Sunteți pe pagina 1din 57

BAB I

TINJAUAN TEORI SECTIO CAESARIA

A. DEFINISI
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat
rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2009)
Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan
berat badan diatas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus yang
utuh (Gulardi & Wiknjosastro, 2006)
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding rahim (Mansjoer, 2002)

B. JENIS – JENIS
1 Sectio caesaria transperitonealis profunda
Sectio cesaria transperitonealis propunda dengan insisi di segmen bawah uterus.
insisi pada bawah rahim, bisa dengan teknik melintang atau memanjang.
Keunggulan pembedahan ini adalah:
a. Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak.
b. Bahaya peritonitis tidak besar.
c. Dinding uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri dikemudian hari
tidak besar karena pada nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak
mengalami kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat sembuh lebih
sempurna.
2 Sectio caesaria klasik atau sectio caesaria korporal
Pada sectio caesaria klasik ini di buat kepada korpus uteri, pembedahan ini yang
agak mudah dilakukan,hanya di selenggarakan apabila ada halangan untuk
melakukan sectio cesaria transperitonealis profunda. Insisi memanjang pada
segmen atas uterus.
3 Sectio caesaria ekstra peritoneal
Section caesaria ekstra peritoneal dahulu di lakukan untuk mengurangi bahaya
injeksi perporal akan tetapi dengan kemajuan pengobatan terhadap injeksi
pembedahan ini sekarang tidak banyak lagi di lakukan. Rongga peritoneum tak
dibuka, dilakukan pada pasien infeksi uterin berat.
4 Sectio caesaria Hysterectomi
Setelah sectio caesaria, dilakukan hysterektomy dengan indikasi:
1) Atonia uteri
2) Plasenta accrete
3) Myoma uteri
4) Infeksi intra uteri berat

C. ETIOLOGI
Manuaba (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri iminen,
perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin adalah
fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor sectio caesarea
diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea sebagai berikut:
1. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak
sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak
dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan
beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang
harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk panggul yang
menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan
dalam proses persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi.
Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi
asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi abnormal.
2. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan
oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah perdarahan dan
infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian maternal dan
perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah
penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi
eklamsi.
3. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan
dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar ketuban pecah dini
adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36 minggu.
4. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena kelahiran
kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran
satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau salah letak
lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.
5. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak memungkinkan
adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat
pendek dan ibu sulit bernafas.
6. Kelainan Letak Janin
1) Kelainan pada letak kepala
a. Letak kepala tengadah
Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam teraba
UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya
bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.
b. Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang terletak
paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.
c. Presentasi dahi
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi terendah
dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya dengan
sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau letak belakang kepala.
2) Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang
dengan kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum
uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong,
presentasi bokong kaki, sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna dan
presentasi kaki (Saifuddin, 2002).

D. PATOFISIOLOGI
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500
gr dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi dilakukan tindakan
ini yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak, placenta
previa dll, untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin. Janin besar dan letak
lintang setelah dilakukan SC ibu akan mengalami adaptasi post partum baik dari
aspek kognitif berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang informasi dan dari aspek
fisiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak adekuat akan mengakibatkan ASI yang
keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan menjadi post de entris bagi kuman. Oleh
karena itu perlu diberikan antibiotik dan perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri
adalah salah utama karena insisi yang mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat
regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap janin
maupun ibu anestesi janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam keadaan apnoe
yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati, sedangkan
pengaruhnya anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa atonia uteri
sehingga darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas yaitu jalan nafas
yang tidak efektif akibat sekret yang berlebihan karena kerja otot nafas silia yang
menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi saluran pencernaan dengan menurunkan
mobilitas usus.
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi
proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk
metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang
menurun maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan
menumpuk dan karena reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat beresiko
terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu motilitas yang
menurun juga berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu konstipasi (Saifuddin,
Mansjoer & Prawirohardjo, 2002)
E. TEKHNIK PENATALAKSANAAN
1. Bedah Caesar Klasik/ Corporal.
a. Buatlah insisi membujur secara tajam dengan pisau pada garis tengah
korpus uteri diatas segmen bawah rahim. Perlebar insisi dengan gunting
sampai sepanjang kurang lebih 12 cm saat menggunting lindungi janin
dengan dua jari operator.
b. Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah. Janin dilahirkan dengan
meluncurkan kepala janin keluar melalui irisan tersebut.
c. Setelah janin lahir sepenuhnya tali pusat diklem ( dua tempat) dan dipotong
diantara kedua klem tersebut.
d. Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan uterotonika
kedalam miometrium dan intravena.
e. Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
a) Lapisan I
Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang dengan
menggunakan benang chromic catgut no.1 dan 2
b) Lapisan II
Lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur horizontal (lambert)
dengan benang yang sama.
c) Lapisan III
Dilakukan reperitonealisasi dengan cara peritoneum dijahit secara jelujur
menggunakan benang plain catgut no.1 dan 2
f. Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa darah
dan air ketuban
g. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
2. Bedah Caesar Transperitoneal Profunda
1) Plika vesikouterina diatas segmen bawah rahim dilepaskan secara
melintang, kemudian secara tumpul disisihkan kearah bawah dan samping.
2) Buat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen bawah rahim kurang
lebih 1 cm dibawah irisan plika vesikouterina. Irisan kemudian diperlebar
dengan gunting sampai kurang lebih sepanjang 12 cm saat menggunting
lindungi janin dengan dua jari operator.
3) Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah dan janin dilahirkan
dengan cara meluncurkan kepala janin melalui irisan tersebut.
4) Badan janin dilahirkan dengan mengaitkan kedua ketiaknya.
5) Setelah janin dilahirkan seluruhnya tali pusat diklem ( dua tempat) dan
dipotong diantara kedua klem tersebut.
6) Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan uterotonika
kedalam miometrium dan intravena.
7) Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
a. Lapisan I
Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang dengan
menggunakan benang chromic catgut no.1 dan 2
b. Lapisan II
Lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur horizontal (lambert)
dengan benang yang sama.
c. Lapisan III
Dilakukan reperitonealisasi dengan cara peritonium dijahit secara
jelujur menggunakan benang plain catgut no.1 dan 2
8) Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa darah
dan air ketuban
9) Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
3. Bedah Caesar Ekstraperitoneal
a. Dinding perut diiris hanya sampai pada peritoneum. Peritoneum kemudia
digeser kekranial agar terbebas dari dinding cranial vesika urinaria.
b. Segmen bawah rahim diris melintang seperti pada bedah Caesar
transperitoneal profunda demikian juga cara menutupnya.
4. Histerektomi Caesarian ( Caesarian Hysterectomy)
a. Irisan uterus dilakukan seperti pada bedah Caesar klasik/corporal demikian
juga cara melahirkan janinnya.
b. Perdarahan yang terdapat pada irisan uterus dihentikan dengan
menggunakan klem secukupnya.
c. Kedua adneksa dan ligamentum rotunda dilepaskan dari uterus.
d. Kedua cabang arteria uterina yang menuju ke korpus uteri di klem (2) pada
tepi segmen bawah rahim. Satu klem juga ditempatkan diatas kedua klem
tersebut.
e. Uterus kemudian diangkat diatas kedua klem yang pertama. Perdarahan
pada tunggul serviks uteri diatasi.
f. Jahit cabang arteria uterine yang diklem dengan menggunakan benang
sutera no. 2.
g. Tunggul serviks uteri ditutup dengan jahitan ( menggunakan chromic catgut
no.1 atau 2 ) dengan sebelumnya diberi cairan antiseptic.
h. Kedua adneksa dan ligamentum rotundum dijahitkan pada tunggul serviks
uteri.
i. Dilakukan reperitonealisasi sertya eksplorasi daerah panggul dan visera
abdominis.
j. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektroensefalogram ( EEG )
Untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
2. Pemindaian CT
Untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging (MRI)
Menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik dan gelombang
radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht
bila menggunakan pemindaian CT.
4. Pemindaian positron emission tomography ( PET )
Untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi
lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak.
5. Uji laboratorium
a. Fungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
b. Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
c. Panel elektrolit
d. Skrining toksik dari serum dan urin
e. AGD
f. Kadar kalsium darah
g. Kadar natrium darah
h. Kadar magnesium darah
G. KOMPLIKASI
Yang sering terjadi pada ibu SC adalah :
1. Infeksi puerperial : kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas dibagi
menjadi:
a. Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari
b. Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut
sedikit kembung
c. Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
2. Perdarahan : perdarahan banyak bisa terjadi jika pada saat pembedahan cabang-
cabang arteri uterine ikut terbuka atau karena atonia uteri.
3. Komplikasi-komplikasi lainnya antara lain luka kandung kencing, embolisme
paru yang sangat jarang terjadi.
4. Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya
bisa terjadi ruptur uteri, yang sering terjadi pada ibu bayi : kematian perinatal

H. PENATALAKSANAAN
1. Perawatan awal
a. Letakan pasien dalam posisi pemulihan
b. Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam pertama,
kemudian tiap 30 menit jam berikutnya. Periksa tingkat kesadaran tiap 15
menit sampai sadar
c. Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi
d. Transfusi jika diperlukan
e. Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan transfusi, segera
kembalikan ke kamar bedah kemungkinan terjadi perdarahan pasca bedah
2. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman
dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi,
berupa air putih dan air teh.
3. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
a. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini
mungkin setelah sadar
c. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan
diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
d. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk
(semifowler)
e. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar
duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari
ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
4. Fungsi gastrointestinal
a. Jika tindakan tidak berat beri pasien diit cair
b. Jika ada tanda infeksi , tunggu bising usus timbul
c. Jika pasien bisa flatus mulai berikan makanan padat
d. Pemberian infus diteruskan sampai pasien bisa minum dengan baik
5. Perawatan fungsi kandung kemih
a. Jika urin jernih, kateter dilepas 8 jam setelah pembedahan atau sesudah
semalam
b. Jika urin tidak jernih biarkan kateter terpasang sampai urin jernih
c. Jika terjadi perlukaan pada kandung kemih biarkan kateter terpasang sampai
minimum 7 hari atau urin jernih.
d. Jika sudah tidak memakai antibiotika berikan nirofurantoin 100 mg per oral
per hari sampai kateter dilepas
e. Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter
biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan
keadaan penderita.
6. Pembalutan dan perawatan luka
a. Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak terlalu
banyak jangan mengganti pembalut
b. Jika pembalut agak kendor , jangan ganti pembalut, tapi beri plester untuk
mengencangkan
c. Ganti pembalut dengan cara steril
d. Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih
e. Jahitan fasia adalah utama dalam bedah abdomen, angkat jahitan kulit
dilakukan pada hari kelima pasca SC
7. Jika masih terdapat perdarahan
a. Lakukan masase uterus
b. Beri oksitosin 10 unit dalam 500 ml cairan I.V. (garam fisiologik atau RL) 60
tetes/menit, ergometrin 0,2 mg I.M. dan prostaglandin
8. Jika terdapat tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi sampai pasien bebas
demam selama 48 jam :
a. Ampicilin 2 gr I.V. setiap 6 jam
b. Ditambah gentamycin 5 mg/kg berat badan I.V. setiap 8 jam
c. Ditambah metronidazol 500 mg I.V setiap 8 jam
9. Analgesik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
a. Pemberian analgesia sesudah bedah sangat penting
b. Supositoria = ketopropen sup 2x/ 24 jam
c. Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
d. Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
10. Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan
caboransia: seperti neurobian I vit. C
11. Hal – Hal lain yang perlu diperhatikan
a. Paska bedah penderita dirawat dan diobservasi kemungkinan komplikasi
berupa perdarahan dan hematoma pada daerah operasi
b. Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah terjadinya hematoma.
c. Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring dengan lutut
ditekuk) agar diding abdomen tidak tegang.
d. Diusahakan agar penderita tidak batuk atau menangis.
e. Lakukan perawatan luka untuk mencegah terjadiny infeksi
f. Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang berat.
g. Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat menaikkan
tekanan intra abdomen
h. pengkajian difokuskan pada kelancaran saluran nafas, karena bila terjadi
obstruksi kemungkinan terjadi gangguan ventilasi yang mungkin disebab-kan
karena pengaruh obat-obatan, anestetik, narkotik dan karena tekanan
diafragma. Selain itu juga penting untuk mempertahankan sirkulasi dengan
mewaspadai terjadinya hipotensi dan aritmia kardiak. Oleh karena itu perlu
memantau TTV setiap 10-15 menit dan kesadaran selama 2 jam dan 4 jam
sekali.
i. Keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan fisik berupa nyeri dan
kenya-manan psikologis juga perlu dikaji sehingga perlu adanya orientasi dan
bimbingan kegiatan post op seperti ambulasi dan nafas dalam untuk
mempercepat hilangnya pengaruh anestesi.
j. Perawatan pasca operasi, Jadwal pemeriksaan ulang tekanan darah, frekuensi
nadi dan nafas. Jadwal pengukuran jumlah produksi urin Berikan infus dengan
jelas, singkat dan terinci bila dijumpai adanya penyimpangan
k. Penatalaksanaan medis, Cairan IV sesuai indikasi. Anestesia; regional atau
general Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan sectio caesaria. Tes
laboratorium/diagnostik sesuai indikasi. Pemberian oksitosin sesuai indikasi.
Tanda vital per protokol ruangan pemulihan, Persiapan kulit pembedahan
abdomen, Persetujuan ditandatangani. Pemasangan kateter fole.
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pada pengkajian klien dengan section caesaria, data yang dapat di temukan
meliputi distress janin, kegagalan untuk melanjutkan persalinan, malposisi janin,
prolaps tali pusat, abrasio plassenta dan plasenta previa.
a. Identitas atau biodata klien meliputi: nama, umur, agama, jenis kelamin,
alamat, suku bangsa, status perkawinan, pekerjaan, pendidikan, tanggal masuk
rumah sakit, nomor register dan diagnose keperawatan.
b. Keluhan utama
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan dahulu:
Penyakit kronis atau menular dan menurun seperti jantung, hipertensi,
DM, TBC, hepatitis, penyakit kelamin atau abortus
2) Riwayat kesehatan sekarang:
Riwayat pada saat sebelum inpartu di dapatkan cairan ketuban yang keluar
pervagina secara spontan kemudian tidak diikuti tanda-tanda persalinan.
3) Riwayat penyakit keluarga:
Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti: jantung, DM, HT,
TBC, penyakit kelamin, abortus, yang mungkin penyakit tersebut
diturunkan kepada klien.
d. Pola-pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Karena kurangnya pengetahuan klien tentang ketuban pecah dini, dan cara
pencegahan, penanganan, dan perawatan serta kurangnya menjaga
kebersihan tubuhnya akan menimbulkan masalah dalam perawatan
dirinya.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Pada klien nifas biasanya terjadi peningkatan nafsu makan karena dari
keinginan untuk menyusui bayinya.
3) Pola aktifitas
Pada pasien post partumklien dapat melakukan aktifitas seperti biasanya,
terbatas pada aktifitas ringan, tidak membutuhkan tenaga banyak, cepat
lelah, pada klien nifas didapatkan keterbatasan aktivitas karena mengalami
kelemahan dan nyeri.
4) Pola eliminasi
Pada pasien post partum sering terjadi adanya perasaan sering/susah
kencing selama masa nifas yang ditimbulkan karena terjadinya edema,
yang menimbulkan infeksi dari uretra sehingga sering terjadikonstipasi
karena penderita takut untuk melakukan BAB.
5) Istirahat dan tidur
Pada klien nifas terjadi perubahan pada pola istirahat dan tidur karena
adanya kehadiran sang bayi dan nyeri epis setelah persalinan.
6) Pola hubungan dan peran
Peran klien dalam keluarga meliputi hubungan klien dengan keluarga dan
orang lain
7) Pola penanggulangan stress
Biasanya klien sering melamun dan merasa cemas
8) Pola sensori dan kognitif
Pola sensori klien merasakan nyeri pada perineum akibat luka jahitan dan
nyeri perut akibat involusi uteri, pada pola kognitif klien nifas premipara
terjadi kurangnya pengetahuan merawat bayinya.
9) Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan kehamilannya, lebih-lebih
menjelang persalinan dampak psikologis klien terjadi perubahan konsep
diri antara lain dan body image dan ideal diri.
10) Pola reproduksi dan social
Terjadi disfungsi seksual yaitu perubahan dalam hubungan seksual atau
fungsi dari seksual yang tidak adekuat karena adnya proses persalinan dan
nifas.
e. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
Bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, kadang-kadang terdapat
adanya cloasma gravidarum dan apakah ada benjolan.
2) Leher
Kadang-kadang ditemukan adanya pembesaran kelenjar thyroid, karena
adanya proses mengerang yang salah.
3) Mata
Terkadang adanya pembekakan pada kelopak mata, konjungtiva, dan
kadang-kadang keadaan selaput mata anemis karena proses persalinan
yang mengalami perdarahan, sclera kuning
4) Telinga
Biasanya bentuk telinga simetris atau tidak, bagaimana kebersihannya,
adakah cairan yang keluar dari telinga
5) Hidung
Adanya polip atau tidak dan apabila pada post partum kadang-kadang di
temukan pernafasan cuping hidung
6) Dada
Terdapat adanya pembesaran payudara, adanya hiperpigmentasi areola
mammae dan papilla mammae
7) Pada klien nifas, abdomen kendor kadang-kadang striae masih terasa
nyeri. Fundus uteri 3 jari di bawah pusat.
8) Genitalia
Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air ketuban, bila terdapat
pengeluaran mekonium yaitu feces yang di bentuk anak dalam kandungan
menandakan adanya kelainan letak anak.
9) Anus
Kadang-kadang pada klien nifas ada luka pada anus karena rupture
10) Ekstremitas
Pemeriksaan edema untuk melihat kelainan-kelainan karena membesarnya
uterus, karena preeklamsi atau karena penyakit jantung atau ginjal.
11) Tanda-tanda vital
Apabila terjadi perdarahan pada post partum tekanan darah menurun, nadi
cepat, pernafasan meningkat, suhu tubuh turun.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa yang mungkin terjadi:
1) Ansietas berhubungan dengan situasi, ancaman konsep diri
2) Nyeri akut berhubungan dengan injury fisik jalan lahir
3) Defisit pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal atau familiar dengan
sumber informasi tentang cara perawatan bayi
4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan efek-efek anestesi, penurunan
kekuatan dan ketahanan, ketidaknyamanan fisik
5) Resiko infeksi berhubungan dengan luka operasi
3. Intervensi dan rasional
1) Ansietas berhubungan dengan situasi, ancaman konsep diri
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan ansietas dapat
berkurang atau hilang dengan kriteria:
a) Mengungkapkan penurunan rasa takut dan cemas yang berkurang
b) Pasien terlihat lebih rileks, dapat tidur / istirahat dengan benar
Intervensi:
a. Dorong keberadaan atau partisipasi pasangan
R/ memberikan dukungan emosional dapat mendorong mengungkapkan
masalah
b. Tentukan tingkat ansietas pasien dan sumber dari masalah
R/ mendorong pasien untuk mengungkapkan keluhan atau harapan yang
tidak terpenuhi dalam proses ikatan / menjadi orang tua.
c. Bantu pasien dalam mengidentifikasi mekanisme koping baru yang lazim
dan perkembangan strategi koping baru jika di butuhkan
R/ membantu memfasilitasi adaptasi yang positif terhadap peran baru
d. Memberikan informasi yang akurat tentang keadaan pasien dan bayi
R/ khayalan yang disebabkan informasi atau kesalahpahaman dapat
meningkatkan tingkat ansietas
e. Mulai kontak antara pasien dengan baik sesegera mungkin
R/ mengurangi ansietas yang mungkin berhubungan dengan penanganan
bayi, takut terhadap sesuatu yang tidak diketahui atau menganggap hal
yang buruk berkenaan dengan keadaan bayi.
2) Nyeri akut berhubungan dengan injury fisik jalan lahir.
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan ketidaknyamanan
nyeri berkurang atau hilang dengan kriteria:
a) Pasien mengungkapkan nyeri sudah berkurang
b) Pasien tampak rileks
Intervensi:
a. Tentukan lokasi dan karakteristik ketidaknyamanan, perhatikan isyarat
verbal dan non verbal seperti meringis.
R/ pasien mungkin tidak secara verbal melaporkan nyeri dab
ketidaknyamanan secara langsung. Membedakan karakteristik khusus dari
nyeri membantu membedakan nyeri paska operasi dari terjadinya
komplikasi.
b. Berikan informasi dan petunjuk antisipasi mengenai penyebab
ketidaknyamanan dan intervensi yang tepat.
R/ meningkatkan pemecahan masalah, membantu mengurangi nyeri
berkenaan dengan ansietas
c. Evaluasi tekanan darah dan nadi; perhatikan perubahan perilaku.
R/ pada banyak pasien, nyeri dapat menyebabkan gelisah, serta tekanan
darah dan nadi meningkat, analgesic dapat menurunkan tekanan darah.
d. Perhatikan nyeri tekan uterus dan adanya karakteristik nyeri
R/ selama 12 jam pertama paska partum, kontraksi uterus kuat dan teratur
dan ini berlanjut 2-3 hari berikutnya, meskipun frekuensi dan intensitasnya
dikurangi, faktor-faktor yang memperberat nyeri penyerta meliputi
multipara, overdistersi uterus.
e. Ubah posisi pasien, kurangi rangsangan berbahaya dan berikan gosokan
punggung dan gunakan tehnik pernafasan dan relaksasi dan distraksi
R/ merilekskan otot dan mengalihkan perhatian dari sensasi nyeri.
Meningkatkan kenyamanan dan menurunkan distraksi tidak menyenangkan,
meningkatkan rasa sejahtera.
f. Lakukan nafas dalam dengan menggunakan prosedur-prosedur pembebasan
dengan tepat 30 menit setelah pemberian analgesic.
R/ nafas dalam meningkatkan upaya pernafasan. Pembebasan menurunkan
regangan dan tegangan area insisi dan mengurangi nyeri dan
ketidaknyamanan berkenaan dengan gerakan atot abdomen.
3) Defisit pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal atau familiar dengan
sumber informasi tentang cara perawatan bayi
4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan efek-efek anestesi, penurunan
kekuatan dan ketahanan, ketidaknyamanan fisik
5) Resiko infeksi berhubungan dengan luka operasi
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
klien tidak mengalami infeksi dengan kriteria:
a. Tidak terjadi tanda-tanda infeksi (kalor, rubor, dolor, tumor, fungsio laesea)
b. Suhu dan nadi dalam batas normal (suhu = 36,5 – 37,5 oC, Nadi = 60 – 100
x/menit)
Intervensi:
a) Kaji kondisi nyeri yang dialami pasien
R/ pengukuran nilai ambang nyeri dapat dilakukan dengan skala maupun
deskripsi
b) Terangkan nyeri yang di derita klien dan penyebabnya
R/ meningkatkan koping klien dalam melakukan guidance mengatasi
nyeri
c) Kolaborasi pemberian analgetik
R/ mengurangi onset terjadinya nyeri dapat dilakukan dengan pemberian
analgetik oral maupun sistemik dalam spectrum luas/spesifik.
OBAT – OBAT ANASTESI
1. OBAT REGIONAL ANASTESI
Anestesi yang membuat area yang lebih besar dari tubuh mati rasa dengan
memblokir transmisi implus syaraf antara bagian tubuh dan sumsum tulang
belakangn, anestesi dengan tindakan menyuntikan obat anestesi lokal ke dalam sub
arrachnoid mlalui punsi lumbal interspace antara vertebra L2-L3\ L3-L4 atau L4-L5.
Blok syaraf yang di hasilkan tidak permanen dari cabang-cabang syarab banglion
anterior, posterior dan bagian dari medulla spinalis dapat berpengaruh hilangnya
aktivitas otonamik dan motorik.
Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikan obat anestesi
disekitar syaraf sehingga area yang di syarafi teranestesi. Anestesi regional dibagi
menjadi epidural, spinal dan kombinasi spinal epidural, spinal anestesi adalah
suntikan obat anestesi kedalam ruang subarahnoid dan ekstradural epidural di
lakukan suntikan kedalam ekstradural. (Brunner & suddarth, 2002 ).

1. ANATOMI FISIOLOGIS TULANG BELAKANG


Ruang tulang punggung ( Columna vertebralis ) terdiri dar i:
 7 vertebralis servical
 12 vertebra torakal
 5 vertebra sacral atau lumbal
 4-5 vertebra koksigeal
 Prosesus spinosus C7 menonjol\ vertebra promineus xipinosus
Medula spinalis diperdarahi oleh spinalis anterior dan spinalis posteror. Tulang
belakang biasanya bentuk-bentuk ganda C, yang cembung anterior di daerah leher
dan lumbal. Unsur ligamen memberikan dukungan struktural dan bersama-sama
dengan otot pendukung membantu menjaga bentuk yang unik. Secara ventral,
corpus vertebra dan disk intervertebralis terhubung dan didukung oleh ligamen
longitudinal anterior dan posterior. Dorsal, ligamentum flavum, ligamen
interspinous, dan ligamentum supraspinata memberikan tambahan stabilitas.
Dengan menggunakan teknik median, jarum melewati ketiga dorsal ligamen dan
melalui ruang oval antara tulang lamina dan proses spinosus vertebra yang
berdekatan (Morgan et.al 2006) .Untuk mencapai cairan cerebro spinal, maka
jarum suntik akan menembus : kulit, subkutis, ligament supraspinosum, ligament
interspinosum, ligament flavum, ruang epidural, durameter, ruang
subarahnoid. (Morgan et.al 2006)

1. Indikasi Spinal Anestesi (Yuswana, 2005)


 Operasi ektrimitas bawah, meliputi jaringan lemak, pembuluh darah dan tulang.
 Operasi daerah perineum termasuk anal, rectum bawah dan dindingnya atau
pembedahan saluran kemih.
 Operasi abdomen bagian bawah dan dindingnya atau operasi peritoneal.
 Operasi obstetrik vaginal deliveri dan section caesaria.

2. Kontra indikasi Spinal Anestesi (Latief, 2001)


a. Absolut
 Pasien menolak
 Infeksi tempat suntikan
 Hipovolemik berat, syok
 Gangguan pembekuan darah, mendapat terapi antikoagulan
 Tekanan intracranial yang meninggi
 Hipotensi, blok simpatik menghilangkan mekanisme kompensasi
 Fasilitas resusitasi minimal atau tidak memadai
b. Relatif (latief, 2001)
 Infeksi sistemik (sepsis atau bakterimia)
 Kelainan neurologis
 Kelainan psikis
 Pembedahan dengan waktu lama
 Penyakit jantung
 Nyeri punggung
 Anak-anak karena kurang kooperatif dan takut rasa baal

a. Persiapan spinal Anestesi


Pada dasarnya persiapan anestesi spinal seperti persiapan anestesi umum
daerah sekitar tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya
kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sehingga tidak teraba tonjolan
prosesus spinosus. ( Latief, 2001) Selain itu perlu di perhatikan hal-hal dibawah ini :
 Izin dari pasien (Informed consent)
 Pemeriksaan fisik
 Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
 Pemeriksaan Laboratorium anjuran HB, HT, PT (Protombin Time) dan
PTT (Partial Thromboplastine Time).

3. Obat-obat Lokal Anesthesi.


Salah satu faktor yang mempengaruhi spinal anestesi blok adalah barisitas (Barik
Grafity) yaitu rasio densitas obat spinal anestesi yang dibandingkan dengan densitas
cairan spinal pada suhu 370C. Barisitas penting diketahui karena menentukan penyebaran
obat anestesi lokal dan ketinggian blok karena grafitasi bumi akan menyebabkan cairan
hiperbarik akan cendrung ke bawah. Densitas dapat diartikan sebagai berat dalam gram
dari 1ml cairan(gr/ml) pada suhu tertentu. Densitas berbanding terbalik dengan
suhu(Gwinnutt, 2011).
Obat-obat lokal anestesi berdasarkan barisitas dan densitas dapat di golongkan
menjadi tiga golongan yaitu:
1) Hiperbarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih besar
dari pada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi perpindahan
obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Agar obat anestesi lokal benar–benar
hiperbarik pada semua pasien maka baritas paling rendah harus 1,0015gr/ml
pada suhu 37C, contoh: Bupivakain 0,5% (Gwinnutt, 2011).
2) Hipobarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih rendah
dari berat jenis cairan serebrospinal. Densitas cairan serebrospinal pada suhu
370C adalah 1,003gr/ml. Perlu diketahui variasi normal cairan serebrospinal
sehingga obat yang sedikit hipobarik belum tentu menjadi hipobarik bagi
pasien yang lainnya. contoh: tetrakain, dibukain. (Gwinnutt, 2011).
3) Isobarik
Secara definisi obat anestesi lokal dikatakan isobarik bila densitasnya sama
dengan densitas cairan serebrospinalis pada suhu 370C. Tetapi karena
terdapat variasi densitas cairan serebrospinal, maka obat akan menjadi
isobarik untuk semua pasien jika densitasnya berada pada rentang standar
deviasi 0,999-1,001gr/ml. contoh: levobupikain 0,5% (Viscomi 2004).
Spinal anestesi blok mempunyai beberapa keuntungan antara lain:perubahan
metabolik dan respon endokrin akibat stres dapat dihambat, komplikasi
terhadap jantung, paru, otak dapat di minimal, tromboemboli
berkurang, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah yang terblok sedang
pasien masih dalam keadaan sadar. (Kleinman et al,2006).

4. Persiapan alat anestesi spinal ( Latief, 2001)


a. Peralatan monitor lengkap :
 Monitor tensi
 Ekg dgn elektroda
 Pulse oximeter
 Recordial
 Saturasi fortebel
 Mesin anestesi lengkap
b. Peralatan resusitasi \ anesestesi umum
 Stetoskop untuk mendengarkan suara jantung dan paru
 Laringo – scope pilih blade sesuai usia pasien, lampu harus cukup terang
 Pipa tracea usia kurang dari 5 thn dgn balon\caffed dan usia lebih dri 5 thn
dengan balon caffed.
 Orotracheal airway dan naso tracheal airway
 Stilet untuk memandu agar pipa trakea mudah di masukan
 Plester fiksasi
 Conektor penyambung antara pipa dan peralatan anestesi
 Suction penyedot lender, darah dll.
c. Jarum spinal : 25,26,27,228. Jarum spinal ujung tajam ( Qwincke babcock,
pencil point white care )
d. Peralatan alat –alat dan obat SAB
Alat – alat steril :
 Baki
 Duk lubang
 Cucing 2 biji
 Korentang \ringtang 2 biji
 Depress 6 biji
 Kasa 6 biji
Alat – alat tidak steril :
 Spuit 5 cc 1 biji
 Spuit 3 cc 1 buah
 Lekometer ukuran kcil \ plester
 Betadin alcohol 70%
 Obat – obat untuk anestesi steri
 Lidocain 20 %
 Lidodex 5 % adalah larutan lidocain 5 % di dalam dextrose 5 -10 % ( agar
bersifat heperbararik agar mudah mengaturxa, lidodex 5 % dengan adrenalin 0, 2
mg agar bekerja lebih lama. Omset cepat 45 – 90 detik
 cenderung cepat hipotensi pada pasien section ceasaria.
 Bupivacaine kerja obat lebih kuat dan lama konsentrasinya 0,25 – 0, 75 % dalam
konsentrasi rendah, blok motoric kurang adekut. Omset lama 2-3 menit
hemodinamik lebih stabil tergantung ketinggian bloknya.

Obat – obat anestesi dan emergenci :


 Efedrin 5 mg \ cc dalam spuit 10 cc
 SA 0,25 mg \ cc dalam spuit 3 cc
 Lidocain 20 mg \cc dalam spuit 5 cc
 Midazolam 1 mg \ cc dalam spuit 5 cc
 Fentanyl 50 mcg \ cc dalam spuit 3 cc
 Pethidin 50 mg \ cc dalam spuit 3 cc
 Propofol 10 mg \ cc dalam spuit 20 cc
 Obat – obat post op

Prosedur spinal anestesi


Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor yang sesuai
dan pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan nafas dan resusitasi telah
tersedia. Sebelum memosisikan pasien, seluruh peralatan untuk blok spinal harus siap
untuk digunakan, sebagai contoh, anestesi lokal telah dicampur dan siap digunakan,
jarum dalam keadaan terbka, cairan preloading sudah disiapkan. Persiapan alat akan
meminimalisir waktu yang dibutuhkan untuk anestesi blok dan kemudian meningkatkan
kenyamanan pasien (Bernards, 2006).
Adapun prosedur dari anestesi spinal adalah sebagai berikut (Morgan, 2006):
1) Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika kita
visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan
adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk
spinal anestesi.
2) Posisi pasien :
 Posisi Lateral. Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm, lutut dan
paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.
 Posisi duduk. Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis,
tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin akan
pusing dan diperlukan seorang asisten untuk memegang pasien supaya tidak
jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan sadle block.
 Posisi Prone. Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah
menginginkan posisi Jack Knife atau prone.
3) Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol, kemudian
kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.
4) Cara penusukan.
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum,
semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi komplikasi
sakit kepala (PDPH=post duran punctureheadache), dianjurkan dipakai jarum
kecil. Penarikan stylet dari jarum spinal akan menyebabkan keluarnya likuor bila
ujung jarum ada di ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus
diperiksa dan spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa
mili meter sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah,
masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat
anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah yang
mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi lokal karena
dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).
5) Ketinggian Blok SAB
Ketinggian segmental anatomi :
 C3 - C4 klavikula
 T2 ruang intercostal kedua
 T4 - 5 garis putting susu
 T7 - 9 arkus subkostalis
 T10 umbilikus
 L1 daerah inguinal
 S1 - 4 perineum
Ketinggian segmental reflex spinal :
 T7 - 8 epigastrik
 T9 - 12 abdominal
 L1 – 2 kremaster
 L2 – 4 lutut ( kene jerk )
 S1 – 2 plantar pergelangan kaki
 S4 – 5 sfingter anus, refleks kejut
Pembedahan :
 Tungkai bawah T2
 Panggul T10
 Uterus – vagina T10
 Buli buli prostat T10
 Tungkai bawah ( dengan manset ) T8
 Testis ovarium T8
 Intra abdomen bawah T6
 Intra abdomen lain T4

1) Keuntungan dan kerugian spinal anestesi


Keuntungan penggunaan anestesi regional adalah murah, sederhana, dan
penggunaan alat minim, non eksplosif karena tidak menggunakan obat-obatan
yang mudah terbakar, pasien sadar saat pembedahan, reaksi stres pada daerah
pembedahan kurang bahkan tidak ada, perdarahan relatif sedikit, setelah
pembedahan pasien lebih segar atau tenang dibandingkan anestesi umum.
Kerugian dari penggunaan teknik ini adalah waktu yang dibutuhkan untuk
induksi dan waktu pemulihan lebih lama, adanya resiko kurang efektif block
saraf sehingga pasien mungkin membutuhkan suntikan ulang atau anestesi
umum, selalu ada kemungkinan komplikasi neurologi dan sirkulasi sehingga
menimbulkan ketidakstabilan hemodinamik, dan pasien mendengar berbagai
bunyi kegiatan operasi dalam ruangan operasi. (Morgan et.al 2006)
2) Komplikasi spinal anestesi
Komplikasi anestesi spinal adalah hipotensi, hipoksia, kesulitan bicara, batuk
kering yang persisten, mual muntah, nyeri kepala setelah operasi, retansi urine
dan kerusakan saraf permanen (Bunner dan Suddart, 2002 ; Kristanto 1999).
3) Komplikasi pasca anestesi
Komplikasi anestesi adalah penyulit yang terjadi pada periode perioperatif
dapat dicetuskan oleh tindakan anestesi sendiri dan atau kondisi pasien.
Penyulit dapat ditimbulkan belakangan setelah pembedahan. Komplikasi
anestesi dapat berakibat dengan kematian atau cacat menetap jika todak
terdeteksi dan ditolong segera dengan tepat. Kompliaksi kadang-kadang
datangnya tidak diduga kendatipun anestesi sudah dilaksanakan dengan baik.
Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi anestesi tergantung dari deteksi
gejala dini dan kecepatan dilakukan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan
yang lebih buruk (Thalib, 1999).
4) Teknik Spinal Anestesi
1. Teknik Median (metode midline)
Tulang belakang dipalpasi dan posisi tubuh pasien diatur agar tegak lurus
dengan lantai. Ini untuk memastikan jarumnya dimasukkan secara paralel
dengan lantai dan akan tetap pada posisi garis tengah walaupun penusukan
lebih dalam (Gambar 3). Processus spinosus vertebrae di lokasi yang akan
digunakan dipalpasi, dan akan menjadi tempat memasukkan jarum. Setelah
mempersiapkan dan menganestesi kulit seperti di atas, jarum dimasukkan
ke garis tengah. Mengingat bahwa arah processus vertebra mengarah ke
bawah, maka setelah jarum masuk langsung diarahkan perlahan ke arah
cephalad. Jaringan sub kutan akan memberikan sedikit tahanan terhadap
jarum. Setelah dimasukkan lebih dalam, jarum akan memasuki ligamen
supraspinal dan interspinal, yang akan terasa meningkat kepadatan
jaringannya. Jarum juga terasa lebih kuat tertanam. Jika terasa jarum
memnyentuh tulang, berarti jarum mengenai bagian bawah processus
spinosus. Kontak dengan tulang pada tusukan yang lebih dalam
menunjukkan bahwa jarum pada posisi garis tengah dan menyentuh
processus spinosus atas atau berada di posisi lateral dari garis tengah dan
mengenai lamina. Dalam kasus seperti ini jarum harus diarahkan kembali.
Saat jarum menembus ligamentum flavum, akan terasa tahanan yang
meningkat. Pada titik inilah prosedur anestesi spinal dan epidural
dibedakan. Pada anestesi epidural, hilangnya tahanan tiba-tiba menandakan
jarum menembus ligamentum flavum dan memasuki ruang epidural. Untuk
anestesi spinal, jarum dimasukkan lagi hingga menembus membran dura-
subarachnoid dan ditandai dengan adanya aliran LCS. (Morganet.al 2006)
2. Teknik (metode) Paramedian
Penusukan kulit untuk teknik paramedian dilakukan 2 cm lateral ke
prosesus spinosus superior dari tingkat yang ditentukan. Karena teknik
lateral ini sebagian besar menembus ligamen interspinous dan otot
paraspinous, jarum akan menghadapi perlawanan kecil pada awalnya dan
mungkin tidak tampak berada di jaringan kuat. Jarum diarahkan dan
lanjutan pada 10-25 ° sudut ke arah garis tengah. Identifikasi ligamentum
flavum dan masuk ke dalam ruang epidural sering kali lebih halus
dibanding dengan teknik median. Jika tulang dijumpai pada kedalaman
yang dangkal dengan teknik paramedian, jarum kemungkinan bersentuhan
dengan bagian medial lamina yang lebih rendah dan harus diarahkan
terutama ke atas dan sedikit lebih lateral. Di sisi lain, jika tulang yang
ditemukanlebih dalam, jarum biasanya kontak dengan bagian lateral lamina
yang lebih rendah dan harus diarahkan hanya sedikit ke atas, lebih ke arah
garis tengah.(Morgan et.al 2006)

KOMPLIKASI SPINAL ANESTESI


1. Komplikasi dini
1. hipotensi
2. blok spinal tinggi /total
3. mual dan muntah
4. penurunan panas tubuh
2. Komplikasi lanjut
1. Post dural Puncture Headache (PDPH)
2. nyeri punggung (Backache)
3. cauda equine sindrom
4. meningitis
5. retensi urine
6. spinal hematom
7. kehilangan penglihatan pasca operasi
1. Hipotensi
1. paling sering terjadi dengan derajat bervariasi dan bersifat individual
2. mungkin akan lebih berta pada pasien dengan hipovolemia
3. biasanya terjadi pada menit ke 20 setelah injeksi obat local anestesi
4. derajat hipotensi berhubungan dengan kecepatan masuknya obat local anestesi
ke dalam ruang sub arakhnoid dan meluasnya blok simpatis
2. Hipovolemia
1. Dapat menyebabkan depresi serius system kardiovaskuler selama spinal
anestesi karena pada hipovolemia tekanan darah dipelihara dengan
peningkatan simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi perifer merupakan
kontraindikasi relative anestesi spinal, tetapi jika normovolemi dapat dicapai
dengan penggantian volume cairan maka spinal anestesi bias dikerjakan
Pasien hamil sensitive terhadap blockade simpatis dan hipotensi, hal ini
karena obstruksi mekanis venous return sehingga pasien hamil harus
ditempatkan pada posisi miring lateral segere setelah spinal anestesi untuk
mencegah kompresi vena cava
2. Pasien tua Dengan hipovolemi dan iskemi jantung lebih sering terjadi
hipotensi dibanding dengan pasien muda Pencegahan : pemberian cairan RL
500-1000 ml secara intravena sebelum anestesi spinal dapat menurunkan
insidensi hipotensi atau preloading dengan 1-5 L cairan elektrolit atau koloid
digunakan secara luas untuk mencegah hipotensi Terapi : autotransfusi
dengan posisi head down dapat menambah kecepatan pemberian preload
3. bradikardi yang berat dapat diberikan antikolinergik
4. jika hipotensi tetap terjadi setelah pemberian cairan, maka vasopresor
langsung atau tidak langsung dapat diberikan seperti efedrin dengan dosis 5-
10 mg bolus iv efedrin merupakan vasopresor tidak langsung, meningkatkan
kontraksi otot jantung (efek sentral) dan vasokonstriktor (efek perifer)
3. Blokade total spinal
1. total spinal : blockade medulla spinalis smapai ke servikal oleh suatu obat
local anestesi
2. factor pencetus : pasien menghejan, dosis obat local anestesi yang digunakan,
posisi pasien terutama bila menggunakan obat hiperbarik
3. sesak napas dan sukar bernapas merupakan gejala utama dari blok spinal
tinggi
4. Sering disertai mual,muntah, precordial discomfort dan gelisah
5. apabila blok semakin tinggi penderita menjadi apnea, kesadaran menurun
disertai hipotensi yang berat dan jika tidak ditolong akan terjadi henti jantung
Penanganan :
a. usahakan jalan napas tetap bebas, kadang diperlukan bantuan napas lewat
face mask
b. jika depresi pernapasan makin berat perlu segera dilakukan intubasi
endotrakeal dan control ventilasi untuk menjamin oksigenasi yang adekuat
c. bantuan sirkulasi dengan dekompresi jantung luar diperlukan bila terjadi
henti jantung.
d. pemberian cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB diperlukan untuk mencegah
hipotensi
e. jika hipotensi tetap terjadi atau jika pemberian cairan yang agresif harus
dihindari maka pemberian vasopresor merupakan pilihan seperti adrenalin
dan sulfas atropine
4. Mual Muntah
1. Hipotensi
2. adanya aktifitas parasimpatis yang menyebabkan peningkatan peristalyik usus
3. tarikan nervus dan pleksus khususnya N vagus
4. adanya empedu dalam lambung oleh karena relaksasi pylorus dan spincter
ductus biliaris
5. factor psikologis
6. hipoksia
5. Shivering (penurunan panas tubuh)
1. sekresi katekolamin ditekan sehingga produksi panas oleh metabolisme
berkurang
2. vasodilatasi pada anggota tubuh bawah merupakan predisposisi terjadinya
hipotermi
Penanganan :
Pemberian suhu panas dari luar dengan alat pemanas
6. PDPH
1. disebabkan adanya kebocoran LCS akibat tindakan penusukan jaringan spinal
yang menyebabkan penurunan tekanan LCS
2. akibatnya terjadi ketidakseimbangan pada volume LCS dimana penurunan
volume LCS melebihi kecepatan produksi
3. LCS diproduksi oleh pleksus choroideus yang terdapat dalam system ventrikel
sebanyak 20 ml per jam
4. Kondisi ini akan menyebabkan tarikan pada struktur intracranial yang sangat
peka terhadap nyeri yaitu pembuiluh darah, saraf, falk serebri dan meningen
dimana nyeri akan timbul setelah kehilangan LCS sekitar 20 ml
5. Nyeri akan meningkat pada posisi tegak dan akan berkurang bila berbaring,
hal ini disebabkan pada saat berdiri LCS dari otak mengalir ke bawah dan saat
berbaring LCS mengalir kembali ke rongga tengkorak dan akan melindungi
otak sehingga nyeri berkurang.
PDPH ditandai dengan :
a. Nyeri kepala yang hebat
b. Pandangan kabur dan diplopia
c. Mual dan muntah
d. Penurunan tekanan darah
e. Onset terjadinya adalah 12-48 jam setelah prosedur spinal anestesi
Pencegahan dan Penanganan :
1. Hidrasi dengan cairan yang kuat
2. Gunakan jarum sekecil mungkin (dianjurkan < 24) dan menggunakan
jarum non cutting pencil point
3. Hindari penusukan jarum yang berulang-ulang
4. Tusukan jarum dengan bevel sejajar serabut longitudinal durameter
5. Mobilisasi seawall mungkin
6. Jika nyeri kepala tidak berat dan tidak mengganggu aktivitas maka hanya
diperlukan terapi konservatif yaitu bedrest dengan posisi supine,
pemberian cairan intravena maupun oral, oksigenasi adekuat
7. Pemberian sedasi atau analgesi yang meliputi pemberian kafein 300 mg
peroral atau kafein benzoate 500 mg iv atau im, asetaminofen atau NSAID
8. Hidrasi dan pemberian kafein membantu menstimulasi pembenntukan
LCS
9. Jika neyri kepala menghebat dilakukan prosedur khusus Epidural Blood
Patch :
a. Baringkan pasien seperti prosedur epidural
b. Ambil darah vena antecubiti 10-15 ml
c. Dilakukan pungsi epidural kemudian masukan darah secara pelan-
pelan
d. Pasien diposisikan supine selama 1 jam kemudian boleh melakukan
gerakan dan mobilisasi
e. Selama prosedur pasien tidak boleh batuk dan mengejan
6. Nyeri punggung
1. Tusukan jarum yang mengenaikulit, otot dan ligamentum dapat
menyebabkan nyeri punggung
2. Nyeri ini tidak berbeda dengan nyeri yang menyertai anestesi umum,
biasnya bersifat ringan sehingga analgetik post operatif biasanya bias
menutup nyeri ini.
3. Relaksasi otot yang berlebih pada posisi litotomi dapat menyebabkan
ketegangan ligamentum lumbal selama spinal anestesi
4. Rasa sakit punggung setelah spinal anestesi sering terjadi tiba-tiba dan
sembuh dengan sendirinya setelah 48 jam atau dengan terapi konservatif
5. Adakalanya spasme otot paraspinosus menjadi penyebab
Penanganan :
Dapat diberikan penanganan dengan istirahat, psikologis, kompres panas
pada daerah nyeri dan analgetik antiinflamasi yang diberikan dengan
benzodiazepine akan sangat berguna
7. Retensi urin
1. Blockade sentral menyebbkan atonia vesika urinaria sehinggga volume
urine di vesika urinaria jadi banyak
2. Blockade simpatis eferen (T5-L1)menyebabkan kenaikan tonus sfingter
yang menghasilkan retensi urin
3. Spinal anestesi menurunkan 5 -10% filtrasi glomerulus, perubahan ini
sangat tampak pada pasien hipovolemia
4. Retensi post spinal anestesi mungkin secara moderat diperpanjang karena
S2 dan S3 berisi serabut-serabut ototnomik kecil dan paralisisnya lebih
lama daripada serabut-serabut yang lebih besar
8. Meningitis
1. Munculnya bakteri pada ruang subarakhnoid tidak mungkin terjadi jika
penanganan klinis dilakukan dengan baik
2. Meningitis aseptic mungkin berhubungan dengan injeksi iritan kimiawi
dan telah dideskripsikan tetapi jarang terjadi dengan peralatan sekali pakai
dan jumlah larutan anestesi murni local yang memadai
Pencegahan :
1. Dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat dan obat-obatan yang
betul-betul steril
2. Menggunakan jarum spional sekali pakai
3. Pengobatan dengan pemberian antibiotika yang spesifik
9. Spinal hematom
1. Meski angka kejadiannnya kecil, spinal hematom merupakan bahaya besar
bagi klinis karena sering tidak mengetahui sampai terjadi kelainan
neurologist yang membahayakan
2. Terjadi akibat trauma jarum spinal pada pembuluh darah di medulla
spinali
3. Dapat secara spontan atau ada hubungannnya dengan kelainan neoplastik
4. Hematom yang berkembang di kanalis spinalis dapat menyebabkan
penekanan medulla spinalis yang menyebabkan iskemik neurologist dan
paraplegi
5. Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnya meliputi :
a. mati rasa
b. kelemahan otot
c. kelainan BAB
d. kelainan sfingter kandung kemih
e. sakit pinggang yang berat

2. OBAT PREMEDIKASI
Premedikasi adalah pemberian obat-obatan sebelum dilakukan induksi
anasthesi. Tujuan pemberian obat anasthesi antara lain : menghilangkan kecemasan,
memberikan rasa nyaman dan tenang, mengurangi nyeri, mengurangi pemakaian
obat-obat anasthesi durante operasi, mengurangi sekresi kelenjar ludah pada saluran
napas, mendapatkan efek amnesia, dan mempermudah induksi. Waktu dan cara
pemberian premedikasi : intravena ( 5 – 10 menit sebelum induksi ) dan
intramuskuler ( 30 menit sampai 1 jam sebelum induksi ).
Macam – macam obat premedikasi :
1. Golongan narkotik
Tujuan : mempunyai efek analgetik yang sangat kuat, mengurangi rasa nyeri saat
pembedahan
Efek samping : dapat menyebabkan depresi pernapasan, mual, muntah,
vasodilatasi pembuluh darah yang dapat menyebabkan hipotensi
Jenis : - Pethidin , Dosis : 0,5 – 1 mg / kg BB ( IM )
- Morphine , Dosis : 0,1 – 0,2 mg / kg BB ( IM )
2. Golongan sedasi
Tujuan : Memberikan rasa nyaman dan tenang, mengurangi kecemasan, amnesia
retrograde
Jenis : Midazolam , Dosis : 0,07 – 0,1 mg / kg BB ( IM )
3. Golongan antikolinergik
Tujuan : mencegah terjadinya efek bradicardia dari obat-obatan anasthesi lain,
mengurangi produksi saliva, mengurangi resiko terjadinya reflek vagal.
Jenis : Sulfas Atropin, Dosis : 0,01 – 0,02 mg / kg BB ( IM )
3. OBAT INDUKSI
Obat induksi adalah obat – obat yang diberikan pada permulaan anasthesi. Tujuan
pemberian obat induksi adalah menghilangkan rasa nyeri durante dan post operasi.
Macam – macam obat induksi :
1. Propofol
- Berbentuk cairan, emulsi isotonik, warna putih seperti susu dengan bahan
pelarut minyak kedelai
- Terasa nyeri saat penyuntikan, sehingga di campur dengan lidocain 2 % ( 0.5
cc ) dalam 10cc propofol.
- Analgetik tidak kuat
- Dapat di pakai sebagai obat induksi dan obat maintenance
- Efek samping : Bradicardia, mual, nyeri saat penyuntikan, dosis berlebihan
dapat mendepresi jantung dan pernapasan
- Dosis : 1 – 2,5 mg / kg BB ( IV )
2. Fentanyl
- Mempunyai potensi analgetik lebih besar 75 – 125 kali dibandingkan morphin
- Mempunyai onset kerja yang cepat dan waktu eliminasi yang cepat
- Dapat di pakai saat induksi atau maintenance
- Efek samping terhadap jantung sangat minimal, tetapi dapat terjadi
bradicardia.
- Dosis : 2 – 150 mcg / kg BB ( IV )
4. OBAT MUSCLE RELAXAN
Obat muscle relaxan adalah obat pelumpuh otot yang bekerja pada otot
bergaris / otot lurik, sehingga akan terjadi kelumpuhan otot pernapasan, otot – otot
mandibulla, otot intercostalis, otot abdominal, dan relaksasi otot ekstremitas.Pada
pemberiannya pastikan penderita dapat diberi napas buatan.
Pelumpuh otot di bagi 2 : depolarisasi dan non depolarisai
Jenis pelumpuh berdasarkan durasi :
- Ultrashort ( 5 – 10 menit ) = suksinilkolin
- Short acting ( 10 – 15 menit ) = mivakurium
- Medium acting ( 15 – 30 menit ) = atrakurium ( Dosis 0,5 mg / kg BB, iv),
vecuronium ( Dosis 0,12 mg / kg BB, iv), rocuronium ( Dosis 0,6 – 1,2 mg / kg
BB,iv )
- Long acting ( 30 – 120 menit ) = pancuronium, metokurin, doksakurium
5. OBAT ANASTHESI INHALASI
Jenis – jenis obat anasthesi inhalasi :
1. HALOTAN
- Anasthesi inhalasi berbentuk cairan yang tidak berwarna, mudah menguap,
tidak mudah terbakar, berbau harum tapi mudah terurai cahaya.
- Efek dari halotan :
 Tidak merangsang saluran pernapasan
 Depresi napas pada stadium analgetik
 Menghambat salvias
 Hipnotik kuat, analgetik kurang baik, relaksasi cukup
 Mencegah spasme laring dan bronchus
 Vasodilatasi pembuluh darah otak
 Meningkatkan aktivitas vagal menyebabkan vagal reflex
 Menghambat kontraksi otot rahim
 Pemberian berulang beresiko kerusakan pada hepar
 Dapat digunakan sebagi obat induksi dan maintenance
- 1 MAC = 0,75 %
2. ISOFLURANE
- Anasthesi inhalasi berbentuk cairan yang tidak berwarna, berbau tajam, tidak
mudah terbakar, tidak terpengaruh cahaya, tidak merusak logam,merupakan
isomer dari enfluran.
- Efek dari isoflurane :
a. Efek bronchodilator tapi tidak kuat
b. Mempunyai bau yang tajam sehingga pasien merasa tidak nyaman
c. Menimbulkan depresi ringan pada jantung
d. Dalam waktu 7 -10 menit biasanya sudah mencapai stadium pembedahan
anasthesi
e. 1 MAC = 1,2 %
3. SEVOFLURANE
- Anasthesi inhalasi berbentuk cairan jernih, tidak berwarna, berbau enak, tidak
iritatif, tidak korosif, tidak mudah terbakar, dan stabil terkena matahari
- Efek dari sevoflurane :
a. Menimbulkan relaksasi pada anak
b. Pada sistem kardiovaskuler sedikit menimbulkan depresi kontraksi
jantung
c. Memicu bronchospasme
- 1 MAC = 2%

MONITORING SELAMA PEMBEDAHAN

Pemantauan atau monitoring berasal dari bahasa latin “monere” yang artinya
memperingatkan atau memberi peringatan. Dalam tindakan anestesi harus dilakukan
monitoring terus menerus tentang keadaan pasien yaitu reaksi terhadap pemberian obat
anestesi khusus terhadap fungsi pernafasan dan jantung. Hal ini dapat dilakukan dengan
panca indera kita yaitu dengan meraba, melihat atau mendengar dan yang lebih penting
serta obyektif dengan alat.
Morbiditas dan mortalitas pada tindakan anestesi sebagian besar disebabkan oleh
kelalaian atau kurang cermat waktu melakukan pementauan.Untuk dapat melakukan
pemantauan dengan baik selain faktor manusia diperlukan juga alat-alat pantau agar lebih
akurat. Alat pantau berfungsi sebagai pengukur, menayangkan dan mencatat perubahan-
perubahan fisiologis pasien.
Monitoring adalah segala usaha untuk memperhatikan, mengawasi dan memeriksa
pasien dalam anestesi untuk mengetahui keadaan dan reaksi fisikologis pasien terhadap
tindakan anestesi dan pembedahan.Tujuan utama monitoring anestesi adalah diagnosa
adanya permasalahan, perkiraan kemungkinan terjadinya kegawatan, dan evaluasi hasil
suatu tindakan, termasuk efektivitas dan adanya efek tambahan.
Monitoring selama anestesi dibagi menjadi 3 tahap yaitu : monitoring sebelum, selama
dan sesudah operasi.
a. Monitoring Sebelum Operasi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat
perlu dipersiapkan. Sedangkan pada bedah emergensi waktu yang tersedia lebih
singkat. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada monitoring sebelum operasi antara lain
1. Persiapan mental dan fisik.
- Anamnesa untuk mengetahui keadaan pasien, riwayat penyakit, pengobatan,
operasi atau anestesi sebelumnya.
- Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium
Pemeriksaan fisik meliputi tinggi badan, berat badan, vital sign, keadaan
umum, kondisi psikis, gizi, penyakit kardiovaskuler, respirasi dan lain-lain.
Untuk pemeriksaan laboratorium pasien seperti Hb, HMT, AL,
CT,BT,Ureum,Kreatinin dan lain-lain.
2. Perencanaan tehnik dan obat anestesi.
3. Penentuan klasifikasi dan prognosis (sesuai dengan ASA).
4. Persiapan preoperasi meliputi :
 Pengosongan saluran pencernaan (diberi cairan perinfus).
 Pengosongan kandung kemih.
 Pembersihan jalan nafas.
 Asesoris maupun kosmetik sebaiknya tidak dipakai.
 Informed consent.
 Pasien sebaiknya memakai pakaian bedah.
 Pemeriksaan fisik yang penting diulangi pada saat pasien diruang persiapan
Operasi
b. Monitoring Selama Operasi
- Yang perlu dimonitor selama operasi adalah tingkat kedalaman anestesi,
efektivitas kardiovaskuler dan efisiensi perfusi jaringans erta perubahan
respirasisecara praktis perlu diperhatikan tekanan darah, nadi, respirasi, suhu
warna kulit, keringat, cairan serta kesadaran pasien.
- Tingkat kedalaman pasien sesuai dengan tingkat depresi terhadap susunan saraf
pusat yang antara lain dapat dilihat pada perubahan tekanan darah, nadi,
respirasi, pupil, pergerakan bola mata, reflek-reflek dan kesadaran.
Depresi terhadap sistim saraf pusat dapat dilihat dengan perubahan-perubahan
sebagai berikut :
1. Menurunnya respon kulit/mukosa terhadap alat/obat anestesi yang berbau tajam.
2. Menurunnya rangsangan susunan saraf simpatis, seperti tidak keluarnya air mata,
tidak terjadi vasokonstriksi dan kulit menjadi hangat.
3. Berkurangnya rangsangan terhadap pernafasan, seperti tidak terjadinya takipneu
dan nafas menjadi teratur.
4. Berkurangnya rangsangan terhadap kardiovaskuler, misalnya tidak terjadi
takikardi dan hipertensi.
Bila anestesi kurang dalam, nafas akan bertambah dalam dan cepat, atau sebagian
anggota badan bergerak. Pada keadaan tersebut konsentrasi obat anestesi intravena
ditambah. Cara lain yang dapat membantu menentukan kedalaman anetesi adalah
nilai MAC (Minimal Alveolar Concentration) dan pemeriksaan elektroensefalografi.
 Kardiovaskuler
Fungsi jantung dapat diperkirakan dari observasi nadi, bunyi jantung,
pemeriksaan EKG, tekanan darah dan produksi urin.
1. Nadi
Monitoring frekuensi dan ritme nadi dapat dilakukan dengan meraba arteri
temporalis, arteri radialis, arteri femoralis, arteri karotis.Anestesi yang
terlalu dalam dapat bermanifestasi dengan nadi yang bertambah lambat dan
melemahkan denyut jantung. Monitoring nadi akan berfungsi baik bila
pembuluh darah dalam keadaan vasodilatasi dan tidak efektif pada keadaan
vasokonstriksi.
2. Elektrokardiogram
EKG selama anestesi dilakukan untuk memonitor perubahan frekuensi ritme
jantung serta sistim konduksi jantung.
Indikasi monitoring EKG selama anestesi :
- Mendiagnosa adanya cardiac arrest.
- Mencari adanya aritmia.
- Diagnosis isckemik miokard.
- Memberi gambaran perubahan elektrolit.
- Observasi fungsi pacemaker.
3. Tekanan Darah
Dapat diukur secara langsung maupun tak langsung.
Cara tak langsung bisa dengan palpasi, auskultasi,oscilotonometri, Doppler
Ultrasound.
Cara langsung atau invasif : pada cara ini kanul dimasukkan kedalam arteri,
misalnya arteri radialis atau brachialis kemudian dihubungkan dengan
manometer melalui transduser. Peningkatan tekanan darah bisa disebabkan
karena overload cairan atau anestesi yang kurang dalam, sebaliknya tekanan
darah dapat turun bila terjadi perdarahan atau anestesi yang kurang dalam.
4. Produksi Urin
Dalam anestesi, urin dipengaruhi oleh obat anestesi, tekanan darah, volume
darah, dan faal ginjal. Jumlah urin normal kira-kira 0,5-1 ml/KgBB/jam.
5. Perdarahan selama pembedahan
Jumlah perdarahan harus dihitung dari botol penghisap. Perdarahan akut
dapat diatasi dengan kristaloid, koloid, plasma ekspander, atau darah.Selain
jumlah perdarahan, perlu diawasi juga warna perdarahan merah tua atau
merah muda.
 Respirasi
Respirasi harus dimonitor dengan teliti, mulai dengan cara-cara sederhana
sampai monitor yang menggunakan alat-alat. Pernafasan dinilai dari jenis
nafasnya, apakah thorakal atau abdominal, apakah ada nafas paradoksal retraksi
intercostal atau supraclavicula. Pemantauan terhadap tekanan jalan nafas,
tekanan naik bila pipa endotrakhea tertekuk, sekresi berlebihan, pneumothorak,
bronkospasme, dan obat-obat relaksan habis. Pemantauan terhadap “Oxygen
Delivery” dan end tidal CO2.
 Suhu
Obat anestesi dapat memprediksi pusat pengatur suhu (SSP) sehingga mudah
dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan tehnik anestesi.Monitoring suhu jarang
dilakukan, kecuali pada bayi/anak-anak, pasien demam, dan tehnik anestesi
dengan hipothermi buatan. Pemantauan suhu tubuh terutama suhu pusat, dan
usaha untuk mengurangi penurunan suhu dengan cara mengatur suhu ruang
operasi, meletakkan bantal pemanas, menghangatkan cairan yang akan
diberikan, menghangatkan dan melembabkan gas-gas anestetika.
 Cairan
Pemantauan terhadap status cairan dan elektrolit selama operasi dapat dilakukan
dengan menghitung jumlah cairan atau darah yang hilang dan jumlah cairan
atau darah yang diberikan.
Kebutuhan standar :
1. Untuk anak
BB : 0-10 Kg : 1000 ml/KgBB/24 jam
10-20 Kg : 1000 ml + 50 ml/KgBB/24 jam tiap Kg diatas 10 Kg.
>20 Kg : 1500 ml + 20 ml/KgBB/24 jam tiap Kg diatas 20 Kg.
2. Untuk dewasa
40-50 ml/KgBB/24 jam
Kebutuhan karena trauma/stress operasi:
Jenis Operasi Pediatri/Anak Dewasa
Ringan : 2ml/KgBB/jam
Sedang : 4ml/KgBB/jam
Berat : 6ml/KgBB/jam
Bila terjadi perdarahan dapat diganti dengan cairan kristaloid (3 X jumlah
perdarahan), koloid (1 X jumlah perdarahan), dan darah (1 X jumlah
perdarahan).
 Analisa Gas Darah
Pemantauan oxygen delivery ke jaringan dan eliminasi CO2 dapat dipantau
dengan memeriksa analisa gas darah. Indikasi pemeriksaan analisa gas darah
antara lain: operasi besar vaskular, operasi lung anestesi, anestesi dengan
hipotensi kendali, operasi otak, dan sebagainya.
c. Monitoring Setelah Operasi
1. Hipoksia
Disebabkan tersumbatnya jalan nafas.
Terapi dengan O2 3-4 L/menit, bebaskan jalan nafas, bila perlu pernafasan
buatan.
2. Irama jantung dan nadi cepat,hipertensi. Sering disebabkan karena kesakitan,
permulaan hipoksia atau memang penyakit dasarnya. Terapi dengan O2,
analgetik, posisi fowler.
3. Hipotensi
Biasanya karena perdarahan, kurang cairan, spesial anestesi.
Terapi dengan posisi datar, infus RL dipercepat sampai tensi normal.
4. Gaduh gelisah
Biasanya karena kesakitan atau sehabis pembiusan dengan ketamin, pasien telah
sadar tapi masih terpasang ganjal lidah/airway.
Terapi dengan O2, analgetik, ganjal dilepas, atau kadang perlu bantal.
5. Muntah
Bahaya berupa aspirasi paru.
Tindakan dengan memiringkan kepala dan badan sampai setengah tengkurap,
posisi trendelenberg, hisap muntah sampai bersih.
6. Menggigil
Karena kedinginan, kesakitan atau alergi.
Terapi O2, selimuti, bila perlu beri analgetika.
7. Alergi sampai syok.
Oleh karena kesalahan tranfusi atau obat-obatan.
Tindakan stop tranfusi, ganti Na Cl.
PENGELOLAAN PASIEN DI RUANG PEMULIHAN

Ruang pemulihan adalah ruangan khusus untuk pemulihan dan pengawasan


pasien setelah menjalani tindakan pembedahan dengan anasthesi umum ataupun anasthesi
regional atau penderita yang tersedasi.
Monitoring pasien setelah operasi perlu dilakukan, karena pada kondisi tersebut
pasien masih ada pengaruh dari obat-obat anasthesi. Monitoring yang dilakukan pada saat
pasien tiba di ruang pemulihan :
- Tingkat kesadaran
- Jalan napas dan pola pernapasan
- Hemodinamik
- Perfusi perifer
- Temperatur
- Produksi urine
- Tanda-tanda vital dan saturasi O2
Penilaian ALDRETE SCORE :
1. Aktivitas
- Menggerakkan 4 anggota gerak (2)
- Menggerakkan 2 anggota gerak (1)
- Tidak bergerak sama sekali (0)
2. Pernapasan
- Napas adekuat, batuk, menangis keras (2)
- Depresi napas ringan (1)
- Obstruksi jalan napas, apneu (0)
3. Sirkulasi
- TD < 20 mmHg dari pre anasthesi (2)
- TD 20 – 50 mmHg (1)
- TD > 50 mmHg (0)
4. Kesadaran
- Sadar penuh (2)
- Mengantuk, bangun bila dipanggil (1)
- Tidak sadar (0)
5. Saturasi O2
- 98 – 100 % (2)
- 97 – 95 % (1)
- < 95 % (0)
Semua pasien yang mau keluar dari ruang pemulihan harus dievaluasi oleh dokter
anasthesi dan merupakan tangung jawab dari dokter anasthesi. Kriteria pemindahan
bermacam-macam sesuai dengan keadaan pasien, apakah pindah ke ICU, bangsal,
ataukah langsung pulang.
Kriteria untuk mengeluarkan pasien dari ruang pemulihan :
1. Sadar penuh, orientasi baik
2. Mampu menjaga kepatenan jalan napas dan sat O2 stabil
3. Tanda-tanda vital stabil selama 30-60 menit sebelum pindah
4. Perfusi hangat, tidak mengigil
5. Nyeri terkontrol
6. Tidak ada keluhan mual ataupun muntah
7. Aldrete score 8 – 10 boleh pindah ruangan rawat inap, aldrete score < 8 pindah
ICU

Penilaian Bromage Score (spinal anestesi) kriteria hasil :


1. Gerakan penuh dari tungkai (0)
2. Tak mampu ekstensi tungkai (1)
3. Tak mampu fleksi lutut (2)
4. Tak mampu fleksi pergelangan kaki (3)
Jika Bromage score 2 dapat pindah ke ruangan.
Obat Uterotonika
1. Pengertian
Uterotonik adalah zat yang meningkatkan kontraksi uterus. Uterotonik banyak
digunakan untuk induksi, penguatan persalinan, pencegahan serta penanganan perdarahan
post partum, pengendapan perdarahan akibat abortus inkompletikus dan penanganan aktif
pada Kala persalinan.Pemberian obat uterotonik adalah salah satu upaya untuk mengatasi
pendarahan pasca persalinan atau setelah lahirnya plasenta. Namun, pemberian obat ini
sama sekali tidak dibolehkan sebelum bayi lahir. Keuntungan pemberian uterotonika ini
adalah untuk mengurangi perdarahan kala III dan mempercepat lahirnya plasenta. Karena
itu, pemberian pencegahan dapat diberikan pada setiap persalinan atau bila ada indikasi
tertentu. Indikasi yang dimaksud, adalah hal-hal yang dicurigai akan menimbulkan
perdarahan pasca persalinan. Yaitu:
Riwayat persalinan yang kurang baik, misalnya:
1. Riwayat perdarahan pada persalinan yang terdahulu.
2. Grande multipara (lebih dari empat anak).
3. Jarak kehamilan yang dekat (kurang dari dua tahun).
4. Bekas operasi Caesar.
5. Pernah abortus (keguguran) sebelumnya.
Bila terjadi riwayat persalinan kurang baik, ibu sebaiknya melahirkan dirumah sakit, dan
jangan di rumah sendiri. Hasil pemeriksaan waktu bersalin, misalnya:
1. Persalinan/kala II yang terlalu cepat, sebagai contoh setelah ekstraksi vakum,
forsep.
2. Uterus terlalu teregang, misalnya pada hidramnion, kehamilan kembar, anak
besar.
3. Uterus yang kelelahan, persalinan lama.
4. Uterus yang lembek akibat narkosa.
5. Inersia uteri primer dan sekunder.
Obat-obatan yang dipakai untuk pencegahan adalah Oksitosin dan Ergometrin. Caranya,
disuntikkan intra muskuler atau intravena (bila diinginkan kerja cepat), setelah anak lahir.
2. Macam – macam obat uterotonika
1. Alkaloid ergot
Berdasarkan efek dan struktur kimia alkaloid ergot dibagi menjadi 3 :
a. Alkaloid asam amino (ergotamin)
b. Derivat dihidro alkaloid asam amino (dihiro ergotamin)
c. Alkaloid amin
2. Oksitosin
Oksitosin merupakan hormone peptide yang disekresi olah pituitary posterior yang
menyebabkan ejeksi air susu pada wanita dalam masa laktasi. Oksitosin diduga
berperan pada awal kelahiran.
3. Misoprostol / Prostagladin
Misoprostol adalah suatu analog prostaglandin Elsintetik yang menghambat sekresi
asam lambung dan menaikkan proteksi mukosa lambung.
3. Cara kerja obat uterotonika
1. Alkaloid ergot
 Mempengaruhi otot uterus berkontraksi terus-menerus sehingga memperpendek
kala III (kala uri).
 Menstimulsi otot-otot polos terutama dari pembuluih darah perifer dan rahim.
 Pembuluh darah mengalami vasokonstriksi sehingga tekanan darah naik dan
terjadi efek oksitosik pada kandungan mature.
2. Oksitosin
a. Kontraksi
uterus pada kehamilan aterm yang terjadi lewat kerja langsung pada
otot polos maupun lewat peningkatan produkdsi prostaglandin
b. Konstriksi pembuluh darah umbilicus
c. Kontraksi sel-sel miopital ( refleks ejeksi ASI ) .Oksitosin bekerja pada reseptor
hormone antidiuretik ( ADH )* untuk menyebabkan : Peningkatan atau penurunan
yang mendadak pada tekanan darah 9 diastolik ) karena terjadinya vasodilatasi
3. Misoprostol / Prostagladin
Setelah penggunaan oral misprostol diabsobrsi secara ekstensif dan cepat dide-
esterifikasi menjadi obat aktif : asam misoprostol.Kadar puncak serum asam
misoprostol direduksi jika misoprostol diminum bersama makanan.
4. Indikasi dan kontra indikasi
1. Alkaloid ergot
a. Indikasi
Oksitosik : Sebagai stimultan uterus pada perdarahan paska persalinan atau paska
abortus, yaitu :
 Induksi partus aterm
 Mengontrol perdarahan dan atoni uteri pasca persalinan.
 Merangsang konstraksi setelah operasi Caesar/operasi uterus lainnya
 Induksi abortus terapeutik
 Uji oksitoksin
b. Kontra Indikasi
 Persalinan kala I dan II
 Hipersensitif
 Penyakit vascular
 Penyakit jantung parah
 Fungsi paru menurun
 Fungsi hati dan ginjal menurun
 Hipertensi yang parah
 Eklampsi
2. Oksitosin
a. Indikasi
 Indikasi oksitosik.
 Induksi partus aterm
 Mengontrol perdarahan dan atuni uteri pasca persalinan
 Merangsang konstraksi uterus setelah operasi Caesar
 Uji oksitoksik
 Menghilangkan pembengkakan payudara.
b. Kontra Indikasi
Kontraksi uterus hipertonik:
 Distress janin
 Prematurisasi
 Letak bayi tidak normal
 Predisposisi lain untuk pecahnya rahim
 Obstruksi mekanik pada jalan lahir
 Preeklamsi atau penyakit kardiovaskuler dan terjadi pada ibu hamil yang
berusia 35 tahun
 Gawat janin
3. Misopropil / Prostagladin
a. Indikasi
 Mengontrol perdarahan dan atoni uteri pasca persalinan
 Merangsang kontraksi uterus post sc atau operasi uterus lainya
 Induksi abortus terapeutik
 Menghilangkan pembengkakan mamae
b. Kontra indikasi
Untuk proteksi GI, misoprostol dikontraindikasikan pada kehamilan karena
resiko aborsi. Walaupun demikian misoprostol tidak menghilangkan nyeri G1
atau rasa tidak enak yang dihubungkan dengan pengunaan AINS.
5. Dosis yang digunakan
a. Alkaloid ergot
 Oral: mulai kerja setelah sepuluh menit
 Injeksi: intravena mulai kerja 40 detik
 IM : mulai kerja 7-8 menit. Hal ini lebih menguntungkan karena efek samping
lebih sedikit.
Dosis :
Oral 0,2-0,4 mg , 2-4 kali sehari selama 2 hari
IV / IM 0,2 mg , IM boleh diulang 2–4 jam bila perdarahan hebat.
Contoh obat
Nama generic : metal ergometrin, metal ergometrina, hydrogen maleat
Nama paten : methergin, met6hernial, methorin, metilat, myomergin.
b. Oksitosin
Untuk induksi persalinan intravena 1-4 m U permenit dinaikkan menjadi 5-20 m U /
menit sampai terjadi pola kontraksi secara fisiologis. Untuk perdarahan uteri pasca
partus, ditambahkan 10-40 unit pada 1 L dari 5 % dextrose, dan kecepatan infuse
dititrasi untuk mengawasi terjadinya atonia uterus. Kemungkinan lain adalah, 10 unit
dapat diberikan secara intramuskuler setelah lahirnya plasenta. Untuk menginduksi
pengaliran susu, 1satu tiupan ( puff ) disemprotkan ke dalam tiap lubang hidung ibu
dalam posisi duduk 2-3 menit sebelum menyusui.
Contoh obat Tablet oksitosina Pitosin tablet (PD)
c. Marsopropil / Prostagladin
Peroral untuk proteksi GI selama terapi AINS : 200 µgqid. Diberiksan bersama
makanan, jika dosis ini tidak ditolerir : 100µg qid dapat digunakan. Bentuk sediaan :
tablet 100,200µg. Misoprostol juga tersedia dalam kombinasi dengan diklofenak.
Contoh obat Misoprostol Tablet : Gastrul isi : misoprostol 200 mcg / tablet.
6. Efek samping
a. Alkaloid ergot
Efek samping :
1) Ergotamine merupakan ergotamin merupakan alkaloid yang paling toksik.2.
2) Dosis besar dapat menyebabkan : mual, muntah, diare, gatal, kulit dingin, nadi
lemah dan cepat, bingung dan tidak sadar
3) Dosis keracunan fatal: 26 mg per oral selama beberapa hari, atau dosis tunggal
0,5-1,5 mg parenteral
4) Gejala keracunan kronik: perubahan peredaran darah ( tungkai bawah, paha,
lengan dan tangan jadi pucat), nyeri otot, denyut nadi melemah, gangren, angina
pectoris, bradikardi, penurunan atau kenaikan tekanan darah
b. Oksitosin
Efek samping
Efek pada Uterus:
 Merangsang frekuensi dan kontraksi uterus
 Efek pada uterus menurun jika estrogen menurun
 Uterus imatur kurang peka thd oksitosin
 Infus oksitoksin perlu diamati → menghindari tetani → respon uterus
meningkat 8 x lipat pada usia kehamilan 39 minggu
Farmakokinetik
 Hasil baik pada pemakaian parenteral
 Cepat diabsorbsi oleh mukosa mulut → Efektif untuk pemberian tablet isap
 Selama hamil ada peningkatkan enzim Oksitosinase atau sistil
aminopeptidase → berfungsi mengaktifkan oksitoksin → enzim tersebut
berkurang setelah melahirkan, diduga dibuat oleh plasenta
 Eliminasi: ginjal
Efek :
 Efek terapeutik: induksi persalianan, mengeluarkan ASI
 Efek samping: hipo/hipertensi, mual, muntah, konstipasi, berkurangnya
aliran darah uterus, ruam kulit, anoreksia
 Reaksi merugikan: kejang, intoksikasi air, perdarahan intrakranial, disritmia,
asfiksia, janin: ikterus, hipoksia
c. Misopropil / Prostagladin
Efek samping
 Dapat menyebabkan kontraksi uterin
 Diare dilaporkan terjadi dalam 2 minggu pada terapi inisiasi dalam 14-40 %
pasien dengan AINS yang menerima 800µg / hari. Diare biasanya akan
membaik dalam kurang lebih satu minggu terapi. Wanita-wanita yang
menggunaklan misoprostol kadang-kadang mengalami gangguan ginekologi
termasuk kram atau perdarahan vaginal.
Persiapan Resusitasi Bayi Baru Lahir

Persiapan tempat Resusitasi

Persiapan yang diperlukan meliputi ruang bersalin dan tempat resusitasi:

 Gunakan ruangan yang hangat dan terang.


Ruangan yang hangat akan mencegah bayi hipotermi.
 Tempat resusitasi hendaknya datar, rata, keras, bersih, kering dan hangat misalnya
meja, dipan atau di atas lantai beralas tikar. Sebaiknya dekat pemancar panas dan
tidak berangin (jendela atau pintu terbuka).
Tempat resusitasi yang rata diperlukan untuk kemudahan pengaturan posisi
kepala bayi.
Untuk sumber pemancar panas gunakan lampu 60 watt atau lampu petromak.
Nyalakan lampu menjelang persalinan.

Persiapan Alat Resusitasi

Sebelum menolong persalinan, selain menyiapkan alat-alat persalinan juga harus


disiapkan alat-alat resusitasi dalam keadaan siap pakai, yaitu:

 Siapkan 3 lembar kain yang bersih, kering, hangat dan dapat menyerap cairan,
misalnya handuk, kain flanel dll. Kalau tidak ada gunakan kain panjang atau
sarung.
Kain ke-1 untuk mengeringkan bayi;
Kain ke-2 untuk menyelimuti bayi;
Kain ke-3 untuk ganjal bahu bayi.
Kain untuk ganjal bahu bisa dibuat dari kain (handuk kecil, kaos dan selendang.
 Alat penghisap lendir DeLee atau bola karet
Alat ventilasi: tabung dan sungkup/ balon dan sungkup.
Jika mungkin sungkup dengan bantalan udara untuk bayi cukup bulan dan
prematur.
 Kotak alat resusitasi
 Sarung tangan
 Jam atau pencatat waktu

Alat penghisap lendir DeLee


Alat penghidap lendir DeLee adalah alat yang digunakan untuk menghisap lendir khusus
untuk BBL

Bola karet penghisap

Tabung dan sungkup


Infant warmer

Tabung dan sungkup/ balon dan sungkup merupakan alat yang sangat penting dalam
tindakan ventilasi pada resusitasi, siapkan sungkup dalam keadaan terpasang dan steril.
Tabung/ balon serta sungkup dan alat penghisap lendir DeLee dalam keadaan steril,
disimpan dalam kotak alat resusitasi.

Cara menyiapkan

 Kain ke-1
Fungsi kain pertama adalah untuk mengeringkan BBL yang basah oleh air
ketuban segera setelah lahir. Bagi bidan yang sudah biasa terlatih meletakkan bayi
baru lahir di atas perut ibu, sebelum persalinan akan menyiapkan sehelai kain
diatas perut ibu untuk mengeringkan bayi. Hal ini dapat juga digunakan pada bayi
asfiksia.
 Kain ke-2
Fungsi kain kedua adalah menyelimuti BBL agar tetap kering dan hangat. Kain
kedua digelar di atas tempat resusitasi. Saat memulai resusitasi, bayi yang
diselimuti kain kesatu akan diletakkan di tempat resusitasi, di atas gelaran kain
kedua.
 Kain ke-3
Fungsi kain ketiga adalah untuk ganjal bahu bayi. Kain digulung setebal kira-kira
2 cm dan dapat disesuaikan untuk mengatur posisi kepala bayi sedikit ekstensi
(posisi menghidu).
 Alat resusitasi
Kotak alat resusitasi yang berisi alat penghisap lendir DeLee dan alat resusitasi
tabung/ balon dan sungkup diletakkan dekat tempat resusitasi, maksudnya agar
mudah diambil sewaktu-waktu dibutuhkan untuk melakukan tindakan resusitasi
BBL.
 Sarung tangan
 Jam atau pencatat waktu

Persiapan Diri
Pastikan penolong sudah menggunakan alat pelindung diri untuk melindungi dari
kemungkinan infeksi:

 Memakai alat pelindung diri pada persalinan (celemek plastik, masker, penutup
kepala, kaca mata, sepatu tertutup).
 Melepaskan perhiasan, cincin, jam tangan sebelum cuci tangan.
 Mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau dengan campuran alkohol
dan gliserin.
 Mengeringkan dengan kain/ tissue bersih.
 Menggunakan sarung tangan sebelum menolong persalinan.

S-ar putea să vă placă și

  • Intervensi Angina Ludwig
    Intervensi Angina Ludwig
    Document3 pagini
    Intervensi Angina Ludwig
    Ragil Qumairah Isa Wicaksono
    Încă nu există evaluări
  • Gas Anestesi
    Gas Anestesi
    Document6 pagini
    Gas Anestesi
    Ragil Qumairah Isa Wicaksono
    Încă nu există evaluări
  • Gas Anestesi
    Gas Anestesi
    Document36 pagini
    Gas Anestesi
    Ragil Qumairah Isa Wicaksono
    Încă nu există evaluări
  • Gas Anestesi
    Gas Anestesi
    Document6 pagini
    Gas Anestesi
    Ragil Qumairah Isa Wicaksono
    Încă nu există evaluări
  • Referat NIV Majalah 2009rev
    Referat NIV Majalah 2009rev
    Document17 pagini
    Referat NIV Majalah 2009rev
    Dwi Suranto
    Încă nu există evaluări
  • Hiperkarbia
    Hiperkarbia
    Document2 pagini
    Hiperkarbia
    Ragil Qumairah Isa Wicaksono
    0% (1)
  • ASUHAN KEPERAWATAN Cob
    ASUHAN KEPERAWATAN Cob
    Document39 pagini
    ASUHAN KEPERAWATAN Cob
    Ragil Qumairah Isa Wicaksono
    Încă nu există evaluări
  • BAB IV Askep Phlegmon
    BAB IV Askep Phlegmon
    Document10 pagini
    BAB IV Askep Phlegmon
    Ragil Qumairah Isa Wicaksono
    100% (1)
  • Attachment
    Attachment
    Document3 pagini
    Attachment
    Ragil Qumairah Isa Wicaksono
    Încă nu există evaluări