Sunteți pe pagina 1din 4

Kondisi stres yang dialami manusia secara normal akan menimbulkan respon adaptif berupa

rasa takut dan cemas yang nantinya akan menstimulasi respon stres dalam tubuh. Stres dapat
ditimbulkan akibat stimulus dari stresor eksternal maupun internal (dari dalam tubuh sendiri).
Berdasarkan lama paparan terhadap stimulus , stres dibedakan atas stres akut dan stres
kronik.(Gina.2012- thesis desi) Respon stress terjadi bila seseorang menghadapi stimulus yang
dianggap tubuh merupakan ancaman / stresor. Respon stress melalui tahapan persepsi stresor
dilanjutkan tahapan respon stress dan berakhir dengan persepsi keberhasilan respon stres
tersebut.
Pada keadaan stres akut akan terjadi suatu proses initial brief alarm reaction dimana akan
terjadi peningkatan tajam kadar glucocorticoid dalam darah akibat peningkatan aktifitas otak
melalui aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) selanjutnya akan terjadi aktifitas pada
amigdala dan hipokampus, sistem kardiovaskuler, sistem respirasi, sirkulasi darah, sistem
pencernaan, sistem imun, mukosa, dan kulit secara sistematis (Adnil,2010)
Pada initial brief alarm reaction terdapat aktifitas otak seperti (1) Aktivasi aksis
Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA), (2) Aktivasi sistem Lokus Sereleus (LS)-
Noradrenalin (NA), (3) Pelepasan hormone steroid dan hormone stress utama cortisol, (4)
Pelepasan hormon katekolamin yang juga berperan sebagai neurotransmitter (dopamin,
adrenalin dan noradrenalin), (5) Aktivasi nucleus amigdala yang mencetuskan respon
emosional terhadap stressor, (6) Pelepasan neuropeptida S yang memodulasi stress dengan
menekan keinginan tidur dan meningkatkan kewaspadaan.
Aksis HPA merupakan sistim utama neuroendokrin yang mengendalikan respon stress dan
mengendalikan kadar hormon yang berkaitan dengan stress. Aksis HPA adalah suatu susunan
komplek yang merupakan interaksi timbal baik melalui mekanisme umpan balik negatif dan
positif antara hipotalamus, hipofisis dan kelenjer adrenal dalam mempertahankan homeostasis
.( Lillia,2012)
Pada umumnya Aksis HPA terletak dibawah pengaruh spscific releasing factor oleh neuron di
inti paraventrikular hipothalamus. Neuron corticotropin releasing hormon (CRH) dari inti
paraventrikular melengkapi sinyal rangsangan untuk sintesis dan pelepasan hormon
adrenocorticotropin (ACTH) dari hipofisis anterior. Perubahan dinamis dalam kadar ACTH
terjadi selama puncak sircadian atau dalam respon stress yang terkait dengan perubahan sekresi
neuron hipothalamus kedalam sistim portal hipofisis anterior , meningkatkan sintesis dan
pelepasan ACTH. Peningkatan kadar ACTH akan meningkatkan sintesis pelepasan
glukokortikoid dari kelenjer adrenal. .Kelenjer adrenal diaktifkan hampir bersamaan dan
melepaskan neurotransmiter epinefrin , menghasilkan hormon kortisol, meningkatkan tekanan
darah, kadar gula darah dan menekan sistim kekebalan tubuh. (Gardner ,2007)
Responsivitas dari sumbu HPA terhadap stress adalah sebagian ditentukan oleh kemampuan
dari glukokortikoid untuk pelepasan ACTH (glukokortikoid, feedback negative). Peredaran
glukokortikoid feedback kekelenjer pituitari dan daerah otak tertentu untuk menghambat
sekresi releasing factor dari hormon hipothalamus dan ACTH pitiuitari. Selain pada pituitari
dan hipothalamus, terdapat bukti yang cukup penting mengenai sistim limbik, hipokampus dan
korteks frontal dalam regulasi HPA. (lillia,2012)

Respon imun terhadap stress akut


Paradox kortisol
Peningkatan kortisol pada aksis HPA menekan fungsi imun pada sebagian sistem imun,
sehingga sel imun spesifik seperti leukosit dan sitokin mengalami reposisi. Sel tersebut
dikirimkan ke bagian tubuh yang paling berisiko luka atau terkena infeksi. Secara umum
terjadi penekanan fungsi imun yang disebut paradox cortisol yang bersifat vital karena semua
proses homeostasis dimobilisasi untuk persiapan reaksi fight or flight.
Peningkatan aktifitas sitokin proinflamatori
Substrat molekul sitokin pro-inflamatori yang terdiri dari; interleukin-1 (IL-1), interleukin-2
(IL-2), interleukin-6 (IL-6), interleukin-10 (IL-10), interleukin-12 (IL-12), interferon-
gamma (IFN-Gamma) dan tumor necrosis factor alpha (TNF-α) mengalami peningkatan
sebagai respon tehadap stres akut. Sel imun makrofag yang merupakan sel pertama tiba pada
lokasi infeksi apapun, memproduksi molekul-molekul diatas ini. Molekul sitokin pro-
inflamatori ini berfungsi langsung dalam otak dengan pembentukan mikroglia dan astrosit (sel
glia) untuk mencetuskan respon sakit (sickness response). Sitokin juga diproduksi lokal dalam
otak, terutama pada hipotalamus. Karena itu sitokin memberi kontribusi pada efek perilaku
akibat stress fisik dan mental. Sitokin memediasi dan mengendalikan respon imun pada stress
dan proses inflamatori . Interaksi sangat kompleks terjadi antara sitokin, inflamasi, dan respon
adaptif dalam mempertahankan homeostasis. Seperti juga respon stress, reaksi inflamasi sangat
penting untuk survival. Reaksi inflamasi sistemik menyebabkan stimulasi terhadap empat
fungsi utama yaitu: Reaksi fase akut, Sindroma sakit, Nyeri, Respon stress. Keempat fungsi
utama ini dimediasi oleh aksis HPA dan sistem simpatis. (adnil)

Pengaruh Kortisol Terhadap Brain Derived Neurotrophic I Factor (BDNF)


Peningkatan sirkulasi giukokortikoid memiliki konsekuensi penting bagi fungsi saraf
dimana peningkatan kadar giukokortikoid berhubungan dengan fungsi hipokampus. Dengan
demikian, paparan terhadap kadar giukokortikoid yang tinggi (1) menghasilkan atrofi
dendritik, (2) mengurangi konduksi sinyal elektrofisiologi dalam neuron hipokampus dalam
menanggapi sinyal rangsang, (3) membahayakan kelangsungan hidup sel piramidal
hipokampus, dan (4) mengurangi respon kompensasi (misalnya, sinaptogenesis reaktif) dari
neuron hipokampus yang masih hidup dengan hilangnya input korteks (yaitu penurunan
plastisitas sinaps) (McEwen, 2002).
Peranan radikal bebas, oksidatif stress dan infeksi dapat menyebabkan penekanan 1L-4
(sitokin anti inflamasi) dan meningkatkan sitokin proinflamasi. lnterleukin-4 (IL-4) akan
mengaktifkan brain derived neurotrophic factor (BDNF) yang merupakan bagian dari
neurotrofin (faktor pertumbuhan), terdapat di otak, berperan penting dalam perkembangan,
maintenance, survival dan kematian dari sistem saraf. Karena IL-4 tidak terdapat di otak maka
LL-4 mengirimkan sinyal ke BDNF yang berada di otak sehingga jika kadar IL-4 menurun
maka kadar BDNF akan menurun juga (Fenny, 2008, Adnil, 2013).
Sebagai salah satu neurotrofin yang paling aktif, BDNF berperan dalam plastisitas
sinaps sehingga jika IL-4 menurun dan mengakibatkan BDNF juga menurun maka
kemampuan BDNF untuk plastisitas sinaps akan berkurang. Hipokampus merupakan bagian
otak yang memuliki kadar BDNF paling tinggi, sehingga glukokortikoid akan menyebabkan
penurunan kadar BDNF termasuk di hipokampus.

Proses kognitif tergantung pada fungsi hipokampus yang dihubungkan dengan adanya
kadar glukokortikoid yang tinggi. Bukti efek seperti itu telah muncul dari percobaan in vivo
dan in vitro menggunakan model long term poteniiation (LTP) dari plastisitas sinaps. Long term
poteniiation (LTP) merupakan suaUi model seluler pada proses memori yang terjadi pada
banyak sel neuron pada sinap glutamatergik. Sinap- sinap glutamatergik sangat banyak tcijadi
di otak. LTP telah dijelaskan sebagai proses dari mekanisme memori. Penemuan saat ini
banyak mendukung bahwa LTP berperanan dalam proses memori. Peranan LTP pada memori
melibatkan aktivasi reseptor NMDA glutamatergik, sangat sensitif pada inhibisi oleh GABA
{gamma amino butyric acui) tipe A) reseptor agonis. Proses LTP terjadi terutama di hipokampus,
amigdala, septum medial dan kortek entorinal. Peningkatan kadar glukokortikoid menekan
pembentukan LTP dalam hipokampus. Terjadinya gangguan pada proses ini terus menerus
dalam jangka lama menyebabkan gangguan kognitif memori yang dapat dideteksi melalui
pemeriksaan( Lynch, 2004).
Tingkat paparan giukokortikoid tampaknya menjadi penentu patologi hipokampus, serta
selama proses penuaan. Rangsangan glukokortikoid pada kondisi stres kronis akan
mengakibatkan peningkatan ekspresi dari NMDA reseptor dari glutamat, disertai penurunan
respons AMPA reseptor di hipokampus. Rangsangan glukokortikoid juga akan menurunkan
kadar BDNF (Fenny, 2008). Penelitian oleh Sapolsky (1995) telah menunjukkan bahwa
glukokortikoid membahayakan neuron hipokampus karena (1) membatasi ketersediaan
substrat energi, (2) dengan meningkatkan konsentrasi glutamat ekstraseluler dengan
mengurangi glutamat uptakc oleh sel glial. Kedua aksi kortikosteroid ini dimediasi melalui
reseptor glukokortikoid.
Rendahnya tingkat stimulasi kortikosteroid diperlukan untuk pemeliharaan neuron granul
hipokampus, dan kadar glukokortikoid tinggi yang lama berbahaya bagi kelangsungan hidup
neuron piramidal.Paparan berlebihan terhadap kortisol menghasilkan kerusakan neuronal
pada dasrah yang berisi reseptor glukokortikoid, terutama pada hipokampus dan korteks
prefrontal. Kadar glukokortikoid berlebih dihubungkan dengan atrofi hipokampus pada
manusia. Hubungan antara glukokortikoid dan memori ditunjukkan pada individu yang
menggunakan pengobatan kortikosteroid dan pasien dengan Cushing 's Disease (Lupien,
2005)

S-ar putea să vă placă și