Sunteți pe pagina 1din 13

B.

Manfaat identifikasi resiko di Rumah Sakit


1. Informasi yang lebih baik sekitar risiko sehingga tingkat dan sifat risiko
terhadap pasien dapat dinilai dengan tepat.
2. Pembelajaran dari area risiko yang satu, dapat disebarkan di area risiko
yang lain.
3. Pendekatan yang konsisten untuk identifikasi, analisis dan investigasi
untuk semua risiko, yaitu menggunakan RCA.
4. Membantu RS dalam memenuhi standar-standar terkait, serta kebutuhan
clinical governance.
5. Membantu perencanaan RS menghadapi ketidakpastian, penanganan
dampak dari kejadian yang tidak diharapkan, dan meningkatkan keyakinan
 pasien dan masyarakat.
C. Resiko di Rumah Sakit
 Risk = Probability (of the event) X Consequence
Risiko di Rumah Sakit:
 Risiko klinis adalah semua isu yang dapat berdampak terhadap pencapaian
 pelayanan pasien yang bermutu tinggi, aman dan efektif.
 Risiko non klinis/corporate risk   adalah semua isu yang dapat berdampak
terhadap tercapainya tugas pokok dan kewajiban hukum dari rumah sakit
sebagai korporasi.
Kategori risiko di rumah sakit ( Categories of Risk  ) :
  Patient care care-related risks
  Medical staff staff-related risks
  Employee Employee-related risks
  Property Property-related risks
  Financial risks
 Other risks
Jika risiko sudah dinilai dengan tepat, maka proses ini akan membantu rumah
sakit, pemilik dan para praktisi untuk menentukan prioritas dan perbaikan dalam

2
 pengambilan keputusan untuk mencapai keseimbangan optimal antara risiko,
keuntungan dan biaya.
Resiko bahaya di rumah sakit tidak semuanya akan nampak kalau kita tidak dapat
mengenalinya, terutama resiko bahaya biologi, karena keberadaan micro
organisme patogen tidaklah nampak seperti resiko bahaya fisik atau kimia. Akan
tetapi dampak dari resiko bahaya biologi di rumah sakit jika tidak dikendalikan,
maka dapat berdampak serius baik terhadap kesehatan maupun terhadap
keselamatan pekerja dan pengunjung serta masyarakat disekitar rumah sakit.
Identifikasi risiko adalah usaha mengidentifikasi situasi yang dapat menyebabkan
cedera, tuntutan atau kerugian secara finansial. Identifikasi akan membantu
langkah-langkah yang akan diambil manajemen terhadap risiko tersebut.
 Instrument:
1. Laporan kejadian-kejadian
2.  Review Rekam Medik (Penyaringan Kejadian untuk memeriksa dan mencari
 penyimpangan-penyimpangan pada praktik dan prosedur)
3. Pengaduan (Complaint ) pengunjung atau pasien dan keluarga pasien
4. Survey/Self Assesment , dan lain-lain
Secara umum resiko bahaya di rumah sakit dapat dikelompokkan dalam 5
kelompok sebagai berikut;
a. Resiko Bahaya Fisik 
Resiko bahaya fisik dikelompokkan lagi dalam 7 resiko bahaya fisik antara lain:
1) Resiko bahaya mekanik 
Resiko bahaya ini dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:
a) Benda-benda lancip, tajam dan panas  dengan resiko bahaya tertusuk,
terpotong, tergores, dan lain-lain. Resiko bahaya ini termasuk salah satu
yang paling sering menimbulkan kecelakaan kerja yaitu tertusuk jarum
suntik / jarum jahit bekas pasien. Resiko bahaya ini sebenarnya bukan
hanya resiko bahaya fisik karena dimungkinkan jarum bekas yang
menusuk tersebut terkontaminasi dengan kuman dari pasien. Mengingat

3
 bahaya akibat tertusuk jarum cukup besar maka dyperlukan pengawasan
yang ketat oleh tim PPI.

 b) Benda-benda bergerak yang dapat membentur. Seperti kita ketahui di


rumah sakit banyak digunakan kereta dorong untuk mengangkut pasien
dan barang-barang logistik. Resiko yang dapat muncul adalah pasien
 jatuh dari brankart/ tempat tidur, terjepit / tertabrak kereta dorong, dan
lain-lain.
c) Resiko terjepit, tertimbun dan tenggelam . Resiko ini dapat terjadi
dimana saja meskipun kejadiannya tidak terlalu sering. Pastikan tidak
ada pintu, jendela atau fasilitas lain yang memiliki resiko untuk
terjepit/tenggelam tersebut.
d) Resiko jatuh dari ketinggian yang sama; terpeleset, tersandung, dan
lain-lain. Resiko ini terutama pada lantai-lantai yang miring baik di
koridor atau batas lantai dengan halaman. Pastikan area yang beresiko
licin ditandai dan jika perlu pasanglah handriil atau pemasangan alat
lantai anti licin serta rambu peringatan “awas licin”.
e) Jatuh dari ketinggian berbeda.  Resiko ini pada ruang perawatan anak.
Selain itu perlu diperhatikan pada pekerjaan konstruksi bangunan atau
 pembersihan kaca pada posisi yang cukup tinggi. Jika pekerjaan
dilakukan pada ketinggian lebih dari 2 meter sebaiknya pekerja tersebut
menggunakan abuk keselamatan. Pada ruang perawatan anak yang
terletak di lantai atas pastikan jendela yang ada terpasang teralis
 pengaman dan anak-anak selalu dalam pengawasan orang dewasa saat
 bermain.

2) Resiko bahaya radiasi


Resiko bahaya radiasi dapat dibedakan menjadi:

4
a) Bahaya radiasi pengion adalah radiasi elektromagnetik atau
partikel yang mampu menghasilkan ion langsung atau tidak
langsung. Contoh di rumah sakit: di unit radiologi
 b) Bahaya radiasi non pengion adalah Radiasi elektromagnetik dengan
energi yang tidak cukup untuk ionisasi, misal radiasi infra merah atau
radiasi gelombang mikro.
Pengendalian resiko bahaya radiasi dilakukan untuk pekerja radiasi,
 peserta didik, pengunjung dan pasien hamil. Pekerja radiasi harus sudah
mendapatkan informasi tentang resiko bahaya radiasi dan cara
 pengendaliannya. Selain APD yang baik, monitoring tingkat paparan
radiasi dan kepatuhan petugas dalam pengendalian bahaya radiasi
merupakan hal yang penting. Sebagai indikator tingkat paparan, semua
 pekerja radiasi harus memakai personal dosimetri untuk mengukur
tingkat paparan radiasi yang sudah diterima sehingga dapat dipantau dan
tingkat paparan tidak boleh melebihi ambang batas yang diijinkan.
Untuk pengunjung dan pasien hamil hendaknya setiap ruang
 pemerikasaan beradiasi terpasang rambu peringatan “Awas bahaya
radiasi, bila hamil harus melapor kepada petugas”.
3) Resiko bahaya akibat kebisingan adalah kebisingan akibat alat kerja atau
lingkungan kerja yang melebihi ambang batas tertentu. Resiko ini mungkin
 berada di ruang generator listrik, dan peralatan yang menggunakan alat-alat
cukup besar dimana tingkat kebisingannya tidak dipantau dan dikendalikan.
Berdasar peraturan menteri kesehatan RI no 1204 tahun 2004 tentang
 pengendalian lingkungan fisik di rumah sakit, seluruh area pelayanan pasien
harus dipantau dan dikendalikan tingkat kebisingannya minimal 3 bulan
sekali.
4) Resiko bahaya akibat pencahayaan adalah pencahayaan pada lingkungan
kerja yang kurang atau berlebih. Tingkat pencahayaan diseluruh area rumah
sakit juga dipantau dan dilaporkan seperti resiko bahaya kebisingan. Hal
yang harus diperhatikan adalah jika terjadi kerusakan lampu, pastikan lampu

5
 pengganti setara tingkat pencahayaannya dengan lampu sebelumnya,
sehingga tidak terjadi perubahan dalam tingkat pencahayaan pada area
tersebut.
5) Resiko bahaya listrik adalah bahaya dari konsleting listrik dan kesetrum arus
listrik. Kalibrasi peralatan medis dan penggantian peralatan yang telah out
off date. Untuk mencegah bahaya kebakaran akibat peralatan listrik
dilakukan sosialisasi kepada seluruh mahasiswa pada saat orientasi dan
untuk keluarga pasien informasi diberikan pada saat pasien masuk rumah
sakit khususnya pasien rawat inap.
6) Resiko bahaya akibat iklim kerja adalah berupa suhu ruangan dan tingkat
kelembaban. Jika suhu dan kelembaban di rumah sakit tidak dikendalikan
dapat mempengaruhi lingkungan kerja dan kualitas hasil kerja. Pemantauan
secara berkala seharusnya dilakukan dan jika ditemukan kondisi tidak
memenuhi persyaratan akan dilakukan pengendalian oleh IPSRS, PPI, Unit
K3RS yang dipimpin oleh Direktur Umum dan Operasional.
7) Resiko bahaya akibat getaran adalah resiko yang tidak banyak ditemukan di
rumah sakit tetapi mungkin masih ada terutama pada kedokteran gigi yang
menggunakan bor dengan motor listrik dan pada bagian house keeping /
rumah tangga yang menggunakan mesin pemotong rumput (bagian taman).

b. Resiko Bahaya Biologi


1) Resiko dari kuman-kuman patogen dari pasien (nosokomial). Resiko ini di
rumah sakit sudah dikendalikan oleh bagian Petugas Pemantau Infeksi Rumah
Sakit (PPIRS) berkoordinasi dengan Unit K3, Instalasi Sanitasi Lingkungan
RS (ISLRS) dan Satuan kerja pemberi pelayanan langsung kepada pasien.
2) Resiko dari binatang (tikus, kecoa, lalat, kucing, dan lain-lain). Resiko ini
dikendalikan oleh ISLRS dan harus didukung dengan  housekeeping yang baik
dari seluruh karyawan dan penghuni rumah sakit.

6
c. Resiko Bahaya Kimia
Resiko dari bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi yang meliputi:
1) Desinfektan yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk dekontaminasi
lingkungan dan peralatan di rumah sakit seperti; mengepel lantai, desinfeksi
 peralatan dan permukaan peralatan dan ruangan, dan lain-lain.
2) Antiseptik yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk cuci tangan dan mencuci
 permukaan kulit pasien seperti alkohol, iodine povidone, dan lain-lain.
3) Detergen yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk mencuci linen dan
 peralatan lainnya.
4) Reagen yaitu zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan
 pemeriksaan laboratorium klinik dan patologi anatomi.
5) Obat-obat sitotoksik yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk pengobatan
 pasien.
6) Gas medis yaitu gas yang dipergunakan untuk pengobatan dan bahan
 penunjang pengobatan pasien seperti oksigen, karbon dioxide, nitrogen, nitrit
oxide, nitrous oxide, dan lain-lain.
Pengendalian bahan kimia dilakukan oleh Unit K3RS berkoordinasi dengan
seluruh satuan kerja. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah pengadaan B3,
 penyimpanan, pelabelan, pengemasan ulang/repacking,  pemanfaatan dan
 pembuangan limbahnya.
Pengadaan bahan beracun dan berbahaya harus sesuai dengan peraturan
yang berlaku di Indonesia. Penyedia B3 wajib menyertakan Lembar Data
Keselamatan Bahan ( Material Safety Data Sheet /MSDS), petugas yang mengelola
harus sudah mendapatkan pelatihan pengelolaan B3, serta mempunyai prosedur
 penanganan tumpahan B3.
Penyimpanan B3 harus terpisah dengan bahan bukan B3, diletakkan
diatas palet atau didalam lemari B3, memiliki daftar B3 yang disimpan, tersedia
MSDS, safety shower, APD sesuai resiko bahaya dan Spill Kit untuk menangani
tumpahan B3 serta tersedia prosedur penanganan Kecelakaan Kerja akibat B3.

7
Pelabelan dan pengemasan ulang harus dilakukan oleh satruan kerja yang
kompeten untuk memjamin kualitas B3 dan keakuratan serta standar pelabelan.
Dilarang melakukan pelabelan tanpa kewenangan yang diberikan oleh pimpinan
rumah sakit.
Pemanfaatan B3 oleh satuan kerja harus dipantau kadar paparan ke
lingkungan serta kondisi kesehatan pekerja. Pekerja pengelola B3 harus memiliki
 pelatihan teknis pengelolaan B3, jika belum harus segera diusulkan sesuai
 prosedur yang berlaku.
Pembuangan limbah B3 cair harus dipastikan melalui saluran air kotor yang
akan masuk ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Limbah B3 padat harus
dibuang ke Tempat Pengumpulan Sementara Limbah B3 (TPS B3), untuk
selanjutnya diserahkan ke pihak pengolah limbah B3.

d. Resiko Bahaya Fisiologi / Ergonomi


Resiko ini terdapat pada hampir seluruh kegiatan di rumah sakit berupa kegiatan:
angkat dan angkut, posisi duduk, ketidak sesuaian antara peralatan kerja dan
ukuran fisik pekerja. Pengendalian dilakukan melalui sosialisasi secara berkala
oleh Unit K3.

e. Resiko Bahaya Psikologi


Resiko ini juga dapat terjadi di seluruh rumah sakit berupa ketidak harmonisan
hubungan antar manusia didalam rumah sakit, baik sesama pekerja, pekerja
dengan pelanggan, maupun pekerja dengan pimpinan.

D. Hierarki pengendalian resiko bahaya


Resiko-resiko bahaya tersebut semua dapat kita kendalikan melalui 5 hierarchy
sebagai berikut;
a. Eliminasi
Hirarki teratas yaitu eliminasi/menghilangkan bahaya dilakukan pada saat desain,
tujuannya adalah untuk menghilangkan kemungkinan kesalahan manusia dalam

8
menjalankan suatu sistem karena adanya kekurangan pada desain. Penghilangan
 bahaya merupakan metode yang paling efektif sehingga tidak hanya
mengandalkan prilaku pekerja dalam menghindari resiko, namun demikian,
 penghapusan benar-benar terhadap bahaya tidak selalu praktis dan ekonomis.
Contohnya: resiko bahaya kimia akibat proses reuse hollow fiber HD dapat di
eliminasi ketika hollow fiber tidak perlu reuse lagi atau single use.

 b. Substitusi
Metode pengendalian ini bertujuan untuk mengganti bahan, proses, operasi
ataupun peralatan dari yang berbahaya menjadi lebih tidak berbahaya. Dengan
 pengendalian ini menurunkan bahaya dan resiko minimal melalui disain sistem
ataupun desain ulang. Beberapa contoh aplikasi substitusi misalnya: Sistem
otomatisasi pada mesin untuk mengurangi interaksi mesin-mesin berbahaya
dengan operator, menggunakan bahan pembersih kimia yang kurang berbahaya,
mengurangi kecepatan, kekuatan serta arus listrik, mengganti bahan baku padat
yang menimbulkan debu menjadi bahan yang cair atau basah.

c. Rekayasa / Enginering.
Pengendalian ini dilakukan bertujuan untuk memisahkan bahaya dengan pekerja
serta untuk mencegah terjadinya kesalahan manusia. Pengendalian ini terpasang
dalam suatu unit sistem mesin atau peralatan.
Contoh-contoh implementasi metode ini misal adalah sistem tekanan negatif pada
ruang perawatan air borne dissease, penggunaan laminar airflow, pemasangan
shield /sekat Pb pada pesawat fluoroscopy (X-Ray), dan lain-lain.

d. Administratif
Kontrol administratif ditujukan pengendalian dari s isi orang yang akan melakukan
 pekerjaan. Dengan dikendalikan metode kerja diharapkan orang akan mematuhi,
memiliki kemampuan dan keahlian cukup untuk menyelesaikan pekerjaan secara
aman. Jenis pengendalian ini antara lain seleksi karyawan, adanya standar

9
operasional Prosedur (SOP), pelatihan, pengawasan, modifikasi perilaku, jadwal
kerja, rotasi kerja, pemeliharaan, manajemen perubahan, jadwal istirahat, dan lain-
lain.

e. Alat pelindung diri (APD)


Pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri merupakan merupakan hal yang
 paling tidak efektif dalam pengendalian bahaya. APD hanya dipergunakan oleh
 pekerja yang akan berhadapan langsung dengan resiko bahaya dengan
memperhatikan jarak dan waktu kontak dengan resiko bahaya tersebut. Semakin
 jauh dengan resiko bahaya maka resiko yang didapat semakin kecil, begitu juga
semakin singkat kontak dengan resiko bahaya resiko yang didapat juga semakin
kecil.
Penggunaan beberapa APD kadang memiliki dampak negatif pada pekerja
seperti kurang leluasa dalam bekerja, keterbatasan komunikasi dengan pekerja
lain, alergi terhadap APD tertentu, dan lain-lain. Beberapa pekerja yang kurang
faham terhadap dampak resiko bahaya dari pekerjaan yang dilakukan kadang
kepatuhan dalam penggunaan APD juga menjadi rendah. APD reuse memerlukan
 perawatan dan penyimpanan yang baik sehingga kualitas perlindungan dari APD
tersebut tetap optimal.
Hierarki pengendalian resiko bahaya tersebut dapat dilihat pada gambar di
 bawah ini.

Gambar 1. Hierarchy pengendalian resiko bahaya.

10
E. Pengendalian Resiko Bahaya
Setelah kita ketahui jenis-jenis resiko bahaya di rumah sakit, ternyata seluruh
resiko bahaya tersebut terdapat di rumah sakit. Beberapa contoh sistem
 pengendalian resiko bahaya yang telah dilakukan di rumah sakit adalah sebagai
 berikut:
1. Resiko bahaya fisik
a. Mekanik : resiko yang paling sering terjadi adalah tertusuk jarum
dan terpeleset atau menabrak dinding / pintu kaca. Pengendalian yang sudah
dilakukan antara lain: penggunaan safety box limbah tajam, kebijakan dilarang
menutup kembali jarum bekas, pemasangan keramik anti licin pada koridor
dan lantai yang miring, pemasangan rambu “awas licin”, pemasangan kaca
film dan stiker pada dinding / pintu kaca agar lebih kelihatan, kebijakan
 penggunaan sabuk keselamatan pada pekerjaan yang dilakukan pada
ketinggian lebih dari 2 meter, dan lain-lain.
 b. Resiko bahaya radiasi: resiko ini terdapat di ruang radiologi, radio therapi,
kedokteran nuklir, ruang cath lab dan beberapa kamar operasi yang memiliki
fluoroskopi / x-ray. Pengendalian yang sudah dilakukan antara lain:
 pemasangan rambu peringatan bahaya radiasi, pelatihan proteksi bahaya
radiasi, penyediaan APD radiasi, pengecekan tingkat paparan radiasi secara
 berkala dan pemantauan paparan radiasi pada petugas radiasi dengan personal
dosimetri pada patugas radiasi.
c. Resiko bahaya kebisingan: terdapat pada ruang boiler, generator listrik dan
ruang chiller. Pengendalian yang telah dilakukan antara lain: substitusi
 peralatan dengan alat-alat baru dengan ambang kebisingan yang lebih rendah,
 penggunaan pelindung telinga dan pemantauan tingkat kebisingan secara
 berkala oleh Instalasi Sanitasi Lingkungan Rumah Sakit (ISLRS).
d. Resiko bahaya pencahayaan: resiko bahaya ini terutama di satuan kerja dengan
 pekerjaan teliti seperti di kamar operasi dan laboratorium. Pengendalian yang
sudah dilakukan adalah pemantauan tingkat pencahayaan secara berkala oleh

11
ISLRS dan hasil pemantauan dilaporkan ke Direktur, Teknik dan Unit K3
untuk tindak lanjut ruangan yang tingkat pencahayaannya tidak memenuhi
 persyaratan.
e. Resiko bahaya listrik: resiko bahaya listrik terdiri dari konsleting dan
kesetrum. Pengendalian yang telah dilakukan adalah adanya kebijakan
 penggunaan peralatan listrik harus memenuhi Standar Nasional Indonesia
(SNI) dan harus dipasang oleh bagian IPSRS atau orang yang kompeten.
Peralatan elektronik di RSUD Cilegon secara berkala dilakukan maintenance
oleh bagian IPSRS dan seluruh peralatan yang layak pakai akan diberikan
label layak pakai berupa stiker warna hijau, sedangkan yang tidak layak pakai
akan diberikan stiker merah dan peralatan tersebut ditarik oleh bagian IPSRS.
Selain itu unit K3 dan IPSRS secara berkala melakukan sosialisasi ke seluruh
satuan kerja tentang perilaku aman dalam menggunakan listrik di rumah sakit.
f. Resiko bahaya akibat iklim kerja: resiko ini meliputi kondisi temperatur dan
kelembaban ruang kerja. Pemantauan temperatur dan kelembaban dilakukan
oleh ISLRS. Acuan dari standar temperatur dan kelembaban mengacu pada
keputusan menteri kesehatan RI no 1402 tahun 2004 tentang persyaratan
kesehatan lingkungan rumah sakit.
Masalah yang sering muncul adalah temperatur melebihi standar seperti di
Instalasi Binatu dan ruang produksi gizi, karena belum memungkinkan untuk
distandarkan pengendalian yang dilakukan dengan pemberian minum yang
cukup. Masalah kelembaban yang tinggi beresiko terjadinya kolonisasi kuman
 patogen sehingga meningkatkan angka infeksi baik bagi pasien maupun bagi
 pekerja. Pengendalian secara teknis telah dilakukan akan tetapi pada musim
tertentu kadang tidak memenuhi persyaratan. Upaya yang dilakukan untuk
menghambat kolonisasi kuman terutama pada ruang perawatan pasien, ICU
dan kamar operasi harus dilakukan desinfeksi ruangan lebih sering dan
 pemantauan angka kuman secara berkala.
g. Resiko bahaya akibat getaran: resiko bahaya getaran tidak terlalu signifikan.
Dari telaah yang telah dilakukan unit K3, resiko bahaya getaran ditemukan di

12
 bagian taman akibat dari mesin pemotong rumput dan di klinik gigi akibat dari
mesin bor gigi, tetapi tingkat getaran pada ke 2 lokasi tersebut masih dalam
 batas yang diijinkan.
2. Resiko bahaya biologi : resiko bahaya biologi yang paling banyak adalah
akibat kuman patogen dari pasien yang ditularkan melalui darah dan cairan
tubuh, dropet dan udara. Pengendalian resiko ini telah dilakukan oleh Tim
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) akan tetapi termasuk dalam area
 pemantauan Unit K3. Resiko air borne dissease dikendalikan dengan rekayasa
ruangan tekanan negatif beserta peraturan administratif dan APD. Resiko
 penularan melalui droplet dikendalikan dengan menyediakan masker bagi
 petugas, pengantar pasien dan pasien yang batuk, serta sosialisasi etika batuk
oleh PPI. Resiko blood borne dissease dikendalikan dengan penggunaan alat-
alat  single use  beserta persturan administratif dan APD. Selain itu untuk
mencegah penularan penyakit blood borne dissease  khususnya Hepatitis B
dilakukan Imunisasi Hepatitis B dengan perioritas pada karyawan dengan
kadar titer anti HBs < 0,2 u/L terutama yang bekerja pada tindakan invasif
terhadap pasien. Selain itu juga telah dilakukan penanganan paska pajanan
infeksi khususnya pada HIV dan Hepatitis B. Bila pekerja atau peserta didik
mengalami kecelakaan kerja berupa tertusuk jarum bekas pasien atau terkena
 percikan darah dan cairan tubuh pada mukosa (mata, mulut) atau terkena pada
luka, maka wajib melaporkan kepada penanggung jawab ruangan pada saat itu
dan setelah melakukan pertolongan pertama harus segera periksa ke IGD agar
dilakukan telaah dan tindak lanjut paska pajanan sesuai prosedur untuk
mengurangi resiko tertular.
3. Resiko bahaya kimia: resiko ini terutama terhadap bahan kimia golongan
 berbahaya dan beracun (B3). Pengendalian yang telah dilakukan adalah
dengan identifikasi bahan-bahan B3, pelabelan standar, penyimpanan standar,
 penyiapan MSDS, penyiapan P3K, APD dan  safety shower   serta pelatihan
teknis bagi petugas pengelola B3. Rekayasa juga dilakukan dengan
 penggunaan Laminary Airflow pada pengelolaan obat dan B3 lainnya.

13
4. Resiko bahaya ergonomi: resiko ini banyak terjadi pada pekerjaan angkat dan
angkut baik pasien maupun barang. Sosialisasi cara mengangkat dan
mengangkut yang benar selalu dilakukan. Selain itu dalam pemilihan sarana
dan prasarana rumah sakit juga harus mempertimbangkan faktor ergonomi
tersebut terutama peralatan yang dibeli dari negara lain yang secara fisik
terdapat perbedaan ukuran badan.
5. Resiko bahaya psikologi: resiko psikologi tidak terlalu kelihatan akan tetapi
selalu ada meskipun kadarnya tidak terlalu mencolok. Upaya yang dilakukan
antara lain dengan mengadakan pertemuan antar satuan kerja, antar staff dan
 pimpinan dan pada acara-acara bersama seperti saat ulang tahun RS dan lain-
lain yang bertujuan agar terjalin komunikasi yang baik sehingga secara
 psikologi menjadi lebih akrab dengan harapan resiko bahaya psikologi dapat
ditekan seminimal mungkin.

14

S-ar putea să vă placă și