Sunteți pe pagina 1din 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pembesaran prostat jinak atau lebih dikenal sebagai BPH (Benign Prostatic
Hyperplasia) sering ditemukan pada pria yang memasuki usia lanjut. Istilah BPH atau benign
prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia
sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat.1,2,3
Suatu penelitian menyebutkan bahwa prevalensi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
yang bergejala pada pria berusia 40 – 49 tahun mencapai hampir 15%. Angka ini meningkat
dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50 – 59 tahun prevalensinya mencapai hampir
25% dan pada usia 60 tahun mencapai angka sekitar 43%. Angka kejadian BPH di Indonesia
sebagai gambaran hospital prevalensi di dua Rumah Sakit besar di Jakarta yaitu RSCM dan
Sumberwaras selama 3 tahun (1994–1999) adalah 1040 kasus.1
Colok dubur atau Rectal Toucher merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien
BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan
adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya
pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda
dari keganasan prostat. Adanya BPH ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran
kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan berbagai cara mulai dari tindakan
yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling berat
yaitu pembedahan.1
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang mengganggu
aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat yang menyebabkan
terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet
obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat
disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat
menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi
pada saluran kemih atas maupun bawah.1

1
BAB II
STATUS PASIEN

2.1. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. Lugio
Umur / Tanggal Lahir : 67 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Cahya Maju
Pekerjaan : Petani
Nomor Rekam Medis : 00.05.62

2.2. ANAMNESIS
Autoanamnesis dengan pasien pada hari Jumat tanggal 13 April 2018 pukul 10.00 WIB.

Keluhan Utama : Sulit buang air kecil


Keluhan Tambahan : Benjolan pada lipat paha kanan sampai ke kemaluan

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang ke Poli Bedah RSUD Kayuagung dengan keluhan sulit BAK
sejak 1 hari yang lalu. BAK dirasakan sedikit sehingga tidak puas dan terkadang
menetes. Saat berkemih pasien merasakan nyeri pada kemaluannya. Pasien mengaku
sering harus bangun untuk buang air kecil pada malam hari (4-5 kali). Riwayat
mengedan lama saat BAK disangkal. Riwayat berkurangnya pancaran urin disangkal.
Riwayat tidak dapat menahan miksi disangkal. Demam disangkal, nyeri pinggang tidak
ada. BAK berwarna kuning tanpa disertai darah dan tanpa adanya pasir. Pasien berobat
ke Puskesmas terdekat dan dipasang selang kencing.
Kisaran ± 2 tahun yang lalu, pasien mengeluh timbul benjolan sebesar kelereng
yang hilang timbul pada lipat paha kanan. Benjolan terlihat jelas terlihat saat pasien
bekerja, mengangkat barang, saat pasien batuk keras atau saat sedang mengedan.
Benjolan masuk kembali saat pasien berbaring. Benjolan semakin lama bertambah
besar dan sampaia ke buah zakar. Nyeri tidak ada, kemerahan pada benjolan tidak ada,
mual tidak ada, muntah tidak ada, dan BAB seperti biasa. Pasien tidak berobat.

2
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat batuk lama disangkal
 Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
 Riwayat kencing manis disangkal
 Riwayat alergi/asma disangkal

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


 Riwayat sulit BAK dan benjolan di kemaluan pada keluarga disangkal

Riwayat Pengobatan
 Riwayat operasi saat usia 5 tahun
 Riwayat penggunaan obat-obatan disangkal

Riwayat Trauma
 Riwayat trauma disangkal

Riwayat Kebiasaan
 Riwayat menahan kencing terlalu lama disangkal
 Riwayat rutin mengkonsumsi kopi
 Riwayat konsumsi alkohol disangkal
 Riwayat melakukan hubungan seksual dalam 2 hari terakhir

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 90 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Napas : 22 x/menit
Suhu : 36,6°C
SpO2 : 98%

3
Keadaan Spesifik
Kepala
- Bentuk : Simetris, Normosefali
- Rambut : Tebal, warna hitam
- Mata : Pupil isokor (+), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
- Hidung : Sekret (-), napas cuping hidung (-)
- Telinga : Sekret (-), otore (-)
- Mulut : Sianosis (-), edema (-), mulut kering (-), cheilitis (-)
- Tenggorokan : Faring hiperemis (-), Tonsil T1-T1, uvula di tenga
- Leher : Pembesaran KGB (-)

Thoraks
Paru-paru
- Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi (-/-)
- Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri
- Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
- Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi : Datar, venektasi (-), umbilicus tidak menonjol
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : Lemas, hepar-lien tidak teraba, ballotement (-/-)
- Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)

Genitalia
- Pembesaran KGB (-), testis (+)/(+)
- Regio genitalia dextra:
Inspeksi : massa ukuran 10 x 6 cm, warna sama dengan sekitar,
Palpasi : hangat (-), konsistensi kenyal, nyeri tekan (-). Massa dapat

4
dimasukkan kembali.

Ekstremitas
- Akral pucat (-/-), CRT < 3 detik

Perianal
- Inspeksi : tidak terdapat massa/benjolan
- Rectal toucher : tonus spichter ani baik, mukosa rektum licin, ampula recti
tidak kolaps, teraba massa arah jam 11-1 ukuran 1-2 cm
(konsistensi kenyal, batas tegas, permukaan rata licin, simetris,
nodul tidak ada), pole atas teraba, nyeri (-), lendir (-), feses
(+), darah (-)

2.4. DIAGNOSIS BANDING


 Benign Prostatic Hyperplasia
 Kanker prostat
 Striktur uretra

2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Transabdominal Ultrasonography (TAUS)

2.6. DIAGNOSIS KERJA


Benign Prostatic Hyperplasia + hernia scrotalis dextra

2.7. TATALAKSANA
- Edukasi
(1) jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol
(2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli
(kopi/coklat)
(3) jangan menahan kencing terlalu lama
- Medikamentosa
Tamsulosin 1 x 1 kapsul pagi hari
- Jika keluhan tidak membaik atau semakin parah  pertimbangkan TURP

5
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Kelenjar Prostat


Kelenjar prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-
buli dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4 x
3 x 2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram pada orang dewasa. Kelenjar ini terdiri
atas jaringan fibromuskular yang mengelilingi uretra pars prostatika. Bila mengalami
pembesaran, organ ini menekan uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya
aliran urin keluar dari buli-buli. Kelenjar prostat terbagi dalam beberapa zona, antara lain
zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona
periuretra. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional, sedangkan
pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.4

Gambar 1. Alat Reproduksi Pria

Kelenjar prostat terbagi atas 5 lobus:3


a. 1 lobus medius
b. 2 lobus lateralis
c. 1 lobus anterior
d. 1 lobus posterior

6
Pada kelenjar prostat juga dibagi dalam 5 zona:3
a. Zona anterior atau ventral
Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma fibromuskular.
Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.
b. Zona perifer
Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar prostat. Zona
ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal karsinoma terbanyak.
c. Zona sentralis
Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus tengah meliputi
25% massa glandular prostat. Zona ini resisten terhadap inflamasi.
d. Zona transisional
Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai kelenjar
preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu kurang lebih 5% tetapi
dapat melebar bersama jaringan stroma fibromuskular anterior menjadi benign
prostatic hyperplasia (BPH).
e. Kelenjar periuretra
Bagian ini terdiri dari duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar abortif tersebar
sepanjang segmen uretra proksimal.

Gambar 2. Zona Kelenjar Prostat

7
Vaskularisasi kelenjar prostat yang utama berasal dari arteri vesikalis inferior
(cabang dari arteri iliaka interna). Arteri hemoroidalis media (cabang dari arteri
mesenterium inferior) dan arteri pudenda interna (cabang dari arteri iliaka interna).
Cabang-cabang dari arteri tersebut masuk melewati basis prostat di vesico prostatic
junction. Darah vena prostat dialirkan ke dalam pleksus vena periprostatika yang
berhubungan dengan vena dorsalis penis, kemudian dialirkan ke vena iliaka interna yang
juga berhubungan dengan pleksus vena presakral.3
Aliran limfe dari kelenjar prostat membentuk pleksus di peri prostat yang
kemudian bersatu untuk membentuk beberapa pembuluh utama, yang menuju ke kelenjar
limfe iliaka interna, iliaka eksterna, obturatoria dan sakral. Sekresi dan motor yang
mempersarafi prostat berasal dari pleksus simpatikus dari hipogastrikus dan medula
sakral III – IV dari pleksus sakralis.3

2.2. Definisi
Benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah keadaan kelenjar periuretral prostat
mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer. Selain
itu, BPH merupakan pembesaran kelenjar prostat yang bersifat jinak yang biasanya
timbul pada laki-laki usia pertengahan atau lanjut.4

Gambar 3. Benign Prostatic Hyperplasia

2.3. Etiologi
Hingga sekarang, penyebab BPH masih belum dapat diketahui secara pasti, tetapi
beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan peningkatan kadar

8
dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai
penyebab timbulnya hiperplasia prostat:4
1. Teori dihidrotestosteron
Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon testosteron. Dimana
pada kelenjar prostat, hormon ini akan dirubah menjadi metabolit aktif
dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5 α–reduktase. DHT inilah yang
secara langsung memicu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis
protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat. Pada berbagai
penelitian, aktivitas enzim 5 α–reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak
pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat menjadi lebih sensitif terhadap DHT
sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang makin tua, kadar testosteron makin menurun, sedangkan kadar
estrogen relatif tetap, sehingga perbandingan estrogen : testosteron relatif meningkat.
Estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat
dengan cara meningkatkan sensitivitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon
androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian
sel-sel prostat (apoptosis). Akibatnya, dengan testosteron yang menurun merangsang
terbentuknya sel-sel baru, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang
lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar. Studi in vivo pada
pengebirian anjing, yang secara signifikan mengurangi tingkat androgen tetapi tingkat
estrogen tidak berubah, menyebabkan atrofi signifikan dari prostat.
3. Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel-sel epitel prostat
secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth
factor). Setelah sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel
stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel stroma itu
sendiri, yang menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun stroma.
4. Berkurangnya kematian sel prostat
Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik homeostatis kelenjar
prostat. Pada jaringan nomal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis menyebabkan
jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga mengakibatkan
pertambahan massa prostat. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat

9
proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas
kematian sel kelenjar prostat.
5. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru.
Dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini bergantung pada hormon androgen,
dimana jika kadarnya menurun (misalnya pada kastrasi/kebiri), menyebabkan
terjadinya apoptosis. Sehingga terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH diduga sebagai
ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma
maupun sel epitel.

2.4. Patofisiologi

Gambar 4. Penyulit BPH pada Saluran Kemih

10
Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional, sedangkan
pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Pembesaran prostat
menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urine.
Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan
urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang
terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan
struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran
kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal
dengan gejala prostatimus.4
Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter.
Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis,
bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.4

Hiperplasia prostat

Penyempitan lumen uretra posterior

Peningkatan tekanan intravesikal

Buli-buli Ginjal dan Ureter


Hipertrofi otot Refluks vesiko-ureter
detrusor Hidroureter
Trabekulasi Hidronefrosis
Selula Pionefrosis
Divertikel buli-buli Gagal ginjal

Gambar 5. Bagan Pengaruh Hiperplasia Prostat pada Saluran Kemih1

Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak hanya


disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga
disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot

11
polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal
dari nervus pudendus.4
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Kalau pada
prostat normal rasio stroma dibanding epitel adalah 2:1, pada BPH, rasionya meningkat
menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot polos prostat
dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan
obstruksi komponen statik sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen
dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat.4

2.5. Manifestasi Klinis


Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun di luar
saluran kemih.4
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)
Pada umumnya, pasien BPH datang dengan gejala traktus urinarius bawah (lower
urinary tract symptoms – LUTS) yang terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi.5

Tabel 1. Gejala Obstruksi dan Iritasi Benigna Prostat Hiperplasia5


Gejala Obstruksi (Voiding) Gejala Iritasi (Storage)
Intermittency (miksi terputus) Frequency (miksi >8x/hari)
Hesitancy (saat miksi harus menunggu Urgency (tidak dapat menahan saat
sebelum urin keluar) ingin miksi)
Straining (harus mengejan saat mulai miksi) Nocturia (terbangun malam hari
untuk miksi >2x)
Weak stream (berkurangnya kekuatan dan Urge incotinence (urin keluar di luar
pancaran urin) kehendak)
Emptying incomplete (miksi tidak puas) Disuria (nyeri saat miksi)
Terminal dribbling (menetes pada akhir
miksi)

Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih bagian bawah,
beberapa ahli/organisasi urologi membuat sistem skoring yang secara subjektif dapat
diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh WHO
adalah International Prostatic Symptom Score (I-PSS).4

12
Tabel 2. Sistem Skor IPSS5
Gejala dalam 1 bulan Tidak Kurang Kurang Kadang- Lebih Hampir
terakhir pernah dari sekali dari kadang dari selalu
dalam 5 setengah (sekitar setengah
hari 50%)
Incomplete emptying 0 1 2 3 4 5
Seberapa sering Anda
merasa ada sisa selesai
kencing?
Frequency 0 1 2 3 4 5
Seberapa sering Anda harus
kembali kencing dalam
waktu kurang dari 2 jam
setelah selesai kencing?
Intermittency 0 1 2 3 4 5
Seberapa sering Anda
mendapatkan bahwa Anda
kencing terputus-putus?
Urgency 0 1 2 3 4 5
Seberapa sering Anda
merasa sulit untuk menahan
kencing Anda?
Weak stream 0 1 2 3 4 5
Seberapa sering pancaran
kencing Anda lemah?
Straining 0 1 2 3 4 5
Seberapa sering Anda harus
mengejan untuk mulai
kencing?
Tidak 1 kali 2 kali 3 kali 4 kali 5 kali
pernah
Nocturia 0 1 2 3 4 5
Seberapa sering Anda harus
bangun untuk kencing, sejak
mulai tidur pada malam hari
hingga bangun di pagi hari?
Interpretasi:
Jika total IPSS 0-7: simtomatis ringan; 8-19: simtomatis sedang; 20-35: simtomatis berat

Kualitas hidup akibat keluhan berkemih


Senang Senang Pada Campur: Pada Tidak Buruk
sekali umumnya antara umumnya senang sekali
puas puas atau tidak puas
tidak
Seandainya Anda
harus
menghabiskan sisa
hidup dengan
fungsi kencing
0 1 2 3 4 5 6
seperti saat ini,
bagaimana
perasaan Anda?
Kesimpulan: S___, L___, Q___, R___, V___
(S: Skor I-PSS, L: Kualitas hidup, Q: Pancaran urin dalam ml/detik, R: sisa urin, V: volume
prostat)

13
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk
mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatique)
sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi
urin akut. Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya didahului oleh beberapa faktor
pencetus, antara lain:4
(1) volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh, yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing
terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung
diuretikum (alkohol, kopi), dan minum air dalam jumlah yang berlebihan,
(2) massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau
mengalami infeksi prostat akut, dan
(3) setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot
detrusor atau yang dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain: golongan
antikolinergik atau adrenergik alfa.

b. Gejala pada saluran kemih bagian atas


Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa
gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan
tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau
urosepsis.4

c. Gejala di luar saluran kemih


Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi
sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra-abdominal. Pada pemeriksaan
fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di
daerah supra simfisis akibat retensi urin. Kadang-kadang didapatkan urin selalu
menetes tanpa disadari oleh pasien yang merupakan pertanda inkontinensia
paradoksal. Pada colok dubur diperhatikan:4
(1) Tonus sfingter ani/refluks bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan adanya
kelainan buli-buli neurologik,
(2) Mukosa rektum, dan
(3) Keadaan prostat, antara lain:
 Nodul

14
 Krepitasi (batu prostat)
 Konsistensi prostat
 Simetri antar lobus
 Batas prostat

Gambar 6. Pemeriksaan Colok Dubur

Colok dubur pada pembesaran prostat benigna menunjukkan konsistensi prostat


kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak
didapatkan nodul; sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat keras/teraba
nodul dan mungkin di antara lobus prostat tidak simetri.4 Adapun pemeriksaan
kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini:
1. Rectal grading (dilakukan pada vesika urinaria kosong)6
Berdasarkan penonjolan prostat ke rektum
 Grade 0: penonjolan 0-1 cm
 Grade 1: penonjolan 1-2 cm
 Grade 2: penonjolan 2-3 cm
 Grade 3: penonjolan 3-4 cm
 Grade 4: penonjolan 4-5 cm

Berdasarkan teraba atau tidaknya pole atas


 Grade 1: pole atas mudah dicapai
 Grade 2: pole atas dapat dicapai tetapi sulit

15
 Grade 3: pole atas hanya teraba pada rectal touche bimanual
 Grade 4: pole atas tidak teraba

2. Clinical grading6
Banyaknya sisa urin diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur setelah miksi
spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar
dengan kateterisasi.
 Normal: sisa urin 0 cc
 Grade 1: sisa urin 0-50 cc
 Grade 2: sisa urin 50-150 cc
 Grade 3: sisa urin > 150 cc
 Grade 4: retensi total

2.6. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
 Prostate specific antigen (PSA)5
Bersifat spesifik organ tetapi tidak spesifik kanker. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan untuk menilai perjalanan penyakit BPH selanjutnya. Kadar PSA yang
lebih tinggi dapat berarti laju pertumbuhan volume prostat yang lebih cepat,
keluhan akibat BPH lebih berat, atau lebih mudah terjadi retensi urin akut. Rentang
normal nilai PSA adalah:
- 40-49 tahun: 0-2,5 ng/mL;
- 50-59 tahun: 0-3,5 ng/mL;
- 60-69 tahun: 0-4,5 ng/mL;
- 70-79 tahun: 0-6,5 ng/mL;
Nilai PSA >4 ng/mL merupakan indikasi tindakan biopsi prostat.
 Sedimen urin4
Mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada saluran kemih
 Kultur urin4
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menetukan
sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan
 Faal ginjal4
Mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas

16
 Gula darah4
Mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes melitus yang dapat menimbulkan
kelainan persarafan pada buli-buli

b. Pemeriksaan Patologi Anatomi


BPH dicirikan oleh berbagai kombinasi dari hiperplasia epitel dan stroma di prostat.
Beberapa kasus menunjukkan proliferasi halus otot hampir murni, meskipun
kebanyakan menunjukkan pola fibroadenomyomatous hyperplasia.5

Gambar 7. Gambaran Mikroskopik BPH

c. Pencitraan
 Transrectal/Transabdominal Ultrasonography (TRUS/TAUS)
Dari TAUS diharapkan mendapat informasi mengenai:4
(1) Perkiraan volume (besar) prostat
(2) Panjang protrusi prostat ke buli-buli atau intra prostatic protrusion (IPP)
(3) Mungkin didapatkan kelainan pada buli-buli (massa, batu, atau bekuan darah)
(4) Menghitung sisa (residu) urin pasca miksi
(5) Hidronefrosis atau kerusakan ginjal akibat obstruksi prostat
Pada pemeriksaan TRUS dicari kemungkinan adanya fokus keganasan prostat
berupa area hipoekoik dan kemudian sebagai penunjuk dalam melakukan biopsi
prostat.4
IPP diukur dari ujung tonjolan (protrusi) prostat di dalam buli-buli hingga dasar
(basis) sirkumferensi buli-buli. Derajat 1 besarnya 1,5 mm, derajat 2 besarnya 5-10
mm, dan derajat 3 besarnya 10 mm. Besarnya IPP berhubungan dengan derajat

17
obstruksi pada leher buli-bulli (BOO), jumlah urin sisa pasca miksi, dan volume
prostat. Artinya adalah pasien dengan derajat IPP rendah, tidak menunjukkan
keluhan yang nyata, sehingga tidak memerlukan terapi atau pembedahan.
Sebaliknya pada pasien yang menunjukkan IPP derajat tinggi terbukti mempunyai
urin sisa >100 mL, dengan keluhan yang bermakna dan pasien seperti ini
membutuhkan terapi yang agresif.4
 Foto polos abdomen
Berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa
prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi
urin, yang merupakan tanda dari suatu retensi urin.4
 IVU (Intravenous Uretrography)
Pemeriksaan IVU dapat menerangkan kemungkinan adanya:4
(1) Kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis
(2) Memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya
indentasi prostat, yaitu pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat sehingga
terlihat dasar buli-buli dari gambaran sistogram tidak terisi kontras atau ureter
di sebelah distal yang berbentuk seperti mata kail atau hooked fish
(3) Penyulit yang terjadi pada buli-buli, yaitu adanya trabekulasi, divertikel, atau
sakulasi buli-buli
Pemeriksaan ini sekarang tidak direkomendasikan pada BPH.

d. Pemeriksaan Lain
 Pancaran urin (flow rate)5
Dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan menghitung jumlah urin dibagi
dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang
menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Pemeriksaan yang lebih teliti adalah
dengan pemeriksaan urodinamika yang sekaligus dapat menilai tekanan otot
detrusor maupun komponen otot lain yang berperan pada proses miksi. Dari
uroflometri dapat diketahui lama proses miksi, laju pancaran, waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan volume urin yang
dikemihkan.

18
 Residual urin4
Derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur residual urin
yang merupakan jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin ini dapat dihitung dengan
cara melakukan kateterisasi setelah miksi. Cara itu sekarang banyak ditinggalkan
karena menimbulkan nyeri dan cedera uretra atau infeksi. Saat ini residual urin
diukur dengan pemeriksaan ultrasonografi atau bladder scan setelah miksi.

2.7. Diagnosis Banding5


 BPH
 Striktur uretra
 Kontraktur leher kandung kemih
 Batu buli
 Kanker prostat
 Penurunan kontraktilitas kandung kemih

2.8. Tata Laksana


Tidak semua pasien BPH perlu menjalani tindakan medik. Kadang-kadang mereka
yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun
atau hanya dengan nasihat dan konsultasi saja. Namun di antara mereka akhirnya ada
yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena
keluhannya semakin parah.4
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan
miksi, (2) meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4)
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu urin
setelah miksi, dan (6) mencegah progresivitas penyakit. Hal ini dapat dicapai dengan
medikamentosa, pembedahan atau tindakan endourologi yang kurang invasif. 4

Tabel 3. Pilihan Terapi pada BPH4


Observasi Medikamentosa Pembedahan Invasif Minimal
Watchful Penghambat adrenergik-α Prostatektomi terbuka Termoterapi
waiting Penghambat reduktase-α Endourologi - TUNA
- TURP - HIFU
- TUIP Stent uretra

19
Watchful waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7,
yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak
mendapatkan terapi apapun namun hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang
mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan mengkonsumsi kopi atau
alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang
mengiritasi buli-buli (kopi/cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang
mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin, dan (5) jangan
menahan kencing terlalu lama.4
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya keluhannya
apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku), disamping itu
dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi
bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu dipikirkan terapi yang lain.4

Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi resistensi
otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan
obat-obatan penghambat adrenergik alfa (adrenergik alfa blocker) dan (2) mengurangi
volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-reduktase.4
1) Penghambat reseptor adrenergik-α 1 selektif
Sebuah komponen penting dari LUTS sekunder akibat BPH diyakini terkait
dengan ketegangan otot polos di stroma prostat, uretra, dan leher kandung kemih.
Ketegangan otot polos diperantarai oleh reseptor alpha-1-adrenergik. Oleh karena itu,
agen reseptor-blocking alpha-1-adrenergic secara teoritis menurunkan daya tahan
sepanjang leher kandung kemih, prostat, dan uretra dengan relaksasi otot polos dan
melancarkan aliran urin.4
Contoh obat: prazosin 2 x 1-2 mg; tamsulosin 1 x 0,2 – 0,4 mg; terazosin dan
doksazosin (diberikan 1 kali per hari). Efek samping: hipotensi postural, dizziness,
atau astenia. Efek samping sistemik paling ringan ditunjukkan oleh obat tamsulosin,
yang memiliki sifat sangat selektif terhadap reseptor α1A. Dibutuhkan titrasi dosis
sebelum penggunaan, kecuali tamsulosin.7

20
2) Penghambat 5 α-reduktase
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron
(DHT) dari testosterone yang dikatalisis oleh enzim 5 α reduktase di dalam sel prostat
menurun. Pembesaran prostat di BPH secara langsung tergantung pada DHT,
sehingga obat ini menyebabkan pengurangan 25% perkiraan ukuran prostat lebih dari
6 sampai 12 bulan. Finasteride (1 x 50 mg) dan dutasteride (1 x 5 mg) aktif
mengurangi DHT oleh lebih dari 80%, serta memperbaiki gejala, mengurangi
kejadian retensi urin, dan mengurangi kemungkinan operasi untuk BPH. Efek
samping yang utama ialah kelainan seksual seperti penurunan libido, disfungsi ereksi,
gangguan ejakulasi.4,7

Pembedahan
Penyelesaian masalah pasien hiperplasia prostat jangka panjang yang paling baik
saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau terapi non invasif
lainnya membutuhkan jangka waktu yang sangat lama untuk melihat hasil terapi.
Desobstruksi kelenjar prostat akan menyembuhkan gejala obstruksi dan miksi yang tidak
lampias. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka, reseksi prostat transuretra
(TURP), atau insisi prostat transuretra (TUIP atau BNI). Pembedahan direkomendasikan
pada pasien BPH yang: (1) tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa,
(2) mengalami retensi urin, (3) infeksi saluran kemih berulang, (4) hematuria, (5) gagal
ginjal, dan (6) timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran
kemih bagian bawah.4
1) Prostatektomi terbuka
Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah metode dari
Millin, yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropunik
infravesika, Freyer melalui pendekatan suprapubik transvesika, atau transperineal.
Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang masih banyak dikerjakan
saat ini, paling invasif, dan paling efisien sebagai terapi BPH. Prosatektomi terbuka
dapat dilakukan melalui pendekatan suprapubik transvesikal (Freyer) atau retropubik
infravesikal (Millin). Prostatektomi terbuka dianjurkan untuk prostat yang sangat
besar (>100 gram).4
Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka adalah: inkontinensia
urin (3%), impotensia (5-10%), ejakulasi retrograd (60-80%), dan kontraktur leher
buli-buli (3-5%). Dibandingkan dengan TURP dan BNI, penyulit yang terjadi berupa

21
striktura uretra dan ejakulasi retrograd lebih banyak dijumpai pada prostatektomi
terbuka. Perbaikan gejala klinis sebanyak 85-100%, dan angka mortalitas sebanyak
2%.4

2) Operasi transuretra
Pembedahan endourologi terhadap prostat berupa reseksi (TURP) atau insisi
(TUIP). Saat ini tindakan TURP (reseksi prostat transuretra) merupakan operasi
paling banyak dikerjakan di seluruh dunia. Operasi ini lebih disenangi karena tidak
diperlukan insisi pada kulit perut, massa mondok lebih cepat, dan memberikan hasil
yang tidak banyak berbeda dengan tindakan operasi terbuka. Pada TURP, kelenjar
prostat dipotong menjadi bagian-bagian kecil jaringan prostat yang dinamakan cip
prostat. Selanjutnya cip prostat akan dikeluarkan dari buli melalui evakuator Ellik.4
TURP dilakukan dengan menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah
yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang digunakan
adalah larutan non ionic yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantarann listrik pada
saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril
(aquades).4
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan
ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada
saat reseksi. Kelebihan H2O dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau
gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TURP. Sindroma ini ditandai
dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan
terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang
akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP adalah
sebesar 0,99%.4
Untuk mengurangi risiko timbulnya sindroma TURP operator harus membatasi
diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Di samping itu beberapa operator
memasang sistostomi suprapubik terlebih dahulu sebelum reseksi diharapkan dapat
mengurangi penyerapan air ke sirkulasi sistemik. Penggunaan cairan non ionik lain
selain H2O yaitu glisin dapat mengurangi risiko hiponatremia pada TURP, tetapi
karena harganya cukup mahal beberapa klinik urologi di Indonesia lebih memilih
pemakaian aquades sebagai cairan irigasi 4
Selain sindroma TURP beberapa penyulit bisa terjadi pada saat operasi, pasca
bedah dini, maupun pasca bedah lanjut seperti tampak pada tabel berikut.

22
Tabel 4. Berbagai Penyulit TURP4
Selama Operasi Pasca Bedah Dini Pasca Bedah Lanjut
Perdarahan Perdarahan Inkontinensi
Sindrom TURP Infeksi lokal atau sistemik Disfungsi ereksi
Perforasi Ejakulasi retrograd
Striktura uretra

Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar, tanpa ada pembesaran lobus
medius, dan pada pasien yang umurnya masih muda hanya diperlukan insisi kelenjar
prostat atau TUIP atau insisi leher buli-buli atau BNI (bladder neck incision).
Sebelum melakukan tindakan ini, harus disingkirkan kemungkinan adanya karsinoma
prostat dengan melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi
transrektal, dan pengukuran kadar PSA.4

Tindakan invasif minimal


Selain tindakan invasif seperti yang telah disebutkan di atas, saat ini sedang
dikembangkan tindakan invasif minimal yang terutama ditujukan untuk pasien yang
mempunyai risiko tinggi terhadap pembedahan. Tindakan invasif minimal itu
diantaranya adalah: (1) thermoterapi, (2) pemasangan stent (prostacath).4
1) Termoterapi
Termoterapi kelenjar prostat adalah pemansan dengan gelombang mikro pada
frekuensi 915-1296 Mhz yang dipancarkan melalui antena yang diletakkan di dalam
uretra. Dengan pemanasan yang melebihi 44oC menyebabkan destruksi jaringan pada
zona transisional prostat karena nekrosi koagulasi. Panas dapat dihasilkan melalui
berbagai cara, seperti transurethreal needle ablation (TUNA) dan high intensity
focused ultrasound (HIFU). Prosedur ini dapat dikerjakan secara poliklinis tanpa
pemberian pembiusan.4
Energi panas yang bersamaan dengan gelombang mikro dipancarkan melalui
kateter yang terapasang di dalam uretra. Besar dan arah pancaran energi diatur melalui
sebuah komputer sehingga dapat melunakkan jaringan prostat yang membuntu utetra.
Morbiditasnya relatif rendah, dapat dilakukan tanpa anestesi, dan dapat dijalani oleh
pasien yang kondisinya kurang baik jika menjalani pembedahan. Cara ini
direkomendasikan bagi prostat yang ukurannya kecil.4

23
2) Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena
pembesaran prostat. Stent dipasang intraluinal di antara leher buli-buli dan di sebelah
proksimal verumontanum sehingga urin dapat leluasa melewati lumen uretra
prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen.Yang temporer
dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak
mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas kembali secara
endoskopi.4
Stent yang permanent terbuat dari anyaman dari bahan logam super alloy, nikel,
atau titanium. Dalam jangka waktu lama bahan ini akan diliputi oleh urotelium
sehingga jika suatu saat ingin dilepas harus membutuhkan anestesi umum atau
regional.4
Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani
operasi karena risiko pembedahan yang cukup tinggi. Seringkali stent dapat terlepas
dari insersinya di uretra posterior atau mengalami enkrustasi. Sayangnya setelah
pemasangan kateter ini, pasien masih merasakan keluhan miksi berupa gejala iritatif,
perdarahan uretra, atau rasa tidak enak di daerah penis.4

Kontrol Berkala
 Watchful waiting
Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terdapat
perbaikan klinis. Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan skor, IPSS, uroflometri,
dan residu urin pasca miksi.4
 Pengobatan penghambat 5α-reduktase
Dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6 untuk menilai respon terapi. Kemudian
setiap tahun untuk menilai perubahan gejala miksi.4
 Pengobatan penghambat 5α-adrenegik
Setelah 6 minggu untuk menilai respon terhadap terapi dengan melakukan
pemeriksaan IPSS uroflometri dan residu urin pasca miksi. Kalau terjadi perbaikan
gejala tanpa menunjukkan penyulit yang berarti, pengobatan dapat diteruskan.
Selanjutnya kontrol dilakukan setelah 6 bulan dan kemudian setiap tahun. Pasien
setelah menerima pengobatan secara medikamentosa dan tidak menunjukkan tanda
perbaikan perlu dipikirkan tindakan pembedahan atau terapi intervensi yang lain.4

24
 Pembedahan
Paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan penyulit.
Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan untuk mengetahui hasil akhir operasi.4
 Terapi invasive minimal
Setelah 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan dan setiap tahun. Selain dilakukan penilaian skor
miksi, juga diperiksa kultur urin.4

2.9. Komplikasi
Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, dapat ditemukan residu urin pada akhir
miksi. Lama-kelamaan, terjadi obstruksi total dan pasien tidak dapat miksi sama sekali
(retensi urin). Sementara itu, produksi utin terus terjadi sehingga meningkatkan tekanan
di dalam kandung kemih yang dapat berlajut hingga menjadi trabekulasi, selula, dan
divertikel buli. Saat tekanan lebih tinggi dibandingkan tekanan sfingter, terjadi
inkontinensia paradoks (overflow incontinence), urin dapat mengalami refluks ke ureter
yang dapat berlanjut hingga menjadi hidroureter, hidronefrosis, pionefrosis, dan gagal
ginjal. Pasien juga dapat mengedan terus-menerus saat miksi sehingga menyebabkan
hernia atau hemoroid.2,4

2.10. Prognosis
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada setiap
individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. BPH yang tidak segera diobati
memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat.
Menurut penelitian, kanker prostat merupakan kanker penyebab kematia nomor 2
setelah kanker paru-paru.

2.11. SKDI
Kompetensi dokter umum untuk hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah 2, yaitu
sebagai berikut:8
Tingkat Kemampuan 2: Mendiagnosis dan Merujuk
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan
dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.8

25
BAB IV
ANALISIS KASUS

Tn. Lugio, laki-laki, usia 67 tahun, datang dengan keluhan sulit BAK. Pada keluhan
utama dapat dipikirkan beberapa diagnosis banding untuk mengarah pada diagnosis kerja.
Diagnosis banding yang dapat dipikirkan antara lain Benign Prostatic Hyperplasia (BPH),
karsinoma prostat, striktur uretra, dan batu saluran kemih. Riwayat perjalanan penyakit
pasien datang dengan keluhan sulit BAK sejak 1 hari yang lalu. BAK dirasakan sedikit
sehingga tidak puas dan terkadang menetes. Saat berkemih pasien merasakan nyeri pada
kemaluannya. Pasien mengaku sering harus bangun untuk buang air kecil pada malam hari
(4-5 kali). Pasien berobat ke Puskesmas terdekat dan dipasang selang kencing. Kisaran ± 2
tahun yang lalu, pasien mengeluh timbul benjolan sebesar kelereng yang hilang timbul pada
lipat paha kanan. Benjolan terlihat jelas terlihat saat pasien bekerja, mengangkat barang, saat
pasien batuk keras atau saat sedang mengedan. Benjolan masuk kembali saat pasien
berbaring. Benjolan semakin lama bertambah besar dan sampai ke buah zakar. Pasien tidak
berobat.
Dari hasil anamnesis riwayat perjalanan penyakit didapatkan keluhan yang mengarah
ke diagnosis BPH, yaitu gejala LUTS (weak stream, emptying incomplete, terminal dribbling,
nocturia, dan disuria) dengan skor IPSS: 10. Pasien berusia tua (67 tahun), pasien rutin
mengkonsumsi kopi, dan melakukan hubungan seksual dalam 2 hari terakhir. Pasien
memiliki faktor risiko BPH dan retensi urin akut. Pada usia tua, kadar testosteron makin
menurun, sedangkan kadar estrogen relatif tetap. Esterogen di dalam prostat berperan dalam
terjadinya proliferasi sel kelenjar prostat, sehingga massa prostat menjadi lebih besar.
Volume buli-buli dapat tiba-tiba terisi penuh akibat konsumsi kopi (mengandung
diuretikum), dan massa prostat dapat tiba-tiba membesar setelah melakukan aktivitas seksual.
Hal ini akan meningkatkan risiko terjadinya BPH. Pemeriksaan status lokalis regio perianal
saat inspeksi: tidak terdapat massa/benjolan. Saat dilakukan rectal toucher didapatkan tonus
spichter ani baik, mukosa rektum licin, ampula recti tidak kolaps, teraba massa arah jam 11-1
ukuran 1-2 cm (konsistensi kenyal, batas tegas, permukaan rata licin, simetris, nodul tidak
ada), pole atas teraba, nyeri (-), lendir (-), feses (+), darah (-). Hasil pemeriksaan status
lokasis menunjang diagnosis BPH pada pasien.
Hal ini sesuai dengan teori penegakan diagnosis BPH, dimana pada rectal toucher akan
teraba pembesaran prostat dengan konsistensi kenyal, simetris, dan nodul tidak ada. Pasien

26
diberikan edukasi untuk mengindari hal yang dapat memperuruk keadaaannya dan diberi
terapi pengambat reseptor adrenergik-α 1 selektif, yaitu tamsulosin 1 x 0,4 mg. Tindakan
operatif direkomendasikan pada pasien BPH yang tidak menunjukkan perbaikan setelah
terapi medikamentosa, sehingga bila keluhan tidak membaik atau semakin parah, pasien
memiliki indikasi untuk melakukan operasi yaitu TURP.
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada setiap individu
walaupun gejalanya cenderung meningkat. BPH yang tidak segera diobati memiliki prognosis
yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Edition.


Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005.
2. Mansjoer A, Suprahaita, Wardhani. Pembesaran Prostat Jinak. Dalam: Kapita selekta
Kedokteran. Media Aesculapius, Jakarta; 329-344; 2000.
3. Myers, Robert P. Structure of The Adult Prostate from a Clinician's Standpoint. Clinical
anatomy 13 (3): 214–5; 2000.
4. Purnomo, Basuki B. Dasar-dasar Urologi. Edisi Ketiga. Jakarta: Sagung Seto; 2012.
5. Sjamsuhidayat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R, penyunting. Buku Ajar
Ilmu Bedah Sjamsuhidayat-de Jong. Edisi ke-3. Jakarta EGC, 2010. h. 899-903.
6. Guidelines BPH oleh Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI) tahun 2007.
7. Oelke M, Bahmann A, Descazeaud A, Emberton M, Gravas S, Michel MC, dkk; European
Association of Urology (EAU). EAU Guidelines on The Treatment and Follow-up of
Non-neurogenic Male Lower Urinary Tract Symptom including Benign Prostatic
Obstruction. Eur Urol. 2013 Jul; 64(1): 118-40.
8. Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Edisi ke-2.
Penerbit Konsil Kedokteran Indonesia. Jakarta. Hal.32-33.

28

S-ar putea să vă placă și