Sunteți pe pagina 1din 25

ANNISA APRIANTI

1310211181

1. Skor Alvarado (Alvarado score) adalah sistem kriteria skoring yang dibuat untuk mendiagnosis
apendisitis akut (acute appendicitis). Skor Alvarado pertama kali dibuat tahun 1986 dan masih digunakan
hingga sekarang ini oleh para tenaga kesehatan di seluruh dunia karena cepat, murah, dan praktis.1

MANTRELS

Untuk mempermudah mengingat, skor Alvarado ini sering dibuat menjadi akronim MANTRELS. Akronim
ini dibuat berdasarkan urutan gejala dan tanda apendisitis pada skor Alvarado.

Karena akronim ini, skor Alvarado sering disebut juga "skor MANTRELS" (MANTRELS score).

Migration

migrasi rasa nyeri ke regio perut kanan bawah (Rovsing's Sign).

Anorexia

nafsu makan menurun atau tidak ada sama sekali.

Nausea

mual-mual dan/atau muntah-muntah

Tenderness

nyeri tekan regio perut kanan bawah (McBurney's sign)

Rebound pain

nyeri lepas (Blumberg's sign)


Elevation of temperature

suhu aksila > 37,5oC

Leukocytosis

leukosit >10.000 sel/μl

Shift to the left*

hitung jenis leukosit didominasi oleh sel PMN (polimorfonuklear).

* Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai shift to the left bukalah link berikut: Pergeseran Leukosit

Diagnosis appendicitis1

Skor Alvarado ≤ 3, kemungkinan bukan apendisitis (unlikely appendicitis).

Skor Alvarado 4-6, mungkin apendisitis (possible appendicitis).

Skor Alvarado 6-8, kemungkinan besar apendisitis (probable/likely appendicitis).

Skor Alvarado 9-10, pasti apendisitis (definite appendicitis).

Skor Alvarado yang dimodifikasi

Oleh karena masih banyak tempat kesehatan yang belum bisa melakukan pemeriksaan hitung jenis
(diffential count) leukosit; pada tahun 1994, skor Alvarado mengalami modifikasi dengan menghilangkan
shift to the left dari dalam kriteria.

Skor Alvarado yang dimodifikasi (modified alvarado score) ini masih bisa digunakan untuk mendiagnosis
apendisitis. Yang membedakan dengan skor alavado biasa hanya jumlah skornya saja. Skor maksimalnya
adalah 9; bukan 10.
Akurasi diagnosis4,5

Dalam menyingkirkan diagnosis apendisitis (skor ≤ 3), skor Alvarado memiliki sensitivitas 96%.

Dalam menegakan diagnosis apendisitis (skor ≥ 6), skor Alvarado memiliki sensitivitas 58-88%.

2. Apgar score adalah suatu metode penilaian yang digunakan untuk mengkaji kesehatan neonatus
dalam menit pertama setelah lahir sampai 5 menit setelah lahir , serta dapat diulang pada menit ke 10 –
15 . Nilai apgar merupakan standart evaluasi neonatus dan dapat dijadikan sebagai data dasar untuk
evaluasi di kemudian hari . (Adelle , 2002) .
3. Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan yang
berasal dari lingkungan. Untuk mengukur tingkat kesadaran maka digunakanlah suatu cara pemeriksaan
yakni dengan standar Glasgow Coma Scale (GCS), bagaimana cara melakukannya dan
menginterpretasikan penilaian GCS?

Oleh karena itu maka tingkat kesadaran ini dibedakan menjadi beberapa tingkat yaitu :

Composmentis, yaitu kondisi seseorang yang sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap
lingkungannya dan dapat menjawab pertanyaan yang ditanyakan pemeriksa dengan baik.

Apatis, yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya.

Delirium, yaitu kondisi seseorang yang mengalami kekacauan gerakan, siklus tidur bangun yang
terganggu dan tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi serta meronta-ronta.

Somnolen yaitu kondisi seseorang yang mengantuk namun masih dapat sadar bila dirangsang, tetapi bila
rangsang berhenti akan tertidur kembali.

Sopor, yaitu kondisi seseorang yang mengantuk yang dalam, namun masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak terbangun sempurna dan tidak dapat
menjawab pertanyaan dengan baik.

Semi-coma yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak
dapat dibangunkan sama sekali, respons terhadap rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi refleks kornea dan
pupil masih baik.

coma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak
ada gerakan, dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.

Nilai Tingkat Kesadaran GCS orang Dewasa

Berikut nilai acuan dalam penilaian GCS pada orang dewasa:

Eye (respon membuka mata) :

(4) : spontan atau membuka mata dengan sendirinya tanpa dirangsang.

(3) : dengan rangsang suara (dilakukan dengan menyuruh pasien untuk membuka mata).

(2) : dengan rangsang nyeri (memberikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari).

(1) : tidak ada respon meskipun sudah dirangsang.

Verbal (respon verbal atau ucapan) :


(5) : orientasi baik, bicaranya jelas.

(4) : bingung, berbicara mengacau (berulang-ulang), disorientasi tempat dan waktu.

(3) : mengucapkan kata-kata yang tidak jelas.

(2) : suara tanpa arti (mengerang)

(1) : tidak ada respon

Motorik (Gerakan) :

(6) : mengikuti perintah pemeriksa

(5) : melokalisir nyeri, menjangkau dan menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri.

(4) : withdraws, menghindar atau menarik tubuh untuk menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri.

(3) : flexi abnormal, salah satu tangan atau keduanya menekuk saat diberi rangsang nyeri.

(2) : extensi abnormal, salah satu tangan atau keduanya bergerak lurus (ekstensi) di sisi tubuh saat diberi
rangsang nyeri.

(1) : tidak ada respon

Nilai Tingkat Kesadaran GCS pada Bayi dan Anak

Berikut nilai acuan dalam penilaian GCS pada bayi/anak:

Eye (respon membuka mata) :

(4) : spontan

(3) : membuka mata saat diperintah atau mendengar suara

(2) : membuka mata saat ada rangsangan nyeri

(1) : tidak ada respon

Verbal (respon verbal) :

(5) : berbicara mengoceh seperti biasa

(4) : menangis lemah

(3) : menangis karena diberi rangsangan nyeri

(2) : merintih karena diberi rangsangan nyeri


(1) : tidak ada respon

Motorik (Gerakan) :

(6) : bergerak spontan

(5) : menarik anggota gerak karena sentuhan

(4) : menarik anggota gerak karena rangsangan nyeri

(3) : fleksi abnormal

(2) : ekstensi abnormal

(1) : tidak ada respon

Menghitung Nilai GCS dan Intrepretasi Hasilnya

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E-V-M dan selanjutnya nilai
GCS tersebut dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi atau GCS normal adalah 15 yaitu E4V5M6 , sedangkan
yang terendah adalah 3 yaitu E1V1M1. Berikut beberapa penilaian GCS dan interpretasinya terhadap
tingkat kesadaran :

Nilai GCS (15-14) : Composmentis

Nilai GCS (13-12) : Apatis

Nilai GCS (11-10) : Delirium

Nilai GCS (9-7) : Somnolen

Nilai GCS (6-5) : Sopor

Nilai GCS (4) : semi-coma

Nilai GCS (3) : Coma


Beberapa kondisi yang membuat seseorang menurun tingkat kesadarannya, seperti stroke, stroke ringan,

cedera kepalaa, pendarahan otak, dan


lain-lain.

4.
5.

6.

Pemeriksaan fisik adalah komponen pengkajian kesehatan yang bersifat objektif yang dilakukan dengan
cara melakukan pemeriksaan pada tubuh pasien dengan melihat keadaan pasien (inspeksi), meraba
suatu sistem atau organ yang hendak diperiksa (perkusi), mengetuk suatu sistem atau organ yang hendak
diperiksa (palpasi), dan mendegarkan menggunakan stetoskop (auskultasi).

URUTAN DIAGNOSIS

Anamnesis

Anamnesis adalah pemeriksaan tahap awal yang dilakukan dengan wawancara dan dapat membantu
menegakkan diagnosa hingga 80%, anamnesis ini bersifat subjektif.
Tujuannya untuk menegakkan gambaran kesehatan pasien secara umum, dan mengetahui riwayat
penyakit pasien.

Anamnesis dapat dilakukan langsung kepada pasien (autoanamnesis) atau terhadap keluarga atau
kerabat terdekat pasien (hetero/alloanamnesis)

Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah:

1. Identitas Pasien : Terkait nama, umur, alamat, pekerjaan, dll

2. Anamnesis penyakit : Keluhan utama, riwayat penyakit sekarang (onset, frekuensi, sifat, waktu, durasi,
lokasi), riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga (keturunan/penularan), keluhan tambahan,
riwayat pekerjaan.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dimulai dengan menilai keadaan umum, tanda vital, menilai status mental dan cara
berfikir, juga menilai langsung sistem atau organ yang berkaitan dengan keluhan pasien dengan:

1. Inspeksi

2. Palpasi

3. Perkusi

4. Auskultasi

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan ini bertujuan untuk membantu diagnosa ketika anamnesis dan pemeriksaan fisiknya belum
mendapatkan hasil. Dan juga dapat dilakukan untuk memastikan diagnosa meskipun anamnesi dan
pemeriksaan fisiknya sudah mencapai titik terang.
Contoh dari pemeriksaan penunjang seperti:

Pemeriksaan laboratorium : untuk menilai sel-sel darah, urin, feses

Kultur bakteri : untuk mengetahui bakteri penyebab infeksi, dan untuk menentukan antibiotik serta
resistensinya.

Radioimaging : seperti CT-Scan, MRI, rontgen untuk mengetahui langsung bagian dalam tubuh yang
terkait dengan penyakit.

PRINSIP DASAR PEMERIKSAAN FISIK

Tujuan umum pemeriksaan fisik adalah untuk memperoleh informasi mengenai status kesehatan pasien.
Tujuan definitifnya adalah untuk mengindentifikasi status “normal” dan kemudian mengetahui adanya
kelainan dari keadaan normal tersebut dengan memvalidasi keadaan dan keluhan dari gejala pasien.
Skrining keadaan pasien, dan pemantauan masalah kesehatan pasien saat ini. Informasi ini penting untuk
menjadi catatan/rekam medis (medical record) pasien, menjadi dasar data awal dari temuan klinis,
bahkan selalui diperbarui dan ditambahkan sepanjang waktu untuk mengetahui riwayat penyakit dari
pasien.

Informasi dapat bersifat subyektif maupun obyektif. Informasi subyektif didapatkan dari anamnesis
terhadap pasien, sedangkan informasi obyektif didapatkan dengan pemeriksaan fisik pada
pasien.temuan klinis obyektif ini akan memperkuat dan menjelaskan data subyektif yang diperoleh pada
anamnesis, tetapi juga pada saat yang sama, pemeriksaan fisik akan membuat pemeriksa bertanya lebih
lanjut pada saat pemeriksaan berlangsung.

Penentuan metode pillihan pada pemeriksaan fisik dipengaruhi oleh usia. Misalkan pada usa remaja (12-
19 tahun) senaiknya menjalani pemeriksaan fisik setiap 2 tahun. Individu dewasa (20-59 tahun)
sebaiknya menjalani pemeriksaan fisik setiap 5-6 tahun, dan orang lanjut usia (>60 tahun) sebaiknya
melakukan pemeriksaan fisik menyeluruh tiap 2 tahun

Metode tersebut juga dipengaruhi oleh gejala, data fisik, dan laboratorium lainnya, serta tujuan
pemerikaan itu sendiri (misalnya screening fsik umum, pemeriksaan fisik spesifik, atau analisi gejala-
gejala). Pemeriksaan penapisan/screening misalnya mammografi (foto payudara untuk mengetahui
kanker), pap smear (menilai kelainan pada alat vital wanita), uji darah pada feses sebaiknya dilakukan
lebih teratur. Kunjungan berikutnya atau tindak lanjut merupakan kunjungan yang terjadwal untuk
mengkaji progresivitas atau kesembuhan dari suatu masalah atau kelainan tertentu.

METODE PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik diawali dengan penilaian keadaan umum pasien, yang meliputi:

· Ekspresi wajah

Apakah pasien menahan sakit, sesak, atau diam dan tenang-tenang saja

· Gaya berjalan

Nilai apakah ada kelainan, seperti jalan terseok-seok, kecepatan yang menurun, langkah terlalu kecil, dll.

· Tanda spesifik lain

Nilai apakah tampak adanya luka ataupun memar, nilai kelainan lain yang langsung tampak

· Keadaan gizi

Dilakukan pengukuran BB (berat badan) dan TB (tinggi badan).

IMT (indeks massa tubuh) = BB(kg) / TB2 (m)

Klasifikasi IMT :

BB kurang <18,5

BB normal 18,5-22,9

BB lebih >23

Dgn resiko 23-24,9

Obes I 25-29,9

Obes II >30
· Status mental

Nilai tingkah laku, perasaannya, dan juga cara berfikir. Lakukan interaksi sederhana bisa dengan
menanyakan orientasi tempat, waktu. Dan juga aktifitas sehari-hari. Nilai apakah terdapat penurunan
fungsi berfikir atau tidak.

· Bentuk badan

Nilai kelainan bentuk tulang belakang seperti kifosis, lordosis, skoliosis. Nilai bentuk dadanya secara
keseluruhan, nilai juga kelainan bentuk (malformasi) yang terdapat sejak lahir (kongenital)

· Cara bergerak (mobilitas)

Aktif dan dapat memiringkan badannya tanpa kesulitan. Dapat memberi petunjuk pada beberapa
penyakit seperti tulang sendi atau saraf. Juga dapat mengetahui kelainan jantung juga paru-paru yang
mana pasien lebih nyaman dalam keadaan bersandar.

· Pemeriksaan tanda vital

Terdiri atas:

Kesadaran

: nilai dengan menggunakan GCS (glasgow coma scale), yang mana keadaan pasien sadar penuh (compos
mentis) dengan nilai GCS nya 15. Dibawah itu maka pasien mengalami penurunan kesadaran.

Suhu

: dengan menggunakan termometer, letakkan pada ketiak selama satu menit. Normal suhu adalah 36,6
-36,2 derjat celsius.

Tekanan darah

: dengan menggunakan sphygmomanometer atau yang biasa disebut dengan tensimeter. Yang mana nilai
normal nya adalah 120/80 mmHg

Nadi

: dengan cara meraba pada arteri radialis, yang terletak pada pergelangan tangan dibawah ibu jari.
Denyut nadi ini sama dengan denyut jantung, yang mana nilai normalnya adalah 60-100 x permenit.
Napas

: dengan cara melihat, atau meletakkan tangan pada dada pasien, dan menghitung berapa kali pasien
bernafas selama satu menit. Normalnya yaitu 16-20 x permenit

Untuk melakukan pemeriksaan fisik pada sistem terkait, misalkan pemeriksaan fisik paru, jantung, perut.
Terdapat empat teknik yang dilakukan seluruh dunia, yaitu : inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. Teknik-
teknik ini dilakukan dengan memfokuskan pada indera penglihatan, pendengaran, sentuhan dan
penciuman. Data dikumpulkan berdasar semua indera tersebut secara simultan untuk membentuk
informasi yang sempurna.

Inspeksi

Yaitu melihat dan mengevaluasi pasien secara visual. Sebagai individu, kita selalu menilai orang lain
setiap hari, dan membangun kesan mengenai orang lain. Secara tidak kita sadari, sebenarnya kita telah
melakukan inspeksi.

Prinsipnya yaitu, pemeriksa menggunakan fokusnya pada indera penglihatan untuk berkonsentrasi
melihat keadaan pasien secara menyeluruh, dan teliti. Sejak pertama kali pasien masuk ke ruang dokter,
inspeksi sudah dilakukan. Untuk lebih jelas, membenarkan apa yang dilihat oleh mata akan dikaitkan
dengan suara yang terdengar atau bau yang berasal dari pasien. Kemudian informasi dikumpulkan oleh
semua indera tersebut menjadi sebuah informasi yang bermakna.

Palpasi

Yaitu menyentuh atau merasakan dengan tangan, biasanya yang digunakan adalah tangan sebelah
dalam, yaitu dekat dengan telunjuk atau juga bisa menggunakan pads (ujung jari). Palpasi diperlukan
untuk menambah data yang telah didapat melalui inspeksi sebelumnya. Palpasi dilakukan baik pada
permukaan maupun dalam rongga tubuh, terutama pada abdomen (perut) akan memberikan informasi
mengenai posisi, ukuran, bentuk, konsistensi, dan mobitas (gerakan) komponen struktur tubuh (anatomi)
pada perut yang normal. Apakah teraba kelainan seperti pembesaran organ maupun massa yang dapat
teraba. Palpasi ini juga efektif untuk menilai cairan dalam ruang tubuh.
Pads atau ujung jari pada bagian ujung ruas interphalangeal (ruas jari) paling baik digunakan untuk
palpasi, karena ditempat tersebut terdapat ujung saraf peraba yang letaknya saling berdekatan, sehingga
dokter akan lebih mudah merasakan apa yang disentuh. Pengukuran kasar suhu tubuh digunakan
dengan bagian punggung (dorsum) tangan. Posisi ukuran dan struktur otgan yang diraba dapat
diidentifikasi menggunakan tangan. Vibrasi/getaran dapat mudah terdeteksi oleh permukaan telapak
tangan.

Perkusi

Yaitu menepuk permukaan tubuh baik secara ringan maupun tajam. Untuk menentukan posisi, ukuran,
dan densitas struktur atau cairan maupun udara dibawahnya. Menepuk dari permukaan akan
menghasilkan gelombang suara yang masuk secara vertikal sepanjang 5-7 cm dibawah organ yang
diketuk tadi, pantulan suara yang dihasilkan akan berbeda beda tergantung sifat struktur yang dilewati
oleh suara itu, apakah padat, berisi cairan, maupun berisi udara.

Prinsipnya yaitu jika suatu organ berisi lebih banyak udara (seperti paru-paru) maka suara yang
dihasilkan yaitu suara yang lebih keras, rendah dan panjang (suara sonor), jika dibandingkan dengan
organ yang lebih padat (misalnya otot paha), akan menghasilkan suara yang lebih lembut, tinggi dan
pendek (suara pekak). Pada perkusi yang dilakukan pada organ yang berongga (seperti perut), akan
menghasilkan suara dengan nada tinggi dan lebih lama terdengar (suara timpani).

Auskultasi
Yaitu ketrampilan untuk mendengar suara tubuh pada paru-paru, jantung, pembuluh darah dan bagian
dalam/viscera abdomen. Pada umumnya, auskultasi ini merupakan teknik terakhir yang dilakukan pada
suatu pemeriksaan fisik, akan tetapi pada pemeriksaan fisik abdomen (perut), biasanya auskultasi
dilakukan setelah melakukan inspeksi, karena ditakutkan terjadinya perubahan suara gerakan usus
(peristaltik) jikalau dilakukan setelah palpasi dan perkusi. Suara-suara penting yang terdengar saat
auskultasi adalah suara gerakan udara dalam paru-paru, yang mana ketika udara melewati rongga
menuju paru. Juga untuk mendengarkan bunyi usus yang berada pada rongga perut. Kemudian untuk
mendengarkan aliran darah yang melalui sistem kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah). Suara
pada auskultasi dijelaskan dengan frekuensinya, intensitasnya (keras lemahnya), durasinya, kualitas dan
juga waktunya.

Auskultasi dilakukan dengan stetoskop. Stetoskop meneruskan suara melalui ujung alat (endpiece),
tabung pipa (tubing), dan bagian ujung yang diletakkan di telinga (earpiece). Dan penting menghilangkan
suara dari luar yang dapat mengganggu interpretasi.

Bagian ujung stetoskop terdapat diafragma dan bel. Diafragma digunakan untuk meningkatkan suara
yang tinggi pitch-nya (frekuensi), misalnya suara nafas yang terdengar dari paru-paru dan suara usus
yang terdengar dari perut dan ketika mendengarkan suara jantung yang normal. Bel digunakan
khususnya untuk suara dengan pitch-rendah seperti suara-suara murmur jantung (bunyi tambahan pada
detak jantung), turbulensi aliran darah didalam arteri (suara bruits) atau vena (suara hums). Karena
aliran darah memberikan suara dengan pitch yang rendah, bel juga digunakan untuk mengukur tekanan
darah. Akan tetapi diafragma juga sering digunakan untuk mendengarkan bunyi ketika memeriksa
tekanan darah pasien.

POSISI PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan dalam posisi tertentu, tergantung sistem maupun organ mana yang hendak
dinilai. Misalkan pada pemeriksaan fisik jantung, pasien diposisikan dengan posisi kepala lebih tinggi,
pada pasien pemeriksaan fisik genitalia, pentingnya dilakukan posisi lithotomy. Akan tetapi banyak
pemeriksaan dilakukan dalam posisi duduk maupun tidur terlentang (supinasi).
JENIS-JENIS PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dapat dilakukan secara khusus, yaitu tergantung terhadap organ maupun sistem
spesifik yang sesuai dengan keluhan pasien, pemeriksaan fisik tersebut sesuai namanya dengan sistem
maupun organ yang dilakukan pemeriksaan. Contohnya seperti:

Pemeriksaan fisik THT (telinga hidung tenggorokan)

Pemeriksaan fisik leher

Pemeriksaan fisik kulit

Pemeriksaan fisik respirasi (pernafasan)

Pemeriksaan fisik kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah)

Pemeriksaan fisik abdomen (perut)

Pemeriksaan fisik otot, tulang, dan sendi

Pemeriksaan fisik urogenital (saluran urin dan kelamin)

Pemeriksaan fisik endokrin (hormonal)

Pemeriksaan fisik saraf dan indera

Pemeriksaan fisik genitalia eksterna dan internal (alat vital luar dalam)

7. BTLS adalah bagian awal dari ATLS, sebuah pelatihan yang dikembangkan untuk dijadikan standar
dalam pelayanan awal pasien trauma. Tujuan dari pelatihan BTLS ini adalah untuk mempermudah
mempelajari ATLS nanti. Pada BTLS ini dokter atau tenaga kesehatan lainnya tidak diminta untuk
memberikan tatalaksana sesuai diagnosis definitif nya tapi hanya memberikan kesempatan bagi pasien
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan nanti nya. Inti nya pada tahap ini, dokter hanya diminta
membantu pasien untuk tetap hidup atau membuat reaksi kimia C6H12O6 + 6O2 ---> 6CO2 + 6H2O tetap
berlangsung

Apa yang dilakukan seseorang bila melihat pasien trauma??


Jawaban yang terbaik dan terbijak adalah "MINTA TOLONG." Minta tolong disini bukan berarti kita
menunjukan pada orang lain bahwa kita tidak mampu mengerjakannya sendirian. Tapi makna di dalam
nya adalah dengan adanya orang lain kita dibantu untuk tidak mengerjakannya sendirian. Tentunya
tidakan penyelamatan hidup pasien membutuhkan suatu tim yang saling bekerja sama. Dan jawaban
yang kedua adalah kita membutuhkan saksi bahwa semua yang nantinya akan kita kerjakan atas dasar
penyelamatan hidup pasien.

Hal yang kedua yang harus dilakukan proteksi diri! Selamatkan diri kita sebelum menolong orang lain.
Kalau berada di lingkungan yang mengancam nyawa ( contoh: di ruangan yang sedang terbakar) anda
dan pasien maka menjauhlah terlebih dahulu, dan kalau bisa membawa serta pasien nya).

Bentuk proteksi diri lainnya adalah penggunaan head cap, gown, gloves, mask, shoe covers, goggles,
shields. Tujuan nya selain menghindarkan penyebaran infeksi dari pasien-dokter atau sebaliknya juga
digunakan untuk bergaya (Hehehe)

Hal yang berikutnya dilakukan adalah PRIMARY SURVEY!! Di sini dokter diminta menilai secermat
mungkin hal apa yang mengancam nyawa pasien. Beberapa nemonic yang sering membantu antara lain:

A : Airway with c-spine control

B : Breathing and ventilation

C : Circulation with haemorrage control

D : Disability (neurologic evaluation)

E : Exposure and Environment


1. Airway with c-spine contol.

Airway tentunya hal pertama yang harus kita pikirkan dalam penyelamatan seorang pasien. Dokter
diharapkan bisa memberikan distribusi oksigen dalam kurang waktu 8-10 menit.

Bagimana assessment nya?

Kalau pasien sadar, dia mampu berbicara dengan jelas tanpa suara tambahan. Ini berarti laringnya
mampu dilewati udara yang arti nya airway is clear. Terdapat pengecualian untuk pasien luka bakar. Kalau
kita temukan jejas kehitaman pada lubang hidung pasien atau lendir kehitaman yang keluar dari hidung
pasien itu mungkin disebabkan sudah terjadinya inflamasi pada saluran pernapasan akibat inhalasi udara
bersuhu tinggi. Pasien tidak langsung menunjukan gejala obstruksi saluran nafas segera.

Kalau pasien tidak sadar maka segera lakukan penilaian Look-Listen-Feel. Lihat gelisah atau tidak,
gerakan dinding dada, dengarkan ada atau tidak suara nafas, rasakan hembusan nafas pasien dari pipi
dalam satu waktu.

Kalau terjadi obstruksi total maka akan timbul apnea biasa nya disebabkan obstruksi akibat benda asing.
Tindakan yang dapat dilakukan antara lain memberikan penekanan pada dinding abdomen melalui
manuver Heilmicth atau Manuver Abdominal Trust. Kalau untuk anak kecil bisa dibantu dengan
membalik posisi anak secara vertikal agar mempermudah keluarnya benda asing. Tindakan yang
disebutkan di atas dilakukan pada pasien sadar. Sementara pada pasien tidak sadar yang bisa dilakukan
antara lain; finger sweep, abdominal trust, dan instrumental.

Kalau terjadi obstruksi parsial maka pasien akan menunjukan tanda bunyi nafas tambahan. Beberapa
bunyi nafas itu antara lain:

1. Gurgling (kumur-kumur) --> obstruksi akibat adanya air dalam saluran nafas. Penanganannya melalui
suction. Terdapat dua jenis suction yakni, yang elastic dan yang rigid. Pilih saction yang rigid karena lebih
mudah diarahkan. Jangan melakukan tindakan yang berlebihan di daerah laring sehingga tidak timbul
vagal refleks.
2. Stridor (crowing) --> obstruksi karena benda padat dan terjadi pada URT. Penanganan pertama nya
dengan penggunaan endotracheal tube (ETT)

3. Snorg (mengorok) --> biasa nya obstruksi karenan lidah terlipat dan pasien dalam keadaan tidak
sadar. Penangannya yang pertama dengan membuka mulut pasien dengan jalan; chin lift atau jaw trust.
Kemudian diikuti dengan membersihkan jalan nafas melalui finger sweep (cara ini tidak amam karena
memungkinkan trauma mekanik pada jari dokter) atau melalui bantuan instrumen.

Tidakan berikut nya dengan pemasangan oropharingeal tube (untuk pasien tidak sadar) atau
nasopharyngeal tube untuk pasien sadar. Sebagai tambahan info, bahwa pada oropharingeal tube
terdapat tiga jenis ukuran sehingga sebelum memasangnya dokter harus menentukan ukuran yang
sesuai. Cara mudah nya dengan menyamakan ukuran dengan panjang dari lubang telinga ke sudut mulit
atau panjang dari sudut telinga ke lubang hidung, Begitu pula dengan pemasangan nasopharingeal tube.

C-spine kontrol mutlak harus dilakukan terutama pada pasien yang mengalami trauma basis cranii. Ciri
nya adalah keluar darah atau cairan (LCS) bercampur darah dari hidung atau telinga. C-spine kontrol
dilakukan dengan indikasi:

- Multiple trauma

- Terdapat jejas di daerah serviks ke atas

- Penurunan kesadaran.

Jika semua nya gagal, maka terapi bedah menjadi pilihan terakhir.
2. Breathingg and Ventilation

Setelah jalan nafas aman, maka penilaian berikutnya adalah BREATHING!! Liat keadaan torak pasien, ada
atau tidak cyanosis, dan kalau pasien sadar maka pasien mampu berbicara dalam satu kalimat panjang.
Keadaan dada pasien yang mengembung apalagi tidak simetris mungkin disebabkan pneuomotorak atau
pleurahemorage. Untuk membedakannya dilakukan perkusi sidaerah paru. Suara paru yang hipersonor
disebabkan oleh pneumotorak sementara pada pleurahemorage suara paru menjadi redup. Penanganan
pneumotorak ini antara lain dengan menusukan needle 14 G di daerah yang hipersonor atau
pengguanan chest tube.

Bagaimana jika terdapat henti napas??

Hal yang dapat dilakukan antara lain RESUSITASI PARU, bisa dilakukan melalui:

1. Mouth-to mouth

2. Mouth to mask

3. Bag- to mask (Ambu bag).

Nah.. kalau terdapat ventilator maka oksigen dapat diberikan melalui;

Kanul. Pemberian Oksigen melaui kanul hanya mampu memberikan oksigen 24-44 %. Sementara saturasi
oksigen bebas sebesar 21 %.

Face mask/ rebreathing mask. Saturasi oksigen melalui face mask hanya sebesar 35-60%.

Non-rebreathing mask. Pemberian oksigen melalui non-rebreathing mask ini lah pilihan utama pada
pasien cyanosis. Konsentrasi oksigen yang diantarkannya sebesar 80-90%. Perbedaan antara rebreathing
mask dan non-rebreathing mask terletak pada adanya valve yang mencegah udara ekspirasa terinhalasi
kembali.
Note : pada pasien pneumotorok perhatikan adanya keadaan pergesaran mediastinum yang tampak
pada pergeseran trakea, peningkatan tekanan vena jugularis, dan kemungkinan timbul tamponade
jantung

3. Circulation and haemorage control

Bagaimana assessment nya?

Pertama kali yang harus penyelamat perhatikan adalah kemungkinan pasien menagalami shock. Nilai
sirkulasi pasien dengan melihat tanda-tanda perfusi darah yang turun seperti keadaan pucat, akral
dingin, nadi lemah atau tidak teraba. Shock yang tersering dialami pasien trauma adalah shock
hemoragik. Jadi dalam penatalaksanaan nya yang pertama adalah tangani status cairan pasien dan cari
sumber perdarahan, kemudian atasi perdarahan. Berikan cairan intravena kemudian tutup luka dengan
kain kassa, immobilisasi. Pemberian cairan intravena harus pada suhu yang hangat agar tidak
memperberat kondisi pasien (pemsukan cairan yang memiliki suhu lebih rendah daripada suhu tubuh
menyebabkan vasokontriksi sehingga nantinya menurunkan perfusi). Status hidrasi pasien juga harus
diukur melalui output cairannnya sehingga sering diikuti dengan pemasangan kateter. Namun
pemasangan kateter dikontraindikasikan pada pasien yang mengalami ruptura uteri. Ciri nya terdapat
darah pada OUE atau lebam pada perineal atau skrotum.

Luka pasien trauma yang sering menimbulkan keadaan shock antara lain luka pada abdomen, pelvis,
tulang panjang, serta perdarahan torak yang massive.

Kalau terjadi henti jantung maka lakukan massasse jantung.

4. Disability.
Pada tahap ini dokter diharapkan menilai keadaan neurologic pasien. Status neurologic yang dinilai
melalui GCS (Glasgow Coma Scale) dan keadaan pupil serta kecepatannya.

Hal yang dinilai dari GCS antara lain (E-V-M)

Eye :

Membuka mata spontan 4

Membuka mata karena suruhan 3

Membuka mata sebagai respon nyeri 2

Tidak membuka mata 1

Verbal

Terorientasi baik 5

Tidak tersusun tapi tetap terorientasi 4

Tidak terorientasi 3

Bersuara tapi tidak dalam bentuk kata 2

Tidak bersuara 1

Movement

Obeys commands 6

Localize to pain 5

Flexi to pain 4

Abnormal flexion to pain 3

Extension to pain 2

Tidak ada respon motorik 1

Kesadaran baik >13, sedang 9-12, Buruk /koma <8


Respon pupil dinilai pada kedua mata. Jika terdapat lateralisasi maka kemungkinan terdapat cedera
kepala yang ipsilateral. Jika respon pupil lambat maka kemungkinan terdapat cedera kepala.

5. Exposure dan Enviroment.

Buka pakaian pasien untuk mengeksplorasi tubuh pasien untuk melihat kemungkinan adanya multiple
trauma. Kemudian selimuti pasien agar mencegah hipothermi.

Setelah semua dilakukan dan keadaan pasien menjadi stabil lakukan kembali SECONDARY SURVEY.
Dokter diharapkan memriksan kembali dari awal, anamnesis riwayat pasien, lakukan pemeriksaan
neurologi yang komplit (tes refleks, CT-scan, MRI), dan membuat diagnosis spesifik, dan lainnya.
8.
9.

10.

S-ar putea să vă placă și