan yang terbuat dari bahan
stainless steel dapat digunakan larutan pembersih deterjen alkali non ionik,
dan desinfektan yang antara lain : hipoklorit, yodophor, dan klorin organik
(Jenie, 1998).

86
Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan standar prosedur operasi sanitasi
atau sanitation standard operating procedure (SSOP) secara ringkas di
perusahaan PT Kuala Pangan dapat dilihat pada Tabel 19, sedang hal-hal yang
perlu dimonitor, tindakan koreksi dan rekaman SSOP dapat dilihat pada Tabel 20.
Sanitation standard operating procedure (SSOP) ini akan memberikan manfaat
bagi unit usaha perusahaan PT Kuala Pangan dalam menjamin sistem keamanan
produksi pangannya, antara lain : (a) Memberi jadwal pada prosedur sanitasi, (b)
Memberikan landasan program monitoring berkesinambungan, (c) Menjamin
setiap personil mengerti sanitasi, (d) Memberikan sarana pelatihan yang konsisten
bagi personil, (e) Mendorong perencanaan yang menjamin dilakukan koreksi bila
diperlukan, (f) Mengidentifikasi kecenderungan dan mencegah kembali terjadinya
masalah, dan (g) Membawa peningkatan praktek sanitasi dan kondisi yang saniter
di unit usaha.

87
Tabel 19. Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan sanitation standard operating procedure (SSOP) di perusahaan.
No Kunci Deskripsi Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure Tindakan koreksi Rekaman
Persyaratan (SSOP)
Sanitasi
1. Keamanan air - Air yang digunakan pada proses produksi terbagi menjadi dua, yaitu air bersih - Bila air yang - Hasil peme-
yang digunakan pada pencucian alat-alat produksi dan air minum untuk diproses untuk ke- riksaan mutu
produksi ; perluan produksi air untuk pro-
- Air bersih digunakan untuk keperluan sanitasi, pencucian peralatan, dan mandi belum memenuhi duksi disim-
cuci kakus (MCK), sedang air minum untuk produksi harus diolah (treatment) standar mutu, maka pan di bagian
terlebih dahulu dengan SOP(Standar Prosedur Operasi) dan IK (Instruksi akan dilakukan pro- QC dan tek-
Kerja) yang ditetapkan perusahaan sehingga dapat menghasilkan air yang ses ulang nik
memenuhi persyaratan mutu sesuai dengan PerMen Kes No. - Air yang digu- - Hasil pengu-
907/MenKes/SK/VII/2002 ; nakan untuk pro- jian mutu air
- Mutu produk air untuk produksi dilakukan pengujian oleh bagian QC dan teknik; duksi dilakukan pe- untuk produk-
- Air yang memenuhi standar, selanjutnya disimpan dan ditampung pada storage ngujian secara eks- si eksternal
tank dan diset secara otomatis agar siap digunakan untuk proses produksi ; ternal setiap 6 bulan disimpan di
sekali bagian QC
2 Kondisi dan ke- - Semua peralatan yang kontak dengan makanan/produk akhir terbuat dari bahan - Agar kegiatan sa- - Monitoring
bersihan permu- yang bersifat inert (stainless steel). Hal ini bertujuan untuk mencegah cemaran nitasi berjalan efek- hasil sanitasi
kaan yang kontak fisik dari korosi logam peralatan produksi ; tif, maka berhenti- permukaan
dengan bahan - Proses pembersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan terdiri dari kan/stop operasi dan disimpan di
pangan pembersihan clean in place (CIP) dan pembersihan untuk kemasan yang bersihkan serta di- bagian QC
digunakan untuk produk akhir ; sanitasi
- Penggunaan seragam produksi dipakai setiap hari dan diganti seminggu dua kali - Monitoring
dan dijaga kebersihannya oleh masing-masing karyawan ; Perusahaan - Bila perlu karyawan terhadap kar-
menyediakan sarung tangan dan penutup mulut di bagian kemasan primer ; diistirahatkan yawan disim-
- Pembersihan peralatan produksi yang digunakan sesuai dengan SOP dan IK pan di bagian
Instruksi Kerja) yang ditetapkan perusahaan, yang meliputi : penyemprotan air QC
biasa pada seluruh permukaan yang kontak dan bersihkan sampai kotorannya
hilang, gosok permukaan alat dengan larutan Duboa 1%, semprotkan air panas
ke permukaan alat dan kemudian dikeringkan ;
- Proses pembersihan clean in place dilakukan pada vessel mixing dengan kapasitas
lebih dari 500 kg. Prosedur pembersihannya dengan cara menyemprotkan bagian
dalam vessel dengan air panas (65oC). Jika bagian vessel masih bau, maka
dilakukan pembersihan dengan larutan sabun.

88
Tabel 19. Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan sanitation standard operating procedure (SSOP) di perusahaan (Lanjutan).
No Kunci Deskripsi Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure Tindakan koreksi Rekaman
Persyaratan (SSOP)
Sanitasi
3. Pencegahan - Pencegahan kontaminasi silang dilakukan mulai dari bahan baku, bahan - Bila ada masalah - Hasil peme-
Kontaminasi pembantu dan bahan tambahan pangan yang baru masuk sampai penyimpanan produksi, stop pro- riksaan dan
Silang produk akhir. Bahan baku dan bahan pembantu yang berada di ruang gudang duksi dan tahan monitoring
penyimpanan kondisi kemasannya ada yang bersih, kotor dan berdebu ; produk yang diha- pembersihan
- Pencegahan kontaminasi silang pada saat produksi dilakukan dengan cara silkan disimpan di
pemeriksaan bagian dalam vessel atau alat produksi sebelum digunakan untuk - Karyawan dipe- bagian QC;
proses produksi sesuai dengan SOP dan IK yang ditetapkan perusahaan ; ringatkan dan perlu - Hasil peme-
- Bagian dalam vessel atau alat produksi harus bebas dari kotoran dan cemaran dilatih kembali bila riksaan dan
fisik agar tidak mengkontaminasi produk akhir pada saat proses produksi ; melakukan praktek monitoring
- Setelah dikemas primer dengan plastik jenis PP dan kemasan sekunder kotak tidak sesuai dengan karyawan
karton harus ditutup dan disegel (diseal) dengan rapat untuk mencegah SOP; disimpan di
kontaminasi dari cemaran fisik, mikroba dan zat lain ; - Evaluasi keamanan bagian QC;
- Selama proses produksi, personil harus bekerja sesuai dengan prosedur GMP, produk yang diha-
menggunakan seragam dan sepatu yang sesuai GMP, penggunaan sarung silkan
tangan dan tutup mulut/kepala ;
4 Menjaga Fasilitas - Pemeliharaan fasilitas sanitasi terdiri kegiatan sanitasi di ruang produksi, gudang - Cek fasilitas cuci - Hasil peme-
Pencuci Tangan, penyimpanan, ruang karantina dan ruang MCK. Kegiatan sanitasi di ruang tangan dan toilet dan riksaan dan
Sanitasi dan produksi secara umum dilakukan dua minggu sekali pada saat hari libur kerja. inspeksi di lapangan monitoring
Kegiatannya meliputi pembersihan lantai, membersihkan bagian luar vessel, dan bila ada keru- program sani-
Toilet tangki penampungan, dan bagian dinding yang dapat dijangkau ; Kegiatan sakan segera diper- tasi disimpan
sanitasi rutin di ruang produksi dilakukan oleh personil produksi, sedang baiki di bagian QC;
kegiatan sanitasi bulanan dilakukan oleh personil QC dan maintenance ; - Karyawan dipe- - Hasil peme-
- Kegiatan sanitasi di ruang gudang dan karantina dilakukan satu minggu sekali. ringatkan dan perlu riksaan dan
Kegiatannya meliputi pembersihan lantai, dinding, pallet penyimpanan bahan dilatih kembali bila monitoring
baku dan produk akhir, dan pintu. Pembersihan lantai ruang produksi dan melakukan praktek karyawan
gudang menggunakan sabun deterjen untuk lantai, yaitu Drathon 10 dengan dosis tidak sesuai dengan disimpan di
660 ml per 3400 ml air. SOP; bagian QC;
- Kegiatan sanitasi di ruang MCK dilakukan setiap hari kerja. Kegiatannya - Evaluasi keamanan
meliputi pembersihan toilet, kamar mandi, dan tempat cuci tangan. Fasilitas produk yang diha-
cuci tangan terdiri dari air yang mengalir, tetapi kadang-kadang tidak ada silkan
sabun cair dan lap pengeringnya. -

89
Tabel 19. Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan sanitation standard operating procedure (SSOP) di perusahaan (Lanjutan).
No Kunci Deskripsi Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure Tindakan koreksi Rekaman
Persyaratan (SSOP)
Sanitasi
5. Proteksi dari - Bahan-bahan non-pangan atau bahan-bahan kimia yang digunakan selama - Bila ada bahan - Catatan hasil
bahan-bahan pengolahan seperti larutan klorin pekat, deterjen/sabun cair, larutan Drathon, pengkontaminan, hi- pemeriksaan
kontaminan larutan Duboa 1% dan pelumas disimpan di gudang penyimpanan khusus di langkan bahan terse- dan monito-
luar area pengolahan dan penggunaannya harus sesuai dengan SOP dan IK but dari permukaan ring penggu-
yang ditetapkan perusahaan. - Menghindarkan naan bahan
- Wadah larutan kimia di dalam area pengolahan ditempatkan di pojok ruangan yang lingkungan ruang kimia disim-
jauh dari produk dan pekerja ; jika terjadi terjadi kontaminasi bahan non- produksi dari adanya pan di bagian
pangan/kimia seperti sabun, maka pekerja wajib melaporkannya kepada genangan air ; QC;
supervisor. Supervisor akan meneruskan informasi kepada kepala bagian - Memindahkan ba- - Catatan tin-
produksi dan produk akan disingkirkan/dipisah ; han toksik tidak dakan koreksi
- Senyawa toksik disimpan dalam wadah berlabel yang juga disertai dengan berlabel dengan dari pemerik-
tanggal penerimaan produk ; benar. saan dan eva-
luasi disim-
pan di bagian
QC
6 Pelabelan, - Setiap kemasan yang berisi produk akhir harus mempunyai label yang - Bila ada/terjadi - Hasil peme-
penyimpanan, memberikan informasi mengenai karakteristik dari produk akhir yang dikemas; pelabelan yang sa- riksaan dan
dan penggunaan Informasi label terdiri atas : nama produk, bobot netto, kode produksi, lah, produksi dihen- monitoring
bahan toksin yang kadaluwarsa, dan cara penggunaan produk ; tikan, pisahkan pro- kegiatan pela-
benar - Penyimpanan produk akhir mi kering diletakkan terpisah dengan bahan baku duk yang salah ; belan dan
utama, bahan pembantu lain, bahan tambahan pangan dan produk yang cacat; penyimpanan
sedang penyimpanan bahan yang sensitif terhadap suhu disimpan di ruang - Karyawan dipe- disimpan di
sensitive room ; ringatkan dan perlu bagian QC;
- Sistem yang digunakan dalam penyimpanan adalah prinsip FIFO (First In First dilatih kembali bila - Hasil peme-
Out), yaitu produk akhir yang production date atau lotnya lebih lama dikeluarkan melakukan praktek riksaan dan
terlebih dahulu dibandingkan lot yang baru ; tidak sesuai dengan monitoring
- Semua kegiatan pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan kimia/toksik SOP; penggunaan
menggunakan SOP dan IK yang sudah ditetapkan perusahaan. bahan kimia
disimpan di
bagian QC;

90
Tabel 19. Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan sanitation standard operating procedure (SSOP) di perusahaan (Lanjutan).
No Kunci Deskripsi Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) Tindakan koreksi Rekaman
Persyaratan
Sanitasi
7. Pengawasan - Kontrol kondisi kesehatan karyawan/personil terutama di bagian produksi kurang - Bila ada karyawan - Catatan hasil
Kondisi dimanfaatkan/diperhatikan oleh karyawan yang bersangkutan, meskipun yang terkena penya-- pemeriksaan
Kesehatan perusahaan telah menyediakan fasilitas klinik dan dokter serta perawat kesehatan ; kit diistirahatkan dan dan monito-
personil - Pengawasan kesehatan karyawan di perusahaan perlu lebih diintensifkan meskipun tidak diperkenankan ring terhadap
perusahaan telah mempunyai SOP dan IK (Instruksi Kerja) yang sudah ditetapkan ke ruang produksi ; karyawan
perusahaan ; - Lakukan peman- yang mende-
- Efektivitas pemantauan kesehatan karyawan sebaiknya perlu dikaji ulang oleh tauan karyawan rita sakit di-
pihak perusahaan atau manajemen, sehingga diperlukan adanya aksi tindak dengan lebih ketat. simpan di
koreksi yang tepat. bagian HRD

8. Menghilangkan - Hama yang terdapat di kawasan PT Kuala Pangan terdiri dari serangga (lalat, kecoa, - Perusahaan perlu - Hasil peme-
pest dari Unit laba-laba, nyamuk, dan lain-lain), burung dan tikus. Penanganan hama serangga menetapkan pro- riksaan dan
pengolahan seperti lalat, nyamuk dan serangga lain dilakukan dengan memasang insecta trap. gram pest control ; monitoring
Lampu insecta trap diletakkan di luar ruang produksi/gudang dan dikontrol setiap - Perlu dibuat denah kegiatan pest
satu bulan sekali. penempatan pro- control
- Di ruang produksi dipasang lem perangkap lalat. Lem perangkap lalat juga dipsang gram pest control di disimpan di
di dekat pintu masuk ruang produksi. Adanya lalat atau serangga di dalam ruang seluruh pabrik bagian QC;
produksi dikontrol oleh personil produksi sebelum aktivitas produksi. - Hasil tindak-
- Pencegahan binatang lain seperti burung dilakukan dengan cara memasang kawat an koreksi pe-
kassa di ventilasi ruangan atau pintu trap plastik pada pintu ruang gudang, dan ruang meriksaan
produksi ; dan moni-
toring pest
control disim-
pan di bagian
QC;

91
Tabel 20. Pemantauan pada program Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) di perusahaan
No. Kunci Persyaratan Hal-hal Yang Perlu Dimonitor pada Program SSOP Tindakan koreksi Rekaman
Sanitasi Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
1 Keamanan air - Kualitas air - Unit treatment air - Cek kualitas air - Sebelum operasi - Bagian QC - Bila belum meme- - Monitoring kuali-
- Outlet - Operator wa- nuhi standar, lakukan tas air
ter treatment proses ulang
- Instalasi plum- - Instalasi dan out- - Inspeksi jaringan - Saat akan insta- - Bagian QC - Perbaiki instalasi - Inspeksi instalasi
bing let plumbing lasi & modifikasi yang memungkinkan plumbing
kontaminasi
2 Kondisi dan kebersihan - Permukaan harus - Line produksi - Inspeksi secara - Setiap sebelum - Bagian QC - Stop operasi, diber- - Monitoring per-
bersih visual operasi dan setiap sihkan dan disanitasi mukaan yang
permukaan yang kontak - Permukaan disa- 4 jam sekali kontak dengan
dengan bahan pangan nitasi pangan
- Sarung tangan - Karyawan - Inspeksi terhadap - Setiap sebelum - Bagian QC - Istirahatkan karya- - Monitoring terha-
dan pakaian ha- karyawan operasi dan setiap wan dap karyawan
rus bersih 4 jam
3 Pencegahan kontaminasi - Kebiasaan karya- - Line produksi - Cek bahan kon- - Setiap sebelum - Bagian QC - Stop produk dan - Monitoring
wan - Karyawan sentrasi sanitaiser operasi dan setiap - Supervisor tahan produk yang karyawan
silang - Toilet daan was- - Cek fasilitas pen- 4 jam sekali produksi dihasilkan - Monitoring
tafel cuci tangan dan - Peringatkan dan latih pembersihan
- Desain ruang un- - Gudang penyim- toilet - Setiap sebelum - Petugas kembali karyawan - Monitoring tata
tuk bahan baku panan - Inspeksi di operasi dan setiap kebersihan - Evaluasi keamanan letak produk
dan produk jadi lapangan 4 jam sekali produk, untuk didis- dalam ruangan
- Inspeksi karya- posisi, direproses
wan atau dimusnahkan
4 Menjaga fasilitas pencuci - Fasilitas cuci - Tempat cuci - Cek fasilitas - Sebelum operasi, - Bagian QC - Perbaiki dan - Monitoring
tangan tangan pencuci tangan dan setiap 4 jam laporkan bila ada harian sanitasi
tangan, sanitasi dan toilet - Fasilitas toilet - Tempat toilet dan toilet sekali kerusakan - Tindakan koreksi
- Fasilitas sanitasi - Bagian sanitasi - Inspeksi ke - Sebelum operasi - Peringatkan pelak- yang dilakukan
lapangan dan setiap 4 jam sana dan latih
- Cek bahan kon- sekali kembali
sentrasi sanitaiser

92
Tabel 20. Pemantauan pada program Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) di perusahaan (Lanjutan)
No. Kunci Persyaratan Hal-hal Yang Perlu Dimonitor pada Program SSOP Tindakan koreksi Rekaman
Sanitasi Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
5 Proteksi dari bahan- - Bahan yang - Produk pangan - Cek bahan dan - Sebelum operasi, - Bagian QC - Hilangkan bahan - Monitoring/
berpotensi untuk - Bahan pengemas akses personil/ dan setiap 3 jam kontaminan dari pemantauan
bahan kontaminan mengkontaminasi karyawan sekali - Dibantu oleh permukaan
- Permukaan yang - Inspeksi secara - Sebelum operasi, bagian - Hindari adanya - Tindakan
kontak langsung visual dan setiap 4 jam produksi genangan air di koreksi
dengan pangan sekali dalam ruang produksi

6 Pelabelan, penyimpanan, - Pelabelan, - Tempat/ruang - Cek pelabelan - Satu kali setiap - Bagian QC - Pindahkan bahan - Monitoring/
penyimpanan, penyimpanan hari toksin tidak berlabel pemantauan
dan penggunaan bahan dan penggunaan dengan benar
toksin yang benar bahan - Tempat penerap- - Cek cara - Satu kali per hari - Bagian QC - Peringatkan karya- - Tindakan koreksi
an /aplikasi aplikasinya wan dan latih
kembali
- Stop produksi, dan
recall produk yang
terkena
7 Pengawasan kondisi - Karyawan - Karyawan yang - Lakukan inspeksi - Sebelum operasi - Bagian QC - Stop produk dan - Monitoring
dengan tanda- masuk ruang terhadap karya- dan setiap 4 jam - Supervisor tahan produk yang kesehatan
kesehatan personil tanda penyakit/ kerja wan/ pelaksana sekali produksi dihasilkan karyawan
luka - Pada saat sedang
bekerja - Tindakan koreksi

8 Menghilangkan pest dari - Pest di ruang - Seluruh ruangan - Cek dan inspeksi - Dua kali (2x) - Bagian QC - Tetapkan program - Monitoring
produksi dan produksi dan ke lapang setiap hari dibantu pest control dengan pest control
unit pengolahan gudang lingkungan pabrik bagian baik - Tindakan koreksi
produksi - Tetapkan tempat/ yang dilakukan
denah penempatannya

93
B. PENYUSUNAN RENCANA HACCP (HACCP PLAN) UNTUK PRODUKSI MI
KERING PADA PT KUALA PANGAN

Penyusunan rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering pada PT


Kuala Pangan mengacu kepada Codex guidelines dan tujuh prinsip HACCP yang telah
diadopsi dan dituangkan dalam acuan (standar) SNI.01.4852-1998 tentang Sistem
Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (BSN, 1998) serta Pedoman penerapannya
yaitu Pedoman BSN 1004 : 2002 (BSN, 2002). Rencana HACCP pada perusahaan ini
diintegrasikan ke dalam prosedur dan instruksi kerja yang akan memudahkan karyawan
(personil yang terlibat) dalam melaksanakannya. Penyusunan dan pengembangan rencana
HACCP dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1. Melakukan Pelatihan Sistem HACCP
Pelatihan sistem HACCP pada perusahaan PT Kuala Pangan diperuntukkan bagi
seluruh karyawan dan pihak manajemen yang akan terlibat dalam mengelola sistem
manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP di perusahaan yang
bersangkutan. Pelatihan terhadap sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam
proses produksi mi kering di perusahaan tersebut bertujuan : (1) Memberdayakan
perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan dalam menghadapi era globalisasi, kompetisi
dengan perusahaan yang sejenis dan meraih sertifikat jaminan keamanan pangan
berdasarkan sistem HACCP; (2) Meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan keahlian
personil yang terlibat dalam mengerjakan dan mengelola perusahaan yang menghasilkan
produk mi kering; (3) Meningkatkan kemampuan personil dalam pemahaman dan
penerapan sistem keamanan pangan yang mencakup good manufacturing practice
(GMP), standard operating procedure (SOP), sanitasi dan higiene, sistem manajemen
mutu dan HACCP; dan (4) Meningkatkan kesadaran, sikap (attitude) dan tanggung jawab
personil perusahaan dalam menerapkan persyaratan dasar sistem HACCP khususnya GMP
dan sanitation standard operating procedure (SSOP) di perusahaan. Hal ini disebabkan
kualitas sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam pengolahan pangan untuk
memproduksi mi kering, sangat berperan dalam membantu kesuksesan perusahaan industri
pangan tersebut guna menghasilkan produk mi kering yang aman dikonsumsi memerlukan
pengetahuan, ketrampilan, keahlian dan tanggung

94
jawab (komitmen) yang tinggi SDM yang mengerjakan dan mengelolanya. Tingkat
pengetahuan, ketrampilan, keahlian dan tanggung jawab yang tinggi mutlak diperlukan,
karena industri pengolahan pangan untuk menghasilkan produk mi kering ini adalah
industri yang perlu penanganan secara hati-hati.
Menurut Maryon (1998) dikatakan bahwa pendidikan dan pelatihan terhadap
sumber daya manusia yang terlibat dalam sistem industri pangan merupakan kunci
terbaik untuk menghasilkan produk pangan yang aman bagi perusahaan industri pangan.
Oleh karena itu, program pelatihan pada perusahaan industri pangan di PT Kuala Pangan
ini diharapkan mampu meningkatkan SDM yang terlibat dalam mengerjakan dan
mengelola industri pangan tersebut, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja
perusahaan PT Kuala Pangan di bidang mutu dan keamanan pangan. Disamping itu, dengan
pelatihan ini diharapkan SDM yang terlibat dalam sistem industri pangan menyadari tidak
harus mengerti apa yang harus dikerjakan untuk menjamin keamanan pangan produk mi
kering yang dihasilkan, tetapi juga harus memahami mengapa mereka harus melaksanakan
tugas khusus yang dibebankan kepada mereka (MFSCNPA, 1992).
Pelatihan sistem HACCP di perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan diikuti
oleh karyawan (dari tingkat line operator, supervisor/kepala regu, kepala bagian) dan
manajemen perusahaan yang berjumlah sekitar 30 orang dan dilakukan selama 4 hari
dengan cara inhouse training di PT Kuala Pangan Citeureup, Bogor dari tanggal 13
sampai dengan 16 bulan Nopember tahun 2007. Materi yang diajarkan dalam pelatihan
ini terdiri dari 7 (delapan) topik yang disampaikan dalam 32 jam pelajaran (jp) dan setiap
jam pelajaran dengan waktu 45 menit selama 4 hari dengan rincian sebagai berikut (Tabel
21). Sedang contoh soal untuk evaluasi dan mengetahui tingkat pemahaman peserta
pelatihan dapat dilihat di halaman Lampiran 3.
Tabel 21. Materi Yang Diajarkan dalam Pelatihan Sistem HACCP di PT Kuala Pangan
No. Topik pelatihan/pengajaran Jumlah jam pelajaran (jp);
1 jp = 45 menit
1. Pengantar sistem pengendalian keamanan pangan 2
2. Sanitasi dan higiene dalam industri pangan 2
3. Good manufacturing practice (GMP) 3
4. Prinsip sistem HACCP 3
5. Implementasi sistem HACCP dalam industri pangan 3
6. Dokumentasi GMP dan sistem HACCP 3
7. Workshop penyusunan rencana HACCP (HACCP Plan) 16

95
Hasil evaluasi penilaian tingkat pengertian dan pemahaman peserta pelatihan
sistem HACCP di perusahaan sebelum dan sesudah pelatihan dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Hasil evaluasi penilaian tingkat pengertian dan pemahaman peserta (Sebelum
dan setelah pelatihan)
Tingkat Pemahaman Peserta Pelatihan
No. Jabatan/kedudukan peserta pelatihan Sebelum Pelatihan Setelah Pelatihan
SB B C K SB B C K
1. Manajer produksi - 1 - - 1 - - -
2. Manajer teknik & maintenance - - 1 - - 1 - -
3. Kepala Bagian QC - - 1 - - 1 - -
4. Supervisor produksi - - 2 3 - 2 3 -
5. Ketua kelompok/regu produksi - - 2 3 - 2 3 -
6. Kepala Gudang - - 1 2 - 1 2 -
7. Operator produksi - - - 12 - 1 11 -
8. Staf bagian QC/laboratorium - - 2 - - 2 - -
Jumlah peserta - 1 9 20 1 10 19
Keterangan : SB = Sangat Baik (Nilai lebih besar atau sama dengan 80)
B = Baik (Nilai lebih besar atau sama dengan 70)
C = Cukup (Nilai lebih besar atau sama dengan 60)
K = Kurang (Nilai lebih kecil dari 60).

Dari Tabel 22 tersebut dapat dilihat bahwa berdasarkan hasil evaluasi penilaian,
tingkat pengertian dan pemahaman peserta setelah mendapat pelatihan menunjukkan
tingkat pengertian dan pemahamannya sangat baik ada 1 orang, baik berjumlah 10 orang
dan cukup 19 orang. Dari Tabel 22 di atas juga terungkap bahwa peserta pelatihan, baik
yang berasal dari tingkat manajer dan kepala bagian QC dan staf bagian QC yang pernah
mendapat pelatihan sebelum pelatihan sistem manajemen keamanan pangan ini dilkukan,
lebih meningkat lagi tingkat pengertian dan pemahamannya. Dengan demikian dapat
dikatakan ada dampak positif terhadap sumber daya manusia pada perusahaan PT Kuala
Pangan. Hal ini mendukung hasil penelitian/kajian yang dilakukan oleh Manning (1994)
dan Howes et al (1996) yang menyatakan bahwa salah satu dampak positif adanya pelatihan
sistem keamanan pangan termasuk sistem HACCP adalah meningkatnya tingkat
pengetahuan, pengertian dan pemahaman SDM yang terlibat dalam sistem industri
pangan.

96
2. Menetapkan Kebijakan Mutu dan Keamanan Pangan Yang Berhubungan
Dengan HACCP Plan
Kebijakan mutu dan keamanan pangan merupakan pernyataan yang diungkapkan
oleh pimpinan tertinggi atau manajemen puncak suatu organisasi yang berupa janji atau
komitmen sebagai upaya untuk melaksanakan dan menegakkan serta memelihara standar
mutu yang tinggi (BSN, 2002). Pimpinan tertinggi yang bertanggung jawab terhadap
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan prosedur HACCP di PT Kuala Pangan dijabat
oleh Direktur. Komitmen manajemen puncak ini juga menjadi salah satu unsur dalam
pedoman penerapan sistem HACCP (Thaheer, 2005). Pernyataan kebijakan mutu dan
keamanan pangan perusahaan adalah sebagai berikut : (a) ”kami menetapkan bahwa
mutu dan keamanan produk menjadi prioritas utama dalam sistem produksi, sistem
manajemen mutu maupun pola pikir dalam sistem usaha secara keseluruhan dalam jangka
pendek maupun jangka panjang”, (b) ”kami menghasilkan produk dan layanan yang
aman dan bermutu tinggi sesuai dengan sistem HACCP yang memenuhi standar nasional
ataupun internasional”, dan (c) ”kami berupaya secara terus menerus dan konsisten
melakukan penegakan keamanan pangan dan perbaikan sistem manajemen”.
Konsekuensi dari komitmen perusahaan PT Kuala Pangan tersebut adalah segala
sesuatu yang berkaitan dengan pembiayaan dan investasi terhadap suatu fasilitas yang
dianggap penting dalam pelaksanaan sistem HACCP akan segera ditanggapi oleh
manajemen puncak PT Kuala Pangan. Misalnya biaya yang diperlukan untuk pelatihan
tim HACCP dan karyawan perusahaan yang akan mendukung dalam penerapan sistem
HACCP, biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki fasilitas sanitasi dan higiene
(urinoir, toilet/wc, wastafel) yang sudah dimiliki perusahaan dan perlu adanya perbaikan,
biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk pembelian bak sampah sebagai sarana pendukung
pengelolaan sampah, adanya perjanjian dalam bentuk kontrak kerja sama dengan pihak lain
dalam penanganan pengendalian hama (pest control), biaya yang dikeluarkan pembuatan
manual dokumen rencana HACCP serta biaya yang perlu dikeluarkan untuk melatih
internal auditor sistem HACCP di perusahaan. Bahkan komitmen tersebut harus dijaga
terus secara konsisten oleh perusahaan setelah perusahaan mendapat sertifikat
HACCP, karena dalam sistem HACCP berlaku pula filosofi adanya perbaikan yang
berkelanjutan.

97
3. Pembentukan Tim HACCP (Langkah Ke-1)
Tim HACCP diharapkan merupakan tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu
yang mengembangkan, mengimplementasikan dan memelihara sistem HACCP. Anggota
tim HACCP yang baik dan lengkap membutuhkan pengetahuan dan keahlian/kepakaran
tentang seluruh alur proses produksi, dimulai dari bahan baku, proses produksi, bahaya
yang mungkin timbul, dan produk akhir yang dihasilkan sampai pada pengiriman dan
pendistribusiannya.
Pembentukan Tim HACCP disusun berdasarkan struktur organisasi yang sudah
ada dalam badan usaha perusahaan PT Kuala Pangan sehingga legalitas dari tim ini dapat
dipertanggung-jawabkan. Pimpinan puncak/tertinggi secara formal organisasi adalah
orang yang memiliki wewenang tertinggi dalam pengendalian perusahaan. Berkaiatn
dengan pelaksanaan kebijakan penerapan sistem manajemen HACCP, pimpinan puncak
memberikan mandatnya kepada wakil manajemen (Ketua/Koordinator Tim HACCP) untuk
melaksanakan aktivitas persiapan sertifikasi dan pemantauan dalam penerapannya.
Organisasi Tim HACCP di PT Kuala Pangan terdiri dari : Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris
dan Anggota Tim HACCP. Struktur organisasi tim HACCP di perusahaan PT Kuala
Pangan dan uraian tugasnya dapat dilihat pada Tabel 23 dan 24.
Tabel 23. Struktur Organisasi Tim HACCP di Perusahaan PT Kuala Pangan
No. Nama Kedudukan Pendidikan Jabatan di Kompetensi Personil
Personil di Tim Perusahaan
HACCP
1. Abie Suhendra Ketua tim S-1 Teknik Manajer Produksi Di bidang proses dan analisis pangan,
Kimia pengalaman kerja 20 tahun, pernah
training sistem HACCP
2. Dede Sundjaja Wakil Ketua S-1 Teknik Manajer Teknik dan Di bidang proses dan pemeliharaan
Mesin Maintenance mesin, pengalaman kerja 5 tahun,
pernah ikut pelatihan sistem HACCP
3. Mulyanti Sekretaris Sarjana Muda Kepala Bagian QC Di bidang analisis fisik dan kimia
Rustella AKA pangan, pengalaman kerja 3 tahun,
Pelatihan internal sistem HACCP
4. Sony Irawan Anggota Sarjana Muda Supervisor QC Analisis fisik dan kimia, kalibrator,
AKA pelatihan internal HACCP
5. Akim Anggota STM Operator bagian produksi Operasi mesin-mesin proses produksi,
pelatihan internal HACCP
6. Aden Anggota STM Operator bagian produksi Operasi mesin-mesin proses produksi
7. Nurlela Anggota SAKMA Staf bagian QC Di bidang sanitasi
8. Thomas Anggota STM Kepala Regu di bagian Proses dan mesin, pelatihan internal
Kartolo produksi sistem HACCP
9. Endang Anggota SAKMA Staf bagian QC Pengujian bahan baku
10. Usman Benny Anggota STM Supervisor Produksi Proses dan mesin
11. Subandy Tipto Anggota STM Kepala gudang Pengendali gudang, pelatihan internal
HACCP
12. Samyuli Anggota STM Staf Bagian Maintenance Perawatan mesin

98
Tabel 24. Uraian Tugas Tim HACCP di Perusahaan PT Kuala Pangan
No. Jabatan Uraian Tugas Tim HACCP
1. Ketua Tim HACCP - Menyiapkan, membuat dan mengesahkan dokumen manual HACCP
- Menjamin dan bertanggung jawab penuh atas penerapan sistem HACCP di dalam
organisasi secara meneyeluruh
- Memberikan program pelatihan kepada semua karyawan
- melakukan verifikasi/audit secara berkala terhadap sistem HACCP dan tindakan
perbaikan serta perubahan yang diperlukan
- Mengadakan dan memimpin rapat tim HACCP secara berkala
- Melakukan dan menjaga hubungan dengan pihak konsultan HACCP dan LSSM
HACCP
2. Wakil Ketua - Membantu Ketua tim HACCP dalam menjalankan tugas penerapan sistem HACCP
- Menjalankan tugas dan fungsi ketua, jika yang bersangkutan berhalangan
- Membantu Ketua tim dalam program pelatihan sistem HACCP terhadap karyawan
perusahaan
- Memberikan program pelatihan kepada karyawanh harian terhadap penerapan
sistem HACCP
- Memberikan masukan, usulan perbaikan sistem HACCP kepada Ketua tim sehingga
terjadi peningkatan mutu atas sistem HACCP
- Membantu Ketua tim HACCP dalam program pelatihan, penerapan dan perbaikan
sistem HACCP di dalam perusahaan
3. Sekretaris - Menyiapkan dan membuat dokumen manual HACCP
- Mengendalikan, mendistribusikan dokumen HACCP dan menjamin bahwa setiap
unit menerima dokumen HACCP yang benar dan terbaru
- Menyimpan semua rekaman dokumen, catatan dan data terhadap semua dokmen
HACCP dengan baik dan rapi
- Melakukan revisi terhadap dokumen sesuai dengan perubahan yang telah ditetapkan
dan mendistribusikan dokumen yang baru serta menarik dokumen yang lama
- Memusnahkan dokumen yang sudah tidak terpakai atau yang sudah melewati masa
simpan dokumen
4. Anggota - Membantu persiapan dan pembuatan dokumen manual sistem HACCP
- Memberikan masukan, usulan perbaikan sistem HACCP sehingga terjadi
peningkatan mutu atas sistem HACCP
- Menjadi fungsi kontrol dalam pelaksanaan sistem HACCP di dalam lingkungan unit
masing-masing

Dari struktur organisasi tim HACCP dan kompetensi personil yang termasuk
dalam tim HACCP tersebut terlihat belum terdapat personil yang kompeten di bidang
mikrobiologi dan personil yang berlatar belakang pendidikan di bidang ilmu dan
teknologi pangan, serta personil yang kompeten sebagai internal auditor untuk melakukan
program audit sistem HACCP di perusahaan. Oleh karena itu, PT Kuala Pangan sebagai
industri atau perusahaan yang menerapkan sistem HACCP harus menyediakan sumber
daya manusia (SDM) dengan kompetensi yang sesuai untuk mendukung sistem HACCP
tersebut. Bila perusahaan PT Kuala Pangan tidak memiliki SDM dengan kompetensi
yang sesuai dan dibutuhkan perusahaan, maka direkomendasikan dapat menggunakan/
memanfaatkan jasa konsultan dari luar perusahaan yang ahli di bidangnya dan
pengalaman dalam mengembangkan sistem HACCP.

99
Ruang lingkup dalam penyusunan dan pengembangan rancangan HACCP
(HACCP Plan) ini adalah produksi mi kering. Mi kering ini merupakan produk yang
berbentuk padat, kering bebentuk khas mi dan dibuat dari bahan baku tepung terigu, garam,
tepung telur, air, dan bahan tambahan pangan (BTP) yang terdiri dari natrium karbonat dan
kalium karbonat serta bahan pewarna tartrazin.
Prosedur untuk rencana HACCP atau HACCP Plan meliputi seluruh proses
produksi, mulai dari penerimaan bahan baku sampai dengan penyimpanan sementara
produk akhir di gudang penyimpanan dan pendistribusiannya. Bahaya biologi
(mikrobiologi) untuk produk mi kering yang mungkin timbul adalah E. coli, coliform,
Salmonella, Staphylococcus dan kapang, tetapi karena dalam proses produksinya
menggunakan pemanasan dan pengeringan sehingga tidak memungkinkan bahaya biologi
tersebut untuk tumbuh. Sedangkan bahan baku yang digunakan juga tidak
memungkinkan mikroba untuk tumbuh. Bahaya mikrobiologi yang mungkin terjadi berasal
dari tepung telur berupa Salmonella, Staphylococcus dan kapang. Namun bahaya biologi
yang berupa bakteri E. coli, Salmonella, Staphylococcus dan kapang akan musnah
dan dihilangkan pada saat pemasakan produk mi kering dengan suhu 100oC oleh
konsumen sebelum dikonsumsinya.
Bahaya kimia dapat berasal dari bahan pembersih (deterjen), bahan pensanitasi
(sanitaiser) dan cemaran logam-logam berat yang berasal dari bahan baku tepung terigu
dan garam konsumsi beryodium; sedangkan bahaya fisik bukan merupakan suatu bahaya
yang potensial.

4. Deskripsi Produk Dan Identifikasi Pengguna (Langkah Ke-2 dan Langkah Ke-3)
Deskripsi produk mi kering hasil produski PT Kuala Pangan dan identifikasi
penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 25.

100
Tabel 25. Deskripsi Produk Mi Kering produksi PT Kuala Pangan
No. Uraian
1. Nama produk Mi kering
2. Deskripsi umum Produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan atau
penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan (BTP)
yang diizinkan, berbentuk khas mi (SNI 01. 2974-1992)
3. Komposisi bahan baku dan Tepung terigu, garam konsumsi beryodium, tepung telur, air, sodium
bahan tambahan lain karbonat dan kalium karbonat, serta pewarna tartrazin CI 19140.
4. Karakteristik produk -Fisik : padat, kering berbentuk khas mi dengan ukuran bobot netto
200 gram, warna kekuningan dengan rasa dan aroma normal, aw
0,81.
-Kimia : kadar air 8-10%, kadar protein 8-11%, Tidak mengandung
boraks, Kandungan Cemaran logam berat Pb maks. 1,0 (mg/kg), Cu
maks, 10,0 (mg/kg), Zn maks. 40,0 (mg/kg), Hg maks. 0,05 (mg/kg),
As maks. 0,5 (mg/kg) dan pewarna sesuai dengan SNI.022-M dan
Per.Men.Kes. No. 722/MenKes/ Per/ IX/88;
-Mikrobiologi : Angka lempeng total maks. 1,0 x 106 koloni/g; E.
Coli maks. 10; dan kapang negatif (SNI 01.2974-1992).
5. Metode Pengemasan Dilakukan secara masinal menggunakan mesin pengemas dan manual.
Bahan pengemas primer terbuat dari Poli Propilen (PP), sedang
pengemas sekunder terbuat dari kotak karton jenis CFB.
6. Pelabelan Nama dan kode produk, nomor lot, bobot netto, komposisi, nama dan
alamat perusahaan, tanggal kadaluwarsa, tanggal produksi, kondisi
penyimpanan dan petunjuk penggunaannya
7. Umur simpan 1 tahun dalam suhu kamar/suhu ruang biasa.
8. Kondisi penyimpanan Suhu ruang, tidak terkena cahaya matahari langsung, tempat kering &
tidak lembab, tidak berbau.
9. Distribusi -Menggunakan truk boks tertutup rapat atau truk tertutup rapat (untuk
transportasi darat)
-Menggunakan container dan kapal (untuk transportasi laut)
10. Penjualan Dari industri ke distributor dan ekspor ke negara lain
11. Target konsumen Produk dapat dikonsumsi oleh semua orang dan tidak ditujukan secara
khusus untuk kelompok populasi tertentu
12. Cara penggunaan Produk perlu dimasak lebih dahulu sebelum dikonsumsi sesuai
petunjuk penggunaan pada label produk

5. Penentuan dan Verifikasi Diagram Alir Proses Produksi (Langkah Ke-4 dan
Langkah Ke-5)
Diagram alir adalah suatu gambaran yang sistematis dari urutan tahapan atau
pelaksanaan pekerjaan yang dipergunakan dalam produksi atau dalam menghasilkan
produk pangan tertentu (BSN, 2002). Diagram alir proses produksi dibuat dengan tujuan
untuk mempermudah analisis HACCP. Diagram alir proses ini diharapkan dapat membantu
mengidentifikasi sumber kontaminasi yang potensial dan upaya-upaya apa yang dapat
dilakukan untuk mengendalikan bahaya tersebut. Penentuan diagram alir

101
proses pembuatan produk mi kering di perusahaan dilakukan dengan mencatat seluruh
tahapan proses, sejak bahan baku diterima hingga produk siap disimpan sementara dan
didistribusikan ke konsumen. Diagram alir proses produksi pembuatan mi kering hasil
verifikasi di lapang (on site) dapat dilihat pada Gambar 4.

Penerimaan bahan baku, bahan


pembantu dan bahan tambahan pangan

Penyimpanan bahan baku, bahan


pembantu dan bahan tambahan pangan

Pengayakan (Khususnya tepung terigu


dan garam)

Penimbangan bahan baku , bahan


pembantu dan bahan tambahan pangan

Air
Air Pembuatan Larutan Alkali

Pencampuran adonan mi (Mixing)

102
A

Pembentukan Adonan Menjadi


Lembaran dengan Roll Press

Pembentukan/Pencetakan Untaian
kembang mi (Slitting)

Pengukusan pada suhu 90-100 oC;


Uap panas selama 1,5-2 menit (Steaming)

Pendinginan Untaian kembang mi


dengan kipas angin (Cooling)

Pemotongan Untaian kembang mi


(Cutting)

Uap panas Pengeringan mi dengan oven pada suhu


90-100 oC; selama 25-30 menit (Drying)

Pendinginan mi dalam tunnel dengan


kipas angin selama 2-3 menit (Cooling)

Pengemasan primer mi kering dengan


plastik jenis PP dan kemasan sekunder
kotak karton

Penyimpanan produk mi kering dalam


gudang penyimpanan

Pengiriman dan Pendistribusian


produk mi kering

Gambar 4. Diagram Alir Proses Produksi Mi kering di PT Kuala Pangan Hasil Verifikasi.

103
Proses produksi atau pembuatan mi kering yang dilakukan di PT Kuala Pangan
Citeureup, Bogor meliputi tahap-tahap, sebagai berikut : penerimaan bahan baku dan bahan
lain, penyimpanan bahan baku dan bahan lain, pengayakan (khususnya untuk bahan
baku tepung terigu dan garam), penimbangan bahan baku dan bahan lain untuk produksi
mi, pembuatan larutan alkali, pencampuran adonan mi (mixing), pengepresan dengan roll
press, pencetakan untaian pita mi (slitting), pengukusan (steaming), pendinginan (cooling),
pemotongan (cutting), pengeringan dengan oven (drying), pendinginan (cooling),
pengemasan primer (packing) dan sekunder (kartoning), dan penyimpanan di gudang.

a. Penerimaan Bahan Baku dan Bahan Lain


Penerimaan bahan baku, bahan pembantu/penolong, bahan tambahan pangan (BTP)
dan bahan pengemas merupakan tahap paling awal dalam proses produksi pembuatan mi
kering di PT Kuala Pangan. Pada penerimaan bahan-bahan tersebut dilakukan pemeriksaan
terhadap bahan-bahan yang diterima untuk setiap kali kedatangan di perusahaan PT Kuala
Pangan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan perusahaan. Misalnya untuk tepung
terigu dengan spesifikasi : kadar air maksimum 14,5%, kadar protein gluten 8-12%, kadar
abu masimum 0,6%, kadar silikat maksimum 0,1%, bau dan rasa normal, dan serangga
tidak boleh ada; untuk garam dengan spesifikasi : kadar air maksimum 7%, kadar NaCl
94,4%, warna putih, kadar yodium minimum 30 mg/kg, kadar kalim dan magnesium
maksimum 1%; untuk sodium karbonat (Na2CO3) dan potasium karbonat (K2CO3) dengan
spesifikasi : kadar air maksimum 3%, kotoran dan benda asing tidak boleh ada,
penampakan berbentuk powder dan warna putih, label/segel jelas dan asli, dan kemasan
harus baik dan utuh; dan untuk tartrazin CI 19140 dengan spesifikasi : kadar air maksimum
5%, kode produksi CI 19140, kotoran tidak boleh ada, penampakan powder dan berwarna
kuning jingga, label dan segel terlihat jelas dan asli serta kemasan dalam kondisi baik dan
utuh.
Pemeriksaan terhadap bahan-bahan yang diterima di perusahaan dilakukan oleh
bagian gudang dan bagian pengendalian mutu (QC) sesuai dengan SOP (standar prosedur
operasi) perusahaan. Bila ditemukan adanya bahan-bahan yang tidak sesuai dengan

104
spesifikasi dan COA (certificate of analysis); bahan-bahan yang tidak sesuai tersebut
dikembalikan ke pihak pemasok atau supplier.

b. Penyimpanan Bahan Baku dan Bahan Lainnya di Perusahaan


Penyimpanan bahan baku dan bahan lainnya di perusahaan merupakan tahap
selanjutnya setelah tahapan penerimaan bahan-bahan tersebut. Cara penyimpanan bahan
baku, bahan penolong/pembantu, bahan tambahan pangan dan bahan pengemas masing-
masing disimpan terpisah satu sama lain di dalam ruang/gudang yang bersih, cukup
penerangan, terjamin aliran udaranya, dan pada suhu yang sesuai serta dengan
menerapkan prinsip FIFO (first in first out). Setiap bahan baku yang diterima oleh
perusahaan disimpan di gudang bahan baku dengan menggunakan fasilitas pallet. Pallet
berfungsi sebagai hamparan bahan, menghindari kontak langsung dengan lantai yang
lembab, membantu proses sirkulasi udara dan menjaga mutu bahan baku yang akan
digunakan untuk proses produksi.
Penyimpanan bahan tambahan pangan (BTP) dilakukan sesuai dengan peraturan
yang tercantum pada label dan disimpan pada gudang yang berpendingin (dipasang air
conditioner) untuk bahan yang sensitif terhadap udara serta untuk menjaga kestabilan
bahan. Selain itu, bahan baku, bahan penolong/pembantu dan bahan tambahan pangan
tersebut disimpan dengan sistem kartu dengan menyebutkan : nama bahan, tanggal
penerimaan, asal bahan, jumlah penerimaan di gudang, tanggal pengeluaran dari gudang,
sisa akhir di dalam kemasan/gudang, tanggal pemeriksaan dan hasil pemeriksaan.

c. Pengayakan
Pengayakan bahan baku dilakukan untuk menghilangkan cemaran fisik benda padat
berupa potongan plastik, benang dan potongan serangga yang mungkin terdapat pada bahan
baku, khususnya pada bahan baku tepung terigu dan garam sebelum bahan tersebut
dilakukan penimbangan dan diproses lebih lanjut dalam proses pencampuran.
Pengayakan bahan-bahan tersebut dilakukan dengan menggunakan alat pengayak
yang mempunyai ukuran saringan 200 mesh. Dengan demikan, alat pengayak tersebut dapat
berfungsi untuk mengurangi atau mengeliminasi bahaya fisika yang terkandung dalam
bahan tepung terigu dan garam sebelum diproses menjadi produk mi kering.

105
d. Penimbangan Bahan Baku dan Bahan Lain Untuk Produksi Mi
Penimbangan bahan baku dan bahan lain merupakan tahap awal pembuatan mi.
Pada proses ini dilakukan penimbangan bahan-bahan yang digunakan untuk proses
pembuatan mi kering seperti tepung terigu, garam dapur (garam konsumsi beryodium),
tepung telur, bahan tambahan pangan soda abu (natrium karbonat dan kalium karbonat)
dan bahan pewarna tartrazin untuk pembuatan larutan alkali. Selain penimbangan bahan-
bahan tersebut juga dilakukan pengukuran jumlah volume air yang akan digunakan untuk
pembuatan larutan alkali.
Penimbangan bahan baku dan bahan lain untuk proses produksi mi kering secara
khusus bertujuan untuk menentukan formulasi bahan adonan yang akan dibuat menjadi
produk mi kering dan juga untuk mempersiapkan bahan yang akan diproduksi menjadi mi
kering berdasarkan perencanaan produksi yang telah ditetapkan di bagian produksi.

e. Pembuatan Larutan Alkali


Pembuatan Larutan Alkali bertujuan untuk menghasilkan larutan alkali yang
merupakan campuran dari soda natrium karbonat dan kalium karbonat, air, garam, tepung
telur dan bahan pewarna tartrazin CI 19140, semuanya dicampur dalam tangki alkali.
Alat ini terbuat dari bahan stainless steel dengan bentuk empat persegi panjang. Di
bagian dalam alat ini dilengkapi dengan sebuah agitator yang mempunyai 2 buah
impeller (baling-baling), yaitu satu buah pada bagian atas dan satu buah lagi di bagian
bawah. Baling-baling (impeller) ini berfungsi untuk membantu proses pencampuran agar
menjadi lebih merata sehingga diperoleh campuran yang homogen. Operasi alat ini
menggunakan energi listrik dengan adanya motor penggerak yang dipasang pada alat
tersebut. Spesifikasi tangki alkali yang dipakai di PT Kuala Pangan ini adalah : panjang
120 cm, lebar 120 cm, tinggi 135 cm, kebutuhan ampere 6,6 Amp, kebutuhan daya 1,5
KW, kebutuhan voltage 220 volt, dan kecepatan putar 150 rpm.
Larutan alkali berfungsi untuk memberi warna, rasa dan memperkuat struktur mi.
Pada pembuatan larutan alkali uji yang dilakukan yaitu uji standar viskositas, pH,
penampakan dan pewarna. Viskositas larutan alkali diukur dengan menggunakan
viskometer, sedangkan nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter. Penampakan
larutan alkali berwarna kuning, larutan homogen dan tidak terdapat benda asing.

106
f. Pencampuran Adonan (Mixing)
Proses pencampuran adonan (mixing) merupakan proses awal pembuatan mi,
yaitu pencampuran dan pengadukan tepung terigu dengan larutan alkali yang dilakukan
di dalam mixer. Proses pencampuran bertujuan untuk menghasilkan campuran yang
homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan dari jaringan gluten,
sehingga adonan menjadi halus, plastis, elastis dan keadaan adonan tidak pera atau lengket.
Hal yang harus diperhatikan dalam proses ini adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu
adonan dan waktu pengadukan.
Air yang ditambahkan dan digunakan dalam proses pencampuran (mixing) di PT
Kuala Pangan adalah sekitar 30-35% dari total bobot tepung terigu; sedang pencampuran
adonan dilakukan dan dipertahankan pada pada kisaran suhu 32-35oC serta waktu
pengadukan dilakukan selama sekitar 20-25 menit. Suhu tersebut dipertahankan dengan
cara memanaskan alat mixer menggunakan pemanasan sistem jacket dengan uap panas.
Apabila suhunya kurang dari 32 oC adonan menjadi keras, rapuh dan kasar, sedangkan
jika suhunya lebih dari 35oC adonan menjadi lengket dan mi menjadi kurang elastis. Waktu
pengadukan dilakukan sekitar 20-25 menit, karena bila waktu pengadukan kurang
dari 20 menit adonan menjadi lunak dan lengket, sedangkan bila lebih dari 25 menit
adonan menjadi keras, rapuh dan kering. Selama proses pengadukan akan terjadi
kenaikan suhu akibat gesekan baling-baling mesin dengan adonan. Kenaikan suhu
tersebut berpengaruh terhadap pengembangan dan kelembutan adonan akibat terjadinya
penyebaran dan distribusi air dalam tepung.

g. Pengepresan dengan Roll Press


Pengepresan dengan roll press bertujuan untuk membentuk adonan menjadi
lembaran adonan yang halus dan elastis, menghaluskan serat-serat gluten dan membuat
adonan menjadi lembaran. Hal ini dilakukan dengan cara melewatkan adonan berulang-
ulang di antara dua roll logam sampai dicapai ketebalan tertentu sehingga adonan siap
dicetak menjadi untaian pita mi. Pembentukan lembaran dengan roll press akan
menyebabkan pembentukan serat-serat gluten yang halus, homogen serta mempunyai
ketebalan 1,0-1,1 mm. Hal ini akan mempengaruhi mutu mi yang dihasilkan. Agar dapat
menghasilkan lembaran yang halus dengan jalur serat yang searah dan lembaran adonan

107
tidak kasar dan pecah-pecah, maka suhu pengepresan dilakukan pada suhu sekitar 35 - 37
o
C dengan menggunakan pemanas dari uap panas yang berasal dari boiler melalaui
saluran uap panas yang mengalir pada alat roll press tersebut.
Pengendalian mutu yang dilakukan di PT Kuala Pangan pada proses pengepresan
dengan roll press yang paling penting adalah tebal lembar adonan. Menurut Pribadi (2004),
faktor-faktor yang mempengaruhi pengepresan adalah : kerenggangan roll press (standar
kerenggangan 1,0-1,2 mm), kebersihan, dan adonan yang tidak standar. Mesin pengepres
terdiri dari beberapa buah silinder berpasangan yang berputar berlawanan arah. Pada saat
melewati roll press, lembaran akan mengalami peregangan dan mengalami relaksasi saat
keluar dari roll press. Semakin renggang roll press, lembaran adonan yang terbentuk akan
semakin tebal, sehingga ketebalan untaian mi menjadi tidak standar. Oleh karena itu,
Supaya peregangan dan relaksasi berlangsung dengan baik, maka kedudukan roll press
harus diatur sedemikian rupa sehingga lembaran adonan merata di seluruh permukaan roll
dan seimbang antara roll awal sampai roll akhir. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kebersihan
mesin pengepres (pressing) juga sangat berpengaruh terhadap hasil pressing, adanya
kotoran selama pengepresan dapat mengganggu jalannya lembaran adonan. Selain itu bila
adonan tidak sesuai standar atau adonan terlalu lembek maka akan sulit dipres, sedangkan
bila adonan terlalu keras maka menyebabkan adonan retak selama dipres (Pribadi, 2004).
Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa adanya kotoran dan tali plastik
yang terselip pada roll press berpengaruh terhadap bentuk lembaran adonan yang
dihasilkan, yaitu bentuk lembar adonan menjadi tidak rata dan tidak seragam (homogen)
sehingga lembaran adonan ini perlu dipisahkan dan diproses kembali dari awal, sedang alat
pengepres yang kotor tersebut perlu dibersihkan dulu oleh bagian operator mesin
pengepres.

h. Pencetakan Untaian Pita Mi (Slitting)


Pencetakan untaian pita mi (slitting) merupakan suatu proses pengubahan
lembaran adonan menjadi untaian pita sesuai dengan ukuran yang diinginkan, kemudian
siap dibentuk menjadi gelombang mi. Proses slitting dimulai dengan melewatkan
lembaran tipis adonan yang keluar dari mesin pengepres ke suatu silinder logam beralur

108
kecil (slitter) yang akan memotong lembaran adonan menjadi untaian mi, selanjutnya
untaian mi dilewatkan ke suatu mangkuk slitter berbentuk segi empat. Mangkuk slitter
terdiri dari beberapa lajur yang pada setiap lajur menghasilkan 70-80 untaian mi tergantung
dari nomor slitter yang digunakan.
Tahap selanjutnya dalam proses ini adalah pembentukan untaian mi menjadi
untaian mi yang bergelombang. Pembentukan gelombang mi ini terjadi akibat perbedaan
kecepatan putaran slitter, waving net conveyor, dan steam box. Untaian mi yang keluar dari
slitter dihasilkan dengan kecepatan tinggi dan diterima oleh waving net conveyor yang
kecepatannya lebih rendah sehingga terjadi pemadatan untaian. Untaian mi yang
menumpuk sangat padat tersebut diterima oleh steam box yang putarannya lebih cepat
dari waving net conveyor, tetapi lebih lambat dari slitter sehingga untaian mi yang padat
akan sedikit tertarik kembali dan terbentuklah gelombang mi yang rata. Apabila jumlah
untaian yang dihasilkan tidak sesuai dengan standar akan berpengaruh terhadap bobot mi
yang dihasilkan.
Faktor yang mempengaruhi pencetakan adalah kebersihan, dan penyetelan roll
slitter dan mangkuk slitter. Adanya kotoran selama dilakukan proses pencetakan dapat
mengganggu pembentukan untaian dan gelombang mi serta dapat merusak slitter.
Penyetelan roll slitter yang kurang baik akan menyebabkan untaian dan gelombang mi
tidak rapi. Semakin sedikit mangkuk slitter maka lajur mi semakin sedikit, jumlah
untaian mi tiap lajur makin banyak dan menambah berat mi.

i. Pengukusan (Steaming)
Pengukusan (Steaming) merupakan proses pengukusan mi yang keluar dari
proses slitting (slitter) secara kontinyu dengan menggunakan uap panas. Proses pengukusan
mi di PT Kuala Pangan dilakukan dengan cara melewatkan untaian mi hasil pencetakan ke
dalam mesin pengukus sistem uap (steam tunnel) pada suhu 90-100oC dengan
menggunakan ban berjalan (conveyor) selama 1,5-2 menit. Pada proses ini terjadi
gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga dengan terjadinya dehidrasi air dari gluten
akan menyebabkan terjadinya kekenyalan pada mi.
Steam tunnel ini berbentuk empat persegi panjang, dengan panjang 15 meter dan
lebar 80 cm serta terbuat dari bahan yang stainless steel. Di bagian dalam alat ini, yaitu di

109
bagian kiri dan kanan terdapat pipa-pipa dengan sejumlah lubang-lubang, dimana
diameter lubang-lubang tersebut kira-kira 0,2 cm dan jarak antar lubang adalah 12 cm
dengan arah menghadap ke bawah membentuk sudut 45o. Lubang-lubang tersebut berfungsi
untuk mengalirkan uap panas (steam) yang berasal dari boiler. Pada bagian ujung steam
tunnel ini terdapat cerobong yang berfungsi untuk membuang sisa uap.

j. Pendinginan (Cooling)
Pendinginan (Cooling) merupakan proses setelah mi keluar dari proses
pengukusan dengan cara melewatkan mi hasil pengukusan ke dalam suatu alat berbentuk
kotak yang di dalamnya dilengkapi dengan kipas angin (blower) serta terdapat sejumlah
lubang kecil yang berfungsi untuk menguapkan/mengeluarkan energi panas yang berasal
dari cooling conveyor. Spesifikasi alat cooling conveyor ini adalah : panjang 4,50 m,
lebar 1,36 m, tinggi 0,6 m, jumlah kipas angin 4 buah, diameter lubang 0,8 cm dan jarak
antar lubang 0,3 cm. Proses pedinginan ini dimaksudkan untuk mencegah mi melekat
pada conveyor yang berjalan. Kemudian proses dilanjutkan ke tahap proses pemotongan.

k. Pemotongan (Cutting)
Pemotongan (Cutting) mi dilakukan dengan mesin pemotong dan dalam proses ini
mi dipotong dan dibentuk lipatan dengan mendorong bagian tengah potongan ke dalam
dengan menggunakan alat seperti cangkul. Pada bagian atas tersebut terdapat roll
berputar yang berfungsi sebagai alat pelipat yang akan melipat mi menjadi dua bagian sama
panjang. Alat pemotong (cutter) yang dimiliki PT Kuala Pangan terdiri dari roll cutter dan
pisau cutter yang terbuat dari bahan stainless steel, dimana pisau cutter menempel pada
roll cutter. Panjang roll cutter adalah 63 cm, sedangkan panjang pisau cutter adalah 60 cm.
Alat ini juga dilengkapi dengan roll plastic yang berfungsi untuk melipat mi pada saat
proses cutting.
Bobot mi yang keluar dari mesin pemotong di PT Kuala Pangan didisain sedemikian
rupa sehingga memiliki bobot sekitar 215 gram dan diharapkan setelah proses pengeringan
akan mengalami penurunan bobot sekitar 12-15 gram, sehingga bobot mi nantinya
mencapai sekitar 200-203 gram.

110
l. Pengeringan (Drying)
Pengeringan (Drying) bertujuan untuk memantapkan pati tergelatinisasi,
menurunkan kadar air dan mengeringkan mi sehingga produk akan menjadi kering, kaku
dan awet serta memiliki kadar air sekitar 7-8 persen dan mi dapat disimpan dalam jangka
waktu yang lama. Proses pengeringan untuk pembuatan mi kering di PT Kuala Pangan
Citeureup, Bogor dilakukan dengan cara melewatkan produk mi yang telah terpotong
dengan menggunakan oven pengering pada kondisi suhu 90-100oC dalam conveyor
berjalan selama 25-30 menit.
Oven pengering ini berbentuk empat persegi panjang, dengan panjang 40 meter
dan lebar 80 cm serta terbuat dari bahan yang stainless steel. Di bagian dalam alat ini, yaitu
di bagian kiri dan kanan terdapat pipa-pipa dengan sejumlah lubang-lubang, dimana
diameter lubang-lubang tersebut kira-kira 0,2 cm dan jarak antar lubang adalah 12 cm
dengan arah menghadap ke bawah membentuk sudut 45o. Lubang-lubang tersebut berfungsi
untuk mengalirkan uap panas (steam) yang berasal dari boiler. Pada bagian ujung steam
tunnel ini terdapat cerobong yang berfungsi untuk membuang sisa uap.
Selain itu di bagian dalam alat ini juga terdapat blower untuk menguapkan uap air yang
terdapat pada bahan.

m. Pendinginan (Cooling)
Pendinginan (Cooling) adalah proses pendinginan dengan cara melewatkan mi ke
dalam suatu kotak (tunnel) yang di dalamnya terdapat sejumlah kipas angin (blower yang
digerakkan motor penggerak), sedangkan pada bagian samping alat ini terdapat sejumlah
lubang kecil yang berfungsi untuk menguapkan/mengeluarkan energi panas yang berasal
dari cooling conveyor. Spesifikasi alat cooling conveyor ini adalah : panjang 9,50 m,
lebar 1,36 m, tinggi 0,6 m, jumlah kipas angin 8 buah, diameter lubang 0,8 cm dan jarak
antar lubang 0,3 cm. Tujuan dari proses ini adalah agar mi yang baru keluar dari proses
pengeringan dapat diturunkan suhunya sehingga mencapai suhu sekitar 32oC sebelum
dikemas dengan etiket. Pendinginan berlangsung selama 2-3 menit sehingga mi menjadi
lebih keras.
Mi yang telah melalui alat pendingin diharapkan telah mengalami pendinginan
secara sempurna. Apabila mi masih dalam keadaan panas langsung dikemas, maka akan

111
terjadi penguapan uap air dan menempel pada permukaan dalam etiket. Oleh karena suhu
luar etiket lebih rendah, maka titik-titik uap air yang menempel di permukaan dalam
etiket akan mengembun dan akan jatuh membasahi mi. Dengan demikian, dalam keadaan
ini mi akan mudah rusak karena terserang/ditumbuhi kapang, sehingga umur simpan mi
menjadi lebih pendek.

n. Pengemasan (Packing)
Pengemasan (Packing) adalah pembungkusan produk mi kering dengan cara
memasukkan produk tersebut ke dalam kemasan plastik yang beretiket/berlabel sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan perusahaan. Tujuan pengemasan produk adalah untuk
melindungi mi dari kemungkinan tercemar atau kerusakan sehingga tidak mengalami
penurunan mutu dan aman pada saat sampai ke tangan konsumen. Kemasan primer plastik
yang digunakan oleh PT Kuala Pangan adalah pengemas plastik jenis polipropilen (PP),
dengan bobot netto produk setiap kemasan 200 gram. Menurut Syarief et al (1989), sifat-
sifat polipropilen (PP) antara lain ringan, mudah dibentuk, punya kekuatan tarik sobek
sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi, serta tahan pada suhu tinggi sampai pada
suhu 150oC. Dalam mesin pengemas, mi dikemas dengan menggunakan pengemas primer
(label) secara otomatis dan pada pengemas dicantumkan
kode produksi dan tanggal kadaluwarsa.
Setelah keluar dari mesin pengemas, dilakukan pengemasan sekunder dengan
memasukkan produk mi yang sudah dikemas dalam plastik ke dalam kotak karton secara
manual, dimana setiap kotak karton berisi 20 bungkus kemasan plastik. Selanjutnya kotak
karton ditutup rapat dan disealing serta dicantumkan kode produksi dan tanggal
kadaluwarsanya. Pengemasan ini dilakukan dengan tujuan : (a) untuk melindungi produk
dari kerusakan, (b) melindungi produk dari terjadinya kontaminasi silang dengan bahan-
bahan lain, dan (c) memudahkan dalam transportasi dan distribusi produk ke pelanggan.
Dengan dilakukannya pengemasan yang baik dapat terhindar dari pencemaran- pencemaran
antara lain : (a) Debu-debu dan kotoran tangan, (b) Serangga-serangga seperti semut,
kutu dan lainnya, (c) Kelembaban oksigen di udara, dan (d) Sinar matahari dan lainnya.

112
o. Penyimpanan Produk Dalam Gudang
Tahap selanjutnya adalah produk yang sudah dikemas dalam kotak karton tersebut
disimpan dalam gudang penyimpanan hasil produksi sebelum didistribusikan ke agen,
distributor dan pengecer. Salah satu upaya yang dilakukan oleh PT Kuala Pangan untuk
menjaga mutu (kualitas) produk akhir yang akan dipasarkan adalah dengan mengatur
stock secara efisien yang dikenal dengan sistem FIFO (First In First Out) dimana produk
yang pertama datang akan dikeluarkan terlebih dahulu. Namun, secara operasional sistem
ini memiliki kelemahan terutama jika tidak disertai dengan pengawasan yang ketat. Hal
ini dapat terjadi terutama pada saat target produksi meningkat sehingga jumlah barang yang
disimpan di gudang melebihi kapasitas gudang yang tersedia. Dalam kondisi dan situasi
seperti itu seringkali sistem FIFO tidak dapat dijalankan dengan baik. Akibatnya tidak ada
jaminan bahwa produk yang datang pertama kali akan dikeluarkan dan dipasarkan terlebih
dahulu. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), masalah FIFO dapat diatasi jika sumber
daya manusia dalam hal ini pengelola gudang memiliki tingkat kesadaran dan disiplin yang
tinggi untuk mencatat tanggal pemasukan/pengeluaran dan lokasi dimana barang
ditempatkan.

p. Pengiriman dan Pendistribusian Produk


Pengiriman dan pendistribusian produk mi kering yang dihasilkan dilakukan oleh
perusahaan PT Kuala Pangan sendiri atau dilakukan oleh perusahaan atau pihak lain
melalui sub-kontrak. Untuk pengiriman dan pendistribusian yang dilakukan oleh pihak
PT Kuala Pangan menggunakan fasilitas angkutan truk yang tertutup rapat (menggunakan
terpal) atau menggunakan mobil boks milik perusahaan sendiri. Sedangkan pihak lain
juga menggunakan fasilitas truk yang tertutup rapat pula. Semua produk yang dikirim dan
didistribusikan dikeluarkan dengan prinsip FIFO (Firts In First Out) dan dicatat oleh bagian
gudang serta bagian pengendalian mutu (QC).

113
6. Analisis Bahaya dan Penentuan Tindakan Pencegahannya (Langkah Ke-6,
Prinsip 1 HACCP)

Analisis bahaya merupakan prinsip ke-1 dari 7 (tujuh) prinsip penerapan sistem
HACCP. Analisis bahaya adalah proses pengumpulan dan menilai informasi bahaya dan
keadaan sampai terjadinya bahaya untuk menentukan mana yang berdampak nyata
terhadap keamanan pangan dan harus ditangani dalam rencana HACCP sesuai dengan
SNI 01.4852-1998 (BSN, 1999). Besarnya peluang potensi bahaya untuk bahan baku utama
dan bahan pembantu serta bahan tambahan pangan ditetapkan berdasarkan hasil analisis
dari laboratorium yang sudah terakreditasi, sedang untuk tahapan proses produksi
ditetapkan berdasarkan hasil observasi dan pengamatan catatan yang ada di lapangan.
Analisis bahaya dan tindakan pencegahannya dalam penelitian ini dibahas secara khusus
dan komprehensif serta difokuskan pada proses produksi mi kering yang dibuat di PT
Kuala Pangan.
Kajian bahaya terhadap proses produksi mi kering, terutama pada penerimaan
bahan baku (bahan baku utama, bahan pembantu utama, dan bahan tambahan pangan) yang
digunakan serta tindakan pencegahannya dapat dilihat pada Tabel 26. Berdasarkan kajian
bahaya pada penerimaan bahan baku yang dilakukan, diperoleh bahwa bahaya potensial
pada bahan baku yang signifikan yang perlu dikendalikan adalah bahaya biologis
berupa kemungkinan adanya bakteri patogen E. coli dan kapang pada tepung terigu;
kemungkinan adanya bakteri patogen E. coli, Salmonella, dan Staphylococcus pada
tepung telur, serta kemungkinan adanya bakteri patogen E. coli/feacal coli, coliform group
dan Salmonella pada air yang digunakan untuk campuran proses produksi ; bahaya kimia
berupa cemaran logam-logam berat seperti timbal (Pb), merkuri (Hg), tembaga (Cu)
dan cemaran arsen (As) pada bahan baku tepung terigu, garam dan air, serta bahaya fisik
berupa potongan benang, tali plastik dan serpihan batu (kerikil) pada tepung terigu dan
garam.

114
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan
Potensi Bahaya yang Peluang Severity Signifi-
Langkah mungkin timbul/ trjadinya (Tingkat kansi Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah
Proses/Tahap berkembang (biologis, Penyebab/Justifikasi bahaya bahaya keakutan bahaya diidentifikasi
kimia, fisik) (H, M, L) bahaya (Y/N)
(h, m, l)
Penerimaan B :Escherichia coli - Penanganan di supplier kurang higienis M m N - Pada tahap selanjutnya terdapat proses pengukusan
bahan baku - Hasil pengujian di laboratorium BBIA : E. Coli = <3 pada suhu 90-100oC selama 1,5-2 menit dan proses
tepung terigu standar maksimal 10; TPC = 7,3 x 102 < standar pengeringan pada suhu 90-100oC selama 25-30
maksimal 106 (Memenuhi SNI tepung terigu) menit
K : Cemaran logam - Bahan yang digunakan mungkin terkontaminasi M h Y - Permintaan jaminan dari pemasok dan pemeriksaan
berat (Pb, Hg, Cu) logam berat dan residu pestisida sejak dari proses COA bahan baku terigu
dan arsen (As) serta pertaniannya dan tidak dapat dihilangkan - Lakukan audit ke pihak supplier
residu pestisida - Hasil pengujian di laboratorium BBIA : Pb = <0,07
mg/kg, batas maksimal 1,00 mg/kg; Cu = 1,22 mg/kg, - Dilakukan pengujian secara eksternal setiap 6 bulan
sedang batas maksimal 10 mg/kg; Hg = <0,0005 mg/kg, sekali
batas maksimal 0,005 mg/kg; dan As =
<0,0002 mg/kg sedang batas maksimal 0,05 mg/kg
(Memenuhi syarat SNI tepung terigu)
F : Benang, tali plastik, - Pihak supplier kurang memperhatikan lingkungan L l N - Inspeksi dan pemeriksaan terhadap bahan baku yang
potongan serangga produksi masuk ke perusahaan oleh bagian QC
- Hasil pengujian di laboratorium BBIA : parameter - Pada saat sebelum diproses produksi dilakukan
benda asing dan serangga dalam semua bentuk stadia proses pengayakan dengan ayakan ukuran mesh 200
dan potongan-potongannya yang tampak tidak ada
(negatif)
Penerimaan B : Tidak ada - - - - -
bahan baku
garam

K : Cemaran logam- - Pihak supplier kurang memperhatikan lingkungan L h N - Permintaan jaminan dari pemasok/supplier
logam berat (Pb, produksi - Inspeksi dan pemeriksaan COA bahan baku garam
Hg, Cu) dan arsen - Hasil pengujian di laboratorium BBIA : Pb = <0,07 yang masuk ke perusahan oleh bagian QC
(As) mg/kg; Hg = <0,0005 mg/kg; Cu = <0,02 mg/kg dan - Pengujian secara eksternal setiap 6 bulan sekali
As = <0,0002 mg/kg (Memenuhi syarat SNI garam)
F : Potongan benang, - Supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi L l N - Pada saat sebelum diproses produksi dilakukan
tali plastik, pasir, - Kontaminasi pada saat penanganan dan distribusi proses pengayakan dengan ayakan ukuran mesh 200
tanah
Penerimaan B : Salmonella, Sta- - Hasil pengujian di laboratorium BBIA : Angka M m N - Pada tahap berikutnya terdapat proses pengukusan
bahan baku phyloccocus, E. coli lempeng total = 75; E. coli <3, Staphylococcus aereus dan pengeringan pada suhu 90-100oC selama 25-30
tepung telur negatif, Salmonella negatif menit
K : Tidak ada - - - - -

F : Kotoran - Pihak supplier kurang memperhatikan lingkungan L l N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC

Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.

115
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan (Lanjutan)

Potensi Bahaya yang Peluang Severity Signifi-


Langkah mungkin timbul/ trjadinya (Tingkat kansi Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah
Proses/Tahap berkembang (biologis, Penyebab/Justifikasi bahaya bahaya keakutan bahaya diidentifikasi
kimia, fisik) (H, M, L) bahaya) (Y/N)
(h, m, l)
Penerimaan B : Tidak ada bakteri - - - - -
BTP natrium
karbonat dan K : Tidak ada cemaran - Hasil pemantauan dan pemeriksaan catatan/rekaman di L l N - Permintaan jaminan dari pemasok dan pemeriksaan
kalium logam berat atau perusahaan, tidak pernah ditemukan/dilaporkan adanya COA bahan natrium dan kalium karbonat dari
karbonat logam lain cemaran bahan kimia asing supplier
- Audit ke supplier

F : Tidak ada cemaran - - - - -


fisik

Penerimaan B : Tidak ada -. - - - -.


bahan
tambahan
pangan (BTP) K : Tidak ada - Penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) tartrazin - - - - Permintaan jaminan dari pemasok/supplier
pewarna dalam produk pangan diizinkan oleh PerMenKes No. - Inspeksi dan pemeriksaan COA bahan pewarna
tartrazin 722/MenKes/Per/IX/88 tartrazin yang masuk ke perusahan oleh bagian QC
- Penggunaan bahan pewarna tartrazin ini akan
dikendalikan penggunaannya pada proses formulasi
dan pencampuran adonan
F : Tidak terdapat - - - - -
cemaran fisik

Penerimaan B : E. coli, coliform - Lingkungan tempat pengambilan air dapat tercemar oleh M m Y - Water treatment dan penyaringan (filtrasi)
bahan group Salmonella, bakteri - Klorinasi air yang dipakai dan penerapan SSOP
pembantu air Staphyloccocus - Hasil pengujian di laboratorium BBIA : E. coli = keamanan air
untuk negatif; Salmonella = negatif, coliform group = <2 dan - Pengujian secara eksternal setiap 6 bulan sekali
produksi air ini layak digunakan untuk produksi
K : Cemaran logam- - Hasil pengujian di lab BBIA : Pb = <0,0004 mg/kg, Cu L h N - Water treatment
logam berat dan = <0,002 mg/kg, Cd = <0,0004 mg/kg, dan As = - Penerapan SSOP keamanan air
logam lain serta <0,0004 mg/kg (Memenuhi syarat PerMenKes No.
bahan kimia lainnya 907/MenKes/SK/VII/2002)
F : Kotoran/padatan - Hasil pengujian di laboratorium BBIA : jml zat padat L m N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC
terlarut (Jumlah zat terlarut = 246 (standar maks. 500 mg/kg) dan kekeruhan
padat terlarut dan = 0,33 (standar maks. 5 NTU).
kekeruhan)
Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.

116
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan (Lanjutan)

Potensi Bahaya yang Peluang Severity Signifi-


Langkah mungkin timbul/ trjadinya (Tingkat kansi Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah
Proses/Tahap berkembang (biologis, Penyebab/Justifikasi bahaya bahaya keakutan bahaya diidentifikasi
kimia, fisik) (H, M, L) bahaya) (Y/N)
(h, m, l)
Penerimaan B : Tidak ada - - - - -
bahan penge-
mas primer
plastik jenis K : Residu bahan kimia - Cemaran additif plastik dapat migrasi (pindah) dari L m N - Gunakan plastik food grade
PP additif plastik plastik ke produk pangan dan menyebabkan - Permintaan jaminan dari pemasok/supplier
(plasticizer) karsinogenik pada tubuh manusia - Pemeriksaan COA dari pemasok/supplier

F : Debu, kotoran dan - Kontaminasi pada saat penanganan dan penyimpanan di L l N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC dan
benda asing lainnya supplier serta saat distribusi kemasan plastik personil bagian produksi

Penerimaan B : Tidak ada - - - - -


bahan
pengemas
sekunder K : Tidak ada - - - - -
kotak karton
jenis CFB F : Debu, kotoran yang - Kontaminasi karton pada saat penanganan dan L l N - Inspeksi dan pemeriksaan kotak karton yang masuk
menempel pada penyimpanan di lingkungan supplier yang tidak bersih ke perusahan oleh bagian QC.
karton - Simpan kemasan sesuai persyaratan GMP
Penyimpanan B : Tikus, kecoa, lalat - Binatang atau hewan tersebut dapat menyebabkan L m N - Lakukan pengendalian hama (pest control) dengan
bahan-bahan dan serangga kontaminasi silang bakteri pada bahan-bahan yang tepat
di gudang disimpan di gudang
K : Residu bahan sani- - Sisa residu bahan sanitaiser yang terdapa pada alat yang L m N - Gunakan sanitaiser yang diizinkan pemerintah
taiser dipakai dapat mengkontaminasi bahan dicampur - Gunakan dosis yang tepat
F : Debu, kotoran - Ruang/gudang penyimpanan tidak bersih L m N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC
- Penyimpanan sesuai dengan SOP dan GMP
Pengayakan B : Tidak ada - - - - -
Tepung
terigu dan K : Tidak ada cemaran - - - - -
garam bahan kimia
F : Benang, tali plastik, - Bahan baku tepung terigu dan garam yang digunakan L l N - Lakukan pengayakan dengan menggunakan alat
potongan serangga kadang-kadang mengandung cemaran fisik berupa ayakan ukuran mesh 200
benang, potongan tali plastik dan potongan serangga - Cemaran fisik yang diperoleh dipisahkan dan
- Hasil pemantauan dan pemeriksaan catatan/rekaman di dibuang ke tempat sampah
perusahaan ditemukan adanya benang, potongan tali
plastik dan potongan serangga yang jumlahnya kecil
Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.

117
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan (Lanjutan)

Potensi Bahaya yang Peluang Severity Signifi-


Langkah mungkin timbul/ trjadinya (Tingkat kansi Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah
Proses/Tahap berkembang (biologis, Penyebab/Justifikasi bahaya bahaya keakutan bahaya diidentifikasi
kimia, fisik) (H, M, L) bahaya) (Y/N)
(h, m, l)
Penimbangan B : Staphylococcus, - Adanya kontaminasi bakteri dari alat dan personil yang M m N - Penerapan SSOP dan GMP dengan benar
bahan baku Salmonella menangani penimbangan bahan baku dan bahan lainnya - SSOP (Kesehatan dan Higiene pekerja)
dan bahan - Pada tahap selanjutnya ada proses pengukusan dan
lainnya untuk pengeringan
persiapan K : Tidak ada - - - - -
formulasi
F : Debu, kotoran - Kontaminasi pada alat yang digunakan dalam L l N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC dan
penimbangan bagian produksi
- Lakukan pembersihan

Pembuatan B : Tidak ada - - - - -


larutan alkali

K : residu bahan - Penggunaan bahan sanitaiser untuk sanitasi alat yang L m N - Gunakan bahan sanitaiser yang diizinkan
sanitaiser digunakan dalam pembuatan larutan alkali - Gunakan dosis sanitaiser yang tepat
F : Debu, kotoran - Kontaminasi pada alat yang digunakan saat penanganan L l N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagain QC.
- Lakukan pembersihan
Pencampuran B : Bakteri Salmonella, - Kontaminasi dari alat yang dipakai dan personil yang M m N - SSOP Sanitasi alat dan SSOP (kesehatan dan
dan formulasi Staphylococcus, melakukan pencampuran dan formulasi pada bahan Higiene karyawan)
adonan mi biofilm adonan - Pada tahap berikutnya ada proses pengukusan dan
(Mixing) pengeringan
K : Residu bahan sani- - Sisa residu bahan sanitaiser yang tersisa pada alat dapat L m N - Gunakan sanitaiser yang diizinkan pemerintah
taiser dan BTP mengkontaminasi bahan yang dicampur - Gunakan dosis yang tepat
- Dosis BTP yang digunakan untuk formulasi tidak sesuai - Gunakan dosis penggunaan BTP dengan tepat dan
dengan PerMenKes No. 722/MenKes/Per./IX/88 lakukan pemeriksaan oleh bagian QC
F : Debu, kotoran - Kontaminasi alat dari lingkungan produksi L m N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC
- Lakukan pembersihan
Pengepresan B : Bakteri Salmonella, - Kontaminasi pada bahan adonan yang dibuat dan dari M m N - Penerapan SSOP kebersihan permukaan alat yang
dengan roll Staphylococcus, alat yang digunakan untuk pengepresan (roll press) kontak dengan bahan pangan
press biofilm - Adanya sisa kerak adonan dapat menimbulkan bakteri - SSOPencegahan Kontaminasi silang
(Pressing) biofilm - Pada tahap berikutnya ada proses pengukusan dan
pengeringan
K : Tidak ada - - - - -

F : Sisa kerak adonan -Adanya kerak adonan yang menempel pada alat L l N - Pemeriksaan oleh bagian QC
mi pengepres - Lakukan pembersihan (SSOP Sanitasi)
Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.

118
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan (Lanjutan)

Potensi Bahaya yang Peluang Severity Signifi-


Langkah mungkin timbul/ trjadinya (Tingkat kansi Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah
Proses/Tahap berkembang (biologis, Penyebab/Justifikasi bahaya bahaya keakutan bahaya diidentifikasi
kimia, fisik) (H, M, L) bahaya) (Y/N)
(h, m, l)
Pencetakan B : Staphylococcus, - Adanya kontaminasi bakteri yang terbawa dari bahan M m N - Penerapan SSOP dan GMP dengan benar
untaian pita Salmonella, biofilm bahan baku yang digunakan (terigu, tepung telur, air) - SSOP (Kesehatan dan Higiene pekerja)
mi (Slitting) dan dari alat yang digunakan serta personil yang - Pada tahap selanjutnya ada proses pengukusan dan
menanganinya pengeringan
K : Tidak ada - - - - -

F : Debu, kotoran - Kontaminasi pada alat yang digunakan dalam L l N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC dan
pencetakan bagian produksi
- Lakukan pembersihan

Pengukusan B : Bakteri Salmonella - Adanya kontaminasi bakteri yang terbawa dari bahan M m N - SSOP (Sanitasi alat) dan SSOP (Kesehatan dan
mi pada suhu Staphylococcus, baku tepung terigu, tepung telur dan air minum yang Higiene pekerja)
90-100oC digunakan dalam proses produksi - Kontrol suhu pengukusan secara periodik setiap 4
selama 1,5-2 jam sekali
menit - Dilakukan pengeringan pada tahap selanjutnya.
(Steaming) K : residu bahan - Adanya sisa residu bahan sanitaiser pada alat conveyor L m N - Gunakan bahan sanitaiser yang diizinkan
sanitaiser yang digunakan dalam pengeringan - Gunakan dosis sanitaiser yang tepat
F : Debu, kotoran - Kontaminasi pada alat conveyor yang digunakan untuk L l N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagain QC.
proses pengukusan - Lakukan pembersihan
Pendinginan B : Bakteri Salmonella, - Kontaminasi bakteri yang terbawa dari bahan adonan M m N - SSOP Sanitasi alat dan SSOP (kesehatan dan
mi hasil Staphylococcus, dan dari alat yang dipakai serta personil yang melakukan Higiene karyawan)
pengukusan biofilm menanganai pendinginan - Pada tahap berikutnya ada pengeringan
(Cooling) K : Tidak ada - - - - -

F : Debu, kotoran - Kontaminasi dari alat kipas dan lingkungan produksi L m N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC
- Lakukan pembersihan
Pemotongan B : Bakteri Salmonella, - Kontaminasi bakteri yang terbawa dari bahan adonan M m N - Penerapan SSOP kebersihan permukaan alat yang
untaian pita Staphylococcus, yang dibuat dan alat yang digunakan untuk pemotongan kontak dengan bahan pangan
mi (Cutting) biofilm untaian mi - SSOPencegahan Kontaminasi silang
- Adanya sisa kerak adonan yang terdapat pada cutter - Pada tahap berikutnya ada proses pengukusan dan
pengeringan
K : residu bahan - Adanya kontaminasi sisa residu bahan sanitaiser pada L l N - Gunakan bahan sanitaiser yang diizinkan dan
sanitaiser alat pisau cutter yang digunakan - Gunakan dosis sanitaiser yang tepat

F : sisa kerak adonan -Adanya kerak adonan yang menempel pada alat cutter L l N - Pemeriksaan oleh bagian QC
- Lakukan pembersihan (SSOP Sanitasi)
Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.

119
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan (Lanjutan)

Potensi Bahaya yang Peluang Severity Signifi-


Langkah mungkin timbul/ trjadinya (Tingkat kansi Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah
Proses/Tahap berkembang (biologis, Penyebab/Justifikasi bahaya bahaya keakutan bahaya diidentifikasi
kimia, fisik) (H, M, L) bahaya) (Y/N)
(h, m, l)
Pengeringan B : Staphylococcus, - Adanya kontaminasi bakteri yang terbawa dari bahan H h Y - Set suhu dan waktu yang diinginkan
di dalam oven Salmonella, biofilm bahan baku yang digunakan (terigu, tepung telur, air) - Kontrol suhu secara periodik setiap 2 jam sekali
pada suhu 90- dan dari alat yang digunakan serta personil yang - Lakukan kalibrasi thermometer/thermocouple secara
100oC selama menanganinya. Bakteri tersebut dapat menyebabkan berkala 2 bulan sekali menggunakan thermometer
25-30 menit penyakit pada manusia master yang sudah dikalibrasi
(Drying) - SSOP (Sanitasi alat) dan SSOP (Kesehatan dan
Higiene karyawan)
K : Tidak ada - - - - -

F : Debu, kotoran - Kontaminasi pada alat conveyor di dalam alat pengering L l N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC dan
yang digunakan bagian produksi
- Lakukan pembersihan

Pendinginan B : Bakteri Salmonella - Kontaminasi bakteri yang berasal dari alat pendingin M m N - SSOP (Sanitasi alat dan lingkungan)
dengan kipas Staphylococcus, dan kipas yang digunakan serta dari lingkungan -
angin selama K : Tidak ada - - - - -
2-3 menit
(Cooling) F : Debu, kotoran - Kontaminasi pada alat kipas (blower) yang digunakan L l N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagain QC.
untuk proses pendinginan - Lakukan pembersihan
Pengemasan B : Bakteri Salmonella, - Kemasan yang bocor dapat menyebabkan adanya M m N - SSOP Sanitasi alat dan SSOP (kesehatan dan
dengan plas- Staphylococcus, E. kontaminasi bakteri ke produk mi kering sehingga daya Higiene karyawan)
tik jenis PP coli awet menjadi kurang - Periksa adanya kebocoran kemasan plastik setiap 2
(Kemasan - Kontaminasi yang berasal dari alat dan personil yang jam sekali
Primer) menangani pengemasan - Pada tahap berikutnya ada proses pemasakan/
pemanasan produk mi oleh pihak konsumen
K : Residu bahan aditif - Kontaminasi residu bahan aditif sebagai akibat adanya L m N - Gunakan bahan pengemas yang food grade
plastik (plastizicer, migrasi aditif tersebut ke produk mi kering - Penerapan SSOP (Sanitasi alat) dan SSOP
dan lain-lain) (Kesehatan dan Higiene karyawan) dengan benar
F : Debu, kotoran - Kontaminasi pada alat dari lingkungan M l N - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC
- Lakukan pembersihan
Pengemasan B : Tidak ada - - - - -
dengan kotak
karton K : Tidak ada - - - - -
(Kemasan
sekunder) F : Debu, kotoran - Kontaminasi debu dan kotoran pada karton L L N - Pemeriksaan oleh bagian QC
- Lakukan pembersihan (SSOP Kebersihan dan
Sanitasi)
Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.

120
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan (Lanjutan)

Potensi Bahaya yang Peluang Severity Signifi-


Langkah mungkin timbul/ trjadinya (Tingkat kansi Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah
Proses/Tahap berkembang (biologis, Penyebab/Justifikasi bahaya bahaya keakutan bahaya diidentifikasi
kimia, fisik) (H, M, L) bahaya) (Y/N)
(h, m, l)
Penyimpanan B : Tikus, kecoa, - Binatang atau hewan tersebut dapat menyebabkan L M N - Lakukan pengendalian hama dengan tepat
produk mi serangga kontaminasi silang bakteri pada bahan-bahan yang - Gunakan denah (lay out) untuk pengendalian hama
kering di disimpan di gudang - Penyimpanan dilakukan dengan prinsip FIFO
gudang K : Tidak ada - - - - -

F : Debu, kotoran - Ruang/gudang penyimpanan tidak bersih L l N - Penerapan SSOP pencegahan kontaminasi silang
(Pembersihan)
- Inspeksi oleh bagian QC dan lakukan pembersihan

Pengiriman B : Tidak ada - - - - -


dan -
Pendistribusi K : Tidak ada - - - - -
an produk mi
F : Tidak ada - - - - -

Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.

121
Mengacu pada panduan penetapan langkah pengendalian dan tindakan
pencegahannya dalam SNI 01.4852-1998 (BSN, 1998) serta pedoman BSN 1004 : 2002
(BSN, 2002), yaitu berdasarkan dampak langkah pengendalian terhadap tingkat peluang
bahaya atau frekuensi kejadian, tingkat keparahan bahaya (severity) pada kesehatan
konsumen dan kebutuhan untuk monitoring; maka bahaya biologi berupa bakteri patogen
(E.coli, Salmonella, Staphylococcus), dan bakteri bentuk coli/coliform group, yang ada
pada bahan baku tepung terigu, tepung telur dan air tidak perlu dikendalikan dalam HACCP
Plan tetapi perlu dikendalikan dengan SSOP dan penerapan GMP. Begitu pula dengan
bahaya kimia berupa cemaran logam-logam (Pb, Hg, Cu) dan cemaran arsen (As) pada
bahan baku tepung terigu dan garam tidak perlu dikendalikan dalam rencana HACCP
tetapi perlu dikendalikan sebagai control point (CP); sedang bahan tambahan pangan
natrium karbonat dan kalium karbonat serta tartrazin CI 19140 juga tidak perlu
dikendalikan dalam HACCP Plan, tetapi perlu dikendalikan sebagai control point (CP)
dengan SSOP dan penerapan GMP.
Tindakan pencegahan bahaya/pengendalian bahaya biologi berupa bakteri
patogen (E. coli) dan kapang pada tepung terigu dapat dilakukan dengan cara : (1)
Penetapan spesifikasi sesuai dengan persyaratan SNI tepung terigu (SNI 01.3751-2006)
dimana ditetapkan bahwa kandungan E coli maksimal 10 koloni/g, angka lempeng total
maksimal 106 koloni/g dan kapang maksimal 104 koloni/g; (2) Permintaan jaminan dari
pihak pemasok /supplier melalui pemeriksaan/pengecekan Certificate of Analysis (COA)
setiap kedatangan tepung terigu di perusahaan; dan (3) Pengujian eksternal bahan baku
tepung terigu secara berkala setiap 6 bulan sekali sesuai dengan persyaratan SNI
01.3751-2006. Bila bahan baku tepung terigu yang diterima tersebut ternyata tidak sesuai
dengan COA dan spesifikasi perusahaan, maka bahan tepung terigu itu ditolak dan
dikembalikan kepada pihak pemasok. Sedang tindakan pencegahan/ pengendalian bahaya
biologis berupa bakteri patogen (E.coli, Salmonella, Staphylococcus) pada bahan baku
tepung telur dilakukan dengan cara : (1) Penetapan spesifikasi sesuai dengan standar
mutu tepung telur menurut FDA-USA dimana ditetapkan kandungan bakteri coli
maksimal 10 koloni/g, Salmonella harus negatif, Staphylococcus negatif atau nol, dan
angka lempeng total (TPC) maksimal 106 koloni/g; (2) Permintaan jaminan dari pihak
pemasok/supplier melalui pemeriksaan/ pengecekan Certificate of Analysis (COA) setiap

122
kedatangan tepung telur di perusahaan; dan Pengujian eksternal bahan baku tepung telur
secara berkala setiap 6 bulan sekali sesuai dengan persyaratan standar FDA-USA. Bila
bahan baku tepung telur yang diterima tersebut, ternyata tidak sesuai dengan COA dan
spesifikasi perusahaan, maka bahan tepung telur itu ditolak dan dikembalikan kepada pihak
pemasok.
Tindakan pencegahan/pengendalian bahaya biologi berupa bakteri (E. coli/feacal
coli, coliform group, dan Salmonella pada air yang digunakan untuk campuran produksi
dilakukan dengan cara : (1) Penerapan SSOP keamanan air yang mengacu sesuai dengan
persyaratan kualitas air minum menurut PerMenKes No. 907/MenKes/SK/VII/2002
tanggal 29 Juli 2002, dimana ditetapkan kandungan E. coli/feacal coli, coliform group
dan Salmonella harus negatif atau nol; (2) Pemeriksaan dan pemantauan kualitas yang
digunakan oleh perusahaan secara berkala setiap 1 bulan sekali; dan (3) Pengujian
kualitas air minum yang digunakan/dipakai secara eksternal sesuai PerMenKes No.
907/MenKes/SK/VII/2002 di laboratorium yang sudah terakreditasi setiap 6 bulan sekali.
Tindakan pencegahan/pengendalian bahaya kimia berupa cemaran logam-logam
berat seperti timbal (Pb), merkuri (Hg), tembaga (Cu) dan cemaran arsen (As) pada
tepung terigu dilakukan dengan cara : (1) Penetapan spesifikasi sesuai dengan
persyaratan SNI tepung terigu (SNI 01.3751-2006) dimana ditetapkan bahwa kandungan
timbal (Pb) maksimal 1,00 mg/kg; merkuri (Hg) maksimal 0,05 mg/kg, tembaga (Cu)
maksimal 10,0 mg/kg dan cemaran arsen (As) maksimal 0,50 mg/kg; (2) Permintaan
jaminan dari pemasok/supplier melalui pemeriksaan certificate of analysis (COA) setiap
kali kedatangan tepung terigu di perusahaan; dan (3) Pengujian keamanan dan mutu tepung
terigu secara eksternal sesuai dengan SNI 01.3751-2006 setiap 6 bulan sekali. Bila bahan
baku tepung terigu yang diterima di perusahaan tersebut tidak sesuai COA dan spesifikasi
perusahan, maka bahan tepung terigu itu ditolak dan dikembalikan kepada pihak
pemasok/supplier.
Tindakan pencegahan/pengendalian bahaya kimia berupa cemaran logam-logam
berat (Pb, Hg, Cu) dan cemaran arsen (As) pada bahan pembantu garam dilakukan
dengan cara : (1) Penetapan spesifikasi sesuai dengan persyaratan garam konsumsi
beryodium (SNI 01.3556-2000) dimana ditetapkan bahwa kandungan timbal (Pb)
maksimal 1,0 mg/kg; merkuri (Hg) maksimal 0,1 mg/kg; tembaga (Cu) maksimal 10

123
mg/kg dan arsen (As) maksimal 0,1 mg/kg; (2) Permintaan jaminan dari pihak pemasok
melalui pemeriksaan COA setiap 6 kali kedatangan bahan baku garam di perusahaan; dan
(3) Pengujian keamanan dan mutu garam secara eksternal sesuai dengan SNI 01.3556-
2000 setiap 6 bulan sekali. Bila diketahui bahwa bahan baku garam yang diterima di
perusahaan tersebut tidak sesuai dengan COA dan spesifikasi perusahan, maka bahan
baku garam itu ditolak dan dikembalikan kepada pihak pemasok/supplier.
Dalam melakukan kajian bahaya yang potensial pada penerimaan bahan baku
(bahan baku utama, bahan pembantu utama dan bahan tambahan pangan) untuk produksi
mi kering terhadap keamanan pangan telah dilakukan pengujian beberapa parameter
keamanan pangan dan parameter mutu bahan baku untuk produksi mi kering yang
digunakan oleh perusahaan PT Kuala Pangan. Bahan baku utama tepung terigu, tepung
telur, garam dan air yang diuji, yaitu kandungan cemaran mikroba, logam berat dan
arsen, dan cemaran fisik serta dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh regulasi
pemerintah; yakni SNI 01.3751-2006 (Untuk tepung terigu), Standar tepung telur
menurut FDA-USA, SNI 01.3556-2000 (Untuk garam), dan Standar kualitas air menurut
PerMenKes No. 907/MenKes/SK/Per./VII/2002 dengan hasil sebagaimana dapat dilihat
dalam Tabel 27, 28, 29 dan Tabel 30.

Tabel 27. Hasil Pengujian Cemaran Fisik, Kimia dan Mikroba Pada Tepung Terigu (*)
Parameter Satuan Hasil Pengujian SNI 01.3751-2006
Cemaran Fisik
- Benda asing - Tidak ada Tidak ada
- Serangga dalam bentuk stadia dan - Tidak ada Tidak ada
potongan-potongannya
Cemaran logam
- Timbal (Pb) mg/kg < 0,007 Maksimal 1,00
- Merkuri (Hg) mg/kg < 0,0005 Maksimal 0,05
- Tembaga (Cu) mg/kg <2 Maksimal 10,0
Cemaran arsen (As) mg/kg < 0,0002 Maksimal 0,50
Cemaran mikroba
- Angka lempeng total (ALT) Koloni/g 7,3 x 102 106
- E. coli Koloni/g <2 10
- Kapang Koloni/g 10 104
(*) Hasil pengujian 1 kali.

124
Tabel 28. Hasil Pengujian Cemaran Fisik, Kimia dan Mikroba Pada Tepung Telur (*)
Parameter Satuan Hasil Pengujian Standar FDA-USA
Kadar air % (b/b) 5,36 Maksimal 5,0
Cemaran Mikroba
- Angka lempeng total (ALT) Koloni/g 75 Maksimal 25 x 103
- E. coli Koloni/g <3 Maksimal 10
- Salmonella Koloni/g negatif Negatif
- Staphylococcus aureus Koloni/g 0 Negatif
(*) Hasil pengujian 1 kali.

Tabel 29. Hasil Pengujian Cemaran Fisik dan Kimia Pada Garam Konsumsi Beryodium (*)
Parameter Satuan Hasil Pengujian SNI 01.3556-2000
Kadar air % (b/b) 0,28 Maksimal 7,0
NaCl (Dihitung dari jumlah klorida) % (b/b) 99,6 Minimal 94,7
Iodium (Dihitung sebagai KIO3) % (b/b) 40,92 Minimal 30,0
Cemaran Logam
- Timbal (Pb) mg/kg < 0,07 Maksimal 1,0
- Tembaga (Cu) mg/kg < 0,02 Maksimal 10,0
- Raksa (Hg) mg/kg < 0,0005 Maksimal 0,1
Cemaran arsen (As) mg/kg < 0,0002 Maksimal 0,1
(*) Hasil pengujian 1 kali.

Tabel 30. Hasil Pengujian Cemaran Fisik , Kimia dan Mikroba Pada Air (*)
Parameter Satuan Hasil Pengujian SNI 01.3556-2000
Cemaran Fisik % (b/b)
- Kekeruhan NTU 0,33 Maksimal 5,0
- Jumlah zat padat terlarut mg/l 246 Maksimal 1000
Cemaran logam
- Timbal (Pb) mg/l < 0,0004 Maksimal 0,005
- Tembaga (Cu) mg/l < 0,002 Maksimal 0,50
- Raksa (Hg) mg/l < 0,0003 Maksimal 0,001
- Kadmium (Cd) mg/l < 0,0004 Maksimal 0,005
Cemaran arsen mg/l < 0,004 Maksimal 0,05
Cemaran Mikroba
- E. coli/feacal coli Koloni/100 ml <1 0
- Angka lempeng total (ALT) Koloni/100 ml < 10 1,0 x 102
- Salmonella Koloni/100 ml negatif Negatif
- C. perfringens Koloni/ 100 ml negatif Negatif
(*) Hasil pengujian 1 kali.

Berdasarkan data pengujian beberapa paremeter keamanan pangan dan mutu


bahan baku (tepung terigu, tepung telur, garam, air) untuk produksi mi kering yang telah
dilakukan, maka bahan baku tersebut umumnya memenuhi standar persyaratan yang
ditetapkan oleh regulasi pemerintah Indonesia atau regulasi dari negara lain. Namun

125
demikian, mengingat bahan baku tepung terigu, tepung telur, garam dan air merupakan
hasil pertanian, peternakan, kelautan dan pertambangan, maka kandungan cemaran di
atas perlu dimonitor untuk setiap bahan baku yang digunakan dalam proses produksi mi
kering guna memastikan bahwa cemaran tersebut di bawah standar yang ditetapkan.
Bahaya potensial terhadap keamanan pangan dari mi kering yang perlu dicermati
adalah kandungan cemaran logam berat dan cemaran arsen. Hal ini disebabkan dalam
proses produksi mi kering tidak ada proses yang didesain khusus untuk menghilangkan
bahaya ini sehingga cemaran ini tidak bisa dihilangkan selama proses produksi mi kering.
Dengan demikian, jika cemaran logam-logam berat dan cemaran arsen ada dalam bahan
baku (tepung terigu dan garam) terdapat dalam jumlah yang melebihi standar yang telah
ditetapkan oleh regulasi pemerintah, maka kemungkinan besar produk mi kering yang
dihasilkan juga akan mengandung bahaya ini dalam jumlah melebihi standar yang
ditetapkan untuk produk mi kering. Oleh karenanya, akan membahayakan konsumen
yang menggunakan produk tersebut. Dengan demikian, jaminan dari pemasok/supplier
dan pemeriksaan Certificate of Analysis (COA) dari pemasok sangat penting untuk
diperhatikan oleh perusahaan.
Untuk cemaran mikroba, mengingat tepung terigu, tepung telur dan air adalah bahan
baku alam, maka cemaran mikroba pasti ada. Namun, karena dalam proses
pembuatan/pengolahan tepung terigu terdapat cara perlakuan pengeringan dengan oven
pengering dan pemutihan (bleaching), sedang dalam proses pembuatan tepung telur kuning
terdapat proses pemanasan dan dalam pengolahan air terdapat proses penyaringan dan
desinfektan (klorinasi); maka cemaran mikroba akan diminimalkan.
Secara umum dan ringkas, proses pembuatan tepung terigu adalah : penerimaan
bahan baku biji terigu, pengeringan dengan panas dari oven pengering (suhu 65-70oC),
pemisahan dan pengayakan untuk menghilangkan batu, potongan tangkai dan benda- benda
asing berat, penghilangan benda-benda asing ringan dengan hembusan udara, penghilangan
benda-benda logam/metal dengan magnet; selanjutnya diblending dan digiling (grinding),
pengayakan terigu hasil penggilingan, perlakuan pemutihan (bleaching) dan akhirnya
dikemas atau bagging (FAO, 1981 ; Lenovich, 1992).
Pada prinsipnya, proses pembuatan tepung telur kuning dilakukan dengan metode
pengering semprot (spray drying). Kuning telur yang telah dipisah dari putih telur mula-

126
mula dipanaskan terlebih dulu pada suhu antara 65-70oC. Proses ini merupakan
pemanasan pendahuluan dengan maksud pengeringan selanjutnya tidak terjadi perubahan
suhu secara tiba-tiba (Sarwono, 1994). Setelah itu, diletakkan pada ruangan panas
bersuhu 150-160oC dengan cara menyemprotkan bahan dengan nosel bertekanan 3.000. psl,
sehingga diperoleh tepung telur dengan kadar air sekitar 3-5% (Sirait, 1986). Lebih lanjut
dikatakan bahwa pengeringan juga bertujuan untuk mencegah aktivitas bakteri dan jamur,
memperpanjang daya simpan, mengurangi ruangan penyimpanan, serta mempermudah
penanganan dan tranposrtasi.
Secara umum, pengolahan air yang dilakukan di PT Kuala Pangan menggunakan
SSOP keamanan air, yaitu : pengendapan (sedimentasi), penyaringan (filtrasi), dan
pembasmian mikroba/bakteri dengan desinfektan, penghilangan mineral terlarut, dan
pengujian kualitas air minum sesuai dengan persyaratan standar yang ditetapkan oleh
pemerintah yang tertuang dalam PerMenKes No. 907/MenKes/SK/Per./VII/2002.
Pengendapan dilakukan dengan menggunakan koagulan aluminium sulfat dan ferro sulfat
dan ditambahkan soda abu (Na2CO3) agar kerja koagulan efektif. Selanjutnya dilakukan
penyaringan partikel-partikel yang berukuran kecil dengan pasir berukuran 0,4-0,6 mm
terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan perlakuan untuk menghilangkan bau, rasa
dan warna dengan filter arang/karbon aktif. Kemudian, dilanjutkan dengan tahap desinfeksi
air dengan menggunakan senyawa klorin dengan konsentrasi 5-7 ppm (part per million),
dan selanjutnya dilakukan proses penghilangan mineral terlarut dengan cara proses
pertukaran ion. Air yang diolah disimpan dalam tangki penyimpan, selanjutnya digunakan
untuk proses produksi. Sebelum digunakan, air tersebut perlu dilakukan pengujian oleh
bagian QC dan teknik setiap sebulan sekali.
Bahan baku (tepung terigu, tepung telur dan air) yang dipakai di PT Kuala Pangan
adalah berasal dari cara-cara pengolahan yang telah diuraikan di atas. Bila dikaji lebih
lanjut, bahan baku tepung terigu komposisi nutrisinya relatif tidak mendukung
pertumbuhan mikroba, berbentuk kering dan padat dengan kadar air sekitar 8-10% sehingga
mempunyai aw (aktifitas air) yang rendah yaitu sekitar 0,81. Bahan baku garam konsumsi
beryodium komposisinya terdiri dari senyawa natrium klorida (NaCl) dengan kadar NaCl
sekitar 95 persen dan berfungsi sebagai bahan pengawet karena garam tersebut akan
menarik air dan menurunkan nilai aw produk pangan sehingga mikroba

127
tidak akan dapat tumbuh dan berkembang. Sedang bahan baku tepung telur komposisi
nutrisinya relatif lebih mendukung pertumbuhan mikroba patogen seperti E. coli,
Salmonella, dan Staphylococcus karena kandungan proteinnya yang tinggi; namun karena
dalam kondisi berbentuk tepung, padat dan kadar air yang rendah menyebabkan mikroba
tidak dapat tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, bahan baku tepung telur ini harus
disimpan di gudang kering atau gudang yang suhu ruangannya terkendali/terkontrol.
Berdasarkan proses pembuatan tepung terigu, tepung telur dan air di atas, terlihat
bahwa selama proses produksi; tepung terigu telah mengalami proses pengeringan (60-
70oC) dan bleaching, tepung telur telah mengalami dua kali proses pemanasan pada suhu
tinggi, dan air telah mengalami pengolahan yang memadai; maka cemaran-cemaran
mikroba pada bahan-bahan yang digunakan tersebut dapat diminimalkan. Disamping itu,
karena pada proses produksi tahap berikutnya; bahaya biologis tersebut dapat dihilangkan
atau dikurangi sampai tingkat yang dapat diterima melalui tahapan proses produksi mi,
yaitu pada tahap pengukusan (pemasakan) mi pada suhu 90-100 oC selama 1,5-2 menit
dan pada tahap pengeringan mi pada suhu 90-100 oC selama 25-30 menit.
Proses produksi mi kering di PT Kuala Pangan dilakukan dengan sistem terbuka
dan sistem tertutup, mulai dari tahap penimbangan bahan baku dan pencampuran hingga
produk jadi, sehingga kemungkinan terjadinya kontaminasi silang yang disebabkan oleh
lingkungan dan manusia dapat diminimalkan.
Seluruh peralatan yang kontak dengan bahan baku dan produk terbuat dari bahan
anti karat atau stainless steel dan material lain yang food grade sehingga tidak
menimbulkan kontaminasi produk. Untuk menghilangkan cemaran fisik benda padat
(potongan plastik, benang, potongan serangga) yang mungkin terdapat dalam bahan baku
khususnya tepung terigu dan garam maupun selama proses produksi berlangsung,
dilakukan filtrasi (penyaringan) terhadap bahan baku dengan media filter 200 mesh.
Kemungkinan kontaminasi yang masih ada adalah pada saat penimbangan bahan
baku, pencampuran, pembuatan adonan, pembentukan adonan mi menjadi lembaran
adonan dengan roll pres, pembentukan untaian mi, pendinginan setelah pengukusan,
proses pemotongan mi, dan pengemasan produk mi kering; dimana pada tahap-tahap
tersebut peralatan, bahan baku dan produk kontak dengan udara sekitar dan juga

128
penanganan pekerja. Hal ini dapat diminimalkan dengan cara menerapkan SSOP
(Sanitasi alat) dan SSOP (Kesehatan dan Higiene Karyawan).
Untuk memastikan higinitas dari produk mi yang dihasilkan, maka penerapan
GMP untuk aspek personil yang menangani proses penimbangan, pencampuran dan
pembuatan adonan, serta pembentukan adonan dan pengemasan harus dilakukan secara
disiplin dan efektif. Hal lain yang perlu dipantau secara rutin adalah hasil sanitasi peralatan
yang akan digunakan untuk produksi. Mengingat peralatan yang digunakan ada yang
sistem terbuka dan ada yang sistem tertutup, serta pembersihan dan sanitasi peralatan
yang sistem tertutup dilakukan secara CIP (Cleaning In Place), maka bagian- bagian
tertentu yang diperkirakan pembersihan dan sanitasinya kurang sempurna (misalnya : titik-
titik kelola, sambungan, dan lain-lain) perlu medapat perhatian sendiri selama monitoring
hasil pembersihan dan sanitasi peralatan.
Kajian bahaya (analisis bahaya) terhadap proses produksi mi kering serta tindakan
pencegahannya secara lengkap setelah tahap penerimaan bahan baku dapat dilihat pula
pada Tabel 26. Berdasarkan kajian bahaya tahapan proses yang telah dilakukan, diperoleh
bahwa bahaya potensial pada tahapan proses yang signifikan yang perlu dikendalikan
adalah : (1) Tahap proses pengayakan khususnya bahan baku tepung terigu dan garam, yaitu
kemungkinan adanya bahaya fisik berupa potongan benang, plastik, pasir dan kerikil;
(2) Tahap proses penimbangan bahan baku tepung terigu, garam, tepung telur dan air
berupa kemungkinan kontaminasi bakteri patogen dari pekerja/karyawan; (3) Tahap proses
pencampuran dan formulasi pembuatan adonan mi, pembentukan lembaran adonan
dengan alat roll press, pembentukan untaian kembang mi (slitting) dan pemotongan mi
(cutting), yaitu berupa kemungkinan adanya kontaminasi bakteri patogen (bahaya biologi)
berupa bakteri Salmonella, Staphylococcus, E. coli, dan biofilm pada unit mesin
pencampur (mixer), pengepres (roll press) dan pembentuk kembang mi
(slitter); (4) Tahap proses pengeringan mi pada suhu 90-100oC selama 25-30 menit
berupa bahaya biologi bakteri patogen E. coli, Salmonella dan Staphylococcus yang
berasal dari bahan baku serta kontaminasi dari alat yang digunakan; (5) Tahap proses
pendinginan berupa bahaya biologi bakteri yang diakibatkan proses pendinginannya
tidak sempurna sehingga ada air yang mengembun setelah dikemas dan menyebabkan
timbulnya jamur dan bakteri perusak; (6) Tahap proses pengemasan berupa bahaya

129
biologi bakteri patogen yang diakibatkan dari kontaminasi perkerja maupun kebocoran
pengemas plastik yang digunakan; dan (7) Tahap proses penyimpanan produk mi di gudang
penyimpanan kering berupa bahaya biologis berupa kontaminasi penyakit pes yang
diakibatkan oleh binatang pengerat tikus, kecoa, dan serangga.
Hasil pengujian cemaran mikroba dari beberapa produk mi kering yang dihasilkan
oleh PT Kuala Pangan menunjukkan bahwa kandungan yang negatif dari bakteri patogen
yang diuji yaitu Salmonella, E. coli dan Staphylococcus dan kapang. Sedangkan jumlah
angka lempeng total (ALT) menunjukkan sebagian besar <103 koloni per gram, meskipun
ada beberapa yang angka lempeng totalnya mencapai 104 koloni/gram tapi masih di
bawah batas maksimal yang dipersyaratkan sebesar 106 koloni/gram. Data analisis
kapang sebagian besar menunjukkan negatif walaupun ada beberapa yang menunjukkan
positif. Data ini menunjukkan bahwa cemaran mikroba yang ada dalam produk mi kering
bukan merupakan suatu bahaya potensial bagi keamanan produk mi kering yang dihasilkan
oleh PT Kuala Pangan. Namun demikian, karena bahan baku yang digunakan untuk
produksi mi kering adalah bahan alam, yaitu tepung terigu (hasil pertanian), tepung telur
(hasil peternakan), garam (hasil kelautan), air (hasil pertambangan), dan meskipun proses
produksinya ada proses pemasakan (pengukusan dan pengeringan), maka pemeriksaan
cemaran mikroba untuk setiap hasil produksi mi kering tetap perlu dilakukan untuk
memastikan bahwa cemaran mikroba yang ada dalam produk mi kering berada dalam
jumlah yang aman untuk dikonsumsi.
Jumlah angka lempeng total, termasuk kapang adalah merupakan salah satu
parameter mutu, bukan merupakan suatu bahaya keamanan pangan, yang mana tinggi
rendahnya jumlah angka lempeng total ini akan mempengaruhi umur simpan (daya simpan)
dari produk mi kering. Semakin tinggi jumlah angka lempeng total ini, maka kemungkinan
besar umur simpan produk akan menjadi semakin pendek. Upaya untuk memperkecil
jumlah angka lempeng total ini bisa dilakukan dengan menerapkan GMP dan SSOP
secara konsisten.

130
Produk mi kering yang dihasilkan oleh perusahaan memiliki kadar air 8-10%,
dengan aw rata-rata sekitar 0,81 ; maka sebagian besar bakteri pertumbuhannya akan
terhambat. Hampir semua aktivitas mikroba akan dihambat pada aw dibawah 0,6;
sebagian besar kapang dihambat pada aw di bawah 0,7 ; sedang sebagian besar khamir
dihambat pada aw di bawah 0,8 dan sebagian besar bakteri dihambat pada aw di bawah
0,9 (Fellows, 2000). Oleh karenanya, jika diinginkan produk yang lebih stabil dengan
umur simpan yang lama, maka dalam pengembangan produk mi kering ke depan di
perusahaan perlu dipertimbangkan untuk mendesain agar produk memiliki aw 0,7.
Pengujian cemaran logam berat dan arsen pada produk mi kering yang dilakukan
dapat dilihat pada Tabel 31. Berdasarkan data pengujian cemaran logam berat dan arsen
pada produk mi kering yang dihasilkan oleh PT Kuala Pangan tersebut menunjukkan bahwa
cemaran logam berat dan arsen masih dalam batas di bawah standar yang ada. Namun
demikian, mengingat cemaran logam berat dan arsen ini, bergantung pada bahan baku
(tepung terigu, garam, dan air) yang digunakan; maka monitoring kandungan cemaran
logam berat dan arsen pada bahan baku yang digunakan sangat diperlukan untuk
memastikan keamanan produk mi kering yang dihasilkan. Pemeriksaan kandungan logam
berat dan arsen pada produk mi kering dapat dilakukan dengan interval waktu tertentu,
disarankan 6 bulan sekali. Hal ini karena kandungan logam berat dan arsen sudah
dipastikan pada setiap penerimaan bahan bakunya dan selama proses produksi tidak ada
kemungkinan penambahan atau kontaminasi bahaya ini.

Tabel 31. Hasil Pengujian Cemaran Logam Berat dan Arsen Produk Mi Kering (*)
Parameter Satuan Hasil Pengujian Syarat Mutu SNI 01.2974-1992
Mi Kering
* Cemaran logam
- Timbal (Pb) mg/kg < 0,05 Maksimal 1,0
- Merkuri (Hg) mg/kg < 0,0005 Maksimal 0,0005
- Tembaga (Cu) mg/kg <2 Maksimal 10,0
- Seng (Zn) mg/kg <5 Maksimal 40
* Cemaran arsen (As) mg/kg < 0,06 Maksimal 0,5
(*) Hasil pengujian produk 1 kali.

131
7. Menentukan Titik Kendali Kritis atau Critical Control Point (Langkah Ke-7,
Prinsip 2 HACCP)
Identifikasi penentuan titik kendali kritis atau critical control point (CCP) pada
proses produksi mi kering di PT Kuala Pangan mulai dari penerimaan bahan baku, bahan
penolong/pembantu, bahan tambahan pangan (BTP) dan bahan pengemas hingga
pengiriman dan distribusi produk mi kering dapat dilihat pada Tabel 32. Berdasarkan
identifikasi dan kajian bahaya pada penerimaan bahan baku pembuatan mi kering (bahan
baku utama, bahan pembantu utama dan bahan tambahan pangan, dan bahan pengemas)
yang telah dilakukan, diperoleh bahwa bahaya potensial pada tahap penerimaan bahan baku
tersebut yang signifikan dan perlu dikendalikan adalah : (1) Bahan baku tepung terigu, yaitu
pada bahaya biologi berupa kemungkinan adanya bakteri patogen (E. coli, coliform, t) dan
kapang, bahaya kimia (berupa cemaran logam berat dan arsen); (2) Bahan baku
”garam”, yaitu pada bahaya kimia (cemaran logam berat dan arsen); (3) Tepung telur, yaitu
pada bahaya biologi berupa kemungkinan adanya bakteri patogen (E. coli, Salmonella,
Staphylococcus) dan kapang; dan (4) Air untuk bahan campuran dalam produksi yang
memiliki bahaya biologi berupa kemungkinan adanya bakteri patogen (E. coli/feacal coli,
coliform), dan angka lempeng total serta bahaya kimia (logam berat dan arsen serta
cemaran kimia lainnya).

132
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan

Tahap/ Penyebab/ Peluang Severyty Tindakan P1 P2 P3 P4 CCP/


Proses Bahaya justifikasi (H,M,L) (h,m,l) pencegahan/ CP Alasan Keputusan
bahaya pengendalian
Penerimaan B : E. coli Penanganan di sup- M m - Proses berikutnya ada Ya Tidak Ya Ya CP Meskipun E. coli termasuk bak-
tepung plier kurang higienis pengukusan dan penge- teri patogen, tetapi akan mati
ringan karena pemanasan
terigu
K : Logam be- Terkontaminasi sejak M h - Permintaan jaminan Ya Tidak Tidak - CP Meskipun logam berat dan arsen
rat dan arsen dari pertanian dan dari supplier dan pe- termasuk membahayakan kese-
pengolahan terigu meriksaan COA hatan, namun hasil pengujian di
dan tidak dapat - Lakukan pengujian lab sangat kecil (di bawah
dihilangkan setiap 6 bulan sekali standar)
F : Potongan Supplier kurang L l - Pemeriksaan dan ins- Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak sigifikan
benang, tali memperhatikan peksi oleh bagian QC terhadap kesehatan manusia
plastik, lingkungan produksi - Dilakukan pengayakan
potongan dengan ukuran 200
serangga mesh
Penerimaan B : Tidak ada - - - - - - - - - -
garam
K : Logam be- Supplier kurang L h - Permintaan jaminan Ya Tidak Tidak - CP Meskipun logam berat dan arsen
rat dan arsen memperhatikan dari supplier dan pe- termasuk membahayakan kese-
lingkungan produksi meriksaan COA hatan, namun hasil pengujian di
- Lakukan pengujian lab sangat kecil (di bawah
setiap 6 bulan sekali standar)
F : Potongan Supplier kurang L l - Pemeriksaan dan ins- Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan
benang, pa- memperhatikan peksi oleh bagian QC terhadap kesehatan manusia
sir, tali plas- lingkungan produksi - Dilakukan pengayak-
tik an dengan ukuran 200
mesh
Penerimaan B : Salmonella, Terkontaminasi pada M m - Proses berikutnya ada Ya Tidak Ya Ya CP Bakteri-bakteri tersebut akan
tepung E. coli, Sta- saat penanganan pengukusan dan penge- mati karena pemanasan
phylococcus ringan
telur
K : Tidak ada - - - - - - - - - -

F : Kotoran Supplier kurang L l - Inspeksi dan peme- Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan
memperhatikan riksaan oleh bagian QC terhadap kesehatan manusia
lingkungan produksi
Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;

133
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan)

Tahap/ Penyebab/ Peluang Severyty Tindakan P1 P2 P3 P4 CCP/


Proses Bahaya justifikasi (H,M,L) (h,m,l) pencegahan/ CP Alasan Keputusan
bahaya pengendalian
Penerimaan B : Tidak ada - - - - - - - - - -
BTP
natrium
K : Tidak ada - - - - - - - - - -
karbonat
dan kalium
karbonat F : Benda asing Supplier kurang L l - Pemeriksaan dan ins- Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak sigifikan
(kotoran, memperhatikan peksi oleh bagian QC terhadap kesehatan manusia
tanah) lingkungan produksi - Dilakukan pengayakan
dengan ukuran 200
mesh
Penerimaan B : Tidak ada - - - - - - - - - -
BTP
Pewarna
K : Tidak ada - - - - - - - - - -
Tartrazin

F : Tidak ada - - - - - - - - - -

Penerimaan B : Salmonella, Lingkungan tempat M m - Proses berikutnya ada Ya Tidak Ya Ya CP Bakteri-bakteri tersebut akan
Air Untuk E. coli, Sta- pengambilan air pengukusan dan penge- mati karena pemanasan pada
Produksi phylococcus tercemar oleh bakteri ringan tahap pengukusan dan
patogen pengeringan
K : Cemaran Lingkungan tempat L l - Water treatment Ya Tidak Tidak - CP Hasil pemeriksaan di labo-
logam berat pengambilan air - SSOP Kemanan air ratorium memenuhi persyaratan
dan bahan tercemar oleh logam PerMenkes No. 907/MenKes/
kimia berat dan bahan Per./VII/2002
lainnya kimia
F : Kotoran - Lingkungan pe- L l - Inspeksi dan peme- Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan
terlarut ngambilan air kotor riksaan oleh bagian QC terhadap kesehatan manusia

Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;

134
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan)
Tahap/ Penyebab/ Peluang Severyty Tindakan P1 P2 P3 P4 CCP/
Proses Bahaya justifikasi (H,M,L) (h,m,l) pencegahan/ CP Alasan Keputusan
bahaya pengendalian
Penerimaan B : Tidak ada - - - - - - - - -
Bahan
Pengemas
Primer K : Residu Adanya residu aditif L m - Pemeriksaan COA ba- Ya Tidak Tidak - CP - Menggunakan plastik food
bahan aditif plastik pada penge- han yang masuk oleh grade
Plastik plastik mas yg dipakai bagian QC
Jenis PP F : Benda asing Supplier kurang L l - Pemeriksaan dan ins- Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak sigifikan
(kotoran, memperhatikan peksi oleh bagian QC terhadap kesehatan manusia
tanah) lingkungan produksi
Penerimaan B : Tidak ada - - - - - - - - - -
Bahan
Pengemas
Sekunder K : Tidak ada - - - - - - - - - -
Kotak
Karton F : Debu, ko- Hasil pemeriksaan L l - Pemeriksaan dan ins- Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan
jenis CFB toran yang dan pemantauan di peksi oleh bagian QC terhadap kesehatan manusia
menempel rekaman tidak pernah -
di karton ditemukan benda
asing
Penyimpan B : Tikus, Adanya binatang/ he- L m - Lakukan pengendalian Ya Tidak Ya Ya CP Bakteri penyebab pest tersebut
an Bahan- kecoa, lalat, wan tersebut dapat hama (pest control) akan mati karena pemanasan
serangga membawa pest dengan tepat pada tahap pengukusan dan pe-
bahan di ngeringan
Gudang
K : Residu Terkontaminasi oleh L m - Gunakan sanitaiser Ya Tidak Tidak - CP - Penggunaan dan dosis
bahan sani- residu bahan sani- yang diizinkan sanitaiser yang tidak tepat dapat
taiser taiser - Gunakan dosis yang mengganggu kesehatan
tepat
F : Debu, ko- - Gudang tidak bersih L l - Inspeksi dan peme- Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan
toran riksaan oleh bagian QC terhadap kesehatan manusia
- Lakukan pembersihan
Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;

135
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan)
Tahap/ Penyebab/ Peluang Severyty Tindakan P1 P2 P3 P4 CCP/
Proses Bahaya justifikasi (H,M,L) (h,m,l) pencegahan/ CP Alasan Keputusan
bahaya pengendalian
Pengayak- B : Tidak ada - - - - - - - - - -
an tepung
terigu dan
garam K : Tidak ada - - - - - - - - - -

F : Benang, Supplier kurang L l - Pemeriksaan dan ins- Ya Tidak Tidak - CP - Dampaknya tidak sigifikan
plastik, memperhatikan peksi oleh bagian QC terhadap kesehatan manusia
potongan lingkungan produksi - Lakukan pengayakan - Hasil pemeriksaan rekaman di
serangga dgn alat ayakan ukuran perusahaan ditemukan benda-
mesh 200 benda asing dalam jumlah kecil

Penim- B : Salmonella, Kontaminasi bakteri M m - Penerapan SSOP Ya Tidak Tidak - CP - Pada tahap berikutnya ada
bangan Staphylococ pada bahan dari alat (Sanitasi alat) proses pengukusan dan pe-
bahan baku cus dan personil/kar- - Penerapan SSOP ngeringan
yawan (Kesehatan dan
dan bahan Higiene Karyawan)
lain untuk
K : Tidak ada - - - - - - - - - -
persiapan
formulasi
F : Debu, ko- Kontaminasi pada L l - Pemeriksaan dan ins- Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan
toran yang alat yang digunakan peksi oleh bagian QC terhadap kesehatan manusia
menempel dalam penimbangan - Lakukan pembersihan
di karton
Pembuatan B : Tidak ada - - - - - - - - - -
Larutan
Alkali
K : Residu Alat yang digunakan L m - Gunakan sanitaiser Ya Tidak Tidak - CP - Penggunaan dan dosis
bahan sani- terkontaminasi oleh yang diizinkan sanitaiser yang tidak tepat dapat
taiser residu bahan sani- - Gunakan dosis yang mengganggu kesehatan
taiser tepat
F : Debu, ko- Terkontaminasi oleh L l - Inspeksi dan peme- Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan
toran debu pada saat riksaan oleh bagian QC terhadap kesehatan manusia
penanganan - Lakukan pembersihan
Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;

136
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan)
Tahap/ Penyebab/ Peluang Severyty Tindakan P1 P2 P3 P4 CCP/
Proses Bahaya justifikasi (H,M,L) (h,m,l) pencegahan/ CP Alasan Keputusan
bahaya pengendalian
Pencam- B : Salmonella, - Terbawa dari adon- M m - SSOP Sanitasi alat Ya Tidak Tidak - CP - Bakteri tersebut akan mati pada
puran dan Staphylococ an, kontaminasi dari - SSOP Kesehatan kar- saat pengukusan dan penge-
formulasi cus, biofilm alat dan karyawan yawan ringan
yang menangani - Tahap berikutnya ada
adonan mi proses pengukusan
(Mixing)
K : Residu - Kontaminasi silang L m - Gunakan sanitaiser Ya Tidak Tidak - CP - Penggunaan sanitaiser dan BTP
bahan sani- dari sisa residu pada yang diizinkan dan yang tidak tepat dapat
taiser dan alat dan dosis BTP dosis yg tepat mengganggu kesehatan
BTP yang tidak sesuai - Gunakan dosis BTP
yang tepat
F : Debu, Kontaminasi alat dari L l - Inspeksi dan peme- Ya Tidak Tidak - CP - Dampaknya tidak sigifikan
kotoran lingkungan produksi riksaan oleh QC terhadap kesehatan manusia
- Lakukan pembersihan

Pengepres B : Salmonella, Terbawa dari adonan, M m - Penerapan SSOP Ya Tidak Tidak - CP - Bakteri tersebut akan mati pada
an dengan Staphylococ dan kontaminasi bak- (Sanitasi alat) saat pengukusan dan penge-
cus,biofilm teri dari alat yang - Tahap berikutnya ada ringan
roll press
dipakai proses pengukusan
(Pressing)
K : Tidak ada - - - - - - - - - -

F : Sisa kerak Adanya kerak adonan L l - Pemeriksaan dan ins- Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan
adonan mi yang menempel pada peksi oleh bagian QC terhadap kesehatan manusia
roll press - Lakukan pembersihan
Pencetakan B : Salmonella, - Terbawa dari adon- M m - Penerapan SSOP Ya Tidak Tidak - CP - Bakteri tersebut akan mati pada
Untaian Staphylococ an, dan kontaminasi (Sanitasi alat) saat pengukusan dan penge-
Pita Mi cus, biofilm dari alat yang dipakai - Tahap berikutnya ada ringan
(Slitting) proses pengukusan
K : Tidak ada - - - - - - - - - - Penggunaan dan dosis sani-
taiser yang tidak tepat dapat
mengganggu kesehatan
F : Debu, ko- Terkontaminasi oleh L l - Inspeksi dan peme- Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan
toran debu pada saat riksaan oleh bagian QC terhadap kesehatan manusia
penanganan - Lakukan pembersihan
Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;

137
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan)
Tahap/ Penyebab/ Peluang Severity Tindakan P1 P2 P3 P4 CCP/
Proses Bahaya justifikasi (H,M,L) (h,m,l) pencegahan/ CP Alasan Keputusan
bahaya pengendalian
Pengukusan B : Salmonella, - Terbawa dari adon- M m - SSOP Sanitasi alat Ya Tidak Tidak - CP - Bakteri tersebut tidak dapat
Mi pada su- Staphylococ an, kontaminasi dari - SSOP Kesehatan kar- tumbuh dan berkembang pada
hu 90-100oC cus, biofilm alat dan karyawan yawan saat pengukusan dan penge-
selama 1,5-2 yang menangani - Tahap berikutnya ada ringan
menit proses pengeringan
(Steaming) K : Residu - Kontaminasi silang L m - Gunakan sanitaiser Ya Tidak Tidak - CP - Penggunaan sanitaiser yang
bahan sani- dari sisa residu pada yang diizinkan dan tidak tepat dapat mengganggu
taiser alat conveyor yang dosis yg tepat kesehatan
digunakan
F : Debu, Kontaminasi pada L l - Inspeksi dan peme- Ya Tidak Tidak - CP - Dampaknya tidak sigifikan
kotoran alat conveyor yang riksaan oleh QC terhadap kesehatan manusia
digunakan - Lakukan pembersihan

Pendinginan B : Salmonella, Terbawa dari adonan, M m - Penerapan SSOP Ya Tidak Tidak - CP - Bakteri tersebut akan mati pada
Mi Hasil Staphylococ dan kontaminasi bak- (Sanitasi alat) proses pengeringan
Pengukusan cus,biofilm teri dari alat yang - Tahap berikutnya ada
(Cooling) dipakai proses pengukusan
K : Tidak ada - - - - - - - - - -

F : Debu, Kontaminasi dari alat L l - Pemeriksaan dan ins- Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan
kotoran kipas dan lingkungan peksi oleh bagian QC terhadap kesehatan manusia
produksi - Lakukan pembersihan
Pemotongan B : Salmonella, - Terbawa dari adon- M m - Penerapan SSOP Ya Tidak Tidak - CP - Bakteri tersebut akan mati pada
Untaian Staphylococ an, dan kontaminasi (Sanitasi alat) saat pengukusan dan penge-
Pita Mi cus, biofilm dari alat yang dipakai - Tahap berikutnya ada ringan
(Cutting) proses pengukusan
K : Residu Alat yang digunakan L m - Gunakan sanitaiser Ya Tidak Tidak - CP - Penggunaan dan dosis sani-
bahan sani- terkontaminasi oleh yang diizinkan taiser yang tidak tepat dapat
taiser residu bahan sani- - Gunakan dosis yang mengganggu kesehatan
taiser tepat
F : Sisa kerak Terkontaminasi oleh L l - Inspeksi dan peme- Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan
adonan debu pada saat riksaan oleh bagian QC terhadap kesehatan manusia
penanganan - Lakukan pembersihan
Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;

138
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan)
Tahap/ Penyebab/ Peluang Severity Tindakan P1 P2 P3 P4 CCP/
Proses Bahaya justifikasi (H,M,L) (h,m,l) pencegahan/ CP Alasan Keputusan
bahaya pengendalian
Pengeringan B : Salmonella, - Terbawa dari adon- H h - Set suhu dan waktu yg Ya Ya - - CCP - Tahap pengeringan ini diran-
Mi pada su- Staphylococ an, kontaminasi dari dinginkan cang khusus untuk meng-
hu 90-100oC cus, E. coli alat dan karyawan - Kontrol suhu secara hilangkan/memusnahkan
selama 25- yang menangani periodik setiap 2 jam bakteri-bakteri tersebut
30 menit sekali
(Drying) - Lakukan kalibrasi in-
ternal termometer se-
cara berkala 2 bulan
sekali
K : Tidak ada - - - - - - - - - -

F : Debu, ko- Kontaminasi pada L l - Inspeksi dan peme- Ya Tidak Tidak - CP - Dampaknya tidak sigifikan
toran alat conveyor yang riksaan oleh QC terhadap kesehatan manusia
digunakan - Lakukan pembersihan
Pendinginan B : Salmonella, Kontaminasi dari alat M m - Penerapan SSOP Ya Tidak Tidak - CP -
Mi dengan Staphylococ kipas angin yang (Sanitasi alat dan
kipas angin cus, digunakan lingkungan)
selama 2 -3
menit K : Tidak ada - - - - - - - - - -
(Cooling)
F : Debu, Kontaminasi dari alat L l - Pemeriksaan dan ins- Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan
kotoran kipas dan lingkungan peksi oleh bagian QC terhadap kesehatan manusia
produksi - Lakukan pembersihan
Pengemasan B : Salmonella, - Terbawa dari adon- M m - Penerapan SSOP Ya Tidak Tidak - CP - Bila kemasan yang dipakai ada
dengan Staphylococ an, dan kontaminasi (Sanitasi alat) yang bocor, produk mudah
plastik jenis cus, E. coli dari alat yang dipakai - Tahap berikutnya ada ditumbuhi bakteri
PP proses pengukusan
(Kemasan K : Residu Kontaminasi residu L m - Gunakan bahan penge- Ya Tidak Tidak - CP - Residu aditif yang melebihi
Primer) bahan aditif aditif plastik karena mas plastik food grade batas standar dapat meng-
plastik migrasi ke produk ganggu kesehatan
F : Debu, ko- Terkontaminasi oleh L l - Inspeksi dan peme- Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan
toran debu pada saat riksaan oleh bagian QC terhadap kesehatan manusia
penanganan dari - Lakukan pembersihan
lingkungan
Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;

139
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan)

Tahap/ Penyebab/ Peluang Severity Tindakan P1 P2 P3 P4 CCP/


Proses Bahaya justifikasi (H,M,L) (h,m,l) pencegahan/ CP Alasan Keputusan
bahaya pengendalian
Pengemasan B : Tidak ada - - - - - - - - - -
dengan
Kotak K : Tidak ada - - - - - - - - - -
karton
(Kemasan F : Debu, ko- Kontaminasi debu L l - Inspeksi dan peme- Ya Tidak Tidak - CP - Dampaknya tidak sigifikan
Sekunder) toran dan kotoran pada riksaan oleh QC terhadap kesehatan manusia
karton - Lakukan pembersihan

Penyimpan- B : Tikus, Binatang/hewan ter- L m - Lakukan pengendalian Ya Tidak Tidak - CP - Hewan tersebut dapat menye-
an Produk kecoa, se- sebut dapat menye- hama dengan tepat babkan pes
Mi Kering rangga babkan kontaminasi - Gunakan denah/lay out
di Gudang silang pada produk untuk pengendalian
mi hama

K : Tidak ada - - - - - - - - - -

F : Debu, ko- Ruang/gudang pe- L l - Pemeriksaan dan ins- Ya Tidak Tidak - CP Dampaknya tidak signifikan
toran nyimpanan tidak peksi oleh bagian QC terhadap kesehatan manusia
bersih - Lakukan pembersihan
Pengiriman B : Tidak ada - - - - - - - - - -
dan Pendis-
tribusian
Produk Mi K : Tidak ada - - - - - - - - - -

F : Tidak ada - - - - - - - - - -

Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;

140
Mengacu pada panduan penetapan langkah pengendalian dalam SNI 01.4852-
1998 (BSN, 1998), yaitu berdasarkan dampak langkah pengendalian tingkat pengendalian
bahaya atau frekuensi kejadian, tingkat keparahan bahaya pada kesehatan konsumen dan
kebutuhan untuk pemantauan (monitoring), maka bahaya kimia pada penerimaan bahan
baku tepung terigu dan garam tersebut tidak perlu dikendalikan dalam rencana HACCP,
tetapi dikendalikan sebagai control point (CP) dan penerapan GMP. Hal ini dikarenakan
dalam proses produksi mi kering yang diterapkan perusahaan saat ini tidak mendesain
secara khusus untuk menghilangkan bahaya ini, sehingga cemaran logam berat dan arsen
tidak bisa dihilangkan selama proses produksi mi kering. Untuk mencegah atau
mengendalikan bahaya kimia tersebut, maka perusahaan harus menetapkan spesifikasi
bahan baku dengan benar mengacu pada regulasi pemerintah dan melakukan pemeriksaan
kesesuaian Certificate of Analysis (sertifikat hasil pengujian) dengan standar yang sudah
ditetapkan setiap kali penerimaan bahan baku tersebut. Bila bahan baku tersebut tidak
memenuhi persyaratan spesifikasi keamanan pangan, maka perusahaan dapat menolak
dan mengembalikan bahan baku tersebut ke pihak pemasok/supplier.
Bahaya biologi pada bahan baku (tepung terigu, tepung telur dan air) yang
digunakan dalam proses produksi mi kering tidak perlu dimasukkan dalam rencana
HACCP atau dengan perkataan lain bukan merupakan titik kendali kritis, karena pada
proses produksi pada tahap berikutnya ; bahaya biologi tersebut dapat dihilangkan atau
dikurangi sampai tingkat yang dapat diterima melalui tahapan produksi mi, yaitu pada
tahap pengukusan (pemasakan) mi pada suhu 90-100oC selama 1,5-2 menit dan pada
tahap pengeringan mi pada suhu 90-100oC selama 25-30 menit. Bila dikaji lebih lanjut,
bahan baku tepung terigu komposisi nutrisinya relatif tidak mendukung pertumbuhan
mikroba, berbentuk kering dan padat dengan kadar air sekitar 8-10% sehingga
mempunyai aw (aktifitas air) yang rendah yaitu sekitar 0,81. Bahan baku (garam)
komposisinya terdiri dari senyawa natrium klorida (NaCl) dengan kadar NaCl sekitar
95% dan berfungsi sebagai bahan pengawet, karena garam tersebut akan menarik air dan
menurunkan aw produk pangan sehingga mikroba tidak akan dapat tumbuh dan
berkembang. Sedang bahan baku (tepung telur), komposisi nutrisinya relatif lebih
mendukung adanya pertumbuhan mikroba patogen seperti E. coli, Salmonella dan
Staphylococcus karena kandungan proteinnya yang tinggi; namun karena dalam kondisi

141
berbentuk tepung, padat dan kering dengan kadar air yang rendah (sekitar 4-6%)
menyebabkan mikroba tidak dapat tumbuh dan berkembang.
Agar pengendalian bahaya yang telah teridentifikasi pada bahan baku (bahan baku
utama, bahan pembantu, bahan tambahan pangan, dan bahan pengemas), baik yang dikelola
dalam titik kendali kritis atau CCP maupun bukan-CCP atau Control Point (CP) dapat
berjalan efektif, maka perlu ditetapkan batas kritis CCP-nya, langkah pemantauan dan juga
tindakan koreksinya jika terjadi penyimpangan atas CCP maupun penerapan SSOP dan
GMP yang ditetapkan. Langkah pemantauan yang mencakup batas kritis, tindakan
koreksi dan tindakan verifikasi yang perlu dilakukan pada setiap CCP atau bukan-CCP
akan dibahas lebih lanjut di HACCP Plan-nya.
Berdasarkan identifikasi dan kajian bahaya pada tahapan proses dan alat produksi
yang dilakukan, diperoleh bahwa bahaya potensial pada tahapan proses yang signifikan
yang perlu dikendalikan adalah : (1) Tahap proses pengayakan tepung terigu dan garam,
yaitu adanya bahaya fisik berupa potongan benang, plastik, potongan serangga dan
pasir/kerikil; (2) Tahap proses penimbangan bahan baku tepung terigu, garam, tepung
telur dan air berupa kemungkinan kontaminasi bakteri patogen dari pekerja/karyawan; (3)
Tahapan proses pencampuran dan formulasi pembuatan adonan mi, pembentukan lembaran
adonan dengan alat roll press, pembentukan untaian kembang mi (slitting) dan pemotongan
mi (cutting), yaitu berupa kemungkinan adanya kontaminasi bakteri patogen (bahaya
biologi) yang terbawa dari bahan adonan dan alat yang dipakai berupa bakteri E. coli,
Salmonella, Staphylococcus dan biofilm pada unit mesin pencampur (mixer), pengepres
(roll press) dan pembentuk kembang mi (slitter); (4) Tahap proses pengukusan
(pemasakan) mi pada suhu 90-100oC selama 1,5-2 menit dan proses pengeringan mi pada
suhu 90-100 oC selama 25-30 menit berupa bahaya biologi bakteri patogen dan kapang
yang berasal dari bahan baku (adonan) serta kontaminasi dari pekerja dan alat yang
digunakan; (5) Tahap proses pendinginan berupa bahaya biologi bakteri yang
diakibatkan adanya kontaminasi yang berasal dari alat pendingin dan kipas yang
digunakan; (6) Tahap proses pengemasan berupa bahaya biologi bakteri patogen yang
diakibatkan dari kontaminasi pekerja maupun kebocoran pengemas plastik yang digunakan;
dan (7) Tahap proses penyimpanan produk mi di gudang penyimpanan kering

142
berupa bahaya biologis berupa kontaminasi penyakit pes yang diakibatkan oleh binatang
pengerat tikus.
Mengacu pada panduan penetapan langkah pengendalian dalam SNI 01.4852-
1998 tentang Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kendali Kritis (BSN, 1998),
yaitu berdasarkan dampak langkah pengendalian terhadap tingkat bahaya atau frekuensi
kejadian, tingkat keparahan bahaya pada kesehatan kosumen dan kebutuhan untuk
pemantauan (monitoring), maka bahaya biologi bakteri patogen (E. coli, Salmonella,
Staphylococcus) pada mi yang dimasak pada tahap pengeringan tersebut perlu
dikendalikan dalam rencana HACCP sebagai titik kendali kritis atau CCP. Hal ini
dikarenakan dalam proses produksi mi kering yang diterapkan perusahaan saat ini,
tahapan proses pengeringan ini dirancang/didisain khusus untuk menghilangkan atau
mengurangi bahaya biologis bakteri dan kapang tersebut sampai tingkat yang dapat
diterima. Untuk mencegah bahaya tersebut, maka tindakan pengendalian yang dilakukan
adalah dengan memeriksa suhu dan waktu pengeringan secara berkala setiap 2 jam sekali
selama proses pengeringan dan produksi berlangsung, dan kecepatan udara yang digunakan
untuk menegeringkan produk mi kering. Pemeriksaan ini dilakukan dengan inspeksi visual
terhadap panel termometer dan panel air flowmeter serta pencatatan suhu dan kecepatan
udara hasil inspeksi.
Pengendalian terhadap bahan baku, bahan penolong, bahan tambahan pangan
(BTP), kemasan dan produk akhir serta pembersihan ruangan masuk dalam kategori GMPs.
Sedangkan kategori Critical Point (CP) terdiri dari penerimaan bahan baku, bahan
penolong dan bahan tambahan pangan yang baru datang; penyimpanan bahan- bahan
tersebut di gudang kering dan ruang suhunya terkendali; penimbangan bahan baku, bahan
penolong dan BTP di ruang penimbangan; proses pencampuran dan formulasi adonan;
proses pembuatan adonan menjadi lembaran adonan dengan roll press; proses
pembentukan pita mi (slitting); proses pendinginan mi setelah pengukusan (cooling), proses
pemotongan mi (cutting); pengemasan produk mi kering dalam wadah plastik pengemas
jenis PP dan kotak karton; penyimpanan dan karantina produk mi kering di gudang
penyimpanan; pengiriman dan pendistribusian produk mi kering; dan pembersihan
alat dan mesin yang digunakan perusahaan dalam proses produksi.

143
Penerimaan bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan pangan (BTP) serta
kemasan yang baru datang masuk kategori CP karena pada tahap ini ada seleksi dan kontrol
terhadap pemasok (supplier), pemeriksaan bahan baku dan bahan-bahan lain sesuai
dengan spesifikasi dan sertifikat hasil analisis (COA) dan pengujian bahan baku, bahan
penolong dan bahan tambahan pangan sebelum digunakan. Pemeriksaan dan pengujian
dilakukan untuk melihat mutunya sesuai dengan standar atau spesifikasi yang diinginkan
perusahaan. Selain itu juga diperiksa kondisi kemasan dan jumlah bahan baku, bahan
penolong dan BTP yang dipesan.
Penyimpanan bahan baku, bahan penolong, bahan tambahan pangan dan produk
akhir serta pembersihan ruangan masuk dalam kategori GMPs. Kondisi penyimpanan dan
ruangan harus dalam keadaan bersih untuk menghindari kontaminasi silang pada bahan
yang disimpan. Kebersihan ruangan harus terjaga dan terjadwal dengan baik. Disamping
itu, kemasan harus dalam keadaan tertutup dan terlindung dari kotoran dan debu. Contoh
prosedur dan jadwal kebersihan ruangan dapat dilihat pada Lampiran 12.
Persiapan alat produksi, pemindahan, pengambilan dan penimbangan bahan baku,
bahan penolong dan bahan tambahan pangan di ruang produksi masing-masing termasuk
kategori CP. Sebelum memproduksi mi kering, personil/karyawan produksi harus
mempersiapkan peralatan dan mesin yang akan dipakai. Bagian dalam vessel peralatan
dan mesin pencampur (mixer), pembuat adonan menjadi lembaran adonan (roll presser),
pembentukan dan pemotongan pita mi (cutter) harus diperiksa kebersihannya sebelum
digunakan untuk produksi. Hal ini bertujuan untuk mencegah kontaminasi silang awal
selama proses pengolahan. Setiap personil produksi yang terlibat dalam proses
pengolahan bekerja sesuai dengan SOP dan daftar pengecekan pesanan bahan yang akan
diolah (work order checking list).
Pada proses pengambilan dan penimbangan bahan baku, bahan penolong dan bahan
tambahan pangan, personil/karyawan di bagian produksi harus mengambil dan menimbang
bahan-bahan tersebut sesuai dengan prosedur kerja. Kesalahan pengambilan dan
penimbangan bahan baku dan bahan-bahan lain akan menyebabkan perubahan mutu yang
tidak sesuai dengan permintaan konsumen. Sebelum kegiatan produksi dimulai, biasanya
personil di bagian produksi memeriksa alat timbangan sebelum digunakan dalam
proses pencampuran dan formulasi. Pada saat pencampuran bahan baku, bahan

144
penolong, bahan tambahan pangan dan air; personil di bagian produksi ini harus
memperhatikan cara produksi yang baik dan higienis. Dengan demikian, hal tersebut
akan mencegah kontaminasi silang selama proses pencampuran dan formulasi. Menurut
Nuraida (2002), penerapan praktek sanitasi dan higiene makanan yang baik merupakan
bentuk yang paling mendasar dari sistem penjaminan keamanan pangan dan merupakan
prasyarat dalam penerapan HACCP.
Pada proses pencampuran dan formulasi adonan, proses pembuatan adonan
menjadi lembaran adonan dengan roll press; proses pembentukan untaian pita mi (slitting);
proses pendinginan mi setelah pengukusan (cooling), proses pemotongan mi (cutting);
karyawan/personil yang terlibat dalam proses tersebut harus melakukan pekerjaan dan
tanggung jawabnya sesuai dengan standar prosedur operasi (SOP) yang telah ditetapkan
perusahaan. Pada saat proses pencampuran dan formulasi adonan hingga proses
pemotongan pita mi; karyawan/personil di bagian produksi juga harus memperhatikan cara
produksi yang baik dan higienis. Dengan demikian, hal tersebut akan mencegah
kontaminasi silang selama proses tersebut berlangsung.
Proses pengemasan produk mi kering juga masuk dalam kategori critical point
(CP). Kemasan primer yang akan digunakan berupa plastik jenis PP harus diperiksa
dahulu kebersihan dan labelnya. Kemasan primer yang sudah berisi produk akhir
disegel/diseal dengan rapat untuk menghindari kebocoran, lalu dikemas lagi dengan
kemasan sekunder dalam bentuk kotak karton. Setiap kemasan primer mempunyai bobot
netto 200 gram dan setiap kotak karton berisi 20 kemasan primer.
Penyimpanan produk akhir di gudang penyimpanan dan pembersihan ruang/ gudang
penyimpanan termasuk dalam kategori control point dan GMP. Kondisi gudang
penyimpanan harus bersih dan dilakukan tindakan sanitasi serta pengendalian hama untuk
menghindari kontaminasi silang pada produk yang disimpan sebagai akibat produknya
diganggu binatang perusak/pengerat tikus yang dapat menularkan penyakit pes. Oleh
karena itu, kebersihan gudang dan sanitasinya harus terjaga dan terjadwal dengan baik.
Agar pengendalian bahaya yang telah teridentifikasi pada tahapan dan alat proses
produksi, baik yang akan dikelola dalam titik kendali kritis atau CCP maupun bukan-
CCP atau Control Point (CP) dapat berjalan efektif; maka perlu ditetapkan batas kritis
setiap CCP-nya, langkah pemantauan dan juga tindakan koreksinya jika terjadi

145
penyimpangan atas CCP maupun CP-nya. Langkah pemantauan yang mencakup batas
kritis, tindakan koreksi, dan tindakan verifikasi yang perlu dilakukan pada setiap CCP
dan CP-nya akan dibahas lebih lanjut di HACCP Plan-nya.

8. Menentukan Batas Kritis (Langkah Ke-8, Prinsip 3 HACCP)


Batas kritis adalah kriteria yang membedakan produk atau parameter yang dapat
diterima pada produk atau parameter yang tidak dapat diterima/ditolak. Batas kritis ini
merupakan toleransi mutlak (absolut) untuk keamanan pangan. Berdasarkan identifikasi
bahaya dan titik kendali kritis pada produksi mi kering, maka batas kritis untuk mencegah
bahaya biologis pada tahap proses pengeringan (CCP1) dapat dilihat pada Tabel 33.

Tabel 33. Batas kritis yang ditetapkan pada titik kendali kritis (CCP) untuk produksi mi
kering di PT Kuala Pangan.

No. Jenis Bahaya Titik Kendali Kritis Batas Kritis


(CCP)
1. Bahaya biologis bakteri patogen Pada tahap Pengeringan - Suhu 90 - 100 oC
(E. Coli, coliform, Salmonella, dengan cara dioven - Waktu 20-25 menit
Staphyllococcus, kapang) menggunakan uap panas - Kadar air maksimal 10%
- Kecepatan udara 2 m/det

Penetapan batas kritis untuk untuk bahaya biologi bakteri patogen pada proses
produksi pembuatan mi kering di tahap pengeringan sebagai titik kendali kritis (CCP)
ditetapkan berdasarkan pengalaman empiris dan penelitian teknis perusahaan serta
publikasi ilmiah dari ICMSF (1996) serta Bacon dan Sofos (2003).
Pengujian bahaya biologis adanya bakteri patogen (E.coli, Salmonella,
Stapahylococcus) dan kapang pada produk mi kering untuk memvalidasi batas kritis
tersebut dapat dilihat pada Tabel 34. Berdasarkan hasil pengujian bahaya biologis berupa
bakteri patogen (E.coli, Salmonella, Stapahylococcus) dan kapang pada produk hasil
pengukusan dan pengeringan menunjukkan negatif dan kandungan kapangnya sekitar 10
koloni/gram. Hasil pengujian ini juga menunjukkan masih di bawah ambang batas
kritisnya.

146
Tabel 34. Hasil Pengujian Cemaran Logam Berat, Arsen pada Bahan Baku Tepung
Terigu dan Garam serta Bakteri Patogen pada Produk Mi Kering (*).

No. Jenis/Parameter Satuan Titik Kendali Kritis Hasil Pengujian Batas Kritis
Bahaya
1. Bahaya biologis/ bakte- Pengukusan
ri patogen
- E. coli Koloni/g - Suhu 90-100oC Negatif Negatif
- Salmonella Koloni/g - Waktu 1-1,5 menit Negatif Negatif
- Staphylococcus Koloni/g Negatif Negatif
- Kapang Koloni/g 10 1 x 104

2. Bahaya biologis/ bakte- Pengeringan


ri patogen
- E. coli Koloni/g - Suhu 90-100oC Negatif Negatif
- Salmonella Koloni/g - Waktu 25-30 menit Negatif Negatif
- Staphylococcus Koloni/g Negatif Negatif
- Kapang Koloni/g 10 1 x 104

(*) Hasil pengujian 1 kali

9. Menetapkan Prosedur Monitoring (Langkah Ke-9; Prinsip 4 HACCP)


Batas kritis berupa bahaya biologi bakteri patogen pada tahapan pengeringan
sebagai titik kendali kritis atau CCP haruslah dipantau atau dimonitor keberadaannya.
Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memastikan apakah prosedur pengolahan atau
penanganan pada titik kendali kritis atau CCP tersebut masih di bawah kendali.
Disamping itu, tujuan monitoring ini adalah untuk mengetahui saat sebuah CCP atau bukan
CCP tidak terkontrol yang berakibat dapat meningkatnya risiko terproduksinya produk
berbahaya, untuk mengidentifikasi masalah-masalah sebelum mereka muncul, menentukan
titik penyebab suatu masalah, membantu verifikasi dan membantu membuktikan kelayakan
program HACCP.
Salah satu langkah yang dapat dilakukan di perusahaan industri pembuat mi
kering PT Kuala Pangan apabila hasil monitoring CCP pada titik kendali kritis (CCP)-nya
berada di luar kendali adalah melakukan tindakan (aksi) yang bersifat proaktif dan kreatif
(pro-active and creative action). Tindakan yang proaktif dan kreatif ini adalah tindakan
yang harus dilakukan ketika hasil pemantauan (monitoring) pada CCP berada di luar
kendali. Dengan demikian, diharapkan aksi yang proaktif dan kreatif dapat digunakan
untuk mengantisipasi atau mencegah terjadinya penyimpangan sebagai akibat dari tidak
terkendalinya CCP. Sebagai tindakan, pada tahapan pengeringan mi dilakukan

147
pemeriksaan secara kontinyu dan teratur terhadap suhu dan waktu yang digunakan pada
proses tersebut. Tindakan proaktif dan kreatif ini secara lengkap dapat dilihat di program
rencana HACCP atau HACCP Plan (Tabel 35 dan 36).

10. Menetapkan Prosedur Tindakan Koreksi (Langkah Ke-10; Prinsip 5 HACCP)


Tindakan koreksi adalah segala tindakan yang diambil saat hasil
pemantauan/monitoring CCP mengindikasikan hilangnya kendali. Tindakan koreksi pada
tahapan pengeringan sebagai titik kendali kritis (CCP) terhadap bahaya biologis bakteri
patogen di PT Kuala Pangan adalah sebagai berikut : (1) Perusahaan akan menghentikan
proses produksi sementara guna mengurangi/mengeliminasi jumlah produk yang
terproses dan kerja ulang produk, serta mengevaluasi ketidaksesuaian yang ditemukan
oleh Bagian Produksi dan QC agar ketidaksesuaian tersebut segera diperbaiki dan
ditindaklanjuti perbaikannya oleh bagian pemeliharaan (maintenance) sehingga proses
produksi dapat dilanjutkan kembali; (2) Produk mi yang sudah terlanjur diproses menjadi
produk akhir dalam bentuk mi kering, harus dipisahkan dan dikarantina dari produk akhir
mi yang lain, lalu dilakukan pengujian analisis di laboratorium terhadap parameter sifat
mikrobiologisnya untuk memastikan keamanannya sebelum dikirim dan didistribusikan
kepada pelanggan/konsumen; (3) produk mi yang gagal /cacat pada tahap proses
pengukusan karena batas kritis suhu pengukusannya tidak terpenuhi, maka produk
tersebut dapat dilakukan proses ulang kembali atau re-proses dengan catatan bahwa mutu
produk tersebut masih baik dan memenuhi persyaratan spesifikasi perusahaan; (4) Produk
mi kering yang sudah terlanjur diproduksi tetapi berdasarkan hasil pengujian dan analisis
menunjukkan bahwa produk tersebut tidak aman dan tidak layak dikonsumsi harus
dimusnahkan; dan (5) Melakukan kalibrasi alat ukur suhu (termometer) yang digunakan
pada proses produksi mi kering di tahap pengukusan dan pengeringan.
Prosedur proses ulang kembali atau re-proses untuk menangani produk yang
gagal/cacat pada saat pengukusan dilakukan dengan cara sebagai berikut : (a) Pisahkan
produk mi hasil pengukusan yang gagal/cacat, (b) Dilakukan pemeriksaan oleh bagian
QC sesuai dengan acuan standar yang ditetapkan perusahaan, (c) Bila memenuhi standar
perusahaan, produk lalu dicampurkan ke dalam pembuatan adonan kembali untuk

148
selanjutnya diproses lagi dari tahap pembuatan adonan hingga pengemasan produk mi
dengan plastik jenis PP, kotak karton dan pengiriman/distribusi.

11. Menetapkan Tindakan Verifikasi (Langkah Ke-11; prinsip 6 HACCP)


Tindakan verifikasi merupakan suatu kegiatan penerapan metode-metode,
prosedur pengujian dan analisis serta evaluasi-evaluasi lain sebagai tambahan dalam sistem
pemantauan untuk mengetahui dan memastikan efektifitas terhadap rencana HACCP.
Tindakan verifikasi yang direncanakan dilakukan pada industri pengolahan pangan PT
Kuala Pangan sebagai produsen pangan mi kering, baik yang menyangkut titik kendali
kritis atau CCP pada penerimaan bahan baku dan tahapan proses serta yang menyangkut
bukan CCP atau control point (CP) secara ringkas dapat dilihat pada tabel rencana HACCP
atau HACCP Plan (Tabel 35 dan 36).

149
Tabel 35. Rencana HACCP (HACCP Plan) Pada Produksi Mi Kering.
Tahap Bahaya yang Batas Kritis Pemantauan (Monitoring) Tindakan Tindakan Prosedur
Proses diidentifikasi Apa Bagaimana Kapan Siapa Koreksi Verifikasi Rekaman

CCP1 Pengeringan Bakteri patogen - Suhu 90-100 - Suhu oven Dengan me- Selama proses Operator bagian - Bila suhu - Kalibrasi - Dokumen-
produk mi (E. coli, Salmo- o
C, dan lama dan lama pe- meriksa suhu produksi setiap pengeringan mi tidak sesuai alat termo- tasi Lapor-
nella, Staphylo- ngeringan proses pada proses penge- dan bagian QC standar, maka meter dan an tindakan
pengeringan
coccus) mesin oven pe- ringan (25-30 produk yang stop watch koreksi
25-30 menit ngering secara menit) sudah jadi secara
visual dan dipisahkan/ berkala - Dokumen-
waktu penge- dikarantina tasi Lapor-
ringan dengan an Operator
stopwatch/ jam pengering-
tangan an produk

- Kecepatan - Dengan me- - Selama proses Operator bagian - Stop proses - Uji mikro- - Dokumen-
- Kecepatan
aliran udara meriksa setiap QC dan direpro- biologi tasi Lapor-
aliran udara pengeringan kecepatan pengeringan ses (Waktu ter-hadap an kalibrasi
2m/detik aliran udara proses penge- produk alat
pengeringan ringan diper- akhir
panjang) - Dokumen-
- Kadar air - Kadar air pro- - Dengan me- - Setiap selesai Operator bagian tasi Lapor-
produk mi duk mi kering makai alat proses satu QC an catatan
kering mak- yang dihasil- konduktifitas batch penge- batas kritis
kan meter ringan - Data atau
simal 10% log sheet
pengu-
kuran

- Data check-
list

150
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan PT Kuala Pangan
No. Bahan Baku Nomor Bahaya Tindakan Pemantauan Tindakan koreksi Tanggung Rekaman/
CP pengendalian Obyek Lokasi Prosedur Frekuensi Staf/Dept. jawab Catatan
dokumentasi
1. Penerimaan CP-1 -Bakteri pato- -SSOP pene- Tepung Gudang Memeriksa Setiap Staf bagian - Mengem balikan Ka Bag. - Dokumenta-
Tepung gen (E. coli, rimaan bahan terigu bahan baku keseuaian penerimaan Gudang & ke supplier Produksi si COA
terigu Salmonella, tepung terigu COA dgn bahan baku QC - Audit supplier dan QC - Dokumenta-
kapang) standar - Melakukan pengu- si hasil pe-
-Cemaran -Tahap beri- jian secara eks- ngujian
logam berat kutnya ada ternal 6 bulan - Dokumenta-
dan arsen pengukusan sekali si hasil audit
supplier
2. Penerimaan CP-2 Bakteri -SSOP pene- Tepung Gudang Memeriksa Setiap Staf bagian - Mengembalikan Ka Bag. - Dokumenta-
Tepung patogen rimaan bahan telur bahan baku keseuaian penerimaan Gudang & ke supplier Produksi si COA
Telur (Salmonella, tepung telur COA dgn bahan baku QC dan QC - Dokumenta-
E. coli, Sta- - Tahap beri- standar si hasil pe-
phy-coccus) kutnya ada ngujian
pengukusan - Audit supplier - Dokumenta-
dan penge- si hasil audit
ringan supplier
3. Penerimaan CP-3 -Cemaran lo- -SSOP Pene- Garam Gudang Memeriksa Setiap Staf bagian - Mengembalikan Ka Bag. - Dokumenta-
Garam gam berat rimaan bahan bahan baku keseuaian penerimaan Gudang & ke supplier Produksi si COA
dan cemaran baku garam COA dgn bahan baku QC - Audit supplier dan QC - Dokumenta-
arsen standar - Melakukan pengu- si hasil pe-
-Potongan be- - Tahap beri- jian secara eks- ngujian
nang, tali kutnya ada ternal 6 bulan - Dokumenta-
plastik, pasir pengayakan sekali si hasil audit
supplier
4. Penerimaan CP-4 -Bakteri pa- - SSOP Kea- Air Gudang Cek mutu/ Setiap 1 Bagian - Mengganti filter, Ka. Bag. - Dokumenta-
Air thogen (E. manan Air Penyimpanan kualitas air (satu) bulan Teknik & filter karbon aktif Teknik & si uji E. coli
coli, Salmo- air (kandung- sekali Mainte- Maintenan-
nella, an E. coli, nance - Uji eksternal ce - Dokumenta-
Staphy- -Water Salmonella kualitas air sesuai si hasil Uji
lococcus treatment , dll) PerMenKes No. 907 eksternal
- Cemaran lo- /MenKes/SK/VII/ mutu air
gam berat 2002.
dan kotoran

151
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan (Lanjutan)
No. Bahan Baku Nomor Bahaya Tindakan Pemantauan Tindakan koreksi Tanggung Rekaman/
CP pengendalian Obyek Lokasi Prosedur Frekuensi Staf/Dept. jawab Catatan
dokumentasi
5. Penerimaan CP-5 - Tidak ada - SSOP pene- Natrium Gudang Memeriksa Setiap Staf bagian - Mengem balikan Ka Bag. - Dokumenta-
Natrium dan rimaan natri- dan ka- bahan baku keseuaian penerimaan Gudang & ke supplier Produksi si COA
Kalium um dan kalium lium kar- COA dgn bahan na- QC - Audit supplier dan QC - Dokumenta-
Karbonat karbonat bonat standar trium dan si hasil pe-
- Pemeriksaan kalium kar- - Uji secara ekster- ngujian
COA bahan bonat nal setiap 1 tahun - Dokumenta-
yang masuk sekali si hasil audit
supplier
6. Penerimaan CP-6 - Fisik : kotor- SSOP Tatrtra- Gudang Memeriksa Setiap Staf bagian - Mengembalikan Ka Bag. - Dokumenta-
Tartrazin CI an Penerimaan zin CI bahan baku keseuaian penerimaan Gudang & ke supplier Produksi si COA
19140 Tartrazin 19140 COA dgn bahan QC - Audit supplier dan QC - Dokumenta-
standar taertrazin si hasil pe-
- Uji secara ekster- ngujian
nal setiap 6 bulan - Dokumenta-
sekali si hasil audit
supplier
7. Penerimaan CP-7 - Kimia : adi- - SSOP Pene- Plastik Gudang Memeriksa Setiap Staf bagian - Mengembalikan Ka Bag. - Dokumenta-
Bahan tif plastik rimaan bahan jenis PP bahan baku keseuaian penerimaan Gudang & ke supplier Produksi si COA
pengemas (plasticizer) penge- mas COA dgn bahan pe- QC dan QC
plastik plastic standar ngemas - Audit supplier - Dokumenta-
(Kemasan - Fisik : debu, - Pemeriksaan plastik PP si hasil pe-
Primer) kotoran COA bahan ngujian
yang masuk - Dokumenta-
si hasil audit
supplier
8. Penerimaan CP-8 Fisik : debu, - SSOP Pene- Kotak Gudang Memeriksa Setiap Bagian - Mengembalikan ke Ka. Bag. - Dokumenta-
Bahan kotoran rimaan bahan karton bahan baku kesuaian penerimaan Teknik & supplier Teknik & si uji E. coli
pengemas pengemas COA dgn bahan pe- Mainte- Maintenan-
Kotak kotak karton standar ngemas nance ce - Dokumenta-
Karton -Pemeriksaan kotak - Audit supplier si hasil Uji
(Kemasan bahan kotak karton eksternal
Sekunder) karton yang mutu air
masuk

152
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan (Lanjutan).
No. Bahan Baku Nomor Bahaya Tindakan Pemantauan Tindakan koreksi Tanggung Rekaman/
CP pengendalian Obyek Lokasi Prosedur Frekuensi Staf/Dept. jawab Catatan
dokumentasi
9. Penyimpanan CP-9 - Biologis : - SSOP pe- Bahan Gudang Memeriksa Setiap Staf bagian - Perketat praktek Ka Bag. - Dokumenta-
Bahan baku dan tikus, kecoa, nyimpanan baku, ba- penyimpanan gudang pe- minggu Produksi penyimpanan bahan Produksi si hasil pe-
bahan lainnya serangga bahan baku han lain bahan baku, nyimpanan sekali & QC sesuai GMP dan dan QC meriksaan
- Residu ba- dan bahan dan pro- bahan lain & SSOP kondisi
han sanitai- lainnya duk produk gudang
ser - Lakukan pest - Perketat penerapan - Dokumenta-
control pengendalian hama si hasil pe-
ngendalian
hama
10. Penimbangan CP-10 - Bakteri pato- - SSOP - Pekerja/ Ruang proses - Memerik- -Minimal 1 Staf bagian - Perketat praktek Ka Bag. - Dokumenta-
gen (Kesehatan & karyawan produksi sa kese- tahun Produksi higiene dan ke- Produksi si hasil pe-
Higiene Pe- hatan kar- sekali & QC sehatan pekerja dan QC meriksaan
kerja) yawan kesehatan
karyawan
- Ceceran ba- - SSOP (Sani- - Alat - Memerik- -Setiap - Beri teguran kepa- - Dokumenta-
han kimia tasi alat) timbang- sa kondisi awal bulan da karyawan atau si log book
pembersih an kebersihan beri pelatihan hi- hasil peme-
alat giene dan sanitasi riksaan alat
11. Pencampuran CP-11 - Bakteri pato- -SSOP - Pekerja/ Ruang proses - Memerik- -Minimal 1 Staf bagian - Perketat praktek Ka Bag. - Dokumenta-
(Mixing) gen ; (Kesehatan & karyawan produksi sa kese- tahun Produksi higiene dan ke- Produksi si hasil pe-
Higiene Pe- hatan kar- sekali & QC sehatan pekerja dan QC meriksaan
kerja) yawan kesehatan
karyawan
- Residu ba- - SSOP (Sani- - Mixer - Memerik- -Setiap - Beri teguran kepa- - Dokumenta-
han sanitai- tasi alat) sa kondisi awal bulan da karyawan atau si log book
ser kebersihan beri pelatihan hi- hasil peme-
alat giene dan sanitasi riksaan alat
12 Pencampuran CP-12 -Bakteri pa- -SSOP - Pekerja/ Gudang - Memerik- -Minimal 1 Staf bagian - Perketat praktek Ka. Bag. - Dokumenta-
dan Formulasi togen; (Kesehatan & karyawan bahan baku sa kese- tahun Produksi & higiene dan Teknik & si hasil pe-
Higiene Pe- hatan kar- sekali QC kesehatan pekerja Maintenan- meriksaan
-Residu sani- kerja) yawan ce. kesehatan
taiser - SSOP (Sani- - Mixer - Memerik- -Setiap - Beri teguran kepa- karyawan
tasi alat) sa kondisi awal bulan da karyawan atau - Dokumenta-
kebersihan beri pelatihan hi- si log book
alat giene dan sanitasi hasil peme-
riksaan alat

153
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan (Lanjutan).
No. Bahan Baku Nomor Bahaya Tindakan Pemantauan Tindakan koreksi Tanggung Rekaman/
CP pengendalian Obyek Lokasi Prosedur Frekuensi Staf/Dept. jawab Catatan
dokumentasi
13. Penyimpanan CP-13 - Biologis : - SSOP pe- Bahan Gudang Memeriksa Setiap Staf bagian - Perketat praktek Ka Bag. - Dokumenta-
Bahan baku dan tikus, kecoa, nyimpanan baku, ba- penyimpanan gudang pe- minggu Produksi penyimpanan bahan Produksi si hasil pe-
bahan lainnya serangga ; bahan baku han lain bahan baku, nyimpanan sekali & QC sesuai GMP dan dan QC meriksaan
dan bahan dan pro- bahan lain & SSOP kondisi
lainnya duk produk gudang
- Residu ba- - Dokumenta-
han sanitai- - Lakukan pest - Perketat penerapan si hasil pe-
ser control pengendalian hama ngendalian
hama

14. Pengayakan CP-14 - Cemaran fi- - Melakukan - Bahan Ruang proses - Memerik- -Setiap kali Staf bagian - Perketat praktek Ka Bag. - Dokumenta-
tepung terigu sik (benang, pengayakan tepung pengayakan sa ukuran bahan Produksi pemeriksaan Produksi si hasil pe-
dan garam tali plastik dengan ayakan terigu mesh ayak- tepung & QC ukuran mesh alat dan QC meriksaan
potongan ukuran 200 dan an yang terigu dan yang dipakai kesehatan
serangga, mesh garam dipakai garam akan karyawan
pasir) dipakai
- Cemaran fi- - Memerik- - Beri teguran kepa- - Dokumenta-
sik yang diper- sa kondisi da karyawan atau si log book
oleh dipisah- kebersihan beri pelatihan hi- hasil peme-
kan alat giene dan sanitasi riksaan alat
15. Penimbangan CP-15 - Bakteri pato- -SSOP - Pekerja/ Ruang proses - Memerik- -Minimal 1 Staf bagian - Perketat praktek Ka Bag. - Dokumenta-
bahan gen (Kesehatan & karyawan penimbangan sa kese- tahun Produksi higiene dan ke- Produksi si hasil pe-
Higiene Pe- hatan kar- sekali & QC sehatan pekerja dan QC meriksaan
kerja) yawan kesehatan
karyawan
- Debu, kotor- - SSOP (Sani- - Alat - Memerik- -Setiap a- - Beri teguran kepa- - Dokumenta-
an tasi alat) timbang- sa kondisi kan dipakai da karyawan atau si log book
an kebersihan penimbang beri pelatihan hi- hasil peme-
alat an giene dan sanitasi riksaan alat
16. Pembuatan CP-16 - Bakteri pa- -SSOP - Pekerja/ Ruang proses - Memerik- -Minimal 1 Staf bagian - Perketat praktek Ka. Bag. - Dokumenta-
Larutan Alkali togen (Kesehatan & karyawan pembuatan sa kese- tahun Produksi & higiene dan ke- Teknik & si hasil pe-
Higiene Pe- larutan alkali hatan kar- sekali QC sehatan pekerja Maintenan- meriksaan
kerja) yawan ce kesehatan
karyawan
- Ceceran re- - SSOP (Sani- - Wadah - Memerik- -Setiap - Beri teguran kepa- - Dokumenta-
sidu sanitai- tasi alat) larutan sa kondisi awal bulan da karyawan atau si log book
ser alkali kebersihan beri pelatihan hi- hasil peme-
alat giene dan sanitasi riksaan alat

154
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan (Lanjutan).
No. Bahan Baku Nomor Bahaya Tindakan Pemantauan Tindakan koreksi Tanggung Rekaman/
CP pengendalian Obyek Lokasi Prosedur Frekuensi Staf/Dept. jawab Catatan
dokumentasi
17. Pencampuran CP-17 - Bakteri pato- - SSOP - Pekerja/ Ruang proses - Memerik- -Minimal 1 Staf bagian - Perketat praktek Ka Bag. - Dokumenta-
dan Formulasi gen (Kesehatan & karyawan pencampuran sa kese- tahun Produksi & higiene dan ke- Produksi si hasil pe-
adonan mi Higiene Pe- dan formu- hatan kar- sekali QC sehatan pekerja dan QC meriksaan
(Mixing) kerja) lasi adonan yawan kesehatan
karyawan
- Ceceran ba- - SSOP (Sani- - Wadah - Memerik- -Setiap - Beri teguran kepa- - Dokumenta-
han kimia tasi alat) yang di- sa kondisi awal bulan da karyawan atau si log book
pembersih gunakan kebersihan beri pelatihan hi- hasil peme-
alat giene dan sanitasi riksaan alat
18. Pembentukan CP-18 - Bakteri pato- - SSOP - Pekerja/ Ruang proses - Memerik- -Minimal 1 Staf bagian - Perketat praktek Ka Bag. - Dokumenta-
adonan menja- gen (Kesehatan & karyawan produksi sa kese- tahun Produksi higiene dan Produksi si hasil pe-
di lembaran Higiene Pe- untuk roll hatan kar- sekali & QC kesehatan pekerja dan QC meriksaan
adonan (Roll kerja) pressing yawan kesehatan
pressing) karyawan
- Ceceran ba- - SSOP (Sani- - Alat - Memerik- -Setiap - Beri teguran kepa- - Dokumenta-
han kimia tasi alat) roll sa kondisi awal bulan da karyawan atau si log book
pembersih presser kebersihan beri pelatihan hi- hasil peme-
alat giene dan sanitasi riksaan alat
19. Pembentukan CP-19 - Bakteri pato- -SSOP - Pekerja/ Ruang proses - Memerik- -Minimal 1 Staf bagian - Perketat praktek Ka Bag. - Dokumenta-
untaian/pita gen (Kesehatan & karyawan pembentukan sa kese- tahun Produksi higiene dan Produksi si hasil pe-
mie (Slitting) Higiene Pe- untaian pita hatan kar- sekali & QC kesehatan pekerja dan QC meriksaan
kerja) mi (sliiting) yawan kesehatan
karyawan
- SSOP (Sani- - Alat - Memerik- -Setiap - Beri teguran kepa- - Dokumenta-
tasi alat) slitter sa kondisi awal bulan da karyawan atau si log book
kebersihan beri pelatihan hi- hasil peme-
alat giene dan sanitasi riksaan alat
20. Pendinginan CP-20 Bakteri -SSOP - Pekerja/ Ruang proses - Memerik- -Minimal 1 Staf bagian - Perketat praktek Ka. Bag. - Dokumenta-
(Cooling) patogen (Kesehatan & karyawan pendinginan sa kese- tahun Produksi higiene dan Produksi & si hasil pe-
Higiene Pe- hatan kar- sekali & QC kesehatan pekerja QC meriksaan
kerja) yawan kesehatan
karyawan
- SSOP (Sani- - Alat - Memerik- -Setiap - Beri teguran kepa- - Dokumenta-
tasi alat) cooler sa kondisi awal bulan da karyawan atau si log book
kebersihan beri pelatihan hi- hasil peme-
alat giene dan sanitasi riksaan alat

155
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan (Lanjutan).
No. Bahan Baku Nomor Bahaya Tindakan Pemantauan Tindakan koreksi Tanggung Rekaman/
CP pengendalian Obyek Lokasi Prosedur Frekuensi Staf/Dept. jawab Catatan
dokumentasi
21. Pemotongan CP-21 - Bakteri pato- - SSOP - Pekerja/ Ruang proses - Memerik- -Minimal 1 Staf bagian - Perketat praktek Ka Bag. - Dokumenta-
untaian pita gen (Kesehatan & karyawan pemotongan sa kese- tahun Produksi & higiene dan Produksi si hasil pe-
mi (Cutting) Higiene Pe- hatan kar- sekali QC kesehatan pekerja dan QC meriksaan
kerja) yawan kesehatan
karyawan
- Ceceran ba- - SSOP (Sani- - Alat - Memerik- -Setiap - Beri teguran kepa- - Dokumenta-
han kimia tasi alat) cutter sa kondisi awal bulan da karyawan atau si log book
pembersih kebersihan beri pelatihan hi- hasil peme-
alat giene dan sanitasi riksaan alat

22. Pembentukan CP-22 - Bakteri pato- - SSOP - Pekerja/ Ruang proses - Memerik- -Minimal 1 Staf bagian - Perketat praktek Ka Bag. - Dokumenta-
untaian mi gen (Kesehatan & karyawan produksi un- sa kese- tahun Produksi higiene dan Produksi si hasil pe-
dalam wadah Higiene Pe- tuk pemben- hatan kar- sekali & QC kesehatan pekerja dan QC meriksaan
yang sudah kerja) tukan dalam yawan kesehatan
standar wadah mi karyawan
- Ceceran ba- - SSOP (Sani- - Wadah - Memerik- -Setiap - Beri teguran kepa- - Dokumenta-
han kimia tasi alat) pemben- sa kondisi awal bulan da karyawan atau si log book
pembersih tuk untai- kebersihan beri pelatihan hi- hasil peme-
an mi alat giene dan sanitasi riksaan alat
23. Pendinginan CP-23 - Bakteri pato- -SSOP - Pekerja/ Ruang proses - Memerik- -Minimal 1 Staf bagian - Perketat praktek Ka Bag. - Dokumenta-
dengan kipas gen (Kesehatan & karyawan produksi sa kese- tahun Produksi higiene dan Produksi si hasil pe-
angin Higiene Pe- hatan kar- sekali & QC kesehatan pekerja dan QC meriksaan
(Cooling) kerja) yawan kesehatan
karyawan
- SSOP (Sani- - Alat - Memerik- -Setiap - Beri teguran kepa- - Dokumenta-
tasi alat) cooler sa kondisi awal bulan da karyawan atau si log book
kebersihan beri pelatihan hi- hasil peme-
alat giene dan sanitasi riksaan alat
24. Pengemasan CP-24 Bakteri -SSOP - Pekerja/ Ruang proses - Memerik- -Minimal 1 Staf bagian - Perketat praktek Ka. Bag. - Dokumenta-
dengan plastik patogen (Kesehatan & karyawan pengemasan sa kese- tahun Produksi higiene dan Produksi & si hasil pe-
jenis PP Higiene Pe- dengan hatan kar- sekali & QC kesehatan pekerja QC meriksaan
(Polipropilen) kerja) plastik yawan kesehatan
dengan sealer karyawan
- SSOP (Sani- - Alat - Memerik- -Setiap - Beri teguran kepa- - Dokumenta-
tasi alat & sealer sa kondisi awal bulan da karyawan atau si log book
ruangan) kebersihan beri pelatihan hi- hasil peme-
alat dan giene dan sanitasi riksaan pe-
ruangan ngemasan
plastik

156
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan (Lanjutan).
No. Bahan Baku Nomor Bahaya Tindakan Pemantauan Tindakan koreksi Tanggung Rekaman/
CP pengendalian Obyek Lokasi Prosedur Frekuensi Staf/Dept. jawab Catatan
dokumentasi
25. Pengemasan CP-25 - Fisik : debu, - SSOP - Pekerja/ Ruang proses - Memerik- -Minimal 1 Staf bagian - Perketat praktek Ka Bag. - Dokumenta-
dengan kotak kotoran (Kesehatan & karyawan produksi/pe- sa kese- tahun Produksi & higiene dan Produksi si hasil pe-
karton dan Higiene Pe- ngemasan hatan kar- sekali QC kesehatan pekerja dan QC meriksaan
disealer kerja) yawan kesehatan
karyawan
- SSOP (Sani- - Alat - Memerik- -Setiap - Beri teguran kepa- - Dokumenta-
tasi alat, ru- sealer sa kondisi awal bulan da karyawan atau si log book
angan) kebersihan beri pelatihan hi- hasil peme-
alat giene dan sanitasi riksaan ke-
masan karton
26. Penyimpanan CP-26 - Biologi : - SSOP - Pekerja/ Ruang proses - Memerik- -Minimal 1 Staf bagian - Perketat praktek Ka Bag. - Dokumenta-
produk akhir tikus, kecoa, (Kesehatan & karyawan penyimpanan sa kese- tahun Produksi higiene dan Produksi si hasil pe-
di gudang serangga Higiene Pe- produk akhir hatan kar- sekali & QC kesehatan pekerja dan QC meriksaan
kerja) yawan kesehatan
karyawan
- SSOP (Sani- - Ruang - Memerik- -Setiap - Beri teguran kepa- - Dokumenta-
tasi ruangan) gudang sa kondisi awal bulan da karyawan atau si log book
penyim- kebersihan beri pelatihan hi- hasil peme-
panan ruangan giene dan sanitasi riksaan ruang
penyimpanan
27. Pengiriman CP-27 - Fisik : debu -SSOP (Alat - Alat Di tempat - Memerik- -Setiap Staf bagian - Perketat pemerik- Ka Bag. - Dokumenta-
dan Distribusi dan kotoran transportasi transpor- pengiriman/ sa keber- pengiriman Produksi saan kebersihan Produksi si hasil pe-
dan distribusi) tasi distribusi sihan dan dan & QC alat transport dan QC meriksaan
(Truk, sanitasi distribusi yang dipakai alat transport
container alat trans- barang
portasi

- SSOP (Sani- - Beri teguran kepa- - Dokumenta-


tasi alat trans- da karyawan atau si log book
portasi) beri pelatihan hi- hasil pengi-
giene dan sanitasi riman dan
distribusi

157
Tindakan verifikasi pada tahapan proses pengeringan sebagai titik kendali
kritis (CCP) adalah sebagai berikut (1) Melakukan pemeriksaan catatan (records)
titik kendali kritis (CCP) pada tahap pengeringan termasuk catatan
penyimpangannya dibandingkan dengan standar batas kritis yang sudah
ditetapkan, untuk mengetahui arah kecenderungan perubahan/penyimpangan dari
batas kritisnya; (2) Melakukan pemeriksaan catatan laporan hasil kegiatan proses
pengeringan terutama pada catatan/ rekaman produk hasil pengeringan yang
mengalami cacat atau tidak layak untuk dikonsumsi; (3) Melakukan pengambilan
contoh produk akhir hasil pengeringan secara acak dan berkala untuk diuji dan
dianalisis di laboratorium independen yang sudah terakreditasi sesuai dengan
spesifikasi standar yang ditetapkan perusahaan atau pemerintah.
Selain tindakan verifikasi di atas, tindakan verifikasi lainnya yang perlu
dilakukan Tim HACCP di perusahaan PT Kuala Pangan adalah sebagai berikut :
(1) Melakukan peninjauan kelengkapan rencana HACCP yang sudah disusun oleh
Tim HACCP, (2) Melakukan peninjauan ulang akurasi/kesesuaian diagram alir
dan tata letak yang nyata dengan dokumentasi, (3) Melakukan peninjauan ulang
antara dokumen persyaratan dasar (prerequisite programs) dengan kondisi operasi
faktual perusahaan, (4) Melakukan kalibrasi peralatan pengukur suhu
(termometer) di mesin pengukusan dan pengeringan secara rutin (internal) setiap
tiga bulan sekali oleh perusahaan dan kalibrasi secara berkala 2-3 tahun sekali
(eksternal) di lembaga kalibrasi independen yang sudah terakreditasi berdasarkan
sistem ISO 17025, (5) Melakukan kaji ulang rencana HACCP dan kecukupan
fasilitas yang dimiliki perusahaan untuk mendukung implementasi sistem
HACCP, dan (6) Melakukan kaji ulang antara kekurangan dengan kebutuhan akan
kepedulian dan pelatihan staf mengenai kesehatan dan keamanan pangan.

12. Menetapkan Sistem Dokumentasi (Langkah Ke-12; Prinsip 7 HACCP)


Penerapan sistem HACCP dalam proses produksi mi kering di PT Kuala
Pangan harus diikuti dengan dokumentasi mengenai penerapan HACCP sesuai
dengan SNI.01.4852-1998 (BSN, 1998) dan Pedoman BSN 1004 : 2002 (BSN,
2002). Dokumentasi ini berfungsi sebagai acuan dan bukti penerapan HACCP.
Penentuan sistem dokumentasi bertujuan untuk menjaga dan mempermudah

158
pengendalian atau pembaharuan (updating) catatan dan rencana HACCP. Oleh
karena itu, pencatatan dan pembukuan yang efisien serta akurat di perusahaan PT
Kuala Pangan adalah penting dalam penerapan sistem HACCP. Salah satu
dokumentasi yang harus disiapkan adalah dokumen ”Manual HACCP” yang di
dalamnya meliputi kebijakan mutu dan keamanan pangan, prosedur, dan instruksi
yang memaparkan bagaimana perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan
sebagai produsen mi kering mampu memenuhi persyaratan.
Dokumentasi atau pendataan tertulis seluruh program HACCP ini
diharapkan dapat menjamin bahwa program tersebut dilaksanakan, dapat diperiksa
kembali dan dipertahankan selama periode tertentu. Menurut Thaheer (2005),
tujuan penerapan sistem dokumentasi dan pencatatan adalah : (1) Bukti keamanan
produk berkaitan dengan prosedur dan proses yang ada, (2) Jaminan pemenuhan
terhadap peraturan, (3) Kemudahan pelacakan/kemamputelusuran dan peninjauan
catatan, (4) Dokumentasi data pengukuran menuju catatan permanen mengenai
keamanan produk pangan, (5) Merupakan sumber tinjauan data yang diperlukan
apabila ada audit HACCP, (6) Rekaman/catatan HACCP dapat lebih memusatkan
pada isu keamanan pangan sehingga mempercepat identifikasi masalah, dan (7)
Membantu mengidentifikasi lot ingredient, bahan pengemas, dan produk akhir
apabila timbul masalah keamanan pangan yang segera dilakukan penarikan
produk dari pasaran.
Beberapa contoh dokumen dan rekaman pada penerapan HACCP pada PT
Kuala Pangan di Citeureup, Bogor secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 37.

159
Tabel 37. Beberapa contoh dokumen dan rekaman pada penerapan sistem HACCP
di PT Kuala Pangan
Dokumen Rekaman
Contoh Deskripsi Contoh Deskripsi
Manual Deskripsi kebijakan dan Data hasil Formulir yang telah berisi
HACCP strategi pimpinan perusahaan identifikasi daftar potensi bahaya dan
pada penerapan HACCP bahaya tindakan pencegahannya
Prosedur Berisi mekanisme Sertifikat Bukti autentik sesorang telah
Pelatihan peningkatan dan pemeliharaan hasil pelatihan dilatih
kompetensi sumber daya
manusianya
Prosedur Berisi langkah-langkah Catatan Formulir pencatatan/pendataan
Pengendalian pengen-dalian proses pengu-kusan suhu pengukusan dan
Proses termasuk di dalamnya suhu di tahap pengeringan yang telah berisi
pengendalian CCP pengu-kusan dan diotorisasi
dan
pengeringan
Prosedur Berisi tahap-tahap yang Rekaman Bukti tindakan koreksi yang
Tindakan dilalui apabila terjadi langkah telah dilakukan
Koreksi penyimpangan proses tindakan
produksi koreksi
Prosedur Berisi proses verifikasi sistem Jadwal Formulir jadwal yang telah
Internal Audit HACCP melalui pemeriksaan rencana audit diisi dan diotorisasi
internal yang sitematik internal
Prosedur Berisi petunjuk pengolahan Bukti Formulir permintaan
Pengendalian dan pengendalian dokumen permintaan perubahan dokumen yang telah
Dokumen perubahan diisi
dokumen

13. Menetapkan Prosedur Pengaduan Konsumen


Prosedur pengaduan konsumen merupakan persyaratan tambahan yang
harus dibuat oleh perusahaan dalam menerapkan sistem HACCP sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan dalam SNI.01.4852-1998 dan Pedoman BSN 1004 :
2002. Prosedur ini menjelaskan metode untuk menerima, menangani pengaduan
konsumen dan memberikan penyelesaian terakhir yang terbaik untuk menjawab
pengaduan konsumen, yang diterima oleh Bagian Pemasaran.
Pengaduan konsumen di PT Kuala Pangan ditangani oleh perusahaan
dengan tahapan sebagai berikut : (1) Bagian Pemasaran menerima pengaduan dari
konsumen dan dituangkan dalam Complaint Report, dan complaint report ini
disampaikan ke bagian pengendalian mutu (QC); (2) Bagian QC mengidentifikasi
produk yang dikeluhkan berdasarkan : nama produk, jenis kemasan, nomor batch
produksi, tanggal penerimaan, jumlah dan masalah yang dikeluhkan; (3) Bagian
QC mengevaluasi hal-hal yang dikeluhkan berdasarkan rekaman produksi dan
memeriksa contoh referensi yang disimpan; (4) Bagian QC mendiskusikan dengan

160
Manajer Produksi untuk tindakan perbaikan dan tanggapan atas keluhan tersebut;
(5) Direktur memutuskan tindakan penyelesaian akhir berdasarkan laporan dari
Manajer QC dan Manajer Produksi; (6) Bagian Pemasaran memberikan tanggapan
penyelesaian atas pengaduan tersebut kepada konsumen; dan (7) Bila konsumen
menerima penyelesaian tersebut, maka kasus ini dinyatakan ”selesai” dan bukti
rekaman semua pengaduan konsumen disimpan oleh Bagian Pemasaran. Diagram
penanganan pengaduan konsumen yang ditangani oleh perusahaan PT Kuala
Pangan dapat dilihat pada Gambar 5.

Informasi Keluhan dari Bagian QC dan Manajer


Konsumen/Masyarakat Produksi berdiskusi untuk
penentuan tindakan perbaikan &
tanggapan atas keluhan tsb.

Diterima oleh bag. Pemasaran


dalam bentuk complaint report

Pemutusan tindakan
Disampaikan ke bagian QC penyelesaian akhir oleh Direktur
berdasarkan Laporan Manajer
QC dan Manajer Produksi

Identifikasi produk yg
dikeluhkan oleh QC :
- Nama produk
- Jenis kemasan
Pemberian tanggapan
- No. batch produksi
penyelesaian atas pengaduan tsb
- Tanggal penerimaan
kepada konsumen oleh bagian
- Jml & masalah yg dikeluhkan
Pemasaran

Evaluasi terhadap hal-hal yg


dikeluhkan oleh QC berdasar Bila penyelesaian diterima
rekaman produksi dan konsumen, maka kasus
memeriksa contoh referensi yang dinyatakan selesai
disimpan

Gambar 5. Diagram Penanganan Pengaduan Konsumen di PT Kuala Pangan.

161
14. Menetapkan Prosedur Recall

Prosedur recall juga merupakan persyaratan tambahan yang harus dibuat


oleh perusahaan dalam menerapkan sistem HACCP untuk memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dalam SNI 01.4852-1998 dan Pedoman BSN 1004 : 2002.
Prosedur ini menjelaskan metode untuk mengidentifikasi, mengevaluasi,
menangani pengaduan konsumen dan menarik kembali produk yang dikeluhkan
atau ditolak oleh konsumen.
Tahapan penarikan produk (recall) yang dilakukan oleh perusahaan PT
Kuala Pangan adalah sebagai berikut : (1) Bagian Pengendalian Mutu (QC)
mengidentifikasi produk yang dikeluhkan berdasarkan nama produk, jenis
kemasan, nomor batch produksi, tanggal pengiriman, jumlah dan masalah yang
dikeluhkan; (2) Bagian QC mengevaluasi hal-hal yang dikeluhkan berdasarkan
penelusuran rekaman produksi dan menginspeksi sampel reference yang ada di
bagian QC; (3) Manajer QC dan Manajer Produksi harus mendiskusikan
pengaduan tersebut guna penanganan selanjutnya, yaitu bila pengaduan tidak
benar, Manajer QC meminta Bagian Pemasaran untuk menolak pengaduan dan
jika diperlukan akan diadakan peninjauan ke pelanggan, sedang jika pengaduan
tersebut benar dapat diketahui dari ketidaksesuaian/penanganan pengiriman yang
ceroboh, maka Manajer QC bersama Manajer Produksi melaporkan kepada
Direktur untuk menarik kembali atau memusnahkan di tempat konsumen; (4)
Manajer QC memberikan jawaban kepada Bagian Pemasaran untuk berkoordinasi
dengan konsumen guna mengirimkan kembali semua produk yang dikeluhkan
atau meminta kepada konsumen untuk memusnahkan sendiri produk yang
dikeluhkan; dan (5) Manajer QC memisahkan produk yang dikirim kembali
tersebut dan menempatkan pada area dengan garis merah dan bertanda ”Produk
Reject” hingga waktu (hari) yang ditentukan.

15. Kendala Dalam Penerapan Sistem HACCP di PT Kuala Pangan


Dari hasil studi melalui observasi, pengamatan dan wawancara yang
dilakukan ternyata ada beberapa kendala yang dihadapi oleh perusahaan PT Kuala
Pangan untuk mengimplementasikan dan mengembangkan terhadap rencana
HACCP atau HACCP Plan-nya. Pertama, meskipun pihak Pimpinan manajemen

162
komitmennya cukup tinggi, namun komitmen karyawan yang bukan anggota tim
HACCP tetapi bertanggung jawab dalam proses produksi untuk melaksanakan
pemantauan terhadap program sanitasi dan higiene kurang melaksanakan dengan
baik dengan alasan : menambah beban pekerjaan yang selama ini dilakukan karyawan
bersangkutan. Selain itu, karyawan yang ditunjuk sebagai anggota tim HACCP dalam
membantu pengelolaan gudang juga kurang komit terhadap tugas dan tanggung
jawabnya sebagai akibat adanya tambahan pekerjaan catat mencatat atau tulis menulis
yang biasanya tidak banyak dilakukan. Bila dikaji lebih lanjut, karyawan yang kurang
komit ini biasanya yang usianya sudah agak tua (umur 45 tahun ke atas dan sudah
lama bekerja di perusahaan), sehingga kalau ditanya kaitannya dengan tugas dan
tanggung jawabnya menyatakan bahwa ”begini- begini saja juga sudah baik”
mengapa harus repot dengan adanya pekerjaan tambahan catat-mencatat atau tulis
menulis. Oleh karena itu, sosialisasi rencana penerapan HACCP di perusahaan
kepada karyawan tersebut harus lebih diintesifkan supaya mereka cepat
menyadari tugas dan tanggung jawabnya di perusahaan yang bersangkutan. Memang
untuk mengubah kebiasan yang sudah biasa dilakukan karyawan di perusahaan
dengan kebiasaan baru sebagai akibat kebijakan baru yang dikeluarkan perusahaan
memerlukan waktu untuk penyesuaiannya, tidak dapat langsung diubah secara cepat.
Kedua, adanya hambatan psikologis (mental) terhadap karyawan yang
ditunjuk oleh pihak manajemen sebagai anggota tim HACCP. Hal ini disebabkan
karena karyawan yang ditunjuk sebagai anggota tim HACCP tersebut ada yang
merasa pengetahuan dan pemahaman tentang sistem HACCP masih rendah dan
ditambah adanya pekerjaan tambahan untuk membantu mempersiapkan dokumen-
dokumen yang dibutuhkan untuk mendukung penerapan dan pengembangan
rencana HACCP di perusahaan. Namun hambatan ini sedikit demi sedikit dapat
teratasi setelah anggota tim HACCP tersebut mempersiapkan dokumen-dokumen
yang diperlukan untuk menerapkan rencana HACCP dikerjakan dengan baik dan
sungguh-sungguh.
Pihak Pimpinan manajemen sendiri juga mempunyai hambatan psikologis
yang agak pesimis terhadap perusahaannya dalam menerapkan dan
mengembangkan rencana HACCP-nya, mengingat perusahaan yang bersangkutan

163
belum mempunyai sumber daya manusia yang lengkap dan komplit serta ahli di
bidang mikrobiologi dan ahli di bidang rekayasa proses pangan untuk mendukung
implementasi sistem HACCP yang direncanakan perusahaan. Sebagai
konsekuensinya perusahaan perlu mengembangkan sumber daya manusia yang
dimiliki nperusahaan dengan cara merekrut sumber daya manusia baru (pegawai
baru) yang berlatar belakang disiplin ilmu mikrobiologi atau rekayasa proses
pangan.
Ketiga, pihak Pimpinan manajemen mempunyai hambatan organisasi di
perusahaannya. Hal ini disebabkan karena dalam mengimplementasikan dan
mengembangkan rencana sistem HACCP, perusahaan harus menyediakan tim
HACCP yang anggota-anggotanya harus kompeten di bidang masing-masing
anggota dan multidisiplin ilmu; sementara itu kompetensi personil/karyawan yang
ada di struktur organisasi yang dikelola oleh bagian pengembangan sumber daya
manusia (Human Resource Development) masih terbatas. Oleh karena itu,
konsekuensinya perusahaan PT Kuala Pangan harus mempunyai rencana untuk
mengembangkan sumber daya manusia yang dimilikinya dalam rencana
menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP-nya di perusahaan.

C. REKOMENDASI UNTUK PENGEMBANGAN SISTEM HACCP DI


PERUSAHAAN

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan terhadap kondisi sistem


manajemen mutu dan keamanan pangan di perusahaan saat ini dan rencana
HACCP Plan perusahaan, maka untuk melakukan pengembangan sistem
manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP dengan model produk
mi kering di PT Kuala Pangan, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut :

1. Perbaikan (Improvement) Penerapan GMP di PT Kuala Pangan


Berdasarkan hasil pemeriksaan pelaksanaan GMP di PT Kuala Pangan
dengan menggunakan formulir/lembar kerja pemeriksaan GMP sarana produksi
pangan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM),
ditemukan ada 13 penyimpangan/ketidaksesuaian, yaitu 1 penyimpangan/

164
ketidaksesuaian berkategori serius, 6 penyimpangan/ ketidaksesuaian berkategori
mayor dan 6 penyimpangan/ketidaksesuaian berkategori minor.
Untuk memperbaiki penyimpangan atau ketidaksesuaian tersebut direko-
mendasikan hal-hal sebagai berikut :
(a) Menugaskan supervisor produksi untuk setiap harinya mengawasi dan
memantau dalam sanitasi, pencucian tangan yang dapat diamati secara
langsung, misalnya karyawan/personil sebelum masuk ke ruang
pengolahan dan setelah keluar dari toilet;
(b) Melakukan pemasangan penutup (canopy) untuk mencegah adanya
kontaminasi silang dari debu, kotoran dan serangga di atas proses
pembentukan lembaran adonan, proses pemotongan (cutting) dan setelah
keluar dari tahap proses pengeringan sebelum dikemas dengan plastik
jenis PP;
(c) Mengendalikan hama tikus (binatang pengerat) dengan cara memasang
jebakan/perangkap tikus atau menggunakan alat yang menimbulkan
gelombang suara tertentu pada ruang/gudang penyimpanan bahan baku,
ruang pencampuran dan formulasi serta gudang penyimpanan bahan reject
dan produk akhir untuk mencegah binatang pengerat/tikus tersebut
berkeliaran di dalam ruang produksi dan gudang penyimpanan;
(d) Melakukan pemeriksaan kesehatan karyawan secara berkala, khususnya
karyawan produksi yang menangani produk mi kering secara langsung,
direkomendasikan setahun dua kali. Interval dari pemeriksaan kesehatan
karyawan secara berkala ini bisa ditinjau kembali berdasarkan hasil
pemeriksaan yang telah dilakukan;
(e) Menugaskan supervisor produksi untuk setiap harinya memantau
kebersihan karyawan agar terjaga dengan baik dan memperhatikan aspek
sanitasi dan higiene, misalnya pakaian yang kurang lengkap dan kotor,
kebiasaan makan/minum di ruang produksi;
(f) Menugaskan supervisor produksi untuk setiap harinya memantau
kesehatan karyawan yang bisa diamati secara langsung, misalnya penyakit
kulit, flu dan batuk dan lainnya, untuk sementara tidak menangani
langsung produk mi kering;

165
(g) Melakukan pengaturan dan pengelompokan bahan baku, bahan penolong,
produk, kemasan, dan bahan-bahan kimia (chemical, cleaning agents, dan
lain-lain) pada suatu rak/tempat yang tertentu untuk menghindari adanya
kontaminasi silang;
(h) Memperbaiki fasilitas sanitasi dan cuci tangan untuk karyawan/personil,
terutama toilet/urinoir yang sebagian sudah mulai rusak, misalnya pintu,
lantai dan dinding, untuk dibersihkan dan dicat kembali sehingga fasilitas
tersebut menjadi lebih bersih dan higienis;
(i) Meningkatkan efektiftas program pembersihan dan sanitasi di ruang
produksi, misalnya pembersihan sarang laba-laba pada plafon/atap dan
dinding, pembersihan lantai dan mesin-mesin yang digunakan untuk
proses produksi, sehingga dapat menghindari adanya kontaminasi silang;
(j) Melengkapi wadah/bak sampah yang belum ada penutupnya dengan
penutup untuk menghindari adanya kontaminasi silang bakteri yang
dibawa/ditularkan melalui lalat, kecoa, serangga dan tikus;
(k) Peningkatan kesadaran dan sikap karyawan dalam budaya sanitasi dan
higiene di perusahaan dengan program pelatihan yang berkelanjutan,
sehingga sikap dan perilaku karyawan (attitude) dalam menerapkan SOP
dan GMP lebih konsisten.

2. Pengembangan Sistem Manajemen Keamanan Pangan Berdasarkan


HACCP

Untuk pengembangan sistem HACCP pada perusahaan PT Kuala Pangan


direkomendasikan hal-hal sebagai berikut :
a. Melakukan komunikasi eksternal dengan menginformasikan kebijakan
mutu dan keamanan pangan ke para pemasok/supplier perusahaan
sekaligus melakukan audit ke pemasok perusahaan;
b. Melakukan kaji ulang (review) akhir konsep rencana HACCP (HACCP
Plan) yang sudah disusun sebelum melaksanakan implementasinya di
perusahaan PT Kuala Pangan;
c. Melengkapi data validasi terhadap rencana HACCP (HACCP Plan) yang
sudah disusun dan ditetapkan perusahaan selama melakukan uji coba

166
penerapan sistem HACCP sesuai dengan persyaratan SNI 01. 4852-
1998;
d. Melakukan verifikasi terhadap rencana HACCP yang disusun selama
melakukan uji coba penerapan sistem HACCP di perusahaan;
e. Melakukan perbaikan yang diperlukan dan melakukan validasi kembali
jika ada perubahan dalam rencana HACCP tersebut; dan
f. Jika semuanya sudah memenuhi syarat, maka meminta Lembaga/Badan
Sertifikasi Sistem HACCP untuk melakukan sertifikasi terhadap sistem
HACCP yang telah diimplementasikan.

167
VI . KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Hasil evaluasi terhadap kondisi persyaratan kelayakan dasar atau good
manufacturing practice (GMP) di perusahaan PT Kuala Pangan dengan
menggunakan pedoman penerapan GMP yang dikeluarkan oleh Badan POM
tahun 2002 menunjukkan bahwa kondisi persyaratan kelayakan dasar di
perusahaan tersebut terdapat 13 penyimpangan atau ketidaksesuaian dan hasil
penilaiannya masuk dalam tingkat (rating) B, yaitu baik. Ketiga-belas
penyimpangan itu sesuai dengan aturan Badan POM terbagi dalam 3 kategori,
yaitu : 1 (satu) kategori serius, 6 (enam) kategori mayor, dan 6 (enam) kategori
minor.
Ketiga-belas penyimpangan atau ketidaksesuaian tersebut ditinjau dari
aspek (elemen-elemen) GMP terbagi menjadi 7 (tujuh) bagian, yaitu : aspek
bangunan 2 kategori minor, aspek fasilitas sanitasi 3 kategori minor, aspek
peralataan 1 kategori minor, aspek higiene karyawan (kesehatan karyawan,
kebersihan karyawan, kebiasaan karyawan) 1 kategori serius dan 3 kategori
mayor, aspek penyimpanan 1 kategori mayor, aspek pemeliharaan sarana
pengolahan dan sanitasi serta pengendalian hama 1 kategori mayor, serta aspek
manajemen dan pelatihan 1 kategori mayor.
Ketiga-belas penyimpangan pada aspek persyaratan kelayakan dasar atau
GMP tersebut harus diperbaiki dan disempurnakan terlebih dahulu oleh
perusahaan PT Kuala Pangan, sebelum perusahaan yang bersangkutan akan
menerapkan sistem HACCP (hazard analysis critical control point) secara penuh
sesuai dengan persyaratan kelayakan dasar yang ditetapkan dalam SNI 01. 4852-
1998 ; serta untuk mencapai fondasi persyaratan kelayakan dasar yang lebih baik.
Prioritas yang perlu diperbaiki lebih dahulu terhadap aspek persyaratan kelayakan
dasar atau GMP adalah sebagai berikut : Prioritas pertama, berkaitan dengan
aspek higiene karyawan (kesehatan karyawan, kebersihan karyawan dan
kebiasaan karyawan) yang masuk dalam 1 kategori serius dan 3 kategori mayor;
Prioritas kedua berkaitan dengan aspek pemeliharaan sarana pengolahan dan
sanitasi serta pengendalian hama yang masuk dalam 1 kategori mayor, aspek

168
manajemen dan pelatihan yang masuk dalam 1 kategori mayor; dan Prioritas
ketiga/terakhir adalah berkaitan dengan aspek bangunan yang masuk dalam 2 kategori
minor dan aspek fasilitas sanitasi yang masuk dalam 3 kategori minor.
Guna menyusun dan mengembangkan rencana HACCP (HACCP Plan)
untuk produksi mi kering di perusahaan PT Kuala Pangan sesuai dengan 12
tahapan langkah yang diterapkan dalam SNI 01.4852-1998 tersebut diperlukan
adanya pelatihan sistem HACCP bagi sumber daya manusia (SDM) yang terlibat
dalam pengelolaan di perusahaan PT Kuala Pangan terlebih dahulu, dengan tujuan
: (a) Meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan keahlian atau kompetensi
personil yang terlibat dalam mengerjakan dan mengelola perusahaan yang
menghasilkan produk mi kering, (b) Meningkatkan kemampuan personil
perusahaan dalam pemahaman dan penerapan sistem keamanan pangan yang
mencakup GMP, SSOP dan sistem HACCP; dan (c) Meningkatkan kesadaran,
sikap (attitude) dan tanggung jawab personil perusahaan dalam menerapkan
persyaratan kelayakan dasar sistem HACCP di perusahaan.
Dari dua belas tahap penyusunan rencana HACCP (HACCP Plan) untuk
produksi mi kering pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor; ada 2 tahap yang
masih perlu diperbaiki dan dikaji kembali (di-review), yaitu pada pembentukan
tim HACCP perusahaan masih perlu mempersiapkan peningkatan kompetensi
personil tim HACCP yang masih kurang lengkap untuk mendukung implementasi
sistem HACCP, misalnya perlu adanya penambahan personil yang ahli di bidang
mikrobiologi dan proses pangan; serta tahap verifikasi berupa persiapan audit
internal dan peninjauan rekaman hasil uji coba implementasi sistem HACCP
untuk mengetahui dan memastikan efektifitas rencana HACCP.
Hasil analisis bahaya untuk produksi mi kering pada PT Kuala Pangan di
Citeureup, Bogor menunjukkan bahwa terdapat 3 jenis bahaya, yaitu bahaya
biologi berupa bakteri patogen E. coli, Salmonella dan Staphylococcus yang
berasal dari bahan baku tepung terigu, tepung telur dan air serta sebagai akibat adanya
kontaminasi dari alat dan karyawan; bahaya kimia berupa logam-logam berat
seperti timbal (Pb), merkuri (Hg), tembaga (Cu) dan cemaran arsen (As) yang
berasal dari tepung terigu, garam dan air; serta bahaya fisik berupa potongan

169
benang, potongan plastik, dan pasir yang berasal dari kontaminasi pada bahan
baku tepung terigu dan garam.
Bahaya biologi berupa bakteri E. coli, Salmonella dan Staphylococcus
yang berasal dari bahan baku tepung terigu, tepung telur, air dan kontaminasi
silang dari alat dan karyawan tersebut di dalam produksi mi kering pada PT Kuala
Pangan di Citeureup, Bogor perlu dipertimbangkan dalam rencana HACCP
sehingga perlu dikendalikan sebagai sebagai titik kendali kritis atau critical
control point (CCP) pada tahap pengeringan pada suhu 90-100oC selama 25-30
menit dengan kecepatan udara pengeringan 2 m/detik; sedang bahaya kimia
berupa cemaran cemaran logam-logam berat seperti timbal (Pb), merkuri (Hg),
tembaga (Cu) dan cemaran arsen (As) pada bahan baku tepung terigu, garam, dan
air tidak perlu dipertimbangkan dalam rencana HACCP tetapi perlu dikendalikan
sebagai control point (CP) dengan cara pemeriksaan terhadap certificate of
analysis (COA) pada setiap penerimaan bahan-bahan tersebut. Bahaya fisik
berupa potongan benang, potongan plastik, dan pasir yang berasal dari bahan baku
tepung terigu dan garam juga perlu dikendalikan sebagai control point (CP)
dengan cara dilakukan pengayakan.
Tahap pada proses pengeringan yang merupakan titik kendali kritis atau
CCP (critical control point) tersebut perlu dilakukan pemantauan (monitoring)
dan pengawasan secara khusus untuk menjamin keamanan produk pangan mi
kering yang dihasilkan perusahaan PT Kuala Pangan. Selain itu, juga harus
dilakukan tindakan koreksi bila ada penyimpangan terhadap batas kritis yang
sudah ditetapkan serta tindakan verifikasi untuk menjamin efektifitas rencana
HACCP (HACCP Plan) yang sudah disusun.
Untuk pengembangan sistem HACCP pada perusahaan PT Kuala Pangan
di Citeureup, Bogor direkomendasikan hal-hal sebagai berikut : (1) Melakukan
kaji ulang (review) dan finalisasi konsep rencana HACCP (HACCP Plan) yang
sudah disusun sebelum melaksanakan implementasinya secara penuh di
perusahaan PT Kuala Pangan; (2) Melengkapi data validasi dan verifikasi
terhadap HACCP Plan yang sudah disusun dan ditetapkan perusahaan selama
melakukan uji coba penerapan sistem HACCP; dan (3) Jika semuanya sudah
memenuhi syarat, maka meminta Lembaga/Badan Sertifikasi Sistem HACCP

170
untuk melakukan sertifikasi terhadap sistem HACCP yang telah
diimplementasikan.

B. SARAN
Guna menghadapi pasar yang semakin kompetitif untuk lima tahun ke
depan terhadap produk yang sejenis dan isu keamanan pangan yang semakin
kompleks serta bahaya keamanan pangannya harus mudah dilacak/ditelusuri,
maka disarankan perlu dikaji pengharmonisasian sistem HACCP ke dalam sistem
manajemen keamanan pangan ISO 22000 pada perusahaan PT Kuala Pangan.

171
DAFTAR PUSTAKA

Anggrahini, S. 1997. Aspek Keamanan Penggunaan Bahan Kimia Pada Produk


Pangan. Agritech. Vol. 17 No. 4 : 1-8.

Anisyah. 2007. Kajian Paparan Tartrazin Dengan Metode Survei Frekuensi


Konsumsi Pangan Di Wilayah Jakarta Utara. Makalah disajikan dalam
Seminar Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 17 Nopember
2007 di Ruang Kutai Baranangsiang, Bogor. Bogor : Institut Pertanian
Bogor.

Antle, JM. 1999. The cost of quality in the meat industry : Implications for
HACCP regulation. Paper presented at the NE-165 Conference on
Economics of HACCP, June 15-16, 1999. Washington, DC : Food
Processor Institute.

Antle, JM. 1995. Choice and Efficiency in Food safety Policy.. Washington, DC :
American Enterprise Institute.

Astawan, M. 2005. Mi, Lezat Bergizi tetapi Rawan Formalin.


http://www.ipb.ac.id. [12 Nopember 2007].

Bacon, RT and Sofos, JN. 2003. Microorganism in Foods 5 : Characteristics of


Microbial Pathogens. London : Blackie Academic & Professional.

Badan POM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). 2004. Peraturan Pemerintah
(PP) No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.
Jakarta : Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Bauman, HE. 1995. The Origin and Concept of HACCP. Didalam : Pearson, AM
and Dutson, AT, editor. HACCP In Meat, Poultry and Fish Processing.
New York : Champman and Hall, hlm 1-7.

Ben Embarek, PK. 2004. Safe Food Supply and Global Health – WHO’s
Perspective. Proceeding 4th Asian Conference on Food Safety and
Nutrition Safety, March 2-5, 2004; Nusa Dua – Bali, Indonesia.

Bernard, DT and Parkinson, NG. 1999. Prerequisite to HACCP. Didalam : Stevenson,


KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A Systematic Approach to Food
Safety, third edition. Washington, DC : The Food Processors Institute, hlm
25 – 29.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Direktori Industri Pengolahan. Jakarta :


Badan Pusat Statistik.

172
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2002. Panduan Penyusunan Rencana Sistem
Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP). Jakarta : Badan
Standarisasi Nasional.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia (SNI)


01.3556-2000 Garam Beryodium. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia (SNI)


01.3751-2006 Tepung terigu sebagai bahan makanan. Jakarta : Badan
Standarisasi Nasional.

Brannen, AL and Haggerty, RJ. 2002. Introduction of Food Additives, 2nd Edition.
New York : Marcell Dekker Inc.

Bredahl, ME, Norther, JR and Boecker, A. 2001. Consumer demand sparks the
growth of quality assurance schemes in the European food sector. In
Changing Structure of Global Food Consumption and Trade. USDA
Working Paper. Washington, DC : United State of Department of
Agriculture (USDA).

Bryan, FL. 1990. Hazard analysis critical control point (HACCP) concept. Diary,
Food and Environmental Sanitation 10 (7) : 416 – 418.

Buckle, KA , Edwards, RA, Fleet, GH dan Wotton, M. 2007. Ilmu Pangan,


cetakan 2007. (Terjemahan oleh Hari Purnomo dan Adiono). Jakarta :
Penerbit Universitas Indonesia.

[CAC] Codex Alimentarius Commission. 1997. Hazard Analysis and Critical


Control System and Guidelines for Its Application. Alinorm 97/13A. Rome
: Codex Alimentarius Commission.

[CAC] Codex Alimentarius Commission. 2003. Recommended International


Code of Practice : General Principles of Food Hygiene. CAC/RCP 1-
1969, Rev.4-2003. Rome : Codex Alimentarius Commission.

[CAC] Codex Alimentarius Commission. 2006. Working Document for


information and support to the discussion on the General Standard for
Food Additives. CX/FA 07/39/8. Joint FAO/WHO Food Standards
Programme. Rome : CAC.

Caswell, JA, Bredahl, ME and Hooker, NH. 1998. How quality management
metasystems are affecting the food industry. Review of Agricultural
Economics, 20 (2) : 547-557.

[CDC] Centre for Disease Control and Prevention. 2001. Update : Outbreaks of
Foodborne Disease in United States. Morbidity – mortality Weekly Report,
50 : 611-612.

173
Cliver, DO. 1992. Overview of Biological, Chemical, and Physical Hazard.
Didalam HACCP Principles and Applications, ed. by Pierson, MD and
Corlett, DA Jr. New York : Chapman and Hall.

Corlett, DA. 1991. Regulatory Verification of Industrial HACCP System. Food


Technol. 45 (4) : 144 – 146.

Corlett, DA. 1991. Monitoring a Hazard Analysis Critical Control Point Systems.
Cereal Foods World 36 (1) : 33 – 40.

Corlett, DA. 1992. Overview of Biological, Chemical, and Physical Hazard.


Didalam HACCP Principles and Applications, ed. by Pierson, MD and
Corlett, DA Jr. New York : Chapman and Hall.

Darmawan, L. 1994. Proses Pembuatan Mi Instant Sarimi Di PT Indofood Sukses


Makmur, Tangerang, Jawa Barat. (Laporan Kerja Praktek Lapang).
Serpong : Jurusan Teknologi Industri Pertanian, ITI.

Departemen Kesehatan. 1998. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan di


Bidang Makanan, edisi IV. Jakarta : Direktorat Jendral Pengawasan Obat
dan Makanan, Departemen Kesehatan.

Departemen Kesehatan. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan republik Indonesia


Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan
Kualitas Air Minum. Jakarta : Departemen Kesehatan.

Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM). 1996. Pedoman
Penerapan Cara Produksi Pangan Yang Baik (CPPB). Jakarta : Ditjen
POM, Departemen Kesehatan.

Ditjen Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan, Depperindag dan Fakultas
Teknologi Pertanian – IPB (2003). Teknologi Pembuatan Tepung Telur.
Laporan Proyek Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah Kimia, Agro
dan Hasil Hutan, Ditjen IKAH. Jakarta : Ditjen IKAH, Depperindag.

Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan. 1996. Pedoman Umum HACCP (Hazard
Analysis Critical Control Point). Jakarta : Ditjen POM, Departemen
Kesehatan.

Ditjen Perdagangan Dalam Negeri. 1999. Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999


tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta : Ditjen, PDN, Departemen
Perindustrian dan Perdagangan.

Fardiaz, D. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Bogor : IPB Press.

174
Fardiaz, D. 1996. Proses Termal Dalam Pengendalian Tahap Pengolahan Kritis
Untuk Menjamin Keamanan Pangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fateta IPB, Bogor. Bogor : Fateta IPB.

Fardiaz, S. 1996. Pengenalan HACCP Pada Industri Pangan. Didalam Pelatihan


Singkat Penerapan Cara Berproduksi Yang Baik dan HACCP, di
Palembang, tanggal 10-11 Oktober 1996. Jakarta : Direktorat Jendral
Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan, Departemen Perindustrian dan
Perdagangan.

Farina, EMQ and Reardon, T. 2000. Agrifood grades and standards in the
extended Mercosur : their role in the changing agrifood system. American
Journal of Agricultural Economics, 82 (5) : 1170-1176.
[FAO] Food and Agricultural Organization. 1981. FAO Plant Production and
Protection Series 21 : Cereal and Grain – Legume Seed Processing
(Technical Guidelines). Rome : FAO.

[FAO/WHO] Food and Agricultural Organization/World Health Organization.


1997. Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) System and
Guidelines for Its Application. Anex to CAC, Rev. 3. Rome : FAO/WHO.

[FDA] Food and Drug Administration. 2001. A State of-the-art Approach to Food
Safety . [bghaccp.htm}. http://www.cfsan.fda.gov/Ird/bghaccp.htm. [2
Okt. 2006].

Fellows, P. 2000. Food Processing Technology : Principles and Practice.


Cambridge : Woodhead Publishing Limited

Forsythe, SJ and Hayes, PR. Food Hygiene, Microbiology and HACCP.


Maryland, USA : An Aspen Publication.

Gombas, DE, Stevenson, KE and Bernard, DT. 1999. Monitoring Critical Control
Points (CCPs). Didalam : Stevenson,KE and Bernard, DT, editor. HACCP
: A Systematic Approach to Food Safety, third edition. Washington, DC :
The Food Processors Institute, hlm : 89 – 93.

Gombas, DE and Stevenson, KE. 1999. HACCP Verification and Validation : An


Advanced HACCP Workshop, 2nd ed. Washington, DC : The Food
Processors Institute.

Hasibuan, SPM. 1990. Manajemen Dasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta : CV


Haji Masagung.

Hathaway, S. 1999. Management of Food Safety in international Trade. Food


Control 10 : 247 – 253.

Havelar, AH. 1994. Application of HACCP to Drinking Water Supply. Food


Control, 5 : 145-152.

175
Henson, S, Holt, G and Nothern, J. 1999. Costs and Benefits of Implementing
HACCP in UK Dairy Processing Sector. Food Control 10 : 99 –106.

Howes, MI., Mc. Wen, S., Griffith, M. and Harris, L. 1996. Food Handler
Certification by Home Study, Measuring Changes in Knowledge and
Behaviour. Dairy Food Environ. Sanit., 16 : 737-744.

[ICMSF] International Commission on Microbiological Safety of Foods. 1988.


Microorganism in Foods, Book 4 : Application of the HACCP System to
Microbiological Safety and Quality. London : Blackwell Sci. Pub.

[ICMSF] International Commission on Microbiological Safety of Foods. 1992.


Overview of Biological, Chemical, and Physical Hazard. Didalam :
HACCP Principles and Applications, ed. By Pierson, MD and Corlett, DA
Jr. New York : Chapman and Hall.

[ICMSF] International Commission on Microbiological Safety of Foods. 1996.


Microorganism in Foods, Book 5 : Characteristics of Microbial
Pathogens. London : Blackie Academic & Professional.

[ICMSF] International Commission on Microbiological Safety of Foods. 1998.


Microorganism in Foods, Book 6 : Microbial Ecology of Food
Commodities. London : Blackie Academic & Professional.

[IFST] Institute of Food Science and Technology. 1991. Food and Drink – Good
Manufacturing Practice, 3rd edition. London : Institute of Food Sci. and
Technol.

[ISO] International Organization for Standardization. 2005 a. ISO 22000 : Food


safety management systems- Requirements for any organization in the
food chain. Geneva : ISO.

[ISO] International Organization for Standardization. 2005 b. ISO/TS 22004 :


Food safety management systems- Guidance on the application of ISO
22000 : 2005. Geneva : ISO.

Jay, JM. 2000. Modern Food Microbiology, 6th ed. New York : Chapman and
Hall.

Jenie, BSL. 1998. Sanitasi Dalam Industri Pangan. Bogor : Pusat Antar
Universitas, IPB.

Jenie, BSL. 2007. Sanitasi Dalam Penanganan Pangan. Jakarta : Penerbit


Universitas Terbuka.

Jones, F. And Watkins, J. 1985. The Water Cycle as Source of Pathogens. J. Appl.
Bacteriology (Symp. Supplement), 14 : s.27-36.

176
Jouve, JL. 1994. HACCP as Applied in European Economic Community. Food
Control 5 (3) : 181 – 186.

Kantor Menpangan (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan). 1996. Undang- Undang
RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Jakarta : Kantor Menteri Negara
Urusan Pangan.

Kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura. 1999. Peraturan Pemerintah


(PP) No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Jakarta : Kantor
Menteri Negara Pangan dan Hortikultura.

Katsuyama, AM and Jantschke, M. 1999. Sanitation and Standard Operating


Procedures. Didalam : Stevenson,KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A
Systematic Approach to Food Safety, third edition. Washington, DC : The
Food Processors Institute, hlm : 31-37.

Lenovich, LM. 1992. Wheat Science and Technology, didalam Encyclopedia of


Food Science and Technology, Vol. 4 : 2823-2834.

Mafic, S., Mihokovic, V., Kotusin, RB and Razem, D. 1990. The Eradication of
Salmonella in egg powder by gamma irradiation. J. Food Protect., 53 :
111-114.

Manning, CK. 1994. Food Safety Knowledge and Attitudes of Workers from
Instutional and Temporary Foodserviece Operations. J. Am. Diet Assoc.,
94 : 895-897.

Marriott, NG. 1997. Essential of Food Sanitation. New York : Champman and
Hall.

Mayes, T. 1994. HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Training. Food
Control 5 (3) : 190 – 195.

Menhutbun. 2000. Sambutan Menteri Kehutanan dan Perkebunan pada Seminar


Apresiasi dan Intepretasi ISO 9000, ISO 14000 dan HACCP Usaha
Perkebunan. Hhtp ://www.mofinet.cbn.net.id./seminar [23 Mei 2008].

Mortimore, S. and Wallace, C. 1995. HACCP : A Practical Approach. London :


Chapman and Hall.

Motarjemi, Y, Kaferstein, F, Moy, G, Miyagawa, S and Miyagishima, K. 1996.


Importance of HACCP for Public Health and Development : the role of the
world health organization. Food Control 7 (2) : 77 – 85.

Motarjemi, Y and Kaferstein, F. 1999. Food Safety, Hazard Analysis and Critical
Control Point and the Increase in Foodborne Diseases : A paradox ?. Food
Control 10 : 325 – 333.

177
Muchtadi, TR dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Penuntun
Praktikum. Bogor : Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian
Bogor (IPB).

Mulya, H. 1988. Beberapa Aspek Teknologi Pembuatan Mie di PT Suba Indah.


Laporan Praktek Lapang. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

[NACMCF] National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods.


1989. Hazard Analysis and Critical Control Point System. Washington,
DC : Food Safety and Inspection Service, US Department of Agriculture.

[NACMCF] National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods.


1995. Hazard Analysis and Critical Control Point System. Didalam :
Stevenson, KE and Bernard, DT, editor. Establishing Hazard Analysis
Critical Control Point Programs : A Workshop Manual. Washington, DC :
The Food Processors Institute, hlm : 2-1 – 2-25.

[NACMCF] National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods.


1999. Hazard Analysis and Critical Control Point System and Guidelines
for Its Application, Appendix B. Didalam : Stevenson, KE and Bernard,
DT, editor. HACCP : A Systematic Approach to Food Safety, third edition.
Washington, DC : the Food Processors Institute, hlm : 127 – 132.

NACMCF. 1998. Hazard Analysis and Critical Control Point System and
Guidelines for Its Application. J. Food Protect. 61 : 762 –775.

Narvaiz, P., Lescano, G. and Kairiyama, E. 1992. Physio-chemical and sensory


analysis on egg powder irradiated to inactivate Salmonella and reduce
microbial load. J. Food Safety, 12 : 263 -282.

Noerthana, OA. 2005. Mempelajari Aspek Proses Produksi Mi Instan di PT


Sentra Food Indonesia, Karawang, Jawa Barat (Laporan Magang). Bogor
: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian –
IPB.

Orris, GD. 1999. Equivalence of Food safety Assurance System. Food Control 10
: 255 – 260.

Pierson, MD. 1995. An Overview of HACCP and its Application to Animal


Production Food Safety. Paper presented at the HACCP Symposium,
Chicago,USA.[PIERSON.HTM]. http://www.cvm.uiuc.edu/HACCP/symp
/PIERSON. HTM. [2 Okt. 2006].

Pribadi, KL. 2004. Penerapan Sistem HACCP pada Produksi Mi Instan di PT


Jakarana Tama Ciawi – Bogor (Laporan Magang). Bogor : Departemen
Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian - IPB.

178
Pusat Standarisasi Industri Departemen Perindustrian. 1992. Standar Nasional
Indonesia (SNI) 01-2974-1992 Mi Kering. Jakarta : Pusat Standarisasi
Industri, Departemen Perindustrian.

Puspasari, K. 2007. Aplikasi Teknologi dan Bahan Tambahan Pangan Untuk


Meningkatkan Umur Simpan Mie Basah Matang. (Skripsi). Bogor :
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ridwan, IN dan Wiriano, H. 1990. Petunjuk Pelaksanaan Teknis Standar Industri


Indonesia Untuk Mie Kering. Bogor : Balai Besar Industri Hasil Pertanian
(BBIHP).

Ruitter, DD. 1987. Composite Flours. Didalam Advance in Cereal Science and
Technology, Vol. 2., ed. by Pomeranz, Y. St. Paul –USA : AACC.

Sarwono, B. 1994. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur (Edisi Revisi). Jakarta :


Penerbit Swadaya.

Sax, NI. 1975. Dangerous Properties of Industrial Materials, 4th edition. New
York : Van Nostrand Reinhold, Comp.

Sheppard, J, Kipps, M and Thomson, J. 1990. Hygiene and Hazard Analysis in


Food Service. Didalam Cooper, C editor. Progress in Tourism, Recreation
and Hospitality Management. London : Belhaven Press, hlm : 192 – 226.

Silva, SD. 2006. ISO 9001 for the food and beverage industry. Daily mirror e- edition.
http://www.dailymirror.lk/2006/11/09/ft/35.asp. [15 Maret 2007].

Sirait, CH. 1986. Telur dan Pengolahannya. Bogor : Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.

Stevenson, KE. 1999. Introduction to Hazard Analysis Critical Control point.


Didalam : Stevenson, KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A Systematic
Approach to Food Safet, third edition. Washington, DC : the Food
Processors Institute, hlm : 1 – 4.

Stevenson, KE. 1990. Implementing HACCP in Food Industry. Food Technol. 44


(5) : 179 – 182.

Stevenson, KE and Bernard, DT. 1999. Organizing and Managing HACCP


Program. Didalam : Stevenson, KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A
Systematic Approach to Food Safety, third edition. Washington, Dc : the Food
Processors Institute, hlm : 111 – 115.

Sudibyo, A, Rahayu, SE, Rohaman, MM, Ridwan, IN, Sirait, SD, Aprianita, N
dan Sutrisniati, D. 2001. Pengembangan dan Penerapan Sistem HACCP
(Hazard Analysis Critical Control Point) Pada Industri Pangan di
Indonesia. Warta IHP vol. 18 No. 1-2 : 7 – 18.

179
Sudibyo, A dan Sumarsi. 2004. Penelitian Terhadap Kesadaran dan Tanggung
Jawab Industri Pangan Skala Kecil Dalam Memproduksi Pangan Yang
Aman dan Bermutu. Warta IHP Vol. 21 No. 1 – 2 : 41 –54.

Sunarya. 1999. Keterkaitan HACCP dan ISO 9000. Makalah Desiminasi


Pelaksanaan Akreditasi dan Sertifikasi HACCP, 7 Desember 1999. Jakarta
: Badan Standardisasi Nasional (BSN).

Suprapto. 1999. Sistem Akreditasi dan Sertifikasi HACCP. Makalah Desiminasi


pelaksanaan Akreditasi dan Sertifikasi HACCP, 7 Desember 1999. Jakarta
: Badan Standardisasi Nasional (BSN).

Syamsir, E. et al. 2007. Praktikum Terpadu Teknologi Pengeringan : Sweet Potato


Flakes. Bogor : Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Syarief, R. Dan Halid, H. 1993. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta : Penerbit


Arcan.

Syarief, R., Santausa, S. dan Isyana, S. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan.


Bogor : PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor (IPB).

Thaheer, H. 2005. Sistem manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical Control


Point). Jakarta : PT Bumi Aksara.

[WHO] World Health Organization. 1993. Guidelines for the Application of


Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) System. Alinorm 95/13,
appendix II. Rome : Codex Alimentarius Commission (CAC) – WHO.

WHO. 1997. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) System and
Guidelines for Its application. In General Requirements (Food Hygiene)
2nd edition. Supplement Vol. I B. Rome : CAC- WHO , hlm : 33 – 45.

[WHO/FAO] World Health Organization/Food and Agriculture Organization.


1998. Guidance on Regulary Assessment of HACCP : report of a joint
FAO/WHO Consultation on the role of government agencies in Assesing
HACCP, 2-6 June 1998. Geneva : World Health Organizatiom/Food and
Agriculture Organization.

Widyaningsih, TD dan Murtini, ES. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada


Produk Pangan. Jakarta : Trubus Agrisarana.

Winarno, FG. 1989. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Penerbit PT Gramedia.

Winarno, FG. 2002. Cara Berproduksi Makanan Yang Baik. Makalah Training
Auditor Sistem HACCP. M-Brio Training. Hotel Salak, 13-17 Mei 2002.

180
Woody, JM, Gravani, RB and Bernard, DT. 1999. HACCP Training. Didalam
Stevenson, KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A Systematic Approach
to Food Safety , third edition. Washington, DC : the Food Processors
Institute, hlm : 123 – 126.

Yustiareni, E. 2000. Kajian Substitusi Tepung Terigu oleh Tepung Garut dan
Penambahan tepung Kedelai Dalam Pembuatan Mi Kering. (Skripsi).
Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ziggers, GW. 2000. HACCP, Vertical Coordination and Competitiveness in the


Food Industry. Didalam Unnevehr, editor. The Economic of HACCP :
Costs and Benefits. St. Paul, Minnesota, USA : Eagen Press, hlm : 269 –
284.

181
Lampiran 1. Denah Site Plant PT Kuala Pangan, Desa Citeureup,
Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor

Keterangan :
1. Pos Satpam
2 s/d 5 Gudang
6. Gudang dan Poliklinik
7. Ruang Pengepakan
8. Ruang Diesel
9. Ruang Boiler
10. Gudang Beras
11. Gudang Terigu
12. Ruang Produksi
13. Gudang Kardus
14. Gedung Olah Raga
15. Gedung Olah Raga

182
Lampiran 2. Struktur Organisasi Perusahaan PT Kuala Pangan

Dewan Komisaris

Direktur Utama

Direktur Pelaksana

Manajer Umum & Pembelian Asisten Keuangan Asisten Umum

Manager Manager Manager Manager Gudang Manager Manager


Personalia Akunting Penjualan & Pengiriman Teknik Produksi

Staf Pengiriman &


Staf Accounting Salesman Sopir

Boiler Mesin Listrik Bengkel Kepala Kepala


Packing Produks

183
Lampiran 3.Contoh Soal Untuk Evaluasi dan Mengetahui Tingkat
Pemahaman Peserta dalam Pelatihan Sistem HACCP di PT
Kuala Pangan

A. Lingkarilah Jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan-pertanyaan di


bawah ini :

1. Dalam cara produksi pangan yang baik atau good manufacturing practice
(GMP), aspek yang harus diperhatikan adalah :
a. Bahan baku b. Penanganan
c. Pengolahan d. Seluruh rangkaian proses

2. Kebiasaan yang baik bagi karyawan dalam pengolahan pangan/makanan, yaitu :


a. Merokok b. Makan/minum
c. Memakai pakaian kerja d. Memakai perhiasan.

3. Program sanitasi (pemeliharaan dan pembersihan) dilakukan pada :


a. Peralatan b. Ruang pengolahan
c. Lingkungan unit pengolahan d. Jawaban a,b dan c benar.

4. Di bawah ini merupakan bahaya/kontaminasi fisik pada produk, kecuali :


a. Residu pestisida b. Pecahan gelas
c. Rambut d. Kerikil.

5. Bakteri penghasil racun yang sangat berbahaya terhadap kesehatan manusia,


yaitu :
a. Clostridium perfringens b. Listeria monocytogenes
c. Escherichia coli d. Clostridium botulinum.

6. Zone suhu berbahaya untuk penyimpanan pangan/makanan, yaitu :


a. 35-37oC b. 05-60oC
o
c. Di bawah 5 C d. Di atas 60oC.

7. Faktor kritis yang harus diperhatikan dalam pengendalian proses


pengolahan pangan, antara lain :
a. Suhu b. Waktu
c. Keasaman d. Jawaban a,b dan c benar.

8. Yang termasuk dalam prinsip HACCP, yaitu :


a. Analisis bahaya b. Penanganan bahan baku
c. Penetapan CCP d. Verifikasi

9. Yang termasuk bahaya fisik dalam keamanan pangan adalah :


a. Residu hormon, sanitaiser, pestisida, dan antibiotik
b. Gelas, metal, tulang dan plastik
c. Bakteri, jamur, kapang dan parasit
d. Bakteri, metal, sanitaiser dan plastik.

184
10. Mana pernyataan di bawah ini yang dapat menjadi sumber
kontaminasi pada produk pangan :
a. Telanan (cutting boards)
b. Penyimpanan produk pangan mentah yang tidak tepat
c.Termometer yang digunakan untuk memberikan suhu internal
pangan
d. Semua jawaban di atas benar.

11. Burung tidak diperkenankan ada dalam pabrik pengolahan


pangan/makanan, karena ................................................
a. Kotoran burung mengandung penyakit berbahaya
b. Sarang burung sulit dijangkau
c. Serangga dapat hidup dalam sarang
d. Jawaban a dan c benar.

12. Serangga yang mencemari makanan dengan cara memuntahkan


kembali apa yang telah dimakan adalah ..........................................
a. tikus b. Lalat
c. kecoa d. ngengat.

13. Bentuk serangga yang paling tahan terhadap fumigasi adalah ............
a. telur b. pupa
c. larva d. serangga dewasa.

14. Adanya kecoa dalam pabrik pengolahan pangan merupakan bahaya


serius karena dapat menimbulkan penyakit berikut ini, kecuali ........... a.
radang tenggorokan b. Tifus
c. luka pada kulit dan borok d. Disentri.

15. Air disebut ”sangat sadah” apabila mengandung CaCO3 (dalam ppm)
sebesar ..................
a. > 50 ppm b. > 100 ppm
c. 100-200 ppm d. > 200 ppm.

16. Jumlah E. coli yang diizinkan terdapat dalam air adalah .....................
a. < 2,2 /ml dengan teknik MPN
b. 1/100 ml dengan teknik membran
c. 1/100 ml dengan teknik hitungan cawan total (TPC)
d. Jawaban a dan b benar.

17. Sistem Cleaning In Place (CIP) banyak diterapkan untuk ....................


a. membersihakan pipa-pipa (vessel) b. proses dingin saja
c. peralatan terbuka c. Peralatan kecil

18. Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam penyusunan jadwal pem-


bersihan selain jenis deterjen dan sanitaiser, kecuali ........................
a. Jenis permukaan/peralatan yang akan dibersihkan

185
b. Cara pembersihan yang cocok
c. Kapan pembersihan dilakukan;
d. Apakah diperlukan evaluasi atau tidak.

19. Aplikasi sinar UV dalam industri pangan terutama untuk sanitasi,


kecuali ..................................
a. pisau pemotong roti b. udara ruang penyimpanan
c. makanan kaleng d. Wadah plastik.

20. Keuntungan penggunaan senyawa amonium kuarterner adalah


.............
a. aktif terhadap mikroba tahan panas
b. tidak korosif
c. mencegah dan menghilangkan bau
d. stabil dengan adanya bahan organik.

21. Yodofor jarang digunakan dalam sanitasi di industri pangan, terutama


karena .......................................
a. korosif terhadap logam b. Mengiritasi kulit
c. memberi warna d. Penetrasi buruk.

22. Semua karyawan yang bekerja di bagian proses produksi pangan


harus mencuci tangan dengan menggunakan sabun dan air :
a. Sebelum mulai bekerja dan setelah semua selesai bekerja;
b. Setelah bersin, batuk, merokok, dan menyentuh rambut ;
c. Setelah menggunakan/pergi dari toilet ;
d. Setelah menangani bahan-bahanmentah dan merendam peralatan
e. Semua jawaban di atas benar.

23. Makan dan merokok tidak diperkenankan di dapur untuk mengolah


pangan atau di tempat proses produksi pangan, karena :
a. Kelihatan jelek terhadap pelayanan pelanggan ;
b. Kerak/sisa makanan dan abu rokok dapat jatuh ke dalam makanan;
c. Menyebabkan polusi terhadap udara;
d. Menyentuh mulut dapat mengkontaminasi tangan.

24. Prosedur cuci tangan yang tepat mencakup semua tahapan berikut,
kecuali .................................
a. Menggunakan sabun dan air yang mengalir ketika melakukan
perataan sabun di seluruh tapak tangan ;
b. Mencuci seluruh permukaan tangan dan membilasnya kembali
dengan air yang mengalir;
c. Mengeringkan tangan dengan tissue sekali pakai/handuk atau
pengering elektris;
d. mematikan kran air yang digunakan.

186
25. Metode, prosedur dan uji yang digunakan untuk menentukan sistem
HACCP yang diimplementasikan sesuai dengan rencana HACCP
(HACCP Plan) dikenal sebagai ....................
a. Verifikasi b. Penyimpanan rekaman
c. Dokumentasi d. Validasi.

26. Salah satu kegiatan dalam penerapan sistem HACCP, adalah .............
a. Penyusunan uraian produk b. Penyusunan program sanitasi
c. Evaluasi pemasok/supplier d. Pengendalian hama.

27. Faktor dasar dalam pengendalian keamanan pangan yang


dipersyaratkan ditentukan dengan adanya .........................
a. CP b. CCP
c. CP dan CCP d. GMP.

28. Pengendalian hama dapat dilakukan dengan memakai seperti di


bawah ini, kecuali :
a. Kasa jendela b. Pintu
c. Umpan hama d. Cahaya lampu

29. Yang termasuk bahaya kimia dalam sistem HACCP, adalah .................
a. Bahan pembersih (sanitaiser) b. Minyak pelumas
c. Toksin d. Jawaban a, b dan c benar.

30. Jika terjadi penyimpangan dalam proses pengolahan pangan, perlu


dilakukan ..........................................
a. Proses dihentikan b. Pemusnahan produk
c. Tindakan koreksi d. Re-proses produk.

31. Analisis bahaya dalam sistem HACCP terdiri dari tahap-tahap :


a. Identifikasi potensi bahaya b. Evaluasi potensi bahaya
c. Pencegahan potensi bahaya d. Jawaban a,b, dan c benar.

32. Yang termasuk kegiatan verifikasi dalam sistem HACCP adalah :


a. Tinjauan rekaman monitoring b. Daftar potensi bahaya
c. Pengendalian hama d. Rekaman monitoring CCP.

33. Pemantauan (monitoring) rakaman/catatan adalah :


a. Mempunyai sedikit nilai dalam historinya
b. Mempunyai sedikit nilai dalam penentuan kecenderungan
c. Tidak diperlukan pengesahan oleh orang yang melakukan pemantauan;
d. Harus dilengkapi dan ditandatangani pada saat melakukan pemantauan.

34. Rekaman validasi dalam sistem HACCP :


a. Harus lebih realistis daripada ilmiahnya
b. Harus berdasarkan secara ilmiah
c. Merupakan nilai yang kecil dalam proses verifikasi

187
d. Perlu pengesahan dari operator proses yang spesifik.

35. Perlu diperhatikan oleh perusahaan bahwa pengkajian kembali


rencana HACCP (HACCP Plan) dilakukan :
a. Paling sedikit 1 tahun sekali b. Setiap enam bulan
c. Setiap dua tahun sekali d. Setiap tiga tahun.

B. Pernyataan-pernyataan di bawah ini Benar (B) atau Salah (S).

1. Karyawan/pekerja pengolahan pangan diperbolehkan makan dan


minum di area produksi/pengolahan (.......).

2. Mencuci tangan seharusnya dilakukan sebelum dan sesudah


mengolah pangan/makanan (......).

3. Penerapan sistem HACCP dapat dilaksanakan di semua pabrik


terkecuali pabrik pangan (......).

4. GMP atau good manufacturing practice bukan merupakan pra-syarat


dasar (prerequisite programs) dalam penerapan sistem HACCP (.....).

5. Setiap bahan baku seharusnya diperiksa/diuji dalam aspek mutu dan


keamanannya (.....).

6. Makanan dan bahan kimia pembersih (sanitaiser) dapat disimpan


dalam satu ruangan penyimpanan (......).

7. Titik kendali kritis atau CCP seharusnya diidentifikasi di setiap tahap


dalam rantai produksi pangan (.......).

8. Diagram alir proes (flow chart) tidak perlu diverifikasi dalam kegiatan
pengolahan pangan di pabrik (.......).

9. Dokumentasi/rekaman merupakan salah satu prinsip-prinsip sistem


manajemen HACCP (.......).

10. Kegiatan sanitasi peralatan dan ruang pengolahan pangan dapat


mencegah terjadinya kontaminasi silang (.......).

C. Berikan Uraian Singkat Untuk Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini!

1. Aspek apa saja yang harus dipertimbangkan dalam penerapan GMP


atau good manufacturing practice ?

2. Mengapa penerapan sistem HACCP dapat memberikan keuntungan


bagi perusahaan ?

188
3. Apa saja yang tercakup dalam prinsip manajemen keamanan pangan
berdasarkan sistem HACCP ?

4. Bahaya apa saja yang harus dianalisis dan dikaji dalam sistem
manajemen keamanan pangan berdasarkan HACCP ?

5. Aspek apa saja yang harus diperhatikan dalam pemantauan/monitoring


pada titik kendali kritis atau CCP ?.

189
Lampiran 4. Contoh Formulir/Lembar Kertas Kerja Pernyataan
Kebijakan Mutu dan Keamanan Pangan Perusahaan

PT KUALA PANGAN KEBIJAKAN MUTU DAN KEAMANAN


PANGAN
Departemen : ................. No. Dokumen : ...................................
Tanggal Terbit : ................. Revisi : ..................... Halaman : ...../......

Isi Pernyataan Kebijakan Mutu dan Keamanan Pangan :

.................................................................................................................................
.................................................................................................................................
.................................................................................................................................
.................................................................................................................................
.................................................................................................................................
.................................................................................................................................
.................................................................................................................................
.................................................................................................................................
.................................................................................................................................
.................................................................................................................................

Disiapkan oleh : .................................. Disahkan oleh : ..............................

Bagian : ................................... Presiden Direktur : ..............................

190
Lampiran 5. Contoh Formulir/Lembar Kertas Kerja Pembentukan
Struktur Organisasi dan Uraian Tugas Tim HACCP

PT KUALA PANGAN KEBIJAKAN MUTU DAN KEAMANAN


PANGAN
Departemen : ................. No. Dokumen : ...................................
Tanggal Terbit : ................. Revisi : ..................... Halaman : ...../......

Struktur Organisasi Tim HACCP :

Ketua : ...................................................................
Wakil Ketua : ...................................................................
Sekretaris : ...................................................................
Anggota : 1 . ..............................................................
2. ...............................................................
3. ...............................................................
4. ...............................................................
5. ...............................................................

1. Ketua Tim selaku .............................., mempunyai tugas dan tanggung jawab :


a. ......................................................................................................................
b. ......................................................................................................................
c. ......................................................................................................................
d. ......................................................................................................................

2. Wakil Ketua selaku ..........................., mempunyai tugas dan tanggung jawab :


a. ......................................................................................................................
b. ......................................................................................................................
c. ......................................................................................................................
d. ......................................................................................................................

3. Sekretaris selaku ............................., mempunyai tugas dan tanggung jawab :


a. .......................................................................................................................
b. .......................................................................................................................
c. .......................................................................................................................

4. Anggota Tim, mempunyai tugas dantanggung jawab :


a. ........................................................................................................................
b. ........................................................................................................................
c. ........................................................................................................................

Disiapkan oleh : ................................... Disahkan oleh : ...............................

QC Mgr : ................................... Presiden Direktur : ...............................

191
Lampiran 6. Contoh Formulir/Lembar Kertas Kerja Deskripsi Produk

PT KUALA PANGAN DESKRIPSI PRODUK


Departemen : ................. No. Dokumen : ...................................
Tanggal Terbit : ................. Revisi : ..................... Halaman : ...../......

No. Keterangan Uraian produk


1. Nama Produk Mi Kering, merk ...........................................................
2. Kategori Produk Makanan
3. Komposisi 1. Tepung terigu
2. Garam dapur
3. Tepung telur
4. Air
5. BTP (Nat. dan kalium karbonat, pewarna tartrazin)
4. Bahan dan Cara .....................................................................................
Pengolahan produk .....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................

5. Penggunaan produk Petunjuk penggunaan produk dicantumkan pada


label kemasan, yaitu dikonsumsi dengan cara
dimasak lebih dahulu dalam air mendidih
6. Kemasan produk Dikemas dalam plastik jenis PP dengan bobot netto
200 gram, dimasukkan dalam karton dengan isi 20
bungkus per kotak karton.
7. Metode Pengawetan Pengukusan dan pengeringan
8. Syarat Penyimpanan Disimpan di tempat kering dan tidak lembab
9. Masa Kadaluwarsa 1 (satu) tahun pada suhu kamar
10. Sasaran pengguna/ Produk ini dapat dikonsumsi oleh semua orang
konsumen termasuk oleh kelompok berisiko tinggi dan tidak
ditujukan secara khusus untuk kelompok tertentu
11. Lokasi Penjualan Toko-toko makanan, Swalayan, Warung
12. Cara Distribusi Dengan alat transportasi truk tertutup rapat (darat)
dan container (tranportasi laut)

Disiapkan oleh : ................................... Disahkan oleh : ...............................

QC Mgr : ................................... Presiden Direktur : ...............................

192
Lampiran 7. Contoh Formulir/Lembar Kertas Kerja Pembuatan
Diagram Alir Proses Produksi

PT KUALA PANGAN DIAGRAM ALIR PROSES PRODUKSI


MI KERING
Departemen : ................. No. Dokumen : ...................................
Tanggal Terbit : ................. Revisi : ..................... Halaman : ...../......

Disiapkan oleh : ................................... Disahkan oleh : ...............................

Bagian Produksi : ................................. Presiden Direktur : ...............................

193
Lampiran 8. Formulir/Lembar Kertas Kerja Analisis dan Evaluasi Bahaya Untuk Pengembangan Sistem Manajemen
Keamanan Pangan Berdasarkan HACCP

Langkah Potensi Bahaya yang Peluang (P), Keparahan (S) Tindakan pencegahan (Untuk
Proses/ mungkin timbul atau dan Signifikansi Bahaya mencegah atau meminimalkan
Bahan berkembang (biologis, Penyebab/Justifikasi Bahaya (Y/N) timbulnya bahaya yang telah
kimiawi, fisik) : Uraikan P S Y/N diidentifikasi)
(H,M, L) (h,m,l)
B : ..............................
K : ..............................
F : ...............................
B : ..............................
K : ..............................
F : ..............................
B : ..............................
K : ..............................
F : ..............................
B : ..............................
K : ..............................
F : ..............................
B : ..............................
K : ..............................
F : ..............................
B : ..............................
K : ..............................
F : ..............................
B : ..............................
K : ..............................
F : ..............................

194
194
Lampiran 9. Formulir/Lembar Kertas Kerja Penentuan/Penetapan Titik Kendali Kritis (CCP) Untuk Pengembangan
Sistem Manajemen Keamanan Pangan Berdasarkan Sistem HACCP

Tahap/Langkah Deskripsi bahaya P1. Adakah tindakan P2. Apakah tahapan P3. Dapatkah konta- P4. Akankah tahapan CCP/Bukan
Proses yg mungkin timbul pengendalian? Bila YA, ini dirancang minasi dgn bahaya berikutnya menghi- CCP
Biologi (B) : lanjut ke P2. Bila TIDAK, spesifik untuk yg diidentifkasi langkan bahaya yg
Kimiawi (K) : lanjut ke pertanyaan : menghilangkan atau terjadi melebihi teridentifikasi atau
Fisik (F) : Adakah pengendalian pd mengurangi bahaya tingkatan yg dpt mengurangi tingkat-
tahap ini perlu untuk yg mungkin terjadi diterima atau dapat- an kemungkinan
pengamanan ? Bila YA, sampai tingkatan yg kah ini meningkat terjadinya sampai
Lakukan modifikasi dpt diterima ? Bila sampai tingkatan yg tingkatan yg dpt
tahapan proses atau TIDAK, lanjut ke P3. tdk dpt diterima ? diterima ? Bila YA,
produk. Bila TIDAK, bukan Bila YA, CCP Bila TIDAK, bukan Bukan CCP. Bila
CCP. CCP. Bila YA, lanjut TIDAK, CCP.
ke P4.

195
195
Lampiran 10. Formulir/Lembar Kertas Kerja Untuk Pengendalian dan Pemantauan Rencana HACCP (HACCP Plan)
pada Perusahaan yang akan Menerapkan Sistem HACCP

CCP Tahap Proses Bahaya yang Batas Kritis Pemantauan/Monitoring Tindakan Tindakan Rekaman
signifikan Kegiatan Apa Bagaimana Kapan Siapa Koreksi Verifikasi (Record)
terdidentifkasi

196
196
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi
Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor
No. Aspek yang dinilai Minor Mayor Serius Kritis OK Keterangan
I. KETENTUAN UMUM
A. PIMPINAN MANAJEMEN
1. Pimpinan tidak mempunyai wawasan x
tentang manajemen keamanan pangan
2. Tidak berkeinginan bekerja sama dengan
inspektur, a.l. tidak menerima pengawas x √
dengan sepenuh hati dan tidak mau
menunjukkkan data yang diperlukan oleh
inspektur
B. SANITASI DAN HIGIENE KARYAWAN
3. Manajemen unit pengolahan tidak Tidak memiliki
memiliki tindakan-tindakan efektif untuk tindakan efektif
mencegah karyawan yang diketahui x untuk mencegah
mengidap penyakit yang dapat karyawan yang
mengkontaminasi produk (luka, TBC, sakit
hepatitis, tifus, dsb)
4. Pelatihan pekerja dalam hal sanitasi dan x √
higiene tidak cukup
5. Tidak ada supervisor (penyelia) x √
kesehatan dan kebersihan karyawan
Perilaku karyawan
6. Kebersihan karyawan tidak dijaga Pakaian kerja ada
dengan baik dan tidak memperhatikan yang kotor, ada
aspek sanitasi dan higiene (seperti pakian x karyawan yang
kurang lengkap dan kotor, meludah di kukunya berkitek
ruang pengolahan, merookok, kuku
berkitek, kotor/panjang dan lain-lain)
7. Perilaku karyawan tidak mampu
mengurangi dan mencegah kontaminasi, x √
baik dari mikroba maupun benda asing
lainnya
Sanitasi Karyawan
8. Pakaian kerja tidak dipakai dengan benar x √
dan tidak bersih
9. Tidak ada pengawasan dalam sanitasi, Tidak ada penga-
pencucian tangan dan kaki sebelum x wasan dalam hal
masuk ruang pengoalhan dan setelah sanitasi
keluar dari toilet
Sumber Infeksi
10. Karyawan tidak bebas dari penyakit kulit
atau luka yang terbuka atau penyakit x √
menular lainnya
II. BANGUNAN DAN FASILITAS
11. Rancang Bangun, bahan-bahan atau
konstruksinya menghambat program x √
sanitasi
12. Rancang bangun tidak sesuai dengan x Desain penutup
jenis pangan/tempat yang diproduksi untuk perlin-
dungan produk di
bagian sebelum
pengukusan tidak
sesuai
13. Luas pabrik tidak sesuai dengan x √
kapasitas produksi
14. Bangunan dalam keadaan tidak terawat x √
15. Tidak ada fasilitas atau usaha lain untuk
mencegah binatang atau serangga masuk
ke dalam pabrik (kisi-kisi, kasa penutup x √
lubang angin, tirai udara-air curtain, tirai
plastik atau tirai air-water curtain)
kalaupun ada tidak efektif
16. Tata ruang tidak sesuai alur proses x √
produksi
17. Tidak ada ruang istirahat, jika ada tidak x √
memenuhi persyaratan kesehatan

197
197
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi
Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor
(Lanjutan)

No. Aspek yang dinilai Minor Mayor Serius Kritis OK Keterangan

B. KONSTRUKSI DAN DESAIN RUANG PENGOLAHAN


18. Ruang pengolahan berhubungan
langsung/terbuka dengan tempat tinggal, x √
garasi dan bengkel
Lantai
19. Terbuat dari bahan yang tidak mudah x √
diperbaiki/dicuci atau rusak
20. Pelatihan pekerja dalam hal sanitasi dan x √
higiene tidak cukup
21. Pertemuan antara lantai dan dinding Pertemuan antara
tidak mudah dibersihkan (tidak ada x lantai dan dinding
lengkungan/siku-siku) dalam bentuk siku
22. Kemiringan tidak sesuai x √
23. Tidak kedap air x √
Dinding

24. Dinding tidak kedap air sampai pada x √


ketinggian minimal 1,70 meter
25. Terbuat dari bahan yang tidak mudah x √
diperbaiki/dicuci
26. Konstruksi tidak sesuai persyaratan
teknik sanitasi dan higiene (tidak halus, x √
tidak kuat, retak, cat mudah mengelupas)
27. Rancang Bangun, bahan-bahan atau Pertemuan antara
konstruksinya menghambat program x lantai dan dinding
sanitasi dalam bentuk siku
Langit-langit

28. Tidak ada langit-langit atau plafon di x √


tempat tertentu yang diperlukan
29. Langit-langit/plafon tidak bebas dari
kemungkinan catnya mengelupas/rontok x √
atau ada kondensasi
30. Tidak kedap air x √
31. Tidak rata, retak, bocor, berlubang x √
32. Ketinggian kurang dari 2,40 m x √
Penerangan

33. Intensitas cahaya penerangan tidak x √ R. pengolahan 20


cukup, atau menyilaukan fc (220 flux);
Tempat pemerik-
saaan 50 fc (540
flux); Tempat lain
10 fc (110 flux)
34. Lampu di ruang pengolahan,
penyimpanan material dan pengemasan x √
tidak aman (tanpa pelindung)
Ventilasi

35. Terjadi akumulasi kondensasi di atas


ruang pengolahan, pengemasan dan x √
penyimpanan bahan
36. Terdapat kapang (mold), asap dan bau x √
yang mengganggu di ruang pengolahan

198
198
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi
Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor
(Lanjutan)
No. Aspek yang dinilai Minor Mayor Serius Kritis OK Keterangan

C. GUDANG BIASA (KERING)


37. Tidak menggunakan tempat
penyimpanan seperti pallet, lemari, x √
kabinet rak, dan lain-lain yang
dibutuhkan untuk mencegah kontaminasi
38. Metode penyimpanan bahan berpeluang x √
terjadinya kontaminasi
39. Fasilitas penyimpanan tidak bersih, tidak x √
saniter dan tidak dirawat dengan baik
40. Penempatan barang tidak teratur dan Ditemukan bahan
tidak dipisahkan (penyimpanan bahan x kimia sanitaiser
pengemas dan bahan-bahan lain, kmia dan bahan pelu-
dan bahan berbahaya dan lain-lain) mas yang disim-
pan di bahan baku
Pencegahan serangga, tikus dan binatang lain
41. Tidak ada pengendalian untuk mencegah x √
serangga, tikus dan binatang pengganggu
lainnya di gudang
42. Pencegahan serangga , burung, tikus dan x Pencegahan tikus
binatang lain tidak efektif belum efektif
Ventilasi
43. Ventilasi tidak berfungsi dengan baik x √

D. GUDANG BEKU, DINGIN (APABILA DIGUNAKAN)


Kontrol Sanitasi
44. Metode penyimpanan bahan-bahan x √
berpeluang terjadinya kontaminasi
45. Fasilitas penyimpanan tidak bersih, x √
saniter, dan tidak dirawat dengan baik
46. Tidak ada pemisahan barang secara x √
teratur
Pencegahan serangga, tikus dan binatang lain
47. Tidak ada pengendalian untuk mencegah x √
serangga di gudang
48. Pencegahan serangga, burung, tikus dan x √
binatang lain tidak efektif
Kontrol Suhu
49. Produk beku tidak terlindung dari Tidak berlaku
peningkatan suhu x
50. Ruang penyimpanan tidak dilengkapi x √
dengan kontrol suhu
51. Ada bahan yang mengandung zat logam x √
disimpan dengan produk
52. Ruang penyimpanan produk tidak
dioperasikan pada suhu yang x √
dipersyaratkan
E. GUDANG KEMASAN DAN PRODUK
Kontrol Sanitasi
53. Tidak menggunakan tempat penyim-
panan seperti pallet atau rak dan lain-lain x √
yang dibutuhkan untuk mencegah
kontaminasi
54. Metode penyimpanan bahan-bahan x √
berpeluang terjadinya kontaminasi
55. Fasilitas penyimpanan tidak bersih, tidak x √
saniter dan tidak dirawat dengan baik
56. Wadah atau pengemas tidak disimpan
pada tempat yang bersih, rapih dan x √
terlindung dari kontaminasi
57. Tidak terpisah pada tempat khusus x √

199
199
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi
Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor
(Lanjutan)
No. Aspek yang dinilai Minor Mayor Serius Kritis OK Keterangan
Pencegahan serangga, tikus dan binatang lain
58. Tidak ada pengendalian untuk mencegah
serangga, tikus dan binatang pengganggu x √
lainnya di gudang
59. Pencegahan serangga, burung, tikus dan x √
binatang lain tidak efektif
Ventilasi
60. Ventilasi tidak berfungsi dengan baik x √
F. SANITASI LOKASI
61. Lingkungan berada di lokasi tidak bebas x √
banjir (dekat sungai, rawa, dan lain-lain)
62. Lingkungan tidak bebas dari semak x √
belukar/rumput liar
63. Lingkungan tidak bebas dari sampah,
dan barang-barang tak berguna di areal x √
pabrik maupun di luarnya
64. Tidak ada tempat sampah di sekitar
lingkungan pabrik ataau tempat sampah x √
ada tetapi tidak dirawat dengan baik
65. Bangunan yang digunakan untuk
menaruh perlengkapan tidak teratur, x √
tidak terawat dan tidak mudah
dibersihkan
66. Ada tempat pemeliharaan hewan yang
memungkinkan menjadi sumber x √
kontaminasi
67. Terdapat debu, asap, bau yang berlebihan
di jalanan, tempat parkir atau sekeliling x √
pabrik
G. SANITASI LINGKUNGAN : PEMBUANGAN LIMBAH DI PABRIK
68. Limbah cair tidak ditangani dengan baik x √
69. Limbah produksi atau sisa-sisa produksi
tidak dikumpulkan dan tidak ditangani x √
dengan baik
70. Limbah kering/padat tidak ditangani dan
dikumpulkan pada wadah yang baik dan x √
mencukupi jumlahnya untuk seluruh
pabrik
71. Konstruksi tempat pembuangan limbah x √
selayaknya
Tempat sampah dalam pabrik
72. Jumlah tempat sampah tidak memadain x √
73. Tempat/wadah sampah tidak ada x
penutupnya dan label yang jelas
Saluran/pembuangan dalam pabrik
74. Sistem pembuangan limbah cair/saluran x √
dalam pabrik kurang baik
75. Kapasitas saluran dalam pabrik tidak x √
mencukupi
76. Dinding saluran air tidak halus dan tidak x √
mencukupi
77. Saluran pembuangan tidak tertutup dan x √
tidak dilengkapi bak kontrol dan
alirannya terhambat oleh kotoran fisik
78. Tidak dilengkk mencegah masuknya air x √
ke dalam pabrik
H. SANITASI LINGKUNGAN : INVESTASI BURUNG, SERANGGA ATAU BINTANG LAIN
79. Tidak ada pengendalian utk mencegah √
serangga, tikus dan binatang pengganggu x
lainnya di lingkungan pabrik
80 Pencegahan serangga, burung, tikus dan x √
binatang lain tidak efektif

200
200
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi
Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor
(Lanjutan)
No. Aspek yang dinilai Minor Mayor Serius Kritis OK Keterangan
I. FASILITAS PABRIK
Fasilitas Cuci tangan dan Kaki
81. Tidak ada tempat cuci tangan maupun x √
bak cuci kaki, kalau ada tidak mencukupi
82. Tempat cuci tangan dan bak cuci kaki
tidak mudah dijangkau atau tidak x √
ditempatkan secara layak
83. Fasilitas pencucian (sabun, pengering, x Tidak ada sabun
dan lain-lain) tidak disediakan dan lap/pengering
84. Tidak ada tanda peringatan pencucian Tidak ada tanda
tangan sebelum bekerja atau setelah dari x peringatan
toilet
85. Peralatan pencucian tangan tidak x √
cukup/tidak lengkap
Toilet/Urinoir Karyawan
86. Tidak ada fasilitas/bahan untuk
pencucian seperti tissue, sabun (cair) dan
pengering atau tidak ada peringatan agar x √
karyawan mencuci tangan mereka
setelah menggunakan toilet
87. Peralatan toilet tidak lengkap x √

88. Jumlah toilet tidak mencukupi 1 toilet : 1-10 org;


sebagaimana yang dipersyaratkan x √ 2 toilet : 11-25
org; penambahan
1 toilet untuk
setiap 20 orang
89. Pintu toilet berhubungan langsung x √
dengan ruang pengolahan
90. Konstruksi toilet tidak layak (lantai,
dinding, langit-langit, pintu, ventilasi, x √
dll)
91. Tidak dilengkapi dengan saluran x √
pembuangan
92. Toilet tidak terawat atau digunakan Pintu ada yang
untuk keperluan lain x rusak & perlu
perbaikan
P3K/Klinik/Fasilitas Keamanan Kerja
93. Tak tersedia P3K atau fasilitas
keamanan/kesehatan kerja (klinik) yang x √
memadai
94. Fasilitas klinik pabrik tidak digunakan Tidak digunakan
untuk cek up rutin seluruh karyawan x cek up rutin oleh
khususnya di bagian produksi karyawan bagian
produksi
J. PASOKAN AIR
Sumber Air
95. Pasokan air panas atau dingin tidak x √
cukup
96. Air tidak mudah dijangkau/disediakan x √
97. Air dapat terkontaminasi, misalnya
hubungan silang antara air kotor dengan x √
air bersih, sanitasi lingkungan
Treatment Air
98. Air bak tidak layak digunakan (potable) x √
tidak dilakukan pengujian secara berkala
99. Air tidak mendapat persetujuan dari
pihak berwenang untuk digunakan x √
sebagai bahan untuk pengolahan (tidak
ada hasil uji)

201
201
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi
Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor
(Lanjutan)
No. Aspek yang dinilai Minor Mayor Serius Kritis OK Keterangan
Es (Apabila digunakan)
100. Tidak terbuat dari air yang memenuhi x Tidak berlaku
persyaratan (potable water)
101. Tidak dibuat dari air yang telah diizinkan x Tidak berlaku

102. Tidak dibuat, ditangani, dan digunakan x Tidak berlaku


sesuai persyaratan sanitasi
103. Digunakan kembali untuk bahan baku x Tidak berlaku
yang diproses berikutnya
K. OPERASIONAL SANITASI DI PABRIK
Program Sanitasi
104. Tidak ada program sanitasi yang efektif x √
di unit pengolahan
105. Kontrol sanitasi tidak efektif melindungi x √
produk dari kontaminasi
106. Peralatan dan wadah tidak dicuci dan x √
disanitasi sebelum digunakan
107. Metode pembersihan/pencucian tidak x √
mencegah kontaminasi terhadap produk
L. PENCEGAHAN BINATANG PENGGANGGU/SERANGGA DALAM PABRIK
108. Ruang dan tempat yang digunakan untuk
penerimaan, pengolahan dan penyim- x √
panan bahan baku/produk akhir tidak
dipelihara kebersihan dan sanitasinya
109. Tidak ada pengendalian untuk mencegah
masuknya serangga, tikus dan binatang x √
pengganggu lainnya di dalam pabrik
110. Pencegahan serangga, burung, tikus, dan
binatang lain tidak efektif di dalam x √
pabrik
111. Binatang peliharaan tidak dicegah masuk x √
ke dalam pabrik
112. Penggunaan obat pembasmi serangga
tikus, binatang pengerat lain, serta x √
kapang tidak efektif (pestisida,
insektisida, fungisida, bahan repellent)
M. PENGGUNAAN BAHAN KIMIA
Insektisida/Rodentisida/Pestisida
113. Insektisida/rodentisida/pestisida tidak x √
sesuai dengan persyaratan
Bahan Kimia/Sanitaiser/Deterjen dan lain-lain
114. Bahan kimia tidak digunakan sesuai x √
metode yang dipersyaratkan
115. Bahan kimia, sanitaiser dan bahan
tambahan tidak diberi label dan disimpan x √
dengan baik
116. Penggunaan bahan kimia yang tidak x √
diizinkan
III. PERALATAN
Peralatan Produksi
Sanitasi
117. Permukaan peralataan, wadah dan alat-
alat lain yang kontak dengan produk
tidak dibuat dari bahan yang sesuai x √
seperti : halus, tahan karat, tahan air dan
tahan terhadap bahan kimia
118. Bahan yang terbuat dari kayu tidak
dilapisi dengan bahan yang tidak x √
berbahaya dan atau kedap air

202
202
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi
Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor
(Lanjutan)
No. Aspek yang dinilai Minor Mayor Serius Kritis OK Keterangan
Desain
119. Rancang bangun, konstruksi dan
penempatan peralatan serta wadah tidak x √
menjamin sanitasi dan tidak dapat
dibersihkan secara efektif
120. Peralatan dan wadah yang masih x √
digunakan tidak dirawat dengan baik
121. Perlengkapan monitoring suhu,
kelembaban, pH dan lain-lain tidak x √
berfungsi dengan baik
Peralatan yang tidak dipakai lagi
122. Tidak ada program pemantauan untuk Ada alat yang
membuang wadah dan peralatan yang x disimpan di ruang
sudah rusak/tidak digunakan lagi dekat dengan pro-
ses produksi
Kecukupan
123. Peralatan kebersihan tidak sesuai
kapasitas produksi atau tidak cukup x √
tersedia
Penyuci-hamaan Peralatan
124. Tidak dilakukan penyuci-hamaan x √
(pensterilan) peralatan yang efektif
IV. PRODUKSI DAN PENGENDALIAN PROSES
A. PENANGANAN BAHAN BAKU DAN BAHAN TAMBAHAN LAIN
Bahan Baku
125. Penerimaan bahan baku tidak dilakukan
dengan baik, dan tidak dilindungi dari x √
kontaminan atau pengaruh lingkungan
yang tidak sehat
126. Spesifikasi bahan baku dan bahan x √
tambahan tidak ada
127. Tidak dilakukan pengujian mutu sebelum x √
diolah/diproses
128. Bahan baku tidak sesuai standar sehingga x √
membahayakan kesehatan manusia
129. Pencatatan dan pemberian label tidak x √
dilakukan dengan benar
130. Penyimpanan bahan baku pada kondisi x √
yang tidak tepat/sesuai
131. Bahan baku yang datang terlebih dahulu
tidak diproses lebih dahulu sistem FIFO x √
= First In First Out)
Bahan Tambahan Pangan
132. Bahan tambahan pangan (BTP) tidak x √
sesuai dengan aturan
Bahan Kemasan
133. Bahan kemasan beracun, membentuk x √
racunn atau dapat menimbulkan
penyimpangan yang membahayakan
kesehatan
B. PENGENDALIAN PROSES PRODUKSI
Proses Produksi
134. Campuran bahan baku tidak sesuai x √
dengan spesifikasi
135. Pengawasan di setiap tahapan proses x
yang kritis tidak dilakukan
136. Penanganan bahan baku ataupun produk
dari tahap satu ke tahap berikutnya tidak x √
dilakukan secara hati-hati, higienis dan
saniter

203
203
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi
Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor
(Lanjutan)

No. Aspek yang dinilai Minor Mayor Serius Kritis OK Keterangan


Proses Produksi
137. Penanganan produk yang sedang
menunggu giliran untuk diproses tidak x √
disimpan/dikumpulkan di tempat yang
saniter
138. Proses pengolahan/pengawetan dilaku- x √
kan tidak sesuai dengan jenis produk dan
suhu serta waktunya tidak sesuai dengan
persyaratan
139. Produk akhir tidak mempunyai ukuran x
dan bentuk yang teratur √
Pengemasan
140. Produk akhir tidak dikemas dan atau x √
diwadahi dengan cepat, tepat dan saniter
141. Sistem pemberian etiket atau kode-kode
yang dapat membantu identifikasi x √
produk tidak dilakukan
142. Produk akhir tidak diberi label yang
memuat : jenis produk, nama perusahaan
pembuat, ukuran, tipe, grade (tingkatan x √
mutu), tanggal kadaluwarsa, berat bersih,
nama bahan tambahan pangan yang
dipakai, kode produksi atau persyaratan
lain
143. Produk akhir tidak dilakukan pengujian x √
mutu sebelum diedarkan/dipasarkan
Penyimpanan
144. Kondidi penyimpanan tidak mampu
melindungi produk akhir dari kerusakan x √
dan kontaminasi
145. Penyimpanan produk akhir dan bahan x √
baku tidak dipisahkan
146. Susunan produk akhir tidak
memungkinkan produk akhir yang lebih x √
lama disimpan dikeluarkan terlebih
dahulu (tidak mengikuti sistem FIFO)
Penyimpanan Bahan Berbahaya (Apabila ada)
147. Disimpan tersendiri dan dapat terhindar x √
dari hal-hal yang dapat membahayakan
148. Tidak ada tanda peringatan x √

Pengangkutan dan Distribusi


149. Kendaraan (kontainer) yang dipakai
untuk mengangkut produk akhir tidak x √
mampu mempertahankan kondisi/
keawetan yang dipersyaratkan
150. Pembongkaran tidak dilakukan dengan
cepat, cermat dan terhindar dari x √
pengaruh yang menyebabkan kemun-
duran mutu
C. TINDAKAN PENGAWASAN
Jaminan Mutu
151. Campuran bahan baku tidak sesuai x √
dengan spesifikasi
Prosedur Pelacakan dan Penarikan (Recall Procedure)
152. Tidak dilakukan dengan baik, teratur dan x √
kontinyu

204
204
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi
Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor
(Lanjutan)

No. Aspek yang dinilai Minor Mayor Serius Kritis OK Keterangan


Kontaminasi
153. Terindikasi adanya kontaminan setelah
dilakukan pengujian bahan mentah atau x √
produk akhir
154. Terindikasi adanya kemunduran
mutu/deteriorasi/dekomposisi setelah x √
dilakukan pengujian bahan dan produk
akhir
155. Terindikasi adanya pencemaran fisik
benda-benda asing setelah dilakukan x √
pengujian bahan mentah dan produk
akhir
Pengujian Bahan Baku dan Produk Akhir
156. Tidak dilakukan pengujian x √

157. Tidak memiliki laboratorium yang


sekurangkurangnya dilengkapi dengan x √
peralatan dan media untuk pengujian
organoleptik dan mikrobiologi
158. Jumlah tenaga laboratorium tidak x √
mencukupi dan atau kualifikasi
tenaganya tidak memadai
159. Tidak aktif melaksanakan monitoring, x √
terhadap bahan baku, bahan pembantu,
kebersihan peralatan dan bahan baku
Hasil Uji Tidak Memenuhi Persyaratan
160. Angka lempeng total (ALT) x √
161. Staphylococci x √
162. Escherichia coli (E. coli) x √
163. Salmonella x √

HASIL DAN PENILAIAN

1. Penyimpangan (Deficiency)
a) Penyimpangan Minor 7 penyimpangan
b) Penyimpangan Mayor 6 penyimpangan
c) Penyimpangan Serius 1 penyimpangan
d) Penyimpangan Kritis 0 penyimpangan
I A (Baik sekali)
2. Tingkat (rating) unit pengolahan II B (Baik) √
III C (Cukup)
IV D (Jelek)

Kriteria penilaian GMP sarana produksi pangan di atas didasarkan atas kriteria
sebagai berikut :

Tingkat Jumlah Penyimpangan Jumlah Frekuensi


(Rating) Minor Mayor Serius Kritis Audit
I 0 - 10 0-5 0 0 1 kali/6 bulan
II > 11 11 - 20 1 - 10 0 1 kali/4 bulan
III TB > 20 10 - 20 0 1 kali/2 bulan
IV TB TB > 21 >2 1 kali/1 bulan
Keterangan : TB = Tidak berlaku

205
205
Lampiran 12. Jadwal Pembersihan Harian Di Perusahaan PT Kuala Pangan Bulan ...........................

Lantai, dinding yang Mesin-mesin proses Bak pencampuran Gudang penyimpanan Bak sampah, bak tempat Keterangan
berhubungan dengan produksi : Mixer, mesin bahan baku, bhn bahan baku, bahan cuci tangan (wastafel)
daerah pengolahan Roll press, mesin Box penolong dan bahan tambahan pangan dan
Tgl pangan Steam, mesin pendingin tambahan pangan; palet
pipa-pipa
Nama Paraf Nama paraf Nama paraf Nama Paraf Nama Paraf
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

206
Lampiran 12. Jadwal Pembersihan Harian Di Perusahaan PT Kuala Pangan (Lanjutan) Bulan ...........................

Lantai, dinding yang Mesin-mesin proses Bak pencampuran Gudang penyimpanan Bak sampah, bak tempat Keterangan
berhubungan dengan produksi : Mixer, mesin bahan baku, bhn bahan baku, bahan cuci tangan (wastafel)
daerah pengolahan Roll press, mesin Box penolong dan bahan tambahan pangan dan
Tgl pangan Steam, mesin pendingin tambahan pangan; palet
pipa-pipa
Nama Paraf Nama paraf Nama paraf Nama Paraf Nama Paraf
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.

207
Lampiran 12. Jadwal Pembersihan Harian Di Perusahaan PT Kuala Pangan Bulan .....................................
(Bagian Pengemasaan dan Pengepakan) (Lanjutan)

Menyapu Lantai Mengepel Lantai Pembersihan dapur Pembersihan Pengawas


Hari/Tanggal Shift Toilet/WC
Nama Paraf Nama Paraf Nama Paraf Nama Paraf Nama Paraf
I
II
III
I
II
III
I
II
III
I
II
III
I
II
III
I
II
III
I
II
III

208
208
Lampiran 12. Jadwal Pembersihan Mingguan Di Perusahaan PT Kuala Pangan Bulan : ................................
(Lanjutan)

Kegiatan Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV Keterangan


Nama Paraf Nama Paraf Nama Paraf Nama Paraf
Pembersihan bagian
dalam alat pengukus
(steaming)
Pembersihan sarang laba-
laba (langit-langit) di
daerah ruang produksi
Pembersihan terhadap
perangkap lalat dan
serangga (Insect killer)
Pembersihan kipas pen-
dingin dan saringannya
Pembersihan pipa-pipa
uap
Pembersihan pintu-pintu di
ruang proses produksi
Pembersihan alat roll
press pembentuk lembar
adonan
Pembersihan alat pemo-
tong lembar adonan mi
(cutter)

209
209
210

S-ar putea să vă placă și