Sunteți pe pagina 1din 131

INSPIRASI KAWULA MUDA

Senin, 04 Februari 2013


ASKEP ATRESIA BILIER

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Atresia bilier merupakan proses inflamasi progresif yang menyebabkan fibrosis saluran
empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada akhirnya akan terjadi obstruksi saluran
tersebut (Donna L. Wong, 2008). Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan
yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan
hambatan aliran empedu. Tindakan operatif atau bedah dapat dilakukan untuk
penatalaksanaannya. Pada lebih kurang 80% - 90% bayi dengan atresia biliaris ekstrahepatik
yang menjalani pembedahan ketika usianya kurang dari 10 minggu dapat dicapai drainase getah
empedu (Halamek dan Stevenson, 1997). Meski demikian, sirosis yang progresif tetap terjadi
pada anak, dan sampai 80% - 90% kasus pada akhirnya akan memerlukan transplantasi hati
(Andres, 1996).
Atresia bilier ditemukan pada 1 dalam 10.000 kelahiran hidup dan 1 dalam 25.000
kelahiran hidup. Tampaknya tidak terdapat predileksi rasial atau genetik kendati ditemukan
predominasi wanita sebesar 1,4:1 (McEvoy dan Suchy, 1996; Whitington, 1996). Di Belanda,
dilaporkan kasus atresia bilier sebanyak 5 dari 100.000 kelahiran hidup, di Perancis 5,1 dari
100.000 kelahiran hidup, di Inggris dilaporkan 6 dari 100.000 kelahiran hidup. Di Texas tercatat
6.5 dari 100.000 kelahiran hidup, 7 dari 100.000 kelahiran hidup di Australia, 7,4 dari 100.000
kelahiran hidup di USA dan dilaporkan terdapat 10,6 dari 100.000 kelahiran hidup di Jepang
menderita atresia bilier. Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia
bilier di dapatkan pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%)
dan Indian amerika (1,5%). Walau jarang namun jumlah penderita atresia bilier yang ditangani
RS. Cipto Mangun Kusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003 tercatat mencapai 37-38 bayi atau
23% dari 163 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan di RSU Dr.
Soetomo Surabaya antara tahun 1999-2004 ditemukan dari 19.270 penderita rawat inap di
Instalansi Rawat Inap Anak, tercatat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati
didapatkan 9 (9,4%) menderita atresia bilier ( Widodo J, 2010).

Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu.
Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam
maupun di luar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini
tidak diketahui. Jika aluran empedu buntu, maka empedu akan menumpuk di hati. Selain itu akan
terjadi ikterus atau kuning di kulit dan mata akibat tingginya kadar bilirubin dalam darah. Hal ini
bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal atau
sampai terjadi kematian.
Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab efikasi
pembedahan hepatik-pontoeterostomi (operasi Kasai) akan menurun bila dilakukan setelah umur
2 bulan. Bagi penderita atresia bilier prosedur yang baik adalah mengganti saluran empedu yang
mengalirkan empedu ke usus. Selain itu, terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting
bagi anak yang menderita atresia bilier. Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana
penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada
anggota keluarga pasien. Segera sesudah pembedahan portoenterostomi, asuhan keperawatannya
serupa dengan yang dilakukan pada setiap pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang
diberikan meliputi pemberian obat dan terapi gizi yang benar, termasuk penggunaan formula
khusus, suplemen vitamin serta mineral, terapi nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus mungkin
menjadi persoalan signifikan namun dapat dikurangi dengan obat atau tindakan seperti mandi
rendam atau memotong kuku jari-jari tangan (Donna L. Wong, 2008).

1.2 TUJUAN
1.1.1 Tujuan Umum
Dapat menganalisa asuhan keperawatan pada klien dengan Atresia bilier
1.1.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan definisi dari Atresia bilier
2. Menjelaskan anatomi fisiologi dari Atresia bilier
3. Menjelaskan etiologi dari Atresia bilier
4. Menjelaskan klasifikasi dari Atresia bilier
5. Menjelaskan patofisiologi dari Atresia bilier
6. Menjelaskan manifestasi klinis dari Atresia bilier
7. Menjelaskan komplikasi dari Atresia bilier
8. Menjelaskan penatalaksanaan medis dari Atresia bilier
9. Menjelaskan pengkajian pada asuhan keperawatan klien Atresia bilier
10. Menjelaskan diagnosa keperawatan pada asuhan keperawatan klien Atresia bilier
11. Menjelaskan rencana tindakan/intervensi pada asuhan keperawatan Atresia bilier
12. Menjelaskan kriteria hasil pada setiap diagnosa keperawatan pada asuhan keperawatan klien
Atresia bilier

1.3 MANFAAT
1.3.1 Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat lebih memahami hal-hal yang berkaitan dengan Atresia bilier.
1.3.2 Bagi Perawat
Perawat atau tenaga kesehatan memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang Atresia bilier
sehingga dapat melakukan asuhan keperawatan secara profesional.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau
obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan Rita
Yulianni, 2006)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari duktus
biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan
hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut
menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland, 2006)
Atresia Bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam pipa/ saluran-saluran
yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu (gallbladder). Ini
merupakan kondisi kongenital, yang berarti terjadi saat kelahiran. (http://pilihsehat.tk/.2010)
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda epitel yang
akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau sebagian. ( Chandrasoma &
Taylor,2005)

2.2 Anatomi Fisiologi


Gambar : System Hepatic dan Bilier

a. Anatomi Sistem Biliary


Hati terletak di belakang tulang-tulang iga (kosta) dalam rongga abdomen daerah kanan atas.
Hati memiliki berat sekitar 1500 gr, dan di bagi menjadi empat lobus. Setiap lobus hati
terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat yang membentang ke dalam lobus itu sendiri dan
membagi massa hati menjadi unit-unit yang lebih kecil, yang disebut lobulus.
Sirkulasi darah ke dalam dan ke luar hati sangat penting dalam penyelenggaran fungsi
hati.
Saluran empedu terkecil yang disebut kanalikulus terletak di antara lobulus hati. Kanalikulus
menerima hasil sekresi dari hepatosit yang membawanya ke saluran empedu yang lebih besar
yang akhirnya akan membentuk duktus hepatikus. Duktus hepatikus dari hati dan duktus sistikus
dari kandung empedu bergabung untuk membentuk duktus koledokus (commom bile duct) yang
akan mengosongkan isinya ke dalam intestinum. Aliran empedu ke dalam intestinum di
kendalikan oleh sfingter Oddi yang terletak pada tempat sambungan (junction) di mana duktus
koledokus memasuki duodenum.
Kandung empedu (vesika felea), yang merupakan organ berbentuk sebuah pear, berongga
dan menyerupai kantong dengan panjang 7,5 hingga 10 cm, terletak dalam suatu cekungan yang
dangkal pada permukaan inferior hati dimana organ tersebut terikat pada hati oleh jaringan ikat
yang longgar. Kapasitas kandung empedu 30-50ml empedu. Dindingnya terutama tersusun dari
otot polos. Kandung empedu dihubungkan dengan duktus koledokus lewat duktus sistikus.
a) Kandung Empedu
Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pear, memiliki panjang 7-10 cm
dengan kapasitas 30-50 ml namun saat terdistensi dapat mencapai 300 ml. Kandung empedu
berlokasi di sebuah lekukan pada permukaaan bawah hepar yang secara anatomi membagi hepar
menjadi lobus kanan dan lobus kiri. Kandung empedu dibagi menjadi 4 area secara anatomi yaitu
fundus, leher, corpus, dan infundibulum. Fundus berbentuk bulat dan ujungnya 1-2 cm melebihi
batas hepar, strukturnya kebanyakan berupa otot polos, kontras dengan korpus yang kebanyakan
terdiri dari jaringan elastis. Leher biasanya membentuk sebuah lengkungan, yang mencembung
dan membesar membentuk Hartmann’s pouch.
Kandung empedu terdiri dari epitel silindris yang mengandung kolesterol dan tetesan lemak.
Mukus disekresi ke dalam kandung empedu dalam kelenjar tubuloalveolar yang ditemukan
dalam mukosa infundibulum dan leher kandung empedu, tetapi tidak pada fundus dan korpus.
Epitel yang berada sepanjang kandung empedu ditunjang oleh lamina propria. Lapisan ototnya
adalah serat longitudinal sirkuler dan oblik, tetapi tanpa lapisan yang berkembang sempurna.
Perimuskular subserosa mengandung jaringan penyambung, saraf, pembuluh darah, limfe dan
adiposa. Kandung empedu ditutupi oleh lapisan serosa kecuali bagian kandung empedu yang
menempel pada hepar. Kandung empedu dibedakan secara histologis dari organ-organ
gastrointestinal lainnya dari lapisan muskularis mukosa dan submukosa yang sedikit.
Arteri sistika yang mensuplai kandung empedu biasanya berasal dari cabang arteri hepatika
kanan. Lokasi Arteri sistika dapat bervariasi namun hampir selalu di temukan di segitiga
hepatosistica, yaitu area yang dibatasi oleh Ductus sistikus, Ductus hepaticus komunis dan batas
hepar (segitiga Calot). Ketika arteri sistika mencapai bagian leher dari kandung empedu, akan
terbagi menjadi anterior dan posterior. Aliran vena akan melalui vena kecil dan akan langsung
memasuki hepar, atau lebih jarang akan menuju vena besar sistika menuju vena porta. Aliran
limfe kandung empedu akan menuju kelenjar limfe pada bagian leher.
Persarafan kandung empedu berasal dari nervus vagus dan dari cabang simpatis melewati
pleksus celiaca. Tingkat preganglionik simpatisnya adalah T8 dan T9. Rangsang dari hepar,
kandung empedu, dan duktus biliaris akan menuju serat aferen simpatis melewati nervus
splanchnic memediasi nyeri kolik bilier. Cabang hepatik dari nervus vagus memberikan serat
kolinergik pada kandung empedu, duktus biliaris dan hepar.
b) Pembentukan empedu
Empedu dibentuk secara terus menerus oleh hepatosit dan dikumpulkan dalam kanalikulus serta
saluran empedu. Empedu terutama tersusun dari air dan elektrolit, seperti natrium, kalium,
kalsium, klorida serta bikarbonat, dan juga mengandung dalam jumlah yang berati beberapa
substansi seperti lesitin, kolesterol, billirubin serta garam-garam empedu. Empedu dikumpulkan
dan disimpan dalam kandung empedu untuk kemudian dialirkan ke dalam intestinum bila
diperlukan bagi pencernaan. Fungsi empedu adalah ekskretorik seperti ekskresi bilirubin dan
sebagai pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam-garam empedu.
Garam-garam empedu disintesis oleh hepatosit dari kolesterol. Setelah terjadi konjugasi atau
pengikatan dengan asam-asam amino (taurin dan glisin), garam empedu diekskresikan ke dalam
empedu. Bersama dengan kolesterol dan lesitin, garam empedu diperlukan untuk emulsifikasi
lemak dalam intestinum. Proses ini sangat penting untuk proses pencernaan dan penyerapan yang
efisien. Kemudian garam empedu akan diserap kembali, terutama dalam ileum distal, ke dalam
darah portal untuk kembali ke hati dan sekali lagi diekskresikan ke dalam empedu. Lintasan
hepatosit empedu intestinum dan kembali lagi kepada hepatosit dinamakan sirkulasi
enterohepatik. Akibat adanya sirkulasi enterohepatik, maka dari seluruh garam empedu yang
masuk ke dalam intestinum, hanya sebagian kecil yang akan diekskresikan ke dalam feses.
Keadaan ini menurunkan kebutuhan terhadap sintesis aktif garam empedu oleh sel-sel hati.
c) Ekskresi Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin oleh sel-sel pada sistem
retikuloendotelial yang mencakup se-sel Kupffer dari hati. Hepatosit mengeluarkan bilirubin dari
dalam darah dan melalui reaksi kimia mengubahnya lewat konjugasi menjadi asam glukoronat
yang membuat bilirubin lebih dapat larut di dalam larutan yang encer. Bilirubin terkonjugasi
diekskresikan oleh hepatosit ke dalam kanalikulus empedu di dekatnya dan akhirnya dibawa
dalm empedu ke duodenum.
Dalam usus halus, bilirubin dikonversikan menjadi urobilinogen yang sebagian akan
diekskresikan ke dalam feses dan sebagian lagi diabsorbsi lewat mukosa intestinal ke dalam
daerah portal. Sebagian besar dari urobilinogen yang diserap kembali ini dikeluarkan oleh
hepatosit dan diekskresikan sekali lagi ke dalam empedu (sirkulasi enterehepatik). Sebagian
urobilinogen memasuki sirkulasi sistemik dan diekskresikan oleh ginjal ke dalam urin. Eliminasi
bilirubin dalam empedu menggambarkan jalur utama ekskresi bagi senyawa ini.
Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat penyakit hati, bila aliran
empedu terhalang (yaitu, oleh batu empedu dalam saluran empedu) atau bila terjadi
penghancuran sel-sel darah merah yang berlebihan. Pada obstruksi saluran empedu, bilirubin
tidak memasuki intestinum dan sebagai akibatnya, urobilinogen tidak terdapat dalam urin.
d) Fungsi Kandung Empedu
Kandung empedu berfungsi sebagai depot penyimpanan bagi empedu. Di antara saat-saat makan,
ketika sfingter Oddi tertutup, empedu yang diproduksi oleh hepatosit akan memasuki kandung
empedu. Selama penyimpanan, sebagian besar air dalam empedu diserap melalui dinding
kandung empedu sehingga empedu dalam kandung empedu lebih pekat lima hingga sepuluh kali
dari konsentrasi saat diekskresikan pertama kalinya oleh hati. Ketika makanan masuk ke dalam
duodenum akan terjadi kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi yang
memungkinkan empedu mengalir masuk ke dalam intestinum. Respon ini diantarai oleh sekresi
hormon kolesitokinin-pankreozimin (CCK-PZ) dari dinding usus.

b. Sistem Bilier terbagi atas :


1) Intrahepatik
Sistem biliaris Intrahepatik terdiri atas kanalikuli biliaris dan duktuli biliaris intralobular.
Duktus biliaris intrahepatik terdiri atas sel kuboid atau sel epitel kolumnar. Bersama dengan
bertambahnya jaringan konektif fibroelastis di sekitar epitel, maka duktus semakin besar. Duktus
yang terbesar mempunyai otot polos pada dindingnya. Kanalikuli biliaris sebenarnya bukan
merupakan suatu duktus melainkan suatu dilatasi ruang interseluler antara hepatosit yang
berdekatan. Diameter lumen kanalikuli ini rata-rata 0,7 mm.
2) Ekstrahepatik
Sistem biliaris ekstrahepatik merupakan suatu saluran yang berada di dalam ligamentum
hepatoduodenale dan secara histologis terdiri atas sel epitel kolumnar tinggi yang mensekresi
mukus, selain itu juga terdapat jaringan konektif di bawah epitel yang terdiri atas sejumlah
serabut elastis, kelenjar mukus, pembuluh darah dan saraf. Sistem biliaris extrahepatik terdiri
dari Ductus hepaticus kanan dan kiri, Ductus hepaticus komunis, Ductus systicus dan Ductus
koledokus, Ampula vateri dan Sfingter Oddi.
a) Duktus Hepatikus Kiri dan Kanan
Duktus hepatikus kiri dan kanan muncul pada porta hepatika dari kanan dan kiri lobus
hepar dan berbentuk huruf V. Panjang dari duktus hepatis kiri dan kanan bervariasi antara 0,5-
2,5 cm. Biasanya duktus hepatis kiri lebih panjang dari kanan dan lebih mudah dilatasi bila
terjadi obstruksi di bagian distal.
b) Duktus Hepatikus Komunis
Duktus Hepatikus komunis merupakan gabungan antara duktus hepatikus kiri dan kanan
dengan panjang sekitar 4 cm. Pada 95 % kasus, gabungan ini berada di luar hepar, tepat di bawah
dari porta hepatis. Pada 5% kasus, bergabung di dalam hepar.
c) Duktus sistikus
Duktus sistikus timbul di bagian leher vesika fellea dan bergabung dengan duktus
hepatika komunis. Panjang duktus sistikus bervariasi antara 0,5-0,8 cm dengan diameter rata-rata
1-3 mm. Dalam duktus sistikus, mukosa membentuk 5-10 lipatan seperti bulan sabit yang
dikenal sebagai spiral valves of Heister. Valvula ini berfungsi untuk menahan distensi yang
berlebihan atau kolaps dari vesika fellea dengan mengubah tekanan dalam duktus sistikus dan
berfungsi dalam menghambat masuknya batu empedu ke dalam duktus koledokus.
d) Duktus Koledokus
Duktus koledokus terbentuk dari gabungan duktus sistikus dengan duktus hepatikus
komunis. Panjang duktus ini sekitar 7,5 cm, namun juga dapat bervariasi tergantung dari panjang
duktus sistikus dan duktus hepatikus komunis dengan diameter sekitar 6 mm. Duktus koledokus
dibagi dalam 4 segmen : supraduodenal, retroduodenal, pankreatika dan intraduodenal. Segmen
supraduodenal mempunyai panjang 2,5 cm dan berada di batas kanan dari ligamentum
hepatoduodenal, yaitu pada bagian anterior dari vena porta dan sebelah kanan dari arteri hepatika
komunis ascendens. Segmen retroduodenal berada di posterior dari bagian pertama duodenum
dengan panjang sekitar 2,5 - 4 cm. Segmen ini berjalan sepanjang permukaan inferior duodenum,
kemudian berpindah dari kanan ke kiri dan berada tepat di kanan dari arteri gastroduodenal.
Segmen pankreatika dari duktus koledokus memanjang dari batas bawah dari bagian awal
duodenum ke dinding posteromedial dari bagian kedua duodenum, dimana duktus masuk ke
dalam dinding duodenum. Segmen intraduodenal mempunyai panjang 2 cm dan berjalan miring
sepanjang dinding duodenum bersama dengan duktus pankreatikus.
e) Ampula vateri
Ampula vateri terbentuk dari pertemuan antara duktus koledokus dengan duktus
pankreatikus. Panjang ampula ini bervariasi, ditemukan panjangnya lebih dari 2 mm pada 46 %
kasus, sedangkan kurang dari 2 mm pada 32 % kasus dan tidak ada pertemuan antara duktus
pankreatika dengan duktus koledokus pada 29 % kasus.
f) Sphingter Oddi
Pada segmen intraduodenal dari duktus koledokus dan ampula dikelilingi oleh lapisan
serabut otot polos yang dikenal sebagai Sphingter of Oddi. Sfingter ini merupakan kelompok
serabut otot yang berada pada dinding duktus koledokus. Pengaturan dari aliran empedu
utamanya dikontrol oleh sfingter ini dan terjadi relaksasi sfingter akibat stimulasi kolesistokinin
dan parasimpatis.

c. Sistem Vaskularisasi
Duktus biliaris ekstrahepatik mendapat vaskularisasi dari beberapa tempat, diantaranya;
Duktus hepatis dan segmen supraduodenal dari duktus koledokus mendapat aliran darah dari
cabang kecil arteri sistikus. Bagian retroduodenal dari duktus koledokus disuplai oleh cabang
retroduodenal dan posterosuperior dari arteri pankreatikoduodenal. Segmen pankreatika dan
intraduodenal divaskularisasi oleh arteri pankreatikoduodenal bagian anterior dan
posterosuperior.

2.3 Etiologi
 Belum diketahui secara pasti
 Kemungkinan infeksi virus dalam intrauterine (Rubela, Torch)

2.4 Patofisiologi
Penyebabnya sebenarnya atresia bilier tidak diketahui sekalipun mekanisme imun atau
viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang menimbulkan obstruksi saluran empedu.
Berbagai laporan menunjukkan bahwa atresia bilier tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir
(Halamek dan Stefien Soen, 1997). Keadaan ini menunjukan bahwa atresia bilier terjadi pada
akhir kehamilan atau pada periode perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu beberapa minggu
sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis
pada saluran empedu intrahepatik atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal
empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan menyebabkan peradangan, edema,
degenerasi hati, bahkan hati menjadi fibrosis dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan ikterus dan
duktus didalam lobus hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi
mencegah terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi bilier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah sehingga
menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya empedu dalam usus, lemak dan
vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi sehingga mengalami kekurangan vitamin yang
menyebabkan gagal tumbuh pada anak (Parakrama, 2005).

2.5 Klasifikasi Atresia Billier


Menurut anatomis atresia billier ada 3 tipe:
 Tipe I Atresia sebagian atau totalis yang disebut duktus hepatikus komunis, segmen proksimal
paten
 Tipe IIa Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus billiaris komunis, duktus sistikus, dan
kandung empedu semuanya)
 Tipe IIb Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus, kandung
empedu normal
 Tipe III Obliterasi pada semua system duktus billier ekstrahepatik sampai ke hilus

Tipe I dan II merupakan jenis atresia yang dapat di operasi (correctable) sedangkan tipe III
adalah bentuk atresia yang tidak dapat di operasi (non correctable), bila telah terjadi sirosis maka
dilakukan transpalantasi hati.

Gambar Klasifikasi Atresia Bilier

2.6 Manifestasi Klinis


1. Warna tinja pucat, terhambatnya aliran empedu untuk mengakut garam empedu yang diperlukan
untuk mencerna lemak dalam usus halus dimana fungsi empedu adalah mengekresikan bilirubin
dan membantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam empedu
2. Asites
3. Spenomegali
4. Distensi abdomen
5. Hepatomegali
6. Pruritus, akibatnya adanya obstruksi pada saluran empedu maka terjadi resistensi garam empedu
7. Jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan (kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat > 5 mg/dl
dalam 24 jam, kadar bilirubin serum > 12 mg/dl pada bayi cukup bulan serta > 15 mg/dl pada
bayi premature pada minggu pertama kehidupan), karena obtruksi pengaliran getah empedu
dalam duodenum akan menimbulkan gejala yang khas yaitu getah empedu tidak dibawa ke
duodenum tapi di serap oleh darah dan penyerapan empedu ini akan menyebabkan kulit dan
membrane mukosa berwarna kuning
8. Letargi
9. Urine berwarna gelap, sebagian urobilinogen memasuki sirkulasi sistemik dan di ekresikan
ginjal ke dalam urine pada obstruksi saluran empedu bilirubin tidak memasuki intestinum
sehingga urobilinogen tidak terdapat dalam urine
10. Bayi tidak mau minum dan lemah
11. Mual muntah
Gambar : Pasien dengan Artesia Bilier (www.semuaadadisini.com)

2.7 Penatalaksanaan
1. Medik
a) Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk:
 Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu dengan
memberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis peroral misal : luminal
 Melindungi hati dari zat dari zat toksik dengan memberikan asam ursodeoksikolat 310
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis peroral misal : urdafalk
b) Terapi nutrisi yang bertujuan untuk memungkinkan anak untuk bertumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin yaitu:
 Pemberian makanan yang mengandung middle chain triglycerides(MCT) untuk mengatasi
malabsorpsi lemak. Contoh : susu pregestinil dan pepti yunior
 Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak.
 Dan pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus
dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif
dapat dikurangi.
c) Terapi Bedah
Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan maka segera dilakukan intervensi bedah
Portoenterostomi terhadap atresia bilier yang Correktable yaitu tipe I dan II. Pada atresia bilier
yang Non Correktable terlebih dahulu dilakukan laparatomi eksplorasi untuk menentukan potensi
duktus bilier yang ada di daerah hilus hati dengan bantuan Frozen section. Bila masih ada duktus
bilier yang paten maka dilakukan operasi kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus bilier yang
paten tetap dikerjakan operasi kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita (tujuan
jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan transplantasi hati (tujuan jangka panjang).
Pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus dilaksanakan
dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.
d) Pemeriksaan diagnostik
 Darah lengkap dan fungsi hati
Pada pemeriksaan laboratorium ini menunjukkan adanya hiperbilirubinemia direk, serta
peningkatan kadar serum transaminase, fosfatase alkali, dan gamma glutamil transpeptidase yang
dapat membantu diagnosis atresia bilier pada tahap awal.
 Pemeriksaan urine
Pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang mengalami ikterus, tetapi urobilin
dalam urine negative, hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
 Pemeriksaan feces
Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja/stercobilin dalam tinja berkurang
karena adanya sumbatan.
 Biopsi hati
Untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan dengan pengambilan
jaringan hati.
 USG abdomen
Menunjukkan kandung empedu yang kecil atau tidak sama sekali, adanya tanda Triangular cord
sangat sensitive menunjukkan adanya atresia bilier.

2. Keperawatan
Terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia
bilier. Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi
tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien. Segera
pembedahan portoenterestomi asuhan keperawatannya serupa dengan yang dilakukan pada setiap
pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan meliputi pemberian obat dan
terapi gizi yang benar termasuk penggunaan formula khusus, suplemen vitamin serta mineral,
terapi nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus menjadi persoalan signifikan namun dapat
dikurangi dengan obat atau tindakan seperti mandi rendam dan memotong kuku jari tangan.
Anak-anak dan keluarga memerlukan dukungan psikososial khusus. Prognosis yang tidak
pasti, gangguan rasa nyaman, dan penantian untuk tranpalantasi dapat menimbulkan stress yang
cukup besar. Perawatan yang lama di rumah sakit, terapi farmakologis dan nutrisi dapat
membawa beban financial yang besar pada keluarga.

2.8 Komplikasi
 Cirosis
Terjadi akibat obstuksi beliar yang kronis dan infeksi ( konlongitis ) dan berakibat terjadinya
jaringan parut disekitar hati dan empedu
 Gagal Hati
Gangguan fungsi hati yang tampak adalah terjadinya pruritus akibat retensi garam- garam
empedu
 Gagal tumbuh
Penurunan imunitas serta penyerapan nutrisi penting serta tingginya motebolisme pada atresia
mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak
 Hipertensi Portal
Aliran darah yang melewati hati terganggu ( rusak ) meningkatkan tekanan darah yang melewati
vena vortal , diikuti oleh penumpukan cairan dirongga abdomen mengakibatkan volume
intravena menurun dan ginjal melepas renin yang meningkatkan skeresi hormon aldesteron oleh
kelenjar adrenal yang selanjutnya membuat ginjal menahan natriun dan air dalam upaya unruk
menggembalikan volume intravaskuler dalam keadaan normal.
 Varisis Esofagus
Berkaitan dengan peningkatan vena portal darah dari taraktus intestinal dan limpa akan mencari
jalan keluar melalui sirkulasi kolateral (lintasan baru untuk kembali keatrium kanan) akibat
peningkatan tekanan khususnya dalam pembuluh darah pada lapisan sub mukosa esophagus
bagian bawah dan lambung bagian atas, pembuluh pembuluh kolateral ini tidak begitu elastic 9
rapuh dan mudah mengalami perdarahan.

2.9 Prognosis
Artesia biliear yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan sisrosis progresif dan
kematian pada sebagian besar anak usia dua tahun. Prosedur kasai benar-benar dapat
memperbaiki prognosis namun bukan tindakaan yang menyembuhkan. Kerap kali drainase getah
empedu dapat dicapai jika pembedahan dilakukaan sebelum saluran empedu intrahepatik
mengalami kerusakan yang biasanya terjadi pada usia 8 tahun.
Bila oprasi dilakukan pada usia kurang dari 8 minggu maka angka keberhasilannya 71-
86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia lebih dari 8 minggu maka angka
keberhasilanya hanya 34-43,6 %.
Bila operasi kasai dilakukan pada usia 1-60 hari, 61-70 hari, 71-90 hari, dan lebih dari 90
hari maka masing-masing akan emberikan keberhasilan hidup sebesar 73%, 35%,23%, dan 11%.
Sedangkan bila operasi tidak dilakukan maka angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10 %, dan
meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Jadi factor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi
adalah usia saat dilakukan operasi lebih dari 60 hari. ( Wong, Donna L.2008)

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

1.1 PENGKAJIAN
a. Biodata : Usia bayi, jenis kelamin
b. Keluhan utama : jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan
c. Riwayat penyakit dahulu : apakah ibu pernah terinfeksi virus seperti rubella
d. Riwayat penyakit sekarang : jaundice, tinja warna pucat, distensi abdomen, hepatomegali,
lemah, pruritus, bayi tidak mau minum, letargi
e. Pemeriksaan Fisik
1. BI : sesak nafas, RR meningkat
2. B2: takikardi, berkeringat, kecenderungan perdarahan (kekurangan vitamin K)
3. B3: gelisah atau rewel
4. B4: urine warna gelap dan pekat
5. B5: distensi abdomen, kaku pada kuadran kanan, asites, feses warna pucat, anoreksia, mual,
muntah, regurgitasi berulang, berat badan menurun, lingkar perut 52 cm
6. B6: ikterik pada sclera kulit dan membrane mukosa, kulit berkeringat dan gatal(pruritus), oedem
perifer, kerusakan kulit, otot lemah
f. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
 Bilirubin direk dalam serum meninggi
 nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl
 Bilirubin indirek serum meninggi karena kerusakan parenkim hati akibat bendungan empedu yang
luas
 Tidak ada urobilinogen dalam urine
 Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase (5-20 kali lipat nilai
normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol)
2. Pemeriksaan diagnostik
 USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab kolestasis ekstra hepatic (dapat berupa
dilatasi kristik saluran empedu)
 Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan duodenum di aspirasi. Jika tidak
ditemukan cairan empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
 Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati memproduksi empedu dan
mengekskresikan ke saluran empedu sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak ditemukan
empedu di duodenum, maka dapat berarti terjadi katresia intra hepatik
 Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler. Kandung empedu
mengecil karena kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas
1.2 Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan absorbsi nutrient yang buruk, mual muntah
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam jaringan
dtandai dengan adanya pruritus
4. Risiko perubahan pertumbuhan dan perkembangan (gagal tumbuh) berhubungan dengan
penyakit kronis
5. Risiko ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen

1.3 Intervensi Keperawatan


DX Tujuan Tindakan Rasional
I Bayi akan  Memantau asupan dan
mempertahankan  Memungkinan evaluasi
keseimbangan cairan dan elektrolit cairan bayi keseimbangan cairan
yang ditandai dengan pengisian perjam(cairan infuse, bayi dan tindakan
kembali dengan kapiler kurang dari 3 susu per NGT, atau lebih lanjut
detik, turgor kulit baik, produksi urine jumlah ASI yang
1-2ml/kgBB/jam diberikan, (timbang
popok)  Mengetahui kadar PH
feces untuk
 Periksa feses tiap hari menentukan absorbsi
lemak dan
karbohidrat bayi. (PH
normal 7-7,5)

 Untuk mendeteksi
asites

 Memantau lingkar perut


bayi setiap hari  Tanda dehidrasi
mengindikasikan
 Observasi tanda-tanda intervensi segera
dehidrasi (oliguria, dalam mengatasai
kuilt kering, turgor kekurangan cairan
kulit buruk, ubun-ubun pada bayi
dan mata cekung
 Mengevaluasi
 Kolaborasi untuk
keseimbangan dan
pemeriksaan elektrolit,
elektrolit
kadar protein total,
albumin, nitrogen urea
darah dan kreatinin
serta darah lengkap

II 
Bayi akan menunjukkan peningkatan Ukur masukan  Memberikan informasi
diet
berat badan progresif mencapai tujuan harian (MCT) tentang kebutuhan
dengan nilai laboratorium normal pemasukan/defisiensi

 Mungkin sulit untuk


menggunakan berat
 Timbang sesuai badan sebagai
indikasi. Bandingkan indicator langsung
perubahan status status nutrisi karena
cairan, riwatyat berat ada gambaran
badan edema/asites

 Pasien cenderung
mengalami
luka/perdarahan gusi
 Berikan perawatan dan rasa tak enak
mulut sering pada mulut dimana
menambah anoreksia
 Mencegah kulit kering
berlebihan dan
memberikan
penghilang rasa gatal

 Mandikan dengan air


 Kelembapan
III Bayi akan mempertahankan hangat sehari dua kali meningkatkan
kelembapan kulit yang ditandai dan di olesi baby pruritus dan resiko
dengan kulit tidak kering, tidak ada cream kerusakan kulit
pruritus, jaringan kulit utuh dan bebas
 Pengubahan posisi
lecet
menurunkan tekanan
 Pertahankan sprei
pada jaringan dan
kering dan bersih
untuk memperbaiki
sirkulasi

 Mencegah dari cidera


 Rubah posisi tidur
tambahan pada kulit
sesuai jadwal
khususnya bila tidur

 Antihistamin dapat
mengurangi rasa gatal

 Gunting kuku jari


hingga pendek, berikan
sarung tangan bila
memungkinkan

 Berikan obat sesuai


indikasi (antihistamin)
IV  Berikan stimulus pada
Bayi akan bertumbuh dan berkembang  Stimulasi bayi yang
secara normal yang ditandai dengan bayi yang menekankan terencana membantu
mencapai tahap pertumbuhan dan pencapaian tahap-tahap penting
perkembangan yang sesuai keterampilan motorik dalam perkembangan
kasar dan membantu
orangtua memiliki
ikatan dengan bayi

 Dapat menghilangkan
stress pada orangtua
 Jelaskan pada orangtua yang menghadapi
bahwa bayi mereka masalah dan
dapat saja tidak memberikan
mencapai tahap-tahap informasi penting
penting perkembangan tentang cara-cara
dengan kecepatan yang menstimulasi
sama seperti pada bayi perkembangan
sehat
 Mengelompokkan
intervensi
 Sedapat mungkin memungkinkan bayi
lakukan intervensi beristirahat tanpa
secara berkelompok gangguan, istirahat
diperlukan untuk
tahap tumbuh
kembang bayi
V 
Bayi akan mempertahankan pola nafas Awasi frekuensi, Pernafasan dangkal,
efektif, bebas dispneu dan sianosis, kedalaman, dan upaya cepat/dispneu
dengan nilai GDA dan kapasitas vital pernafasan mungkin ada
dalam rentang normal hubungan hipoksia
atau akumulasi cairan
dalam abdomen

 Menunjukan
terjadinya komplikasi
 Auskultasi bunyi nafas (contoh adanya bunyi
krekles, mengi dan tambahan
ronchi menunjukan
akumulasi
cairan/sekresi)
meningkatkan resiko
infeksi
 Perubahan mental
dapat menunjukkan
hipoksia dan gagal
 Observasi perubahan nafas
tingkat kesadaran
 Memudahkan
pernafasan dengan
 Berikan posisi kepala menurunkan tekanan
bayi lebih tinggi pada diagfragma

 Untuk mencegah
hipoksia
 Berikan tambahan O2
sesuai indikasi  Mengetahui perubahan
status pernafasan dan
 Kolaborasi untuk terjadinya komplikasi
pemeriksaan GDA paru
BAB IV
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Atresia billier merupakan obliterasi atau hipoflasi satu komponen atau lebih dari duktus
biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan
hati yang bervariasi dari stasis empedu sampai sirosis billliaris dengan spenomegali bila berlanjut
menjadi hipertensi porta.
Tujuan dari pengobatan atresia billier adalah untuk membuat suatu lintasan bagi empedu
bila tidak dilakukan penatalaksanaan secara memadai maka prognosis akan buruk dan kematian
akan terjadi dalam 2 tahun kehidupan.
Perawatan pra bedah dan pasca bedah dilakukan sesuai dengan jenis pada umumnya. Hal
penting lain adalah dukungan bagi orangtua. Orangtua harus mendapat penjelasan secara detail
dengan bahasa yang mudah dipahami oleh mereka, serta diberikan dorongan unutk menangani
dan merawat anak karena prognosis sering kali buruk maka mereka juga memerlukan dukungan
emosional yang besar.

5.2 SARAN

Kita sebagai perawat sebaiknya dapat memahami dan mengaplikasikan segala sesuatu yang
terjadi tentang penyakit Atresia Bilier yang telah dibahas pada makalah ini agar dapat tercipta
perawat yang profesional dalam menerapkan asuhan keperawatan secara komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3, Jakarta : EGC
DSA Gulton, Eric. 1994. Ikhtisar Penyakit Anak jilid I. Jakarta : Binarupa Aksara
Ringoringo, Parlin. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:
RS Dr. Cipto Mangunkusumo
R. Taylor, Clive dan Candrasuma Parakrama. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi Edisi 2. Jakarta :
EGC
Suddarth dan Brunner. 2001. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta : EGC
Suriadi dan Yulianni Rita. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2. Jakarta : Penebar Swadaya
Sodikin. 2007. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistim Gastrointestinal Dan Hepatobilier. Salemba
Medika
-----, 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong Edisi 6 Volume 2, Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.

Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis proses-proses
penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.

Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.


Search

Sakinah Sehat Kreatif


Manisnya Berbagi, Indahnya Memberi, We Care We Share!

 Home
 Kumpulan Askep
 Dunia Perawat
 Melancong
 Pojok Islami
 Cuap-Cuap
 Recomended Blog »

Atresia Bilier

14:49 Perawat 1 comment


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Bilier


Sistem bilier terdiri dari organ-organ dan saluran (saluran empedu, kandung empedu, dan
struktur terkait) yang terlibat dalam produksi dan transportasi empedu.berikutini urutan
transportasi empedu:

1. Ketika sel-sel hati mengeluarkan empedu, dikumpulkan oleh sistem saluran yang
mengalir dari hati melalui saluran hati kanan dan kiri.
2. Saluran ini akhirnya mengalir ke saluran hepatik umum.
3. Duktus hepatika kemudian bergabung dengan duktus sistikus dari kandung empedu untuk
membentuk saluran empedu umum, yang berlangsung dari hati ke duodenum (bagian
pertama dari usus kecil).
4. Sekitar 50% dari empedu yang dihasilkan oleh hati yang pertama disimpan di kantong
empedu, organ berbentuk buah pir yang terletak tepat di bawah hati.
5. Ketika makanan dikonsumsi, kontrak kandung empedu dan rilis disimpan empedu ke
duodenum untuk membantu memecah lemak.

Fungsi utama sistem bilier yang meliputi:

a. untuk mengeringkan produk limbah dari hati ke duodenum


b. untuk membantu dalam pencernaan dengan pelepasan terkontrol empedu

Empedu merupakan cairan kehijauan-kuning (terdiri dari produk-produk limbah, kolesterol, dan
garam empedu) yang disekresikan oleh sel-sel hati untuk melakukan dua fungsi utama, termasuk
yang berikut:

a. untuk membawa pergi limbah


b. untuk memecah lemak selama pencernaan

Garam empedu adalah komponen aktual yang membantu memecah dan menyerap lemak.
Empedu, yang dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk kotoran, adalah apa yang memberikan
kotoran warna gelapnya coklat (Tim Ohio State University,2011)

2.2 Definisi Atresia Billier


Atresia billier merupakan obstruksi total aliran getah empedu yang disebabkan oleh destruksi
atau tidak adanya sebagian saluran empedu ekstrahepatik. Keadaan ini terjadi pada 1:10.000
kelahiran hidup. Atresi billier merupakan satu-satunya penyebab kematian karena penyakit hati
pada awal usia kanak-kanak (akibat sirosis billier yang bersifat progresif dengan cepat) dan 50-
60% anak-anak yang dirujuk untuk menjalan transplantasi hati merupakan pasien atresia billier.
(Hull, 2008).
Atresia billier merupakan suatu penyakit yang didapat pada kehidupan pascanatal dini akibat
percabangan saluran billier yang sebelumnya paten menjadi sklerotik. Atresia bilier adalah suatu
keadaan dimana tidak adanya lumen pada traktus bilier ekstrahepatik yang menyebabkan
hambatan aliran empedu. Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi yang berkepanjangan
yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga terjadi
hambatan aliran empedu (kolestasis), akibatnya di dalam hati dan darah terjadi penumpukan
garam empedu dan peningkatan bilirubin direk.

2.3 Klasifikasi Atresia Billier


Menurut anatomis atresia billier ada 3 tipe:

a. Tipe I Atresia sebagian atau totalis yang disebut duktus hepatikus komunis, segmen
proksimal paten
b. Tipe IIa Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus billiaris komunis, duktus sistikus,
dan kandung empedu semuanya)
c. Tipe IIb Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus,
kandung empedu normal
d. Tipe III Obliterasi pada semua system duktus billier ekstrahepatik sampai ke hilus

Tipe I dan II merupakan jenis atresia yang dapat di operasi (correctable) sedangkan tipe III
adalah bentuk atresia yang tidak dapat di operasi (non correctable), bila telah terjadi sirosis maka
dilakukan transpalantasi hati.

2.4 Etiologi
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli menyatakan bahwa
faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi 17, 18
dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar
penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang merusak duktus
bilier, bisa karena infeksi atau iskemi.
Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk janin atresia bilier, seringkali memiliki cacat
lahir lainnya di jantung, limpa, atau usus.Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia bilier bukan
merupakan penyakit keturunan.Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar identik,
dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut.Atresia bilier kemungkinan besar
disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama hidup janin atau sekitar saat kelahiran.
Kemungkinan yang "memicu" dapat mencakup satu atau kombinasi dari faktor-faktor
predisposisi berikut(Richard, 2009) :

a. Infeksi virus atau bakteri


b. Masalah dengan sistem kekebalan tubuh
c. Komponen yang abnormal empedu
d. Kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu
e. Hepatocelluler dysfunction

2.5 Manifestasi Klinis Atresia Billier

1. Ikterus timbul sejak lahir, tetapi dapat tidak nyata sampai beberapa minggu pertama. Urin
menjadi gelap dan tinja akolik. Abdomen secara bertahap menjadi terdistensi oleh hepar
yang membesar atau asites. Akhirnya, limpa juga membesar. Ikterus karena peninggian
bilirubin direk. Ikterus yang fisiologis sering disertai dengan peninggian bilirubin yang
konyugasi. Dan harus diingat peninggian bilirubin yang tidak konyugasi jarang sampai 2
minggu.
2. Kolestasis neonatal terlihat pada bayi dengan berat lahir normal dan meningkat
pascanatal. Jika tidak diatasi (dengan transplantasi hati) kematian terjadi dalam waktu 2
tahun sejak bayi dilahirkan.
3. Bayi-bayi dengan Atresia bilier biasanya lahir dengan berat badan yang normal dan
perkembangannya baik pada minggu pertama.
4. Hepatomegali akan terlihat lebih awal.
5. Splenomegali sering terjadi, dan biasanya berhubungan dengan progresivitas penyakit
menjadi Cirrhosis hepatis dan hipertensi portal.
6. Pasien dengan bentuk fetal /neonatal (sindrom polisplenia/asplenia) pertengahan liver
bisa teraba pada epigastrium.
7. Adanya murmur jantung pertanda adanya kombinasi dengan kelainan jantung.
8. Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk pemecahan dari
hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang dalam
urin.
9. Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin yang masuk ke
dalam usus untuk mewarnai feses. Juga, perut dapat menjadi bengkak akibat pembesaran
hati.
10. Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat
11. Degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan jaundice, ikterus, dan hepatomegali,
Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan lemak yang larut dalam air sehingga
menyebabkan kondisi malnutrisi, defisiensi lemak larut dalam air serta gagal tumbuh.

Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
1. Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan malnutrisi.
2. Gatal-gatal
3. Rewel

2.6 Patofisiologi Atresia Billier


Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan
progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu, dan
tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik
juga menyebabkan obstruksi aliran empedu.

Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang


disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi
total dapat disertai tinja yang alkoholik. Penyebab tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah
: sumbatan batu empedu pada ujung bawah ductus koledokus, karsinoma kaput pancreas,
karsinoma ampula vateri, striktura pasca peradangan atau operasi.

Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu dari
hati ke kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan menyebabkan cairan
empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati. Dan apabila
asam empedu tertumpuk dapat merusak hati.Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrhosis.
Kemudian terjadi pembesaran hati yang menekan vena portal sehingga mengalami hipertensi
portal yang akan mengakibatkan gagal hati.

Jika cairan empedu tersebar ke dalam darah dan kulit, akan menyebabkan rasa gatal. Bilirubin
yang tertahan dalam hati juga akan dikeluarkan ke dalam aliran darah, yang dapat mewarnai
kulit dan bagian putih mata sehingga berwarna kuning.

Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegaly.Karena tidak
ada aliran empedu dari hati ke dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi,
kekurangan vitamin larut lemak yaitu vitamin A, D,E,K dan gagal tumbuh.

Vitamin A, D, E, K larut dalam lemak sehingga memerlukan lemak agar dapat diserap oleh
tubuh. Kelebihan vitamin-vitamin tersebut akan disimpan dalam hati dan lemak didalam tubuh,
kemudian digunakan saat diperlukan. Tetapi mengkonsumsi berlebihan vitamin yang larut dalam
lemak dapat membuat anda keracunan sehingga menyebabkan efek samping seperti mual,
muntah, dan masalah hati dan jantung.

Patofisiologi dari Atresia biliaris masih sulit dimengerti, penelitian terakhir dikatakan kelainan
kongenital dari sistim biliris. Masalah ontogenesis hepatobilier dicurigai dengan bentuk atresia
bilier yang berhubungan dengan kelainan kongenital yang lain. Walaupun yang banyak pada tipe
neonatal dengan tanda khas inflamasi yang progresif, dengan dugaan infeksi atau toksik agen
yang menyebabkan obliterasi duktus biliaris.

Pada tipe III : yang sering terjadi adalah fibrosis yang menyebabkan obliterasi yang komplit
sebagian sistim biliaris ekstra hepatal. Duktus biliaris intra hepatal yang menuju porta hepatis
biasanya pada minggu pertama kehidupan tampak paten tetapi mungkin dapat terjadi kerusakan
yang progresif.Adanya toksin didalam saluran empedu menyebabkan kerusakan saluran empedu
extrahepatis. Identifikasi dari aktivitas dari inflamasi dan kerusakan Atresia sistim bilier
ekstrahepatal tampaknya merupakan lesi yang didapat.

Walaupun tidak dapat didentifikasi faktor penyebab secara khusus tetapi infeksi merupakan
faktor penyebab terutama isolasi dari atresia bentuk neonatal.Banyak penelitian yang
menyatakan peninggian titer antibodi reovirus tipe 3 pada penderita atresia biliaris dibandingkan
dengan yang normal. Virus yang lain yang sudah diimplikasi termasuk rotavirus dan Cytomegali
Virus(CMV)

2.7 WOC (terlampir)

2.8 Pemeriksaan Diagnostik


a)Laboratorium: Pemeriksaan darah ,urine dan feses untuk menilai fungsi hati dengan peninggian
bilirubin
b) Biopsi liver : Dengan jarum yang khusus dapat diambil bagian liver yang tipis dan dibawah
mikroskop dapat dinilai obstruksi dari sistim bilier.
c) Imejing

1) USG

a. Hati dapat membesar atau normal dengan struktur parenhim yang inhomogen dan
ekogenitas yang tinggi tertama daerah periportal akibat fibrosis
b. Nodul-nodul cirrhosis hepatis
c. Tidak terlihat vena porta perifer karena fibrosis
d. Tidak terlihat pelebaran duktus biliaris intra hepatal
e. Triangular cord didaerah porta hepatis: daerah triangular atau tubular ekogenik lebih
spesifik untuk atresia bilier extra hepatal
f. Kandung empedu tidak ada atau mengecil dengan panjang <1.5 cm . Kandung empedu
biasanya lebih kecil dari 1,9 cm,dinding yang tipis atau tidak terlihat ,ireguler dengan
kontur yang lobuler(gall bladder ghost triad), kalau ada gambaran ini dikatakan
sensitivitas 97 % dan spesifisitas 100%.
g. Gambaran kandung empedu yang normal (panjang >1,5 cm dan lebar >4 cm ) dapat
terlihat sekitar 10 % kasus.
h. Tanda hipertensi portal dengan terlihatnya peningkatan ekogenitas daerah periportal.
i. kemungkinan dengan kelainan kongenital lain seperti: Situs inversus, Polisplenia

2) Skintigrafi : HIDA scan


Radiofarmaka (99m TC )- labeled iminodiasetic acid derivated sesudah 5 hari dari intake
phenobarbital , ditangkap oleh hepar tapi tidak dapat keluar kedalam usus ,karena tidak dapat
meliwati sistim bilier yang rusak.Tes ini sensitif untuk atresia bilier (100%)tapi kurang spesifik
(60 %) . Pada keadaan Cirrhosis penangkapan pada hepar sangat kurang

3) Kholangiografi

1. Intra operatif atau perkutaneus kholangiografi melalui kandung empedu yang


terlihat : Gambaran atresia bilier bervariasi dan pengukuran dari hilus hepar jika
atresia dikoreksi secara pembedahan dengan menganastomosis duktus biliaris yang
intake
2. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) dengan menyuntik
senyawa penontras dapat dilihat langsung keadaan duktus biliaris ekstra hepatal
seperti obstruksi duktus kholedokus dan dapat melihat distal duktus biliaris ekstra
hepatal distal dari duktus hepatikus komunis, serta dapat melihat kebocoran dari
sistim bilier ekstra hepatal daerah porta hepatisMRI
3. MRI

 MRCP : dapat melihat dengan jelas duktus biliaris ekstrahepata untuk menentukan
ada tidaknya atresia billier
 Peninggian sinyal daerah periportal pada T2 weighted images

4. Intubasi duodenum
Jarang dilakukan untuk diagnosis Atresia bilier. Nasogastrik tub diletakkan didistal
duodenum.tidak adanya bilirubin atau asam empedu ketika diaspirasi menunjukkan
kemungkinan adanya obstruksi.

2.9 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis

1. Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk


a) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu dengan
memberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis peroral misal : luminal
b) Melindungi hati dari zat dari zat toksik dengan memberikan asam ursodeoksikolat 310
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis peroral misal : urdafalk

1. Terapi nutrisi yang bertujuan untuk memungkinkan anak untuk bertumbuh dan
berkembang seoptimal mungkin yaitu:

a) Pemberian makanan yang mengandung middle chain triglycerides(MCT)untuk mengatasi


malabsorpsi lemak. Contoh : susu pregestinil dan pepti yunior
b) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak.
c) Dan pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus
dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif
dapat dikurangi.

3. Terapi Bedah
Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan maka segera dilakukan intervensi bedah
Portoenterostomi terhadap atresia bilier yang Correktable yaitu tipe Idan II. Pada atresia bilier
yang Non Correktable terlebih dahulu dilakukan laparatomi eksplorasi untuk menentukan potensi
duktus bilier yang ada di daerah hilus hati dengan bantuan Frozen section. Bila masih ada duktus
bilier yang paten maka dilakukan operasi kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus bilier yang
paten tetap dikerjakan operasi kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita (tujuan
jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan transplantasi hati (tujuan jangka panjang).
Pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus dilaksanakan
dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.

Operasi

1. Kasai prosedur : tujuannya untuk mengangkat daerah yang mengalami atresia dan
menyambung hepar langsung ke usus halus sehingga cairan empedu dapat lansung
keluar ke usus halus disebut juga Roux-en-Y hepatoportojejunostomy
2. Transplantasi hati : Dilakukan pada keadaan Kasai prosedur tidak berhasil , atresia
total atau dengan komplikasi cirhosis hepatis

2.10 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.Pada pemeriksaan perut,
hati teraba membesar.Pemeriksaan yang biasa dilakukan:

1. Pemeriksaan darah (terdapat peningkatan kadar bilirubin)


2. USG perut
3. Rontgen perut (tampak hati membesar)
4. Kolangiogram
5. Biopsi hati
6. Laparotomi (biasanya dilakukan sebelum bayi berumur 2 bulan).
2.11Komplikasi Atresia Billier
Komplikasi yang dapat terjadi pada atresia biliaris adalah:

1. Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal


empedu keluar hati dan kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan
menyebabkan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema,
degenerasi hati. Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrhosis. Dan hipertensi portal
sehingga akan mengakibatkan gagal hati.

3. Progresif serosis hepatis trjadi jika aliran hanya dapat dibuka sebagian oleh prosedur
pembedahan, permasalahan dengan pendarahan dan penngumpalan.

4. Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegaly.

5. Karena tidak ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat
diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak dan gagal tumbuh.

6. Hipertensi portal

7. Pendarahan yang mengancam nyawa dari pembesaran vena yang lemah di esofaguc dan
perut, dapat menyebabkan Varises Esophagus.

8. Asites merupakan akumulasi cairan dalam kapasitas abdomen yang disebabkan


penurunan produksi albumin dalam protein plasma.

9. Komplikasi Pasca Bedah: yakni “kolangitis menaik”. Tanda-tanda kolangitis menaik


adalah : badan panas, tampak iterik, perut membuncit, leukositosis, anemia, peningkatan
LED, GOT dan GPT, serta bilirubin darah. Kolangitis menaik dibagi 2:Kolangitis menaik
dini (early ascending cholangitis). Hal ini bias berakibat fatal bila terjadi.Kolangitis
menaik lambat (late cholangitis). Hal ini tidak bersifat fatal, tetapi hamper selalu terjadi
pada pasca operasi.Cara mencegah kolangitis menaik adalah dengan modifikasi kimura
pada tekhnik operasi Kasai I (Halimun, EM, 1983).

2.12 Prognosis
Harapan hidup pasien yang tidak diobati adalah 18 bulan.Progresi fibrosis hepatic sering terjadi
walaupun sudah mendapat terapi bedah paliatif, meskipun 30 – 50 % pasien mungkin tetap
anikterik.Angka harapan hidup transplantasi jangka pendek sekitar 75 %.

Menurut Carlassone & Bensonsson (1977) menyatakan bahwa operasi atresia biliaris tipe
“noncorrectable” adalah buruk sekali sebelum adanya operasi Kasai, tapi sampai sekarang hanya
sedikit penderita yang dapat disembuhkan. Bila pasase empedu tidak dikoreksi, 50 % anak akan
meninggal pada tahun pertama kehidupan, 25 % pada tahun ke dua, dan sisanya pada usia 8-9
tahun. Penderita meninggal akibat kegagalan fungsi hati dan sirosis dengan hipertensi portal
(koop, 1976).
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian

a. Biodata : Usia bayi, jenis kelamin

b. Keluhan utama : jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan

c. Riwayat penyakit dahulu : apakah ibu pernah terinfeksi virus seperti rubella

d. Riwayat penyakit sekarang : jaundice, tinja warna pucat, distensi abdomen, hepatomegali,
lemah, pruritus, bayi tidak mau minum, letargi

e. Pemeriksaan Fisik

1. BI : sesak nafas, RR meningkat


2. B2: takikardi, berkeringat, kecenderungan perdarahan (kekurangan vitamin K)
3. B3: gelisah atau rewel
4. B4: urine warna gelap dan pekat
5. B5: distensi abdomen, kaku pada kuadran kanan, asites, feses warna pucat,
anoreksia, mual, muntah, regurgitasi berulang, berat badan menurun, lingkar perut
52 cm
6. B6: ikterik pada sclera kulit dan membrane mukosa, kulit berkeringat dan
gatal(pruritus), oedem perifer, kerusakan kulit, otot lemah

f. Pemeriksaan Penunjang
g. Laboratorium

a. Bilirubin direk dalam serum meninggi


b. nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl
c. Bilirubin indirek serum meninggi karena kerusakan parenkim hati akibat bendungan
empedu yang luas
d. Tidak ada urobilinogen dalam urine
e. Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase (5-20 kali
lipat nilai normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol)

Pemeriksaan diagnostik
a. USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab kolestasis ekstra hepatic (dapat
berupa dilatasi kristik saluran empedu)
b. Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan duodenum di aspirasi.
Jika tidak ditemukan cairan empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
c. Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati memproduksi
empedu dan mengekskresikan ke saluran empedu sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak
ditemukan empedu di duodenum, maka dapat berarti terjadi katresia intra hepatic
d. Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler. Kandung
empedu mengecil karena kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas

Tahap Tumbuh Kembang umur 6-9 Bulan

1. Duduk (sikap tripoid-sendiri)


2. Belajar berdiri, kedua kakinya menyangga sebagian berat badan
3. Merangkak meraih mainan atau mendekati seseorang
4. Memindahkan benda dari tangan satu ke tangan lainnya
5. Memungut dua benda, masing-masing tangan pegang satu benda pada saat yang
bersamaan
6. Memungut benda sebesar kacang dengan cara meraup
7. Bersuara tanpa arti, misalnya ,mamama, bababa, papapa
8. Mencari benda/mainan yang dijatuhkan
9. Bermain tepuk tangan atau ciluk ba
10. Bergembira dengan melempar benda
11. Makan kue sendiri

Umur 9-12 bulan

1. Mengangkat badannya ke posisi berdiri


2. Belajar berdiri selama 30 detik atau berpegangan di kursi
3. Dapat berjalan dengan di tuntun
4. Mengulurkan lengan/badan untuk meraih mainan/gambar yang diinginkan
5. Menggenggam erat pensil
6. Memasukkan benda ke mulut
7. Mengulang menirukan bunyi yang didengar
8. Menyebut 2-3 suku kata yang sama tanpa arti
9. Mengeksplorasi sekitar, ingin tahu, ingin menyentuh apa saja
10. Bereaksi terhadap suara perlahan/bisikan
11. Senang diajak bermain “ ciluk ba”
12. Mengenal anggota keluarga, takut kepada orang yang belum dikenal

Umur 12-18 bulan

1. Berdiri sendiri tanpa berpegangan


2. Membungkuk memungut mainan kemudian berdiri kembali
3. Berjalan mundur 5 langkah
4. Memanggil ayah dengan kata “papa”, memanggil ibu dengan kata “mama”.
Tergantung mengajarinya, kalau diajari memanggilnya “ayah” ya akan dipanggil
“ayah.
5.

3. Diagnosa Keperawatan

1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan absorbsi nutrient yang buruk, mual
muntah
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual
muntah
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam jaringan
dtandai dengan adanya pruritus
4. Risiko perubahan pertumbuhan dan perkembangan (gagal tumbuh) berhubungan dengan
penyakit kronis
5. Risiko ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen

3. Intervensi Keperawatan

DX Tujuan Tindakan Rasional


1. Memantau asupan dan 1. Memungkinan
cairan bayi perjam(cairan evaluasi
infuse, susu per NGT, atau keseimbangan
jumlah ASI yang cairan bayi dan
diberikan, (timbang tindakan lebih
popok) lanjut
2. Mengetahui kadar
PH feces untuk
Bayi akan mempertahankan
menentukan
keseimbangan cairan dan
2. Periksa feses tiap hari absorbsi lemak
elektrolit yang ditandai
dan karbohidrat
dengan pengisian kembali
I bayi. (PH normal
dengan kapiler kurang dari 3
7-7,5)
detik, turgor kulit baik,
3. Untuk mendeteksi
produksi urine 1-
asites
2ml/kgBB/jam
4. Tanda dehidrasi
mengindikasikan
3. Memantau lingkar perut intervensi segera
bayi setiap hari dalam mengatasai
kekurangan cairan
4. Observasi tanda-tanda pada bayi
dehidrasi (oliguria, kuilt
kering, turgor kulit buruk,
ubun-ubun dan mata
cekung 5. Mengevaluasi
keseimbangan dan
elektrolit

5. Kolaborasi untuk
pemeriksaan elektrolit,
kadar protein total,
albumin, nitrogen urea
darah dan kreatinin serta
darah lengkap

Bayi akan menunjukkan 1. Ukur masukan diet harian 1. Memberikan informasi


peningkatan berat badan (MCT) tentang kebutuhan
progresif mencapai tujuan pemasukan/Defisiensi
II
dengan nilai laboratorium
normal 2. Mungkin sulit untuk
menggunakan berat badan
sebagai indicator
langsung status nutrisi
2. Timbang sesuai indikasi. karena ada gambaran
Bandingkan perubahan edema/asites
status cairan, riwatyat 3. Pasien cenderung
berat badan mengalami
luka/perdarahan gusi dan
rasa tak enak pada mulut
dimana menambah
anoreksia

4. Mencegah kulit kering


3. Berikan perawatan mulut berlebihan dan
sering memberikan penghilang
rasa gatal

1. Kelembapan
meningkatkan
pruritus dan resiko
kerusakan kulit
Bayi akan
mempertahankan 4. Mandikan dengan air
kelembapan kulit yang hangat sehari dua kali dan
III
ditandai dengan kulit tidak di olesi baby cream 2. Pengubahan posisi
kering, tidak ada pruritus, menurunkan
jaringan kulit utuh dan bebas tekanan pada
lecet jaringan dan untuk
memperbaiki
1. Pertahankan sprei kering sirkulasi
dan bersih

3. Mencegah dari
cidera tambahan
pada kulit
2. Rubah posisi tidur sesuai khususnya bila
jadwal tidur

4. Antihistamin
dapat mengurangi
rasa gatal

3. Gunting kuku jari hingga


pendek, berikan sarung
tangan bila memungkinkan

4. Berikan obat sesuai


indikasi (antihistamin)
ü 1. Stimulasi bayi yang
terencana membantu
1. Berikan stimulus pada bayi tahap-tahap penting
yang menekankan pencapaian dalam perkembangan dan
keterampilan motorik kasar membantu orangtua
memiliki ikatan dengan
bayi

ü 2. Dapat
Bayi akan bertumbuh dan
menghilangkan stress
berkembang secara normal ü 2. Jelaskan pada orangtua
pada orangtua yang
yang ditandai dengan bahwa bayi mereka dapat
IV menghadapi masalah dan
mencapai tahap pertumbuhan saja tidak mencapai tahap-tahap
memberikan informasi
dan perkembangan yang penting perkembangan dengan penting tentang cara-cara
sesuai kecepatan yang sama seperti pada menstimulasi
bayi sehat perkembangan

ü 3. Mengelompokkan
intervensi memungkinkan
bayi beristirahat tanpa
ü 3. Sedapat mungkin lakukan
gangguan, istirahat
intervensi secara berkelompok
diperlukan untuk tahap
tumbuh kembang bayi

ü 1. Awasi frekuensi, kedalaman, ü 1. Pernafasan dangkal,


dan upaya pernafasan cepat/dispneu mungkin
ada hubungan hipoksia
atau akumulasi cairan
dalam abdomen

Bayi akan mempertahankan ü 2. Menunjukan


pola nafas efektif, bebas ü 2. Auskultasi bunyi nafas terjadinya komplikasi
V dispneu dan sianosis, dengan krekles, mengi dan ronchi (contoh adanya bunyi
nilai GDA dan kapasitas tambahan menunjukan
vital dalam rentang normal akumulasi cairan/sekresi)
meningkatkan resiko
infeksi
ü 3. Perubahan mental
dapat menunjukkan
hipoksia dan gagal nafas
ü 3. Observasi perubahan tingkat
kesadaran ü 4. Memudahkan
pernafasan dengan
menurunkan tekanan pada
diagfragma
ü 4. Berikan posisi kepala bayi
lebih tinggi 5. Untuk mencegah
Berikan tambahan O2 sesuai hipoksia
indikasi Mengetahui perubahan
status pernafasan dan
ü 5. Kolaborasi untuk terjadinya komplikasi
pemeriksaan GDA paru

BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS

Kasus semu
An. Y (laki-laki) berusia 2 bulan dibawa ke Rumah Sakit dengan keluhan mual, muntah, kulit
tampak berwarna kuning, tinja berwarna dempul, BAK berwarna seperti teh, perut membesar
dan selalu rewel. Dari hasil pemeriksaan diketahui adanya hipertensi vena porta, peningkatan
kadar bilirubin dan hasil Rontgen didapatkan adanya pembesaran hati. Kulit teraba hangat dan
tampak kuning di seluruh tubuh.Mata konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik.Perut tampak
buncit, hepar teraba 1/3-1/3 peinggir tajam, konsistensi padat keras, permukaan rata, nyeri tekan
tidak ada.Lien teraba S1.Perkusi timpani, shifting dullness positif, bising usus positif
normal.Ekstrimitas hangat, perfusi baik, ditemukan pitting edema. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang, sadar, TD 110/60 mmHg, nadi
130x/menit, RR 40x/menit, suhu tubuh 36,5oC, tinggi badan 70 cm, berat badan 5 kg.

ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian Anak
Anamnesa

b. Data Demografi klien :

Nama : An. Y
Usia : 2 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku / bangsa : Jawa/ Indonesia
Alamat : Surabaya
Agama :Islam
Tanggal MRS : 10 November 2014
Jam MRS : 14.00 WIB
Diagnosa : Atresia Billier

c. Identitas Penanggung Jawab :


Nama : Tn. G
Umur : 39 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pendidikan/ pekerjaan : SLTA/ wiraswasta
Hubungan dengan klien : ayah klien

d. Keluhan Utama

Ibu klien mengatakan anak Y mengalami mual muntah

e. Riwayat Penyakit Sekarang

Mual muntah, kulit tampak berwarna kuning, tinja berwarna dempul, BAK berwarna seperti teh,
perut membesar dan selalu rewel

f. Riwayat Penyakit sebelumnya : -

g. Riwayat Tumbuh Kembang anak :

Imunisasi : Hepatitis B-1 diberikan waktu 12 jam setelah lahir, BCG diberikan saat lahir, Polio
oral diberikan bersamaan dengan DTP

a. Status Gizi : Kekurangan gizi akibat gangguan penyerapan makanan terutama vitamin
larut lemak (A,D,E,K)
b. Tahap perkembangan anak menurut teori psikososial : Klien An. Y mencari kebutuhan
dasarnya seperti kehangatan, makanan dan minuman serta kenyamanan dari orang tua
sendiri.
c. Tahap kepribadian anak menurut teori psikoseksual : Klien An Y. menujukkan karakter
awal kepribadiannya dengan mengenali siapa yang mengasuhnya. Klien menyukai saat
digendong dan diayun-ayun Perilaku kegiatan motorik sederhana terkoordinasi, dengan
menggerakkan jari tangan, menggenggam ibu jari ibu yang berhubungan emosi dengan
orang tua, saudara dan orang lain.

h. Riwayat Kesehatan Keluarga:


a. Komposisi keluarga : Keluarga berperan aktif terutama ibu klien An. Y dalam
merawat klien.
b. Lingkungan rumah dan komunitas : Lingkungan di sekitar adalah perumahan
c. Kultur dan kepercayaan : -
d. Perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan : -
e. Persepsi keluarga tentang penyakit anak : cobaan Tuhan

Pemeriksaan Fisik

a. B1 (breath)
RR meningkat 40x/menit, Suhu (36.5°C), penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan cuping
hidung, napas pendek.

b. B2 (blood)

TD meningkat 110/60 mmhg, HR meningkat 130x/ menit (tachicardi).

c. B3 (brain)

gelisah (rewel)

d. B4 (bladder)

Perubahan warna urin dan feses


Urine : warna gelap seperti teh, pekat
Feses : warna pucat seperti dempul

e. B5 (bowel)

anoreksia, mual muntah, tidak toleran terhadap lemak dan makanan pembentuk gas,
regurgitasi berulang, dehidrasi, regurgitasi berulang, penurunan berat badan BB/TB (5 Kg/ 70
cm), distensi abdomen. Perut tampak buncit, hepar teraba 1/3-1/3 peinggir tajam, konsistensi
padat keras, permukaan rata, nyeri tekan tidak ada.Lien teraba S1.Perkusi timpani.

f. B6 (bone) :

Letargi/ kelemahan, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan, ikterik, kulit
berkeringat dan gatal (pruritus), jaundice, kerusakan kulit.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium

1. Bilirubin direk dalam serum meninggi. Normalnya (0,3 – 1,9 mg/dl)


2. Bilirubin indirek serum meninggi karena kerusakan parenkim hati akibat bendungan
empedu yang luas. Normalnya (1,7 – 7,1 mg/dl)
3. Tidak ada urobilinogen dalam urin.
4. Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase (5-
20 kali lipat nilai normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigliserol).

Pemeriksaan Diagnostik

1. USG yaitu untuk mengetahui kelainan kongenital penyebab kolestasis ekstrahepatik


(dapat berupa dilatasi kritik saluran empedu)
2. Memasukkan pipa lambung sampai duodenum lalu cairan duodenum diaspirasi. Jika
tidak ditemukan cairan empedu, dapat berarti atresia empedu terjadi.
3. Sintigrafi Radio Kolop Hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati memproduksi
empedu dan mengeksresikan ke saluran empedu dampai tercurah ke duodenum. Jika
tidak ditemukan empedu di duodenum, maka dapat terjadi atresia inrahepatik
4. Biopsi hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler. Kandung
empedu mengecil karena kolaps. 75 % penderita tidak ditemukan lumen yang jelas.

4.2 Analisis Data

No Data Etiologi Masalah Keperawatan


Pembesaran hepar
DS : -
DO : Penurunan turgor
Distensi abdomen
kulit
BAK berwarna seperti teh
Frekuensi nadi meningkat
1. Kekurangan volume cairan
> 115x/menit
Perut terasa penuh
Produksi keringat
meningkat
Mual muntah
Input = 700 ml/hr
Output = 1000 ml/hr
cairan banyak yang keluar
Obstruksi aliran dari hati ke
dalam usus
DS: Anoreksia, rewel,
mual/muntah. gangguan penyerapan lemak Gangguan pemenuhan
Do: dan vitamin larut lemak (A, D, Nutrisi kurang dari
2.
Berat badan turun (6 kg E, dan K) kebutuhan tubuh
menjadi 5 kg) muntah,
konjungtiva anemis.

Nutrisi kurang dari kebutuhan


cairan asam empedu balik ke
hati
Ds:-
Do:
Anak tampak tidak nyaman
itching dan akumulasi dari
dengan posisi tidurnya
toksik Kerusakan integritas kulit
3. Terdapat pruritus di daerah
pantat & punggung anak
Albumin 3,27 g/dL (N:3,8-
5,4)
tersebar ke dalam darah dan
kulit
Pruiritis (gatal) pd kulit
cairan asam empedu balik ke
hati

Peradangan sel hati

Hepatomegali (pembesaran
hepar)
DS : pasien terlihat sesak.
DO :
Penggunaan otot bantu
4. Pola napas tidak efektif
pernapasan
distensi abdomen
Napas pendek
menekan diafragma

peningkatan Komplain paru

Kebutuhan oksigen meningkat

Frekuensi napas meningkat


DS: Orang tua sering
menanyakan keadaan Kurang sumber informasi
5. anaknya Ansietas
DO: Orang tua tampak ansietas
gelisah dan bingung

4.3 Diagnosa Keperawatan

1. Kekurangan volume cairan b.d dengan mual dan muntah


2. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual
muntah, penurunan berat badan
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam jaringan,
ditandai dengan adanya pruritis.
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen
5. Ansietas berhubungan dengan minimnya informasi tentang penyakit akibat kurang
pengetahuan

4.4 Intervensi Keperawatan

1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah


Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan intake dan ouput cairan menjadi
seimbang.
Kriteria hasil :

a. Tanda-tanda vital stabil.


b. Turgor kulit membaik.
c. Pengisian kapiler nadi perifer kuat.
d. Haluaran urine individu sesuai.

Intervensi Rasional
1. Berikan cairan IV (biasanya
1. memberikan terapi cairan dan
glukosa) elektrolit.
penggantian elektrolit
2. Awasi nilai laboraturium, contoh
2. menunjukkan hidrasi dan
Hb/Ht, nat, albumin.
mengidentifikasikan retensi natrium/
kadar protei yang dapat
menimbulkan pembentukan edema.
3. indikator volume sirkulasi/ perfusi.

3. Kaji tanda-tanda vital, nadi perifer,


pengisian kapiler, turgor kulit.
4. memberikan informasi tentang
4. Awasi intake dan output,
kebutuhan penggantian cairan / efek
bandingkan dengan BB . misal
terapi.
muntah

2. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual
muntah, penurunan berat badan

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pola
nutrisi adekuat.
Kriteria hasil : - BB pasien stabil
- Konjungtiva tidak anemis
Intervensi Rasional
Mandiri:

1. Kaji distensi abdomen 1. Distensi abdomen merupakan tanda


non verbal gangguan pencernaan.
2. Mengidentifikasi kekurangan /
kebutuhan nutrisi dengan
2. Pantau masukan nutrisi dan frekuensi mengetahui intake dan output klien.
muntah 3. Mengawasi keefektifan rencana diet
4. Untuk menurunkan rangsang
mual/muntah.
5. Mulut yang bersih meningkatkan
3. Timbang BB setiap hari. nafsu makan.

4. Berikan makanan /minuman sedikit


tapi sering.
6. Berguna dalam memenuhi
5. Berikan kebersihan oral sebelum kebutuhan nutrisi individu dengan
makan diet yang paling tepat.

7. Memenuhi kebutuhan nutrisi dan


Kolaborasi: meminimalkan rangsang pada
kantung empedu.
6. Konsul dengan ahli diet sesuai
indikasi. 8. Meningkatkan pencernaan dan
absorbsi lemak serta vitamin yang
larut dalam lemak.

7. Berikan diet rendah lemak, tinggi


serat dan batasi makanan penghasil 9. Memberi informasi tentang
gas. keefektifan terapi.

10. Vitamin-vitamin tersebut terganggu


penyerapannya.
8. Berikan makanan yang mengandung
medium chain triglycerides (MCT)
sesuai indikasi.

9. Monitor laboratorium; albumin,


protein sesuai program.

10. Berikan vitamin-vitaminyang larut


dalaam lemak (A, D, E dan K)

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam jaringan,
ditandai dengan adanya pruritis.

Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan


integritas kulit baik
Kriteria hasil : - tidak ada pruritus/lecet
- jaringan/ kulit utuh bebas eskortasi
Intervensi Rasional

Mandiri:
1. Mencegah kulit kering berlebihan,
memberikan penghilang rasa gatal,
1. Gunakan air mandi biasa atau
sekaligus menghindari infeksi.
pemberian lotion/ cream, hindari
sabun alkali. Berikan minyak
kalamin sesuai indikasi.
2. Berikan massage pada waktu tidur.
2. Bermanfaat dalam meningkatkan
tidur dan menurunkan integritas
kulit.
3. Pertahankan sprei kering dan bebas
3. Kelembaban meningkatkan pruritus
lipatan
dan meningkatkanresiko kerusakan
kulit.

4. Mencegah pasien dari cidera


tambahan pada kulit, khususnya
4. Gunting kuku jari, berikan sarung
bila tidur.
tangan bila diindikasikan.
5. Antihistamin dapat mengurangi
Kolaborasi:
gatal.
5. Berikan obat sesuai indikasi
(antihistamin).
6. Berfungsi untuk
6. Berikan obat resin kholestiramin
mengurangi pruritus dan
(questian).
hiperbilirubinemia.
7. Pantau pemeriksaan laboratorium
7. Bilirubin direk dikonjugasi oleh
sesuai indikasi. (bilirubin direk dan
enzim hepar glukoronitin direk
indirek)
yang dikonjugasi dan tampak dalam
bentuk bebas dalam darah atau
terikat pada albumin.

4. Pola nafas tidak efektif b.d peningkatan distensi abdomen

Tujuan : Menunjukkan pola nafas yang efektif


Kriteria Hasil :
a. Frekuensi pernapasan bayi umur 6-12 bulan 30x/menit
b. Kedalaman inspirasi dan kedalaman bernafas
c. Tidak ada penggunaan otot bantu nafas

Intervensi Rasional
Mandiri:

1. Kaji distensi abdomen


1. dengan mengukur lilitan atau
lingkar abdomen
2. Untuk mengetahui adanya
2. Kaji RR, kedalaman, dan kerja
gangguan pernafasan pada pasien
pernafasan.
3. Menghindari penekanan pada jalan
nafas untuk meminimalkan
3. Waspadakan klien agar leher tidak
penyempitan jalan nafas
tertekuk/posisikan semi ekstensi atau
eksensi pada saat beristirahat

Kolaborasi:
4. Operasi diperlukan untuk
memperbaiki kondisi pasien
4. Persiapkan operasi bila diperlukan.

5. Ansietas berhubungan dengan minimnya informasi tentang penyakit akibat kurangnya


pengetahuan

Tujuan : meningkatkan pemahaman orang tua tentang perawatan pada anak yang sakit
Kriteria hasil : - Menyatakan pemahaman proses penyakit dan pengobatan.
- Berpartisipasi dalam pengobatan.

Intervensi Rasional
1. Jelaskan tentang pengobatan yang 1. Mengidentifikasi area kekurangan
diberikan, dosis, reaksi obat dan dan pengetahuan/ salah informasi
tujuannya dan memberikan kesempatan untuk
memberikan informasi tambahan
sesuai keperluan.
2. Stimulasi dapat meningkatkan
kekebalan tubuh klien

2. Jelaskan pentingnya stimulasi pada


anak, pendengaran, visual, sentuhan
3. Membantu perawat dalam
3. Jelaskan pentingnya monitor adanya melakukan pengkajian selanjutnya
muntah, mual, dan diare. terhadap output klien

DAFTAR PUSTAKA

Parlin.1991.Atresia Bilier. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak FK UI.


National Digestive Diseases Information Clearinghouse. 2012. Biliiary Atresia.Diakses dari
http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/atresia/BiliaryAtresia_508.pdf pada 10 November
2014
https://helda.helsinki.fi/bitstream/handle/10138/38267/lampela_dissertation.pdf?sequence=1
Hull, David. 2008. Dasar-Dasar Pediatri Ed. 3. Jakarta : EGC
Majalah Kedokteran Andalas, 2009. Vol.33. No.2
Mitchell (et al).2009.Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbin & Cotran. Ed.7.Jakarta:EGC
Pustaka.unpad.ac.id/wp-content/.../pustaka_unpad_atresia_biliaris.pdf di akses pada hari Sabtu
18 Oktober 2014 pukul 06.42
Richard N. Mitchell, et al. 2009. Buku Saku Dasar Patologis Robbins & Cotran Ed. 7.Jakarta :
EGC.
Shires,Schwartz. Spencer.2000.Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Ed.6. Jakarta:EGC.
contoh kumpulan asuhan keperawatan
lengkap
Jumat, 11 September 2015
ASUHAN KEPERAWATAN ATRESIA BILIARIS

KEPERAWATAN KLINIK IIIB


ASUHAN KEPERAWATAN PADA ATRESIA BILLIARIS

MAKALAH

oleh:
Kelompok

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
karuni-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, dengan judul Asuhan
Keperawatan pada Atresia Billiaris. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terimakasih yang tulus kepada:
1. Ns. Lantin Sulistyorini, M.Kes., selaku PJMK mata kuliah Ilmu Keperawatan Klinik III B;
2. Rekan-rekan satu kelompok yang sudah bekerjasama dan berusaha semaksimal mungkin
sehingga makalah ini dapat terealisasi dengan baik;
3. Semua pihak yang secara tidak langsung membantu terciptanya makalah ini yang tidak dapat
disebutkan satu per satu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan makalah
ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jember, April 2015


Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 2
1.3 Implikasi Keperawatan 3
BAB 2. TINJAUAN TEORI 4
2.1 Pengertian 4
2.2 Epidemiologi 5
2.3 Etiologi 6
2.4 Tanda dan Gejala 7
2.5 Patofisiologi 7
2.6 Komplikasi dan Prognosis 8
2.7 Pengobatan 9
2.8 Pencegahan 11
BAB 3. PATHWAYS 12
BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN 13
4.1 Pengkajian 13
4.2 Diagnosa Keperawatan 18
4.3 Perencanaan Keperawatan 19
4.4 Implementasi Keperawatan 23
4.5 Evaluasi 25

BAB 5. PENUTUP 27
5.1 Kesimpulan 27
5.2 Saran 27
DAFTAR PUSTAKA 28
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Atresia billiaris adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan dari sistem billier
ekstrahepatic. Atresia billiaris merupakan proses inflamasi progresif yang menyebabkan
fibrosis saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada akhirnya akan
terjadi obstruksi saluran tersebut (Donna L. Wong, 2008). Atresia billiaris terjadi karena
proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus billier
ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Karakteristik dari atresia
billiaris adalah tidak terdapatnya sebagian sistem billier antara duodenum dan hati sehingga
terjadi hambatan aliran empedu dan menyebabkan gangguan fungsi hati tetapi tidak
menyebabkan kern icterus karena hati masih tetap membentuk konjugasi bilirubin dan tidak
dapat menembus blood brain barier. Penyebab atresia billiaris belum dapat dipastikan.
Atresia billiaris akan mengakibatkan fibrosis dan sirosis hati pada usia yang sangat dini, bila
tidak ditangani segera. Jika operasi tidak dilakukan maka angka keberhasilan hidup selama 3
tahun hanya berkisar 10% dan rata-rata meninggal pada usia 12 bulan. Tindakan operatif atau
bedah dapat dilakukan untuk penatalaksanaannya.
Di dunia secara keseluruhan dilaporkan angka kejadian atresia billiaris sekitar 1:1000-
15000 kelahiran hidup, lebih sering pada wanita daripada laik-laki. Rasio atresia billiaris
antara anak perempuan dan laki-laki 1,41:1 dan angka kejadian lebih sering pada bangsa
Asia. Di Belanda, dilaporkan kasus atresia bilier sebanyak 5 dari 100.000 kelahiran hidup, di
Perancis 5,1 dari 100.000 kelahiran hidup, di Inggris dilaporkan 6 dari 100.000 kelahiran
hidup. Di Texas tercatat 6.5 dari 100.000 kelahiran hidup, 7 dari 100.000 kelahiran hidup di
Australia, 7,4 dari 100.000 kelahiran hidup di USA dan dilaporkan terdapat 10,6 dari 100.000
kelahiran hidup di Jepang menderita atresia billier. Dari 904 kasus atresia billier yang
terdaftar di lebih 100 institusi, atresia billier di dapatkan pada ras Kaukasia (62%), berkulit
hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian amerika (1,5%). Di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta penyebab kolestasis obstruktif yang paling banyak dilaporkan (90%)
adalah atresia billiaris dan pada tahun 2002-2003 tercatat mencapai 37-38 bayi atau 23% dari
163 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati Sedangkan di RSU Dr. Soetomo
Surabaya antara tahun 1999-2004 ditemukan dari 19.270 penderita rawat inap di Instalansi
Rawat Inap Anak, tercatat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati
didapatkan 9 (9,4%) menderita atresia bilier ( Widodo J, 2010).
Deteksi dini kemungkinan adanya atresia billiaris sangat penting sebab keberhasilan
pembedahan hepato-portoenterostomi (Kasai) akan menurun apabila dilakukan setelah umur
2 bulan. Keberhasilan operasi sangat ditentukan terutama usia saat dioperasi, yaitu bila
dilakukan sebelum usia 2 bulan, keberhasilan mengalirkan empedu 80%, sementara sesudah
usia tersebut hasilnya kurang dari 20%. Bagi penderita atresia billiaris prosedur yang baik
adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke usus. Selain itu, terdapat
beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia billiris.
Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi
tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien. Segera
sesudah pembedahan portoenterostomi, asuhan keperawatannya sama dengan yang dilakukan
pada setiap pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan meliputi
pemberian obat dan terapi gizi yang benar, termasuk penggunaan formula khusus, suplemen
vitamin serta mineral, terapi nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus mungkin menjadi
persoalan signifikan namun dapat dikurangi dengan obat atau tindakan seperti mandi rendam
atau memotong kuku jari-jari tangan (Donna L. Wong, 2008)
1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui pengertian dari penyakit atresia billiaris
1.2.2 Mengetahui penyebab timbulnya penyakit atresia billiaris
1.2.3 Mengetahui manifestasi klinis dari penyakit atresia billiaris
1.2.4 Mengetahui pemeriksaan diagnostic dari penyakit atresia billiaris
1.2.5 Mengetahui penatalaksanaan dari penyakit atresia billiaris
1.2.6 Mendapatkan gambaran tentang konsep penyakit atresia billiaris
1.2.7 Mengertahui asuhan keperawatan dari penyakit atresia billiaris.

1.3 Implikasi Keperawatan


1.3.1 Perawat dapat memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang atresia billiaris sehingga dapat
melakukan asuhan keperawatan secara profesional
1.3.2 Perawat diharapkan dapat menjadi pedamping yang cermat untuk klien dalam memberikan
asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit atresia billiaris
1.3.3 Perawat dapat memberikan educator terhadap klien sehingga klien dapat memahami tentang
penyakit atresia billiaris.

BAB 2. TINJAUAN TEORI


2.1 Pengertian
Atresia Billier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak adanya
atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi
dan Rita Yulianni, 2006)
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda epitel yang
akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau sebagian.
(Chandrasoma & Taylor,2005)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari duktus
biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan
hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila
berlanjut menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland 2002: 206)
Atresia Billier adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak terbentuk atau tidak
berkembang secara normal. Atresia biliaris adalah kelainan konginetal yang ditandai dengan
obstruksi atau tidak adanya duktus atau saluran empedu. Atresia bilier merupakan suatu defek
congenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran
empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik. Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran
empedu dari hati ke kandung empedu. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis
hati, yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal.
Tipe- tipe atresia biliary, secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2 tipe:
a. Tipe yang dapat dioperasi / Operable/ correctable.
Jika kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya. Sebagian besar dari saluran-saluran
ekstrahepatik empedu paten.
b. Tipe yang tidak dapat dioperasi / Inoperable/ incorrectable
Jika kelainan / sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi akhir-akhir ini dapat
dipertimbangakan untuk suatu operasi porto enterostoma hati radikal. Tidak bersifat paten
seperti pada tipe operatif.
Klasifikasi dengan menggunakan system klasifikasi Kasai, cara ini banyak digunakan.
Mengklasifikasikan kasus atresia biliaris berdasarkan lokasi dan tingkat patologinya.
Klasifikasi atresia bliaris sesuai dengan area yang terlibat.
a. Tipe I: saluran empedu umumnya paten pada daerah proksimal.
b. Tipe II: atresia pada saluran empedu dapat terlihat, dengan sumbatan saluran empedu
ditemukan pada porta hepatis.
c. Tipe IIa: fibrosis dan saluran empedu umumnya bersifat paten
d. Tepi IIb: umumnya duktus biliaris dan duktus hepatic tidak ada.
e. Tipe III : lebih mengacu pada terputusnya duktus hepatic kanan dan kiri sampai pada porta
hepatic. Bentuk atresia ini adalah umum terjadi, sekitar lebih dari 90% kasus

2.2 Epidemiologi
Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Kondisi ini jarang terjadi,
prevalensinya 1 : 15.000 kelahiran. Insidensi lebih banyak terjadi pada anak-anak asia dan
anak kulit hitam. Di US, sekitar 300 bayi yang lahir setiap tahunnya dengan kondisi atresia
billiaris. Bentuk janin-embrio yang ditandai dengan kolestasis awal, muncul dalam 2 minggu
pertama kehidupan, dan menyumbang 10-35% dari semua kasus. Dalam bentuk ini, saluran-
saluran empedu terputus saat lahir, dan 10-20% dari neonatus yang terkena dampak telah
dikaitkan cacat bawaan, termasuk Situs inversus , polysplenia , malrotasi, atresia usus, dan
anomali jantung, antara lain.
Atresia billiaris dtemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak
perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Meski jarang tetapi jumlah penderita atresia
billiaris yang ditangani rumah sakit Cipt Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003,
mencapai 37-38 bayi atau 23 persen dari 162 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi
hati. Sedangkan di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Suromo Surabaya antara tahun 1999-
2001 dari 19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan penyakit kuning
gangguan fungsi hati di dapatkan atresia bilier 9 (9,4%).
Dari 904 kasus atresia billiris yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia billiaris didapat
pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), hispantik (11%), Asia (4,2) dan Indian
Amerika (1,5%). Kasus atresia bilier dilaporkan sebanyak 5/100.000 kelahiran hidup di
belanda, 5/100.000 kelahiran hidup di perancis, 6/100.000 klahiran hidup di Inggris,
6,5/100.000 kelhiran hidup di Texas, 7/100.000 kelahiran hidup di australia, 7,4/100.000
kelahiran hidup di USA, dan 10,6/100.000 kelahiran hidup di Jepang.

2.3 Etiologi
Penyebab atresia billiaris tidak diketahui dengan jelas, tetapi diduga akibat proses
inflamasi yang destruktif. Atresia billiaris terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari
saluran empedu di dalam maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan
perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui. Meskipun penyebabnya belum diketahui
secara pasti, tetapi diduga karena kelainan kongenital, didapat dari proses-proses peradangan,
atau kemungkinan infeksi virus dalam intrauterine.
Penyebab atresia masih kontroversial, beberapa ahli percaya bahwa hal ini terjadi akibat
infeksi intrauterine. Atresia biasanya hanya mengenai duktus biliaris ekstrahepatik, duktus
intrahepatik lebih jarang terkena. Atresia biliaris komplit yang mengenai seluruh system
menyebabkan kematian yang tinggi. Hati menunjukan gambaran obstruksi hebat duktus
biliaris yang besar dengan sirosis biliaris sekunder. Tanpa pengobatan, kematian terjadi pada
masa bayi. Terapi bedah dapat berhasil pada kasus atresia parsial. Pada kasus atresia yang
mengenai duktus intrahepatik, transplantasi hati merupakan satu-satunya harapan.
Hal yang penting perlu diketahui adalah bahwa atresia billiaris adalah bukan merupakan
penyakit keturunan. Kasus atresia billiaris tidak diturunkan dari keluarga. Atreia billiaris
paling sering disebabkan karena sebuah peristiwa yang terjadi saat bayi dalam kandungan.
Kemungkinan hal yang dapat memicu terjadinya atresia billiaris diantaranya: infeksi virus
atau bakteri, gangguan dalam system kekebalan tubuh, komponen empedu yang abnormal,
kesalahan dalam perkembangan hati dan saluran empedu.

2.4 Tanda dan Gejala


Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
a. Air kemih bayi berwarna gelap
b. Kulit berwarna kuning
c. Tinja berwarna pucat
d. Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat
e. Hati membesar.
f. Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
1. Gangguan pertumbuhan
2. Gatal-gatal
3. Rewel
4. Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari
lambung, usus dan limpa ke hati).

2.5 Patofisiologi
Penyebabnya sebenarnya atresia billiaris tidak diketahui sekalipun mekanisme imun atau
viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang menimbulkan obstruksi saluran empedu.
Berbagai laporan menunjukkan bahwa atresia billiaris tidak terlihat pada janin, bayi yang
baru lahir. Keadaan ini menunjukan bahwa atresia billiaris terjadi pada akhir kehamilan atau
pada periode perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu beberapa minggu sesudah dilahirkan.
Inflamasi terjadi secara progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran
empedu intrahepatik atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal
empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan menyebabkan peradangan,
edema, degenerasi hati, bahkan hati menjadi fibrosis dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan ikterus dan
duktus didalam lobus hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi
mencegah terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi billier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah sehingga
menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya empedu dalam usus, lemak dan
vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi sehingga mengalami kekurangan vitamin yang
menyebabkan gagal tumbuh pada anak.

2.6 Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi yang dapat terjadi pada atresia billiaris yaitu:
a. Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu
keluar hati dan kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan menyebabkan
empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati. Bahkan hati
menjadi fibrosis dan cirrhosis. Dan hipertensi portal sehingga akan mengakibatkan gagal hati.
b. Progresif serosis hepatis terjadi jika aliran hanya dapat dibuka sebagian oleh prosedur
pembedahan, permasalahan dengan pendarahan dan penggumpalan.
c. Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegali.
d. Karena tidak ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi,
kekurangan vitamin larut lemak dan gagal tumbuh.
e. Hipertensi portal
f. Pendarahan yang mengancam nyawa dari pembesaran vena yang lemah di esofagus dan
perut, dapat menyebabkan Varises Esophagus.
g. Asites merupakan akumulasi cairan dalam kapasitas abdomen yang disebabkan penurunan
produksi albumin dalam protein plasma.
h. Komplikasi pasca bedah yakni kolangitis menaik.
Harapan hidup pasien yang tidak diobati adalah 18 bulan. Progresi fibrosis hepatic sering
terjadi walaupun sudah mendapat terapi bedah paliatif, meskipun 30 – 50 % pasien mungkin
tetap anikterik. Angka harapan hidup transplantasi jangka pendek sekitar 75 %. Menurut
Carlassone & Bensonsson (1977) menyatakan bahwa operasi atresia billiaris tipe
“noncorrectable” adalah buruk sekali sebelum adanya operasi Kasai, tetapi sampai sekarang
hanya sedikit penderita yang dapat disembuhkan. Bila pasase empedu tidak dikoreksi, 50 %
anak akan meninggal pada tahun pertama kehidupan, 25 % pada tahun ke dua, dan sisanya
pada usia 8-9 tahun. Penderita meninggal akibat kegagalan fungsi hati dan sirosis dengan
hipertensi portal.
2.7 Pengobatan
a. Medik
1) Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk :
- Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu dengan
memberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis peroral misal : luminal
- Melindungi hati dari zat dari zat toksik dengan memberikan asam ursodeoksikolat 310
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis peroral misal : urdafalk
2) Terapi nutrisi yang bertujuan untuk memungkinkan anak untuk bertumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin yaitu:
- Pemberian makanan yang mengandung middle chain triglycerides(MCT)untuk mengatasi
malabsorpsi lemak. Contoh : susu pregestinil dan pepti yunior.
- Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak.
- Dan pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus
dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang
progresif dapat dikurangi.
3) Terapi Bedah
Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan maka segera dilakukan intervensi bedah
Portoenterostomi terhadap atresia bilier yang Correktable yaitu tipe Idan II. Pada atresia bilier
yang Non Correktable terlebih dahulu dilakukan laparatomi eksplorasi untuk menentukan
potensi duktus bilier yang ada di daerah hilus hati dengan bantuan Frozen section. Bila masih
ada duktus bilier yang paten maka dilakukan operasi kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus
bilier yang paten tetap dikerjakan operasi kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan
penderita (tujuan jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan transplantasi hati (tujuan
jangka panjang). Pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif
harus dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang
progresif dapat dikurangi.
4) Pemeriksaan diagnostik
- Darah lengkap dan fungsi hati
Pada pemeriksaan laboratorium ini menunjukkan adanya hiperbilirubinemia direk, serta
peningkatan kadar serum transaminase,fosfatase alkali, dan gamma glutamil transpeptidase
yang dapat membantu diagnosis atresia bilier pada tahap awal.
- Pemeriksaan urin
Pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang mengalami ikterus, tetapi
urobilin dalam urine negative, hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
- Pemeriksaan feses
Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja/stercobilin dalam tinja berkurang
karena adanya sumbatan.
- Biopsi hati
Untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan dengan pengambilan
jaringan hati.
- USG abdomen
Kandung empedu yang kecil atau tidak sama sekali, adanya tanda Triangular cord sangat
sensitive menunjukkan adanya atresia bilier.
b. Keperawatan
Terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia
bilier. Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi
tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien. Segera
pembedahan portoenterestomi asuhan keperawatannya serupa dengan yang dilakukan pada
setiap pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan meliputi pemberian obat
dan terapi gizi yang benar termasuk penggunaan formula khusus, suplemen vitamin serta
mineral, terapi nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus menjadi persoalan signifikan namun
dapat dikurangi dengan obat atau tindakan seperti mandi rendam dan memotong kuku jari
tangan.
Anak-anak dan keluarga memerlukan dukungan psikososial khusus. Prognosis yang tidak
pasti, gangguan rasa nyaman, dan penantian untuk tranpalantasi dapat menimbulkan stress
yang cukup besar. Perawatan yang lama di rumah sakit, terapi farmakologis dan nutrisi dapat
membawa beban financial yang besar pada keluarga.
2.8 Pencegahan
Dapat mengetahui setiap faktor risiko yang dimiliki, sehingga bisa mendapatkan prompt
diagnosis dan pengobatan jika saluran empedu tersumbat. Penyumbatan itu sendiri tidak
dapat dicegah. (Attasaranya S, Fogel EL,2008)
Dalam hal ini perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan pada orang tua untuk
mengantisipasi setiap faktor resiko terjadinya obstruksi biliaris (penyumbatan saluran
empedu), dengan keadaan fisik yang menunjukan anak tampak ikterik, feses pucat dan urine
berwarna gelap (pekat). (Sarjadi,2000)

BAB 3 PATHWAY
BAB 4 ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
a. Identitas
Meliputi Nama,Umur, Jenis Kelamin dan data-data umum lainnya. Hal ini dilakukan
sebagai standar prosedur yang harus dilakukan untuk mengkaji keadaan pasien. Umumnya
Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Atresia bilier dtemukan pada 1 dari
15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1.

b. Keluhan Utama
Keluhan utama dalam penyakit Atresia Biliaris adalah Jaundice dalam 2 minggu sampai
2 bulan Jaundice adalah perubahan warna kuning pada kulit dan mata bayi yang baru lahir.
Jaundice terjadi karena darah bayi mengandung kelebihan bilirubin, pigmen berwarna kuning
pada sel darah merah.

c. Riwayat Penyakit Sekarang


Anak dengan Atresia Biliaris mengalami Jaundice yang terjadi dalam 2 minggu atau 2
bulan lebih, apabila anak buang air besar tinja atau feses berwarna pucat. Anak juga
mengalami distensi abdomen, hepatomegali, lemah, pruritus. Anak tidak mau minum dan
kadang disertai letargi (kelemahan).

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Adanya suatu infeksi pada saat Infeksi virus atau bakteri masalah dengan kekebalan
tubuh. Selain itu dapat juga terjadi obstruksi empedu ektrahepatik. yang akhirnya
menimbulkan masalah dan menjadi factor penyebab terjadinya Atresia Biliaris ini.
Riwayat Imunisasi: imunisasi yang biasa diberikan yaitu BCG, DPT, Hepatitis, dan Polio.

e. Riwayat Perinatal
1) Antenatal:
Pada anak dengan atresia biliaris, diduga ibu dari anak pernah menderita infeksi penyakit,
seperti HIV/AIDS, kanker, diabetes mellitus, dan infeksi virus rubella
2) Intra natal:
Pada anak dengan atresia biliaris diduga saat proses kelahiran bayi terinfeksi virus atau
bakteri selama proses persalinan.
3) Post natal:
Pada anak dengan atresia diduga orang tua kurang memperhatikan personal hygiene saat
merawat atau bayinya. Selain itu kebersihan peralatan makan dan peralatan bayi lainnya juga
kurang diperhatikan oleh orang tua ibu.

f. Riwayat Kesehatan Keluarga


Anak dengan atresia biliaris diduga dalam keluarganya, khususnya pada ibu pernah
menderita penyakit terkait dengan imunitas HIV/AIDS, kanker, diabetes mellitus, dan infeksi
virus rubella. Akibat dari penyakit yang di derita ibu ini, maka tubuh anak dapat menjadi
lebih rentan terhadap penyakit atresia biliaris. Selain itu terdapat kemungkinan adanya
kelainan kongenital yang memicu terjadinya penyakit atresia biliaris ini.
g. Pemeriksaan Tingkat Perkembangan
Pemeriksaan tingkat perkembangan terdiri dari adaptasi sosial, motorik kasar, motorik
halus, dan bahasa. Tingkat perkembangan pada pasien atresia biliaris dapat dikaji melalui
tingkah laku pasien maupun informasi dari keluarga. Selain itu, pada anak dengan atresia
biliaris, kebutuhan akan asupan nutrisinya menjadi kurang optimal karena terjadi kelainan
pada organ hati dan empedunya sehingga akan berpengaruh terhadap proses tumbuh
kembangnya.

h. Keadaan Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit


Kedaan lingkungan yang mempengaruhi timbulnya atresia pada anak yaitu pola
kebersihan yang cenderung kurang. Orang tua jarang mencuci tangan saat merawat atau
menetekkan bayinya. Selain itu, kebersihan botol atau putting ketika menyusui bayi juga
kurang diperhatikan.

i. Pola Fungsi Kesehatan


1) Pola Aktivitas/Istirahat : Pola aktivitas dan istirahat anak dengan atresia biliaris terjadi
gangguan yaitu ditandai dengan anak gelisah dan rewel yang gejalanya berupa letargi atau
kelemahan
2) Pola Sirkulasi : Pola sirkulasi pada anak dengan atresia biliaris adalah ditandai dengan
takikardia, berkeringat yang berlebih, ikterik pada sklera kulit dan membrane mukosa.
3) Pola Eliminasi : Pola eliminasi pada anak dengan atresia biliaris yaitu terdapat distensi
abdomen dan asites yang ditandai dengan urine yang berwarna gelap dan pekat. Feses
berwarna dempul, steatorea. Diare dan konstipasi pada anak dengan atresia biliaris dapat
terjadi.
4) Pola Nutrisi : Pola nutrisi pada anak dengan atresia biliaris ditandai dengan anoreksia,nafsu
makan berkurang, mual-muntah, tidak toleran terhadap lemak dan makanan pembentuk gas
dan biasanya disertai regurgitasi berulang.
5) Pola kognitif dan persepsi sensori: pola ini mengenai pengetahuan orang tua terhadap
penyakit yang diderita klien
6) Pola konsep diri: bagaimana persepsi orang tua dan/atau anak terhadap pengobatan dan
perawatan yang akan dilakukan.
7) Pola hubungan-peran: biasanya peran orang tua sangat dibutuhkan dalam merawat dan
mengobati anak dengan atresia biliaris.
8) Pola seksual-seksualitas: apakah selama sakit terdapat gangguan atau tidak yang
berhubungan dengan reproduksi sosial. Pada anak yang menderita atresia biliaris biasanya
tidak ada gangguan dalam reproduksi.
9) Pola mekanisme koping: keluarga perlu memeberikan dukungan dan semangat sembuh bagi
anak.
10) Pola nilai dan kepercayaan: orang tua selalu optimis dan berdoa agar penyakit pada
anaknya dapat sembuh dengan cepat.

j. Pemeriksaan Fisik
Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
1) Air kemih bayi berwarna gelap
2) Tinja berwarna pucat
3) Kulit berwarna kuning
4) Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat
5) Hati membesar.
6) Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
a) Gangguan pertumbuhan
b) Gatal-gatal
c) Rewel
d) Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari
lambung, usus dan limpa ke hati).
7) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum : lemah.
TTV : Tekanan Darah : terjadi peningkatan terutama pada vena porta
Suhu : Suhu tubuh dalam batas normal
Nadi : takikardi
RR : terjadi peningkatan RR akibat diafragma yang
tertekan (takipnea)
b) Kepala dan leher
Inspeksi : Wajah : simetris
Rambut : lurus/keriting, distribusi merata/tidak
Mata : pupil miosis, konjungtiva anemis
Hidung : kemungkinan terdapat pernafasan cuping Hidung
Telinga : bersih
Bibir dan mulut : mukosa biibir kemungkinan terdapat ikterik
Lidah : normal
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar thyroid dan limfe pada leher
c) Dada
Inspeksi : asimetris, terdapat tarikan otot bantu pernafasan dan tekanan
pada otot diafragma akibat pembesaran hati (hepatomegali).
Palpasi : denyutan jantung teraba cepat, terdapat nyeri tekan(-)
Perkusi : Jantung : dullness
Paru : sonor
Auskultasi : tidak terdengar suara ronchi
kemungkinan terdengar bunyi wheezing
d) Abdomen
Inspeksi : terdapat distensi abdomen
Palpasi : dapat terjadi nyeri tekan ketika dipalpasi
Perkusi : sonor
Auskultasi : kemungkinan terjadi pada bising usus
e) Kulit
Turgor kurang, pucat, kulit berwarna kuning (jaundice)
f) Ekstremitas
Tidak terdapat odem pada pada extremitas

k. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
a) Bilirubin direk dalam serum meninggi (nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl) karena
kerusakan parenkim hati akibat bendungan empedu yang luas.
b) Tidak ada urobilinogen dalam urine.
c) Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase (5-20 kali lipat
nilai normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol)
2) Pemeriksaan diagnostik
a) USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab kolestasis ekstra hepatic (dapat
berupa dilatasi kristik saluran empedu)
b) Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan duodenum di aspirasi. Jika
tidak ditemukan cairan empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
c) Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati memproduksi empedu
dan mengekskresikan ke saluran empedu sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak ditemukan
empedu di duodenum, maka dapat berarti terjadi katresia intra hepatik
d) Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler. Kandung
empedu mengecil karena kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas
4.2 Diagnosa Keperawatan
a. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan
penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen ditandai oleh
adanya perasaan sesak pada pasien
c. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada duktusbilier
ekstrahepatik
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada pasien
ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
e. Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
4.3 Perencanaan Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva
anemis
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
1. Kaji distensi abdomen
keperawatan 2 x 24 jam selama proses
2. Pantau masukan nutrisi dan perhatikan
keperawatan, diharapkan pola nutrisi pasien frekuensi muntah klien
menjadi adekuat 3. Timbang BB setiap hati
Kriteria Hasil: 4. Berikan diet yang sedikit namun sering
a. BB pasien stabil 5. Atur kebersihan oral sebelum makan
b. Konjungtiva tidak anemis 6. Konsulkan dengan ahli diet sesuai indikasi
7. Berikan diet rendah lemak, tinggi serat, dan
batasi makanan penghasil gas
8. Kolaborasikan pemberian makanan yang
mengandung MCT sesuai indikasi
9. Monitor kadar albumin, protein sesuai
program
10. Berikan vitamin-vitamin larut lemak (A, D,
E, K)
b. Diagnosa keperawatan: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi
abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan 2 x 24
1. Kaji distensi abdomen
jam, diharapkan pasien menunjukkan tanda-
2. Kaji RR, kedalaman nafas, dan kerja
tanda pola nafas yang efektif pernafasan
Kriteria Hasil: 3. Awasi klien agar tidak sampai mengalami
a. RR mencapai 30-40 napas/mnt leher tertekuk
b. Kedalaman inspirasi dan kedalaman bernafas4. Posisikan klien semi ekstensi atau eksensi
c. Tidak ada penggunaan otot bantu nafas pada pada saat beristirahat
pasien 5. Kolaborasikan operasi apabila dibutuhkan

c. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada duktusbilier


ekstrahepatik, ditandai oleh peningkatan suhu tubuh, dan pasien demam
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: setelah dilakukan pemeriksaan
1. Berikan kompres air biasa pada daerah
keperawatan 1 x 24 jam diharapkan suhu aksila, kening, leher, dan lipatan paha
tubuh pasien akan kembali menjadi normal 2. Pantau suhu minimal setiap 2 jam sekali
Kriteria Hasil: disesuaikan dengan kebutuhan
a. Nadi dan pernapasan dalam rentang normal 3. Berikan pasien pakaian tipis
b. Suhu normal 36,50 – 37,50 4. Menipulasi lingkungan menjadi senyaman
mungkin seperti penggunaan kipas angin atau
AC
5. Kolaborasikan pemberian obat anti piretik
sesuai kebutuhan

d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada
pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: pasien akan mempertahankan
1. Pantau asupan dan carian pasien perjam
keseimbangan cairan dan elektrolit setelah (cairan infus, susu per NGT, atau jumlah ASI
dilakukan perawatan didalam rumah sakit yang diberikan
selama 2 x 24 jam 2. Periksa feses pasien tiap harinya
Kriteria Hasil: 3. Pantau lingkar perut pasien
a. Kembalinya pengisian kapiler darah kurang
4. Observasi tanda-tanda dehidrasi
dari 3 detik 5. Kolaborasikan pemeriksaan elektrolit pasien,
b. Turgor kulit membaik kadar protein total, albumin, nitrogen urea
c. Produksi urin 1-2ml/kgBB/jam darah dan kreatinin serta darah lengkap

e. Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi.


Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: pola BAB pasien normal setelah1. Evaluasi jenis intake makanan
perawatan yang dilakukan 2 x 24 jam 2. Monitor kulit sekitar perianal terhadap
Kriteria Hasil: adanya iritasi dan ulserasi
a. Tidak ada diare 3. Ajarkan pada keluarga penggunaan obat anti
b. Elektrolit normal diare
c. Asam basa normal 4. Instruksikan pada pasien dan keluarga untuk
mencatat warna, volume, frekuensi dan
konsistensi feses
5. Kolaborasi jika tanda dan gejala diare
menetap
6. Monitor hasil Lab (elektrolit dan leukosit)
7. Monitor turgor kulit, mukosa oral sebagai
indikator dehidrasi
8. Konsultasi dengan ahli gizi untuk diet yang
tepat

f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan


Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: pasien akan dapat beraktivitas secara1. Observasi adanya pembatasan klien dalam
normal setelah pemeriksaan yang dilakukan 2 melakukan aktivitas
x 24 jam 2. Kaji adanya faktor yang menyebabkan
Kriteria Hasil: kelelahan
a. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa 3. Monitor nutrisi dan sumber energi yang
disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan adekuat
RR 4. Monitor respon kardivaskuler terhadap
b. Mampu melakukan aktivitas sehari hari aktivitas (takikardi, disritmia, sesak nafas,
(ADLs) secara mandiri diaporesis, pucat, perubahan hemodinamik)
c. Keseimbangan aktivitas dan istirahat 5. Monitor pola tidur dan lamanya
tidur/istirahat pasien
6. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas
yang mampu dilakukan

4.4 Implimentasi Keperawatan


a. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan
penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
1) mengkaji adanya distensi pada abdomen pasien
2) memantau masukan nutrisi dan frekuensi muntah
3) menimbang berat badan pasien
4) mengkolaborasikan pemberian diet pada pasien sedikit namun sering
5) mempertahankan kebersihan oral pasien sebelum makan
6) mengkonsultasikan dengan ahli diet sesuai indikasi
7) memberikan diet rendah lemak, tinggi serat, dan batasi makanan penghasil gas
8) memberikan makanan mengandung MCT sesuai indikasi
9) memonitor laboratorium untuk kadar albumin dan protein sesuai program
10) memberikan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen ditandai oleh
adanya perasaan sesak pada pasien
1) mengkaji ada tidaknya distensi abdomen klien
2) mengkaji RR, kedalaman nafas, dan kerja pernafasan
3) mengawasi leher klien agar tidak tertekuk atau memosisikan leher klien semi ekstensi saat
istirahat
4) mempersiapkan operasi apabila diperlukan
c. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada duktusbilier
ekstrahepatik
1) memberikan kompres air biasa pada aksila, kening, leher, dan lipatan paha
2) memantau suhu minimal setiap 2 jam sekali sesuai kebutuhan
3) memberikan pasien pakaian tipis
4) memanipulasi lingkungan senyaman mungkin bagi pasien dengan penggunaan AC / kipas
angin
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada pasien
ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
1) memantau asupan dan cairan pasien perjam
2) memeriksa feses pasien setiap hari
3) memantau lingkar perut bayi
4) mengobservasi tanda-tanda dehidrasi pada pasien
5) mengkolaborasikan pemeriksaan elektrolit, kadar protein total termasuk albumin, nitrogen
urea, darah dan kreatinin serta darah lengkap
e. Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi.
1) Mengvaluasi jenis intake makanan
2) Memonitor kulit sekitar perianal terhadap adanya iritasi dan ulserasi
3) Mengajarkan pada keluarga penggunaan obat anti diare
4) Menginstruksikan pada pasien dan keluarga untuk mencatat warna, volume, frekuensi dan
konsistensi feses
5) Berkolaborasi jika tanda dan gejala diare menetap
6) Memonitor hasil Lab (elektrolit dan leukosit)
7) Memonitor turgor kulit, mukosa oral sebagai indikator dehidrasi
8) Berkonsultasi dengan ahli gizi untuk diet yang tepat
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
1) Mengobservasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
2) Mengkaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
3) Memonitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
4) Memonitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas (takikardi, disritmia, sesak nafas,
diaporesis, pucat, perubahan hemodinamik)
5) Memonitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
6) Membantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan

4.5 Evaluasi
a. Diagnosa 1: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan
gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
S: Orang tua pasien mengatakan jika sang anak tidak mau menghabiskan makanannya
O: BB menurun, Muntah, dan konjungtiva tampak anemis
A: Masalah teratasi
P: Lanjutkan intervensi
b. Diagnosa 2: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen
ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
S: Orang tua mengeluhkan anaknya sering sesak
O: adanya sesak nafas, RR: 60 x/menit
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
c. Diagnosa 3: Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada
duktusbilier ekstrahepatik
S: Pasien mengatakan tubuhnya panas
O: suhu meningkat, takikardi, dan RR meningkat
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
d. Diagnosa 4: Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting
pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
S: Keluarga mengatakan sejak pagi pasien muntah-muntah setelah makan
O: muntah sebanyak ¼ gelas kecil, wajah terlihat pucat dan sianosis
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
e. Diagnosa 5: Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi
S: keluarga mengatakan pasien sudah mulai berkurang BABnya
O: pasien BAB 2 kali dalam sehari, dengan konsentrasi cair
A: masalah teratasi sebangian
P: lanjutkan intervensi
f. Diagnosa 6: Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
S: pasien mengatakan sudah dapat beraktivitas, dan tidak lelah
O: nadi 95 kali / menit, RR: 21 kali / menit
A: masalah teratasi
P: lanjutkan intervensi
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau
obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan
Rita Yulianni, 2006). Penyebab atresia bilier tidak diketahui dengan jelas, tetapi diduga
akibat proses inflamasi yang destruktif. Atresia biliar terjadi karena adanya perkembangan
abnormal dari saluran empedu di dalam maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya
gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui. Meskipun penyebabnya belum
diketahui secara pasti, tetapi diduga karena kelainan kongenital, didapat dari proses-proses
peradangan, atau kemungkinan infeksi virus dalam intrauterine.Dalam hal ini pengobatan
tidak memberikan efek yang terlalu besar. Satu-satunya terapi yang memberikan harapan
kesembuhan bagi atresia biliar adalah pembedahan. Secara historis, berbagai operasi telah
disusun, termasuk reseksi hepatik parsial dengan drainase luka permukaan, penusukan hepar
dengan tabung hampa, dan pengalihan duktus limfatik torasikus kedalam rongga mulut.
Dalam hal pencegahannya perawatdiharapkan dapat memberikan pendidikan kesehatan pada
orang tua untuk mengantisipasi setiap faktor resiko terjadinya obstruksi biliaris (penyumbatan
saluran empedu), dengan keadaan fisik yang menunjukan anak tampak ikterik, feses pucat
dan urine berwarna gelap (pekat). (Sarjadi,2000)

5.2 Saran
Saran bagi perawat, sebaiknya seorang perawat dapat melaksanakan asuhan keperawatan
kepada klien atresia biliaris sesuai dengan indikasi penyakit, dan sebaiknya dengan baik dan
benar sesuai standar.
DAFTAR PUSTAKA

Attasaranya S, 2008. Choledocholithiasis, ascending cholangitis, and gallstone


pancreatitis.http://health.nytimes.com/health/guides/disease/cholangitis/overview.html.
(diakses pada tanggal 11 maret 2015 pukul 16.22)
Craft-Rosernberg, Martha & Smith, Kelly. 2010. Nanda Diagnosa Keperawatan. Yogyakarta: Digna
Pustaka
Parlin.1991.Atresia Bilier. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak FK UI.
Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M.2006. Patofisiologi, Konsep Klinis, Proses-proses Penyakit,
Volume 1, edisi 6.J akarta: EGC
Sarjadi, 2000. Patologi umum dan sistematik. Jakarta. EGC
Sloane, Ethel.2004. Anatomi dan Fisiologi untk Pemula. Jakarta:EGC
Smeltzer, Suzanne C., dan Bare, Brenda G.. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8.
Volume 2. Jakarta: EGC
Wilkinson, Judith M.2007. Buku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil
NOC. Jakarta: EGC
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. Jakarta : EGC.
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2012/05/pustaka_unpad_atresia_biliaris.pdf( diakses
tanggal 10 Maret 2015)
http://mka.fk.unand.ac.id/images/articles/No_2_2009/hal_190-195-isi.pdf (diakses tanggal 10 Maret
2015)
 Tentang Kami
 Contact Kami
 Privacy Police
 Disclaimer
 Daftar Isi Blog




Ilmu Keperawatan

Kumpulan Askep (asuhan keperawatan), Diagnosa Keperawatan Nanda, Materi


Keperawatan, Info Penyakit dan Tips Kesehatan

 Home
 Menu 1
o
o
o
 Menu 2
o
o
o
 Menu 3
 Menu 4

Search...

Home » Askep KMB » Askep Gagal Ginjal Kronik Aplikasi Nanda NIC NOC

Askep Gagal Ginjal Kronik Aplikasi Nanda


NIC NOC
Ana Nurkhasanah Sunday, October 18, 2015 Askep KMB
img by gagalginjalkronik.com
Definisi

Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu mempertahankan
lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan pemulihan fungsi tidak
dimulai. Pada kebanyakan individu transisi dari sehat ke status kronis atau penyakit
yang menetap sangat lamban dan menunggu beberapa tahun. Barbara C Long,
1996).

Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)
(Brunner & Suddarth, 2001).

Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan


metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal
yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di
dalam darah (Arif Muttaqin,2011).
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan
fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif, dan cukup lanjut. Hal ini
terjadi apabila laju filtrasi glomerulus kurang dari 50 ml/menit (Arjatmo
Tjokonegoro,2001).

Etiologi
Begitu banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronis.
Akan tetapi apapun sebabnya, respon yang terjadi adalah penurunan fungsi ginjal
secara progresif. Kondisi klinis yang memungkinkan dapat mengakibatkan GGK bisa
disebabkan dari ginjal sendiri dan dari luar ginjal.

Penyakit dari ginjal

 penyakit pada saringan (glomerulus) : glomerulonefritis


 infeksi kuman : pyelonefritis, ureteritis
 batu ginjal : nefrolitiasis
 kista di ginjal : polcystis kidney
 trauma langsung pada ginjal
 keganasan pada ginjal
 sumbatan : tumor, batu, penyempitan/striktur

Penyakit umum di luar ginjal

 penyakit sistemik : diabetes mellitus, hipertensi, kolesterol tinggi


 dyslipidemia
 infeksi di badan : tbc paru, sifilis, malaria, hepatitis
 preeklamsi
 obat-obatan
 kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar)

Patofisiologi

Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-
nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai
reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR/daya saring. Metode adaptif
ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban
bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi
berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus.

Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul
disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien
menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira
fungsi ginjal telah hilang 80%-90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai
kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C
Long, 1996)

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya


diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah
maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis.
(Brunner & Suddarth, 2001)
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga stadium yaitu:

 Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal). Di tandai dengan kreatinin serum


dan kadar Blood Ureum Nitrogen (BUN) normal dan penderita asimtomatik.
 Stadium 2 (insufisiensi ginjal). Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah
rusak (Glomerulo filtration Rate besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini
Blood Ureum Nitrogen mulai meningkat diatas normal, kadar kreatinin serum
mulai meningkat melebihi kadar normal, azotemia ringan, timbul nokturia dan
poliuri.
 Stadium 3 (Gagal ginjal stadium akhir/uremia). Timbul apabila 90% massa
nefron telah hancur, nilai glomerulo filtration rate 10% dari normal, kreatinin
klirens 5-10 ml permenit atau kurang. Pada tahap ini kreatinin serum dan
kadar blood ureum nitrgen meningkat sangat mencolok dan timbul oliguri.
(Price, 1992)

Manifestasi klinis

Karena pada gagal ginjal kronis setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia,
maka pasien akan memperhatikan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan
gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang
mendasari, dan usia pasien.

Manifestasi kardiovaskuler, pada gagal ginjal kronis mencakup hipertensi (akibat


retensi cairan dan natrium dari aktivasi system rennin-angiotenin-aldosteron), gagal
jantung kongestif, dan edema pulmoner (akibat cairan berlebihan), dan perikarditis
(akibat iritasi pada lapisan pericardial oleh toksin uremik).

Gejala dermatologi yang sering terjadi mencakup rasa gatal yang parah (pruritis).
Butiran uremik, suatu penumpukan kristal urea di kulit, saat ini jarang terjadi akibat
penanganan dini dan agresif terhadap penyakit ginjal tahap akhir. Gejala
gastrointestinal juga sering terjadi dan mencakup anoreksia, mual, muantah dan
cegukan. Perubahan neuromuskuler mencakup perubahan tingkat kesadaran,
ketidak mampuan berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang.

Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369) :

 Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang, mudah tersinggung, depresi
 Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau
sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan,
pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.

Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001) antara lain : hipertensi, (akibat retensi
cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin-angiotensin–aldosteron), gagal jantung
kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat
iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan
cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu
berkonsentrasi).

Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut :

Sistem kardiovaskuler

 Hipertensi
 Pitting edema
 Edema periorbital
 Pembesaran vena leher
 Friction sub pericardial

Sistem Pulmoner

 Krekel
 Nafas dangkal
 Kusmaull
 Sputum kental dan liat

Sistem gastrointestinal

 Anoreksia, mual dan muntah


 Perdarahan saluran GI
 Ulserasi dan pardarahan mulut
 Nafas berbau ammonia

Sistem musculoskeletal

 Kram otot
 Kehilangan kekuatan otot
 Fraktur tulang
Sistem Integumen

 Warna kulit abu-abu mengkilat


 Pruritis
 Kulit kering bersisik
 Ekimosis
 Kuku tipis dan rapuh
 Rambut tipis dan kasar

Sistem Reproduksi

 Amenore
 Atrofi testis

Mekanisme yang pasti untuk setiap manifestasi tersebut belum dapat diidentifikasi.
Namun demikian produk sampah uremik sangat dimungkinkan sebagai
penyebabnya

Komplikasi

 Hiperkalemia, Akibat penurunan eksresi asidosis metabolic, katabolisme dan


masukan diit berlebih
 Perikarditis, efusi perincalkdial dan temponade jantung
 Hipertensi, Akibat retensi cairan dan natrium serta mal fungsi sistem rennin
angioaldosteron
 Anemia, Akibat penurunan eritroprotein, rentang usia sel darah merah,
pendarahan gasstrointestina akibat iritasi
 Penyakit tulang, Akibat retensi fosfat kadar kalium serum yang rendah
metabolisme vitamin D, abnormal dan peningkatan kadar aluminium

Pemeriksaan penunjang

Laboratorium :

 Laju Endap Darah : Meninggi yang diperberat oleh adanya anemia, dan
hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosit yang
rendah.
 Ureum dan kreatini : Meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin kurang lebih 20 : 1. Perbandingat meninggi akibat pendarahan
saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan obstruksi
saluran kemih. Perbandingan ini berkurang ketika ureum lebih kecil dari
kreatinin, pada diet rendah protein, dan tes Klirens Kreatinin yang menurun.
 Hiponatremi : Umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia : biasanya
terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunya dieresis
 Hipokalemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis
vitamin D3 pada GGK.
 Phosphate alkaline : meninggi akibat gangguan metabolisme tulang, terutama
isoenzim fosfatase lindi tulang.
 Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia : umunya disebabkan gangguan
metabolisme dan diet rendah protein.
 Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada gagal
ginjal (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).
 Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan
peninggian hormone insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
 Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukan Ph yang
menurun, BE yang menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun,
semuanya disebabkan retensi asam-asam organic pada gagal ginjal.

Radiology

 Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu atau
adanya suatu obstruksi). Dehidrasi karena proses diagnostic akan
memperburuk keadaan ginjal, oleh sebab itu penderita diharapkan tidak
puasa.
 Intra Vena Pielografi (IVP)
 Untuk menilai system pelviokalisisdan ureter.

USG

Untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.

EKG

Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia,


gangguan elektrolit (hiperkalemia)

Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan pada gagal ginjal kronik adalah untuk mempertahankan


fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin. Semua factor yang berperan dalam
terjadinya gagal ginjal kronik dicari dan diatasi.

Adapun penatalaksanaannya yaitu : Penatalaksanaan konservatif, Meliputi


pengaturan diet, cairan dan garam, memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan
asam basa, mengendalikan hiperensi, penanggulangan asidosis, pengobatan
neuropati, deteksi dan mengatasi komplikasi. Dan penatalaksanaan pengganti
diantaranya dialysis (hemodialisis, peritoneal dialysis) transplantasi ginjal.
Selain itu tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit dan mencegah komplikasi yaitu sebagai berikut :

Dialisis

Dialysis dapat dlakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang serius, seperti
hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialysis memperbaiki abnormalitas biokimia,
menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas,
menghilangkan kecenderungan pendarahan, dan membantu menyembuhkan luka.

Koreksi hiperkalemi

Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat menimbulkan


kematian mendadak. Hal yang pertama harus diingat adalah jangan menimbulkan
hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan darah, hiperkalemia juga dapat
didiagnosis dengan EEG dan EKG. Bila terjadi hiperkalemia, maka pengobatannya
adalah dengan mengurangi intake kalium, pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian
infuse glukosa.

Koreksi anemia

Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb. Transfusi
darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misal pada adanya
insufisiensi koroner.

Koreksi asidosis.

Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari. Natrium


bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Hemodialisis dan dialysis
peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.

Pengendalian hipertensi

Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa, dan vasodilator dilakukan. Mengurangi
intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-hati karena tidak semua
gagal ginjal disertai retensi natrium.

Transplantasi ginjal

Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien GGK, maka seluruh faal ginjal
diganti oleh ginjal yang baru.

Data Fokus Pengkajian Keperawatan menggunakan 13 domain nanda


Promosi kesehatan
Kesadaran perhadap kesehatan atau mengurus kesehatan
Subjektif: Objektif:
Tidak tahu tentang penyakitnya Tampak sakit sedang hingga
berat
TD biasanya tinggi

Nutrisi
Konsumsi/digesti/absormsi/metabolisme/hidrasi
Subjektif: Objektif:
BB biasanya menurun BB turun
Nafsu makan juga menurun Tampak tidak nafsu makan

Eliminasi
Sistem urinarius
Subjektif: Objektif:
Kencing biasanya sedikit -

Sistem gastrointestinal
Subjektif: Objektif:
Biasanya tidak ada masalah -

Sistem integumen
Subjektif: Objektif:
Kulit tampak berwarna gelap -

Aktivitas dan istirahat


Tidur dan istirahat
Subjektif: Objektif:
Tidur biasanya terganggu -

Aktivitas
Subjektif: Objektif:
Kelemahan karena kondisi Tampak tidak mampu melakukan
penyakit aktivitas
Kasdiovaskular
Subjektif: Objektif:
Memiliki riwayat Hipertensi TD tinggi
Tdbiasanya tinggi Takikardi

Respirasi
Subjektif: Objektif:
Napas terkadang sesak takipneau

Persepsi atau kognisi


Perhatian dan orientasi
Subjektif: Objektif:
- -
Persepsi/sensasi
Subjektif: Objektif:
BAK sedikit Tampak BAK sedikit

Komunikasi
Subjektif: Objektif:
Klien mengungkapkan Bercerita dengan petugas
masalahnya dan meminta kesehatan
bantuan untuk
penyembuhannya

Persepsi diri
Konsep dan gambaran diri
Subjektif: Objektif:
Klien mengatakan dirinya sudah Tampak putus asa
tidak berdaya

Peranan hubungan
Peran dalam keluarga
Subjektif: Objektif:
- -

Seksualitas
Subjektif: Objektif:
- -

Koping/toleransi stress
Subjektif: Objektif:
Klien biasanya gelisah dan tidak Tampak gelisah
kooperatif

Prinsip hidup
Nilai dan kepercayaan
Subjektif: Objektif:
Agama klien -

Keamanan/perlindungan
Subjektif: Objektif:
- -

Kenyamanan
Subjektif: Objektif:
Klien biasanya tidak nyaman Tampak gelisah
dengan penyakitnya

Pertumbuhan/perkembangan
Subjektif: Objektif:
- -

DATA PENUNJANG
Laboratorium
Pada pemeriksaan ureum dan creatinin biasanya didapatkan meningkat

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan keluaran urine, diet


berlebih dan retensi cairan dan natrium
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane
mukosa mulut.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur
4. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi , prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.

Intervensi Keperawatan NIC

Untuk melihat intervensi keperawatan NIC diagnosa diatas silahkan klik diagnosa
dibawah ini.

1. Kelebihanvolume cairan berhubungan dengan penurunan keluaran urine, diet


berlebih danretensi cairan dan natrium
2. Perubahannutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual, muntah,pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa
mulut.
3. Intoleransiaktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah danprosedur
4. Kurangnyapengetahuan tentang kondisi , prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungandengan kurangnya informasi.

Sumber:
https://banyumasperawat.wordpress.com/2009/07/22/form-pengkajian-13-domain-
nanda/ di edit oleh admin Ilmu Keperawatan.
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta :
EGC
Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-
proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Supartondo. ( 2001 ). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta : Balai Penerbit FKUI
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/medicine-history/2128674-komplikasi-
gagal-ginjal-kronis-dan/#ixzz2MQRKcZRs
ASKEP dengan Gagal Ginjal
Kamis, 07 Januari 2016

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit Gagal Ginjal adalah ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan
volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan normal. Gagal ginjal dibagi menjadi dua kategori
yaitu gagal ginjal kronik dan gagal ginjal akut. (Price & Welson, 2006)
Pada gagal ginjal akut terjadi penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba dalam waktu beberapa
hari atau beberapa minggu dan ditandai dengan hasil pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin
darah) dan kadar urea nitrogen dalam darah yang meningkat. Sedangkan pada gagal ginjal kronis,
penurunan fungsi ginjal terjadi secara perlahan-lahan. Sehingga biasanya diketahui setelah jatuh
dalam kondisi parah. Gagal ginjal kronik tidak dapat disembuhkan. Pada penderita gagal ginjal
kronik, kemungkinan terjadinya kematian sebesar 85 %.

B. TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Agar mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif pada pasien gagal
ginjal.
2. Agar mahasiswa dapat memahami pengertian gagal ginjal akut dan kronik
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui tanda dan gejala pada pasien gagal ginjal akut dan kronik.

C. SISTEMATIKAN PENULISAN
Makalah ilmiah ini disusun ke dalam lima bab yang terdiri dari :
Bab I Pendahuluan: menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan
sistematika penulisan.

Bab II Konsep Dasar Penyakit Gagal Ginjal: menguraikan tentang anatomi fisiologi, pengertian,
penyebab, patofiologi, manifestasi klinik, pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan medic, dan
asuhan keperawatan.

Bab III Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gagal Ginjal: menjelaskan tentang konsep asuhan
keperawatan pada klien dengan gagal ginjal, yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, serta evaluasi.

Bab IV Askep pada Kasus Gagal Ginjal; menguraikan tentang asuhan keperawatan pada pasien gagal
ginjal

Bab V Penutup ; berisikan tentang kesimpulan dan saran.


BAB II
KONSEP DASAR PENYAKIT GAGAL GINJAL

A. Anatomi Fisiologi

Gambar 1.1

Gambar Ginjal (Anonymous, 2012)

Ginjal merupakan organ berpasangan. Beratnya ± 125 gr, terletak pada posisi disebelah lateral
vertebralis torakalis bawah, beberapa cm dsebelak kanan dan kiri garis tengah. Organ ini terbungkus
oleh jaringan ikat tipis disebut kapsula renis. Disebelah anterior dipisahkan kavum abdomen dan
isinya oleh lapisan peritoneum. Disebelah posterior dilindungi oleh dinding toraks bawah. Darah
dialirkan kedalam setiap ginjal melalui arteri renalis dan keluar dari dalam ginjal melalui vena renalis.
Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis dan vena renalis membawa darah kembali kedalam
vena kava inverior. Urin terbentuk dalam unit-unit fungsional ginjal dalam nefron.

Ginjal terdiri dari bagian external (korteks), bagian internal (medulla), setiap ginjal terdiri dari ± 1
juta nefron. Fungsi nefron adalah proses pembentuka urin dimulai dari darah mengalir lewat
glomerulus. Glomerulus yang merupakan struktur awal nefron (tersusun atas jonjot-jonjot kapiler)
mendapat darah lewat vasa aferen dan mengalir balik lewat fasa eferen. Ketika darah berjalan
melewati struktur ini, filtrasi terjadi (air dan molekul-molekul kecil akan dibiarkan lewat, molekul
besar tetap bertahan dalam aliran darah) cairan (filtrate) disaring lewat dinding jonjot-jonjot kapiler
glomerulus dan memasuki tubulus ± 20% plasma lewat glomerulus disaring dalam nefron dengan
jumlah sekitar 180 liter flitrat/hari

Fungsi Ginjal

Menurut Sherwood (2011) mengatakan bahwa ginjal memiliki fungsi yaitu:

a. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.


b. Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga sangat berperan dalam pengaturan jangka
panjang tekanan darah arteri
c. Membantu memelihara keseimbangan asam basa pada tubuh.
d. Mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme tubuh.
e. Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-obatan.
B. Pengertian
Penyakit Gagal Ginjal adalah ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume
dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan normal. Gagal ginjal dibagi menjadi dua kategori yaitu
gagal ginjal kronik dan gagal ginjal akut. (Price & Welson, 2006)

Gagal ginjal adalah suatu kondisi di mana ginjal tidak dapat menjalankan fungsinya secara
normal. Pada kondisi normal, pertama-tama darah akan masuk ke glomerulus dan mengalami
penyaringan melalui pembuluh darah halus yang disebut kapiler. Di glomerulus, zat-zat sisa
metabolisme yang sudah tidak terpakai dan beberapa yang masih terpakai serta cairan akan
melewati membran kapiler sedangkan sel darah merah, protein dan zat-zat yang berukuran besar
akan tetap tertahan di dalam darah. Filtrat (hasil penyaringan) akan terkumpul di bagian ginjal yang
disebut kapsula Bowman. Selanjutnya, filtrat akan diproses di dalam tubulus ginjal. Di sini air dan
zat-zat yang masih berguna yang terkandung dalam filtrat akan diserap lagi dan akan terjadi
penambahan zat-zat sampah metabolisme lain ke dalam filtrat. Hasil akhir dari proses ini adalah urin
(air seni).

Gagal ginjal ini dapat menyerang siapa saja yang menderita penyakit serius atau terluka dimana
hal itu berdampak langsung pada ginjal itu sendiri . Penyakit gagal ginjal lebih sering dialami mereka
yang berusia dewasa , terlebih pada kaum lanjut usia .

Secara umum, gagal ginjal adalah penyakit akhir dari serangkaian penyakit yang menyerang traktus
urinarius.

Gagal ginjal dibagi menjadi dua bagian besar yakni Gagal Ginjal Akut (acute renal failure = ARF) dan
Gagal Ginjal Kronik (chronic renal failure = CRF).
1. Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut adalah hilangnya fungsi ginjal secara mendadak dan hampir lengkap akibat
kegagalan sirkulasi renal atau disfungsi tublar dan glomerular (Brunner & Suddarth,2000)
Pada gagal ginjal akut terjadi penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba dalam waktu beberapa
hari atau beberapa minggu dan ditandai dengan hasil pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin
darah) dan kadar urea nitrogen dalam darah yang meningkat.
Penyakit gagal ginjal akut adalah suatu penyakit dimana ginjal tidak dapat lagi menjalankan
fungsinya sebagai organ pembuangan, ginjal secara relatif mendadak tidak dapat lagi memproduksi
cairan urine yang merupakan cairan yang mengandung zat-zat yang sudah tidak diperlukan oleh
tubuh dan harus dikeluarkan dari tubuh .Gagal ginjal akut biasanya disertai oliguria (pengeluaran
kemih <400ml/ hari). (Price and Wilson, 1995 : 885).

Gambar 2.1
Gambar Ginjal yang Tidak Sehat

2. Gagal Ginjal Kronik


Gambar 2.2
Gambar Tahapan Gagal Ginjal Kronik

Gagal ginjal kronik adalah kemunduran fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel dimana
terjadi kegagalan kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseibangan metabolik,caira dan
elektrolit yang mengakibatkan uremia atau azotemia. (Brunner & Suddarth,2000)

Kegagalan ginjal menahun merupakan suatu kegagalan fungsi ginjal yang berlangsung perlahan-
lahan, karena penyebab yang berlangsung lama,sehingga tidak dapat menutupi kebutuhan biasa lagi
dan menimbulkan gejala sakit. (Purnawan Junadi,1989)

C. Penyebab
1. Penyebab gagal ginjal akut menurut (Brunner & Suddarth,2000)
a. Kondisi Pre Renal (Hipoperfusi ginjal)
Kondisi pre renal adalah masalah aliran darah akibat hipoperfusi ginjal dan turunnya laju filtrasi
glomerulus. Kondisi klinis yang umum yang menyebabkan terjadinya hipoperfusi renal adalah :
 Penipisan volume
 Hemoragi
 Kehilangan cairan melalui ginjal (diuretic,osmotic)
 Kehilangan cairan melalui saluran GI (muntah,diare)
 Gangguan efisiensi jantung
 Infark miokard
 Gagal jantung kongestif
 Disritmia
 Syok karsinogenik
 Vasodilatasi
 Sepsis
 Anafilaksis
 Medikasi antihipertensif

b. Kondisi Intra Renal (kerusakan actual jaringan ginjal)


Penyebab intra renal gagal ginjal akut adalah kerusakan glumerulus atau tubulus ginjal yang dapat
disebabkan oleh hal-hal berikut ini :
 Cedera akibat terbakar dan benturan
 Reaksi transfuse yang parah
 Agen nefrotoksik
 Antibiotic aminoglikosida
 Agen kontras radiopaque
 Logam berat (timah,merkuri)
 Obat NSAID
 Bahan kimia dan pelarut
 Pielonefritis akut
 Glumerulonefritis

c. Kondisi Post Renal (Obstruksi Aliran Urine)


Kondisi pascarenal yang menyebabkan gagal ginjal akut biasanya akibat dari obstruksi dibagian
distal ginjal. Obstruksi ini dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi sebagai berikut :
 Batu traktus urinarius
 Tumor
 BPH
 Struktur
 Bekuan darah

d. Sedangkan penyebab gagal ginjal kronik antara lain :


 Diabetes Melitus
 Glumeruloneritis kronis
 Pielonefritis
 Hipertensi tak terkontrol
 Obstruksi saluran kemih
 Penyakit ginjal polikistik
 Gangguan vaskuler
 Lesi herediter
 Agen toksik (timah,kadmium dan merkuri)

D. Klasifikasi
Gagal ginjal kronik dibagi dalam 3 stadium
1. Stadium I
Penurunan cadangan ginjal, ditandai dengan kehilangan fungsi nefron 40-75%. Passion biasanya
tidak mempunyai gejala, karena sisa nefron yang ada dapat membawa fungsi-fungsi normal ginjal.
2. Stadium II  Insufisiensi ginjal
Kehilangan fungsi ginjal 75-90% pada tingkat ini terjadi kreatinin serum dan nitrogen urea darah,
ginjal kehilangan kemampuannya untuk mengembangkan urin pekat dan azotemia
3. Stadium III  Payah gagal ginjal stadium akhir atau uremia
Tingkat renal dari GGK yaitu sisa nefron yang berfungsi <10%. Pada keadaan ini kreatinin serum dan
kadar BUN akan meningkat dengan menyolok sekalisebagai respon terhadap GFR yang mengalami
penurunan sehingga terjadi ketidakseimbangan kadar ureum nitrogen darah dan elektrolit, pasien
diindikasikan untuk dialysis.

K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG:
1. Stadium 1
Kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG yang masih normal (>90
ml/menit/1,73 m2)
2. Stadium 2
Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89 mL/menit/1,73 m2
3. Stadium 3
Kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73 m2
4. Stadium 4
Kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29 mL/menit/1,73 m2
5. Stadium 5
Kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73 m2 atau gagal ginjal terminal.
E. Patofisiologi
a) Terdapat empat tahapan terjadinya gagal ginjal akut menurut (Brunner & Suddarth,2000):
1. Periode Awal
Merupakan awal kejadian penyakit dan diakhiri dengan terjadinya oliguria
2. Periode Oliguri
Pada periode ini volume urine kurang dari 400 ml/24jam, disertai dengan peningkatan
konsentrasi serum dari substansi yang biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea,kreatinin, asam urat,
kalium dan magnesium). Pada tahap ini untuk pertama kalinya gejala uremik muncul dan kondisi
yang mengancam jiwa seperti hiperkalemia terjadi.
3. Periode Diuresis
Pasien menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap.,disertai tanda perbaikan
glumerulus. Nilai laboratorium berhenti meningkat dan akhirnya menurun. Tanda uremik mungkin
masih ada,sehingga penatalaksanaan medis dan keperawatan masih di perlukan. Pasien harus
dipantau ketat akan adanya dehidrasi selama tahapan ini, jika terjadi dehidrasi, tanda uremik
biasanya meningkat.
4. Periode Penyembuhan
 Merupakan tanda perbaikan fungsi ginjal dan berlangsung selama 3-12 bulan
 Nilai laboratorium akan kembali normal
 Namun terjadi penurunan GFR permanen 1%-3%.

b) Sedangkan pada gagal ginjal kronik menurut (Brunner & Suddarth,2000):


1. Gangguan Klirens Renal.
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomeruli
yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan
oleh ginjal

2. Retensi Cairan dan Natrium.


Ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal
pada penyakit ginjal tahap-akhir; respons ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan
elektrolit sehari-hari, tidak terjadi.
3. Asidosis.
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal,terjadi asidosis metabolic seiring dengan
ketidak mampuan ginjal mengekskresikan muatan asam yang berlebihan.
4. Anemia
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya
usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat
status uremik pasien, terutama dari saluran gastrointestinal
5. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat.
Abnormalitas utaa yang ain pada gagal ginjal kronis adalah gangguan metabolisme kalsim
dan fosfat.
6. Penyakit tulang uremik (osteodistrofi renal).
Terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat, dan keseimbangan parathormon.
F. Manifestasi Klinik
a) Manifestasi klinik Gagal Ginjal Akut menurut (Brunner & Suddarth,2000):
Hampir setiap system tubuh dipengaruhi ketika terjadi kegagalan mekanisme pengaturan ginjal
normal. Pasien tampak sangat menderita dan letargi disertai mual persisten, muntah, dan diare.
Kullit dan membrane mukosa kering akibat dehidrasi, dan nafas mungkin berbau (sector uremik).
Manifestasi system saraf pusat mencakup rasa lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan kejang.
1. Perubahan Haluaran Urin.
Haluaran urin sedikit, dapat mengandung darah, dan gravitasi spesifiknya rendah (1010 normalnya
1015-1025)
2. Peningkatan BUN dan Kadar Kreatinin.
Terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN dan laju peningkatannya bergantung pada tingkat
katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal dan masukkan protein.
3. Hiperkalemia.
Pasien yang mengalami laju filtrassi glomerulus tidak mampu mengeksresikan kalium.
4. Asidosis meabolik.
Pasien oliguria akut tidak dapat mengeliminasi matan metabolic seperti sustansi jenis asam yang
dibentuk oleh proses metabolic normal.

b) Tanda dan Gejala pada Gagal Ginjal Kronik:


Menurut (Long, 1996 :369)
 Gejala dini
1. Lethargi
2. Sakit kepala
3. Kelelahan fisik dan mental
4. Berat badan berkurang
5. Mudah tersinggung
6. Depresi
• Gejala lebih lanjut
1. Anoreksia
2. Mual disertai muntah
3. Nafas dangkal
4. Sesak nafas

Menurut Suyono (2001):

• Kardiovaskular
1. Hipertensi
2. Pitting edema
3. Edema periorbital
4. Pembesaran vena leher
5. Friction rub perikardial
• Pulmoner
1. Krekel
2. Napas dangkal
3. Kusmaul
4. Sputum kental
• Gastrointestinal
1. Anoreksia, mual dan muntah
2. Pendarahan saluran GI
3. Ulserasi dan pendarahan pada mulut
4. Konstipasi
5. Napas berbau amonia
• Muskuloskeletal
1. Keram otot kehilangan kekuatan otot
2. Fraktur tulang
3. Foot drop

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Elektrokardiogram (EKG), Perubahan yang terjadi berhubungan dengan ketidakseimbangan
elektrolit dan gagal jantung.
2. Kajian foto toraks dan abdomen, Perubahan yang terjadi berhubungan dengan retensi cairan.
3. Osmolalitas serum, Lebih dari 285 mOsm/kg
4. Pelogram Retrograd, Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
5. Ultrasonografi Ginjal, Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi pada
saluran perkemihan bagian atas
6. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi, Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan
pengangkatan tumor selektif
7. Arteriogram Ginjal, Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular

H. Penatalaksanaan Medik
1. Terapi medis pada pasien Gagal Ginjal Akut menurut (Brunner & Suddarth,2000):
Gagal ginjal memiliki kemampuan pulih yang luar biasa dari penyakit. Oleh karena itu, tujuan
penanganan gagal ginjal akut adalah untuk menjaga keseimbangan kimiawi normal dan mencegah
komplikasi sehingga perbaikan jaringan ginjal dan pemeliharaan fungsi ginjal dapat terjadi.
a. Dialysis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti
hyperkalemia, pericarditis dan kejang.
b. Penanganan hyperkalemia keseimbangan cairan dan elektrolit merupkan masalah utama pada gagal
ginjal akut; hyperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini.
c. Mempertahankan keseimbangan cairan. Penatalaksanaan keseimbangan cairan didasarkan pad
berat badan harian, pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang
hilang, tekanan darah, dan status klinis pasien.
d. Pertimbangan nutrisional. Diet protein dibatasi sampai 1g/kg selama fase oligurik untuk
menurunkan pemecahan protein dan mencegah akumulasi produk akhir toksik.
e. Cairan IV dan diuretic. Aliran darah ke ginjal yang adekuat pada banyak pasien dapat dipertahankan
melalui cairan IV dan medikasi.
f. Koreksi asidosis dan peningkatan kadar fosfat. Jika asidosis berat terjadi, gas darah arteri harus
dipantau; tindakan ventilasi yang tepat harus dilakukan jika terjadi masalah pernafasan.

2. Terapi medis pada pasien Gagal Ginjal Kronik :


a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya. Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit
dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi,biopsi dan pemeriksaan histopatologi
ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid. Penting sekali untuk mengikuti dan mencatata
kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit GGK, hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid
yang dapat memperburuk keadaan pasien.
c. Memperlambat pemburukan (progresis) fungsi ginjal. Faktor utama penyebab perburukan fungsi
ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulur adalah pembatasan asupan protein dan terapi farmakologis.
d. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular. Pencegahan dan terapi terhadap
penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40 s.d. 45% kematian penyakit GGK
disebabkan penyakit kardiovaskular
e. Pencegahan dan terapi komplikasi. Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manisfestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
f. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transpalasi ginjal. Terapi pengganti ginjal dilakukan
pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15ml/menit. Terapi pengganti
tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

Gambar 8.1

Gambar Hemodialisis

Menurut (Andra & Yessie 2013 : 234)


a. Pengaturan minum → pemberian cairan
b. Pengendalian hipertensi =< intake garam
c. Pengendalian K+ darah
d. Penanggulangan anemia → transfusi
e. Penanggulangan asidosis
f. Pengobatan dan pencegahan infeksi
g. Pengaturan protein dalam makan
h. Pengobatan neuropati
i. Dialisis
j. Transplantasi
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GAGAL GINJAL

Menurut Marillyn E. Doenges ( 2000 ) pengkajian meliputi:


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar utama proses perawatan yang akan membantu dalam penentuan
status kesehatan dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien serta
merumuskan diagnosa keperawatan.
a. Identitas klien
Meliputi nama lengkap, tempat tinggal, umur, tempat lahir, asal suku bangsa, nama orang
tua, pekerjaan orang tua.tas dan koma
b. Keluhan utama
Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan tidur,
tachicard/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan koma.
c. Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan sebelumnya
Berapa lama klien sakit, bagaimana penanganannya, mendapat terapi apa, bagaimana cara
minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi
penyakitnya.
d. Aktifitas / istirahat :
• Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise
• Gangguan tidur (insomnia / gelisah atau somnolen
• Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak
e. Sirkulasi
• Adanya riwayat hipertensi lama atau berat, palpatasi, nyeri dada (angina)
• Hipertensi, DUJ, nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting pada kaki, telapak tangan.
• Nadi lemah, hipotensi ortostatikmenunjukkan hipovolemia, yang jarang pada penyakit tahap akhir.
• Pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.
• Kecenderungan perdarahan

f. Integritas Ego
• Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
• Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.
g. Eliminasi
• Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (pada gagal ginjal tahap lanjut
• Abdomen kembung, diare, atau konstipasi
• Perubahan warna urine, contoh kuning pekat, merah, coklat, oliguria.
h. Makanan / cairan
• Peningkatan berat badan cepat (oedema), penurunan berat badan (malnutrisi).
• Anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap pada mulut (pernapasan amonia)
• Penggunaan diuretik
• Distensi abdomen/asites, pembesaran hati (tahap akhir)
• Perubahan turgor kulit/kelembaban.
• Ulserasi gusi, pendarahan gusi/lidah.
i. Neurosensori
• Sakit kepala, penglihatan kabur.
• Kram otot / kejang, syndrome “kaki gelisah”, rasa terbakar pada telapak kaki, kesemutan dan
kelemahan, khususnya ekstremiras bawah.
• Gangguan status mental, contah penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, stupor.
• Kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang.
• Rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
j. Nyeri / kenyamanan
• Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/ nyeri kaki.
• Perilaku berhati-hati / distraksi, gelisah.
k. Pernapasan
• Napas pendek, dispnea, batuk dengan / tanpa sputum kental dan banyak.
• Takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi / kedalaman.
• Batuk dengan sputum encer (edema paru).
l. Keamanan
• Kulit gatal
• Ada / berulangnya infeksi
• Pruritis
• Demam (sepsis, dehidrasi), normotermia dapat secara aktual terjadi peningkatan pada pasien yang
mengalami suhu tubuh lebih rendah dari normal.
• Ptekie, area ekimosis pada kulit
• Fraktur tulang, keterbatasan gerak sendi
m. Seksualitas
• Penurunan libido, amenorea, infertilitas
n. Interaksi sosial
• Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran biasanya
dalam keluarga.
o. Penyuluhan / Pembelajaran
• Riwayat DM (resiko tinggi untuk gagal ginjal), penyakit polikistik, nefritis heredeter, kalkulus
urenaria, maliganansi.
• Riwayat terpejan pada toksin, contoh obat, racun lingkungan.
• Penggunaan antibiotic nefrotoksik saat ini / berulang.
2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan ditegakkan atas dasar data dari pasien. Kemungkinan diagnosa
keperawatan dari orang dengan kegagalan ginjal kronis adalah sebagai berikut :

a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet berlebih dan retensi
cairan serta natrium.

b. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual dan muntah,
pembatasan diet, dan perubahan membrane mukosa mulut.

c. Intoleran aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi, produk sampah.

d. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi, pemeriksaan diagnostik, dan
rencana tindakan.

3. Intervensi

Dx
NO Tujuan dan KH Intervensi Rasional
kep

1 1 Tujuan - Kaji status cairan : - Pengkajian merupakan


dasar dan data dasar
Mempertahankan • Timbang berat badan berkelanjutan untuk
berat tubuh ideal harian memantau perubahan dan
tanpa kelebihan cairan. mengevaluasi intervensi.
• Keseimbangan masukan
dan haluaran Keperawatan Medikal Bedah
Kriteria hasil : edisi 8 vol 2, Brunner &
• Turgor kulit dan adanya Suddart, hal 1452)
• Menunjukkan oedema
pemasukan dan
pengeluaran • Distensi vena leher
mendekati seimbang • Tekanan darah, denyut

• Turgor kulit baik dan irama nadi - Pembatasan cairan akan


menentukan berat badan
• Membran mukosa - Batasi masukan cairan
ideal, haluaran urine dan
lembab respons terhadap terapi.
(Keperawatan Medikal
• Berat badan dan tanda
Bedah edisi 8 vol 2, Brunner
vital stabil
& Suddart, hal 1452).
• Elektrolit dalam batas
- Sumber kelebihan cairan
normal
yang tidak diketahui dapat
diidentifikasi. (Keperawatan
Medikal Bedah edisi 8 vol 2,
Brunner & Suddart, hal
1452).

- Pemahaman meningkatkan
kerjasama pasien dan
keluarga dalam pembatasan
cairan (Keperawatan
Medikal Bedah edisi 8 vol 2,
Brunner & Suddart, hal
1452).

- Jelaskan pada pasien dan


keluarga rasional - Perubahan ini menunjukkan
pembatasan kebutuhan dialisa segera.
(Rencana Asuhan
Keperawatan Medikal
Bedah, vol 1, Barbara
Ensram, hal 156).

- Pantau kreatinin dan


BUN serum

2 2 Tujuan - Kaji / catat pemasukan - Membantu dalam


Mempertahankan diet mengidentifikasi defisiensi
masukan nutrisi yang dan kebutuhan diet. Kondisi
adekuat fisik umum gejala uremik
dan pembatasan diet
multiple mempengaruhi
Kriteria hasil : pemasukan makanan.
 (Rencana Asuhan
Mempertahankan/men Keperawatan, Marylinn E.
ingkatkan berat badan Doenges, hal 620).
seperti yang
diindikasikan oleh - Kaji pola diet nutrisi
situasi individu. pasien - Pola diet dahulu dan
sekarang dapat
 Bebas oedema • Riwayat diet dipertimbangkan dalam
• Makanan kesukaan menyusun menu.
(Keperawatan Medikal
• Hitung kalori Bedah edisi 8 vol 2, Brunner
& Suddart, hal 1452)

3 3 Tujuan : Berpartisipasi - Kaji faktor yang - Menyediakan informasi


dalam aktifitas yang menimbulkan keletihan tentang indikasi tingkat
dapat ditoleransi keletihan
 Anemia (Keperawatan Medikal
Bedah edisi 8 vol 2, Brunner
Kriteria hasil :  Ketidakseimbangan
& Suddart, hal 1454).
cairan dan elektrolit
 Berkurangnya keluhan
lelah  Retensi produk sampah

 Peningkatan  Depresi
keterlibatan pada
- Tingkatkan kemandirian
aktifitas social
dalam aktivitas - Meningkatkan aktivitas
 Laporan perasaan lebih perawatan diri yang ringan/sedang dan
berenergi dapat ditoleransi, bantu memperbaiki harga diri.
jika keletihan terjadi.
 Frekuensi pernapasan
dan frekuensi jantung
kembali dalam rentang
normal setelah - Anjurkan aktivitas
penghentian aktifitas. alternatif sambil - Mendorong latihan dan
istirahat. aktivitas dalam batas-batas
yang dapat ditoleransi dan
istirahat yang adekuat.
(Keperawatan Medikal
Bedah edisi 8 vol 2, Brunner
& Suddart, hal 1454).

- Istirahat yang adekuat


- Anjurkan untuk dianjurkan setelah dialisis,
beristirahat setelah yang bagi banyak pasien
dialisis sangat melelahkan.
(Keperawatan Medikal
Bedah edisi 8 vol 2, Brunner
& Suddart, hal 1454).

4 4Tujuan: - Bila mungkin atur untuk - Individu yang berhasil dalam


kunjungan dari individu koping dapat pengaruh
Ansietas berkurang yang mendapat terapi. positif untuk membantu
dengan adanya pasien yang baru didiagnosa
peningkatan mempertahankan harapan
pengetahuan tentang dan mulai menilai
penykit dan
perubahan gaya hidup yang
pengobatan. akan diterima. (Rencana
Asuhan Keperawatan vol 1,
Kriteria hasil : Barbara Engram hal 159).

 Mengungkapkan
pemahaman
tentangkondisi,
pemeriksaan
diagnostic dan rencana
tindakan.

 Sedikit melaporkan
perasaan gugup atau
takut.

4. Implementasi

a. Membantu Meraih Tujuan Terapi

- Mengusahakan agar orang tetap menekuni pantangan air yang sudah dipesankan.

- Mengusahakan agar orang menekuni diet tinggi karbohidrat disertai pantangan sodium, potassium,
phosphorus dan protein.

- Tenekuni makanan bahan yang mengikat fosfat.

- Memberikan pelunak tinja bila klien mendapat aluminium antacid.

- Memberikan suplemen vitamin dan mineral menurut yang dipesankan.

- Melindungi pasien dari infeksi.

- Mengkaji lingkungan klien dan melindungi dari cedera dengan cara yang seksama.
- Mencegah perdarahan saluran cerna yang lebih hebat dengan menggunakan sikat gigi yang berbulu
halus dan pemberian antacid.

b. Mengusahakan Kenyamanan

- Mengusahakan mengurangi gatal, memberi obat anti pruritis menurut kebutuhan.

- Mengusahakan hangat dan message otot yang kejang dari tangan dan kaki bawah.

- Menyiapkan air matol buatan untuk iritasi okuler.

- Mengusahakan istirahat bila kecapaian.

- Mengusahakan agar klien dapat tidur dengan cara yang bijaksana.

c. Konsultasi dan Penyuluhan

- Menyiapkan orang yang bisa memberi kesempatan untuk membahas berbagai perasaan tentang
kronisitas dari penyakit.

- Mengusahakan konsultasi bila terjadi penolakan yang mengganggu terapi.

- Membesarkan harapan orang dengan memberikan bantuan bagaimana caranya mengelola cara
hidup baru.

- Memberi penyuluhan tentang sifat dari CRF, rasional terapi, aturan obat-obatan dan keperluan
melanjutkan pengobatan. (Keperawatan Medikal Bedah, Barbara C. Long).

5. Evaluasi
Pertanyaan-pertanyaan yang umum yang harus diajukan pada evaluasi orang dengan kegagalan
ginjal terdiri dari yang berikut.

- Apakah terdapat gejala-gejala bertambahnya retensi cairan?

- Apakah orang menekuni pesan diet dan cairan yang diperlukan?

- Apakah terdapat gejala-gejala terlalu kecapaian?

- Apakah orang tidur nyenyak pada malam hari?

- Apakah orang dapat menguraikan tentang sifat CRF, rasional dan terapi, peraturan obat-obatan dan
gejala-gejalayang harus dilaporkan?
BAB IV

ASKEP PADA KASUS PASIEN GAGAL GINJAL

A. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dari asuhan keperawatan, pada pengkajian meliputi :
1. Identitas klien
Nama klien Tn.S , jenis kelamin laki-laki, umur 41 tahun, status perkawinan sudah menikah,
pendidikan SMA, agama islam, bekerja sebagai karyawan, alamat di Jl. Pengadegan Rt.12 Rw.7
Pancoran Jakarta Selatan, tanggal masuk rumah sakit 31 Mei 2014, diagnosa Gagal ginjal kronis,
tanggal pengkajian 2 Juni 2014.

2. Riwayat kesehatan saat ini


Klien mengatakan datang ke IGD RSUD Budi Asih dengan keluhan utama lemas, mual, dan nafsu
makan menurun, klien mengatakan memiliki darah tinggi dan DM. Klien tampak lemas, BB saat ini :
64 kg, TB : 170 cm, turgor kulit sedang. Hasil tanda-tanda vital : TD:160/100 mmHg, N: 84x/mnt, RR:
20x/mnt, S:36 ºC. Hasil labolatorium menunjukkan leukosit : 5,3 rb/uL, eritrosit: 2,7 jt/ul, Hb: 9,2
g/dL, Ht:26%, Trombosit:285 rb/uL, GDS : 143 mg/dL, ureum:226 mg/dL, kreatinin:21,40 mg/dL.
Klien mendapat terapi CaCO3 3 x 1 mg, tonar 3x2 kaplet 630 mg, amlodipin 1x5 mg, candesartan
1x16 mg. Klien terpasang IVFD Ransamin/ 12 jam ditangan kiri.

3. Riwayat kesehatan masa lalu


Klien mengatakan memiliki riwayat hipertensi dan DM dari orang tuanya. Klien pada 3 bulan yang
lalu berobat di puskesmas Carolous dengan keluhan lemas, tangan kanan dan kaki kanan tidak bisa
di gerakkan, klien mendapatkan obat hipertensi tetapi tidak sampai dirawat. Setelah 1 bulan
berobat, klien mengatakan kembali berobat ke puskesmas Carolous dengan keluhan lemas, nafsu
makan menurun dan klien terdiagnosis penyakit ginjal. Kemudian klien berobat ke RSUD Budi Asih
dengan keluhan yang sama badan lemas dan nafsu makan menurun.

4. Riwayat kesehatan keluarga


Klien mengatakan dalam keluarga tidak ada yang mengalami penyakit seperti klien alami sekarang.
Klien mengatakan ada riwayat penyakit keturunan dari orang tua yaitu hipertensi dan DM. Klien
mengatakan selama ini memiliki pola hidup tidak sehat, seperti terlambat makan, suka menahan
BAK terlalu lama dan klien mengatakan tidak ada pantangan dalam makan.

5. Riwayat psikososial dan spiritual


Klien mengatakan orang yang dekat dengan klien adalah istri dan keluarga. Pola komunikasi klien
baik. Klien mengatakan dalam membuat keputusan adalah dengan musyawarah. Klien menjalankan
ibadah sesuai dengan agamnya, tidak ada nilai-nilai yang bertentangan dengan kesehatan.

6. Pola kebiasaan sehari – hari (sebelum sakit)


a. Nutrisi
1) Di rumah :
Klien makan 3 kali sehari dengan menu nasi, sayur, lauk pauk, nafsu makan klien baik, berat badan
72 kg, tinggi badan 170 cm, klien mengatakan makan tidak tepat waktu dan jarang makan pagi saat
pergi bekerja.
2) Di rumah sakit :
Klien makan 3 kali sehari diet rendah garam dengan bubur, lauk pauk, sayur, dan buah, nafsu makan
klien menurun karena mual tetapi klien dapat menghabiskan makan 1 porsi, klien makan sendiri,
berat badan 64 kg, tinggi badan 170 cm.
b. Eliminasi
1) Di rumah :
Klien buang air kecil 3 sampai 4 kali sehari, warna putih jernih, tidak ada keluhan dalam BAK. Klien
buang air besar 2 kali sehari tiap malam, warna coklat, bau khas, konsistensi lembek, klien
mengatakan kadang-kadang susah BAB, klien pernah menggunakan laxative/ pencahar.
2) Di rumah sakit :
Klien BAK 3-4 kali sehari, warna kuning, tidak ada keluhan dalam BAK, klien belum BAB 2 hari sejak
dirwat dirumah sakit.
c. Personal Hygiene :
1) Di rumah :
Klien mandi 2 kali sehari menggunakn sabun. Klien menggosok gigi 2 kali sehari setelah makan pagi
dan sebelum tidur. Klien mencuci rambut 1 kali seminggu menggunakan shampoo.
2) Di rumah sakit :
Klien mandi hanya di lap sehari satu kali. Menggosok gigi 1 kali sehari dengan menggunakan pasta
gigi.
d. Istirahat dan tidur
1) Di rumah :
Klien tidur 5 jam sehari, klien tidak pernah tidur siang.
2) Di rumah sakit :
Klien tidur 6 jam sehari, tidur siang kadang-kadang.

e. Pola aktifitas dan latihan


1) Di rumah :
Klien bekerja sebagai karyawan pengantar makanan, waktu bekerja klien pagi sampai sore, kadang-
kadang klien masuk bekerja pada malam hari, klien kadang-kadang olahraga futsal bersama teman
kantor jika ada waktu, waktu luang klien mengobrol dengan teman kantor atau tetangga, klien tidak
ada keluhan dalam beraktifitas.
2) Di rumah sakit :
Klien tidak banyak melakukan aktifitas sehari-hari, aktifitas hanya di tempat tidur, klien tidak
berolahraga selama di rumah sakit, tidak ada keluhan dalam beraktifitas tetapi klien mentakan
badan lemas.
f. Kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan
1) Di rumah :
Klien merokok sebanyak 2-3 batang sehari, klien merokok sejak usia 20 tahun sampai sekarang,
tetapi sejak 2 bulan yang lalu klien berhenti untuk merokok. Klien tidak minum-minuman keras dan
tidak ketergantungan obat.
2) Di rumah sakit:
Selama dirawat di rumah sakit klien tidak merokok tidak minum-minuman keras dan tidak
ketergantungan obat.

7. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem penglihatan
Posisi mata simetris, kelopak mata normal, pergerakkan bola mata normal, konjungtiva anemis,
kornea normal, sklera, anikterik, pupil isokor, otot-otot mata tidak ada kelainan, klien memakai
kacamata plus (+), tidak memakai lensa kontak, reaksi terhadap cahaya baik.

b. Sistem pendengaran
Daun telinga normal, tidak ada serumen, kondisi telinga normal, tidak terasa penuh dalam telinga,
tidak memakai alat bantu pendengaran, fungsi keseimbangan normal, tidak ada nyeri tekan, tidak
ada tinitus, fungsi pendengaran normal.

c. Sistem pernafasan
Jalan nafas bersih, tidak sesak nafas, tidak menggunakan otot- otot bantu pernafasan, frekuensi 20
x/menit, irama teratur, klien tidak batuk, suara nafas normal.

d. Sistem kardiovaskuler
Warna kulit pucat, tidak ada distensi vena jugularis kanan dan kiri, nadi 84x/menit, irama teratur,
denyut kuat, TD 160/100 mmHg, tempetarure kulit hangat, kapilari refil 3 detik, ada edema, denyut
nadi apikal 80x/menit, irama teratur, murmur dan gallop tidak ada, tidak ada keluhan sakit dada.

e. Sistem persyarafan
Klien bicara normal, tidak ada disorientasi orang, tempat dan waktu, nilai GCS klien 15, kesdaran
composmentis, rasa baal tidak ada, ada kesmutan, klien dapat merasakan suhu panas/ dingin,
refleks fisiologis dan patologis klien normal, kaku kuduk tidak ada, test lasaque normal > 130º, test
kernig normal > 70º, tidak ada kesulitan dalam berbicara.

f. Sistem pencernaan
Warna kulit abdomen normal, terdapat bising usus 10x/menit, bunyi timpani tidak ada massa, tidak
teraba tegang, hepar dan lien/ spelen tidak ada kelianan, konsistensi feses warna coklat setengah
padat, lamanya 2 hari, muntah tidak ada, mual ada , nafsu makan kurang, nyeri daerah perut
dikanan bawah seperti melilit rasa penuh di perut tidak ada.

g. Sistem endokrin
Nafas berbau keton (-), poliuri, polidipsi dan polipagia tidak ada, berkeringat banyak tidak ada,
tremor tidak ada, bradikardi tidak ada, takikardi tidak ada, exopthalmus tidak.

h. Sistem perkemihan
Klien memakai kateter, tidak ada nyeri tekan, nyeri tekan daerah pinggang belakang tidak ada, BAK
3-4 kali sehari, BAK terkontrol, jumlah urin 600 cc/24 jam, warna kuning pekat.

i. Sistem muskuloskeletal
Klien tampak lemas, bentuk tubuh klien atletik, gaya berjalan normal, lengkung spinal normal, tidak
ada kesulitan gerak sendir, tidak ada frsktur, tidak ada paralisis, tidak teraba panas, klien terpasang
IVFD resamen/12 jam.

8. Pemerikasaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Telah didapatkan hasil laboratorium tanggal 31 Mei 2014, yaitu leukosit: 5,3 rb/ul (normal: 3,8 –
10,6), eritrosit 2,7 jt/ul (normal: 4,4 – 5,9), hemoglobin 9,2 gr/dl (normal: 13,2 – 17,3), hematokrit
26% (normal: 40-52), trombosit 285 rb/ul (normal: 150 – 440), MCV 95,0 fl (normal: 80 – 100), MCH
33,9 pg (normal: 26 -34), MCHC 35,8 g/dl (normal: 32-36), RDW: 13,8% (normal <14) GDS : 143 mg/dl
(normal <110), Ureum: 226 mg/dl (normal: 13-43), kreatinin : 21,40 mg/dl (normal <1,2).

9. Penatalaksanaan
a. Terapi oral : CaCO3 3x1 mg, Tonar 3x2 kaplet 630 mg, Amlodipin 1x5 mg
Candesartan 1x 16 mg
b. Terapi injeksi : Ranitidin 2x1 ampul (@2ml, 25 mg/ml), Ondasentron 2x1
Ampul (@2ml, 2mg/ml)
c. Parenteral : Resamin/12 jam (14 tetes/menit)

10. Data Fokus


a. Data subjektif
Klien mengatakan mual, klien mengatakan nafsu makan menurun, klien mengatakan haus, klien
mengatakan minum air kurang, klien mengatakan tidak mengetahui penyakit yang diderita, klien
mengatakan lemas, klien mengatakan kegiatan sehari-hari dibantu keluarga.

b. Data Objektif
Klien makan habis 1/2 porsi, membran mukosa kering, turgor kulit sedang, capilary refil 3 detik, klien
bertanya tentang penyakitnya, klien dan keluarga bertanya tentang pengobatan, klien tampak
dibantu keluarga, klien beraktivitas hanya di tempat tidur, klien tampak tidak rapih, kaki kanan klien
teraba tegang otot, teraba edema pada kaki kanan, BB sebelum sakit 72 kg, BB saat ini 64 kg. TB :
170 cm, TTV: TD: 160/100 mg, N: 84 x/menit, RR: 20x/menit, S: 36°C, pemeriksaan lab : Hb: 9,2 gr/dl
(normal: 13,2-17,3), Ht : 26% (normal: 40-52).

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan, didapatkan diagnosa sebagai berikut :
1. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
2. Kekurangan volume cairan
3. Kurang pengetahuan tentang kondisi, diet, dan kebutuhan pengobatan
4. Intoleransi aktivitas
5. Defisit perawatan diri personal hygiene
C. PERENCANAAN
Berdasarkan diagnosa yang didapat, rencana tindakan yang akan dilakukan antara lain:
DX
NO TUJUAN dan KH INTERVENSI
KEP
1 1 Tujuan: - Kaji status, pola dan kebiasaan makan klien
Nutrisi klien terpenuhi - Berikan makanan sedikit tapi sering
setelah dilakukan - Berikan makanan yang mudah ditelan dan
tindakan keperawatan hangat
selama 3x24 jam - Catat jumalah porsi makanan yang dihabiskan
Kriteria hasil: - Timbang BB tiap 3 hari sekali
- Mual berkurang - Kolaborasi dalam pemberian antiemetik (
- Nafsu makan meningkat ranitidin 2x1 ampul @2ml, 25 mg/ml,
- Makan habis 1 porsi ondansentron 2x1 ampul (@2ml,2 mg/ml)
- Berat badan tetap/
bertambah
- Tidak ada edema pada
tungkai

2 2 Tujuan: - Monitor TTV setiap 8 jam


Keseimbangan cairan - Ukur input dan output
normal setelah dilakukan - Batasi pemasukan cairan sesuai indikasi
tindakan keperawatan - Observasi tanda dan gejala dehidrasi
selama 3x24 jam - Kolaborasi dalam pemberian antihipertensi (
Kriteria Hasil : amlodipin 1x5 mg, candesartan 1x16 mg)
- Input dan output
mendekati seimbang
- Membran mukosa
lembab
- TTV dalam batas normal
- Nilai elektrolit dalam
batas normal ( natrium :
135-155, kalium : 3,6-5,5,
klorida 98-109)
3 3 Tujuan: - Kaji tingakat pengetahuan klien tentang
Klien dapat menunjukkan penyakitnya
pemahaman tentang - Berikan pendidikan tentang pengertian,
kondisi diet dan penyebab, pembatasan cairan dan diet serta
kebutuhan pengobatan pengobatan
setelah dilakukan - Tanyakan kembali tentang penjelasan yang
tindakan keperawatan sudah diberikan
selama 1x30 menit - Berikan reinforcement setiap jawaban yang
Kriteria Hasil : diberikan
- Klien mengatakan sudah
mengerti tentang
penyakitnya dan
pengobatan untuk
penyakitnya
- Klien tidak bertanya lagi
tentang penyakitnya
4 4 Tujuan: - Kaji tingkat aktivitas klien
Klien dapat memenuhi - Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-
kebutuhan sehari-hari hari
setelah tindakan - Dekatkan barang-barang yang diperlukan
keperawatan selama - Libatkan keluarga dalam pelaksanaan tindakan
3x24 jam keperawatan
Kriteria hasil: - Dorong klien melakukan aktivitas sesuai
- Klien dapat melakukan kemampuan
ativitas sesuai
kemampuan
- Klien tampak mengalami
peningkatan kekuatan

5 5 Tujuan: - Kaji tingkat kemampuan klien dalam aktivitas


Klien dapat memenuhi perawatan diri
kebutuhan sehari-hari - Berikan bantuan dengan aktivitas yang
setelah tindakan diperlukan
keperawatan selama - Anurkan klien tidak banyak menguras energi
3x24 jam - Mendorong keluarga ikut partisipasi dalam
Kriteria hasil: membantu aktivitas klien sampai klien
- Klien tampak bersih sepenuhnya dapat mandiri melakukan
- Rambut rapih perawatan diri.
- Mulut tidak bau
- Klien dapat melakukan
aktivitas sesuai
kemampuan

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
DX
Tgl Jam Implementasi Respon Klien Ttd
Kep
2/6/14 14.15 1 - Mengkaji pola makan klien - Klien mengatakan mual
- Klien mengatakan makan 3x
sehari dengan diet lunak
- Klien dapat menghabiskannya
- Klien makan dibantu keluarga

14.30 4&5
- TD: 160/100mmHg
- Mengkaji tingkat aktivitas - N: 84 x/menit
15.00 1&2 klien dan memberi makan - RR: 20x/menit
- S: 360C
- Klien mengatakan belum
- Mengukur TTV mengerti tentang penyakit
GGK
- Membran mukosa lembab
- Kulit sedikit elastis
15.30 3 - Turgor kulit sedang
- Capillary refil 3 detik
- Klien mengatakan akan
16.00 2 - Mengkaji tingkat pengetahuan mencatat berapa banyak klien
klien minum

- Mengobservasi tanda-tanda - Obat telah diberikan melalui


dehidrasi vemplon
16.30 2

- Klien menghabiskan 1 porsi


1 makanan.
17.00 - Menganjurkan klien untuk
membatasi minum dan
mencatat berapa banyak klien
sudah minum
1 - Pemberian obat antiemetik (
17.30 ranitidin 2x1 ampul @2ml, 25
mg/ml, ondansentron 2x1
ampul (@2ml,2 mg/ml)
- Memberikan makan malam

3/6/14 14.00 1 - Mengkaji status nutrisi klien - Klien mengatakan makan habis
1/2 porsi
- Klien mengatakan mual

14.20 1 - Menganjurkan klien makan


sedikit tetapi sering - Klien mengatakan akan makan
15.00 1&2 sedikit dan sering
- Mengukur TTV - TD: 150/100 mmHg
- N: 88 x/menit
- RR: 20 x/menit
15.30 2 - S: 36,4 0C
- Membrane mukosa lembab
- Turgor kulit sedang
- Mengobservasi tanda-tanda - Input: Oral:700 cc; parenteral:
dehidrasi 400 cc
- Output: urine:800 cc; IWL: 500
16.00 3 cc; BC: 1100 cc-1300 cc: -200cc
- Klien dan keluarga mengerti
tentang penyakit GGK
16.30 4&5 - Keluarga membantu klien
mandi sore hari

17.00 - Obat telah diberikan melalui


- Memberikan pendidikan vemplon
1 kesehatan tentang GGK
17.30 - Libatkan keluarga dalam
pelaksanaan tindakan
1 keperawatan
- Klien menghabiskan makan ½
porsi
- Pemberian obat antiemetic - Klien mengatakan muntah 1x
ranitidin 2x1 ampul @2ml, 25
mg/ml, ondansentron 2x1
ampul (@2ml,2 mg/ml)
- Memberikan makan malam
4/6/14 14.00 1 - Mengkaji status nutrisi klien - Klien mengatakan makan habis
1 porsi
- Klien mengatakan masih mual
14.20 1 dan lemas
- Klien mengatakan akan makan
- Menganjurkan klien makan sedikit dan sering
14.30 2 sedikit dan sering - Input: Oral:600 cc; parenteral:
- Mengobservasi input dan 400 cc
output - Output: urine:600 cc; muntah
5cc; IWL: 500 cc; BC: 1000 cc-
14.45 4&5 1105 cc: -105cc
- Klien mengatakan masih terasa
lemas
- Aktivitas dbantu perawat dan
- Mengevaluasi aktivitas klien keluarga

E. EVALUASI KEPERAWATAN
DX
Tgl EVALUASI TTD
Kep
3/6/14 1 S : - Klien mengatakan masih mual
- Klien mengatakan nafsu makan menurun
O : - klien menghabiskan makan ½ porsi
- BB: 65kg
- TB: 170 cm
- Hasil lab: ureum: 282 mg/dl (normal: 13-43)
A : - masalah belum teratasi
P : - intervensi dipertahankan
- Menganjurkan klien makan sedikit dan sering
- Mencatat jumlah porsi makanan yang habis
2 S : - Klien mengatakan haus berkurang
- Klien mengatakan minum 1 ltr/hari
O : - membrane mukosa lembab
- Turgor kulit sedang
- Balance cairan -200cc
- TTV : TD: 150/100 mmHg
N: 88x/menit
RR: 20x/menit
S: 36,4 0C
A : - masalah belum teratasi
P : - intervensi dilanjutkan
- Catat hasil input dan output
- Menganjurkan klien membatasi cairan 2,5 ltr/hari
3S : - Klien dan keluarga mengatakan sudah mengerti tentang penyakit GGK
O :- klien dan keluarga dapat menjawab semua pertanyaan yang diajukan
dengan benar
- Klien tidak bertanya lagi pada perawat
A : - masalah teratasi
P : - intervensi dipertahankan
4 S : - Klien mengatakan masih terasa lemas
O : - Aktivitas dibantu perawat dan keluarga
A : - masalah belum teratasi
P : - intervensi dilanjutkan
- Dorong klien melakukan aktivitas sesuai kemampuan
5 S : - Klien mengatakan masih terasa lemas
O : - klien tampak rapih
A : - masalah belum teratasi
P : - intervensi dilanjutkan
- Berikan bantuan dengan aktivitas yang diperlukan
4/6/14 1 S : - Klien mengatakan masih mual
- Klien mengatakan masih lemas
O : - klien menghabiskan makan ½ porsi (1700 kkal)
- BB: 64kg
- TB: 170 cm
- Hasil lab: ureum: 282 mg/dl (normal: 13-43)
A : - masalah belum teratasi
P : - intervensi dipertahankan
- Menganjurkan klien makan sedikit dan sering
2 S : - Klien mengatakan haus berkurang
- Klien mengatakan minum 1,5 ltr/hari
O : - membrane mukosa lembab
- Turgor kulit elastis
- Balance cairan -105cc
- TTV : TD: 150/100 mmHg
N: 84x/menit
RR: 20x/menit
S: 35,8 0C
- Hasil lab: natrium: 137 mmol/L (normal 135-155)
Kalium : 4,8 mmol/L (normal 3,6 – 5,5)
Klorida : 100 mmol/L (normal 98-109)
A : - masalah belum teratasi
P : - intervensi dipertahankan
- Catat hasil input dan output
- Menganjurkan klien membatasi cairan 2,5 ltr/hari
4 S : - Klien mengatakan masih terasa lemas
O : - Aktivitas dibantu perawat dan keluarga
A : - masalah belum teratasi
P : - intervensi dilanjutkan
- Dorong klien melakukan aktivitas sesuai kemampuan
5 S : - Klien mengatakan masih terasa lemas
O : - klien tampak rapih
A : - masalah belum teratasi
P : - intervensi dilanjutkan
- Berikan bantuan dengan aktivitas yang diperlukan
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Gagal ginjal adalah suatu kondisi di mana ginjal tidak dapat menjalankan fungsinya secara
normal. Pada kondisi normal, pertama-tama darah akan masuk ke glomerulus dan mengalami
penyaringan melalui pembuluh darah halus yang disebut kapiler. Di glomerulus, zat-zat sisa
metabolisme yang sudah tidak terpakai dan beberapa yang masih terpakai serta cairan akan
melewati membran kapiler sedangkan sel darah merah, protein dan zat-zat yang berukuran besar
akan tetap tertahan di dalam darah. Filtrat (hasil penyaringan) akan terkumpul di bagian ginjal yang
disebut kapsula Bowman. Selanjutnya, filtrat akan diproses di dalam tubulus ginjal. Di sini air dan
zat-zat yang masih berguna yang terkandung dalam filtrat akan diserap lagi dan akan terjadi
penambahan zat-zat sampah metabolisme lain ke dalam filtrat. Hasil akhir dari proses ini adalah urin
(air seni).
Secara umum, gagal ginjal adalah penyakit akhir dari serangkaian penyakit yang menyerang traktus
urinarius.
Gagal ginjal dibagi menjadi dua bagian besar yakni Gagal Ginjal Akut (acute renal failure = ARF)
dan Gagal Ginjal Kronik (chronic renal failure = CRF). Penyakit gagal ginjal akut adalah suatu
penyakit dimana ginjal tidak dapat lagi menjalankan fungsinya sebagai organ pembuangan, ginjal
secara relatif mendadak tidak dapat lagi memproduksi cairan urine yang merupakan cairan yang
mengandung zat-zat yang sudah tidak diperlukan oleh tubuh dan harus dikeluarkan dari tubuh.
Gagal ginjal kronik adalah kemunduran fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel dimana terjadi
kegagalan kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseibangan metabolik,caira dan elektrolit
yang mengakibatkan uremia atau azotemia. (Brunner & Suddarth,2000).
Penyebab gagal ginjal akut dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu : Kondisi Pre
Renal (Hipoperfusi ginjal), Kondisi Intra Renal (kerusakan actual jaringan ginjal), Kondisi Post Renal
(Obstruksi Aliran Urine)
Sedangkan penyebab gagal ginjal kronik antara lain : Diabetes Melitus, Glumeruloneritis kronis,
Pielonefritis, Hipertensi tak terkontrol, Obstruksi saluran kemih, Penyakit ginjal polikistik, Gangguan
vaskuler, Lesi herediter, Agen toksik (timah,kadmium dan merkuri).

B. SARAN
Setelah penulis memberikan asuhan keperawatan pada Ny.B dengan gagal ginjal maka
berdasarkan pengalaman yang berkaitan dengan masalah keperawatan tersebut, penulis akan
memberikan saran yang bertujuan agar dapat lebih memperbaiki dan mengoptimalkan pelayanan
perawatan di rumah sakit, diantaranya :

1. Untuk klien dan keluarga baiknya memeriksakan kesehatan secara rutin, agar kesehatannya dapat
terkontrol dan dapat terdeteksi sejak dini jika ada tanda atau gejala yang menunjukkan resiko
terjadinya gagal ginjal.
2. Untuk institusi pendidikan dapat menyediakan buku-buku sumber yang lebih lengkap lagi sebagai
pedoman untuk melakukan asuhan keperawatan yang lebih baik.
Daftar Pustaka

Bararah, Taqiyyah dan Jauhar Mohammad. 2013. Asuhan Keperawatan Edisi Ke-1. Jakarta: Prestasi
Pustaka.

Bararah, Taqiyyah dan Jauhar Mohammad. 2013. Asuhan Keperawatan Edisi Ke-2. Jakarta: Prestasi
Pustaka.

Brunner & Suddarth. 2000. Keperawatan Medikal Medah Edisi Ke-8. Jakarta: EGC

Wijaya, Andra Saferi dan Putri, Yessie Mariza. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 1. Yogyakarta:
Nuha Medika.

Akbar, Muhammad Yudih. 2014. Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan Klien Gagal Ginjal Kronik.
Jakarta: Tidak di Terbitkan.

 About
 Contact Us
 Privacy Policy
 Disclaimer
 SITEMAP




Akkes Askep
Membagikan pengalaman pribadi tentang menulis Asuhan Keperawatan, Informasi
Kesehatan, Prosedur Tetap Keperawatan beserta KTI Keperawatan dalam teknis penulisan
Asuhan Keperawatan
 Home
 Info Penyakit
 Info Obat
 Info Kesehatan
 KTI
o
o
 Askep
o
o
o
o
o
 LOKER PERAWAT

Search...

Home » Keperawatan Medical Bedah » KTI AKPER » LAPORAN PENDAHULUAN


ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL AKUT dengan referensi terbaru 2006-2009
Akkes Askep 7:55:00 AM Keperawatan Medical Bedah, KTI AKPER

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN


KEPERAWATAN GAGAL GINJAL AKUT
dengan referensi terbaru 2006-2009
Akkesaskep-kali ini akan berbagi tentang laporan pendahuluan asuhan keperawatan (Askep)
gagal ginjal akut yang juga dikenal dengan sebutan AKD (Akut Kidney deasese), seperti
yang telah kita pelajari dari berbagai sumber buku dan media yang menyediakan informasi
penting tentang ilmu penyakit. Gagal ginjal akut merupakan suatu kelainan klinik yang
terjadi pada ginjal......
Dan berikut ini adalah ulasan lengkapnya tentang laporan pendahuluan asuhan keperawatan
gagal ginjal akut.

A. Anatomi dan Fisiologi


1. Anatomi sistem perkemihan
Menurut Baradero (2009, hal. 2) ginjal terletak di belakang peritoneum pariental (retro-
peri-toneal), pada dinding abdomen posterior. Ginjal juga terdapat pada kedua sisi aorta
abdominal dan vena kava inferior. Kemudian Tarwoto (2009, hal. 313) Mengatakan anatomi
sistem perkemihan terdiri dari:
a. Ginjal
Pada orang dewasa panjangnya kira-kira 11 cm dan lebarnya 5-7,5 cm dan tebalnya 2,5 cm
dan beratnya 150 gram. Organ ginjal berbentuk kurva yang terletak di area retroperitonel,
pada bagian belakang dinding abdomen di samping depan vertebra, setinggi torakal 12
sampai lumbal ke 3. Ginjal terdiri atas tiga area yaitu, korteks, medulla, pelvis
1) Korteks, merupakan bagian paling luar ginjal, dibawah kapsula fibrosa sampai dengan
lapisan medulla, tersusun atas nefron-nefron yang jumlahnya lebih dari 1 juta.
2) Medulla, terdiri dari saluran-saluran atau duktus collecting yang disebut pyramid ginjal yang
tersusun antara 8-18 buah.
3) Pelvis, merupakan area yang terdiri dari kaliks minor yang kemudian bergabung menjadi
kalik mayor.
b. Ureter
Ureter merupakan saluran yang terbentuk tabung dari ginjal ke bladder, panjangnya 25-30 cm
dengan diameter 6 mm. Berjalan mulai dari pelvis renal setinggi lumbal ke 2. Posisi ureter
miring dan menyempit ditiga titik yaitu di titik asal ureter pada pelvis ginjal, titik saat
melewati pinggiran pelvis dan titik pertemuan dengan kandung kemih (Tarwoto, 2009, hal.
325).
c. Vesika Urinaria
Merupakan organ berongga dan berotot yang berfungsi menampung urin sebelum
dikeluarkan melalui uretra. Terletak pada rongga pelvis. Pada laki-laki kandung kemih berada
dibelakang simpisis pubis dan didepan rektum, pada wanita kandung kemih berada dibawah
uterus dan didepan vagina. Dinding kandung kemih memiliki 4 lapisan jaringan. Lapisan
paling dalam adalah lapisan mukosa, kemudian lapisan submukosa, lapisan otot polos atau
disebut detrusor dan lapisan paling luar adalah serosa (Tarwoto, 2009, hal. 325).
d. Uretra
Uretra memanjang dari leher kandung kemih sampai meatus pada wanita panjangnya sekitar
4 cm. Lokasinya antara klitoris dengan liang vagina. Panjang uretra pada laki-laki sekitar 20
cm, terbagi atas 3 bagian yaitu bagian prostatik uretra yang panjangnya sekitar 3 cm, bagian
kedua adalah mebranesea uretra yang panjangnya 1-2 cm. Pada bagian akhir adalah
cavernous yang panjangnya sekitar 15 cm (Tarwoto, 2009, hal. 326).
2. Fisiologi Sistem Perkemihan
Menurut Tarwoto (2009, hal. 317) Ginjal merupakan organ yang penting dalam proses
keseimbangan cairan tubuh dan sebagai organ sekresi dari zat-zat yang sudah tidak
dibutuhkan lagi, fungsi ginjal diantaranya :
a. Ginjal
1) Pengaturan volume dan komposisi darah. Ginjal berperan dalam pengaturan volume darah
dan komposisi darah melalui mekanisme pembuangan atau sekresi cairan.
2) Pengaturan jumlah dan konsentrasi elektrolit pada cairan ekstrasel, seperti natrium, klorida,
bikarbonat, kalsium, magnesium, fosfat, dan hydrogen.
3) Membantu mempertahankan keseimbangan asam basa (pH) darah, pengendalian asam basa
darah oleh ginjal dilakukan dengan sekresi urin yang asam atau basa.
4) Pengaturan tekanan darah, ginjal berperan dalam pengaturan tekanan darah dengan
mensekresi enzim rennin yang mengaktifkan jalur rennin-angiotensin dan mengakibatkan
perubahan vasokontriksi atau vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat meningkatkan
tekanan darah atau menurun tekanan darah.
5) Pengeluaran dan pembersihan hasil metabolisme tubuh seperti urea, asam urat dan kreatinin,
jika tidak dikeluarkan maka bersifat toksik khususnya pada otak.
6) Pengeluaran komponen-komponen asing seperti pengeluaran obat, pestisida dan zat-zat
berbahaya lainnya.
Salah satu fungsi penting ginjal adalah mengatur kalsium serum dan fosfor. Kalsium
sangat penting untuk pembentukan tulang, pertumbuhan sel, pembekuan darah respon
hormon, dan aktivitas listrik seluler. Ginjal melakukan hal ini dengan mengubah vitamin D
dalam usus (dari makanan) ke bentuk yang lebih aktif, yaitu 1, 25-dihidrovitamin D3
(Baradero, 2009, hal. 3)
b. Ureter
Ureter berperan aktif dalam transport urin. Urin mengalir dari pelvis ginjal, melalui ureter
denga gerakan peristaltiknya. Adanya ketegangan pada ureter menstimulasi terjadinya
kontraksi dimana urin akan masuk ke bladder, rangsangan saraf simpatis dan parasimpatis
juga mengontrol kontraksi ureter mengalirkan urin (Tarwoto, 2009, hal. 324). Sebelum
masuk ginjal, ureter melebar dan membentuk pelvis gijal. Kemudian, pelvis ginjal bercabang
dan membentuk 2-3 kaliks mayor. Setiap kaliks mayor bercabang menjadi beberapa kaliks
minor. Kaliks minor inilah yang mengumpulkan urine yang keluar dari tubulus kilogenter
(Baradero, 2009, hal. 3).
c. Vesika Urinaria
kapasitas maksimum kandung kemih pada orang dewasa sekitar 300-450 ml, dan anak-anak
antara 50-200 ml. Pada laki-laki kandung kemih berada dibelakang simpisis pubis dan
didepan rektum, pada wanita kandung kemih berada dibawah uterus dan didepan vagina.
Pada keadaan penuh akan memberikan rangsangan pada saraf aferen ke pusat miksi sehingga
terjadi kontraksi otot detrusor yang mendorong terbukanya leher kandung kemih, sehingga
terjadi proses miksi. Fungsi utama dari ginjal adalah menampung urin dari ureter dan
kemudian dikeluarkan melalui uretra (Tarwoto, 2009, hal. 325).
d. Uretra
Fungsi dari uretra adalah menyalurkan urin dari kandung kemih keluar. Adanya sfingter
uretra interna yang dikontrol secara involunter memungkinkan urin dapat keluar serta spinter
uretra eksterna memungkin kan pengeluaran urin dapat dikontrol (Tarwoto, 2009, hal. 326).
B. Konsep Kasus
1. Pengertian
Gagal ginjal dapat akut atau kronik, hilangnya fungsi ginjal normal pada kedua gagal
ginjal tersebut mengakibatkan ketidakmampuan tubuh mempertahankan hemeostatis cairan,
elektrolit, dan asam basa. (Brooker, 2008, hal. 141).
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan
fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) yang
menyebabkan retensi sisa metabolism nitrogen (urea-kreatinin) dan non-nitrogen, dengan
atau tanpa disertai oliguri (Sudoyo, 2006, hal. 574).
Gagal ginjal akut atau dikenal dengan Acute Renal Failure (ARF) adalah sekumpulan
gejala yang mengakibatkan disfungsi ginjal secara mendadak (Nursalam, 2006, hal. 35).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka penulis dapat menyimpulkan Gagal
Ginjal Akut (GGA) adalah suatu sindrom akibat kerusakan metabolik atau patologik pada
ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang mendadak dalam waktu beberapa
hari.
2. Etiologi
a. Penyebab prerenal (terjadi hipoperfusi ginjal) akibat kondisi yang menyebabkan
berkurangnya aliran darah ginjal dan menurunnya filtrasi glomerulus. Keadaan penipisan
volume (hipovolemia seperti luka bakar dan pendarahan atau kehilangan cairan melalui
saluran pencernaan), vasodilatasi (sepsis atau anafilksis), gangguan fungsi jantung (infark
miokardium, CHF, atau syok kardiogenik), dan terapi diuretik. Hal ini biasanya ditandai
dengan penurunan turgor kulit, mukosa membran kering, penurunan berat badan, hipotensi,
oliguri, atau anuria.
b. Penyebab intrarenal kerusakan aktual jaringan ginjal akibat trauma jaringan glomerulus atau
tubulus ginjal. Keadaan yang berhubungan dengan iskemia intrarenal, toksin, proses
imunologi, sistemik, dan vaskuler. Pemakaian obat anti inflamasi nonsterois (NSAID),
terutama pada pasien lansia karena menggangu prostaglandin yang melindungi aliran darah
renal. NSAID menyebabkan iskemik ginjal. Selain itu, reaksi transfusi menyebabkan gagal
intrarenal di mana hemoglobin dilepaskan melalui mekanisme hemolisis melewati membrane
glomerulus dan terkonsentrasi di tubulus ginjal, hal ini biasanya ditandai dengan demam,
kemerahan pada kulit, dan edema.
c. Penyebab postrenal terjadi akibat sumbatan atau gangguan aliran urine melalui saluran
kemih (sumbatan bagian distal ginjal). Tekanan di tubulus meningkat sehingga laju filtrasi
glomerulus meningkat. Hal ini biasanya ditandai dengan adanya kesulitan dalam
mengosongkan kandung kemih dan perubahan aliran kemih
(Nursalam, 2006, Hal. 36).
3. Patofisiologi
Suatu hipotesis tentang patogenesis Gagal Ginjal Akut adalah kerusakan tubulus yang
menyebabkan tidak dapat menyeimbangkan sodium secara normal sehingga mengaktifasi
sistem renin-angiotensin-aldoteron. Kembalinya aliran darah ke renal akibat peningkatan
tonus arteri afferen dan efferent sehingga terjadi iskemia yang menyebabkan peningkatan
vasopresin, edema seluler, menghambat sintesis prostaglandin yang berakibat pada
terstimulasinya sistem rennin-angiotensin-aldosteron, penurunan aliran darah ke ginjal
menyebabkan penurunan tekanan glomerulus, rata-rata filtrasi glomerulus, arus tubular
sehingga menimbulkan oliguri. Selain itu ada teori yang mengemukakan sampah sel dan
protein didalam tubulus menyumbat saluran tubulus sehingga terjadi peningkatan intra
tubula. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan onkotik yang berlawanan dengan tekanan
filtrasi hingga filtrasi glomerulus terhenti. Penurunan aliran darah renal menyebabkan
berkurangnya peredaran oksigen ke tubulus proksimal. Hal ini menyebabkan penurunan ATP
(adeno-sisn triposfat) sel yang menimbulkan peningkatan konstentrasi citosolik dan kalsium
mitokondria. Akibat dari kondisi ini berupa kematian sel dan nekrosis tubular. Nefropati
vasomotor menyebabkan terjadinya spasme kapiler peritubular yang berakibat pada
kerusakan tubulus (Suharyanto, 2009, hal. 170)
4. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pada pasien dengan Gagal Ginjal Akut yang dikemukakan oleh
Nursalam (2006, hal. 38) diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Pasien tampak sangat menderita dan letargi disertai mual persisten, muntah dan diare.
b. Kulit dan membran mukosa kering akibat dehidrasi, dan napas mungkin berbau urine (feto
uremik).
c. Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung darah, BJ sedikit rendah,
yaitu 1. 010.
d. Peningkatan BUN (tetap), kadar kreatinin, dan laju endap darah (LED) tergantung
katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal, serta asupan protein. Serum kreatinin
meningkat pada kerusakan glomerulus.
e. Hiperkalemia akibat penurunan laju filtrasi glomerulus serta katabolisme protein
menghasilkan pelepasan kalium seluler ke dalam cairan tubuh.
f. Asidosis metabolik, akibat oliguri akut pasien tidak dapat mengeliminasi muatan metabolik
seperti substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses metabolik normal.
g. Abnormalitas Ca dan PO4. Peningkatan konsentrasi serum fosfat mungkin terjadi. Serum
kalsium mungkin menurun sebagai respons terhadap penurunan absorpsi kalsium di usus dan
sebagai mekanisme kompensasi terhadap peningkatan kadar serum fosfat.
Sementara menurut Suharyanto (2009, hal. 171) manifestasi klinis pada klien dengan
Gagal Ginjal Akut terlihat sebagai seseorang yang sakit berat dan letargi disertai mual,
muntah dan diare persisten. Akibatnya kulit dan mukosa membran kering, napas berbau
urine, (bau ureum) disertai manifestasi gangguan sistem saraf pusat berupa : perasaan
mengantuk, sakit kepala, kram otot, selain itu ditemukan pengeluaran urine kurang, mungkin
berdarah, dan memiliki berat jenis 1.010 (normal 1.015-1.025)
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan Gagal Ginjal Akut menurut Grace (2007, hal. 83)
diantaranya yaitu :
a. Jaga agar pasien dengan resiko (misalnya pasien dengan ikterus obstruktif) tetap dalam
kondisi hidrasi yang baik pra dan perioperasi.
b. Lindungi fungsi ginjal pada pasien-pasien tertentu dengan obat-obatan seperti dopamin dan
manitol.
c. Pantau fungsi ginjal secara teratur pada pasien pasien yang diberikan oabt-obatan nefro
toksik (misalnya gentamisin)
d. Singkirkan retensi urin sebagai penyebab anuria dengan pemasangan kateter.
e. Koreksi hipovolemia sedapat mungkin. Gunakan cairan bolus yang sesuai jika perlu dapat
dituntun dengan monitor CVP.
f. Percobaan dengan diuretik loop bolus tinggi mungkin sesuai pada pasien normovolemik
g. Infus dopamin mungkin baik tetapi membutuhkan perawatan ICU atau HDU.
h. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
i. Masukkan cairan 400 ml/hari + kehilangan yang diperhitungkan
j. Masukkan natrium dibatasi hanya untuk menggantikan yang hilang
k. Masukkan K nol (dektrosa dan insulin dan /atau resin pertukaran ion dibutuhkan untuk
mengontrol hiperkalsemia)
l. Diet kalori tinggi, protein rendah dalam jumlah cairan sedikit.
m. Asidosis : natrium bikarbonat, obati setiap infeksi
n. Dialisis : peritoneal, ultrafiltrasi, hemodialisis (biasanya diindikasikan untuk hipervolemia,
hiperkalemia, atau asidosis).
6. Komplikasi
Komplikasi yang lazim diakibatkan oleh Gagal Ginjal Akut menurut Tucker, (2008,
hal. 765) diataranya adalah sebagai berikut : Hipervolemia, Asidosis, hiperkalemia,
hiperfosfatemia, hipertensi, anemia, infeksi dan gagal napas /sistem kardiovaskuler.
7. Pemeriksaan penunjang/ diagnostik
Menurut Grace (2007, hal. 83) pemeriksaan penunjang untuk memperkuat diagnosis
terhadap penderita Gagal Ginjal Akut yaitu : Urinalis, Ureum dan elektrolit, Perkiraan
kreatinin, EKG / Rontgen toraks. Gas darah arteri : asidosis metabolik (Po2 normal, Pco2
rendah. pH rendah, defisit tinggi).

A. Pengkajian
Menurut Nursalam (2006. Hal. 42) pengkajian pada klien dengan Gagal Ginjal Akut
adalah sebagai berikut :
1. Kaji riwayat penyakit jantung, malignansi, sepsis, atau penyakit yang diderita sebelumnya.
2. Kaji adanya paparan dengan obat yang berpotensi meracuni ginjal (antibiotik, nonsteroidal
anti inflamasi NSAID's, zat kontras, dan benda cair lainnya)
3. Lakukan pemeriksaan fisik secara terus menerus seperti turgor kulit, pucat, perubahan irama
jantung (nadi), dan edema.
4. Monitor volume urine.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang di dapatkan pada klien dengan Gagal Ginjal Akut menurut
Nursalam (2006. Hal.42) adalah sebagai berikut:
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan nilai filtrasi glumerulus dan retensi
sodium.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan sistem imun dan pertahanan tubuh
3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan katabolik,
anoreksia, mal nutrisi yang berhubungan dengan gagal ginjal
4. Resiko Gangguan ingatan berhubungan dengan efek toksin pada susunan saraf pusat.
C. Intervensi Keperawatan
Intervensi yang dilakukan berdasarkan kebutuhan yang diprioritaskan menurut
Nursalam (2006. Hal. 43) yaitu sebagai berikut :
Tabel 3.1. Intevensi Keperawatan Pada klien dengan Gagal Ginjal Akut
Diagnosa
Intervensi Rasional
Keperawatan
Kelebihan volume 1. Monitor tanda dan gejala 1. karena kamampuan
cairan berhubungan hipovolemia regulasi ginjal tidak
dengan penurunan adekuat.
nilai filtrasi 2. Monitor pengeluaran 2. Pengisapan cairan
glumerulus dan retensi urine. Ukur dan catat lambung, feses drinase
sodium. asupan serta pengeluaran luka dan penguapan
urin. melalui keringat kulit dan
pernapasan

3. Monitor serum dan 3. Untuk mengidentifikasi


konsentrasi elektrolit urin. kan akumulasinya
elektrolit.
4. Ukur berat badan pasien
setiap hari untuk 4. Untuk mengidentifikasi
membentuk indeks status gangguan cairan
keseimbangan cairan, dan elektrolit.
perkirakan kehilangan
berat badan 2,5 - 0,5 kg
setiap hari.
5. Berikan cairan sesuai
indikasi 5. Untuk mencegah
kemungkinan terjadinya
6. Berikan Diuretik sesuai dehidrasi sel.
pesanan dan monitor 6. Untuk menentukkan efek
terhadap responnya. dari pengobatan dan
observasi tehadap efek
samping yang mungkin
timbul seperti :
Hipokalemia dll.
Resiko infeksi 1. Monitor semua tanda 1. Untuk mendeteksi lebih
berhubungan dengan infeksi awal adanya infeksi.
gangguan sistem imun2. Angkat kateter urin 2. Untuk mencegar
dan pertahanan tubuh sesegera mungkin. terjadinya infeksi
Monitor infeksi saluran saluran kemih sedini
kemih mungkin
3. Lakukan perawatan luka 3. Terangkatnya jaringan
dan kulit devaskularisasi/material
penyebab infeksi
4. Monitor temperatur tiap 44. Uremia mungkin
– 6 jam : Monitor data terselubung dan biasanya
laboratorium : WBC : diikuti dengan
Darah, Urine, culture peningkatan temperatur
sputum. Monitor serum dicurigai adanya infeksi.
Kalium. Status hipermetabolisme
seperti adanya infeksi
Diagnosa
Intervensi Rasional
Keperawatan
dapat menyebabkan
peningkatan serum
kalsium.

5. untuk membunuh kuman


atau menghambat
5. Berikan antibiotik sesuai pertumbuhan bakteria
derajat kerusakan ginjal

Ketidak seimbangan 1. Bekerjasama dengan ahli 1. Metabolic yang


nutrisi kurang dari gizi untuk mengatur diakumulasi didalam
kebutuhan tubuh asupan protein sesuai darah biasanya berasal
berhubungan dengan kerusakan fungsi ginjal. dari katabolisme,
katabolik, anoreksia, sehingga protein harus
mal nutrisi yang tinggi nilai biologi yang
berhubungan dengan kaya sam amino esensial
gagal ginjal ( makanan kering, telur,
daging ) agar pasien
tidak mengalami
katabolisme jaringan
2. Diet rendah protein harus bagi asamamino esensial
digabung dengan asam 2. Pasien dengan kerusakan
amino esensial dan ginjal membutuhkan
vitamin. pembatasan protein.
3. Berikan makanan tinggi 3. karbohidrat memiliki
karbohidrat, berikan kalori fungsi memecah tepung
tambahan lainnya.
4. Ukur berat badan setiap
hari. 4. Mengurangi penekanan
dan mencegah
ketegangan otot serta
5. Berikan dorongan hygiene mengurangi nyeri.
oral yang baik sebelum 5. Higiene oral yang tepat
dan setelah makan. mencegah bau mulut dan
rasa tidak enak akibat
mikroorganisme,
6. Berikan makanan dalam membantu mencegah
porsi kecil tetapi sering. stomatitis.
6. Meminimalkan
anoreksia, mual
sehubungan dengan
status uremik.

Resiko Gangguan 1. Komunikasikan dengan 1. untuk mengindentifikasi


ingatan berhubungan dengan pasien mengenai lebih awal akan adanya
dengan efek toksin status kesehatan klien gangguan ingatan pada
pada susunan saraf 2. Atur hal yang dapat klien
pusat diprediksi hal yang dapat 2. untuk memudahkan
Diagnosa
Intervensi Rasional
Keperawatan
diprediksi secara teratur klien dalam menjangkau
dan jaga perubahan secara hal-hal kecil yang
minimal. sewaktu-waktu
3. Amati dan laporkan dibutuhkan
perubahan status mental,
samnolen, letargi, 3. perubahan status mental
kelemahan, irritabilitas, klien dapat
diorientasi kekacauan dan mengakibatkan
penurunan tingkat terjadinya trauma pada
kesadaran secara klien seperti jatuh dan
mendadak. merusak diri sendiri
4. Koreksi gangguan kognitif akibat samnolen

4. gangguan kognitif dapat


5. Bantu pasien berbalik dan merusak ingatan klien
bergerak dan kesalahan dalam
menerima infromasi
kesehatan
5. karena letargi dan
penurunan kesadaran
mencegah aktivitas

D. Implementasi
Menurut Carpenito, (2009, hal. 57). komponen implementasi dalam proses
keperawatan mencakup penerapan ketrampilan yang diperlukan untuk mengimplentasikan
intervensi keperawatan. Keterempilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk implementasi
biasanya berfokus pada: Melakukan aktivitas untuk klien atau membantu klien. Melakukan
pengkajian keperawatan untuk mengidentifikasi masalah baru atau memantau status masalah
yang telah ada. Memberi pendidikan kesehatan untuk membantu klien mendapatkan
pengetahuan yang baru tentang kesehatannya atau penatalaksanaan gangguan. Membantu
klien membuat keptusan tentang layanan kesehatannya sendiri. Berkonsultasi dan membuat
rujukan pada profesi kesehatan lainnya untuk mendapatkan pengarahan yang tepat. Memberi
tindakan yang spesifik untuk menghilangkan, mengurangi, atau menyelesaikan masalah
kesehatan. Membantu klien melakukan aktivitasnya sendiri. Membantu klien
mengidentifikasi risiko atau masalah dan menggali pilihan yang tersedia.

E. Evaluasi
Menurut Nursalam (2006, hal. 46) hasil yang didapatkan setelah diberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal akut adalah sebagai berikut :
1. tekanan darah stabil, tidak edema, dan pernapasan normal.
2. Tidak ada tanda infeksi
3. Asupan makan cukup
4. Merasa nyaman dan dapat tidur.
ASUHAN KEPERAWATAN COREKTIONAL SETTING

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Lembaga pemasyarakatan merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan terhadap


orang-orang yang dijatuhi hukuman penjara atau kurungan berdasarkan keputusan
pengadilan. Para penghuninya hidup dengan aturan-aturan yang ditetapan oleh lembaga,
tetapi karakter dari penghuni-penghuni lain berpengaruh besar pada kehidupan mereka
selama di LP. Mereka hidup terpisah dari masyarakat dan yang unik adalah penghuninya
sama-sama mempunyai latar belakang masalah yang mengharuskan mereka mendapatkan
hukuman dan pada umumnya akan diberi label yang tidak baik dalam masyarakat.
Penghuni LP kebanyakan adalah laki-laki, tetapi jumlah wanita dan remaja juga ikut
berpengaruh pada populasi keseluruhan.

Umumnya para narapidana menjalani hukuman karena suatu tindakan yang melanggar
hukum seperti pembunuhan, pencurian, penipuan, pemerkosaan, penggunaan obat-obat
terlarang, dll. Dalam makalah ini, yang disoroti adalah tentang pembinaan pada
narapidana dengan kasus narkoba karena para narapidana narkoba kondisinya sangat
berbeda yaitu mempunyai karakter dan perilaku yang berbeda akibat penggunaan narkoba
yang telah dikonsumsinya. Diantaranya adalah kurangnya tingkat kesadaran akibat
rendahnya kamampuan penyerapan, keterpurukan kesehatan dan sifat overreaktif dan
overproduktif. Dengan kondisi demikian, maka perlu penanganan khusus pada narapidana
narkoba dibandingkan dengan narapidana yang lain.

Perawat sebagai profesi yang berorientasi pada manusia mempuyai andil dalam
memberikan pelayanan kesehatan di LP dalam bentuk “Correctional setting” . perawat
memberikan pelayanan secara menyeluruh. Dari data disebutkan bahwa para narapidana
paling banyak mengalami keluhan fisik seperti kurang nafsu makan (38,9%), daya tahan
menurun (36.,9%), badan menjadi kurus (35,3%), dan gangguan-gangguan lain pada
system tubuh. Sedangkan keluhan mental yang paling sering terjadi adalah gangguan
tidur (48,6%), sering lupa (48,3%), gelisah (44,2%) dan cemas (37,2%).
Berdasarkan masalah-masalah kesehatan yang banyak dialami tersebut, maka perawat
menerapkan praktik correctional setting pada LP Pemuda Tangerang Banten karena di
LAPAS ini tenaga medis dan tenaga Pembina khusus narapidana narkoba belum tersedia
dan narapidana narkoba dicampur menjadi satu sel dengan narapidan kasus lain.

B. Tujuan

1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dari correctional setting


2. Mahasiswa mampu menjelaskan area dari correctional setting
3. Mahasiswa mampu menjelaskan masalah kesehatan yang ada di correctional setting
4. Mahasiswa mampu membuat asuhan keperawatan pada correctional setting

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Correctional setting adalah pelayanan kesehatan pada suatu komunitas yang


terisolasi, tertutup dari masyarakat, yang mempunyai aturan dan kehidupan dengan
karakteristik yang dibentuk oleh penghuninya dan perawat harus menseting lingkungan
tersebut agar pelayanan kesehatan dapat terpenuhi.

Correctional setting merupakan praktik keperawatan yang relatif baru bagi


keperawatan komunitas. Praktik ini menawarkan posisi yang menantang bagi perawat
kesehatan komunitas untuk memperluas batas praktek keperawatan.

B. Area Correctional setting

Correctional setting dibagi dala 3 tipe fasilitas :

1. Prisons
Yaitu fasilitas federal/ Negara bagian yang memberikan hukuman lebih dari 1 tahun
bagi para narapidana dan biasanya dengan kasus criminal.

2. Jails

Yaitu fasilitas untuk wilayah lokal untuk menahan para detainees dan inmates.

Detainees /tahanan yaitu orang yang belum diputuskan bersalah dan masih menjalani
percobaan karena tidak dapat membayar jaminan atau karena belum ada jaminan bagi
mereka.

Inmates/ narapidana yaitu tahanan yang telah diputuskan bersalah.

3. Juvenille detention facilities

Yaitu tempat untuk aak-anak dan remaja yangdihukum karena masalah criminal dan
menjalani masa percobaan tetapi tidak dapat dibebaskan tanpa ada tanggung jawab
dari orang dewasa.

Pelayanan kesehatan “correctional setting” perlu sekali dilakukan karena beberapa


alasan :

1. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara adil dan optimal dan melarang
kekejaman serta hukuman yang tidak wajar bagi para tahanan untuk mencegah
terjadinya cedera atau penyakit.
2. Para penghuni hidup dalam kemiskinan/ kekurangan, berpendidikan rendah dan gaya
hidup yang tidak sehat seperti penyalahgunaan obat. Karena banyak penghuni yang
tidak mampu membayar pelayanan kesehatan di luar maka biaya akan ditanggung
oleh lembaga tersebut.
3. Untuk mencegah penularan penyakit dari lembaga pemasyarakatan ke komunitas, atau
para antar penghuni.

C. Masalah kesehatan dalam Correctional setting

a) Kesehatan mental
Menurut data dari Bureau of justice, 1999 kira-kira 285.000 tahanan dilembaga
pemasyarakatan mengalami gangguan jiwa. Penyakit jiwa yang sering dijumpai
adalah skozofrenia, bipolar affective disorder dan personality disorder. Karena
banyak yang mengalami ganguan kesehatan jiwa maka pemerintah harus
menyediakan pelayanan kesehatan mental.

b) Kesehatan fisik

Perawatan kesehatan yang paling penting adalah penyakit kronis da penyakit menular
seperti HIV, Hepatitis dan Tuberculosis.

1) HIV

Angka kejadian HI dianara para narapida diperkiraan 6 kali lebih tinggi daripada
populasi umum. Tingginya angka infeksi HIV ini berkaian dengan perilaku yang
beresiko tinggi seperti penggunaan obat-obaan, sexual intercourse yang tidak
aman dan pemakaian tato. Pendekatan yang dilakukan utnuk menekan angka
kejadian yaitu dengan dilakukannya penegaan dan program pendidikan kesehatan
mengenai HIV dan AIDS.

2) Hepatitis

Hepatitis B dan C meningkat lebih tinggi dariopada populasi umum walaupun


data yang ada belum lengkap. Hal ini berkaitan denga penggunaan obat-obat lewat
suntikan, tato, imigran dari daerah dengan insiden hepatitis B dan C tinggi.
National Commision on Correctional Healt Care (NCCHC) menyarankan agar
dilakukan skrining pada semua tahanan dan jika diindikasikan maka harus segera
diberikan pengobatan. NCCHC juga merekomendasikan pendidikan bagi semua
staf dan tahanan mengenai cara penyebaran, pencegahan, pengobatan dan
kemajuan penyakit.

3) Tuberculosis

Angka TB tiga kali lebih besar di LP dabanding populasi umum. Hal ini terkait
dengan kepadatan penjara dan ventilasi yang buruk, yang mempengaruhi
penyebaran penyakit. Pada tahun 196, lembaga yang menangani tuberculosis yaitu
CC merekomendasikan pencegahan dan pengontrolan TB di lembaga
pemasyarakatan yaitu :

a. Diadakannya skrining TB bagi semua staf dan tahanan

b. Diadakan penegahan transmisi penyakit dan diberikan pengobatan yang sesuai

c. Monitoring dan evaluasi skrining

Populasi yang memiliki masalah kesehatan pada lembaga pemasyarakatan yang unik,
yaitu :

1. Wanita

Masalah kesehatan yang ada mungkin lebih komplek misalnya tahanan wanita
yang dalam keadaan hamil, meninggalkan anak dalam pengasuhan orang lain
(terpisah dari anak), korban penganiaaan dan kekerasan social, penyalahgunaan obat
terlarang. Tetapi pelayanan kesehatan yang selama ini diberikan belum cukup
maksimal untuk memenuhi kebutuhan mereka seperti pemeriksaan ginekologi untuk
wanita hamil dan korban kekerasan seksual. NCCHC menawarkan ketentuan-
ketentuan berikut untuk pemenuhan pelayanan kesehatan :

a. LP memberikan pelayanan lengkap secara rutin termasuk pemeriksaan ginekologi


secara koprehensif.

b. Pelayanan kesehatan komprehensif meliputi kesehatan reproduksi, korban dari


penipuan, konseling berkaitan dengan peran sebagai orang tua dan pemakaian
obat-obatan dan alcohol.

2. Remaja

Meningkatnya jumlah remaja yang terlibat tindak kriminal membuat mereka


harus ikut dihukum dan ditahan seperti orang dewasa. Hal ini akan menghalagi
pemenuhan kebutuan untuk berkembang seperti perkembangan fisik, emosi dan
nutrisi yang dibutuhkan. Para remaja ini akan mempunyai masalah-masalah kesehatan
seperti kekerasan seksual, penyerangan oleh tahanan lain atau tindakan bunuh diri.
Disini perawat harus memantau tingkat perkembangan dan pengalaman mereka dan
perlu waspada bahwa pada usia ini paling rentan terkena masalah kesehatan.

C. Asuhan Keperawatan dalam Correctional Setting

a. Pengkajian

1. Pengkajian Sosial

a. Umur

Saat ini semakin banyak orang yang tinggal dalam panti rehabilitasi baik anak
muda maupun dewasa. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan oleh remaja
berhubungan dengan kekerasan dan penyalahgunaan obat. Semakin banyak anak
muda yang masuk penjara dan diperlakukan seperti orang dewasa. Hal ini berarti
bahwa pemberian pelayanan kesehatan harus memenuhi kebutuhan perkembangan
usia ini seperti memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis.

Dalam institusi correctional juga terjadi peningkatan jumlah orang dewasa


secara signifikan. Proses penuaan pada penghuni penjara berarti bahwa perawat
harus mengatasi masalah utama yang terjadi pada orang dewasa.

b. Fisik

Saat ini semakin banyak orang yang tinggal dalam panti rehabilitasi baik anak
muda maupun dewasa. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan oleh remaja
berhubungan dengan kekerasan dan penyalahgunaan obat. Semakin banyak anak
muda yang masuk penjara dan diperlakukan seperti orang dewasa. Hal ini berarti
bahwa pemberian pelayanan kesehatan harus memenuhi kebutuhan perkembangan
usia ini seperti memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis.

Dalam institusi correctional juga terjadi peningkatan jumlah orang dewasa


secara signifikan. Proses penuaan pada penghuni penjara berarti bahwa perawat
harus mengatasi masalah utama yang terjadi pada orang dewasa.

c. Genetik
Ada 2 faktor genetik yang mempengaruhi kesehatan dalam correctional setting
adalah jenis kelamin dan etnisitas.

 Jenis kelamin

Secara umum fasilitas dalam institisi correctional terpisah antara pria


dan wanita. Sehingga perawat yang bekerja dengan tahanan pria tidak bekerja
seperti tahanan wanita .Namun apapun gender, perawat mungkin menemukan
masalah yang unik dalam kelompok baik pria maupun wanita. Tahanan wanita
mengalami masalah kesehatan yang berbeda karena jumlah mereka kecil.

 Etnisitas

Merupakan aspek lain yang dipertimbangkan dalam populasi penjara.


Anggota kelompok minoritas mempunyai status kesehatan yang rendah dan
memiliki resiko terkena penyakitmenular selama dipenjara. Perawat perlu
mengkaji kelompok minoritas ini untuk mengetahui masalah utama yang
terjadi pada kelompok ini.

2. Pengkajian Epidemiologi

Perawat dalam correctional setting perlu mengkaji klien secara individu untuk
mengetahui masalah kesehatan fisik. Perawat perlu untuk mengidentifikasi masalah
yang memiliki kejadian yang tinggi di institusi. Area yang perlu diperhatikan meliputi
penyakit menular, penyakit kronik, cedera dan kehamilan.

 Penyakit menular meliputi TBC, HIV AIDS , hepatitis B , dan penyakit seksual
lain.

 TBC

Perawat sebaiknya menanyakan gejala dan riwayat penyakit agar pasien yang
terinfeksi dapat diisolasi.

 HIV AIDS
Perawat mengkaji riwayat HIV, perilaku beresiko tinggi dan riwayat atau
gejala infeksi oportunistik yang mungkin terjadi pada semua tahanan.

 Hepatitis B dan penyakit seksual lain

Perawat mengkaji riwayat penyakit menular seksual dan hepatitis B serta


waspada adanyatanda fisik dan gejala penyakit ini.

 Penyakit kronis yang biasa terjadi antara lain : diabetes, hipertensi, penyakit
jantung, dan paru serta kejang.

Perawat harus mengkaji dengan tepat riwayat kesehatan dari klien, anggota
keluarga dan pemberi pelayanan kesehatan di komunitas. Perawat harus mengkaji
adanya penyakit / kondisi kronik pada klien dan mengidentifikasi masalah dengan
tingkat kejadian yang tinggi di institusi / populasi dimana ia bekerja.

 Cedera

Merupakan area lain dari fungsi fisiologis yang harus dikaji oleh perawat. Cedera
mungkin diakibatkan karena aktivitas sebelum penahanan, tindakan petugas atau
kecelakaan yang terjadi selama di tahanan. Perawat harus memperhatikan
potensial terjadinya cedera internal dan mengkaji tanda – tanda trauma.

 Kehamilan

3. Pengkajian Perilaku dan lingkungan

Faktor – faktor yang mempengaruhi kesehatan di correctional setting meliputi diet,


penyalahgunaan obat, merokok, kesempatan berolahraga / rekreasi , serta penggunaan
kondom di lingkungan correctional setting

Pengkajian psikologis pada correctional setting juga penting karena :

a. Banyak tahanan yang mengalami penyakit mental yang terjadi selama berada di
tahanan.
b. Berada di tahanan merupakan hal yang menimbulkan stress dan menimbulkan efek
psikis seperti depresi dan bunuh diri. Perawat di correctional setting harus
mewaspadai tanda – tanda depresi dan masalah mental ( correctional setting ) lain
pada tahanan dan mengkaji potensi terjadinya bunuh diri. Semua correctional
setting harus mempunyai program pencegahan bunuh diri dan penaganan bunuh
diri. Perwat harus melakukan pengawasan yang ketat pada tahanan yang berada
dalam isolasi .

c. Lingkungan dalam correctional setting juga dapat menimbulkan kekerasan seksual


yang menimbulkan konsekuensi psikis. Dalam mengkaji hal ini, perawat harus
mewaspadai tanda – tanda kekerasan dan menanyakan pada klien mengenai
masalah ini. Jika kekerasan seksual telah terjadi, perawat perlu untuk melindungi
klien dari cedera yang lebih lanjut.

d. Layanan kesehatan mental mungkin kurang di beberapa correctional setting.

e. Tahanan yang dihukum mati, memerlukan dukungan emosi dan psikologis. Perawat
harus mengkaji masalah psikis yang timbul dan membantu mereka melalui
konseling dengan tepat

4. Pengkajian Administratif dan policy

.Perawat di correctional setting juga mengkaji keadekuatan sistem pelayanan


kesehatan dalam memenuhi kebutuhan tahanan. Fasilitas di correctional setting bisa
menggunakan salah satu pendekatan di bawah ini untuk menyediakan perawatan
kesehatan untuk tahanan.

a) Layanan kesehatan diberikan oleh staf yang bekerja di institusi.

b) Membuat kontrak dengan agensi untuk menyediakan pelayanan kesehatan.

Apapun pendekatan yang digunakan, perawat perlu mengkaji keadekuatan pelayanan


kesehatan yang diberikan untuk tahanan. Pelayanan minimal meliputi perwatan primer
dan ससससससस

DAFTAR PUSTAKA
Marry Jo Clark. Nursing In The Community. Amerika : Appleton a Lange. 1999.

Marry A Nies. Community Health Nursing. Saunders company. Lipincolt. 2001

S-ar putea să vă placă și