Sunteți pe pagina 1din 33

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA WAJAH (MAKSILOFASIAL)

A. Definisi Fraktur Maksilofasial

Fraktur ialah hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Berdasarkan

anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian, ialah sepertiga atas wajah,

sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah (gambar 2.1). Bagian yang termasuk

sepertiga atas wajah ialah tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis.

Maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang vomer

termasuk ke dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula termasuk ke dalam bagian

sepertiga bawah wajah. Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang

pembentuk wajah.

Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan

keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi

jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang

kepala yang terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang

maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan

lunak adalah:

- Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato

- Cedera saraf, cedera saraf fasial

- Cedera kelenjar paratiroid atau duktus Stensen

- Cedera kelopak mata

- Cedera telinga

- Cedera hidung
Gambar 2.1 Pembagian Wajah Secara Lateral (Fonseca, 2005)

B. Anatomi Maksilofasial

Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah lahir

dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar cranium sudah

mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun

secara baik dalam membentuk wajah manusia. Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian.

Bagian pertama adalah wajah bagian atas, di mana patah tulang melibatkan frontal dan sinus.

Bagian kedua adalah midface tersebut. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para

midface atas adalah di mana rahang atas Le Fort II dan III Le Fort fraktur terjadi dan / atau di

mana patah tulang hidung, kompleks nasoethmoidal atau zygomaticomaxillary, dan lantai

orbit terjadi. Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di

mana patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah.


Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak. Didalam

tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga

hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita).

a. Bagian hidung terdiri atas :

Os Lacrimal (tulang mata) letaknya di sebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut

mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas. Dan Os

Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung dan bentuknya

berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis

yang tegak.

b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :

Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri dari

dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua dua buah

tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang bawah, terdiri dari dua bagian

yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan

dari mandibula terdapat processus coracoids tempat melekatnya otot.

 Lokasi Anatomis Fraktur Maksilofasial

1) Fraktur Sepertiga Bawah Wajah

Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah.

 Klasifikasi fraktur berdasarkan istilah (gambar 2.2) :

1. Simple atau Closed : merupakan fraktur yang tidak menimbulkan luka terbuka

keluar baik melewati kulit, mukosa, maupun membran periodontal.

2. Compound atau Open : merupakan fraktur yang disertai dengan luka luar termasuk

kulit, mukosa, maupun membran periodontal , yang berhubungan dengan patahnya

tulang.

3.Comminuted : merupakan fraktur dimana tulang hancur menjadi serpihan.


4.Greenstick : merupakan fraktur dimana salah satu korteks tulang patah, satu sisi

lainnya melengkung. Fraktur ini biasa terjadi pada anak-anak.

5.Pathologic : merupakan fraktur yang terjadi sebagai luka yang cukup serius yang

dikarenakan adanya penyakit tulang.

6.Multiple : sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada tulang yang

sama tidak berhubungan satu sama lain.

7.Impacted : merupakan fraktur dimana salah satu fragmennya terdorong ke bagian

lainnya.

8.Atrophic : merupakan fraktur yang spontan yang terjadi akibat dari atropinya tulang,

biasanya pada tulang mandibula orang tua.

9.Indirect : merupakan titik fraktur yang jauh dari tempat dimana terjadinya luka.

10.Complicated atau Complex : merupakan fraktur dimana letaknya berdekatan

dengan jaringan lunak atau bagian-bagian lainnya, bisa simple atau compound.

Gambar 2.2 Jenis Fraktur Mandibula. A. Greenstick; B. Simple; C. Comminuted; dan D.

Coumpound
 Klasifikasi Fraktur Mandibula berdasarkan lokasi anatominya (gambar 2.3)

1. Midline : fraktur diantara incisal sentral.

2.Parasymphyseal : dari bagian distal symphysis hingga tepat pada garis alveolar

yang berbatasan dengan otot masseter (termasuk sampai gigi molar 3).

3.Symphysis : berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi kaninus.

4.Angle : area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot masseter hingga

perlekatan poesterosuperior otot masseter (dari mulai distal gigi molar 3).

5.Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga membentuk dua garis

apikal pada sigmoid notch.

6.Processus Condylus : area pada superior prosesus kondilus hingga regio ramus.

7. Processus Coronoid : termasuk prosesus koronoid pada superior mandibula hingga

regio ramus.

8.Processus Alveolaris : regio yang secara normal terdiri dari gigi.

Gambar 2.3 Lokasi Fraktur mandibula (Coulthard et al., 2008)


2) Fraktur Sepertiga Tengah Wajah

Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang palatina,

dan tulang nasal. Tulang-tulang maksila membantu dalam pembentukan tiga rongga

utama wajah : bagian atas rongga mulut dan nasal dan juga fosa orbital. Rongga lainnya

ialah sinus maksila. Sinus maksila membesar sesuai dengan perkembangan maksila orang

dewasa. Banyaknya rongga di sepertiga tengah wajah ini menyebabkan regio ini sangat

rentan terkena fraktur.

 Fraktur tulang sepertiga tengah wajah berdasarkan klasifikasi Le Fort :

1. Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)

Fraktur Le Fort I (gambar 2.4) merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi,

dan menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini

menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang disebut floating jaw. Hipoestesia

nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya edema.

Gambar 2.4 Fraktur Le Fort I


2. Fraktur Le Fort tipe II , biasa juga disebut dengan fraktur piramidal. Manifestasi dari

fraktur ini ialah edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang terlihat

seperti racoon sign. Biasanya ditemukan juga hipoesthesia di nervus infraorbital. Kondisi ini

dapat terjadi karena trauma langsung atau karena laju perkembangan dari edema. Maloklusi

biasanya tercatat dan tidak jarang berhubungan dengan open bite. Pada fraktur ini

kemungkinan terjadinya deformitas pada saat palpasi di area infraorbital dan sutura

nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga dapat ditemukan pada kasus

ini.

Gambar 2.5 Fraktur Le Fort II

3. Fraktur Le Fort III

Fraktur ini disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort III (gambar 2.6)

menggambarkan adanya disfungsi kraniofasial. Tanda yang terjadi pada kasus fraktur ini

ialah remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila kompleks,

disertai pula dengan keluarnya cairan serebrospinal, edema, dan ekimosis periorbital.
Gambar 2.6 Fraktur Le Fort III

3) Fraktur Sepertiga Atas Wajah

Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita, rima

orbita dan sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat depressed ke dalam

atau hanya mempunyai garis fraktur linier yang dapat meluas ke daerah wajah yang lain.

C. Klasifikasi Trauma Maksilofasial

Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma

jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak

biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu

lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.

a.Trauma jaringan lunak wajah

Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma

dari luar.
Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan :

 Berdasarkan jenis luka dan penyebab:

- Ekskoriasi

- Luka sayat, luka robek , luka bacok

- Luka bakar

-Luka tembak

 Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan

- Dikaitkan dengan unit estetik

b.Trauma jaringan keras wajah

Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang

terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari

terminologinya, trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan:

Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetika

- Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibulla,

gigi dan alveolus

- Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks

mandibular

Berdasarkan Tipe fraktur :

-Fraktur simple

Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus,

koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi. Fraktur tidak mencapai bagian

luar tulang atau rongga mulut. Termasukgreenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang,

terutama pada anak dan jarang terjadi.

- Fraktur kompoun
Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak.

Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe

fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa

luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.

-Fraktur komunisi

Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti

peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk. Bisa

terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan

tulang dan jaringan lunak.

Fraktur patologis

Keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang,

seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis

sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.

D. Etiologi Fraktur Maksilofasial

Fraktur maksilofasial dapat diakibatkan karena tindak kejahatan atau

penganiayaan, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga dan industri, atau diakibatkan

oleh hal yang bersifat patologis yang dapat menyebabkan rapuhnya bagian tulang.

Penyebab pada orang dewasa Persentase (%)

Kecelakaan lalu lintas 40-45

Penganiayaan / berkelahi 10-15

Olahraga 5-10

Jatuh 5

Lain-lain 5-10
Penyebab pada orang anak Persentase (%)

Kecelakaan lalu lintas 10-15

Penganiayaan / berkelahi 5-10

Olahraga (termasuk naik sepeda) 50-65

Jatuh 5-10

E. Patofisiologi Trauma Maksilofasial

Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa dikalikan

dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi menghasilkan

kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-dampak kekuatan

didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Ini berdampak

parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang dibutuhkan untuk

menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda regional. Tepi supraorbital,

mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal memerlukan kekuatan tinggi-dampak

yang akan rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah semua yang diperlukan untuk

merusak zygoma dan tulang hidung.

a) Patah Tulang Frontal :

Ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi. Bagiananterior dan / atau posterior

sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jika dinding

posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.

b) Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang

terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan

menyerang pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini

kekuatan dan merusak bagian-bagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita.
Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera

okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan kematian.

c) Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma

langsung.

d) Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke

tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial,

aparatus lacrimalis, atau saluran nasofrontal.

e) Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung

zygomatic dapat mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan

zygomaticotemporal.

f) Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah

tulang dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui

zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi

dengan tulang sphenoid. Garis fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen

infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata serentak yang umum.

g) Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-

rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari

lokasi trauma langsung.

h) Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi

langsung atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar

rahang atas atau rahang bawah

i) Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi

mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah
F. Manifestasi Klinis

Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :

1. Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada

fraktur mandibular

2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur

3. Rasa nyeri pada sisi fraktur

4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas

5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi

daerah fraktur

6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran

7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur

8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan

9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah

nervus alveolaris

10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan

pergerakan bola mata dan penurunan visus

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Wajah Bagian Atas :

- CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)

- CT-scan aksial koronal

- Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepala dan X-ray kepala

2. Wajah Bagian Tengah :

- CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)

- CT scan aksial koronal


- Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior

(Caldwells), Submentovertek (Jughandles)

3. Wajah Bagian Bawah :

- CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D

- Panoramic X-ray

- Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi:

a) Posteroanterior (Caldwells)

b) Posisi lateral (Schedell)

c) Posisi towne

H. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala dan wajah selain dari factor

mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status neurologis

(disability, exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi

iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan

glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan oksigen dan

glukosa yang lebih rendah.

Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi

disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi

usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan

PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah

metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakin dengan

intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat intermittent iatrogenic paralisis. Intubasi

dilakukan sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah terjadinya
PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan

tekanan intracranial.

Penatalaksanaan konservatif meliputi :

 Bedrest total

 Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).

 Pemberian obat-obatan: Dexmethason / kalmethason sebagai pengobatan anti-

edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.

 Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.

 Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau

glukosa 40%, atau gliserol 10%.

 Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin) atau untuk infeksi

anaerob diberikan metronidasol.

 Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat

diberikan apa-apa,hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18 jam

pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.

 Pada trauma berat. Karena hai-hari pertama didapat klien mengalami penurunan

kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari

pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer

dextrosa 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga, pada hari selanjutnya bila

kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500-300

TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.


I. Komplikasi

a) Perdarahan ulang

b) Kebocoran cairan otak

c) Infeksi pada luka atau sepsis

d) Timbulnya edema serebri

e) Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK

f) Nyeri kepala setelah penderita sadar

g) Konvulsi
Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian

Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cedera dan mungkin di

persulit oleh cedera tambahan pada organ vital

- Aktifitas dan istirahat

Gejala : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan

Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia cara berjalan tidak tegap,

masalah dlm keseimbangan, cedera/trauma ortopedi, kehilangan tonus otot.

- Sirkulasi

Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,

takikardia yang diselingi bradikardia disritmia)

- Integritas ego

Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian

Tanda :Cemas,mudah tersinggung,delirium,agitasi,bingung,depresi

- Eliminasi

Gejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsi

- Makanan/cairan

Gejala : mual,muntah dan mengalami perubahan selera

Tanda : muntah,gangguan menelan

- Neurosensori

Gejala :Kehilangan kesadaran sementara,amnesia seputar kejadian, vertigo,

sinkope,tinitus,kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya,

diplopia, kehilangan sebagain lapang pandang, gangguan pengecapan dan penciuman


Tanda : Perubahan kesadran bisa sampai koma, perubahan status mental, perubahan pupil,

kehilangan penginderaan, wajah tdk simetris, genggaman lemah tidak seimbang, kehilangan

sensasi sebagian tubuh

- Nyeri/kenyamanan

Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya lama

Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri, nyeri yang

hebat,merintih

- Pernafasan

Tanda : Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor, tersedak,ronkhi,mengi

- Keamanan

Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan

Tanda : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan

- Kulit : laserasi,abrasi,perubahan warna,tanda batle disekitar telinga,adanya aliran

cairan dari telinga atau hidung

- Gangguan kognitif

- Gangguan rentang gerak

- Demam

B. Diagnosa Keperawatan

a) Risiko tinggi peningkatan tekanan intracranial yang berhubungan dengan desak ruang

sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat

intraserebral hematoma.

b) Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat

pernapasan di otak, kelemahan oto-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak

maksimal karena akumulasi udara/cairan.


c) Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum,

peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan,

adanya jalan napas buatan pada trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.

d) Perubahan kenyamanan: nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan

refleks spasme otot sekunder.

e) Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi,

nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.

C.Rencana Keperawatan

DX 1 : Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari

kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma,

subdural hematoma, dan epidural hematoma.

Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.

Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah,

GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.

Intervensi Rasionalisasi

Mandiri

Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan Deteksi dini untuk memprioritaskan

individu/penyebab koma/penurunan perfusi intervensi, mengkaji status neurologis/ tanda-

jaringan dan kemungkinan penyebab tanda kegagalan untuk menentukan

peningkatan TIK. perawatan kegawatan atau tindakan

pembedahan.

Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral

terpelihara dengan baik atau fluktuasi

ditandai dengan tekanan darah sistemik,


penurunan dari autoregulator kebanyakan

merupakan tanda penurunan difusi local

vaskularisasi darah serebral. Dengan

peningkatan tekanan darah (diastolic) maka

dibarengi dengan peningkatan tekanan darah

intrakrinial. Adanya peningkatan tekanan

darah, bradikardi, disritmia, dispnea

merupakan tanda terjadinya peningkatan

TIK.

Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman, dan Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari

reaksi terhadap cahaya. bola mata merupakan tanda dari gangguan

nervus/saraf jika batang otak terkoyak.

Reaksi pupil diatur oleh saraf III cranial

(okulomotorik) yang menunjukkan

keseimbangan antara parasimpatis dan

simpatis. Respon terhadap cahaya merupakan

kombinasi fungsi dari saraf cranial II dan III.

Monitor temperatur dan pengaturan suhu Panas merupakan refleks dari hipotalamus.

lingkungan. Peningkatan kebutuhan metabolism dan

O2 akan menunjang peningkatan TIK/ ICP

(Intracranial Pressure).

Pertahankan kepala/ leher pada posisi yang Perubahan kepala pada satu sisi dapat

netral, usahakan dengan sedikit bantal. menimbulkan penekanan pada vena jugularis

Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada dan menghambat aliran darah otak

kepala. (menghambat drainase pada vena serebral),


untuk itu dapat meningkatkan TIK

Berikan periode istirahat antara tindakan Tindakan yang terus-menerus dapat

perawatan dan batasi lamanya prosedur. meningkatkan TIK oleh efek rangsangan

kumulatif.

Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa Memberikan suasana yang tenang (colming

nyaman seperti masase punggung, effect) dapat mengurangi respons psikologis

lingkungan yang tenang. Sentuhan yang dan memberikan istirahat untuk

ramah, dan suasana / pembicaraan yang tidak mempertahankan TIK yang rendah.

gaduh.

Cegah/hindarkan terjadinya valsava Mengurangi tekanan intratorakal dan

maneuver intraabdominal sehingga menghindari

peningkatan TIK.

Bantu klien jika batuk, muntah Aktivitas ini dapat meningkatkan

intrathorakal/tekanan dalam thoraks dan

tekanan dalam abdomen dimana aktivitas ini

dapat meningkatkan tekanan TIK.

Kaji peningkatan istirahat dan tingkat laku. Tingkah nonverbal ini dapat merupakan

indikasi peningkatan TIK atau memberikan

refleks nyeri dimana klien tidak mampu

mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri

yang tidak menurun dapat meningkatkan

TIK.

Palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder, Dapat meningkatkan repons otomatis yang

pertahankan drainase urine secara paten jika potensial menaikkan TIK.

di gunakan dan juga monitor terdapatnya


konstipasi.

Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) Meningkatkan kerja sama dalam

dan keluarga tentang sebab-sebab TIK meningakatkan perawatan klien dan

meningkat. mengurangi kecemasan.

Observasi tingkat kesadaran dengan GCS. Perubahan kesadaran menunjukkan

peningkatan TIK dan berguna menentukan

lokasi dan perkembangan penyakit.

Kolaborasi :

Pemberian O2 sesuai indikasi. Mengurangi hipoksemia, dimana dapat

meningkatkan vasodilatasi serebral, volume

darah, dan menaikkan TIK.

Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah

darah dari dalam intracranial. dilakukan bila kemungkinan terdapat tanda-

tanda deficit neurologis yang menandakan

peningkatan ntrakranial.

Berikan cairan intravena sesuai indikasi. Pemberian cairan mungkin di inginkan untuk

mengurangi edema serebral, peningkatan

minimum pada pembuluh darah, tekanan

darah dan TIK.

Berikan obat osmosis diuretic contohnya : Diuretic mungkin digunakan pada fase akut

manitol, furoscide. untuk mengalirkan air dari sel otak dan

mengurangi edema serebral dan TIK.

Berikan steroid contohnya : dexamethason, Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan

methyl prenidsolon. mengurangi edema jaringan.


Berikan analgesic narkotik contoh : kodein. Mungkin di indikasikan untuk mengurangi

nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK

tetapi dapat digunakan dengan tujuan untuk

mencegah dan menurunkan sensasi nyeri.

Berikan antipiretik contohnya : asetaminofen. Mengurangi/mengontrol hari dan pada

metabolisme serebral/oksigen yang

diinginkan.

Monitor hasil laboratorium sesuai dengan Membantu memberikan informasi tentang

indikasi seperti prothrombin, LED. efektifitas pemberian obat.

DX 2 : Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat

pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena

trauma.

Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas kembali

efektif.

Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan

pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab.

Intervensi Rasional

Berikan posisi yang nyaman, biasanya Meningkatkan inspirasi maksimal,

dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi

kesisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk pada sisi yang tidak sakit.

sebanyak mungkin.

Observasi fungsi pernapasan, dispnea, atau Distress pernapasan dan perubahan pada

perubahan tanda-tanda vital. tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress
fisiologi dan nyeri atau dapat menunujukkan

terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.

Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut Pengetahuan apa yang diharapkan dapat

dilakukan untuk menjamin keamanan. mengembangkan kepatuhan klien terhadap

rencana terapeutik.

Jelaskan pada klien tentang etiologi/factor Pengetahuan apa yang diharapkan dapat

pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru. mengurangi ansietas dan mengembangkan

kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.

Pertahankan perilaku tenang, bantu klien Membantu klien mengalami efek fisiologi

untuk control diri dengan menggunakan hipoksia, yang dapat dimanifestasikan

pernapasan lebih lambat dan dalam. sebagai ketakutan/ansietas.

Periksalah alarm pada ventilator sebelum Ventilator yang memiliki alarm yang bias

difungsikan. Jangan mematikan alarm. dilihat dan didengar misalnya alarm kadar

oksigen, tinggi/rendahnya tekanan oksigen.

Tarulah kantung resusitasi disamping tempat Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat

tidur dan manual ventilasi untuk sewaktu- berguna untuk mempertahankan fungsi

waktu dapat digunakan. pernapasan jika terjadi gangguan pada alat

ventilator secara mendadak.

Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan Melatih klien untuk mengatur napas seperti

jika ventilator tiba-tiba berhenti. napas dalam, napas pelan, napas perut,

pengaturan posisi, dan teknik relaksasi dapat

membantu memaksimalkan fungsi dan

system pernapasan.

Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara Memerhatikan letak dan fungsi ventilator
rutin. sebagai kesiapan perawat dalam memberikan

Pengecekan konsentrasi oksigen, memeriksa tindakan pada penyakit primer setelah

tekanan oksigen dalam tabung, monitor menilai hasil diagnostik dan menyediakan

manometer untuk menganalisis batas/kadar sebagai cadangan.

oksigen.

Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg).

periksa fungsi spirometer.

Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk

Dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi. mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas

§ Pemberian antibiotik. pengembangan parunya.

§ Pemberian analgesic.

§ Fisioterapi dada.

§ Konsul foto thoraks.

DX 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas

buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif

sekunder akibat nyeri dan keletihan.

Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan napas.

Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas

sumbatan, menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran

pernapasan.

Intervensi Rasional

Kaji keadaan jalan napas Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh

akumulasi sekret, sisa cairan mucus,


perdarahan, bronkhospasme, dan/atau posisi

dari endotracheal/tracheostomy tube yang

berubah.

Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi Pergerakan dada yang simetris dengan suara

suara napas pada kedua paru (bilateral). napas yang keluar dari paru-paru

menandakan jalan napas tidak terganggu.

Saluran napas bagian bawah tersumbat dapat

terjadi pada pneumonia/atelektasis akan

menimbulkan perubahan suara napas seperti

ronkhi atau wheezing.

Monitor letak/posisi endotracheal tube. Beri Endotracheal tube dapat saja masuk ke dalam

tanda batas bibir. bronchus kanan, menyebabkan obstruksi

Lekatkan tube secara hati-hati dengan jalan napas ke paru-paru kanan dan

memakai perekat khusus. mengakibatkan klien mengalami

Mohon bantuan perawat lain ketika pneumothoraks.

memasang dan mengatur posisi tube.

Catat adanya batuk, bertambahnya sesak Selama intubasiklien mengalami refleks

napas, suara alarm dari ventilator karena batuk yang tidak efektif, atau klien akan

tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret mengalami kelemahan otot-otot pernapasan

melalui endotracheal/tracheostomy tube, (neuromuscular/neurosensorik),

bertambahnya bunyi ronkhi. keterlambatan untuk batuk. Semua klien

tergantung dari alternatif yang dilakukan

seperti mengisap lender dari jalan napas.

Lakukan penghisapan lender jika diperlukan, Pengisapan lendir tidak selamanya dilakukan

batasi durasi pengisapan dengan 15 detik terus-menerus, dan durasinya pun dapat
atau lebih. Gunakan kateter pengisap yang dikurangi untuk mencegah bahaya hipoksia.

sesuai, cairan fisiologis steril. Diameter kateter pengisap tidak boleh lebih

Berikan oksigen 100% sebelum dilakukan dari 50% diameter endotracheal/tracheostomy

pengisapan dengan ambu bag tube untuk mencegah hipoksia.

(hiperventilasi). Dengan membuat hiperventilasi melalui

pemberian oksigen 100% dapat mencegah

terjadinya atelektasis dan mengurangi

terjadinya hipoksia.

Anjurkan klien mengenai tekhik batuk Batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret

selama pengisapan seperti waktu bernapas dari saluran napas.

panjang, batuk kuat, bersin jika ada indikasi.

Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi

2jam). segmen paru-paru, mengurangi risiko

atelektasis.

Berikan minum hangat jika keadaan Membantu pengenceran sekret,

memungkinkan. mempermudah pengeluaran sekret.

Jelaskan kepada klien tentang kegunaan Pengetahuan yang diharapkan akan

batuk efektif dan mengapa terdapat membantu mengembangkan kepatuhan klien

penumpukan sekret di saluran pernapasan. terhadap rencana terapeutik.

Ajarkan klien tentang metode yang tepat Batuk yang tidak terkontrol adalah

untuk pengontrolan batuk. melelahkan dan tidak efektif, dapat

menyebabkan frustasi.

Napas dalam dan perlahan saat duduk Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.

setegak mungkin.
Lakukan pernapasan diafragma. Pernapasan diafragma menurunkan frekuensi

napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.

Tahap napas selama 3-5 detik kemudian Meningkatkan volume udara dalam paru,

secara perlahan-lahan, dikeluarkan sebanyak mempermudah pengeluaran sekresi sekret.

mungkin melalui mulut.

Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan Pengkajian ini membantu mengevaluasi

dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek keefektifan upaya batuk klien.

dan kuat.

Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien Sekresi kental sulit untuk di encerkan dan

batuk. dapat menyebabkan sumbatan mucus, yang

mengarah pada atelektasis.

Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan Untuk menghindari pengentalan dari sekret

viskositas sekresi. : mempertahankan hidrasi atau mosa pada saluran napas pada bagian

yang adekuat; meningkatkan masukan cairan atas.

1000-1500 cc/hari bila tidak ada

kontraindikasi.

Dorong atau berikan perawatan mulut yang Higine mulut yang baik meningkatkan rasa

baik setelah batuk. kesejahteraan dan mencegah bau mulut.

Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan Ekspektoran untuk memudahkan

fisioterapi. mengeluarkan lendir dan mengevaluasi

§ Pemberian ekspektoran. perbaikan kondisi klien atas pengembangan

§ Pemberian antibiotic. parunya.

§ Fisioterapi dada.

§ Konsul foto thoraks


Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi Mengatur ventilasi segmen paru-paru dan

seperti postural drainage, perkusi/penepukan. pengeluaran sekret.

Berikan obat-obat bronchodilator sesuai Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret

indikasi seperti aminophilin, meta-proterenol karena relaksasi muscle/bronchospasme.

sulfat (alupent), adoetharine hydrochloride

(bronkosol).

DX 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot

sekunder.

Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang/hilang.

Kriteria hasil : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, dapat

mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.

Intervensi Rasional

Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan Pendekatan dengan menggunakan relaksasi

pereda nyeri nonfarmakologi dan non- dan nonfarmakologi lainnya telah

invasif. menunujukkan keefektifan dalam

mengurangi nyeri.

Ajarkan relaksasi :

Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan Akan melansarkan peredaran darah sehingga

otot rangka, yang dapat menurunkan kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi

intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi dan akan mengurangi nyerinya.

masase.

Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut. Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal

yang menyenangkan.
Berikan kesempatan waktu istirahat bala Istirahat akan merelaksasikan semua jaringan

terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman sehingga akan meningkatkan kenyamanan.

misalnya ketika tidur, belakangnya dipasang

bantal kecil.

Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab Pengkajian yang optimal akan memberikan

nyeri dan respons motorik klien, 30 menit perawat data yang objektif untuk mencegah

setelah pemberian obat analgesic untuk kemungkinan komplikasi dan melakukan

mengkaji efektivitasnya serta setiap 1-2 jam intervensi yang tepat.

setelah tindakan perawatan selama 1-2 hari.

Kolaborasi dengan dokter, pemberian Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga

analgetik. nyeri akan berkurang.

DX 5 : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi,

nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.

Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis dapat

d minimalkan /distabilkan.

Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi kognitif dan

motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak ada tanda-tanda

peningktan TIK,

Intervensi Rasional

Kaji ulang tanda-tanda vital Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat

klien dan status relirologis klien kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan

bermanfaat dalam menentukan lokasi,

perluasan dan perkembangankerusakan ssp.


Monitor tekanan darah, catat adanya Peningkatan tekanan darah sistemik yang

hipertensi sistolik secara teratur dan tekanan diikuti penurunan tekanan darah distolik

nadi yang makin berat, obs, ht, pada klien (nadi yang

yang mengalami trauma multiple. membesar) merupakan tanda terjadinya

peningkatan TIK, juga diikuti ( yang

berhubungan

dengan trauma kesadaran.Hipovolumia/ Ht

(yang berhubungan dengan trauma multiples)

dapat

mengakibatkan kerusakan / iskemik serebral.

Monitor Heart Rate, catat adanya bradikardi, Perubahan pada ritme (paling sering

takikardi atau bentuk disritmia lainya. bradikardia) dan disritmia dapat timbul yang

encerminkan

adanya depresi / trauma pada batang otak

pada pasien yang tidak mempunyai kelainan

jantung sebelumnya.

Monitor pernafasan meliputi pola dan ritme, Nafas tidak teratur menunjukkan adanya

seperti periode apnea setelah hiperventilasi gangguan

(pernafasan cheyne – stokes). serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan

intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinan

dukungan nafas buatan.

Kaji perubahan pada penglihatan ( Gangguan penglihatan dapat diakibatkan oleh

penglihatan kabur, ganda, lap. Pandang kerusakan mikroskopik pada otak,

menyempit merupakan konsekuensi terhadap keamanan

dan kedalaman persepsi. dan juga akan mempngaruhi pilihan


intervensi

Pertahankan kepala / leher pada posisi Kepala yang miring pada salah satu sisi

tengah/ pada posisi netral. Sokong dengan menekan vena jugularis dan menghambat

handuk kecil / aliran darah lain yang selanjutnya akan

bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar meningkat TIK.

pada kepala

Kolaborasi Tinggikan kepala pasien 15 – Meningkatkan aliran balik vena dari kepala,

45o sesuai indikasi / yang dapat ditoleransi. sehingga mengurangi kongesti dan edema

/ resiko terjadinya peningkatan TIK.

Kolaborasi pemberian O2 tambahan sesuai Menurunkan hipoksemia yang mana dapat

indikasi menaikkan vasodilatasi dan vol darah

serebral yang meningkatkan TIK.

Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : - Untuk menurunkan air dari sel otak,

- Diuretik menurunkan edema otak TIK.

- Steroid - Menurunkan inflasi, yang

- Analgetik sedang selanjutnya menurunkan edema jaringan.

- Sedatif - Menghilangkan nyeri dan dapat berakibat Θ

pada TIK tetapi harus digunakan dengan

hasil untuk mencegah gangguan

pernafasan.

- Untuk mengendalikan kegelisahan agitas


DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C. Brenda G.Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan

Suddarth. Edisi 8. Jakarta:EGC

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.

Jakarta: Salemba Medika

M.Taylor, Cynthia., Ralph, Sheila. 2012. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana

Asuhan.Jakarta:EGC

S-ar putea să vă placă și