1.

Definition
Islamic philosophy is the systematic investigation of problems connected with life, the
universe, ethics, society, and so on as conducted in the Muslim world.
Early Islamic philosophy began in the 2nd century AH of the Islamic calendar (early 9th
century CE) and lasted until the 6th century AH (late 12th century CE). The period is known as
the Islamic Golden Age, and the achievements of this period had a crucial influence on the
development of modern philosophy and science; for Renaissance Europe, the influence
represented “one of the largest technology transfers in world history.”.[1] This period began with
al-Kindi in the 9th century and ended with Averroes (Ibn Rushd) at the end of 12th century. The
death of Averroes effectively marked the end of a particular discipline of Islamic philosophy
usually called the Peripatetic Arabic School, and philosophical activity declined significantly in
Western Islamic countries such as Islamic Spain and North Africa.
Philosophy persisted for much longer in the Eastern countries, in particular Persia and
India where several schools of philosophy continued to flourish: Avicennism, Illuminationist
philosophy, Mystical philosophy, and Transcendent theosophy. Ibn Khaldun, in his
Muqaddimah, made important contributions to the philosophy of history. Interest in Islamic
philosophy revived during the Nahda (awakening) movement in the late 19th and early 20th
centuries, and continues to the present day.
Terjemah:
Filsafat Islam merupakan penyelidikan sistematis dari masalah-masalah yang
berhubungan dengan kehidupan, alam semesta, etika, masyarakat, dan seterusnya seperti yang
dilakukan di dunia Muslim.
Filsafat Islam awal dimulai pada abad ke-2 AH Kalender Islam (abad ke-9 yang awal CE)
dan berlangsung sampai abad ke-6 AH (akhir abad ke-12 CE). Periode ini dikenal sebagai zaman
keemasan Islam, dan prestasi dari periode ini mempunyai pengaruh yang penting terhadap
perkembangan filsafat modern dan ilmu pengetahuan; selama Renaissance Eropa, pengaruh
mewakili "salah satu teknologi terbesar transfer dalam sejarah dunia.". [1] periode ini bermula
dengan al-Kindi pada abad ke-9 dan berakhir dengan Averroes (Ibn Rushd) pada akhir abad ke-
12. Kematian Averroes secara efektif menandai akhir dari disiplin khusus Filsafat Islam yang
biasanya disebut sekolah Arab bergerak, dan kegiatan filosofis yang berkurang secara signifikan
di barat negara-negara Islam seperti Spanyol Islam dan Afrika Utara. Filsafat bertahan untuk
banyak lagi di negara-negara Timur, di tertentu Persia dan India yang mana beberapa sekolah
falsafah terus berkembang: Avicennism, Illuminationist filsafat, falsafah berunsur mistik, dan
yang transenden theosophy. Ibnu Khaldun, di Muqaddimah nya, membuat kontribusi penting
bagi filosofi sejarah. Minat dalam filsafat dihidupkan kembali selama gerakan Nahda
(kebangkitan) pada akhir abad 19 dan awal abad 20, dan berlanjut sampai sekarang.
2. Introduction
By way of introduction Islamic philosophy refers to philosophy produced in an Islamic
society.
Islamic philosophy is a generic term that can be defined and used in different ways. In its
broadest sense it means the world view of Islam, as derived from the Islamic texts concerning the
creation of the universe and the will of the Creator. In another sense it refers to any of the
schools of thought that flourished under the Islamic empire or in the shadow of the Arab-Islamic
culture and Islamic civilization. In its narrowest sense it is a translation of Falsafa, meaning those
particular schools of thought that most reflect the influence of Greek systems of philosophy such
as Neoplatonism and Aristotelianism.
It is not necessarily concerned with religious issues, nor exclusively produced by
Muslims.[2]
Nor do all schools of thought within Islam admit the usefulness or legitimacy of
philosophical inquiry. Some argue that there is no indication that the limited knowledge and
experience of humans can lead to truth. It is also important to observe that, while "reason" ('aql)
is sometimes recognised as a source of Islamic law, this may have a totally different meaning
from "reason" in philosophy.
Islamic philosophy is a generic term that can be defined and used in different ways. In its
broadest sense it means the world view of Islam, as derived from the Islamic texts concerning the
creation of the universe and the will of the Creator. In another sense it refers to any of the
schools of thought that flourished under the Islamic empire or in the shadow of the Arab-Islamic
culture and Islamic civilization. In its narrowest sense it is a translation of Falsafa, meaning those
particular schools of thought that most reflect the influence of Greek systems of philosophy such
as Neoplatonism and Aristotelianism.
The historiography of Islamic philosophy is marked by disputes as to how the subject
should be properly interpreted. Some of the key issues involve the comparative importance of
eastern intellectuals such as Ibn Sina (Avicenna) and of western thinkers such as Ibn Rushd,[3]
and also whether Islamic philosophy can be read at face value or should be interpreted in an
esoteric fashion. Supporters of the latter thesis, like Leo Strauss, maintain that Islamic
philosophers wrote so as to conceal their true meaning in order to avoid religious persecution,
but scholars such as Oliver Leaman disagree.
Terjemah
Pendahuluan oleh cara pengenalan filsafat mengacu pada filsafat diproduksi dalam
masyarakat Islam.
 Filsafat Islam adalah istilah umum yang dapat ditetapkan dan digunakan dalam cara yang
berbeda. Dalam pengertiannya yang terluas itu berarti pandangan dunia Islam, sebagai berasal
dari teks-teks Islam tentang penciptaan alam semesta dan kehendak pencipta.
Dalam arti lain ia merujuk kepada salah satu sekolah pemikiran yang berkembang di
bawah Kekaisaran Islam atau dalam bayang-bayang budaya Arab-Islam dan peradaban Islam.
Dalam arti tersempit ini adalah terjemahan dari Falsafa, berarti sekolah-sekolah tertentu
pemikiran bahwa sebagian besar mencerminkan pengaruh Yunani sistem filsafat seperti
Neoplatonisme dan Aristotelianism. Itu tidak selalu berkaitan dengan masalah agama, juga
diproduksi oleh Muslim. [2] dan tidak semua sekolah pemikiran dalam Islam mengakui
kegunaan atau legitimasi penyelidikan filosofis. Beberapa berpendapat bahwa ada tidak ada
indikasi yang terbatas pengetahuan dan pengalaman manusia dapat mengarah pada kebenaran.
Hal ini juga penting untuk mengamati bahwa, sementara "alasan" ('aql) kadang-kadang dikenal
sebagai sumber hukum Islam, ini mungkin memiliki arti yang sama sekali berbeda dari "alasan"
dalam filsafat. Filsafat Islam adalah istilah umum yang dapat ditetapkan dan digunakan dalam
cara yang berbeda. Dalam pengertiannya yang terluas itu berarti pandangan dunia Islam, sebagai
berasal dari teks-teks Islam tentang penciptaan alam semesta dan kehendak pencipta. Dalam arti
lain ia merujuk kepada salah satu sekolah pemikiran yang berkembang di bawah Kekaisaran
Islam atau dalam bayang-bayang budaya Arab-Islam dan peradaban Islam. Dalam arti tersempit
ini adalah terjemahan dari Falsafa, berarti sekolah-sekolah tertentu pemikiran bahwa sebagian
besar mencerminkan pengaruh Yunani sistem filsafat seperti Neoplatonisme dan Aristotelianism.
Historiografi filsafat ditandai oleh perselisihan mengenai bagaimana subjek harus benar
ditafsirkan. Beberapa isu kunci melibatkan pentingnya perbandingan Timur intelektual seperti
Ibn Sina (Avicenna) dan Barat pemikir seperti Ibn Rushd, [3] dan juga Apakah Filsafat Islam
dapat dibaca pada nilai nominal atau harus ditafsirkan dalam mode Esoterik. Pendukung dari
tesis yang kedua, seperti Leo Strauss, mempertahankan bahwa filsuf Islam menulis untuk
menyembunyikan makna untuk menghindari penganiayaan agama sejati mereka, tapi para
cendekiawan seperti Oliver Leaman tidak setuju. [4]
3. Formative influences
Islamic philosophy as the name implies refers to philosophical activity within the Islamic
milieu. The main sources of classical or early Islamic philosophy are the religion of Islam itself
(especially ideas derived and interpreted from the Quran) and Greek philosophy which the early
Muslims inherited as a result of conquests, along with pre-Islamic Indian philosophy and Persian
philosophy. Many of the early philosophical debates centered around reconciling religion and
reason, the latter exemplified by Greek philosophy.
Terjemah
Filsafat Islam formatif pengaruh seperti namanya mengacu pada filosofis aktivitas dalam
Islam. Sumber utama dari klasik atau awal Filsafat Islam adalah agama Islam itu sendiri
(terutama ide berasal dan ditafsirkan dari Al-Qur'an) dan falsafah Yunani yang mewarisi umat
Islam sebagai akibat dari penawanan, pra-Islam filosofi India dan filosofi Persia. Banyak dari
awal perdebatan filosofis yang berpusat di sekitar mendamaikan agama dan alasan, yang kedua
dicontohkan oleh falsafah Yunani.
4. Opposition to philosophy
Some Muslims oppose the idea of philosophy as un-Islamic. The popular Salafist website
IslamQA.info (supervised by Shaykh Muhammad Saalih al-Munajjid of Saudi Arabia) declares
philosophy to be an "alien entity":
The terminology of Islamic philosophy did not emerge as a branch of knowledge that is
taught in the curriculum of Islamic studies until it was introduced by Shaykh Mustafa ‘Abd al-
Razzaaq – the Shaykh of al-Azhar – as a reaction to western attacks on Islam based on the idea
that Islam has no philosophy. But the fact of the matter is that philosophy is an alien entity in the
body of Islam.[5]
The fatwa claims that "the majority of fuqaha’ [experts in fiqh] have stated that it is
haraam to study philosophy, and lists some of these:
Ibn Nujaym (Hanafi) writing in al-Ashbaah wa’l-Nazaa’im;
al-Dardeer (Maaliki) said in al-Sharh al-Kabeer;
Al-Dasooqi in his Haashiyah (2/174);
Zakariya al-Ansaari (Shaafa’i) in Asna al-Mataalib (4/182);
al-Bahooti (Hanbali) said in Kashshaaf al-Qinaa’ (3/34);
IslamQA quotes Al-Ghazali who declares that of the "four branches" of philosophy
(geometry and mathematics, logic, theology, and natural sciences), some of the natural sciences
"go against shari’ah, Islam and truth", and that except for medicine, "there is no need for the
study of nature".[6][5]
 Maani’ Hammad al-Juhani, (a member of the Consultative Council and General Director,
World Assembly of Muslim Youth)[7] is quoted as declaring that because philosophy does not
follow the moral guidelines of the Sunnah, "philosophy, as defined by the philosophers, is one of
the most dangerous falsehoods and most vicious in fighting faith and religion on the basis of
logic, which it is very easy to use to confuse people in the name of reason, interpretation and
metaphor that distort the religious texts".[8][5]
Ibn Abi al-Izz, a commentator on al-Tahhaawiyyah, condemns philosophers as the ones
who "most deny the Last Day and its events. In their view Paradise and Hell are no more than
parables for the masses to understand, but they have no reality beyond people’s minds."[5]
Terjemah
Oposisi terhadap filsafat beberapa Muslim menentang gagasan filsafat sebagai tidak
Islami. Atas Salafis yang populer situs Islam QA.info (diawasi oleh Syekh Muhammad Saleh al-
Munajjid Saudi Arabia) menyatakan filsafat menjadi "entitas asing": terminologi Filsafat Islam
tidak tidak muncul sebagai cabang ilmu yang diajarkan dalam kurikulum Islam sampai
diperkenalkan oleh Syekh Mustafa ' Abdurrazzaq telah – Syekh al-Azhar – sebagai reaksi
terhadap serangan Barat terhadap Islam didasarkan pada gagasan bahwa Islam telah tanpa
filsafat. Tetapi faktanya adalah bahwa filsafat adalah entitas asing dalam tubuh Islam. [5] fatwa
mengklaim bahwa "mayoritas ahli fiqih ' [ahli fiqih] telah menyatakan bahwa hal itu adalah
Haram belajar filsafat, dan daftar beberapa diantaranya: Ibn Nujaym (Hanafi) menulis dalam al-
Ashbaah dan-Nazaa'im; Al-Dardeer (Maliki sebagaima) mengatakan dalam al-Kitab al-Kabir; -
Dasuuqi di Haashiyah nya (2/174); Zakariya al-Ansaari (Syafi'i) di Asna al-buku, Mathalib
(4/182); (Hambali) Al-Bahooti berkata dalam Kashshaaf al-Qinaa' (3/34); (Islamqa.com)
memetik Al-Ghazali, yang menyatakan bahwa "empat cabang" filsafat (geometri dan
matematika, logika, teologi, dan ilmu pengetahuan alam), beberapa ilmu-ilmu alam "pergi
terhadap Syariah, Islam dan kebenaran", dan bahwa kecuali untuk obat-obatan, "ada tidak perlu
untuk studi alam". [6] [5]
Maani' Hammad al-Juhani, (anggota Dewan Penasehat dan Direktur Umum, World
Assembly of Muslim Youth) [7] dikutip menyatakan bahwa karena filsafat tidak mengikuti
pedoman moral Sunnah, "filsafat, seperti yang didefinisikan oleh para filsuf, salah satu
kebohongan paling berbahaya dan paling kejam dalam memerangi iman dan agama berdasarkan
logika yang sangat mudah digunakan untuk membingungkan orang-orang dalam nama alasan,
interpretasi dan metafora yang mendistorsi teks-teks agama ". [8] [5] bin Abi al-Izz, seorang
komentator pada al-Tahhaawiyyah, mengutuk filsuf sebagai orang-orang yang "paling
menyangkal hari terakhir dan peristiwa. Dalam pandangan mereka surga dan neraka adalah tidak
lebih dari perumpamaan untuk massa untuk mengerti, tetapi mereka memiliki tanpa realitas di
luar pikiran orang." [5]