Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
7.11. ábra - Figure. Aerobic respiration, denitrification, iron and manganese reduction,
and sulfate reduction result in generation of carbon dioxide. Source: EPA
Generally, electron acceptors and nutrients are the two most critical components of any
delivery system. In a typical in-situ bioremediation system, groundwater is extracted using
one or more wells and, if necessary, treated to remove residual dissolved constituents. The
treated groundwater is then mixed with an electron acceptor and nutrients, and other
constituents if required, and re-injected upgradient of or within the contaminant source. This
ideal system would continually recirculate the water until cleanup levels had been achieved.
If your state does not allow re-injection of extracted groundwater, it may be feasible to mix
the electron acceptor and nutrients with fresh water instead. Extracted water that is not re-
injected must be discharged, typically to surface water or to publicly owned treatment works.
7.14. ábra - Figure. Phytoremediation of oil field using native poplars and willows
Guadal. Source:Guadalupe restoration project USA
7.15. ábra - Figure. Plants used in phytoremediation. Source Annette et al., 2001.
Calculation:
Have to calculate nutrition reqirement on TPH polluted site by land farming project:
The mass of contaminated soil is equal to the product of volume andbulk density: 1,75x 106 T
The mass of the contaminant (and carbon) is equal to the product of the mass of contaminated
soil and the average TPH concentration in the contaminated soil:
Using the C:N:P ratio of 100:10:1, the required mass of nitrogen would be 1750 kg, and the
required mass of phosphorus would be 175. After converting these masses into concentration
units
(mg/kg for nitrogen and mg/kg for phosphorus), they can becompared with the results of the
soil analyses to determine if nutrientaddition is necessary. If nitrogen addition is necessary,
slow releasesources should be used. Nitrogen additions can lower soil pH, dependingon the
amount and type of nitrogen added.
Bioremediasi Cemaran Minyak dengan Teknik Biopile
Pengertian Bioremediasi
Remediasi adalah tindakan untuk memulihkan kembali suatu keadaan lingkungan yang telah
tercemar. Bila di dalam remediasi digunakan organisme hidup, maka teknik itu disebut
bioremediasi. Dalam pengertian yang lebih sempit, bioremediasi secara khusus digunakan
bagi teknik yang memanfaatkan mikroba di dalam remediasi. Bila agensia biologi yang
digunakan adalah tumbuhan, maka teknologinya disebut fitoremediasi. Bioremediasi
dianggap sebagai alternatif yang lebih murah. Oleh karena itu bioremediasi, baik secara
sendiri maupun kombinasi dengan metode lain, telah berkembang dan makin banyak
digunakan dalam pemulihan air dan tanah tercemar.
Bioremediasi cemaran minyak antara lain dilakukan dengan teknik biopile, landfarming,
composting, dsb. Intinya adalah memanfaatkan mikroba untuk menguraikan bahan-bahan
pencemar, dalam hal ini hidrokarbon minyak, yang terkandung di dalam tanah, lumpur, pasir,
dan sebagainya, menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak berbahaya.
Biopile juga dikenal sebagai biocells, bioheaps, biomounds, dan compost pile. Teknologi ini
dilakukan dengan menumpuk tanah-tanah yang terkontaminasi dan menstimulasi aktivitas
mikroba dengan memperhatikan aerasinya, menambahkan nutrisi-nutrisi, menjaga
kelembaban, dan perlakukan-perlakuan yang lain untuk meningkatkan aktivitas mikroba
dalam mendegradasi senyawa-senyawa pencemar hidrokarbon dari minyak.
Dibanding dengan teknik-teknik bioremediasi yang lain, teknik biopile menawarkan beberapa
keunggulan atau keuntungan, di antaranya:
1. Waktu proses biodegradasi (untuk mencapai target 1% sesuai peraturan yang berlaku)
lebih cepat dibanding beberapa teknik yang lain. Teknik biopile memerlukan waktu sekitar
1,5 – 2 bulan (a.l. tergantung jenis cemaran minyak), lebih cepat dibanding beberapa teknik
yang lain yang rata-rata memerlukan waktu 6 bulan.
2. Lahan yang diperlukan lebih sedikit. Hal ini karena tanah tercemar, setelah dicampur
dengan bahan-bahan lain yang diperlukan, dapat ditumpuk setinggi 1,5-3 meter. Hal ini
dimungkinkan karena dilengkapai sistem aerasi aktif. Sementara, ketinggian maksimal
tumpukan tanah pada teknik yang lain tanpa aerasi aktif hanya 30 cm.
3. Proses bioremediasi dengan teknik biopile dapat lebih terkontrol dibanding beberapa
teknik bioremediasi yang lain.
R&D di BTL-BPPT
Riset dan pengembangan teknik biopile terus dilakukan di Lab. Mikrobiologi dan Lab. Proses
dan Bioremediasi, Balai Teknologi Lingkungan. Fokus R&D teknik biopile adalah mencari
dan menguji mikroba unggul pendegradasi cemaran minyak dan optimasi proses.
R&D yang dilakukan antara lain untuk menguji pengaruh dan mencoba penambahan nutrisi,
penambahan surfaktan, penambahan mikroba, dan bulking agent terhadap efisiensi degradasi
cemaran minyak. Uji coba dilakukan untuk mendegradasi berbagai macam cemaran minyak.
R&D ini didukung oleh Lab. Analitik dan Lab. Ekotoksikologi terkait dengan analisa hasil
degradasi dan uji toksikologi hasil pengolahan.
Teknik biopile untuk bioremediasi cemaran minyak telah diaplikasikan dengan sukses di
salah satu partner BPPT di Riau, di sebuah CLTS (Centralized Land Treatment Site) yang
merupakan tempat penampungan dan pengolahan tanah atau bahan padat lain yang
terkontaminasi hidrokarbon (minyak). Tanah yang diolah dengan teknik biopile ini adalah
tanah, pasir, atau lumpur yang mengandung minyak yang berasal dari berbagai sumber, a.l.
dari proses pengeboran (drilling mud dan cutting), tumpahan minyak, sludge minyak, dsb.