Sunteți pe pagina 1din 103

Rumah Dharma – Hindu Indonesia

---------------------------------------------------------------------------

PANDUAN RINGKAS
MEBANTEN
Ditulis oleh : I Nyoman Kurniawan
PANDUAN RINGKAS MEBANTEN

Penulis :
I Nyoman Kurniawan

Peraga :
Ni Nyoman Nina Yulianti

Fotografi :
I Wayan Suana [Nararya-Art]

Diterbitkan oleh :
Rumah Dharma - Hindu Indonesia

Rahina Soma Ribek, 06 Oktober 2014


PENDAHULUAN

Hindu Bali dan Nusantara sangat identik


dengan kedamaian. Dalam ajaran Hindu kita
diajarkan, kepada mahluk-mahluk alam bawah
dengan penuh belas kasih kita memberikan
persembahan, kepada sesama manusia kita saling
menghormati dan menyayangi, kepada para Ista
Dewata alam-alam suci dengan sujud penghormatan
dan rasa terimakasih kita memberikan persembahan.
Pada puncaknya penganut Hindu mengucapkan
mantra suci paramashanti, atau damai [shanti] tiga
kali. Damai di alam bawah, damai di alam tengah
dan damai di alam suci. Karena satu-satunya hal
yang ada di balik semua ini hanya satu, yaitu
kedamaian.

Mebanten adalah salah satu bagian dari ajaran


suci yang disebut jagadhita dharma, yang bertujuan
menciptakan kedamaian bagi alam semesta dan
semua mahluk. Dengan penuh belas kasih kita
memberikan persembahan kepada mahluk-mahluk
alam bawah, serta dengan sujud penghormatan dan
rasa terimakasih kita memberikan persembahan
kepada para Ista Dewata.
Hanya saja di jaman sekarang ini, mungkin ada
sebagian penganut Hindu yang kurang memahami
tentang tattwa [tujuan, tata cara dan aturan] dari
mebanten. Sehingga walaupun sudah rajin
mebanten, ada kemungkinan dampak atau hasilnya
kurang begitu maksimal, karena kurang tepat dalam
tattwa-nya.

Saya menyusun buku ini dengan tujuan untuk


menyegarkan dan mengingatkan kembali tentang
tattwa dalam mebanten, terutama bagi mereka yang
memang memerlukan pengetahuan ini. Sehingga
jagadhita dharma sebagai kekayaan spiritual
adiluhung yang diwariskan para leluhur kita di Bali
dan Nusantara bisa tetap terlaksana dengan baik.

Dengan sebuah catatan bahwa kita harus


menyadari bahwa ada bentuk tradisi dan tattwa
yang berbeda-beda diantara satu daerah dan daerah
lainnya. Kita memakai mana saja sebagai acuan
tattwa itu bagus dan tepat. Karena keberagaman
bentuk tradisi dan tattwa ini tidak saja tujuannya
sama, tapi sumber asalnya juga sama dan satu.
Perbedaan bentuk tradisi dan tattwa bukanlah
masalah, melainkan untuk saling memperkaya.
Perbedaan adalah yang menciptakan keindahan.
Laksana pelangi menjadi demikian indah karena ada
banyak warna-warni yang berbeda di dalamnya.
Di dalam penulisan buku ini, penulis berusaha
membuat sebuah tattwa panduan dasar mebanten
yang ringkas [inti] tapi sekaligus juga dampaknya
dapat bekerja dengan efektif. Selain itu, penulis
menyadari bahwa di jaman modern ini muncul
sebuah kebutuhan baru pada sebagian masyarakat,
yaitu bagaimana agar kekayaan spiritual adiluhung
ini tetap bisa dilaksanakan, tapi dengan lebih simpel
di tengah hiruk-pikuk kehidupan. Ini bisa dimaklumi
karena perubahan jaman menyebabkan masyarakat
berpindah dari kehidupan agraris menuju kehidupan
pekerja, yang menyita demikian banyak waktu dan
pikiran.

Astungkara melalui panduan buku ini


mebanten sebagai jagadhita dharma dapat
dilaksanakan dengan baik, agar hasilnya maksimal.
Sehingga diri kita sendiri beserta orang-orang
disekitar lingkungan kita dan semua mahluk akan
dapat menerima getaran energi kedamaian.
Bab 1

TUJUAN LUHUR MEBANTEN

Tujuan tertinggi dalam ajaran Hindu yang


diharapkan dapat tercapai bagi semua mahluk
adalah “moksartham jagadhita ya ca iti dharma”,
yang berarti –“melalui ajaran dharma kita berupaya
meraih pembebasan dari roda samsara [moksartham]
serta mewujudkan keharmonisan alam semesta
[jagadhita]”-.

Ini berarti bahwa dalam ajaran Hindu kita


manusia tidak semata-mata hanya memfokuskan diri
pada upaya meraih pembebasan dari siklus samsara
[mokshartham], tapi juga ada satu tugas pokok
lainnya, yaitu dengan dasar belas kasih kita berkarma
baik menjaga keseimbangan dan keharmonisan
kosmos atau alam semesta [jagadhita]. Karena di
dalam kedua upaya inilah ada kekuatan spiritual
semesta yang sempurna, yang berguna bagi
kebahagiaan semua mahluk.

Sehingga Hindu Dharma di Nusantara identik


dengan mebanten atau memberikan persembahan.
Misalnya di Pulau Bali, selama ribuan tahun setiap
harinya jutaan persembahan yang dihaturkan. Ini
bukannya tidak ada hasil atau dampaknya. Bali
adalah pulau yang sarat dengan getaran energi
ketenangan dan kedamaian. Orang-orang luar Bali
yang datang ke Bali banyak yang merasakan
perbedaan suasana yang dirasakan di Bali.
Merasakan ketenangan dan kedamaian yang
nyaman. Salah satu rahasianya adalah karena orang
Bali sangat rajin menghaturkan persembahan.

Kehidupan manusia tentunya penuh dengan


dinamika. Ada riak-riak perjalanan kehidupan yang
menimbulkan kemarahan, kesedihan, kekecewaan,
kebencian, keserakahan, ketidak-puasan, konflik,
stress, dsb-nya. Ini semuanya akan menghasilkan dan
menyebarkan getaran energi seperti apa yang
dipikirkan dan dirasakan manusia.

Semakin besar hiruk-pikuk atau pertikaian


manusia di suatu tempat, maka semakin besarlah
getaran energi buruk yang dihasilkan dan disebarkan.
Semakin padat jumlah penduduk di suatu tempat,
maka semakin besarlah getaran energi buruk yang
dihasilkan dan disebarkan. Demikian juga bila secara
niskala di suatu tempat, karena sebab-sebab tertentu
energinya cenderung sangat buruk, maka besarlah
juga getaran energi yang dihasilkan dan disebarkan.
Alam semesta ini tidak dapat dipisahkan
dengan unsur sekala dan niskala. Sekala adalah alam
material atau alam fisik ini yang dapat dirasakan
langsung keberadaannya dengan indriya-indriya
biasa, sedangkan niskala adalah alam halus yang
tidak dapat dirasakan dengan indriya-indriya biasa.
Di dalam menata berbagai aspek kehidupan, harus
ada keseimbangan antara sekala dan niskala.
Sehingga dalam ajaran Hindu sangat banyak
mengajarkan tentang membangun kehidupan yang
seimbang itu, mendorong manusia agar membangun
kehidupan harmonis baik secara sekala maupun
niskala.

Tradisi spiritual yang diwariskan leluhur kita di


Bali dan Nusantara, dalam setiap putaran waktu
yang sakral kita melaksanakan berbagai macam
upacara sebagai bagian dari jagadhita dharma. Ada
banyak putaran waktu sakral dengan kondisi masing-
masing yang memiliki siklus 15 hari sekali, sebulan
sekali, 6 bulan sekali, 1 tahun sekali, 5 tahun sekali,
10 tahun sekali, 25 tahun sekali, 100 tahun sekali,
sampai dengan 1.000 tahun sekali.

Upaya jagadhita dharma ini tidak saja kita


lakukan di pura-pura sebagai parahyangan suci, tapi
juga di lingkungan kita masing-masing dengan cara
mebanten, untuk mengembalikan keseimbangan dan
keharmonisan getaran energi yang ada di sekitar
kita.
Dan semua upaya ini bukan tidak ada efeknya.
Bagi orang-orang yang mata spiritual-nya sudah
terbuka, akan dapat melihat getaran energi kosmik
kesucian dan kedamaian di Pulau Bali sungguh luar
biasa. Karena semua orang Bali secara bersama-sama
menjaga keseimbangan-keharmonisan alam semesta
baik secara sekala maupun secara niskala. Secara
spiritual hal ini luar biasa terangnya.

Sebab utama mengapa di jaman sekarang


dunia ini semakin kacau dan memanas, karena
hampir semua manusia ke semua arah bersikap
hanya mau mengambil, mengambil dan mengambil
saja, tanpa pernah memberikan kembali. Akibatnya
alam menjadi seperti sumur dimana manusianya
hanya mau mengambil, mengambil dan mengambil
airnya saja, yang memberikan dampak kehidupan
manusia menjadi kering kerontang.

Sehingga kehidupan memerlukan banyak sekali


manusia yang bersedia melakukan upaya
mengembalikan getaran energi alam ke posisi
semulanya. Orang-orang seperti inilah yang mengisi
ulang sumur-sumur kedamaian getaran energi alam
semesta. Dengan melaksanakan jagadhita dharma
untuk mengembalikan keseimbangan dan
keharmonisan getaran energi alam semesta.
Melalui upaya ini tidak hanya alam semesta
yang dihidupkan getaran energi kosmik-nya yang
positif, tapi juga pikiran manusianya sendiri juga
diterangi. Sehingga masyarakat perasaan dan
perilakunya cenderung menjadi toleran, sejuk dan
damai. Disanalah terwujud jagadhita atau harmoni
kosmik alam semesta.

Kalau kita tidak menjaga keseimbangan-


keharmonisan alam semesta secara sekala dan secara
niskala maka konsekuensinya akan sangat besar.
Karena jika keseimbangan kosmik terganggu sudah
pasti yang akan datang adalah kekacauan dan
kesengsaraan. Sebaliknya jika kita menjaga
keseimbangan-keharmonisan alam semesta, manusia
dan para mahluk akan banyak sekali diselamatkan
dari kekacauan dan kesengsaraan.

Dalam berbagai macam upaya jagadhita


dharma ini, sesungguhnya dibalik semua upaya ini
ada rahasia dan tujuan mulia, yaitu :

[1]. Untuk menjaga keterhubungan manusia dengan


alam-alam mahasuci. Ini agak sulit menjelaskannya
dan bersifat rahasia.

[2]. Untuk menjaga keharmonisan getaran energi


kosmik alam.
Ini yang akan membuat alam memancarkan
getaran energi positif, sehingga hati para mahluk
menjadi tenang dan damai. Itu sebabnya mengapa di
tempat-tempat dimana manusia jarang mebanten
dan melaksanakan upacara seperti di Bali, akan
terasa hawa atau getaran energi alam yang kering
dari kedamaian.

[3]. Persembahan merupakan perwujudan niskala


dari rasa belas kasih dan rasa terimakasih kita, ke
semua mahluk dan ke semua arah alam semesta.

Apa-apa yang kita dapatkan dalam hidup ini,


kita kembalikan ke semua mahluk dan ke semua arah
alam semesta dalam bentuk persembahan. Ini
termasuk juga untuk mahluk-mahluk alam bawah,
sebagaimana yang diajarkan oleh ajaran Hindu
Dharma, kita harus penuh kebaikan hati memberi
mereka tempat dan ruang, menghaturkan segehan
kepada mereka dan sekaligus terus-menerus
mendoakan mereka agar mereka bisa keluar dari
alam-alam bawah. Yang pada akhirnya semuanya
menghasikan dampak positif yang akan kembali
kepada diri kita sendiri.

[4]. Mengikuti dinamika hukum alam semesta, yaitu


apa yang kita berikan atau persembahkan, pasti akan
kembali lagi kepada diri kita sendiri. Dimana dalam
hal ini, kalau persembahan kita tulus dan murni,
pasti akan kembali kepada kita dalam bentuk
tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan.

[5]. Salah satu niat leluhur kita di balik tradisi yang


terselip di dalam mebanten dan melaksanakan
upacara adalah sebagai sarana mendidik masyarakat
melaksanakan dharma. Karena sesungguhnya ada
ajaran suci rahasia yang disembunyikan di balik
simbol-simbol dalam upacara.

[6]. Getaran energi tempat-tempat suci dan hati


manusia tidak akan menjadi kering, karena ketika
berdoa tidak hanya meminta dan meminta saja, tapi
juga diseimbangkan dengan memberikan.

Ini sekaligus juga mengikuti norma-norma alam


mahasuci, yaitu kalau ada orang yang menghaturkan
persembahan dan persembahannya itu tulus dan
murni, sudah selayaknya orang tersebut
mendapatkan imbal-balik berupa karunia tertentu.

[7]. Untuk selalu mengingatkan kita agar memiliki


tingkat pengendalian diri yang lebih baik dari
biasanya.

Bisa dikatakan bahwa landasan pokok dari


jagadhita dharma adalah perwujudan rasa
terimakasih, rasa hormat, rasa belas kasih dan
kebaikan, ke semua arah dan ke tri loka [semua
dimensi alam semesta]. Karena kita semua adalah
jejaring kosmik yang tunggal. Caranya adalah
dengan melaksanakan jagadhita dharma untuk
membangun harmoni kosmik alam semesta. Ini
sesungguhnya tidak merupakan tugas dan kewajiban
beberapa orang saja, melainkan tugas dan kewajiban
seluruh manusia. Semua manusia punya kewajiban
menjalankan jagadhita dharma demi harmoni
kosmik alam semesta di sekeliling kita, yang berguna
bagi semua mahluk.

Buku ini adalah panduan ringkas mebanten


untuk kita di lingkungan kita masing-masing. Agar
mebanten sebagai ajaran jagadhita dharma yang
diwariskan para leluhur kita di Bali dan Nusantara
bisa tetap terlaksana dengan baik di jaman sekarang.
Sehingga ada beberapa hal yang harus disegarkan
dan diingatkan kembali.
Bab 2

TRI MANGGALANING YADNYA

Persembahan yang baik adalah persembahan


yang memiliki kualitas kesucian. Karena dengan
kualitas yang suci barulah persembahan bisa menjadi
segel suci niskala yang terang cahaya-nya.

Artinya suatu persembahan suci harus


memenuhi tiga syarat yang harus suci di dalam
pelaksanaannya. Ketiga syarat itu disebut sebagai
kemanunggalan kesucian tri manggalaning yadnya,
yaitu :

- Sang Yajamana, yang melaksanakan upacara.


- Sang Widia, yang membuat banten.
- Sang Sadhaka, yang muput upacara.

1. SANG YAJAMANA – sumber bahan harus baik

Sang yajamana artinya yang melaksanakan


upacara. Di dalam kegiatan mebanten ini berarti
sumber serta bahan canang dan segehan harus baik,
agar tujuan luhur persembahan dapat tercapai.
Artinya canang dan segehan harus bersumber
dari bahan-bahan atau uang yang tidak melanggar
dharma. Bukan hasil dari mencuri, korupsi,
pemerasan, pemaksaan, menipu, merampok,
berhutang, hasil judi, hasil menjual tanah warisan
atau harta warisan, dsb-nya. Karena canang dan
segehan yang bersumber dari bahan atau uang yang
melanggar dharma, tidak nyambung dan sia-sia.
Getaran energi kesucian-nya sudah tentu tidak ada.

2. SANG WIDIA – proses pembuatan harus baik

Sang widia artinya yang membuat banten. Di


dalam kegiatan mebanten ini berarti proses
pembuatan canang dan segehan harus suci. Tidak
ada pertengkaran, tidak ada gossip-gossip, tidak ada
keluhan, dsb-nya.

Ketika membuat canang dan segehan, sebisa


mungkin kita harus membuatnya dengan pikiran
bersih, disertai ketulusan dan kesabaran. Kalau bisa
dengan diam. Atau dengan menyanyi lagu-lagu
kidung, kekawin, atau boleh juga sambil mendengar
lagu-lagu mantra ala modern. Jangan membuat
canang dan segehan sambil bergosip, membicarakan
politik, atau omongan aneh-aneh lainnya. Sebab ini
akan mempengarungi kualitas getaran energi
kesucian-nya.
Kita bisa bandingkan dengan saat banten
disiapkan untuk upacara di beberapa parahyangan
suci kahyangan jagat. Tempat membuat banten
disebut dengan pesucian yang tidak boleh dimasuki
oleh sembarang orang atau orang yang tidak
berkepentingan. Ini erat kaitannya dengan proses
pembuatan.

Selain itu dalam pembuatan canang dan


segehan hendaknya dengan pemahaman akan tattwa
dalam unsur-unsurnya. Janganlah disusun sesuka
hati. Mungkin kita terlalu kreatif sehingga sengaja
dibuat variasi berlebihan agar kelihatan lebih seni,
atau mungkin kita membuatnya ngawur asal-asalan
atau dibuat secara berantakan. Kita harus paham
bahwa canang dan segehan adalah segel niskala
dengan maksud dan tujuan yang sangat jelas,
sehingga kita jangan menyimpang dari maksud dan
tujuan tersebut.

Juga dalam membuat segehan kita harus selalu


mengusahakan pewarnaan nasi dengan pewarna
alami. Jangan pernah menggunakan pewarna
buatan. Selain itu nasi pada segehan juga harus
disusun atau dipadatkan dengan kepalan tangan.
Karena kedua hal ini terkait dengan dampak
kekuatan kerja dari segehan.
Kalaupun karena padatnya rutinitas kesibukan
sehingga canang dan segehan-nya kita hanya bisa
membeli yang sudah jadi, di dalam membelinya juga
harus dengan pikiran bersih, disertai ketulusan dan
kesabaran. Jangan membeli dengan menawar harga.
Belilah dengan berapa harga yang dijual. Kalaupun
harganya kemahalan kita sebaiknya tetap membeli
tanpa menawar harga, karena itu sama dengan kita
mengikis karma buruk kita sendiri. Tapi kalau
anggaran keuangan kita tidak mencukupi, kita
pindah saja beli ke tempat lain yang harganya sesuai
dengan anggaran keuangan kita. Tapi jangan
mengeluh atau mengomel harganya kemahalan. Ini
semuanya bertujuan untuk menjaga kemurnian
persembahan kita.

Juga setelah membelinya kita jangan mengeluh


atau mengomel, misalnya canangnya kurang indah,
dsb-nya. Sebab ini juga akan mempengarungi
kualitas kemurnian persembahan kita.

3. SANG SADHAKA – proses menghantar harus


baik

Sang sadhaka artinya yang muput upacara. Di


dalam kegiatan mebanten ini berarti yang
menghaturkan canang dan segehan harus dengan
sredaning manah [pikiran yang bersih, tulus dan
jernih].
Apapun yang terjadi ketika kita menghaturkan
persembahan, jangan lupa dilaksanakan dengan hati
yang sejuk, teduh dan penuh kesabaran. Jangan
marah kalau ada yang tidak mebanten atau
terlambat mebanten, pokoknya segala-galanya harus
dijalankan dengan hati yang damai. Kalau gara-gara
mebanten kita bertengkar atau marah-marah dengan
orang di sekitar kita, hal ini sangat mempengaruhi
kualitas getaran energi kesucian dari persembahan
kita. Sehingga jangan pernah sampai karena
mebanten, kita kemudian menjadi menyakiti hati
orang lain.

Mebanten harus diawali dengan niat sebagai


sebuah bhakti [pelayanan] kepada alam semesta dan
semua mahluk dan dijalankan dengan mantra guna
mengurangi penderitaan semua mahluk. Pancarkan
rasa belas kasih dan dengan niat menyebarkan rasa
damai akibat persembahan kita ke semua arah.
Sehingga semua mahluk dari bhuta kala, manusia,
sampai dewa menerima getaran energi kedamaian
kita.

Kemanunggalan kesucian tri manggalaning


yadnya inilah yang akan membuat persembahan suci
yang kita laksanakan menjadi sempurna.
Bab 3

TATTWA PADA CANANG DAN


SEGEHAN

Leluhur kita di Bali dan Nusantara memiliki


pengetahuan spiritual yang sangat tinggi dan luhur.
Yang diajarkan dan dikembangkan selama lebih dari
seribu tahun oleh para orang-orang suci seperti
Maharsi Markandeya, Mpu Sangkulputih, Mpu
Jiwaya, dsb-nya. Kita yang mewarisi wajib untuk
memahami dan melanjutkannya dengan baik.

Sebagaimana yang termuat di dalam Lontar


Yadnya Parakerti, canang dan segehan adalah
sebentuk segel niskala yang berfungsi sebagai saluran
penghubung dengan kekuatan suci para Ista Dewata,
kekuatan alam semesta atau kekuatan lainnya.

Ini berarti bahwa sesungguhnya canang dan


segehan adalah sebuah tehnologi spiritual, yang
menampilkan segel-segel kosmik, segel-segel niskala
suci yang diwujudkan dalam tata letak perpaduan
warna, bunga-bunga dan unsur-unsur lainnya dalam
persembahan.

Dalam Bab 3 ini akan dijelaskan mengenai


tattwa pada persembahan, yaitu canang dan 3 [tiga]
jenis segehan saja. Sebagai bentuk persembahan yang
paling mendasar atau inti, dalam upaya kita untuk
mengembalikan keseimbangan dan keharmonisan
getaran energi yang ada di sekitar kita.

1. CANANG SEBAGAI SEGEL NISKALA UNTUK


MENGUNDANG TURUNNYA KEKUATAN SUCI
PARA ISTA DEWATA

Fungsi paling utama dari canang yang kita


persembahkan adalah untuk mengundang kekuatan
suci para Ista Dewata. Dimana karunia kekuatan suci
para Ista Dewata tersebut akan memberikan
kebaikan bagi alam sekitar dan semua mahluk.

Berikut ini adalah tattwa yang terdapat dalam


canang, yaitu :

[1]. Alas canang berupa ceper, berbentuk segi empat,


sebagai segel kekuatan mandala dari persembahan.

[2]. Ceper berisi porosan [daun sirih dan pamor


yang dicampur gambir dan buah pinang, dimasukkan
dalam lipatan janur], sebagai segel tiga kekuatan
[pikiran, perkataan dan perbuatan] silih asih, tiga
kekuatan belas kasih dan kebaikan.

[3]. Ceper berisi irisan tebu, irisan pisang dan beras


[bija], sebagai segel kekuatan aksara suci Ongkara
[Omkara].

[4]. Diatasnya terdapat sampian uras, yang terbuat


dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar
yang pada ujung-ujungnya terdiri dari delapan ruas
atau helai seperti anak panah. Sampian uras
merupakan segel kekuatan pikiran yang melingkar
sempurna atau hening, jernih dan tenang-seimbang,
ke segala arah.

[5]. Peletakan posisi bunga pada canang disusun


berdasarkan pengider-ideran Panca Dewata, yaitu
sebagai berikut ini :

I. Bunga berwarna putih diletakkan pada posisi arah


timur, sebagai segel mengundang kehadiran
Sanghyang Iswara untuk melimpahkan karunia Tirtha
Sanjiwani yang memberikan kesucian sekala dan
niskala.

II. Bunga berwarna merah diletakkan pada posisi


arah selatan, sebagai segel mengundang kehadiran
Sanghyang Brahma untuk melimpahkan karunia
Tirtha Kamandalu yang memberikan kekuatan
kebijaksanaan dan taksu.
III. Bunga berwarna kuning diletakkan pada posisi
arah barat, sebagai segel mengundang kehadiran
Sanghyang Mahadewa untuk melimpahkan karunia
Tirtha Kundalini yang memberikan kekuatan intuisi
dan kemajuan spiritual.

Canang

IV. Bunga berwarna hitam [atau ungu tua]


diletakkan pada posisi arah utara, sebagai segel
mengundang kehadiran Sanghyang Wishnu untuk
melimpahkan karunia Tirtha Pawitra yang melebur
segala bentuk keletehan atau kekotoran sekala dan
niskala.

V. Kembang rampe [irisan pandan-arum] diletakkan


pada posisi di tengah-tengah, sebagai segel
mengundang kehadiran Sanghyang Shiwa untuk
melimpahkan karunia Tirtha Maha-Amertha yang
memberikan kekuatan moksha [pembebasan].

Sebuah catatan penting untuk diperhatikan,


yaitu nanti ketika kita menghaturkan canang sangat
penting untuk memperhatikan agar meletakkan
warna-warni bunga pada posisi arah mata angin
yang tepat. Supaya letaknya sesuai dengan arah
mata angin pengider-ideran Panca Dewata. Jangan
diletakkan secara sembarangan, agar canang sebagai
segel suci niskala ini nantinya dapat bekerja secara
maksimal.

Kemudian segel suci niskala ini dihidupkan


serta digerakkan dengan kekuatan mantra-mantra
suci, tirtha [air suci], dupa dan kekuatan sredaning
manah [kemurnian pikiran]. Sehingga turunlah
karunia kekuatan suci Ista Dewata dari lima penjuru
arah mata angin, yang memberikan kebaikan bagi
alam sekitar dan semua mahluk.
2. SEGEHAN SEBAGAI SEGEL NISKALA UNTUK
MENSOMYIAKAN ATAU MEMBEBASKAN PARA
MAHLUK BAWAH DARI KESENGSARAAN

Terdapat berbagai ragam rupa, jenis dan


bentuk segehan sesuai dengan arah tujuan upacara
dan pembuatannya. Tapi tujuan utamanya tidaklah
berbeda, yaitu membahagiakan sarwa bhuta [para
mahluk-mahluk alam bawah] dari kesengsaraan yang
membebani mereka.

Di dalam buku ini penulis hanya membahas


tattwa mengenai 3 [tiga] jenis segehan saja. Yaitu
segehan manca-warna, segehan putih-kuning dan
segehan putih-hitam [poleng].

Berikut ini adalah tattwa yang terdapat dalam


bentuk-bentuk segehan tersebut, yaitu :

[1]. Alas segehan berupa ituk-ituk, berbentuk segitiga,


sebagai segel kekuatan mandala dari persembahan.
Dalam bentuk tradisi dan tattwa lainnya, ada juga
menggunakan alas berupa janur, daun pisang, daun
dadap, ataupun daun pohon lainnya sebagai alas
tatakan. Ini juga sama sebagai segel penanda bahwa
persembahan ini adalah berupa suguhan makanan
yang ditujukan ke mahluk alam-alam bawah.
[2]. Ituk-ituk berisi porosan [daun sirih dan pamor
yang dicampur gambir dan buah pinang, dimasukkan
dalam lipatan janur], sebagai segel 3 [tiga] kekuatan
[pikiran, perkataan dan perbuatan] silih asih, tiga
kekuatan belas kasih dan kebaikan.

[3]. Pada waktu menghaturkan segehan hendaknya


didampingi dengan menghaturkan canang. Canang
ini berfungsi sebagai segel naungan kekuatan para
Ista Dewata. Tapi jika saat menghaturkan segehan
tidak didampingi dengan menghaturkan canang,
maka selayaknya pada ituk-ituk kita isi dengan
sedikit bunga. Karena bunga ini sama berfungsi
sebagai segel naungan kekuatan suci dari para Ista
Dewata.

[4]. Ituk-ituk berisi garam [sebagai segel kekuatan


sattwam], irisan bawang [sebagai segel kekuatan
rajas] dan irisan jahe [sebagai segel kekuatan tamas].
Ketiga unsur ini adalah segel penyatuan kekuatan tri
guna, sehingga menghasilkan kekuatan suci
pembebasan yang melampaui tri guna.

[5]. Peletakan nasi pada segehan manca warna


posisinya diatur berdasarkan pengider-ideran Panca
Dewata, yaitu sebagai berikut.

I. Nasi berwarna putih diletakkan pada posisi arah


timur, sebagai segel mengundang kehadiran sarwa
bhuta [mahluk-mahluk alam bawah] yang datangnya
dari arah timur. Kita berikan mereka segehan
[hidangan], sehingga kesengsaraan yang membebani
mereka di-somya-kan, kemudian menghantarkan
mereka kembali ke arah timur dengan suatu upaya
mendapatkan naungan suci dari Sanghyang Iswara.

Segehan Manca Warna

II. Nasi berwarna merah diletakkan pada posisi arah


selatan, sebagai segel mengundang kehadiran sarwa
bhuta yang datangnya dari arah selatan. Kita berikan
mereka segehan [hidangan], sehingga kesengsaraan
yang membebani mereka di-somya-kan, kemudian
menghantarkan mereka kembali ke arah selatan
dengan suatu upaya mendapatkan naungan suci dari
Sanghyang Brahma.

III. Nasi berwarna kuning diletakkan pada posisi arah


barat, sebagai segel mengundang kehadiran sarwa
bhuta yang datangnya dari arah barat. Kita berikan
mereka segehan [hidangan], sehingga kesengsaraan
yang membebani mereka di-somya-kan, kemudian
menghantarkan mereka kembali ke arah barat
dengan suatu upaya mendapatkan naungan suci dari
Sanghyang Mahadewa.

IV. Nasi berwarna hitam diletakkan pada posisi arah


utara, sebagai segel mengundang kehadiran sarwa
bhuta yang datangnya dari arah utara. Kita berikan
mereka segehan [hidangan], sehingga kesengsaraan
yang membebani mereka di-somya-kan, kemudian
menghantarkan mereka kembali ke arah utara
dengan suatu upaya mendapatkan naungan suci dari
Sanghyang Wishnu.

V. Nasi berwarna campuran warna putih, merah,


kuning dan hitam [brumbun] diletakkan pada posisi
arah tengah-tengah, sebagai segel mengundang
kehadiran sarwa bhuta yang datangnya dari arah
tengah-tengah. Kita berikan mereka segehan
[hidangan], sehingga kesengsaraan yang membebani
mereka di-somya-kan, kemudian menghantarkan
mereka kembali ke arah di tengah-tengah dengan
suatu upaya mendapatkan naungan suci dari
Sanghyang Shiwa.

[6]. Peletakan nasi pada segehan putih kuning


posisinya diatur berdasarkan pada pengider-ideran
Purusha-Prakerti, yaitu sebagai berikut.

Segehan Putih Kuning

Nasi berwarna putih diletakkan pada posisi


arah timur dan nasi berwarna kuning diletakkan
pada posisi arah barat. Sebagai segel mengundang
kehadiran para Atma [roh-roh] yang masih belum
[atau sedang berusaha] mendapatkan jalan naik ke
alam-alam suci. Kita berikan mereka segehan
[hidangan] agar mereka bahagia dan kemudian kita
mohonkan naungan para Ista Dewata untuk mereka.

[7]. Peletakan nasi pada segehan putih hitam


[poleng] susunan posisinya diatur berdasarkan pada
pengider-ideran Rwa Bhinneda, yaitu sebagai
berikut.

Segehan Putih Hitam [Poleng]

Nasi berwarna putih diletakkan pada posisi


arah timur dan nasi berwarna hitam diletakkan pada
posisi arah barat. Sebagai segel mengundang
kehadiran para Atma [roh-roh] pengikut dari Ida
Btara Sedahan Karang sebagai pecalang niskala
penjaga rumah, agar ikut menjaga keamanan rumah
kita. Kita berikan mereka segehan [hidangan] agar
mereka bahagia dan kemudian kita mohonkan
naungan para Ista Dewata untuk mereka.

Sebuah catatan penting untuk diperhatikan,


yaitu nanti diaaast ketika kita menghaturkan segehan
sangat penting untuk memperhatikan agar
meletakkan nasi warna-warni pada posisi arah mata
angin yang tepat. Jangan diletakkan secara
sembarangan agar segehan sebagai segel niskala ini
nantinya dapat bekerja secara maksimal.

Kemudian segel niskala ini dihidupkan serta


digerakkan dengan kekuatan mantra-mantra suci,
tirtha [air suci], dupa dan kekuatan sredaning manah
[kemurnian pikiran]. Sehingga ter-somyakan-lah
kesengsaraan sarwa bhuta, yang memberikan
kebaikan bagi alam sekitar dan semua mahluk.

3. CANANG DAN SEGEHAN SEBAGAI SUATU


SEGEL NISKALA UNTUK MENGEMBALIKAN
KEHARMONISAN GETARAN ENERGI

Fungsi lain dari canang dan segehan yang kita


persembahkan adalah untuk mengembalikan
keseimbangan dan keharmonisan getaran energi
yang ada di sekitar titik lokasi dimana canang dan
segehan tersebut dipersembahkan.

Sebagaimana kita ketahui, kehidupan manusia


tentunya penuh dengan dinamika. Pasti ada riak-riak
dinamika perjalanan kehidupan yang menimbulkan
kemarahan, kesedihan, kekecewaan, kebencian,
keserakahan, ketidak-puasan, konflik, stress, dsb-nya.
Ini semuanya akan menghasilkan dan menyebarkan
getaran energi seperti apa yang dipikirkan dan
dirasakan manusia. Semakin besar hiruk-pikuk atau
pertikaian manusia di suatu tempat, maka semakin
besarlah getaran energi yang dihasilkan dan
disebarkan. Semakin padat jumlah penduduk di
suatu tempat, maka semakin besarlah getaran energi
yang dihasilkan dan disebarkan. Ini semua tentu saja
menimbulkan kekacauan pola energi di tempat
tersebut.

Canang dan segehan menggunakan warna-


warni sebagai segel energi, untuk mengembalikan
keseimbangan dan keharmonisan getaran energi ke
posisi semulanya di titik lokasi tersebut. Ketika kita
melakukan persembahan, getaran energi yang
muncul dari persembahan akan mengatur dan
memposisikan ulang [mengembalikan keharmonisan]
getaran energi yang ada di alam.

Pengider-ideran Panca Dewata pada canang


dan segehan, bertujuan untuk mengembalikan
keseimbangan dan keharmonisan getaran energi
sebagai berikut.

I. Warna putih berfungsi sebagai segel


mengembalikan semua jenis getaran energi niskala
yang memancarkan warna putih atau getaran energi
yang mendekati warna putih, ke posisi semulanya di
arah timur.

II. Warna merah berfungsi sebagai segel


mengembalikan semua jenis getaran energi niskala
yang memancarkan warna merah atau getaran
energi yang mendekati warna merah, ke posisi
semulanya di arah selatan.

III. Warna kuning berfungsi sebagai segel


mengembalikan semua jenis getaran energi niskala
yang memancarkan warna kuning atau getaran
energi yang mendekati warna kuning, ke posisi
semulanya di arah barat.

IV. Warna hitam [atau kalau pada canang bisa


dipakai warna bunga ungu tua] berfungsi sebagai
segel mengembalikan semua jenis getaran energi
niskala yang memancarkan warna gelap atau getaran
energi yang mendekati warna gelap, ke posisi
semulanya di arah utara.

V. Campuran warna putih, merah, kuning dan hitam


[brumbun] berfungsi sebagai segel untuk
mempersatukan dan menegakkan kembali kondisi
getaran energi niskala yang telah kembali ke posisi
semulanya.

Pengider-ideran Purusha-Prakerti yang ada


pada segehan, bertujuan untuk mengembalikan
keseimbangan dan keharmonisan getaran energi
sebagai berikut.

I. Warna putih berfungsi sebagai segel niskala untuk


mengembalikan semua getaran energi yang
memancarkan energi kesucian, ketenangan dan
keheningan di lingkungan rumah kembali seimbang
dan harmonis.

II. Warna kuning berfungsi sebagai segel niskala


untuk mengembalikan semua getaran energi yang
memancarkan energi belas kasih dan kebaikan [yang
secara karma mendatangkan kemakmuran] di
lingkungan rumah kembali seimbang dan harmonis.

Pengider-ideran Rwa Bhinneda pada segehan,


bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dan
keharmonisan getaran energi sebagai berikut.

I. Warna putih merupakan simbolik [segel niskala]


energi positif di alam, energi yang memancarkan
getaran energi kesucian, ketenangan, dsb-nya.
II. Warna hitam merupakan simbolik [segel niskala]
energi negatif di alam, energi yang memancarkan
getaran energi kegelapan, kekacauan, dsb-nya.

Pengider-ideran Rwa Bhinneda ini berfungsi


sebagai segel niskala untuk menyatukan antara
energi positif dan energi negatif tersebut, sehingga
dari penyatuan keduanya muncul energi dinamis
yang memancarkan cahaya energi keselarasan dan
keharmonisan. Sebagaimana lampu yang dapat
memancarkan cahaya terang dari penyatuan aliran
listrik positif dan negatif.

4. CANANG DAN SEGEHAN SEBAGAI RASA


HORMAT, SERTA BELAS KASIH DAN KEBAIKAN

Dengan menghaturkan persembahan canang


dan segehan, berarti kita sudah melaksanakan
jagadhita dharma yang berguna bagi semua mahluk.
Ini adalah bentuk rasa hormat kepada semua
mahluk, serta belas kasih dan kebaikan. Kita
melaksanakan jagadhita dharma yang membangun
harmoni kosmik alam semesta di sekeliling kita, yang
berguna bagi semua mahluk.

Selain itu, segehan adalah bentuk persembahan


kepada saudara-saudara kita yang berada di Bhur
Loka atau alam bawah. Dalam siklus samsara, jiwa-
jiwa yang berada di alam bawah adalah jiwa-jiwa
yang akumulasi karma buruknya banyak. Pahami
mereka sebagai mahluk-mahluk menderita dan
bukan mahluk jahat. Mereka sangat memerlukan
belas kasih dan kebaikan kita. Dan siapa tahu yang
kita sebut sarwa bhuta itu, beberapa kelahiran
sebelumnya pernah menjadi orang tua kita. Tapi
kebetulan karena karena karma buruknya banyak,
mereka mengalami kejatuhan dalam siklus samsara.

Berbeda dengan agama-agama tingkat pemula


dimana para mahluk-mahluk alam bawah dibenci,
diusir-usir dan dimusuhi. Dalam Hindu berbeda,
dengan penuh belas kasih kita memberikan mereka
persembahan dan mendoakan mereka agar mereka
bisa segera terbebaskan.

Brahmaivedam visvam idam varistham


[Sesungguhnya keseluruhan alam semesta manunggal
adalah Brahman itu sendiri]

Om Bhur Bvah Svah, alam bawah, alam


tengah dan alam atas semuanya adalah Om atau
Brahman. Para mahluk-mahluk alam-alam bawah
juga adalah bagian dari Brahman. Tapi mereka
hanya kurang beruntung, terjerumus ke alam
sengsara dan belum menemukan jalan dharma yang
membimbing menuju kesadaran sempurna. Sehingga
dengan penuh rasa belas kasih kita membantu
mereka, memberikan mereka persembahan dan
mendoakan mereka agar mereka bisa segera
terbebaskan.

Rasa hormat, rasa belas kasih dan kebaikan ke


alam semesta beserta seluruh penghuninya [Om Bhur
Bvah Svah] sangat utama dan mendasar sebagai
ajaran religius terpenting dan praktek religius
terpenting. Karena tanpa rasa hormat, rasa belas
kasih dan kebaikan kepada semua, semua jalan
religius menjadi berbahaya. Dan tanpa rasa hormat,
rasa belas kasih dan kebaikan kepada semua, apapun
bentuk praktek religius pasti akan menemui
kegagalan.

Semua mahluk ingin bahagia dan tidak mau


menderita, sehingga dalam kehidupan ini selayaknya
kita banyak-banyak menyayangi dan berhenti
menyakiti. Menghaturkan segehan diawali dengan
niat sebagai bhakti [melayani] kepada semua mahluk
dan dijalankan dengan mantra guna mengurangi
penderitaan semua mahluk. Pancarkan rasa belas
kasih dan rasa damai akibat persembahan kita ke
semua arah. Dan sekaligus kita sedang belajar
terhubung secara kosmik dengan semuanya.

Selalu ingatlah, bahwa kepada saudara-saudara


kita di alam bawah, kitalah yang harus
memberi. Karena kalau kita minta sesuatu kepada
saudara-saudara kita di alam bawah, itu analogi-nya
seperti kita jadi orang tua yang meminta-minta uang
kepada anak kita yang masih SD. Sehingga dalam hal
ini hendaknya jangan meminta sesuatu apapun
kepada mereka. Termasuk jangan minta agar kita
tidak diganggu. Tidak boleh sama sekali.

Ajaran dharma selalu menegaskan bahwa


kepada saudara-saudara kita di alam bawah yang
benar adalah kita yang memberi. Dasarnya adalah
belas kasih dan kebaikan. Sambil menghaturkan
segehan, dengan pikiran penuh belas kasih kita
doakan para mahluk-mahluk alam bawah itu agar
mereka damai dan bahagia, serta agar mereka bisa
lahir di alam dewa. Begitu mereka menjadi dewa,
dengan kualitas ke-dewa-an tidak mungkin mereka
akan mengganggu kita.

5. CANANG DAN SEGEHAN SEBAGAI


UNGKAPAN RASA SYUKUR DAN TERIMAKASIH

Segala apa yang kita dapatkan dalam hidup


ini, kita kembalikan dalam bentuk persembahan suci.
Aktifitas ini bukan tidak ada efeknya. Bagi orang-
orang yang mata spiritual-nya sudah terbuka, akan
dapat melihat getaran energi kosmik kesucian dan
kedamaian di Pulau Bali sungguh luar biasa.

Di Pulau Bali, selama ribuan tahun setiap


harinya jutaan persembahan yang dihaturkan. Setiap
kali kita mendapatkan sesuatu yang baik, seperti
misalnya habis panen di sawah, sembuh dari sakit,
naik gaji, anak tamat sekolah, dsb-nya, yang pertama
kali dipikirkan adalah berterimakasih dengan
menghaturkan persembahan kepada Sanghyang
Acintya, para Ista Dewata, para leluhur dan
keseluruhan alam semesta. Demikian juga dalam
setiap putaran waktu yang sakral [rahinan] kita
menghaturkan persembahan.

Keterikatan kepada materi seringkali


menghalangi ketulusan kita untuk bersyukur dan
berterimakasih kepada alam semesta dan kehidupan.
Padahal dengan rasa syukur dan terimakasih,
penerimaan kita pada kehidupan mudah sekali
muncul. Dengan hati yang bersyukur dan
berterimakasih semuanya menjadi karunia, semuanya
menjadi indah. Kehidupan akan berputar tanpa
keinginan berlebihan. Sehingga lebih mungkin
pikiran kita menjadi hening. Dan kesadaran kita akan
mengundang datangnya kesadaran yang terang, baik
ke dalam pikiran kita sendiri maupun bagi getaran
energi kosmik tempat dimana kita berada.

Semakin dalam rasa syukur dan rasa


terimakasih seseorang, semakin indah hidupnya,
semakin bercahaya keluarganya, semakin
mendamaikan getaran energi yang disebarkan
kepada alam semesta dan kehidupan.
6. CANANG DAN SEGEHAN SEBAGAI AJARAN
SUCI YANG TERSEMBUNYI

Di jaman dahulu sarana komunikasi tidaklah


semudah sekarang. Tidak ada percetakan yang
dalam sekejap bisa mencetak ribuan buku, tidak ada
internet, dsb-nya. Apalagi jaman dahulu banyak
sekali orang yang buta huruf. Sehingga oleh para
leluhur kita yang bijaksana, ajaran suci dharma
disembunyikan di dalam banten.

Banten adalah ajaran suci dharma dalam


bentuk simbol-simbol yang mona [diam]. Karena
simbol-simbol sesungguhnya merupakan ajaran
rahasia yang disembunyikan. Tapi seandainya kita
cukup memahami sasahaning tukang banten, lalu
disaat kita mejejaitan, maka banten itu dengan
sendirinya akan banyak menuturkan berbagai ajaran
dharma.

Dalam keadaan banyak sekali hambatan untuk


meneruskan ajaran suci dharma secara tertulis di
jaman dahulu, para leluhur kita yang bijak
mengharapkan ajaran dapat ditanamkan ke dalam
lubuk hati masyarakat secara motorik atau gerak,
yaitu dengan membaca simbol-simbol ajaran suci
dharma ketika kita melakukan pembuatan banten.
Selain itu, mebanten juga bertujuan untuk
selalu mengingatkan kita agar memiliki tingkat
pengendalian diri yang lebih baik dari biasanya,
menumbuhkan rasa belas kasih dan kebaikan, penuh
rasa syukur dan terimakasih, serta selalu terhubung
dengan naungan alam-alam suci.
Bab 4

TEMPAT-TEMPAT MEBANTEN

Kita mengetahui bahwa terkait mebanten, ada


bentuk tradisi dan tattwa yang berbeda-beda
diantara satu daerah dan daerah lainnya. Terdapat
berbagai ragam rupa dan bentuk segehan sesuai
dengan arah tujuan upacara dan pembuatannya.

Tentunya para pembaca saudara-saudara se-


dharma memiliki bentuk tradisi dan tattwa yang
beragam di tempat masing-masing. Tetaplah
dijalankan sesuai tradisi dan tattwa setempat, tapi
dengan berlandaskan pengetahuan tentang tattwa.

Di dalam buku ini, penulis hanya membuat


sebuah tattwa panduan dasar mebanten yang ringkas
atau inti-nya saja, tapi sekaligus juga dampaknya
dapat bekerja dengan efektif. Dalam bentuk paling
inti kita menggunakan sarana canang dan segehan
dengan tujuan untuk mengembalikan keseimbangan
dan keharmonisan getaran energi alam yang ada di
sekitar kita.
Astungkara diri kita sendiri beserta orang-
orang disekitar lingkungan kita dan semua mahluk
akan dapat menerima getaran energi kedamaian.

Dalam konsepsi mandala paling ringkas [inti]


atau paling mendasar, canang kita haturkan pada :

[1]. Di semua palinggih yang ada di rumah.

[2]. Di semua pelangkiran yang ada di rumah.

[3]. Di tempat memasak utama di rumah. Kalau


jaman dahulu pada tempat memasak dengan kayu
bakar. Kalau jaman sekarang mungkin pada kompor
gas. [Tapi untuk alasan keamanan, pada kompor gas
sebaiknya tidak usah dihaturkan dupa. Ini akan
dijelaskan pada bagian selanjutnya].

[4]. Di sumber air utama di rumah. Kalau jaman


dahulu pada sumur. Kalau jaman sekarang
kebanyakan jarang yang punya sumur, jadi haturkan
pada sumur bor [kalau ada], pada meteran PDAM,
atau pada tempat dimana kita menyimpan air.

[5]. Di tempat utama menyimpan beras. Kalau


jaman dahulu pada lumbung padi. Kalau jaman
sekarang kebanyakan jarang yang punya lumbung
padi, jadi haturkan pada tempat dimana kita
menyimpan beras.
[6]. Di apit lawang atau apit surang, yaitu pada
kanan-kiri gerbang rumah.

Untuk segehan, cara meletakkannya adalah di


natah atau di bawah [di pertiwi], bukan diletakan
pada palinggih. Dimana dalam konsepsi mandala
paling ringkas [inti] segehan kita haturkan pada :

[1]. Di bawah semua palinggih haturkan segehan


putih-kuning, kecuali... sebagai berikut :

[2]. Di bawah palinggih Taksu [rong dua] haturkan


segehan manca-warna.

[3]. Di bawah palinggih Penunggun Karang haturkan


segehan putih-hitam [poleng].

[4]. Di tengah halaman rumah [natah] haturkan


segehan manca-warna.

[5]. Di depan pintu masuk ke bangunan rumah,


haturkan segehan manca-warna.

[6]. Di lebuh [depan gerbang rumah] haturkan


segehan manca-warna.

[7]. Di tempat keluarnya saluran air pembuangan


[got rumah] menuju got di jalan, haturkan segehan
manca-warna.
Sekali lagi bahwa ini adalah konsep paling
ringkas [inti] atau paling mendasar. Tentunya para
pembaca saudara-saudara se-dharma memiliki
bentuk tradisi dan tattwa yang beragam di tempat
masing-masing. Hendaknya tetaplah dijalankan
sesuai tradisi dan tattwa masing-masing, agar sesuai
dengan desa, kala, patra. Tapi hendaknya juga
dilaksanakan dengan berlandaskan pengetahuan
tentang tattwa.

Sedikit tambahan, bahwa pada setiap rahina


kajeng kliwon, selain menghaturkan canang dan
segehan, kita juga menghaturkan banten tipat
dampulan. Banten tipat dampulan ditujukan sebagai
persembahan ke alam-alam suci [Svah Loka]. Pada
saat rahina kajeng kliwon tersebut tempat
menghaturkan tipat dampulan adalah di :

[1]. Palinggih Kemulan [rong tiga].

[2]. Palinggih Taksu [rong dua].

[3]. Palinggih Panunggun Karang.

Pada landasan dasar tattwa-nya, banten tipat


dampulan adalah sebagai segel kekuatan pikiran
yang harmonis, pikiran yang tenang-seimbang, bebas
dari dualitas pikiran, bagi seluruh penghuni rumah
dan lingkungan sekitar.
Bab 5

WAKTU YANG TEPAT UNTUK


MEBANTEN

Kegiatan kita melaksanakan mebanten di


lingkungan masing-masing sebagai jagadhita dharma,
akan lebih baik jika dilaksanakan sesuai dengan
putaran waktunya yang juga tepat dan terbaik.

1. KE ALAM-ALAM SUCI [SVAH LOKA]

Jika kita hendak menghaturkan canang


ataupun persembahan lain-lainnya ke Svah Loka atau
alam-alam suci, seperti misalnya canang, banten tipat
dampulan, dsb-nya, putaran waktunya yang terbaik
adalah dilakukan pada pagi hari. Ini merupakan
kegiatan utpetti, atau upaya menciptakan
keharmonisan serta kebahagiaan bagi kehidupan dan
alam semesta.

Waktu atau jam yang paling ideal di dalam


menghaturkan persembahan ke Svah Loka atau
alam-alam suci adalah diantara jam 4 [empat] dini
hari s/d jam 10 [sepuluh] pagi.

Di pagi hari merupakan waktu yang sangat


tepat bagi kita untuk menghaturkan persembahan ke
Svah Loka atau alam-alam suci. Yaitu pada periode
waktu dini hari saat menjelang matahari terbit, atau
saat matahari terbit, atau saat matahari bergerak naik
ke atas. Hal ini disebabkan karena :

[1]. Pada periode waktu ini, getaran energi alam


cenderung sedang murni, positif dan bersih. Dimana
hal ini akan dapat membantu keterhubungan
persembahan yang kita haturkan ke Svah Loka atau
alam-alam suci.

[2]. Karena naiknya matahari adalah naiknya seluruh


energi alam di dunia ini. Terjadi gelombang energi
kebangkitan yang dahsyat di alam ini. Pada saat itu,
persembahan yang kita haturkan ke Svah Loka atau
alam-alam suci, dengan mudah ikut menumpangi
arus naiknya gelombang energi di alam. Gunakan
saat-saat naiknya gelombang energi alam itu, karena
sangat membantu kita di dalam menghaturkan
persembahan ke Svah Loka atau alam-alam suci. Di
pagi hari, persembahan kita akan ikut menumpang
pada naiknya arus gelombang energi alam.

Kemudian selesai mebanten, kita lanjutkan


dengan melakukan kegiatan sehari-hari kita, dengan
berlandaskan pada ajaran dharma. Yang mana ini
merupakan kegiatan stiti, atau upaya memelihara
kehidupan dengan baik.

2. KE ALAM-ALAM BAWAH [BHUR LOKA]

Jika kita hendak memberikan persembahan


segehan ke Bhur Loka atau alam-alam bawah,
putaran waktunya yang terbaik adalah di sore hari
[pada sandhikala, saat matahari terbenam]. Ini
merupakan kegiatan pralina, atau upaya melebur
hal-hal yang buruk di alam dan melebur getaran
energi negatif di alam.

Di sore hari merupakan waktu yang sangat


tepat bagi kita untuk memberikan persembahan
segehan ke Bhur Loka atau alam-alam bawah. Yaitu
pada periode waktu sore hari saat menjelang
matahari terbenam, atau saat matahari terbenam,
atau setelah matahari terbenam. Hal ini disebabkan
karena :

[1]. Karena turunnya matahari adalah turunnya


seluruh energi alam di dunia ini. Pada sore hari
gelombang energi di alam sedang bergerak turun
kembali dan alam sedang bergerak menuju
kegelapan. Disaat energi alam sedang turun dan
alam sedang bergerak menuju kegalapan, disaat itu
kita somya-kan dengan memberikan persembahan
segehan ke Bhur Loka atau alam-alam bawah,
sekaligus mendoakan deengan mantra [selanjutnya
akan dipaparkan di buku ini] agar semua para
mahluk-mahluk bawah bahagia bebas derita.

[2]. Pada waktu sore hari, getaran energi alam


memiliki kecenderungan sedang buruk negatif dan
tidak bersih. Yang terutama disebabkan oleh
sibuknya kegiatan sehari-hari manusia sepanjang hari
itu, dimana di dalamnya terdapat kemarahan,
kesedihan, kekecewaan, kebencian, keserakahan,
ketidakpuasan, konflik, stress, dsb-nya. Ini semuanya
akan menghasilkan dan menyebarkan getaran energi
ke alam seperti apa yang dipikirkan dan dirasakan
manusia. Yang menimbulkan kekacauan pola energi
di tempat tersebut. Salah satu kekuatan niskala
segehan yang menggunakan warna-warni sebagai
segel energi, adalah untuk mengembalikan
keseimbangan dan keharmonisan getaran energi ke
posisi semulanya di titik lokasi tersebut. Getaran
energi yang muncul dari memberikan persembahan
segehan, akan mengatur dan memposisikan ulang
[mengembalikan keharmonisan] getaran energi yang
ada di alam.

Waktu atau jam yang paling ideal di dalam


memberikan persembahan segehan ke Bhur Loka
atau alam-alam bawah adalah antara jam 4 [empat]
sore s/d jam 7 [tujuh] malam.
Akan tetapi, jika seandainya saat sandhikala
kita masih bergelut dengan rutinitas kerja, kita boleh
mesegeh pada malam harinya.

Putaran waktu yang baik ini berlaku untuk


semua jenis segehan, maupun bentuk-bentuk
persembahan lainnya ke alam-alam bawah. Kecuali
tentu saja tidak berlaku untuk segehan saiban atau
sajen kecil setiap habis memasak. Karena segehan
saiban waktunya yang tepat kita haturkan adalah
pada setiap kali selesai memasak.

=== CATATAN : JIKA KITA MEMILIKI WAKTU


TERBATAS

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa


kehidupan di jaman modern ini seringkali menuntut
hidup kita sangat penuh dengan kesibukan rutinitas
kerja. Jika kita hanya punya waktu terbatas untuk
mebanten, maka kita bisa menghaturkan canang dan
persembahan lain-lainnya ke Svah Loka [alam-alam
suci], serta menghaturkan segehan ke Bhur Loka
[alam-alam bawah], dalam suatu waktu yang sama.
Tidak harus terpisah dilakukan pagi dan sore.

Pilihan pertama adalah kita melakukannya di


pagi hari. Tapi jika seandainya karena kesibukan di
pagi hari kita tidak sempat, maka kita boleh
melakukannya di sore hari [pada saat menjelang
sandhikala, saat menjelang matahari terbenam].

Dengan suatu catatan, bahwa jika kita


mebanten dalam suatu waktu yang sama, maka
urutannya harus benar. Yaitu, yang pertama kali
harus kita haturkan berkeliling adalah persembahan
segehan ke Bhur Loka [alam-alam bawah]. Setelah
itu selesai, barulah kita berkeliling menghaturkan
canang ataupun persembahan lain-lainnya ke Svah
Loka [alam-alam suci].

Secara niskala urutan ini adalah suatu pakem


yang jelas. Sebagai perbandingan kita bisa lihat
dalam pelaksanaan upacara di tempat suci. Yang
pertama dilakukan pasti adalah mecaru
[persembahan ke alam-alam bawah]. Setelah selesai,
barulah menghaturkan persembahan upacara ke
alam-alam suci.

3. PERSEMBAHAN KE ALAM TENGAH [BVAH


LOKA] ATAU KEPADA SESAMA MAHLUK
SEKALA

Persembahan kita akan sangat lengkap, terang


dan suci kalau kita memberikan persembahan secara
lengkap kepada ketiga dimensi alam, yaitu bhur,
Bvah, Svah. Artinya hendaknya pada tengah-tengah
hari kita juga mengisi kehidupan dengan
memberikan persembahan ke Bvah Loka, yaitu alam
tengah atau alam Marcapada. Caranya adalah
dengan sikap belas kasih dan kebaikan kepada
sesama manusia dan sesama mahluk. Ini
merupakan kegiatan stiti atau memelihara
kehidupan dengan baik.

Atau setidaknya cukup kita dengan


pengendalian diri untuk tidak menyakiti. Dengan
tidak marah dan benci kita lebih sedikit melukai hati
dan perasaan mahluk lain. Dengan sikap rendah hati,
kita bisa menghargai dan menghormati orang lain.
Dengan tidak serakah kita lebih sedikit membuat
orang lain menderita. Tidak membalas bentakan
orang tua, tidak marah pada suami-istri yang marah,
tidak menyakiti anak yang nakal, tidak melawan
pada yang merendahkan kita, dsb-nya, itu semua
sudah mengurangi penderitaan orang lain. Itulah
bentuk persembahan ke Bvah Loka, yaitu alam
tengah atau alam Marcapada.
Bab 6

TATA CARA TIGA LANGKAH


PENDAHULUAN SEBELUM
MELAKSANAKAN MEBANTEN

Bab ini adalah mengenai tattwa yang harus


kita ketahui mengenai tata cara 3 [tiga] langkah
pendahuluan sebelum melaksanakan mebanten
[menghaturkan persembahan].

Dimana terdapat 3 [tiga] tahapan langkah di


dalamnya, yaitu :

Tahap 1 : Membersihkan Diri


Tahap 2 : Ngelungsur Persembahan Sebelumnya
Tahap 3 : Memurnikan Persembahan

Selanjutnya hal ini akan dijelaskan secara lebih


terperinci.
TAHAP I : MEMBERSIHKAN DIRI
Sebelum mebanten, ada baiknya jika terlebih
dahulu kita mandi membersihkan diri. Sambil mandi
itu kita ucapkan beberapa kali mantra :

“Om sarira parisudhamam svaha”

Mandi bersih dengan menggunakan mantra ini


bertujuan untuk membersihkan badan fisik kita dari
hawa-hawa kurang bagus dalam tubuh kita. Sehingga
badan fisik kita menjadi bersih, harum dan segar.

Kalau di dekat rumah kita ada pura beji, atau


pura pathirtan, lebih baik lagi kalau kita mandi [atau
melukat] disana sebelum mebanten. Karena di
tempat suci seperti itu energi pembersihannya
cenderung besar. Ini terutama baik sekali bila kita
lakukan sebelum mebanten pada hari-hari raya
besar, atau pada rahina purnama, tilem dan kajeng
kliwon. Tujuannya adalah untuk memurnikan energi
di dalam diri kita sebelum kita mebanten. Tapi kalau
tidak ada atau kita tidak punya waktu, cukup kita
lakukan di kamar mandi saja.

Selesai mandi kita berganti pakaian dengan


pakaian adat madya atau pakaian sembahyang.
TAHAP II : NGELUNGSUR PERSEMBAHAN
MEBANTEN SEBELUMNYA
Sebelum kita mebanten, terlebih dahulu kita
sebaiknya ngelungsur canang, ataupun persembahan
lain sebelumnya, yang ada di palinggih-palinggih.

Berikut di bawah ini adalah cara dasar untuk


ngelungsur persembahan yang dapat digunakan
untuk ngelungsur semua jenis persembahan. Caranya
adalah sebagai berikut ini.
Ngelungsur Persembahan Mebanten Sebelumnya
Langkah 1

Di depan masing-masing setiap palinggih, kita


tampilkan mudra amusti-karana [ujung ibu jari dan
telunjuk tangan kanan serta ujung ibu jari tangan kiri
bertemu mengarah keatas, jari-jari lain digenggam
sebagai dasar]. Kemudian kita ucapkan mantra :

“Om suksma sunia lebar ya namah svaha”


Ngelungsur Persembahan Mebanten Sebelumnya
Langkah 2

Kemudian lakukan sikap penghormatan


simbolik dengan menampilkan mudra puja
mencakupkan tangan di kening. Kedua ujung ibu jari
bertemu di chakra ajna [chakra mata ketiga] dan jari-
jari lainnya mengarah keatas.
Ngelungsur Persembahan Mebanten Sebelumnya
Langkah 3

Setelah itu barulah canang atau persembahan


lain dari sebelumnya kita lungsur [ambil] dan sisa-sisa
persembahan lain pada palinggih juga kita ambil
sampai bersih.

Kemudian kita lanjutkan hal ini berkeliling


pada semua palinggih, pelangkiran, dsb-nya, untuk
ngelungsur persembahan sebelumnya.
TAHAP III : MEMURNIKAN PERSEMBAHAN
Hendaknya sebelum dihaturkan, kita
melakukan prosesi upacara kecil untuk memurnikan
persembahan. Ini adalah cara dasar untuk
memurnikan persembahan yang dapat digunakan
untuk memurnikan semua jenis persembahan.
Caranya sebagai berikut ini.

Letakkanlah semua apapun persembahan yang


hendak kita murnikan [canang, segehan, tirtha, arak,
berem, ataupun persembahan-persembahan lainnya]
di hadapan kita.
Memurnikan Persembahan
Langkah 1

Sebelum memulai hendaknya kita memohon


restu kepada para Ista Dewata. Tampilkan mudra
puja mencakupkan tangan di kening. Kedua ujung
ibu jari bertemu di chakra ajna [chakra mata ketiga]
dan jari-jari lainnya mengarah keatas. Kemudian kita
ucapkan mantra :

“Om awignam astu namo siddham,


Om siddhirastu tat astu astu svaha“
Memurnikan Persembahan
Langkah 2

Ambilah sekuntum bunga. Tampilkan mudra


amusti-karana [ujung ibu jari dan telunjuk tangan
kanan serta ujung ibu jari tangan kiri bertemu
mengarah keatas, jari-jari lain digenggam sebagai
dasar]. Bunganya kita letakkan di ujung jari kita.
Kemudian kita ucapkan mantra :

“Om puspa danta ya namah svaha,


Omkara murcyate pras pras pranamya ya namah
svaha“
Memurnikan Persembahan
Langkah 3

Setelah selesai mengucapkan mantra, bunga


kita jentikkan atau lempar ke depan ke arah
persembahan. Pastikan bunganya agar mendarat di
tempat kita meletakkan persembahan.
Memurnikan Persembahan
Langkah 4

Ambil tirtha [air suci] dan kemudian semua


persembahan kita terus sirat-siratkan dengan tirtha
sambil mengucapkan mantra :

“Om pratama sudha, dwitya sudha, tritya sudha,


caturti sudha, pancamini sudha,
Om sudha sudha wariastu,
Om puspam samarpayami,
Om dupam samarpayami,
Om toyam samarpayami,
Om sarwa baktyam samarpayami”

Dengan telah selesainya semua prosesi upacara


kecil ini, maka semua persembahan kita telah
tersucikan dan siap untuk kita haturkan.
Bab 7

TATA CARA MENGHATURKAN


PERSEMBAHAN KE ALAM SUCI

Ini adalah cara dasar untuk menghaturkan


persembahan ke alam-alam suci yang dapat
digunakan untuk menghaturkan semua jenis
persembahan. Misalnya untuk menghaturkan
canang, banten tipat dampulan, dsb-nya, saat kita
mebanten di rumah. Atau juga untuk menghaturkan
canang dan pejati saat kita tangkil sembahyang ke
sebuah pura. Caranya sebagai berikut.

Pertama-tama perlu diperhatikan bahwa,


ketidak-tepatan yang sering terjadi dalam
menghaturkan canang adalah tidak memperhatikan
arah pengider-ideran Panca Dewata yang tepat.
Misalnya bunga warna putih pada canang
seharusnya di arah timur justru dipasang di arah
utara. Padahal ketika kita menghaturkan canang
sangat penting untuk meletakkan warna-warni pada
posisi arah mata angin yang tepat. Jangan diletakkan
ngawur secara sembarangan, karena ini berkaitan
dengan kekuatan suci Sanghyang Panca Dewata dan
hal-hal lainnya, agar canang sebagai segel suci niskala
ini nantinya kekuatannya benar-benar dapat bekerja.

Bila canang dihaturkan sesuai dengan


pengider-ideran Panca Dewata yang tepat, canang
merupakan segel suci niskala yang memiliki kekuatan
kerja-nya sendiri. Tapi kekuatan-nya akan menjadi
lebih aktif jika kemudian segel suci suci niskala ini
kita hidupkan dan gerakkan dengan kekuatan
mantra-mantra suci, tirtha [air suci], dupa dan
kekuatan sredaning manah [kemurnian pikiran].
Sehingga turunlah karunia kekuatan suci semua Ista
Dewata, yang memberikan kebaikan bagi alam
sekitar dan semua mahluk.

Ini adalah tata-cara dasar untuk menghaturkan


persembahan ke luhur [ke alam-alam suci]. Sekali lagi
bahwa cara ini tidak terbatas hanya untuk
menghaturkan canang saja, tapi juga dapat
digunakan untuk menghaturkan segala jenis
persembahan ke alam-alam suci. Seperti misalnya
pada saat kita tangkil ke sebuah pura dan kita
menghaturkan pejati, dsb-nya.

Caranya dan urutannya adalah sebagai berikut


di bawah ini.
Menghaturkan Persembahan Ke Alam Suci
Langkah 1

Unggahang [letakkan pada palinggih, dsb-nya]


canang [ataupun bentuk persembahan lain] sambil
mengucapkan mantra :

“Om ta molah panca upacara Guru Paduka ya


namah svaha“
Menghaturkan Persembahan Ke Alam Suci
Langkah 2

Unggahang [letakkan pada palinggih, dsb-nya]


dupa sambil mengucapkan mantra :

“Ong Ang dupa dipa astraya namah svaha“

Catatan :

[1]. Dupa adalah suatu segel niskala untuk


mengundang turunnya kehadiran Sanghyang
Triyodasasaksi [tiga belas manifestasi Sanghyang
Acintya] sebagai saksi semesta pelaksanaan sebuah
yadnya, Sanghyang Agni sebagai penghantar yadnya
kepada para Ista Dewata dan Sanghyang Brahma
sebagai penerang jiwa semua mahluk.

[2]. Juga perlu sedikit ditambahkan, saat


menghaturkan pada kompor gas yang cukup riskan
dengan resiko kebakaran, untuk menghindari hal-hal
yang tidak diharapkan kita tidak usah ngunggahang
dupa. Kita bisa gantikan dengan cara menyalakan
api kompor. Karena yang penting adalah kehadiran
api-nya. Setelah semua rangkaian proses
menghaturkan canang di kompor gas ini selesai,
matikan kompornya kembali.
Menghaturkan Persembahan Ke Alam Suci
Langkah 3

Sirat-siratkan tirtha [air suci] sambil


mengucapkan mantra :

“Ong Mang Parama-Shiwa amertha ya namah


svaha“
Menghaturkan Persembahan Ke Alam Suci
Langkah 4

Kemudian kita lanjutkan dengan ngayabang


[menghaturkan atau mempersembahkan] dupa dan
canang [atau persembahan lain].

Saat ngayabang kita harus menggunakan


tangan, dengan cara menjepit bunga dengan jari
telunjuk dan jari tengah. Jangan menggunakan alat
bantu lainnya, seperti misalnya sa`ab, ataupun alat
bantu lain-lainnya.
Selain itu kita harus ngayabang hanya
menggunakan tangan kanan. Serta gerakan
ngayabang harus lembut dan jelas, bergerak berulang
dari sisi luar belakang ke arah depan.

Sambil ngayabang kita ucapkan mantra untuk


menghaturkan [mempersembahkan] dupa :

“Om agnir-agnir jyotir-jyotir svaha,


Ong dupham samarpayami svaha“
Terus ngayabang dan kita ucapkan mantra
untuk menghaturkan [mempersembahkan] canang
[atau persembahan lain] :

“Om dewa-dewi amukti sukham bhawantu


namo namah svaha“

Terus ngayabang dan kita tutup dengan


mengucapkan paramashanti mantra mendoakan
kedamaian alam semesta dan semua mahluk :

“Om shanti shanti shanti Om“

Catatan :

[1]. Sesungguhnya terdapat mantra-mantra khusus


untuk menghaturkan canang [atau persembahan
lain] pada masing-masing palinggih atau pelangkiran
di rumah. Misalnya contoh pada pelangkiran Dewa
Brahma di dapur mantranya adalah “Om Saraswati
pawitraning Brahma sakaya namo namah”. Tapi jika
semua mantanya dibahas, maka mantra-mantra ini
jumlahnya akan menjadi banyak yang harus
dihafalkan. Di dalam buku ini diupayakan untuk
membuat panduan dasar yang ringkas, untuk orang-
orang kebanyakan. Sehingga cukup dengan
menggunakan satu mantra universal penghaturan ke
alam-alam suci, yaitu “Om dewa-dewi amukti
sukham bhawantu namo namah svaha“. Mantra ini
adalah mantra yang sangat universal untuk
menghaturkan segala jenis persembahan ke Svah
Loka atau alam-alam suci. Yang sapat digunakan
untuk menghaturkan segala jenis persembahan di
semua palinggih, pelangkiran, dsb-nya [ke alam suci],
termasuk juga saat kita tangkil ke sebuah pura.

[2]. Selalulah menutup dengan mantra suci


paramashanti [Om shanti shanti shanti Om] untuk
kedamaian alam semesta dan semua mahluk. Secara
sekala dan niskala hal ini bukanlah tanpa dasar.
Kalau setiap orang di Pulau Bali mebanten [anggap
saja] di sepuluh titik di rumahnya, lalu diseluruh
Pulau Bali ada 100 ribu orang yang mebanten.
Berarti hanya dalam satu hari itu saja di Pulau Bali
mantra suci paramashanti diuncar sebanyak 1 juta
kali. Bayangkan betapa kekuatan getaran energi
damai mantra suci ini yang menggetarkan seluruh
penjuru pulau. Memberikan alam Pulau Bali getaran
energi ketenangan dan kedamaian.
Bab 8

TATA CARA MENGHATURKAN


SEGEHAN [KE ALAM BAWAH]

Terkait menghaturkan segehan, tentunya


terdapat berbagai ragam rupa, bentuk dan jenis-jenis
segehan.

Yang akan dijelaskan ini adalah cara dasar


yang universal untuk menghaturkan persembahan ke
alam-alam bawah, yang dapat digunakan untuk
menghaturkan berbagai jenis segehan [kecuali untuk
segehan saiban karena caranya berbeda]. Caranya
sebagai berikut.

Pertama-tama perlu diperhatikan bahwa,


ketidak-tepatan yang sering terjadi dalam
menghaturkan segehan adalah tidak memperhatikan
arah pengider-ideran Panca Dewata yang tepat.
Misalnya nasi warna putih pada segehan seharusnya
di arah timur justru dipasang di arah barat. Padahal
ketika kita menghaturkan segehan sangat penting
untuk meletakkan posisi segehan pada pengider-
ideran yang tepat. Jangan diletakkan ngawur secara
sembarangan, karena ini berkaitan dengan kekuatan
suci Sanghyang Panca Dewata dan hal-hal lainnya.
Sehingga segehan sebagai segel suci niskala ini
nantinya kekuatannya benar-benar dapat bekerja.

Sama seperti canang, segehan jika dihaturkan


sesuai dengan pengider-ideran yang tepat, juga
merupakan segel suci niskala yang memiliki kekuatan
kerja-nya sendiri. Tapi kekuatan-nya akan lebih aktif
jika kemudian segel suci niskala ini kita hidupkan dan
gerakkan dengan kekuatan mantra-mantra suci,
tirtha [air suci], dupa dan kekuatan sredaning manah
[kejernihan dan kebaikan pikiran].

Menghaturkan segehan harus diawali dengan


niat sebagai belas kasih dan kebaikan kepada para
mahluk-mahluk alam bawah dan dijalankan sebagai
sebuah upaya untuk mengurangi kesengsaraan
mereka. Pancarkan rasa belas kasih dari hati kita dan
pancarkan rasa damai dari upaya kita.

Sifat mahluk alam-alam bawah sebenarnya


tidaklah jahat. Mereka menjadi berbahaya karena
manusia takut, menghakimi atau tidak menyukai
mereka. Ketakutan, penghakiman atau rasa tidak
suka ini membuat adrenalin di dalam diri manusia
naik, dimana adrenalin yang naik ini menghasilkan
energi yang dirasakan oleh mahluk alam-alam
bawah sebagai kekuatan yang hendak menyerang
mereka. Itulah sesungguhnya yang menyebabkan
mereka berbahaya.

Mahluk-mahluk bawah menjadi garang atau


menjadi penuh kasih sayang, semuanya tergantung
pada apa yang kita lakukan. Jika kita garang, mereka
akan menyerang. Tapi jika kita memperlakukan
mereka dengan penuh kasih sayang, mereka akan
menjadi penjaga yang sangat meyakinkan. Oleh
karena itu, belajar memandang mahluk-mahluk
bawah sebagai mahluk-mahluk menderita yang
memerlukan pertolongan kita. Minimal setidaknya
jangan berpikiran buruk pada mereka. Jauh lebih
bagus lagi jika kita mendoakan mereka.

Keberadaan mereka seperti siklus berputarnya


bunga yang dapat berevolusi menjadi sampah dan
sampah yang dapat berevolusi menjadi bunga.
Demikianlah evolusi jiwa-jiwa dalam siklus samsara,
sesuai akumulasi karma kita masing-masing. Yang
kita sebut sebagai mahluk-mahluk alam bawah,
sangat mungkin di kehidupan-kehidupan sebelumnya
adalah sesama manusia, yang bahkan kita kenal
dekat. Alam kegelapan adalah sisi sampah dari alam
suci. Tanpa kegelapan tidak ada kesucian. Tapi
hakikat di dalam semua mahluk adalah sama, yaitu
Atman.

Sehingga menghadapi mereka, selalu dengan


pikiran positif, tenang-seimbang, penuh belas kasih
dan kebaikan. Lihatlah mereka bukan sebagai
mahluk-mahluk jahat, melainkan sama seperti kita,
yaitu mahluk yang sedang belajar berkembang
menuju kesadaran Atma.

Dalam ajaran dharma kita memberikan mereka


persembahan, serta mendoakan mereka agar mereka
damai dan bahagia. Ini merupakan bentuk belas
kasih dan kebaikan kepada semua mahluk, sekaligus
menebarkan energi keharmonisan dan kedamaian ke
semua arah. Sebagai hasilnya, minimal setidaknya
mereka tidak akan mengganggu kita.

Seburuk apapun para mahluk bawah tersebut,


teruslah melihat mereka mahluk-mahluk baik, yang
karena berbagai sebab saat ini sedang mengalami
kesengsaraan, sehingga sangat memerlukan kebaikan
hati kita. Ini satu-satunya cara untuk merubah
mereka agar menjadi mahluk baik. Begitu mereka
menjadi mahluk baik mereka tidak saja tidak akan
mengganggu kita, tapi sekaligus di dalam diri jiwa
kita sendiri juga menjadi terang dan indah.

Inilah urutan tata-cara dasar untuk


menghaturkan persembahan segehan ke sor [ke
alam-alam bawah], sebagai berikut di bawah ini.
Menghaturkan Segehan [Ke Alam Bawah]
Langkah 1

Cara menghaturkan segehan adalah dengan


meletakkannya di natah [tanah, lantai], atau di
bawah, yaitu di Ibu Pertiwi, jadi bukan diletakan
pada palinggih. Saat meletakkan [menghaturkan]
segehan, kita juga harus memperhatikan arah mata
angin terkait pengider-ideran Panca Dewata dan
tata letak warna-warni segel kosmik pada segehan
yang sesuai [misalnya nasi warna putih pada segehan
di arah timur].
Pada waktu menghaturkan segehan hendaknya
didampingi dengan menghaturkan canang. Canang
ini berfungsi sebagai segel naungan kekuatan para
Ista Dewata. Jangan lupa juga saat meletakkan
[menghaturkan] canang ini memperhatikan arah
mata angin terkait pengider-ideran Panca Dewata.

Tapi jika saat menghaturkan segehan tidak


dapat kita dampingi dengan menghaturkan canang,
maka selayaknya dalam ituk-ituk pada segehan kita
isi dengan sedikit bunga. Bunga ini sama berfungsi
sebagai segel naungan kekuatan para Ista Dewata.
Menghaturkan Segehan [Ke Alam Bawah]
Langkah 2

Selipkan sebatang dupa pada segehan, atau


kita tancapkan di tanah.

Secara tradisional, pada segehan juga


dipergunakan api takep [dari dua buah sabut kelapa
kering yang dicakupkan menyilang, sehingga
membentuk tanda silang tapak dara atau swastika].
Tapi di jaman modern ini kita boleh cukup dengan
menggunakan dupa saja, karena yang terpenting
adalah kehadiran api-nya.
Dupa [atau api takep] adalah segel niskala
untuk mengundang turunnya kehadiran Sanghyang
Triyodasasaksi [tiga belas manifestasi Sanghyang
Acintya] sebagai saksi semesta pelaksanaan sebuah
yadnya, Sanghyang Agni sebagai penghantar yadnya
dan Sanghyang Brahma sebagai penerang jiwa semua
mahluk.
Menghaturkan Segehan [Ke Alam Bawah]
Langkah 3

Kita lanjutkan dengan metabuh.

Kita tabuhkan berem dan arak dengan


disiratkan memutar mengelilingi segehan [dan
canang] ke kiri atau berlawanan arah dengan jarum
jam sebanyak 3 [tiga] kali. Memutar ke kiri adalah
simbolik [segel niskala] dari kekuatan memutar ke
arah bawah [turun], atau dihantarkan ke alam-alam
bawah.
Metabuh ini kita lakukan sambil mengucapkan
mantra :

“Om ibek segara, Om ibek danu, Om ibek banyu


premananing hulun“

Catatan :

Saat menyiratkan memutar ke kiri pertama ucapkan


mantra “Om ibek segara”, menyiratkan memutar ke
kiri kedua ucapkan mantra “Om ibek danu” dan
menyiratkan memutar ke kiri ketiga ucapkan mantra
“Om ibek banyu premananing hulun“.
Menghaturkan Segehan [Ke Alam Bawah]
Langkah 4

Siratkan tirtha [air suci] sambil mengucapkan


mantra :

“Ong Mang Parama-Shiwa amertha ya namah


svaha“
Menghaturkan Segehan [Ke Alam Bawah]
Langkah 5

Ayabang segehan dengan menggunakan


tangan kanan. Jepit bunga dengan jari telunjuk dan
jari tengah. Gerakan ngayabang harus lembut dan
jelas, dari sisi luar belakang ke arah depan. Sambil
mengucapkan mantra menghaturkan segehan dan
menyomiakan sarwa bhuta, untuk pencapaian
kebahagiaan dan bebasnya dari kesengsaraan dari
sarwa bhuta tersebut.
Terdapat 2 [dua] pilihan mantra untuk
memberikan persembahan segehan ke alam-alam
bawah. Mantra yang mana saja boleh kita gunakan
[ucapkan]. Yaitu sebagai berikut.

Mantra pilihan pertama :

“Om Ang Kang Kasolkaya Isana wosat,


Om swasti-swasti sarwa bhuta sarwa kala sukha
pradana ya namah svaha,
Om A Ta Sa Ba I sarwa butha sarwa kala
murswah wesat Ah Ang,
Ong sah wesat ya namah svaha,
Om shanti shanti shanti Om“

Mantra pilihan kedua [lebih pendek] :

“Om Sa Ba Ta A I Panca Maha Bhuta ya namah


svaha,
Om swasti-swasti sarwa bhuta sarwa kala sukha
pradana ya namah svaha,
Ong sah wesat ya namah svaha,
Om shanti shanti shanti Om“

Intisari dari makna 2 [dua] mantra tersebut


adalah mendoakan mahluk-mahluk bawah agar
mereka bahagia bebas derita.
Menghaturkan Segehan [Ke Alam Bawah]
Langkah 6

Kemudian kita lakukan metabuh sekali lagi


[metabuh kedua].

Kita tabuhkan berem dan arak dengan


disiratkan memutar mengelilingi segehan [dan
canang] ke kanan atau searah dengan jarum jam
sebanyak 3 [tiga] kali. Ini adalah memutar dengan
arah yang sebaliknya dari metabuh yang pertama.
Memutar ke kanan adalah kekuatan memutar ke
arah atas [naik], atau mengangkat naik ke alam-alam
suci. Ini disebut ngeluhur, yaitu kekuatan untuk
menghantar naik ke alam-alam suci.

Metabuh ini kita lakukan sambil mengucapkan


mantra :

“Om ibek segara, Om ibek danu, Om ibek banyu


premananing hulun“

Catatan :

Saat menyiratkan memutar ke kanan pertama


ucapkan mantra “Om ibek segara”, menyiratkan
memutar ke kanan kedua ucapkan mantra “Om ibek
danu” dan menyiratkan memutar ke kanan ketiga
ucapkan mantra “Om ibek banyu premananing
hulun“.
Menghaturkan Segehan [Ke Alam Bawah]
Langkah 7

Setelah selesai metabuh, kita sirat-siratkan


kembali tirtha [air suci] sambil kita mengucapkan
mantra :

“Ong Mang Parama-Shiwa amertha ya namah


svaha,
Om ksama sampurna ya namah svaha,
Om siddhirastu tat astu astu svaha”
Dengan demikian kita telah memberikan
segehan [hidangan makanan] yang ditujukan ke sor
[ke alam-alam bawah]. Kita telah melakukan upaya
untuk menyomiakan sarwa bhuta [mahluk-mahluk
alam bawah], serta sekaligus mengharmoniskan
kembali getaran energi negatif di sekitar lingkungan
kita. Dengan satu-satunya tujuan, yaitu dengan dasar
belas kasih dan kebaikan, agar semua mahluk
bahagia bebas derita.
PENUTUP

Demikianlah secara ringkas panduan dasar


mengenai mebanten. Astungkara berguna bagi yang
membacanya. Terutama bagi yang belum mengenal
tattwa-nya, sehingga dapat mulai memperhatikan
dan memperbaiki seandainya masih terdapat
kekurang-pahaman. Astungkara kehidupan kita dan
keluarga akan mengalami perbaikan dan
peningkatan.

Dengan mebanten yang berlandaskan tattwa,


secara spiritual hal ini luar biasa terangnya. Dengan
dasar rasa hormat, rasa terimakasih dan rasa belas
kasih kita berkarma baik menjaga keseimbangan dan
keharmonisan kosmos atau alam semesta [jagadhita].
Karena di dalam upaya inilah ada kekuatan spiritual
semesta yang sempurna, yang berguna bagi
kebahagiaan semua mahluk.

Keterhubungan manusia dengan alam-alam


mahasuci akan terjaga dengan baik, mahluk-mahluk
alam-alam bawah akan sangat terbantu ter-somya
dari kesengsaraan dan kegelapan mereka, alam
semesta akan memberikan karunia kemakmuran dan
kesejahteraan, serta alam semesta akan menebarkan
getaran energi kedamaian secara kosmik, sehingga
diri kita sendiri, orang-orang disekitar kita dan semua
mahluk akan menerima getaran energi kedamaian.

Bali adalah pulau yang tidak hanya secara fisik


[sekala] saja indah, tapi secara spiritual [niskala] juga
sangat indah. Bali adalah pulau yang sarat dengan
getaran energi ketenangan dan kedamaian. Orang-
orang luar Bali yang datang ke Bali banyak yang
merasakan perbedaan suasana yang dirasakan di
Bali. Merasakan ketenangan dan kedamaian yang
nyaman. Siapa saja yang mata spiritual-nya sudah
terbuka, dia akan bisa melihat indahnya getaran
energi kosmik Pulau Bali, yang menebarkan
kedamaian, harmonis dan terang benderang.

Om shanti shanti shanti Om !


RUMAH DHARMA - HINDU INDONESIA

Halaman facebook Rumah Dharma - Hindu Indonesia :


facebook.com/rumahdharma
[Rumah Dharma - Hindu Indonesia]

Website Rumah Dharma - Hindu Indonesia :


rumahdharma.com

Kumpulan e-book lengkap dari Rumah Dharma - Hindu


Indonesia bisa di-download secara gratis tanpa dipungut
biaya apapun di :

rumahdharma.com/download
tattwahindudharma.blogspot.com
DHARMA DANA
Rumah Dharma - Hindu Indonesia

Rumah Dharma - Hindu Indonesia telah dan akan terus


melakukan penerbitan buku-buku dharma berkualitas,
baik berupa e-book maupun buku cetak, untuk dibagi-
bagikan secara gratis tanpa dipungut biaya apapun.

Untuk melakukan penyebaran buku-buku dharma


berkualitas, Rumah Dharma - Hindu Indonesia
memerlukan bantuan para donatur, yang sadar akan
pentingnya melakukan pembinaan kesadaran
masyarakat. Semakin banyak dharma dana yang
terkumpul maka semakin banyak juga buku-buku
dharma yang dapat diterbitkan dan disebarluaskan.

Ada empat cara memanfaatkan kekayaan sebagai ladang


kebaikan yang bernilai sangat utama, salah satunya
adalah ber-dharma dana untuk penyebaran ajaran
dharma. Karena ini bukan saja sebuah kebaikan mulia
dengan karma baik berlimpah, tetapi juga adalah sebuah
sadhana nirjara, sadhana penghapusan karma buruk.

Karma baik dari mendonasikan dharma dana bagi


penyebarluasan ajaran dharma adalah :

1. Donatur akan mendapatkan penghapusan berbagai


karma buruk.
2. Dalam setiap reinkarnasi kelahirannya donatur akan
berjodoh dengan ajaran dharma yang suci dan terang.
3. Donatur akan mendapatkan perlindungan dharma,
tidak mudah terseret dendam kebencian, pikirannya
lebih mudah tenang, serta menjadi lebih bijaksana.
4. Jika dampak penyebarannya mencerahkan
masyarakat luas, donatur akan mendapatkan
perlindungan dari para Ista Dewata.

Transfer Dharma Dana anda ke rekening :

Bank BNI Kantor Cabang Denpasar


No Rekening : 0340505797
Atas Nama : I Nyoman Agus Kurniawan

Astungkara berkat karma baik ini para donatur


mendapat kerahayuan.
TENTANG PENULIS

I Nyoman Kurniawan lahir pada tanggal 29 January


1976. Mendapatkan garis spiritualnya dari kakeknya, Pan
Siki, yang merupakan seorang balian usadha terkenal
dari Banjar Tegallinggah, Kota Denpasar.

Pada tahun 2002, memulai perjalanan spiritualnya


dengan belajar meditasi.

Pada tahun 2007 mulai memberikan komitmen


yang menyeluruh kepada spiritualisme dharma. Di tahun
yang sama belajar dengan Guru dharma-nya yang
pertama, serta memulai melakukan tirthayatra dan
penjelajahan ke berbagai pura pathirtan kuno, sebagai
bagian dari arahan Gurunya, sekaligus juga panggilan
spiritualnya sendiri.

Pada tahun 2009 mulai belajar dengan Guru


dharma-nya yang kedua, mendalami kekayaan spiritual
Hindu Bali, mendalami ajaran Tantra, menjalin
pertemanan dengan banyak Guru dan praktisi spiritual,
serta tetap meneruskan melakukan tirthayatra dan
penjelajahan ke berbagai pura pathirtan kuno.

Pada tahun 2010 mulai melakukan pelayanan


dharma untuk umum di halaman facebook “Rumah
Dharma - Hindu Indonesia”, serta mulai memberikan
tuntunan dan berbagi ajaran kepada adik-adik
dharmanya. Di tahun yang sama juga mulai menulis
buku. Inspirasi dharma yang didapatnya dari perjalanan
ke berbagai pura pathirtan kuno, dikombinasikan
dengan ajaran dari para Guru-nya, dari praktek meditasi,
membaca puluhan buku-buku suci, serta diskusi-diskusi
panjang dengan banyak praktisi spiritual, kemudian
ditulisnya menjadi berbagai buku.

Pada tahun 2015 mulai belajar dengan Guru


dharma-nya yang ketiga, serta tetap meneruskan
melakukan pelayanan dharma untuk umum.

S-ar putea să vă placă și