Sunteți pe pagina 1din 31

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus praktek klinik di Poliklinik Fisioterapi/Rehabilitasi Medik


mulai tanggal 14 sampai dengan 18 Mei 2018 dengan judul kasus “ Gangguan
Motor Function Akibat Tetraparese Lower Motor Neuron Et Cause Suspek
Guillain Barre Syndrome “ telah disetujui oleh Pembimbing Lahan (Clinical
Educator) dan Dosen (Preceptor).

Makassar, Jum’at 18 Mei 2018

Clinical Educator Preceptor

____________________ ____________________
NIP. NIP.
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Guillain-Barre Syndrome (GBS) terjadi di seluruh dunia,


kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering
pada akhir musism panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus
influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir
terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian
tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir
musim panas dan musim gugur.
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus
per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo
Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun.
Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan
adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya.
Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7%
kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak.
Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah
dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan
wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa
perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden
tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan
kemarau.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi


Sistem saraf dibagi menjadi dua bagian besar yaitu susunan saraf pusat
dan susunan saraf tepi (Snell, 2006:23). Sistem saraf manusia merupakan jalinan
jaringan saraf yang saling berhubungan, sangat khusus, dan kompleks. Sistem
saraf terdiri dari sel-sel saraf (neuron) dan sel-sel penyokong (Neuroglia dan sel
Schwann). Kedua jenis tersebut demikian erat berkaitan dan terintegrasi satu sama
lain sehingga bersama-sama berfungsi sebagai satu unit. Neuron mempunyai
badan sel dengan satu atau beberapa tonjolan (Price dan Wilson,
2005:1006,1007). Sel neuron mempunyai dua jenis tonjolan yaitu akson dan
dendrit (Snell, 2006:25). Tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan
informasi keluar dari badan sel adalah akson. Sedangan dendrit adalah tonjolan
yang menghantarkan informasi menuju ke badan sel (Price dan Wilson,
2005:1012). Sedangkan salah satu sel penyokong dari sistem saraf adalah myelin.
Myelin merupakan substansi yang ada di sekitar atau menyelimuti akson-akson
saraf dan berperan penting pada transmisi impuls saraf (Smeltzer, 2001:2248).
Serabut saraf yang mempunyai selubung myelin disebut serabut bermyelin dan
sedangkan yang tidak bermyelin disebut serabut tidak bermyelin (Price dan
Wilson, 2005:1011).

Gambar. 2.1 Sel Saraf (Neuron)


Sistem saraf tepi terdiri dari 12 pasang saraf kranialis dan 31 pasang saraf
spinalis (Price dan Wilson, 2005:1008). Sebagian besar saraf tepi berisi serabut
serabut sensorik (aferen) dan motorik (eferen) (Bickley, 2009:550). Serabut aferen
dan eferen berjalan bersama dalam arah yang berlawanan disemua saraf spinal dan
sebagian besar saraf kranial. Beberapa saraf kranial hanya membawa informasi
aferen. Neuron aferen menyampaikan informasi ke sistem saraf pusat dari semua
organ sensorik, reseptor tekanan dan volume, reseptor suhu, reseptor regangan,
dan reseptor nyeri. Neuron eferen menyampaikan stimulasi saraf ke otot dan
kelenjar (Corwin, 2009).
1. Saraf Kranial
Saraf-saraf kranial langsung berasal dari otak dan meninggalkan tengkorak
melalui lubang-lubang pada tulang belakang yang disebut foramina (tunggal,
foramen). Terdapat 12 pasang saraf kranial yang dinyatakan dalam nama atau
angka romawi. Saraf-saraf tersebut adalah Olfactorius (I), Opticus (II),
Oculomotoris (III), Trocklaris (IV), Trigeminus (V), Abducens (VI), Facialis
(VII), Vestibulocochlear (VIII), Glossopharyngeal (IX), Vasgus (X), Accessory
(XI), Hypoglossal (XII). Saraf kranial I,II, dan VIII merupakan saraf sensorik
murni ; saraf kranial III, IV, XI dan XII terutama merupakan saraf motorik, tetapi
juga mengandung serabut propioseptif dari otot-otot yang dipersarafinnya ; saraf
kranial V, VII dan X merupakan saraf campuran. Saraf kranial III, VII, dan X juga
mengandung beberapa searbut saraf dari cabang parasimpatis sistem saraf otonom
(Price dan Wilson, 2005:1033)

Tabel. Ringkasan fungsi-fungsi Saraf Kranial


Saraf Kranial Komponen Fungsi
I Olfaktorius Sensorik Penciuman
II II Optikus Sensorik Penglihatan
III Okulomotorius Motorik Mengangkat kelopak mata atas
Kontraksi pupil
Sebagian besar gerakan ekstraokular
IV Troklearis Motorik Gerakan mata kebawah dan kedalam
V Trigeminus Motorik Otot temporalis dan maseter (menutup
rahang dan mengunyah) gerakan rahang ke
lateral

Sensorik 1) Kulit wajah, dua pertiga depan kulit


kepala, mukosa mata, mukosa hidung
dan rongga mulut, lidah dan gigi.
2) Reflek kornea atau refleks mengedip;
komponen sensorik dibawa oleh saraf
kranial 5, respons motorik melalui saraf
kranial 7
VI Abdusen Motorik Deviasi mata ke lateral
Saraf Kranial Komponen Fungsi
VII Fasialis Motorik 1) Otot-otot ekspresi wajah termasuk otot
dahi, sekeliling mata serta mulut.
2) Lakrimasi dan salivasi

Sensorik Pengecapan dua per tiga depan lidah (rasa,


manis, asam dan asin)
VIIICabang Sensorik Keseimbangan
vestibulokoklearis
Cabang koklearis Sensorik Pendengaran
IX Glosofaringeus Motorik Faring: menelan, refleks muntah
Parotis: salivasi

Sensorik Faring, lidah posterior, termasuk rasa pahit


X Vagus Motorik Faring, faring: menelan, refleks muntah,
fonasi; visera abdomen

Sensorik Faring, laring: refleks muntah; visera leher,


thoraks dan abdomen
XI Asesorius Motorik Otot sternokleidomastoideus dan bagian
atas dari otot trapezius: pergerakan kepala
dan bahu
XII Hipoglosus Motorik Pergerakan lidah
Sumber (Price dan Wilson, 2005:1034)

2. Saraf Spinal
Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen jaringan saraf dan masing-masing
memiliki sepasang saraf spinal yang keluar dari kanalis vertebralis melalui
foramina intervetebralis (tulang pada tulang belakang). Saraf-saraf spinal diberi
nama sesuai dengan foramina interveterbralis tempat keluarnya saraf-saraf
tersebut, kecuali saraf servikal pertama yang keluar diantara tulang oksipital dan
vertebra servikal pertama (Price dan Wilson, 2005:1033).
Masing-masing saraf spinal dihubungkan dengan medulla spinalis oleh dua
radiks; radiks anterior dan radiks posterior. Radiks anterior terdiri atas berkas
serabut saraf yang membawa impuls saraf menjauhi susunan saraf pusat. Serabut
saraf seperti ini dinamakan serabut eferen. Serabut eferen yang menuju ke otot
skeletal dan menyebabkan otot ini berkontraksi atau biasanya dinamakan serabut
motorik (Snell, 2006:26).
Radiks posterior terdiri atas berkas serabut saraf yang membawa impuls ke
susunan saraf pusat dan dinamakan serabut aferen. Karena serabut ini berkaitan
dengan penghantaran informasi mengenai sensasi raba, nyeri, suhu, dan vibrasi,
serabut ini dinamakan serabut sensorik (Snell, 2006:26).

Gambar. 2.2 Saraf Spinalis

B. Patologi
1. Definisi
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah suatu sindroma klinis dari
kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan
saraf tepi. Penyakit ini merupakan suatu kelainan sistem kekebalan
tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya
sendiri dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari
saraf motorik yang sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga
menyerang saraf sensoris, otonom, maupun susunan saraf pusat.
Namun, terdapat varian GBS yang melibatkan saraf kranial
ataupun murni motorik. Pada kasus berat, kelemahan otot dapat
menyebabkan kegagalan nafassehingga mengancam jiwa.

2. Etiologi
Etiologi dari GBS sendiri belum diketahui pasti, tetapi respon
alergi dan respon autoimun sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti
berkeyakinan bahwa sindrome tersebut berasal dari virus. Tetapi tidak
ada virus yang dapat diisolasi sejauh ini. GBS paling banyak
ditimbulkan oleh adanya infeksi (Pernapasan dan Gastrointestinal) 1-4
minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologis.
Teori yang berlaku sekarang menganggap GBS, merupakan
suatu penyakit autoimun oleh karena adanya antibody antimyelin yang
biasannya didahului dengan faktor pencetus. Dan etiologinya diduga
disebabkan karena:
a. Infeksi : Misal Radang Tenggorokan atau Radang lainnya
b. Infeksi virus : Measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza
B, Varicella zoster, Infections Mono Nucleosis (Vaccinia,
Variola, Hepatitis Inf, Coxakie)
c. Vaksin : Rabies, swine flu
d. Infeksi yang lain : Mycoplasma Pneumonia, Salmonella
Thyposa, Brucellosis, Campylobacter Jejuni
e. Keganasan : Hodgkin’s Disease, Carcinoma, Lymphoma
Pada dasarnya Guillain Barre adalah “Self Limited” atau bisa
tumbuh dengan sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan
bisa terjadi kelumpuhan yang meluas sehingga pada keadaan ini
penderita memerlukan respirator untuk alat bantu nafasnya.
3. Tanda dan Gejala
Gejala awal antara lain adalah rasa seperti ditusuk-tusuk jarum
di ujung jari kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut.
Kaki terasa berat dan kaku mengeras, lengan terasa lemah dan telapak
tangan tidak bisa mengenggam erat atau memutar sesuatu dengan baik
(buka kunci, buka kaleng dan lain-lain). Gejala awal ini bisa hilang
dalam tempo waktube berapa minggu, penderita biasanya tidak merasa
perlu perawatan atau susah menjelaskannya pada tim dokter untuk
meminta perawatan lebih lanjut karena gejala-gejala akan hilang pada
saat diperiksa. Gejala tahap berikutnya pada saat mulai muncul
kesulitan berarti, misalnya : kaki susah melangkah, lengan menjadi
sakit lemah, dan kemudian dokter menemukan syaraf refleks lengan
telah hilang fungsinya (Anonim, 2006).
Gejala awal biasanya kelemahan atau rasa kesemutan pada
kaki.Rasa itu dapat menjalar ke bagian tubuh atas tubuh. Pada
beberapa kasus bisa menjadi lumpuh, Hal ini bias menyebabkan
kematian. Pasien kadang membutuhkan alat respirator untuk
bernapas.Gejala biasanya memburuk setelah beberapa minggu,
kemudian stabil. Banyak orang bisa sembuh,namun kesembuhan bisa
didapatkan dalam minggu atau tahun (CDC, 2012 ; Marjo, 1978
;Sidarta, 2004 ; Walshe, 1978).

Gambar. 2.3 Penderita Guillain-Barre Syndrome (GBS)


Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang
mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa
laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa
laten ini belum ada gejala klinis yang timbul. Gejala Klinis antara lain:
a. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot
ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar
penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah
kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas
dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota
gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan
saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh
hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-
otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga
sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal
.
b. Gangguan Sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal
ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral.
Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan
distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas
ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas
proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri
setelah suatu aktifitas fisik.
c. Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII.
Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi
kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat
antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I
dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III.
Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa
sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan
kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.
d. Gangguan Fungsi Otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita
GBS. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang
sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau
hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic
profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang
dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari
satu atau dua minggu.
e. Kegagalan Pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang
dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan
pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan
kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33%
penderita.
f. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum
diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein
dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi
arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.

4. Proses Patologi Gangguan Gerak dan Fungsi


Manifestasi patologis yang utama adalah demielinisasi
segmental saraf perifer. Keadaan ini yang akhirnya menghalangi
transmisi impuls elektris yang normal disepanjang radiks saraf
sensomotorik (Kowalak, 2011:293). Temuan patologis demielinisasi
polineuropati inflamasi akut adalah infiltrasi inflamasi (terutama terdiri
dari sel T dan makrofag) dan daerah demielinasi segmental, yang
sering dikaitkan dengan tanda-tanda degenerasi aksonal sekunder,
yang dapat dideteksi pada akar tulang belakang serta akar saraf
motorik dan sensorik (Yuki, 2012:2297). Pola perubahan patologi
mengikuti pola yang tetap dari infiltrasi limfosit yang terjadi dalam
ruang perivaskular yang berdekatan dengan saraf tersebut dan menjadi
fokus degenerasi myelin (Price dan Wilson, 2005:1152).
Myelin mempercepat proses perjalanan impuls elektris saraf ke
otak untuk diintrepretasikan. Kompleks lipoprotein yang dibentuk oleh
sel-sel glia atau oligendrosit ini melindungi akson neuron. Resistensi
elektrisnya yang tinggi dan kapasitansi (kemampuan menyimpan
muatan listrik) yang rendah memungkinkan selubung myelin
menghantarkan impuls saraf dari nodus Ranvier yang satu ke nodus
berikutnya (Kowalak, 2011:318). Myelin bersifat rentan terhadap
cidera. Selubung myelin yang rentan terhadap respon autiomun akan
mengalami inflamasi dan lapisan membrannya akan rusak atau pecah
menjadi komponen yang lebih kecil, yang akan diselubungi oleh plak
dengan batas yang jelas (terisi oleh unsur-unsur mikrogila, makrogila
dan limfosit). Proses tersebut yang dinamakan demielinisasi. Selubung
myelin yang rusak tidak dapat menghantarkan impuls saraf secara
normal. Dispersi saraf atau kehilangan parsial potensial aksi
menyebabkan disfungsi neurologi (Kowalak, 2011:318).
Guillian barre syndrome menyerang saraf perifer sehingga
serabut saraf tersebut tidak dapat menyampaikan pesan saraf ke otot
dengan benar. Selubung myelin yang mengalami degenerasi
membungkus akson serabut saraf dan menghantarkan impuls elekstris
disepanjang lintasan saraf. Degenerasi tersebut menimbulkan
inflamasi, pembengkakan, dan bercak-bercak demielinisasi (patchy
demyelination) (Kowalak, 2011:294). Proses inflamasi juga dapat
dilihat di akar dorsal dan ganglia otonom (Umphred, 2001:386).
Akibatnya selubung myelin hancur, sehingga nodus Ranvier (yang
terdapat di selubung myelin) akan melebar (Kowalak, 2011:294).
Keadaan ini yang memperlambat dan menganggu transmisi impuls
disepanjang radiks anterior dan posterior (Kowalak, 2011:294).
Terdapat tiga fase yang menyertai pada proses patologi GBS. Yang
pertama adalah fase akut. Fase akut dimulai pada awitan gejala
definitif yang pertama dan berakhir 1 hingga 3 minggu kemudian. Fase
plateu berlangsung beberapa hari sampai 2 minggu. Dan yang terakhir
fase pemulihan terjadi bersamaan dengan remielinisasi dan
pertumbuhan kembali tonjolan akson. Fase ini melampaui 4 sampai 6
bulan, tetapi dapat berlangsung hingga 2 sampai 3 tahun jika penyakit
itu berat (Kowalak, 2011:292).
Karena sindrom ini menyebabkan inflamasi dan perubahan
degeneratif pada radiks posterior (sensorik) dan anterior (motorik),
maka tanda-tanda gangguan sensorik dan motorik akan terjadi secara
bersamaan (Kowalak, 2011:293). Radiks saraf dorsalis menangani
fungsi sensorik, klien dapat mengalami rasa kesemutan. Demikian pula
pada radiks saraf anterior bertanggung jawab atas fungsi motorik
(Kowalak, 2011:294).

C. Pendekatan Fisioterapi
1. Electrical Muscle Stimulation
Electrical Muscle Stimulation (EMS) juga disebut sebagai
neuromuscular electrical stimulation (NMES), Transcutaneous
Electrical Nerve Stimulation (TENS), atau electromyostimulation
adalah pengobatan di mana arus dua fase memberikan rangsangan
pada otot-otot dalam berbagai cara, termasuk denyutan, lonjakan atau
kontraksi yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejang otot dan
atrofi otot, meningkatkan sirkulasi darah lokal dengan merangsang
jaringan otot, penguatan jaringan otot untuk mempercepat
penyembuhan, mempertahankan atau meningkatkan jangkauan
gerak,re-edukasi otot, dan stimulasi otot betis untuk mencegah
trombosis vena.

2. Infra Red Radiation


Infra Red merupakan alternatif terapi yang mempunyai
penetrasi yang hanya berada pada tingkat superfisial jaringan saja.
Diharapkan agar terjadi efek analgesik, efek anti imflamasi, efek
sedatif, peningkatan suhu jaringan, efek rileksasi otot sehingga
intensitas spasme menurun, dan efek vasodilatasi agar terjadi
peningkatan blood flow.

3. Passive Exercise
Suatu pemberian terapi manual ketika pasien tidak mampu
melakukan gerakan akibat kekuatan otot yang melemah. Yang
diberikan pada lengan dan tungkainya. Yang bertujuan antara lain :
a. Mencegah terjadinya kontraktur.
b. Mempertahankan integritas sendi dan jaringan lunak.
c. Membantu sirkulasi dan vaskularisasi dinamik.

4. Core Stability
Core stability exercise prinsipnya yaitu mengkontraksikan otot
stabilisator trunk yaitu multifidus, transversus abdominis, internal
oblique. Serta diikuti dengan kontraksi otot-otot perut dalam
mempertahankan posisi panggul yang optimal, dengan memelihara
vertebra netral dan stabil. Secara lebih rinci, stabilitas inti adalah
interaksi koordinasi dan kekuatan antara otot perut, trunk, diafragma
dan otot pantat selama aktifitas untuk memastikan vertebra agar tetap
stabil dan kuat dalam pergerakannya sehari-hari.
Manfaat core stability exercise untuk memperbaiki stabilitas
postural dengan latihan motor kontrol yaitu melakukan ko-kontraksi
pada otot transversus abdominus dan otot multifidus, dengan adanya
efek stabilisasi ko-kontraksi dapat disamakan mengaktifkan deep
muscle korset untuk mendukung segmen vertebra yang akan
memperbaiki postur. Sehingga akan menurunkan tekanan pada diskus
intervertebralis yang menurunkan nyeri (Francka, 2010).
5. Bridging Exercise
Teknik bridging exercise adalah salah satu bentuk latihan
untuk meningkatkan postural control, memelihara postural aligment
dan meningkatkan neuromuscular control. Latihan bridging exercise
merupakan komponen penting dalam memberikan kekuatan local dan
keseimbangan untuk memaksimalkan aktifitas secara efisien. Kerja
core stability memberikan suatu pola adanya stabilitas proksimal yang
digunakan untuk mobilitas pada distal. Pola proksimal ke distal
merupakan gerakan kesinambungan yang melindungi sendi pada distal
yang digunakan untuk mobilisasi saat bergerak. Saat bergerak otot-otot
core meliputi trunk dan pelvic yang bertanggung jawab untuk
memelihara stabilitas spine dan pelvic, sehingga membantu dalam
aktifitas, disertai perpindahan energi dari bagian tubuh yang besar
hingga kecil selama beraktifitas (Rifai, 2015).
Latihan ini menimbulkan kontraksi otot etika otot sedang
berkontraksi, sintesa protein kontraktil otot berlangsung jauh lebih
cepat daripada kecepatan penghancurnya sehingga menghasilkan
aktin dan miosin yang bertambah banyak secara progersif di dalam
miofibril. Kemudian miofibril itu sendiri akan memecah di dalam
setiap serat otot untuk membentuk miofibril baru. Peningkatan jumlah
miofibril tambahan yang menyebabkan serat otot menjadi hipertropi.
Dalam serat otot yang mengalami hipertropi terjadi peningkatan
komponen sistem metabolisme fostagen, termasuk ATP dan
fosfokreatin. Hal ini mengakibatkan peningkatan kemampuan sistem
metabolik aerob dan anaerob yang dapat meningkatkan energi dan
kekuatan otot. (Kusnanto dkk, 2014). Tujuan dari latihan ini adalah
penguatan otot gluteus untuk Penguatan m. gluteus maksimus,m.
hamstring, m. erector spine, m. Multifidus dan sebagai latihan dasar
untuk meningkatkan stabilitas dan keseimbangan tulang belakang
(Quin, 2012).

BAB III
PROSES FISIOTERAPI

A. Laporan Status Klinis


Data Medis
Diagnosa : Tetraparese Lower Motor Neuron Et Cause Suspek
Guillain Barre Syndrome
No. RM : 843116
Ruangan : Kamar 3 Bed 2

B. Identitas Umum Pasien


Nama : Parida
Tanggal Lahir : 05 Oktober 1964
Umur : 53 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
Alamat : Jl. BTN Pondok Asri

C. Anamnesis Khusus
Keluhan utama : Kelemahan pada keempat ekstremitas
Lokasi keluhan : Kedua lengan dan tungkai
Kapan terjadi : 4 hari yang lalu
RPP : Dialami sejak 2 hari yang lalu tepatnya pada hari
Minggu 13 Mei 2018 saat pasien sedang istirahat.
Kelemahan ini dirasakan secara tiba-tiba, 2 hari
sebelumnya pasien sempat mengeluhkan kram
diseluruh bagian tubuhnya tetapi pasien masih bisa
berjalan dan mengendarai motor. Riwayat demam
sebelumnya tidak ada. Mual dan muntah tidak ada.
Riwayat trauma : Tidak ada
Riwayat Penyakit : Hipertensi
RiwayatPenyakitKeluarga : Tidakadakeluarga yang menderitapenyakit
yang sama.

D. Pemeriksaan Fisik
1. Vital Sign
Tekanan Darah : 160/90 mmHg
Denyut Nadi : 83 x/menit
Pernapasan : 18 x/menit
Suhu : 36.7oC

2. Inspeksi / Observasi
Statis :
a) Pasien terlihat lemah
b) Terpasang infus
c) Extremitas Superior (Kiri dan Kanan ) terlihat : Internal rotasi
shoulder + Fleksi Jari-jari. (Mid position)
d) Extremitas Inferior
Tungkai kanan terlihat : External rotasi hip + Fleksi knee.
Tungkai kiri terlihat : External rotasi hip + Fleksi knee +
Plantar fleksi ankle.

Dinamis :
a) Pasien sulit mengangkat kedua lengan dan tungkainya.

3. Palpasi
a) Terdapat spasme pada otot bicep brachii, otot upper trapezius, otot
quadriceps femoris, dan otot hamstring.
b) Tidak ada oedema.
c) Tidak ada nyeri tekan.

E. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran Fisioterapi


1. Tes Kesadaran (dengan GCS)
No Parameter yang dinilai Nilai/skor
1. Membuka Mata/eye
a. Klien dapat membuka mata spontan 4
b. Klien dapat membuka mata dengan perintah 3
c. Klien dapat membuka mata dengan ransangan 2
nyeri 1
d. Klien tidak merespon
2. Respon Motorik
a. Klien dapat melakukan gerakan sesuai intruksi 6
b. Klien hanya mampu melokalisir nyeri 5
c. Klien hanya mampu mengindari sumber nyeri 4
d. Adanya gerakan fleksi abnormal (dekortikasi) 3
e. Adanya gerakan ekstensi abnormal (decebrasi) 2
f. Klien tidak merespo 1
3. Respon Verbal
a. Klien dapat menjawab dengan benar, orientasi 5
sempurna 4
b. Klien mengalami disorientasi/ bingung 3
c. Kata-kata tidak dapat dimengerti/tidak 2
bermakna 1
d. Suara tidak jelas/ mengerang
e. Klien tidak merespon

Interpretasihasil :
1. Composmentis : 15-14
2. Apatis : 13-12
3. Delirium : 11-10
4. Somnolen : 9-7
5. Stupor : 6-4
6. Coma : 3

Hasil : E4 M6 V5(Composmentis)
Keterangan
:Sadarsepenuhnyabaikterhadapdirinyadanlingkungannyadandapatmenj
awabpertanyaanpemeriksaandenganbaik.

2. Tes Kognitif
a) Komunikasi : Baik
b) Atensi : Baik
c) Motivasi : Baik
d) Emosi : Baik
e) Problem solving : Baik

3. Tes Tonus Otot (Skala Asworth)


SKALA ASWORTH
0 Tidak ada peningkatan tonus otot
Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan
1 terasanya tahanan minimal pada akhir ROM pada waktu
sendi digerakkan fleksi atau ekstensi
Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai adanya
pemberhentian gerakan dan diikuti adanya tahanan minimal
2
sepanjang sisa ROM, tetapi secara umum sendi mudah
digerakkan
Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjan sebagian besar
3
ROM, tapi sendi masih mudah digerakkan
Penigkatan tonus otot sangat nyata, gerakan pasif sulit
4
dilakukan
Sendi atau ekstremitas kaku/rigid pada gerakan fleksi atau
5
ekstensi

Hasil Pemeriksaan :
Dextra Sinistra
Extremitas Superior 3 2
Extremitas Inferior 1 1

4. Pemeriksaan Kekuatan Otot

Hasil Pemeriksaan :
Dextra Sinistra
Extremitas Superior 4 3
Extremitas Inferior 2 2

5. Tes Reflex
Refleks Dextra Sinistra
Patella Negatif Negatif
Refleks Achilles Negatif Negatif
Fisiologis Biceps Normal Normal
Tricep Normal Normal
Refleks
Babinsky Negatif Negatif
Patologis

6. Tes Sensorik
a) Tes tajam tumpul : Normal
b) Tes rasa sakit : Normal
c) Tes rasa gerak : Normal

7. Tes Motorik
Item yang diukur Keterangan
Terlentang ke tidur miring kanan
Dapat dilakukan dengan bantuan
dan kiri
Terlentang ke duduk di samping bed Dapat dilakukan dengan bantuan
Keseimbangan duduk Tidak dapat dilakukan
Duduk ke berdiri Tidak dapat dilakukan
Posisi mengangkat pantat Tidak dapat dilakukan
Posisi geser pantat Tidak dapat dilakukan

8. Tes Koordinasi
Dextra Sinistra
Finger to nose Mampu Mampu
Finger to therapist finger Mampu Mampu
Heel to knee Tidak mampu Tidak mampu
Heel to toe Tidak mampu Tidak mampu
Pasien dapat melakukan tes koordinasi tetapi interpretasi cukup baik.

9. Tes Keseimbangan
Reaksikeseimbangandenganmengangkatpantat(bridging),
dudukdanmenekuklututbelum dapatdilakukan
dankeseimbangankurang.
10. Pemeriksaan Autonom
BAK : Lancar
BAB : Tidak lancar

11. Pemeriksaan ADL (dengan Indeks Barthel)


No. Item yang dinilai Skor

1. Makan 0 = Tidak mampu


1 = Butuh bantuan memotong lauk,
mengolesmentega dll
2 = Mandiri
2. Mandi 0 = Tergantung orang lain
1 = Mandiri
3. Perawatan diri 0 = Membutuhkan bantuan orang lain
1 = Mandiri dalam perawatan muka,
rambut,gigi, dan bercukur.
4. Berpakaian 0 = Tergantung orang lain
1 = Sebagian dibantu (misal
mengancingbaju)
2 = Mandiri
5. Buang air kecil 0 = Inkontinensia atau pakai kateter dan
tidak terkontrol
1 = Kadang Inkontinensia (maks, 1x24
jam)
2 = Kontinensia (teratur untuk lebih
dari 7 hari)
6. Buang air besar 0 = Inkontinensia (tidak teratur atau
perlu enema)
1 = Kadang Inkontinensia (sekali
seminggu)
2 = Kontinensia (teratur)
7. Penggunaan toilet 0 = Tergantung bantuan orang lain
1 = Membutuhkan bantuan, tapi dapat
melakukan beberapa hal sendiri.
2 = Mandiri
8. Transfer 0 = Tidak mampu
1 = Butuh bantuan untuk bisa duduk
(2 orang)
2 = Bantuan kecil (1 orang)
3 = Mandiri
9. Mobilitas (berjalan di 0 = Immobile (tidak mampu)
permukaan datar) 1 = Menggunakan kursi roda
2 = Berjalan dengan bantuan satu orang
3 = Mandiri (meskipun menggunakan alat
bantu seperti, tongkat)
10. Naik turun tangga 0 = Tidak mampu
1 = Membutuhkan bantuan (alat bantu)
2 = Mandiri

Hasil dari pemeriksaan Indeks Bartel di kategorikan menjadi 5


kategori dengan rentang nilai berikut ini :
1. Skor 20 : Mandiri
2. Skor 12-19 : Ketergantungan Ringan
3. Skor 9-11 : Ketergantungan Sedang
4. Skor 5-8 : Ketergantungan Berat
5. Skor 0-4 : Ketergantungan Total

Hasil Pemeriksaan :Skor


4yaitutermasukdalamkategoriketergantungan Total.

12. Pengukuran Panjang Tungkai


Tungkai kanan : 75 cm
Tungkai kiri : 75 cm
Hasil : Simetris

F. Pemeriksaan Penunjang
1. X-Ray

Kesan :
 Dilatatio et athreosclerosis aortae
 Elevasi diafraghma dextra (proses intrahepatik?)

2. Hasil Laboratorium
GDS : 132 mg/ul
Ureum : 16 mg/dl
Kreatinin : 0.67 mg/dl
SGOT : 19 U/L
SGPT : 21 U/L
Na+ : 147
K+ : 3.42
CL : 105 mmol/l

G. Diagnosa dan Problematik Fisioterapi (sesuai konsep ICF)


Diagnosa : Gangguan Motor Function Akibat Tetraparese Lower Motor
Neuron Et cause Suspek Guillain Barre Syndrome.
Problematik Fisioterapi :
1. Impairment :
a) Kelemahan pada extremitas atas dan ekstremitas bawah.
b) Hypotonus
c) Keterbatasan gerak.
d) Terdapat penurunan kekuatan otot kedua lengan dan tungkai
2. Activity Limitation :
b) Kesulitanmengangkat kedua lengan dan tungkainya
c) Kesulitan berjalan
d) Penurunankemampuanuntukmobilitas di tempattidur, transfer,
danmobilisasi (diluarmaupundidalamruangan).
3. Participation Restriction :
a) Keterbatasan dalam bekerja
b) Keterbatasan dalam beribadah
c) Keterbatasan dalam rekreasi

H. Rencana Fisioterapi
Tujuan Jangka Pendek :
1. Mempertahankan dan memperbaiki kekuatan otot.
2. Mempertahankan ROM
3. Melatih keseimbangan
4. Memperbaiki mobilitas fisik

Tujuan Jangka Panjang : Untuk mengembalikan kemampuan fungsional


tangan dan tungkai tanpa alat bantuan.

I. Program Intervensi Fisioterapi


1. Positioning
Tujuan
:Untukmencegahterjadinyadekubituspadapasienakibattekanan yang
terlalu lama padadaerahtubuh.

Prosedur Pelaksanaan :
a) PosisiPasien : Tidurterlentang di atas bed
dalamkeadaanrileks.
b) PosisiFisioterapis : Berada di samping bed
c) TeknikPelaksanaan :
1) Instruksikanpasienuntukmerubahposisiterlentangkeposisi
miring kekananataukekiri. (PosisiSim).
2) Instruksikanpasienuntukberbaringditempattidurdenganbagi
ankepaladitinggikan / lebihtinggidaripada kaki. (Posisi
Anti Trendelenburg)
3) Mintapasienuntukmerubahposisitersebutkuranglebihtiap 2
jam termasuksewaktutidur.

2. Breathing Exercise
Tujuan : Untukmembantupolanapaspasien&menguatkanototabdomen.
Prosedur Pelaksanaan :
B. Posisipasein : Supine lying denganrileks.
C. PosisiFisoterapi : Berdiri di sampingpasien.
D. Pelaksanaan : Tanganfisioterapifiksasi di bagian abdomen
pasienkemudianmintapasienuntukmendorongtanganfisioterapid
engannapasnyadengancaramenariknapasdalammelaluihidungke
mudian di hembuskanmelaluimulut. Ulangisebanyak 5 sampai
8 kali.

3. Passive Exercise
Tujuan : Untuk mencegah terjadinya kontraktur pada keempat
anggota gerak pasien akibat jarang digerakkan,
mempertahankanintegritassendidanjaringanlunak, serta
membantusirkulasidanvaskularisasidinamik.
Prosedur Pelaksanaan :
E. PosisiPasien : Tidurterlentang di atas bed
dalamposisianatomi.
F. PosisiFisioterapis : Berada di sampinganggotageraklengan /
tungkaipasien yang di tes.
G. TeknikPelaksanaan :
1. EkstremitasAtas
Fisioterapismemberikan latihan gerakan pasif terhadap
lengan pasien secara berulang-ulang.
2. Ekstremitas Bawah
Fisioterapis memberikan latihan gerakan pasif terhadap
tungkai pasien secara berulang-ulang.

4. Strengthening Exercise
Tujuan : Untukpenguatanotot-
ototpadakeduaekstremitasyaituextremitas superior danexremitas
inferior.
Prosedur Pelaksanaan :
a) Posisipasien : Supine Lying rileksdiatas bed
b) Posisifisioterapis : Berdiridisampingpasien.
c) Teknik Pelaksanaan:
Fisioterapismemberikanlatihanpenguatanpadakeduatangandank
eduatungkaimulaidarijaritangansampai shoulder
danmulaidarijari kaki sampaipada hip pasien. Hal
itudilakukansebanyak 3-5 kali repetisi.

H. Evaluasi
Setelahpemberianterapiselamabeberapaharitidursaatmalamharitida
klagigelisah, kelemahanototmulaimenurun,
peningkatankekuatanototpasienmulaimembaikditandaidengankontraksi
yang mulaimeningkat dan lengan mulai dapat di angkat, aktifitas daily
living (ADL) dan perbaikan keseimbangan belum dapat dinilai.

I. Edukasi
1. Pasien diharapkan untuk tetap melakukan terapi ke fisioterapi.
2. Minta keluarga untuk melakukan latihan yang telah di berikan/ di
ajarkan ke fisioterapi seperti posisi baring yang baikdanbenar,
latihanmengangkatpantatdalamposisiterlentang dan
latihanmenggerakkansepertimenekukjari-
jaritangan,menekuktangan,mengangkattangankeatas, menekuklutut,
mengangkat kaki dangerakanpadatanganseperti yang
telahdiberikanpadafisioterapissertamemberitahananpadakeduatanganda
nkeduatungkaidenganbantuankeluarga.
3. Keluarga pasien diharapkan memberikan motivasi pasien untuk latihan
setiap hari.

J. Dokumentasi
BAB IV
PENUTUP

Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah kondisi langka yang disebabkan


oleh sistem imun yang menyerang sebagian sistem saraf periferal. Kondisi ini
mungkin membuat saraf meradang yang mengakibatkan kelumpuhan atau
kelemahan otot jika tidak terobati secepatnya.
Etiologi dari GBS sendiri belum diketahui pasti, tetapi respon alergi dan
respon autoimun sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa
sindrome tersebut berasal dari virus. Tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi
sejauh ini. GBS paling banyak ditimbulkan oleh adanya infeksi (Pernapasan dan
Gastrointestinal) 1-4 minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologis.
Tanda dan gejala GBS, waktu antara terjadi infeksi atau keadaan
prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya
masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten
ini belum ada gejala klinis yang timbul. Gejala Klinis antara lain: Kelumpuhan,
Gangguan Sensibilitas, Saraf Kranialis, Gangguan Fungsi Otonom, Kegagalan
Pernafasan, dan Papiledema.
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2018. Sindrom Guillain Barre.


https://nanopdf.com/download/sindrom-guillain-barre-universitas-wijaya-
kusuma-surabaya_pdf . Diakses 18 April 2018
Kristalistianto, Abet. 2015. Guillain Barre Syndrome (GBS).
http://abet-physicaltherapy.blogspot.co.id/2015/03/guillain-barre-
syndrome-gbs.html . Diakses 18 April 2018
Nurpaazizah. 2016. Macam-macam Posisi Pasien di Tempat Tidur.
https://nurpaazizah.wordpress.com/2016/05/27/macam-macam-posisi-
pasien-di-tempat-tidur/ . Diakses 19 April 2018
Yosdim, Leo. 2011. Guillain Barre Syndrome.
https://yosdimleo.wordpress.com/2011/11/08/guillain-barre-syndrome/ .
Diakses 19 April 2018

S-ar putea să vă placă și