Sunteți pe pagina 1din 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

. Penyakit pada sistem pernafasan merupakan masalah yang sudah umum terjadi di
masyarakat. Dan TB paru merupakan penyakit infeksi yang menyebabkan kematian dengan
urutan atas atau angka kematian (mortalitas) tinggi, angka kejadian penyakit (morbiditas),
diagnosis dan terapi yang cukup lama. Penyakit ini biasanya banyak terjadi pada negara
berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah.

Di Indonesia TB paru merupakan penyebab kematian utama dan angka kesakitan dengan
urutan teratas setelah ISPA. Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India dan China dalam
jumlah penderita TB paru di dunia

Micobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut


WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per tahun (WHO,
1993). Di negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang
sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara-negara
berkembang. Dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB akan
meningkat. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa
tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan
penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia dan nomor I dari golongan infeksi.
Antara tahun 1979-1982 telah dilakukan survey prevalensi di 15 propinsi dengan hasil 200-400 .

Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus baru TB dimana sekitar 1/3 penderita terdapat
disekitar puskesmas, 1/3 ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintah dan swasta,
praktek swasta dan sisanya belum terjangku unit pelayanan kesehatan. Sedangkan kematian
Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif, penderita TB kebanyakan
dari kelompok sosio ekonomi rendah. Dari 1995-1998, cakupan penderita TB Paru dengan
strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) atau pengawasan
langsung menelan obat jangka pendek/setiap hari baru mencapai 36% dengan angka kesembuhan
87%. Sebelum strategi DOTS (1969-1994) cakupannya sebesar 56% dengan angka kesembuhan
yang dapat dicapai hanya 40-60%. Karena pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat
yang tidak cukup di masa lalu kemungkinan telah timbul kekebalan kuman TB terhadap OAT
(obat anti tuberkulosis) secara meluas atau multi drug resistance (MDR).
1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana TB Paru pada klien dewasa bisa terjadi ?


2. Apa tanda dan gejala yang muncul (manifestasi klinis) dari TB Paru pada klien dewasa ?
3. Apa pemeriksaan diagnostik pada pasien dengan TB Paru pada klien dewasa?
4. Bagaimana cara menangani gangguan pernapasan akibat penyakit TB Paru klien dewasa
?
5. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan TB Paru pada klien dewasa?

1.3Tujuan

Tujuan Umum

Mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dewasa dengan gangguan TB Paru.

Tujuan Khusus

1. Menjelaskan konsep dasar TB paru


2. Menjelaskan asuhan keperawatan klien dewasa dengan TB paru, meliputi :

a) pengkajian TB paru

b) Mengidentifikasi diagnosa keperawatan pada klien dewasa dengan TB paru

c) Melakukan perencanaan pada klien dewasa dengan TB paru

1.4 Manfaat

Manfaat yang ingin diperoleh dalam penyusunan makalah ini adalah:

1. Mendapatkan pengetahuan tentang TB Paru


2. Mendapatkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada klien dewasa dengan TB
Paru
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian TB Paru

TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB


(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman menyerang Paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lain (Dep Kes, 2003). Kuman TB berbentuk batang mempunyai sifat
khusus yaitu tahan terhadap asam pewarnaan yang disebut pula Basil Tahan Asam (BTA).

2.2 Etiologi

Penyakit TB Paru disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Kuman ini


berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, Oleh
karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab.
Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin,
penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang
mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat
terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk
kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru
kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau
penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita
ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif
hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak
negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.

Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis :

 Herediter: resistensi seseorang terhadap infeksi kemungkinan diturunkan secara


genetik.
 Jenis kelamin: pada akhir masa kanak-kanak dan remaja, angka kematian dan
kesakitan lebih banyak terjadi pada anak perempuan.
 Usia : pada masa bayi kemungkinan terinfeksi sangat tinggi.
 Pada masa puber dan remaja dimana masa pertumbuhan yang cepat, kemungkinan
infeksi cukup tingggi karena diit yang tidak adekuat.
 Keadaan stress: situasi yang penuh stress (injury atau penyakit, kurang nutrisi, stress
emosional, kelelahan yang kronik)
 Meningkatnya sekresi steroid adrenal yang menekan reaksi inflamasi
dan memudahkan untuk penyebarluasan infeksi.
 Anak yang mendapat terapi kortikosteroid kemungkinan terinfeksi lebih mudah.
 Nutrisi ; status nutrisi kurang
 Infeksi berulang : HIV, Measles, pertusis.
 Tidak mematuhi aturan pengobatan.

2.3 Patofisiologi

Ketika seorang klien TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak sengaja
keluarlah droplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar
matahari atau suhu udara yang panas, droplet nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri
ke udara dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkolosis yang terkandung
dalam droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh orang sehat, maka orang
itu berpotensi terkena infeksi bakteri tuberkolosis. Penularan bakteri lewat udara disebut dengan
air-borne infection. Bakteri yang terisap akan melewati pertahanan mukosilier saluran
pernapasan dan masuk hingga alveoli. Pada titik lokasi di mana terjadi implantasi bakteri, bakteri
akan menggandakan diri (multiplying). Bakteri tuberkolosis dan fokus ini disebut fokus primer
atau lesi primer (fokus Ghon). Reaksi juga terjadi pada jaringan limfe regional, yang bersama
dengan fokus primer disebut sebagai kompleks primer. Dalam waktu 3-6 minggu, inang yang
baru terkena infeksi akan menjadi sensitif terhadap tes tuberkulin atau tes Mantoux.

Berpangkal dari kompleks primer, infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui berbagai
jalan, yaitu:

1) Percabangan bronkhus

Dapat mengenai area paru atau melalui sputum menyebar ke laring (menyebabkan ulserasi
laring), maupun ke saluran pencernaan.

2) Sistem saluran limfe

Menyebabkan adanya regional limfadenopati atau akhirnya secara tak langsung


mengakibatkan penyebaran lewat darah melalui duktus limfatikus dan menimbulkan
tuberkulosis milier.

Aliran darah

Aliran vena pulmonalis yang melewati lesi paru dapat membawa atau mengangkut
material yang mengandung bakteri tuberkulosis dan bakteri ini dapat mencapai berbagai organ
melalui aliran darah, yaitu tulang, ginjal, kelenjar adrenal, otak, dan meningen.

Rektifasi infeksi primer (infeksi pasca-primer)

Jika pertahanan tubuh (inang) kuat, maka infeksi primer tidak berkembang lebih jauh dan
bakteri tuberkulosis tak dapat berkembang biak lebih lanjut dan menjadi dorman atau tidur.
Ketika suatu saat kondisi inang melemah akibat sakit lama/keras atau memakai obat yang
melemahkan daya tahan tubuh terlalu lama, maka bakteri tuberkulosis yang dorman dapat aktif
kembali. Inilah yang disebut reaktifasi infeksi primer atau infeksi pasca-primer. Infeksi ini dapat
terjadi bertahun-tahun setelah infeksi primer terjadi. Selain itu, infeksi pasca-primer juga dapat
diakibatkan oleh bakteri tuberkulosis yang baru masuk ke tubuh (infeksi baru), bukan bakteri
dorman yang aktif kembali. Biasanya organ paru tempat timbulnya infeksi pasca-primer terutama
berada di daerah apeks paru.

Infeksi Primer

Tuberkulosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang belum mempunyai
reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali
dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan
menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara
pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan
membawa kuman TB ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks
primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6
minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari
negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan
besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh
tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa
kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan
tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan,
yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang
diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.

Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB)

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah
infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi
yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya kavitas atau efusi pleura.

Perjalanan Alamiah TB yang Tidak Diobati

Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50 % dari penderita TB akan meninggal, 25 %


akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25 % sebagai kasus kronik yang tetap
menular (WHO 1996).

Pengaruh Infeksi HIV

Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular
Immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang
bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah horang
terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB akan meningkat, dengan demikian
penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
2.4 Klasifikasi TB Paru

Menurut Dep.Kes (2003), klasifikasi TB Paru dibedakan atas :

1. Berdasarkan organ yang terinvasi

TB Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura
(selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi menjadi 2, yaitu:

TB Paru BTA Positif

Disebut TB Paru BTA (+) apabila sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS
(Sewaktu Pagi Sewaktu) hasilnya positif, atau 1 spesimen dahak SPS positif disertai
pemeriksaan radiologi paru menunjukan gambaran TB aktif.

2. TB Paru BTA Negatif

Apabila dalam 3 pemeriksaan spesimen dahak SPS BTA negatif dan pemeriksaan
radiologi dada menunjukan gambaran TB aktif. TB Paru dengan BTA (-) dan
gambaran radiologi positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan, bila menunjukan
keparahan yakni kerusakan luas dianggap berat.

TB ekstra paru yaitu tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing dan alat kelamin. TB ekstra paru dibagi
berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya yaitu :

a) TB ekstra paru ringan yang menyerang kelenjar limfe, pleura, tulang (kecuali
tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal

b) TB ekstra paru berat seperti meningitis, pericarditis, peritonitis, TB tulang


belakang, TB saluran kencing dan alat kelamin.

3.Berdasarkan tipe penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa


tipe penderita :

Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kurang dari satu bulan.
1. Kambuh (relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali berobat dengan hasil pemeriksaan BTA
positif.
2. Pindahan (transfer in) yaitu penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu
kabupaten lain kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut
harus membawa surat rujukan/pindah.
3. Kasus berobat setelah lalai (default/drop out) adalah penderita yang sudah berobat
paling kurang 1 bulan atau lebih dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang
kembali berobat.

PERBEDAAN TB ANAK DAN DEWASA

1. TB anak lokasinya pada setiap bagian paru, sedangkan pada dewasa di daerah apeks dan
infra klavikuler
2. Terjadi pembesaran kelenjar limfe regional sedangkan pada dewasa tanpa pembesaran
kelenjar limfe regional
3. Penyembuhan dengan perkapuran sedangkan pada dewasa dengan fibrosis
4. Lebih banyak terjadi penyebaran hematogen, pada dewasa jarang

2.5 Manifestasi Klinis

Diagnosa TB berdasarkan gejala/manifestasi klinis dibagi menjadi 3, diantaranya:

1. Gejala respiratorik, meliputi:

a. Batuk

Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering
dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan
bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.

b.Batuk darah

Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis
atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah
sangat banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat
ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang
pecah.
c.Sesak nafas

Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada
hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-
lain.

d. Nyeri dada

Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini
timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.

2. Gejala sistemik meliputi:

a. Demam

Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam
hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang
serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek.

b. Gejala sistemik lain :

Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan
serta malaise. Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-
bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas
walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.

3. Gejala Tuberkulosis ekstra Paru

Tergantung pada organ yang terkena, misalnya : limfedanitis tuberkulosa.


Meningitsis tuberkulosa, dan pleuritis tuberkulosa.

Gejala klinis Hemoptoe :

Kita harus memastikan bahwa perdarahan dari nasofaring dengan cara

membedakan ciri-ciri sebagai berikut :

1. Batuk darah
a. Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan
b. Darah berbuih bercampur udara
c. Darah segar berwarna merah muda
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia kadang-kadang terjadi
f. Benzidin test negatif

2. Muntah darah
a. Darah dimuntahkan dengan rasa mual
b. Darah bercampur sisa makanan
c. Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung
d. Darah bersifat asam
e. Anemia seriang terjadi
f. Benzidin test positif

3. Epistaksis
a. Darah menetes dari hidung
b. Batuk pelan kadang keluar
c. Darah berwarna merah segar
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia jarang terjadi

Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru selain TBC. Oleh sebab itu
orang yang datang dengan gejala diatas harus dianggap sebagai seorang “suspek tuberkulosis”
atau tersangka penderita TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung. Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala sama, harus
diperiksa dahaknya.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik

2.6.1 Pemeriksaan sputum (S-P-S)

Pemeriksaan sputum penting untuk dilakukan karena dengan pemeriksaan tersebut


akan ditemukan kuman BTA. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat
memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini
mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi
kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak
batuk atau batuk yang non produktif Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum
pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak + 2 liter dan diajarkan
melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obat
mukolitik eks-pektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30
menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoieh dengan cara bronkos kopi diambil
dengan brushing atau bronchial washing atau BAL (bronchn alveolar lavage). BTA
dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering
dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum
yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin. Bila sputum sudah didapat.
kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman bant dapat dkcmukan bila
bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga sputum yang
mengandung kuman BTA mudah ke luar.

sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA
pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mil sputum Hasil
pemeriksaan BTA (basil tahan asam) (+) di bawah mikroskop memerlukan kurang lebih 5000
kuman/ml sputum, sedangkan untuk mendapatkan kuman (+) pada biakan yang merupakan
diagnosis pasti, dibutuhkan sekitar 50 - 100 kuman/ml sputum. Hasil kultur memerlukan waktu
tidak kurang dan 6 - 8 minggu dengan angka sensitiviti 18-30%.

Rekomendasi WHO skala IUATLD :

1. Tidak ditemuukan BTA dalam 100 lapang pandangan :negative


2. Ditemukan 1-9 BTA : tulis jumlah kuman
3. Ditemukan 10-99 BTA : 1+
4. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 2+
5. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 3+

2.6.2 Pemeriksaan tuberculin

Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk menunjukkan
sedang/pernah terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa dan sering digunakan dalam "Screening
TBC". Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%.

Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif
100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari
persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin
semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang
cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian
atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji
tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan
(indurasi) yang terjadi.

2.6.3 Pemeriksaan Rontgen Thoraks

Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan adanya suatu lesi sebelum
ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan fisik menemukan kelainan
pada paru. Bila pemeriksaan rontgen menemukan suatu kelainan, tidak ada gambaran khusus
mengenai TB paru awal kecuali di lobus bawah dan biasanya berada di sekitar hilus.
Karakteristik kelainan ini terlihat sebagai daerah bergaris-garis opaque yang ukurannya
bervariasi dengan batas lesi yang tidak jelas. Kriteria yang kabur dan gambar yang kurang jelas
ini sering diduga sebagai pneumonia atau suatu proses edukatif, yang akan tampak lebih jelas
dengan pemberian kontras.
Pemeriksaan rontgen thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi hasil pengobatan dan
ini bergantung pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri tuberkel terhadap obat
antituberkulosis, apakah sama baiknya dengan respons dari klien. Penyembuhan yang lengkap
serinng kali terjadi di beberapa area dan ini adalah observasi yang dapat terjadi pada
penyembuhan yang lengkap. Hal ini tampak paling menyolok pada klien dengan penyakit akut
yang relatif di mana prosesnya dianggap berasal dari tingkat eksudatif yang besar.

2.6.4 Pemeriksaan CT Scan

Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB inaktif/stabil


yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik ireguler, pita parenkimal,
kalsifikasi nodul dan adenopati, perubahan kelengkungan beras bronkhovaskuler, bronkhiektasis,
dan emifesema perisikatriksial. Sebagaimana pemeriksaan Rontgen thoraks, penentuan bahwa
kelainan inaktif tidak dapat hanya berdasarkan pada temuan CT scan pada pemeriksaan tunggal,
namun selalu dihubungkan dengan kultur sputum yang negatif dan pemeriksaan secara serial
setiap saat. Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk mendeteksi adanya pembentukan
kavasitas dan lebih dapat diandalkan daripada pemeriksaan Rontgen thoraks biasa.

2.6.5 Radiologis TB Paru Milier

TB paru milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru milier akut dan TB paru milier
subakut (kronis). Penyebaran milier terjadi setelah infeksi primer. TB milier akut diikuti oleh
invasi pembuluh darah secara masif/menyeluruh serta mengakibatkan penyakit akut yang berat
dan sering disertai akibat yang fatal sebelum penggunaan OAT. Hasil pemeriksaan rontgen
thoraks bergantung pada ukuran dan jumlah tuberkel milier. Nodul-nodul dapat terlihat pada
rontgen akibat tumpang tindih dengan lesi parenkim sehingga cukup terlihat sebagai nodul-nodul
kecil. Pada beberapa klien, didapat bentuk berupa granul-granul halus atau nodul-nodul yang
sangat kecil yang menyebar secara difus di kedua lapangan paru. Pada saat lesi mulai bersih,
terlihat gambaran nodul-nodul halus yang tak terhitung banyaknya dan masing-masing berupa
garis-garis tajam.

2.6.6 Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosis terbaik dari penyakit diperoleh dengan pemeriksaan mikrobiologi melalui


isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies Mycobacterium antara yang satu dengan yang
lainnya harus dilihat sifat koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media,
perbedaan kepekaan terhadap OAT dan kemoterapeutik, perbedaan kepekaan tehadap binatang
percobaan, dan percobaan kepekaan kulit terhadap berbagai jenis antigen Mycobacterium.
Pemeriksaan darah yang dapat menunjang diagnosis TB paru walaupun kurang sensitif adalah
pemeriksaan laju endap darah (LED). Adanya peningkatan LED biasanya disebabkan
peningkatan imunoglobulin terutama IgG dan IgA.
2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan tuberkulosis antara lain :

2.7.1 Pencegahan Tuberkulosis Paru

 Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan
penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes tuberkulin, klinis, dan
radiologis. Bila tes tuberkulin positif, maka pemeriksaan radiologis foto thorax diulang
pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila
positif, berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan diberikan kemoprofilaksis.
 Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok populasi
tertentu misalnya: karyawan rumah sakit/Puskesmas/balai pengobatan, penghuni rumah
tahanan, dan siswa-siswi pesantren.
o Vaksinasi BCG
o Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan
dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih
sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi yang menyusu pada
ibu dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan bagi
kelompok berikut: bayi di bawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin positif
karena resiko timbulnya TB milier dan meningitis TB, anak dan remaja di bawah
20 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif yang bergaul erat dengan penderita
TB yang menular, individu yang menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin dari
negatif menjadi positif, penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat
imunosupresif jangka panjang, penderita diabetes mellitus.
o Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis kepada
masyarakat di tingkat Puskesmas maupun di tingkat rumah sakit oleh petugas
pemerintah maupun petugas LSM (misalnya Perkumpulan Pemberantasan
Tuberkulosis Paru Indonsia – PPTI).

2.7.2 Pengobatan Tuberkulosis Paru

Mekanisme kerja obat anti-tuberkulosis (OAT) :

1. Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat


2. Aktivitas sterilisasi, terhadap the pesisters (bakteri semidormant)
3. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis terhadap
bakteri tahan asam.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu

1. Fase intensif (2-3 bulan) :

Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah sebanyak-banyaknya
dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat bakterisidal. Selama fase intensif yang biasanya
terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang
infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien dengan sputum BTA
positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Menurut The Joint Tuberculosis Committee of
the British Thoracic Society, fase awal diberikan selama 2 bulan yaitu INH 5 mg/kgBB,
Rifampisin 10 mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB dan Etambutol 15 mg/kgBB.

2. Fase lanjutan (4-7 bulan).

Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang.
Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi resiko
terjadinya resistensi selektif. Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic
Society fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH dan Rifampisin untuk tuberkulosis paru dan
ekstra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan resistensi terhadap INH.

Pada pasien yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi. Paduan pengobatan
ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama fase awal
sekurang-kurangnya 2 di antara obat yang diberikan haruslah yang masih efektif.

Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama
yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid,
Streptomisin, dan Etambutol (Depkes RI, 2004).

Untuk program nasional pemberantasan TB paru, WHO menganjurkan panduan obat sesuai
dengan kategori penyakit. Kategori didasarkan pada urutan kebutuhan pengobatan dalam
program. Untuk itu, penderita dibagi dalam empat kategori sebagai berikut:

1. Kategori I (2HRZE/4H3R3)

Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan keadaan yang berat
seperti meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis massif atau bilateral, spondiolitis
dengan gangguan neurologis, dan penderita dengan sputum negatif tetapi kelainan parunya luas,
TB usus, TB saluran perkemihan, dan sebagainya. Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH
dan rifampisin tiga kali dalam seminggu ( tahap lanjutan ).
2. Kategori II ( HRZE/5H3R3E3 )

Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif.
diberikan kepada :

1. Penderita kambuh
2. Penderita gagal terapi
3. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minun obat
4. 3. Kategori III ( 2HRZ/4H3R3 )

Kategori III adalah kasus sputum negatif tetapi kelainan parunya tidak luas dan kasus TB
di luar paru selain yang disebut dalam kategori I.

Kategori IV adalah tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan rendah karena kemungkinan


keberhasilan rendah sekali.

Obat-obatan anti tuberkulostatik

1. Isoniazid (INH) : merupakan obat yang cukup efektif dan berharga murah. Seperti
rifampisin, INH harus diikutsertakan dalam setiap regimen pengobatan, kecuali bila ada
kontra-indikasi. Efek samping yang sering terjadi adalah neropati perifer yang biasanya
terjadi bila ada faktor-faktor yang mempermudah seperti diabetes, alkoholisme, gagal
ginjal kronik dan malnutrisi dan HIV. Dalam keadaan ini perlu diberikan peridoksin 10
mg/hari sebagai profilaksis sejak awal pengobatan. Efek samping lain seperti hepatitis
dan psikosis sangat jarang terjadi.
2. Rifampisin : merupakan komponen kunci dalam setiap regimen pengobatan.
Sebagaimana halnya INH, rifampisin juga harus selalu diikutkan kecuali bila ada kontra
indikasi. Pada dua bulan pertama pengobatan dengan rifampisin, sering terjadi gangguan
sementara pada fungsi hati (peningkatan transaminase serum), tetapi biasanya tidak
memerlukan penghentian pengobatan. Kadang-kadang terjadi gangguan fungsi hati yang
serius yang mengharuskan penggantian obat terutama pada pasien dengan riwayat
penyakit hati. Rifampisin menginduksi enzim-enzim hati sehingga mempercepat
metabolisme obat lain seperti estrogen, kortikosteroid, fenitoin, sulfonilurea, dan anti-
koagulan. Penting : efektivitas kontrasepsi oral akan berkurang sehingga perlu dipilih
cara KB yang lain.
3. Pyrazinamid : bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang aktif
memlah dan mycrobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua atau tiga bulan
pertama saja. Obat ini sangat bermanfaat untuk meningitis TB karena penetrasinya ke
dalam cairan otak. Tidak aktif terhadap Mycrobacterium bovis. Toksifitas hati yang
serius kadang-kadang terjadi.
4. Etambutol: digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi. Jika resiko
resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan yang tidak diawasi,
etambutol diberikan dengan dosis 25 mg/kg/hari pada fase awal dan 15 mg/kg/hari pada
fase lanjutan (atau 15 mg/kg/hari selama pengobatan). Pada pengobatan intermiten di
bawah pengawasan, etambutol diberikan dalam dosis 30 mg/kg 3 kali seminggu atau 45
mg/kg 2 kali seminggu. Efek samping etambutol yang sering terjadi adalah gangguan
penglihatan dengan penurunan visual, buta warna dan penyempitan lapangan pandang.
Efek toksik ini lebih sering bila dosis berlebihan atau bila ada gangguan fungsi ginjal.
Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif; bila hal ini terjadi maka etambutol harus
segera dihentikan. Bila segera dihentikan, biasanya fungsi penglihatan akan pulih.
Pasien yang tidak bisa mengerti perubahan ini sebaiknya tidak diberi etambutol tetapi
obat alternative lainnya. Pemberian pada anak-anak harus dihindari sampai usia 6 tahun
atau lebih, yaitu disaat mereka bisa melaporkan gangguan penglihatan. Pemeriksaan
fungsi mata harus dilakukan sebelum pengobatan.

5. Streptomisin : saat ini semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus resistensi.Obat ini
diberikan 15 mg/kg, maksimal 1 gram perhari. Untuk berat badan kurang dari 50 kg atau
usia lebih dari 40 tahun, diberikan 500-700 mg/hari. Untuk pengobatan intermiten yang
diawasi, streptomisin diberikan 1 g tiga kali seminggu dan diturunkan menjadi 750 ng
tiga kali seminggu bila berat badan kurang dari 50 kg. Untuk anak diberikan dosis 15-20
mg/kg/hari atau 15-20 mg/kg tiga kali seminggu untuk pengobatan yang diawasi. Kadar
obat dalam plasma harus diukur terutama untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang hanya boleh dilampaui
dalam keadaan yang sangat khusus. Obat-obat sekunder diberikan untuk TBC yang
disebabkan oleh kuman yang resisten atau bila obat primer menimbulkan efek samping
yang tidak bisa ditoleransi. Termasuk obat sekunder adalah kapreomisin, sikloserin,
makrolid generasi baru (azitromisin dan klaritromisin), 4-kuinolon (siprofloksasin dan
ofloksasin) dan protionamid.

Tabel Panduan Pemberian Obat Anti-Tuberkulosis

Rekomendasi Dosis
Obat anti-TB (mg/kgBB)
Aksi Potensi
esensial Per minggu
Per hari
3x 2x
Isoniazid (INH) Bakterisidal Tinggi 5 10 15

Rifampisin (R) Bakterisidal Tinggi 10 10 10

Pirazinamid (Z) Bakterisidal Rendah 25 35 50

Streptomisin (S) Bakterisidal Rendah 15 15 15

Etambutol (E) Bakteriostatik Rendah 15 30 45


Kombinasi dosis combination ( fixed dose combination )

1. Dosis tiap hari :


o RHZE : R (150 mg) + H (75 mg) + Z (400 mg) + E (75 mg)
o RHZ : R (150 mg) + H (75 mg) + Z (450 mg)
o RH : R (300 mg) + H (150 mg)

R (150 mg) + H (75 mg)

 EH : H (150 mg) + E (400 mg)


 RHZ : R (150 mg) + H (150 mg) + Z (500 mg)
 RH : R (150 mg) + H (150 mg)

2.7 Komplikasi

Penyakit TB Paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi, diantaranya :

1. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, faringitis.


2. Komplikasi lanjut :

 Obstruksi jalan nafas, seperti SOPT ( Sindrom Obstruksi Pasca Tubercolosis)


 Kerusakan parenkim berat, seperti SOPT atau fibrosis paru, Cor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, ARDS.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN

Pengkajian dengan TB Paru pada klien dewasa, meliputi :

3.1.1 Identitas

Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan,
pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan penanggung biaya.

3.1.2 Riwayat Sakit dan Kesehatan

1. Keluhan utama

Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB paru meminta pertolongan dari tim
kesehatan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1) Keluhan respiratoris, meliputi:

 Batuk, nonproduktif/ produktif atau sputum bercampur darah


 Batuk darah, seberapa banyak darah yang keluar atau hanya berupa
bloodstreak, berupa garis, atau bercak-bercak darah
 Sesak napas
 Nyeri dada

Tabrani Rab (1998) mengklasifikasikan batuk darah berdasarkan jumlah darah


yang dikeluarkan:

 Batuk darah masif, darah yang dikeluarkan lebih dari 600 cc/24 jam.
 Batuk darah sedang, darah yang dikeluarkan 250-600 cc/24 jam.
 Batuk darah ringan. Darah yang dikeluarkan kurang dari 250 cc/24 jam.

2) Keluhan sistematis, meliputi:

Demam, timbul pada sore atau malam hari mirip demam influenza, hilang timbul,
dan semakin lama semakin panjang serangannya, sedangkan masa bebas serangan
semakin pendek. Keluhan sistemis lain: keringat malam, anoreksia, penurunan
berat badan, dan malaise.
2. Riwayat penyakit saat ini

Pengkajian ringkas dengan PQRST dapat lebih memudahkan perawat dalam melengkapi
pengkajian.

Provoking Incident:

apakah ada peristiwa yang menjadi faktor penyebab sesak napas, apakah sesak napas
berkurang apabila beristirahat?

Quality of Pain:

seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan atau digambarkan klien, apakah rasa sesaknya
seperti tercekik atau susah dalam melakukan inspirasi atau kesulitan dalam mencari posisi
yang enak dalam melakukan pernapasan?

Region:

di mana rasa berat dalam melakukan pernapasan?

Severity of Pain:

seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan klien?

Time:

berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, bertambah buruk pada malam hari atau siang
hari, apakah gejala timbul mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu juga, apakah timbul
gejala secara terus-menerus atau hilang timbul (intermitten), apa yang sedang dilakukan klien
saat gejala timbul, lama timbulnya (durasi), kapan gejala tersebut pertama kali timbul (onset).

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah
menderita TB paru, keluhan batuk lama pada masa kecil, tuberkulosis dari organ lain,
pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang memperberat TB paru seperti diabetes mellitus.
Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu yang relevan, obat-
obat ini meliputi obat OAT dan antitusif. Catat adanya efek samping yang terjai di masa lalu.
Kaji lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan berat badan (BB) dalam enam bulan terakhir.
Penurunan BB pada klien dengan TB paru berhubungan erat dengan proses penyembuhan
penyakit serta adanya anoreksia dan mual yang sering disebabkan karena meminum OAT.
4. Riwayat Penyakit Keluarga

Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu menanyakan apakah penyakit
ini pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi di dalam rumah.

5. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual

Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat


untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
Perawat mengumpulkan data hasil pemeriksaan awal klien tentang kapasitas fisik dan intelektual
saat ini. Data ini penting untuk menentukan tingkat perlunya pengkajian psiko-sosio-spiritual
yang seksama. Pada kondisi, klien dengan TB paru sering mengalami kecemasan bertingkat
sesuiai dengan keluhan yang dialaminya.

6. Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )

Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi pemerikasaan fisik umum per
system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2
(Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone) serta pemeriksaan yang focus
pada B2 dengan pemeriksaan menyeluruh system pernapasan.

Keadaan Umum dan Tanda-tanda Vital

Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan secara selintas pandang
dengan menilai keadaaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu di nilai secara umum tentang
kesadaran klien yang terdiri atas compos mentis, apatis, somnolen, sopor, soporokoma, atau
koma.

Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru biasanya didapatkan
peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak
napas, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi
pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyulit seperti hipertensi.
B1 (Breathing)

Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan pemeriksaan fokus yang terdiri atas
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.

Inspeksi

Bentuk dada dan pergerakan pernapasan.

Sekilas pandang klien dengan TB paru biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya
penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-posterior dibandingkan proporsi diameter
lateral. Apabila ada penyulit dari TB paru seperti adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat
adanya ketidaksimetrian rongga dada, pelebar intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. TB
paru yang disertai atelektasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak simetris, yang membuat
penderitanya mengalami penyempitan intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. Pada klien
dengan TB paru minimal dan tanpa komplikasi, biasanya gerakan pernapasan tidak mengalami
perubahan. Meskipun demikian, jika terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada
parenkim paru biasanya klien akan terlihat mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi napas,
dan menggunakan otot bantu napas.

Batuk dan sputum.

Saat melakukan pengkajian batuk pada klien dengan TB paru, biasanya didapatkan batuk
produktif yang disertai adanya peningkatan produksi secret dan sekresi sputum yang purulen.
Periksa jumlah produksi sputum, terutama apabila TB paru disertai adanya brokhiektasis yang
membuat klien akan mengalami peningkatan produksi sputum yang sangat banyak. Perawat
perlu mengukur jumlah produksi sputum per hari sebagai penunjang evaluasi terhadap intervensi
keperawatan yang telah diberikan.

Palpasi

Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan.

TB paru tanpa komplikasi pada saat dilakukan palpasi, gerakan dada saat bernapas biasanya
normal seimbang antara bagian kanan dan kiri. Adanya penurunan gerakan dinding pernapasan
biasanya ditemukan pada klien TB paru dengan kerusakan parenkim paru yang luas.

Getaran suara (fremitus vokal).

Getaran yang terasa ketika perawat meletakkan tangannya di dada klien saat klien berbicara
adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring arah distal sepanjang pohon
bronchial untuk membuat dinding dada dalam gerakan resonan, teerutama pada bunyi konsonan.
Kapasitas untuk merasakan bunyi pada dinding dada disebut taktil fremitus.
Perkusi

Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan resonan atau
sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti
efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sesuai banyaknya
akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai pneumothoraks, maka didapatkan bunyi
hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong posisi paru ke sisi yang sehat.

Auskultasi

Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi) pada sisi yang sakit.
Penting bagi perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana
didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika klien berbica disebut
sebagai resonan vokal. Klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi pleura dan
pneumopthoraks akan didapatkan penurunan resonan vocal pada sisi yang sakit.

B2 (Blood)

Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:

Inspeksi : Inspeksi tentang adanya parut dan keluhan kelemahan fisik.

Palpasi : Denyut nadi perifer melemah.

Perkusi : Batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan efusi pleura
masif mendorong ke sisi sehat.

Auskultasi : Tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak
didapatkan.

B3 (Brain)

Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya sianosis perifer apabila gangguan perfusi
jaringan berat. Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan meringis, menangis, merintih,
meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan pengkajian pada mata, biasanya didapatkan adanya
kengjungtiva anemis pada TB paru dengan gangguan fungsi hati.

B4 (Bladder)

Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat
perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Klien
diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga pekat dan berbau yang
menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama
fifampisin.
B5 (Bowel)

Klien biasanya mengalami mual, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.

B6 (Bone)

Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB paru. Gejala yang muncul antara
lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, jadwal olahraga menjadi tak teratur.

3.1.3 DIAGNOSA KEPERAWATAN


a. ketidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret kental atau
sekret darah
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveoler-kapiler
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
3.1.4 RENCANA KEPERAWATAN

TUJUAN DAN KRITERIA


INTERVENSI
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN HASIL
(NIC)
(NOC)
1 Ketidak efektif berishan NOC : NIC :
jalan nafas  Respiratory status Airway suction :
:Ventilation  Pastikan
Definisi : Ketidakmampuan  Respiratory status : kebutuhan oral /
untuk membersihkan sekresi Airway patency tracheal
atau obstruksi dari saluran  Aspiration Control suctioning
pernafasan untuk  Auskultasi suara
mempertahankan kebersihan Kriteria Hasil nafas sebelum
jalan nafas.  Mendemonstrasikan dan sesudah
batuk efektif dan suara suctioning.
Batasan Karakteristik : nafas yang bersih, tidak  Informasikan
o Dispneu, ada sianosis dan pada klien dan
Penurunan suara dyspneu (mampu keluarga tentang
nafas mengeluarkan sputum, suctioning
o Orthopneu mampu bernafas  Minta klien nafas
o Cyanosis dengan mudah, tidak dalam sebelum
o Kelainan suara ada pursed lips) suction
nafas (rales,  Menunjukkan jalan dilakukan.
wheezing) nafas yang paten (klien  Berikan O2
o Kesulitan tidak merasa tercekik, dengan
berbicara irama nafas, frekuensi menggunakan
o Batuk, tidak pernafasan dalam nasal untuk
efekotif atau rentang normal, tidak memfasilitasi
tidak ada ada suara nafas suksion
o Mata melebar abnormal) nasotrakeal
o Produksi sputum  Mampu  Gunakan alat
o Gelisah mengidentifikasikan yang steril sitiap
o Perubahan dan mencegah factor melakukan
frekuensi dan yang dapat tindakan
irama nafas menghambat jalan  Anjurkan pasien
nafas untuk istirahat
Faktor-faktor yang dan napas dalam
berhubungan: setelah kateter
o Lingkungan : dikeluarkan dari
merokok, nasotrakeal
menghirup asap  Monitor status
rokok, perokok oksigen pasien
pasif-POK,  Ajarkan keluarga
infeksi bagaimana cara
o Fisiologis : melakukan
disfungsi suksion
neuromuskular,  Hentikan suksion
hiperplasia dan berikan
dinding bronkus, oksigen apabila
alergi jalan nafas, pasien
asma. menunjukkan
o Obstruksi jalan bradikardi,
nafas : spasme peningkatan
jalan nafas, saturasi O2, dll.
sekresi tertahan,  Airway
banyaknya Management
mukus, adanya  Buka jalan nafas,
jalan nafas guanakan teknik
buatan, sekresi chin lift atau jaw
bronkus, adanya thrust bila perlu
eksudat di  Posisikan pasien
alveolus, adanya untuk
benda asing di memaksimalkan
jalan nafas. ventilasi
 Identifikasi
pasien perlunya
pemasangan alat
jalan nafas
buatan
 Pasang mayo
bila perlu
 Lakukan
fisioterapi dada
jika perlu
 Keluarkan sekret
dengan batuk
atau suction
 Auskultasi suara
nafas, catat
adanya suara
tambahan
 Lakukan suction
pada mayo
 Berikan
bronkodilator
bila perlu
 Berikan
pelembab udara
Kassa basah
NaCl Lembab
 Atur intake
untuk cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
 Monitor respirasi
dan status O2
2 Gangguan Pertukaran gas NOC : NIC :
 Respiratory Status : Airway Management
Definisi : Kelebihan atau Gas exchange  Buka jalan nafas,
kekurangan dalam  Respiratory Status : guanakan teknik
oksigenasi dan atau ventilation chin lift atau jaw
pengeluaran karbondioksida  Vital Sign Status thrust bila perlu
di dalam membran kapiler Kriteria Hasil  Posisikan pasien
alveoli  Mendemonstrasikan untuk
peningkatan ventilasi memaksimalkan
Batasan karakteristik : dan oksigenasi yang ventilasi
 Gangguan penglihatan adekuat  Identifikasi
 Penurunan CO2  Memelihara kebersihan pasien perlunya
 Takikardi paru paru dan bebas pemasangan alat
 Hiperkapnia dari tanda tanda jalan nafas
 Keletihan distress pernafasan buatan
 somnolen  batuk efektif dan suara  Pasang mayo
 Iritabilitas nafas yang bersih, tidak bila perlu
 Hypoxia ada sianosis dan  Lakukan
 kebingungan dyspneu (mampu fisioterapi dada
 Dyspnoe mengeluarkan sputum, jika perlu
 nasal faring mampu bernafas  Keluarkan sekret
 AGD Normal dengan mudah, tidak dengan batuk
 sianosis ada pursed lips) atau suction
 warna kulit abnormal  Tanda tanda vital  Auskultasi suara
(pucat, kehitaman) dalam rentang normal nafas, catat
 Hipoksemia adanya suara
 hiperkarbia tambahan
 sakit kepala ketika  Lakukan suction
bangun pada mayo
frekuensi dan kedalaman  Berika
nafas abnormal bronkodilator
bial perlu
Faktor faktor yang  Barikan
berhubungan : pelembab udara
 ketidakseimbangan  Atur intake
perfusi ventilasi untuk cairan
 perubahan membran mengoptimalkan
kapiler-alveolar keseimbangan.
 Monitor respirasi
dan status O2

RespiratoryMonitoring
 Monitor rata –
rata, kedalaman,
irama dan usaha
respirasi
 Catat pergerakan
dada,amati
kesimetrisan,
penggunaan otot
tambahan,
retraksi otot
supraclavicular
dan intercostals
 Monitor suara
nafas, seperti
dengkur
 Monitor pola
nafas :
bradipena,
takipenia,
kussmaul,
hiperventilasi,
cheyne stokes,
biot
 Catat lokasi
trakea
 Monitor
kelelahan otot
diagfragma
(gerakan
paradoksis)
 Auskultasi suara
nafas, catat area
penurunan / tidak
adanya ventilasi
dan suara
tambahan
 Tentukan
kebutuhan
suction dengan
mengauskultasi
crakles dan
ronkhi pada jalan
napas utama
 auskultasi suara
paru setelah
tindakan untuk
mengetahui
hasilnya
3 Ketidakseimbangan nutrisi NOC : NIC :
kurang dari kebutuhan tubuh  Nutritional Status : Nutrition Management
food and Fluid Intake  Kaji adanya
Definisi : Intake nutrisi tidak Kriteria Hasil : alergi makanan
cukup untuk keperluan  Adanya peningkatan  Kolaborasi
metabolisme tubuh. berat badan sesuai dengan ahli gizi
dengan tujuan untuk
Batasan karakteristik  Berat badan ideal menentukan
 Berat badan 20 % sesuai dengan tinggi jumlah kalori
atau lebih di bawah badan dan nutrisi yang
ideal  Mampu dibutuhkan
 Dilaporkan adanya mengidentifikasi pasien.
intake makanan yang kebutuhan nutrisi  Anjurkan pasien
kurang dari RDA  Tidak ada tanda tanda untuk
(Recomended Daily malnutrisi meningkatkan
Allowance)  Tidak terjadi penurunan intake Fe
 Membran mukosa berat badan yang  Anjurkan pasien
dan konjungtiva berarti untuk
pucat meningkatkan
 Kelemahan otot yang protein dan
digunakan untuk vitamin
menelan/mengunyah  Berikan
 Luka, inflamasi pada substansi gula
rongga mulut  Yakinkan diet
 Mudah merasa yang dimakan
kenyang, sesaat mengandung
setelah mengunyah tinggi serat untuk
makanan mencegah
 Dilaporkan atau konstipasi
fakta adanya  makanan yang
kekurangan makanan terpilih ( sudah
 Dilaporkan adanya dikonsultasikan
perubahan sensasi dengan ahli gizi)
rasa  Ajarkan pasien
 Perasaan bagaimana
ketidakmampuan membuat catatan
untuk mengunyah makanan harian.
makanan  Monitor jumlah
 Miskonsepsi nutrisi dan
 Kehilangan BB kandungan kalori
dengan makanan  Berikan
cukup informasi
 Keengganan untuk tentang
makan kebutuhan nutrisi
 Kram pada abdomen  Kaji kemampuan
 Tonus otot jelek pasien untuk
 Nyeri abdominal mendapatkan
dengan atau tanpa nutrisi yang
patologi dibutuhkan
 Kurang berminat
terhadap makanan Nutrition Monitoring
 Pembuluh darah o BB pasien dalam
kapiler mulai rapuh batas normal
 Diare dan atau o Monitor adanya
steatorrhea penurunan berat
 Kehilangan rambut badan
yang cukup banyak o Monitor tipe dan
(rontok) jumlah aktivitas
 Suara usus hiperaktif yang biasa
 Kurangnya dilakukan
informasi, o Monitor interaksi
misinformasi anak atau
orangtua selama
Faktor-faktor yang makan
berhubungan o Monitor
 Ketidakmampuan lingkungan
pemasukan atau selama makan
mencerna makanan o Jadwalkan
atau mengabsorpsi pengobatan dan
zat-zat gizi tindakan tidak
berhubungan dengan selama jam
faktor biologis, makan
psikologis atau o Monitor kulit
ekonomi. kering dan
perubahan
pigmentasi
o Monitor turgor
kulit
o Monitor
kekeringan,
rambut kusam,
dan mudah patah
o Monitor mual
dan muntah
o Monitor kadar
albumin, total
protein, Hb, dan
kadar Ht
o Monitor
makanan
kesukaan
o Monitor
pertumbuhan dan
perkembangan
o Monitor pucat,
kemerahan, dan
kekeringan
jaringan
konjungtiva
o Monitor kalori
dan intake
nuntrisi
o Catat adanya
edema,
hiperemik,
hipertonik papila
lidah dan cavitas
oral.
o Catat jika lidah
berwarna
magenta, scarlet
BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

TB paru dapat terjadi dengan peristiwa sebagai berikut:

Ketika seorang klien TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak sengaja keluarlah
droplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau
suhu udara yang panas, droplet nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara
dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkolosis yang terkandung dalam
droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh orang sehat, maka orang itu
berpotensi terkena infeksi bakteri tuberkolosis.

SARAN

1. Hendaknya mewaspadai terhadap droplet yang dikeluarkan oleh klien dengan TB paru
karena merupakan media penularan bakteri tuberkulosis
2. Memeriksakan dengan segera apabila terjadi tanda-tanda dan gejala adanya TB paru.
3. Sebagai perawat hendaknya mampu memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan
rencana keperawatan pada penderita TB Paru.
DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo, Aruw. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.

Soeparman dan sarwono Waspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam jilid 2. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.

http://www.rajawana.com/artikel/kesehatan/264-tuberculosis-paru-tb-paru.html diakses pada


tanggal 16 November 2010

http://jarumsuntik.com/asuhan-keperawatan-dengan-tb-paru diakses pada tanggal 16 November


2010

S-ar putea să vă placă și