Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
BAB I
PENDAHULUAN
Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu.
Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam
maupun di luar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini
tidak diketahui. Jika aluran empedu buntu, maka empedu akan menumpuk di hati. Selain itu akan
terjadi ikterus atau kuning di kulit dan mata akibat tingginya kadar bilirubin dalam darah. Hal ini
bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal atau
sampai terjadi kematian.
Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab efikasi
pembedahan hepatik-pontoeterostomi (operasi Kasai) akan menurun bila dilakukan setelah umur
2 bulan. Bagi penderita atresia bilier prosedur yang baik adalah mengganti saluran empedu yang
mengalirkan empedu ke usus. Selain itu, terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting
bagi anak yang menderita atresia bilier. Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana
penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada
anggota keluarga pasien. Segera sesudah pembedahan portoenterostomi, asuhan keperawatannya
serupa dengan yang dilakukan pada setiap pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang
diberikan meliputi pemberian obat dan terapi gizi yang benar, termasuk penggunaan formula
khusus, suplemen vitamin serta mineral, terapi nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus mungkin
menjadi persoalan signifikan namun dapat dikurangi dengan obat atau tindakan seperti mandi
rendam atau memotong kuku jari-jari tangan (Donna L. Wong, 2008).
1.2 TUJUAN
1.1.1 Tujuan Umum
Dapat menganalisa asuhan keperawatan pada klien dengan Atresia bilier
1.1.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan definisi dari Atresia bilier
2. Menjelaskan anatomi fisiologi dari Atresia bilier
3. Menjelaskan etiologi dari Atresia bilier
4. Menjelaskan klasifikasi dari Atresia bilier
5. Menjelaskan patofisiologi dari Atresia bilier
6. Menjelaskan manifestasi klinis dari Atresia bilier
7. Menjelaskan komplikasi dari Atresia bilier
8. Menjelaskan penatalaksanaan medis dari Atresia bilier
9. Menjelaskan pengkajian pada asuhan keperawatan klien Atresia bilier
10. Menjelaskan diagnosa keperawatan pada asuhan keperawatan klien Atresia bilier
11. Menjelaskan rencana tindakan/intervensi pada asuhan keperawatan Atresia bilier
12. Menjelaskan kriteria hasil pada setiap diagnosa keperawatan pada asuhan keperawatan klien
Atresia bilier
1.3 MANFAAT
1.3.1 Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat lebih memahami hal-hal yang berkaitan dengan Atresia bilier.
1.3.2 Bagi Perawat
Perawat atau tenaga kesehatan memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang Atresia bilier
sehingga dapat melakukan asuhan keperawatan secara profesional.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau
obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan Rita
Yulianni, 2006)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari duktus
biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan
hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut
menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland, 2006)
Atresia Bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam pipa/ saluran-saluran
yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu (gallbladder). Ini
merupakan kondisi kongenital, yang berarti terjadi saat kelahiran. (http://pilihsehat.tk/.2010)
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda epitel yang
akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau sebagian. ( Chandrasoma &
Taylor,2005)
c. Sistem Vaskularisasi
Duktus biliaris ekstrahepatik mendapat vaskularisasi dari beberapa tempat, diantaranya;
Duktus hepatis dan segmen supraduodenal dari duktus koledokus mendapat aliran darah dari
cabang kecil arteri sistikus. Bagian retroduodenal dari duktus koledokus disuplai oleh cabang
retroduodenal dan posterosuperior dari arteri pankreatikoduodenal. Segmen pankreatika dan
intraduodenal divaskularisasi oleh arteri pankreatikoduodenal bagian anterior dan
posterosuperior.
2.3 Etiologi
Belum diketahui secara pasti
Kemungkinan infeksi virus dalam intrauterine (Rubela, Torch)
2.4 Patofisiologi
Penyebabnya sebenarnya atresia bilier tidak diketahui sekalipun mekanisme imun atau
viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang menimbulkan obstruksi saluran empedu.
Berbagai laporan menunjukkan bahwa atresia bilier tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir
(Halamek dan Stefien Soen, 1997). Keadaan ini menunjukan bahwa atresia bilier terjadi pada
akhir kehamilan atau pada periode perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu beberapa minggu
sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis
pada saluran empedu intrahepatik atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal
empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan menyebabkan peradangan, edema,
degenerasi hati, bahkan hati menjadi fibrosis dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan ikterus dan
duktus didalam lobus hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi
mencegah terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi bilier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah sehingga
menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya empedu dalam usus, lemak dan
vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi sehingga mengalami kekurangan vitamin yang
menyebabkan gagal tumbuh pada anak (Parakrama, 2005).
Tipe I dan II merupakan jenis atresia yang dapat di operasi (correctable) sedangkan tipe III
adalah bentuk atresia yang tidak dapat di operasi (non correctable), bila telah terjadi sirosis maka
dilakukan transpalantasi hati.
2.7 Penatalaksanaan
1. Medik
a) Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk:
Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu dengan
memberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis peroral misal : luminal
Melindungi hati dari zat dari zat toksik dengan memberikan asam ursodeoksikolat 310
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis peroral misal : urdafalk
b) Terapi nutrisi yang bertujuan untuk memungkinkan anak untuk bertumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin yaitu:
Pemberian makanan yang mengandung middle chain triglycerides(MCT) untuk mengatasi
malabsorpsi lemak. Contoh : susu pregestinil dan pepti yunior
Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak.
Dan pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus
dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif
dapat dikurangi.
c) Terapi Bedah
Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan maka segera dilakukan intervensi bedah
Portoenterostomi terhadap atresia bilier yang Correktable yaitu tipe I dan II. Pada atresia bilier
yang Non Correktable terlebih dahulu dilakukan laparatomi eksplorasi untuk menentukan potensi
duktus bilier yang ada di daerah hilus hati dengan bantuan Frozen section. Bila masih ada duktus
bilier yang paten maka dilakukan operasi kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus bilier yang
paten tetap dikerjakan operasi kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita (tujuan
jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan transplantasi hati (tujuan jangka panjang).
Pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus dilaksanakan
dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.
d) Pemeriksaan diagnostik
Darah lengkap dan fungsi hati
Pada pemeriksaan laboratorium ini menunjukkan adanya hiperbilirubinemia direk, serta
peningkatan kadar serum transaminase, fosfatase alkali, dan gamma glutamil transpeptidase yang
dapat membantu diagnosis atresia bilier pada tahap awal.
Pemeriksaan urine
Pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang mengalami ikterus, tetapi urobilin
dalam urine negative, hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
Pemeriksaan feces
Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja/stercobilin dalam tinja berkurang
karena adanya sumbatan.
Biopsi hati
Untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan dengan pengambilan
jaringan hati.
USG abdomen
Menunjukkan kandung empedu yang kecil atau tidak sama sekali, adanya tanda Triangular cord
sangat sensitive menunjukkan adanya atresia bilier.
2. Keperawatan
Terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia
bilier. Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi
tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien. Segera
pembedahan portoenterestomi asuhan keperawatannya serupa dengan yang dilakukan pada setiap
pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan meliputi pemberian obat dan
terapi gizi yang benar termasuk penggunaan formula khusus, suplemen vitamin serta mineral,
terapi nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus menjadi persoalan signifikan namun dapat
dikurangi dengan obat atau tindakan seperti mandi rendam dan memotong kuku jari tangan.
Anak-anak dan keluarga memerlukan dukungan psikososial khusus. Prognosis yang tidak
pasti, gangguan rasa nyaman, dan penantian untuk tranpalantasi dapat menimbulkan stress yang
cukup besar. Perawatan yang lama di rumah sakit, terapi farmakologis dan nutrisi dapat
membawa beban financial yang besar pada keluarga.
2.8 Komplikasi
Cirosis
Terjadi akibat obstuksi beliar yang kronis dan infeksi ( konlongitis ) dan berakibat terjadinya
jaringan parut disekitar hati dan empedu
Gagal Hati
Gangguan fungsi hati yang tampak adalah terjadinya pruritus akibat retensi garam- garam
empedu
Gagal tumbuh
Penurunan imunitas serta penyerapan nutrisi penting serta tingginya motebolisme pada atresia
mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak
Hipertensi Portal
Aliran darah yang melewati hati terganggu ( rusak ) meningkatkan tekanan darah yang melewati
vena vortal , diikuti oleh penumpukan cairan dirongga abdomen mengakibatkan volume
intravena menurun dan ginjal melepas renin yang meningkatkan skeresi hormon aldesteron oleh
kelenjar adrenal yang selanjutnya membuat ginjal menahan natriun dan air dalam upaya unruk
menggembalikan volume intravaskuler dalam keadaan normal.
Varisis Esofagus
Berkaitan dengan peningkatan vena portal darah dari taraktus intestinal dan limpa akan mencari
jalan keluar melalui sirkulasi kolateral (lintasan baru untuk kembali keatrium kanan) akibat
peningkatan tekanan khususnya dalam pembuluh darah pada lapisan sub mukosa esophagus
bagian bawah dan lambung bagian atas, pembuluh pembuluh kolateral ini tidak begitu elastic 9
rapuh dan mudah mengalami perdarahan.
2.9 Prognosis
Artesia biliear yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan sisrosis progresif dan
kematian pada sebagian besar anak usia dua tahun. Prosedur kasai benar-benar dapat
memperbaiki prognosis namun bukan tindakaan yang menyembuhkan. Kerap kali drainase getah
empedu dapat dicapai jika pembedahan dilakukaan sebelum saluran empedu intrahepatik
mengalami kerusakan yang biasanya terjadi pada usia 8 tahun.
Bila oprasi dilakukan pada usia kurang dari 8 minggu maka angka keberhasilannya 71-
86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia lebih dari 8 minggu maka angka
keberhasilanya hanya 34-43,6 %.
Bila operasi kasai dilakukan pada usia 1-60 hari, 61-70 hari, 71-90 hari, dan lebih dari 90
hari maka masing-masing akan emberikan keberhasilan hidup sebesar 73%, 35%,23%, dan 11%.
Sedangkan bila operasi tidak dilakukan maka angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10 %, dan
meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Jadi factor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi
adalah usia saat dilakukan operasi lebih dari 60 hari. ( Wong, Donna L.2008)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1.1 PENGKAJIAN
a. Biodata : Usia bayi, jenis kelamin
b. Keluhan utama : jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan
c. Riwayat penyakit dahulu : apakah ibu pernah terinfeksi virus seperti rubella
d. Riwayat penyakit sekarang : jaundice, tinja warna pucat, distensi abdomen, hepatomegali,
lemah, pruritus, bayi tidak mau minum, letargi
e. Pemeriksaan Fisik
1. BI : sesak nafas, RR meningkat
2. B2: takikardi, berkeringat, kecenderungan perdarahan (kekurangan vitamin K)
3. B3: gelisah atau rewel
4. B4: urine warna gelap dan pekat
5. B5: distensi abdomen, kaku pada kuadran kanan, asites, feses warna pucat, anoreksia, mual,
muntah, regurgitasi berulang, berat badan menurun, lingkar perut 52 cm
6. B6: ikterik pada sclera kulit dan membrane mukosa, kulit berkeringat dan gatal(pruritus), oedem
perifer, kerusakan kulit, otot lemah
f. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Bilirubin direk dalam serum meninggi
nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl
Bilirubin indirek serum meninggi karena kerusakan parenkim hati akibat bendungan empedu yang
luas
Tidak ada urobilinogen dalam urine
Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase (5-20 kali lipat nilai
normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol)
2. Pemeriksaan diagnostik
USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab kolestasis ekstra hepatic (dapat berupa
dilatasi kristik saluran empedu)
Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan duodenum di aspirasi. Jika tidak
ditemukan cairan empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati memproduksi empedu dan
mengekskresikan ke saluran empedu sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak ditemukan
empedu di duodenum, maka dapat berarti terjadi katresia intra hepatik
Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler. Kandung empedu
mengecil karena kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas
1.2 Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan absorbsi nutrient yang buruk, mual muntah
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam jaringan
dtandai dengan adanya pruritus
4. Risiko perubahan pertumbuhan dan perkembangan (gagal tumbuh) berhubungan dengan
penyakit kronis
5. Risiko ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen
Untuk mendeteksi
asites
II
Bayi akan menunjukkan peningkatan Ukur masukan Memberikan informasi
diet
berat badan progresif mencapai tujuan harian (MCT) tentang kebutuhan
dengan nilai laboratorium normal pemasukan/defisiensi
Pasien cenderung
mengalami
luka/perdarahan gusi
Berikan perawatan dan rasa tak enak
mulut sering pada mulut dimana
menambah anoreksia
Mencegah kulit kering
berlebihan dan
memberikan
penghilang rasa gatal
Antihistamin dapat
mengurangi rasa gatal
Dapat menghilangkan
stress pada orangtua
Jelaskan pada orangtua yang menghadapi
bahwa bayi mereka masalah dan
dapat saja tidak memberikan
mencapai tahap-tahap informasi penting
penting perkembangan tentang cara-cara
dengan kecepatan yang menstimulasi
sama seperti pada bayi perkembangan
sehat
Mengelompokkan
intervensi
Sedapat mungkin memungkinkan bayi
lakukan intervensi beristirahat tanpa
secara berkelompok gangguan, istirahat
diperlukan untuk
tahap tumbuh
kembang bayi
V
Bayi akan mempertahankan pola nafas Awasi frekuensi, Pernafasan dangkal,
efektif, bebas dispneu dan sianosis, kedalaman, dan upaya cepat/dispneu
dengan nilai GDA dan kapasitas vital pernafasan mungkin ada
dalam rentang normal hubungan hipoksia
atau akumulasi cairan
dalam abdomen
Menunjukan
terjadinya komplikasi
Auskultasi bunyi nafas (contoh adanya bunyi
krekles, mengi dan tambahan
ronchi menunjukan
akumulasi
cairan/sekresi)
meningkatkan resiko
infeksi
Perubahan mental
dapat menunjukkan
hipoksia dan gagal
Observasi perubahan nafas
tingkat kesadaran
Memudahkan
pernafasan dengan
Berikan posisi kepala menurunkan tekanan
bayi lebih tinggi pada diagfragma
Untuk mencegah
hipoksia
Berikan tambahan O2
sesuai indikasi Mengetahui perubahan
status pernafasan dan
Kolaborasi untuk terjadinya komplikasi
pemeriksaan GDA paru
BAB IV
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Atresia billier merupakan obliterasi atau hipoflasi satu komponen atau lebih dari duktus
biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan
hati yang bervariasi dari stasis empedu sampai sirosis billliaris dengan spenomegali bila berlanjut
menjadi hipertensi porta.
Tujuan dari pengobatan atresia billier adalah untuk membuat suatu lintasan bagi empedu
bila tidak dilakukan penatalaksanaan secara memadai maka prognosis akan buruk dan kematian
akan terjadi dalam 2 tahun kehidupan.
Perawatan pra bedah dan pasca bedah dilakukan sesuai dengan jenis pada umumnya. Hal
penting lain adalah dukungan bagi orangtua. Orangtua harus mendapat penjelasan secara detail
dengan bahasa yang mudah dipahami oleh mereka, serta diberikan dorongan unutk menangani
dan merawat anak karena prognosis sering kali buruk maka mereka juga memerlukan dukungan
emosional yang besar.
5.2 SARAN
Kita sebagai perawat sebaiknya dapat memahami dan mengaplikasikan segala sesuatu yang
terjadi tentang penyakit Atresia Bilier yang telah dibahas pada makalah ini agar dapat tercipta
perawat yang profesional dalam menerapkan asuhan keperawatan secara komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3, Jakarta : EGC
DSA Gulton, Eric. 1994. Ikhtisar Penyakit Anak jilid I. Jakarta : Binarupa Aksara
Ringoringo, Parlin. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:
RS Dr. Cipto Mangunkusumo
R. Taylor, Clive dan Candrasuma Parakrama. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi Edisi 2. Jakarta :
EGC
Suddarth dan Brunner. 2001. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta : EGC
Suriadi dan Yulianni Rita. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2. Jakarta : Penebar Swadaya
Sodikin. 2007. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistim Gastrointestinal Dan Hepatobilier. Salemba
Medika
-----, 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong Edisi 6 Volume 2, Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis proses-proses
penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.
Home
Kumpulan Askep
Dunia Perawat
Melancong
Pojok Islami
Cuap-Cuap
Recomended Blog »
Atresia Bilier
1. Ketika sel-sel hati mengeluarkan empedu, dikumpulkan oleh sistem saluran yang
mengalir dari hati melalui saluran hati kanan dan kiri.
2. Saluran ini akhirnya mengalir ke saluran hepatik umum.
3. Duktus hepatika kemudian bergabung dengan duktus sistikus dari kandung empedu untuk
membentuk saluran empedu umum, yang berlangsung dari hati ke duodenum (bagian
pertama dari usus kecil).
4. Sekitar 50% dari empedu yang dihasilkan oleh hati yang pertama disimpan di kantong
empedu, organ berbentuk buah pir yang terletak tepat di bawah hati.
5. Ketika makanan dikonsumsi, kontrak kandung empedu dan rilis disimpan empedu ke
duodenum untuk membantu memecah lemak.
Empedu merupakan cairan kehijauan-kuning (terdiri dari produk-produk limbah, kolesterol, dan
garam empedu) yang disekresikan oleh sel-sel hati untuk melakukan dua fungsi utama, termasuk
yang berikut:
Garam empedu adalah komponen aktual yang membantu memecah dan menyerap lemak.
Empedu, yang dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk kotoran, adalah apa yang memberikan
kotoran warna gelapnya coklat (Tim Ohio State University,2011)
a. Tipe I Atresia sebagian atau totalis yang disebut duktus hepatikus komunis, segmen
proksimal paten
b. Tipe IIa Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus billiaris komunis, duktus sistikus,
dan kandung empedu semuanya)
c. Tipe IIb Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus,
kandung empedu normal
d. Tipe III Obliterasi pada semua system duktus billier ekstrahepatik sampai ke hilus
Tipe I dan II merupakan jenis atresia yang dapat di operasi (correctable) sedangkan tipe III
adalah bentuk atresia yang tidak dapat di operasi (non correctable), bila telah terjadi sirosis maka
dilakukan transpalantasi hati.
2.4 Etiologi
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli menyatakan bahwa
faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi 17, 18
dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar
penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang merusak duktus
bilier, bisa karena infeksi atau iskemi.
Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk janin atresia bilier, seringkali memiliki cacat
lahir lainnya di jantung, limpa, atau usus.Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia bilier bukan
merupakan penyakit keturunan.Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar identik,
dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut.Atresia bilier kemungkinan besar
disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama hidup janin atau sekitar saat kelahiran.
Kemungkinan yang "memicu" dapat mencakup satu atau kombinasi dari faktor-faktor
predisposisi berikut(Richard, 2009) :
1. Ikterus timbul sejak lahir, tetapi dapat tidak nyata sampai beberapa minggu pertama. Urin
menjadi gelap dan tinja akolik. Abdomen secara bertahap menjadi terdistensi oleh hepar
yang membesar atau asites. Akhirnya, limpa juga membesar. Ikterus karena peninggian
bilirubin direk. Ikterus yang fisiologis sering disertai dengan peninggian bilirubin yang
konyugasi. Dan harus diingat peninggian bilirubin yang tidak konyugasi jarang sampai 2
minggu.
2. Kolestasis neonatal terlihat pada bayi dengan berat lahir normal dan meningkat
pascanatal. Jika tidak diatasi (dengan transplantasi hati) kematian terjadi dalam waktu 2
tahun sejak bayi dilahirkan.
3. Bayi-bayi dengan Atresia bilier biasanya lahir dengan berat badan yang normal dan
perkembangannya baik pada minggu pertama.
4. Hepatomegali akan terlihat lebih awal.
5. Splenomegali sering terjadi, dan biasanya berhubungan dengan progresivitas penyakit
menjadi Cirrhosis hepatis dan hipertensi portal.
6. Pasien dengan bentuk fetal /neonatal (sindrom polisplenia/asplenia) pertengahan liver
bisa teraba pada epigastrium.
7. Adanya murmur jantung pertanda adanya kombinasi dengan kelainan jantung.
8. Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk pemecahan dari
hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang dalam
urin.
9. Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin yang masuk ke
dalam usus untuk mewarnai feses. Juga, perut dapat menjadi bengkak akibat pembesaran
hati.
10. Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat
11. Degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan jaundice, ikterus, dan hepatomegali,
Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan lemak yang larut dalam air sehingga
menyebabkan kondisi malnutrisi, defisiensi lemak larut dalam air serta gagal tumbuh.
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
1. Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan malnutrisi.
2. Gatal-gatal
3. Rewel
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu dari
hati ke kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan menyebabkan cairan
empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati. Dan apabila
asam empedu tertumpuk dapat merusak hati.Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrhosis.
Kemudian terjadi pembesaran hati yang menekan vena portal sehingga mengalami hipertensi
portal yang akan mengakibatkan gagal hati.
Jika cairan empedu tersebar ke dalam darah dan kulit, akan menyebabkan rasa gatal. Bilirubin
yang tertahan dalam hati juga akan dikeluarkan ke dalam aliran darah, yang dapat mewarnai
kulit dan bagian putih mata sehingga berwarna kuning.
Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegaly.Karena tidak
ada aliran empedu dari hati ke dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi,
kekurangan vitamin larut lemak yaitu vitamin A, D,E,K dan gagal tumbuh.
Vitamin A, D, E, K larut dalam lemak sehingga memerlukan lemak agar dapat diserap oleh
tubuh. Kelebihan vitamin-vitamin tersebut akan disimpan dalam hati dan lemak didalam tubuh,
kemudian digunakan saat diperlukan. Tetapi mengkonsumsi berlebihan vitamin yang larut dalam
lemak dapat membuat anda keracunan sehingga menyebabkan efek samping seperti mual,
muntah, dan masalah hati dan jantung.
Patofisiologi dari Atresia biliaris masih sulit dimengerti, penelitian terakhir dikatakan kelainan
kongenital dari sistim biliris. Masalah ontogenesis hepatobilier dicurigai dengan bentuk atresia
bilier yang berhubungan dengan kelainan kongenital yang lain. Walaupun yang banyak pada tipe
neonatal dengan tanda khas inflamasi yang progresif, dengan dugaan infeksi atau toksik agen
yang menyebabkan obliterasi duktus biliaris.
Pada tipe III : yang sering terjadi adalah fibrosis yang menyebabkan obliterasi yang komplit
sebagian sistim biliaris ekstra hepatal. Duktus biliaris intra hepatal yang menuju porta hepatis
biasanya pada minggu pertama kehidupan tampak paten tetapi mungkin dapat terjadi kerusakan
yang progresif.Adanya toksin didalam saluran empedu menyebabkan kerusakan saluran empedu
extrahepatis. Identifikasi dari aktivitas dari inflamasi dan kerusakan Atresia sistim bilier
ekstrahepatal tampaknya merupakan lesi yang didapat.
Walaupun tidak dapat didentifikasi faktor penyebab secara khusus tetapi infeksi merupakan
faktor penyebab terutama isolasi dari atresia bentuk neonatal.Banyak penelitian yang
menyatakan peninggian titer antibodi reovirus tipe 3 pada penderita atresia biliaris dibandingkan
dengan yang normal. Virus yang lain yang sudah diimplikasi termasuk rotavirus dan Cytomegali
Virus(CMV)
1) USG
a. Hati dapat membesar atau normal dengan struktur parenhim yang inhomogen dan
ekogenitas yang tinggi tertama daerah periportal akibat fibrosis
b. Nodul-nodul cirrhosis hepatis
c. Tidak terlihat vena porta perifer karena fibrosis
d. Tidak terlihat pelebaran duktus biliaris intra hepatal
e. Triangular cord didaerah porta hepatis: daerah triangular atau tubular ekogenik lebih
spesifik untuk atresia bilier extra hepatal
f. Kandung empedu tidak ada atau mengecil dengan panjang <1.5 cm . Kandung empedu
biasanya lebih kecil dari 1,9 cm,dinding yang tipis atau tidak terlihat ,ireguler dengan
kontur yang lobuler(gall bladder ghost triad), kalau ada gambaran ini dikatakan
sensitivitas 97 % dan spesifisitas 100%.
g. Gambaran kandung empedu yang normal (panjang >1,5 cm dan lebar >4 cm ) dapat
terlihat sekitar 10 % kasus.
h. Tanda hipertensi portal dengan terlihatnya peningkatan ekogenitas daerah periportal.
i. kemungkinan dengan kelainan kongenital lain seperti: Situs inversus, Polisplenia
3) Kholangiografi
MRCP : dapat melihat dengan jelas duktus biliaris ekstrahepata untuk menentukan
ada tidaknya atresia billier
Peninggian sinyal daerah periportal pada T2 weighted images
4. Intubasi duodenum
Jarang dilakukan untuk diagnosis Atresia bilier. Nasogastrik tub diletakkan didistal
duodenum.tidak adanya bilirubin atau asam empedu ketika diaspirasi menunjukkan
kemungkinan adanya obstruksi.
2.9 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
1. Terapi nutrisi yang bertujuan untuk memungkinkan anak untuk bertumbuh dan
berkembang seoptimal mungkin yaitu:
3. Terapi Bedah
Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan maka segera dilakukan intervensi bedah
Portoenterostomi terhadap atresia bilier yang Correktable yaitu tipe Idan II. Pada atresia bilier
yang Non Correktable terlebih dahulu dilakukan laparatomi eksplorasi untuk menentukan potensi
duktus bilier yang ada di daerah hilus hati dengan bantuan Frozen section. Bila masih ada duktus
bilier yang paten maka dilakukan operasi kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus bilier yang
paten tetap dikerjakan operasi kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita (tujuan
jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan transplantasi hati (tujuan jangka panjang).
Pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus dilaksanakan
dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.
Operasi
1. Kasai prosedur : tujuannya untuk mengangkat daerah yang mengalami atresia dan
menyambung hepar langsung ke usus halus sehingga cairan empedu dapat lansung
keluar ke usus halus disebut juga Roux-en-Y hepatoportojejunostomy
2. Transplantasi hati : Dilakukan pada keadaan Kasai prosedur tidak berhasil , atresia
total atau dengan komplikasi cirhosis hepatis
3. Progresif serosis hepatis trjadi jika aliran hanya dapat dibuka sebagian oleh prosedur
pembedahan, permasalahan dengan pendarahan dan penngumpalan.
4. Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegaly.
5. Karena tidak ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat
diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak dan gagal tumbuh.
6. Hipertensi portal
7. Pendarahan yang mengancam nyawa dari pembesaran vena yang lemah di esofaguc dan
perut, dapat menyebabkan Varises Esophagus.
2.12 Prognosis
Harapan hidup pasien yang tidak diobati adalah 18 bulan.Progresi fibrosis hepatic sering terjadi
walaupun sudah mendapat terapi bedah paliatif, meskipun 30 – 50 % pasien mungkin tetap
anikterik.Angka harapan hidup transplantasi jangka pendek sekitar 75 %.
Menurut Carlassone & Bensonsson (1977) menyatakan bahwa operasi atresia biliaris tipe
“noncorrectable” adalah buruk sekali sebelum adanya operasi Kasai, tapi sampai sekarang hanya
sedikit penderita yang dapat disembuhkan. Bila pasase empedu tidak dikoreksi, 50 % anak akan
meninggal pada tahun pertama kehidupan, 25 % pada tahun ke dua, dan sisanya pada usia 8-9
tahun. Penderita meninggal akibat kegagalan fungsi hati dan sirosis dengan hipertensi portal
(koop, 1976).
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
c. Riwayat penyakit dahulu : apakah ibu pernah terinfeksi virus seperti rubella
d. Riwayat penyakit sekarang : jaundice, tinja warna pucat, distensi abdomen, hepatomegali,
lemah, pruritus, bayi tidak mau minum, letargi
e. Pemeriksaan Fisik
f. Pemeriksaan Penunjang
g. Laboratorium
Pemeriksaan diagnostik
a. USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab kolestasis ekstra hepatic (dapat
berupa dilatasi kristik saluran empedu)
b. Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan duodenum di aspirasi.
Jika tidak ditemukan cairan empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
c. Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati memproduksi
empedu dan mengekskresikan ke saluran empedu sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak
ditemukan empedu di duodenum, maka dapat berarti terjadi katresia intra hepatic
d. Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler. Kandung
empedu mengecil karena kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas
3. Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan absorbsi nutrient yang buruk, mual
muntah
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual
muntah
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam jaringan
dtandai dengan adanya pruritus
4. Risiko perubahan pertumbuhan dan perkembangan (gagal tumbuh) berhubungan dengan
penyakit kronis
5. Risiko ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen
3. Intervensi Keperawatan
5. Kolaborasi untuk
pemeriksaan elektrolit,
kadar protein total,
albumin, nitrogen urea
darah dan kreatinin serta
darah lengkap
1. Kelembapan
meningkatkan
pruritus dan resiko
kerusakan kulit
Bayi akan
mempertahankan 4. Mandikan dengan air
kelembapan kulit yang hangat sehari dua kali dan
III
ditandai dengan kulit tidak di olesi baby cream 2. Pengubahan posisi
kering, tidak ada pruritus, menurunkan
jaringan kulit utuh dan bebas tekanan pada
lecet jaringan dan untuk
memperbaiki
1. Pertahankan sprei kering sirkulasi
dan bersih
3. Mencegah dari
cidera tambahan
pada kulit
2. Rubah posisi tidur sesuai khususnya bila
jadwal tidur
4. Antihistamin
dapat mengurangi
rasa gatal
ü 2. Dapat
Bayi akan bertumbuh dan
menghilangkan stress
berkembang secara normal ü 2. Jelaskan pada orangtua
pada orangtua yang
yang ditandai dengan bahwa bayi mereka dapat
IV menghadapi masalah dan
mencapai tahap pertumbuhan saja tidak mencapai tahap-tahap
memberikan informasi
dan perkembangan yang penting perkembangan dengan penting tentang cara-cara
sesuai kecepatan yang sama seperti pada menstimulasi
bayi sehat perkembangan
ü 3. Mengelompokkan
intervensi memungkinkan
bayi beristirahat tanpa
ü 3. Sedapat mungkin lakukan
gangguan, istirahat
intervensi secara berkelompok
diperlukan untuk tahap
tumbuh kembang bayi
BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS
Kasus semu
An. Y (laki-laki) berusia 2 bulan dibawa ke Rumah Sakit dengan keluhan mual, muntah, kulit
tampak berwarna kuning, tinja berwarna dempul, BAK berwarna seperti teh, perut membesar
dan selalu rewel. Dari hasil pemeriksaan diketahui adanya hipertensi vena porta, peningkatan
kadar bilirubin dan hasil Rontgen didapatkan adanya pembesaran hati. Kulit teraba hangat dan
tampak kuning di seluruh tubuh.Mata konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik.Perut tampak
buncit, hepar teraba 1/3-1/3 peinggir tajam, konsistensi padat keras, permukaan rata, nyeri tekan
tidak ada.Lien teraba S1.Perkusi timpani, shifting dullness positif, bising usus positif
normal.Ekstrimitas hangat, perfusi baik, ditemukan pitting edema. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang, sadar, TD 110/60 mmHg, nadi
130x/menit, RR 40x/menit, suhu tubuh 36,5oC, tinggi badan 70 cm, berat badan 5 kg.
ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian Anak
Anamnesa
Nama : An. Y
Usia : 2 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku / bangsa : Jawa/ Indonesia
Alamat : Surabaya
Agama :Islam
Tanggal MRS : 10 November 2014
Jam MRS : 14.00 WIB
Diagnosa : Atresia Billier
d. Keluhan Utama
Mual muntah, kulit tampak berwarna kuning, tinja berwarna dempul, BAK berwarna seperti teh,
perut membesar dan selalu rewel
Imunisasi : Hepatitis B-1 diberikan waktu 12 jam setelah lahir, BCG diberikan saat lahir, Polio
oral diberikan bersamaan dengan DTP
a. Status Gizi : Kekurangan gizi akibat gangguan penyerapan makanan terutama vitamin
larut lemak (A,D,E,K)
b. Tahap perkembangan anak menurut teori psikososial : Klien An. Y mencari kebutuhan
dasarnya seperti kehangatan, makanan dan minuman serta kenyamanan dari orang tua
sendiri.
c. Tahap kepribadian anak menurut teori psikoseksual : Klien An Y. menujukkan karakter
awal kepribadiannya dengan mengenali siapa yang mengasuhnya. Klien menyukai saat
digendong dan diayun-ayun Perilaku kegiatan motorik sederhana terkoordinasi, dengan
menggerakkan jari tangan, menggenggam ibu jari ibu yang berhubungan emosi dengan
orang tua, saudara dan orang lain.
Pemeriksaan Fisik
a. B1 (breath)
RR meningkat 40x/menit, Suhu (36.5°C), penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan cuping
hidung, napas pendek.
b. B2 (blood)
c. B3 (brain)
gelisah (rewel)
d. B4 (bladder)
e. B5 (bowel)
anoreksia, mual muntah, tidak toleran terhadap lemak dan makanan pembentuk gas,
regurgitasi berulang, dehidrasi, regurgitasi berulang, penurunan berat badan BB/TB (5 Kg/ 70
cm), distensi abdomen. Perut tampak buncit, hepar teraba 1/3-1/3 peinggir tajam, konsistensi
padat keras, permukaan rata, nyeri tekan tidak ada.Lien teraba S1.Perkusi timpani.
f. B6 (bone) :
Letargi/ kelemahan, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan, ikterik, kulit
berkeringat dan gatal (pruritus), jaundice, kerusakan kulit.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan Diagnostik
Hepatomegali (pembesaran
hepar)
DS : pasien terlihat sesak.
DO :
Penggunaan otot bantu
4. Pola napas tidak efektif
pernapasan
distensi abdomen
Napas pendek
menekan diafragma
Intervensi Rasional
1. Berikan cairan IV (biasanya
1. memberikan terapi cairan dan
glukosa) elektrolit.
penggantian elektrolit
2. Awasi nilai laboraturium, contoh
2. menunjukkan hidrasi dan
Hb/Ht, nat, albumin.
mengidentifikasikan retensi natrium/
kadar protei yang dapat
menimbulkan pembentukan edema.
3. indikator volume sirkulasi/ perfusi.
2. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual
muntah, penurunan berat badan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pola
nutrisi adekuat.
Kriteria hasil : - BB pasien stabil
- Konjungtiva tidak anemis
Intervensi Rasional
Mandiri:
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam jaringan,
ditandai dengan adanya pruritis.
Mandiri:
1. Mencegah kulit kering berlebihan,
memberikan penghilang rasa gatal,
1. Gunakan air mandi biasa atau
sekaligus menghindari infeksi.
pemberian lotion/ cream, hindari
sabun alkali. Berikan minyak
kalamin sesuai indikasi.
2. Berikan massage pada waktu tidur.
2. Bermanfaat dalam meningkatkan
tidur dan menurunkan integritas
kulit.
3. Pertahankan sprei kering dan bebas
3. Kelembaban meningkatkan pruritus
lipatan
dan meningkatkanresiko kerusakan
kulit.
Intervensi Rasional
Mandiri:
Kolaborasi:
4. Operasi diperlukan untuk
memperbaiki kondisi pasien
4. Persiapkan operasi bila diperlukan.
Tujuan : meningkatkan pemahaman orang tua tentang perawatan pada anak yang sakit
Kriteria hasil : - Menyatakan pemahaman proses penyakit dan pengobatan.
- Berpartisipasi dalam pengobatan.
Intervensi Rasional
1. Jelaskan tentang pengobatan yang 1. Mengidentifikasi area kekurangan
diberikan, dosis, reaksi obat dan dan pengetahuan/ salah informasi
tujuannya dan memberikan kesempatan untuk
memberikan informasi tambahan
sesuai keperluan.
2. Stimulasi dapat meningkatkan
kekebalan tubuh klien
DAFTAR PUSTAKA
MAKALAH
oleh:
Kelompok
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
karuni-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, dengan judul Asuhan
Keperawatan pada Atresia Billiaris. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terimakasih yang tulus kepada:
1. Ns. Lantin Sulistyorini, M.Kes., selaku PJMK mata kuliah Ilmu Keperawatan Klinik III B;
2. Rekan-rekan satu kelompok yang sudah bekerjasama dan berusaha semaksimal mungkin
sehingga makalah ini dapat terealisasi dengan baik;
3. Semua pihak yang secara tidak langsung membantu terciptanya makalah ini yang tidak dapat
disebutkan satu per satu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan makalah
ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 2
1.3 Implikasi Keperawatan 3
BAB 2. TINJAUAN TEORI 4
2.1 Pengertian 4
2.2 Epidemiologi 5
2.3 Etiologi 6
2.4 Tanda dan Gejala 7
2.5 Patofisiologi 7
2.6 Komplikasi dan Prognosis 8
2.7 Pengobatan 9
2.8 Pencegahan 11
BAB 3. PATHWAYS 12
BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN 13
4.1 Pengkajian 13
4.2 Diagnosa Keperawatan 18
4.3 Perencanaan Keperawatan 19
4.4 Implementasi Keperawatan 23
4.5 Evaluasi 25
BAB 5. PENUTUP 27
5.1 Kesimpulan 27
5.2 Saran 27
DAFTAR PUSTAKA 28
BAB 1. PENDAHULUAN
2.2 Epidemiologi
Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Kondisi ini jarang terjadi,
prevalensinya 1 : 15.000 kelahiran. Insidensi lebih banyak terjadi pada anak-anak asia dan
anak kulit hitam. Di US, sekitar 300 bayi yang lahir setiap tahunnya dengan kondisi atresia
billiaris. Bentuk janin-embrio yang ditandai dengan kolestasis awal, muncul dalam 2 minggu
pertama kehidupan, dan menyumbang 10-35% dari semua kasus. Dalam bentuk ini, saluran-
saluran empedu terputus saat lahir, dan 10-20% dari neonatus yang terkena dampak telah
dikaitkan cacat bawaan, termasuk Situs inversus , polysplenia , malrotasi, atresia usus, dan
anomali jantung, antara lain.
Atresia billiaris dtemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak
perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Meski jarang tetapi jumlah penderita atresia
billiaris yang ditangani rumah sakit Cipt Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003,
mencapai 37-38 bayi atau 23 persen dari 162 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi
hati. Sedangkan di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Suromo Surabaya antara tahun 1999-
2001 dari 19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan penyakit kuning
gangguan fungsi hati di dapatkan atresia bilier 9 (9,4%).
Dari 904 kasus atresia billiris yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia billiaris didapat
pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), hispantik (11%), Asia (4,2) dan Indian
Amerika (1,5%). Kasus atresia bilier dilaporkan sebanyak 5/100.000 kelahiran hidup di
belanda, 5/100.000 kelahiran hidup di perancis, 6/100.000 klahiran hidup di Inggris,
6,5/100.000 kelhiran hidup di Texas, 7/100.000 kelahiran hidup di australia, 7,4/100.000
kelahiran hidup di USA, dan 10,6/100.000 kelahiran hidup di Jepang.
2.3 Etiologi
Penyebab atresia billiaris tidak diketahui dengan jelas, tetapi diduga akibat proses
inflamasi yang destruktif. Atresia billiaris terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari
saluran empedu di dalam maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan
perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui. Meskipun penyebabnya belum diketahui
secara pasti, tetapi diduga karena kelainan kongenital, didapat dari proses-proses peradangan,
atau kemungkinan infeksi virus dalam intrauterine.
Penyebab atresia masih kontroversial, beberapa ahli percaya bahwa hal ini terjadi akibat
infeksi intrauterine. Atresia biasanya hanya mengenai duktus biliaris ekstrahepatik, duktus
intrahepatik lebih jarang terkena. Atresia biliaris komplit yang mengenai seluruh system
menyebabkan kematian yang tinggi. Hati menunjukan gambaran obstruksi hebat duktus
biliaris yang besar dengan sirosis biliaris sekunder. Tanpa pengobatan, kematian terjadi pada
masa bayi. Terapi bedah dapat berhasil pada kasus atresia parsial. Pada kasus atresia yang
mengenai duktus intrahepatik, transplantasi hati merupakan satu-satunya harapan.
Hal yang penting perlu diketahui adalah bahwa atresia billiaris adalah bukan merupakan
penyakit keturunan. Kasus atresia billiaris tidak diturunkan dari keluarga. Atreia billiaris
paling sering disebabkan karena sebuah peristiwa yang terjadi saat bayi dalam kandungan.
Kemungkinan hal yang dapat memicu terjadinya atresia billiaris diantaranya: infeksi virus
atau bakteri, gangguan dalam system kekebalan tubuh, komponen empedu yang abnormal,
kesalahan dalam perkembangan hati dan saluran empedu.
2.5 Patofisiologi
Penyebabnya sebenarnya atresia billiaris tidak diketahui sekalipun mekanisme imun atau
viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang menimbulkan obstruksi saluran empedu.
Berbagai laporan menunjukkan bahwa atresia billiaris tidak terlihat pada janin, bayi yang
baru lahir. Keadaan ini menunjukan bahwa atresia billiaris terjadi pada akhir kehamilan atau
pada periode perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu beberapa minggu sesudah dilahirkan.
Inflamasi terjadi secara progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran
empedu intrahepatik atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal
empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan menyebabkan peradangan,
edema, degenerasi hati, bahkan hati menjadi fibrosis dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan ikterus dan
duktus didalam lobus hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi
mencegah terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi billier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah sehingga
menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya empedu dalam usus, lemak dan
vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi sehingga mengalami kekurangan vitamin yang
menyebabkan gagal tumbuh pada anak.
BAB 3 PATHWAY
BAB 4 ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
a. Identitas
Meliputi Nama,Umur, Jenis Kelamin dan data-data umum lainnya. Hal ini dilakukan
sebagai standar prosedur yang harus dilakukan untuk mengkaji keadaan pasien. Umumnya
Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Atresia bilier dtemukan pada 1 dari
15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama dalam penyakit Atresia Biliaris adalah Jaundice dalam 2 minggu sampai
2 bulan Jaundice adalah perubahan warna kuning pada kulit dan mata bayi yang baru lahir.
Jaundice terjadi karena darah bayi mengandung kelebihan bilirubin, pigmen berwarna kuning
pada sel darah merah.
e. Riwayat Perinatal
1) Antenatal:
Pada anak dengan atresia biliaris, diduga ibu dari anak pernah menderita infeksi penyakit,
seperti HIV/AIDS, kanker, diabetes mellitus, dan infeksi virus rubella
2) Intra natal:
Pada anak dengan atresia biliaris diduga saat proses kelahiran bayi terinfeksi virus atau
bakteri selama proses persalinan.
3) Post natal:
Pada anak dengan atresia diduga orang tua kurang memperhatikan personal hygiene saat
merawat atau bayinya. Selain itu kebersihan peralatan makan dan peralatan bayi lainnya juga
kurang diperhatikan oleh orang tua ibu.
j. Pemeriksaan Fisik
Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
1) Air kemih bayi berwarna gelap
2) Tinja berwarna pucat
3) Kulit berwarna kuning
4) Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat
5) Hati membesar.
6) Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
a) Gangguan pertumbuhan
b) Gatal-gatal
c) Rewel
d) Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari
lambung, usus dan limpa ke hati).
7) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum : lemah.
TTV : Tekanan Darah : terjadi peningkatan terutama pada vena porta
Suhu : Suhu tubuh dalam batas normal
Nadi : takikardi
RR : terjadi peningkatan RR akibat diafragma yang
tertekan (takipnea)
b) Kepala dan leher
Inspeksi : Wajah : simetris
Rambut : lurus/keriting, distribusi merata/tidak
Mata : pupil miosis, konjungtiva anemis
Hidung : kemungkinan terdapat pernafasan cuping Hidung
Telinga : bersih
Bibir dan mulut : mukosa biibir kemungkinan terdapat ikterik
Lidah : normal
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar thyroid dan limfe pada leher
c) Dada
Inspeksi : asimetris, terdapat tarikan otot bantu pernafasan dan tekanan
pada otot diafragma akibat pembesaran hati (hepatomegali).
Palpasi : denyutan jantung teraba cepat, terdapat nyeri tekan(-)
Perkusi : Jantung : dullness
Paru : sonor
Auskultasi : tidak terdengar suara ronchi
kemungkinan terdengar bunyi wheezing
d) Abdomen
Inspeksi : terdapat distensi abdomen
Palpasi : dapat terjadi nyeri tekan ketika dipalpasi
Perkusi : sonor
Auskultasi : kemungkinan terjadi pada bising usus
e) Kulit
Turgor kurang, pucat, kulit berwarna kuning (jaundice)
f) Ekstremitas
Tidak terdapat odem pada pada extremitas
k. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
a) Bilirubin direk dalam serum meninggi (nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl) karena
kerusakan parenkim hati akibat bendungan empedu yang luas.
b) Tidak ada urobilinogen dalam urine.
c) Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase (5-20 kali lipat
nilai normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol)
2) Pemeriksaan diagnostik
a) USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab kolestasis ekstra hepatic (dapat
berupa dilatasi kristik saluran empedu)
b) Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan duodenum di aspirasi. Jika
tidak ditemukan cairan empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
c) Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati memproduksi empedu
dan mengekskresikan ke saluran empedu sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak ditemukan
empedu di duodenum, maka dapat berarti terjadi katresia intra hepatik
d) Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler. Kandung
empedu mengecil karena kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas
4.2 Diagnosa Keperawatan
a. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan
penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen ditandai oleh
adanya perasaan sesak pada pasien
c. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada duktusbilier
ekstrahepatik
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada pasien
ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
e. Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
4.3 Perencanaan Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva
anemis
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
1. Kaji distensi abdomen
keperawatan 2 x 24 jam selama proses
2. Pantau masukan nutrisi dan perhatikan
keperawatan, diharapkan pola nutrisi pasien frekuensi muntah klien
menjadi adekuat 3. Timbang BB setiap hati
Kriteria Hasil: 4. Berikan diet yang sedikit namun sering
a. BB pasien stabil 5. Atur kebersihan oral sebelum makan
b. Konjungtiva tidak anemis 6. Konsulkan dengan ahli diet sesuai indikasi
7. Berikan diet rendah lemak, tinggi serat, dan
batasi makanan penghasil gas
8. Kolaborasikan pemberian makanan yang
mengandung MCT sesuai indikasi
9. Monitor kadar albumin, protein sesuai
program
10. Berikan vitamin-vitamin larut lemak (A, D,
E, K)
b. Diagnosa keperawatan: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi
abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan 2 x 24
1. Kaji distensi abdomen
jam, diharapkan pasien menunjukkan tanda-
2. Kaji RR, kedalaman nafas, dan kerja
tanda pola nafas yang efektif pernafasan
Kriteria Hasil: 3. Awasi klien agar tidak sampai mengalami
a. RR mencapai 30-40 napas/mnt leher tertekuk
b. Kedalaman inspirasi dan kedalaman bernafas4. Posisikan klien semi ekstensi atau eksensi
c. Tidak ada penggunaan otot bantu nafas pada pada saat beristirahat
pasien 5. Kolaborasikan operasi apabila dibutuhkan
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada
pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: pasien akan mempertahankan
1. Pantau asupan dan carian pasien perjam
keseimbangan cairan dan elektrolit setelah (cairan infus, susu per NGT, atau jumlah ASI
dilakukan perawatan didalam rumah sakit yang diberikan
selama 2 x 24 jam 2. Periksa feses pasien tiap harinya
Kriteria Hasil: 3. Pantau lingkar perut pasien
a. Kembalinya pengisian kapiler darah kurang
4. Observasi tanda-tanda dehidrasi
dari 3 detik 5. Kolaborasikan pemeriksaan elektrolit pasien,
b. Turgor kulit membaik kadar protein total, albumin, nitrogen urea
c. Produksi urin 1-2ml/kgBB/jam darah dan kreatinin serta darah lengkap
4.5 Evaluasi
a. Diagnosa 1: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan
gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
S: Orang tua pasien mengatakan jika sang anak tidak mau menghabiskan makanannya
O: BB menurun, Muntah, dan konjungtiva tampak anemis
A: Masalah teratasi
P: Lanjutkan intervensi
b. Diagnosa 2: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen
ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
S: Orang tua mengeluhkan anaknya sering sesak
O: adanya sesak nafas, RR: 60 x/menit
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
c. Diagnosa 3: Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada
duktusbilier ekstrahepatik
S: Pasien mengatakan tubuhnya panas
O: suhu meningkat, takikardi, dan RR meningkat
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
d. Diagnosa 4: Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting
pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
S: Keluarga mengatakan sejak pagi pasien muntah-muntah setelah makan
O: muntah sebanyak ¼ gelas kecil, wajah terlihat pucat dan sianosis
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
e. Diagnosa 5: Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi
S: keluarga mengatakan pasien sudah mulai berkurang BABnya
O: pasien BAB 2 kali dalam sehari, dengan konsentrasi cair
A: masalah teratasi sebangian
P: lanjutkan intervensi
f. Diagnosa 6: Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
S: pasien mengatakan sudah dapat beraktivitas, dan tidak lelah
O: nadi 95 kali / menit, RR: 21 kali / menit
A: masalah teratasi
P: lanjutkan intervensi
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau
obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan
Rita Yulianni, 2006). Penyebab atresia bilier tidak diketahui dengan jelas, tetapi diduga
akibat proses inflamasi yang destruktif. Atresia biliar terjadi karena adanya perkembangan
abnormal dari saluran empedu di dalam maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya
gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui. Meskipun penyebabnya belum
diketahui secara pasti, tetapi diduga karena kelainan kongenital, didapat dari proses-proses
peradangan, atau kemungkinan infeksi virus dalam intrauterine.Dalam hal ini pengobatan
tidak memberikan efek yang terlalu besar. Satu-satunya terapi yang memberikan harapan
kesembuhan bagi atresia biliar adalah pembedahan. Secara historis, berbagai operasi telah
disusun, termasuk reseksi hepatik parsial dengan drainase luka permukaan, penusukan hepar
dengan tabung hampa, dan pengalihan duktus limfatik torasikus kedalam rongga mulut.
Dalam hal pencegahannya perawatdiharapkan dapat memberikan pendidikan kesehatan pada
orang tua untuk mengantisipasi setiap faktor resiko terjadinya obstruksi biliaris (penyumbatan
saluran empedu), dengan keadaan fisik yang menunjukan anak tampak ikterik, feses pucat
dan urine berwarna gelap (pekat). (Sarjadi,2000)
5.2 Saran
Saran bagi perawat, sebaiknya seorang perawat dapat melaksanakan asuhan keperawatan
kepada klien atresia biliaris sesuai dengan indikasi penyakit, dan sebaiknya dengan baik dan
benar sesuai standar.
DAFTAR PUSTAKA
Ilmu Keperawatan
Home
Menu 1
o
o
o
Menu 2
o
o
o
Menu 3
Menu 4
Search...
Home » Askep KMB » Askep Gagal Ginjal Kronik Aplikasi Nanda NIC NOC
Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu mempertahankan
lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan pemulihan fungsi tidak
dimulai. Pada kebanyakan individu transisi dari sehat ke status kronis atau penyakit
yang menetap sangat lamban dan menunggu beberapa tahun. Barbara C Long,
1996).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)
(Brunner & Suddarth, 2001).
Etiologi
Begitu banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronis.
Akan tetapi apapun sebabnya, respon yang terjadi adalah penurunan fungsi ginjal
secara progresif. Kondisi klinis yang memungkinkan dapat mengakibatkan GGK bisa
disebabkan dari ginjal sendiri dan dari luar ginjal.
Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-
nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai
reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR/daya saring. Metode adaptif
ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban
bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi
berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus.
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul
disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien
menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira
fungsi ginjal telah hilang 80%-90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai
kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C
Long, 1996)
Manifestasi klinis
Karena pada gagal ginjal kronis setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia,
maka pasien akan memperhatikan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan
gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang
mendasari, dan usia pasien.
Gejala dermatologi yang sering terjadi mencakup rasa gatal yang parah (pruritis).
Butiran uremik, suatu penumpukan kristal urea di kulit, saat ini jarang terjadi akibat
penanganan dini dan agresif terhadap penyakit ginjal tahap akhir. Gejala
gastrointestinal juga sering terjadi dan mencakup anoreksia, mual, muantah dan
cegukan. Perubahan neuromuskuler mencakup perubahan tingkat kesadaran,
ketidak mampuan berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang.
Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang, mudah tersinggung, depresi
Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau
sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan,
pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001) antara lain : hipertensi, (akibat retensi
cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin-angiotensin–aldosteron), gagal jantung
kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat
iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan
cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu
berkonsentrasi).
Sistem kardiovaskuler
Hipertensi
Pitting edema
Edema periorbital
Pembesaran vena leher
Friction sub pericardial
Sistem Pulmoner
Krekel
Nafas dangkal
Kusmaull
Sputum kental dan liat
Sistem gastrointestinal
Sistem musculoskeletal
Kram otot
Kehilangan kekuatan otot
Fraktur tulang
Sistem Integumen
Sistem Reproduksi
Amenore
Atrofi testis
Mekanisme yang pasti untuk setiap manifestasi tersebut belum dapat diidentifikasi.
Namun demikian produk sampah uremik sangat dimungkinkan sebagai
penyebabnya
Komplikasi
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium :
Laju Endap Darah : Meninggi yang diperberat oleh adanya anemia, dan
hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosit yang
rendah.
Ureum dan kreatini : Meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin kurang lebih 20 : 1. Perbandingat meninggi akibat pendarahan
saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan obstruksi
saluran kemih. Perbandingan ini berkurang ketika ureum lebih kecil dari
kreatinin, pada diet rendah protein, dan tes Klirens Kreatinin yang menurun.
Hiponatremi : Umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia : biasanya
terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunya dieresis
Hipokalemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis
vitamin D3 pada GGK.
Phosphate alkaline : meninggi akibat gangguan metabolisme tulang, terutama
isoenzim fosfatase lindi tulang.
Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia : umunya disebabkan gangguan
metabolisme dan diet rendah protein.
Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada gagal
ginjal (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).
Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan
peninggian hormone insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukan Ph yang
menurun, BE yang menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun,
semuanya disebabkan retensi asam-asam organic pada gagal ginjal.
Radiology
Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu atau
adanya suatu obstruksi). Dehidrasi karena proses diagnostic akan
memperburuk keadaan ginjal, oleh sebab itu penderita diharapkan tidak
puasa.
Intra Vena Pielografi (IVP)
Untuk menilai system pelviokalisisdan ureter.
USG
Untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
EKG
Penatalaksanaan
Dialisis
Dialysis dapat dlakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang serius, seperti
hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialysis memperbaiki abnormalitas biokimia,
menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas,
menghilangkan kecenderungan pendarahan, dan membantu menyembuhkan luka.
Koreksi hiperkalemi
Koreksi anemia
Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb. Transfusi
darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misal pada adanya
insufisiensi koroner.
Koreksi asidosis.
Pengendalian hipertensi
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa, dan vasodilator dilakukan. Mengurangi
intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-hati karena tidak semua
gagal ginjal disertai retensi natrium.
Transplantasi ginjal
Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien GGK, maka seluruh faal ginjal
diganti oleh ginjal yang baru.
Nutrisi
Konsumsi/digesti/absormsi/metabolisme/hidrasi
Subjektif: Objektif:
BB biasanya menurun BB turun
Nafsu makan juga menurun Tampak tidak nafsu makan
Eliminasi
Sistem urinarius
Subjektif: Objektif:
Kencing biasanya sedikit -
Sistem gastrointestinal
Subjektif: Objektif:
Biasanya tidak ada masalah -
Sistem integumen
Subjektif: Objektif:
Kulit tampak berwarna gelap -
Aktivitas
Subjektif: Objektif:
Kelemahan karena kondisi Tampak tidak mampu melakukan
penyakit aktivitas
Kasdiovaskular
Subjektif: Objektif:
Memiliki riwayat Hipertensi TD tinggi
Tdbiasanya tinggi Takikardi
Respirasi
Subjektif: Objektif:
Napas terkadang sesak takipneau
Komunikasi
Subjektif: Objektif:
Klien mengungkapkan Bercerita dengan petugas
masalahnya dan meminta kesehatan
bantuan untuk
penyembuhannya
Persepsi diri
Konsep dan gambaran diri
Subjektif: Objektif:
Klien mengatakan dirinya sudah Tampak putus asa
tidak berdaya
Peranan hubungan
Peran dalam keluarga
Subjektif: Objektif:
- -
Seksualitas
Subjektif: Objektif:
- -
Koping/toleransi stress
Subjektif: Objektif:
Klien biasanya gelisah dan tidak Tampak gelisah
kooperatif
Prinsip hidup
Nilai dan kepercayaan
Subjektif: Objektif:
Agama klien -
Keamanan/perlindungan
Subjektif: Objektif:
- -
Kenyamanan
Subjektif: Objektif:
Klien biasanya tidak nyaman Tampak gelisah
dengan penyakitnya
Pertumbuhan/perkembangan
Subjektif: Objektif:
- -
DATA PENUNJANG
Laboratorium
Pada pemeriksaan ureum dan creatinin biasanya didapatkan meningkat
Untuk melihat intervensi keperawatan NIC diagnosa diatas silahkan klik diagnosa
dibawah ini.
Sumber:
https://banyumasperawat.wordpress.com/2009/07/22/form-pengkajian-13-domain-
nanda/ di edit oleh admin Ilmu Keperawatan.
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta :
EGC
Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-
proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Supartondo. ( 2001 ). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta : Balai Penerbit FKUI
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/medicine-history/2128674-komplikasi-
gagal-ginjal-kronis-dan/#ixzz2MQRKcZRs
ASKEP dengan Gagal Ginjal
Kamis, 07 Januari 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit Gagal Ginjal adalah ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan
volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan normal. Gagal ginjal dibagi menjadi dua kategori
yaitu gagal ginjal kronik dan gagal ginjal akut. (Price & Welson, 2006)
Pada gagal ginjal akut terjadi penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba dalam waktu beberapa
hari atau beberapa minggu dan ditandai dengan hasil pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin
darah) dan kadar urea nitrogen dalam darah yang meningkat. Sedangkan pada gagal ginjal kronis,
penurunan fungsi ginjal terjadi secara perlahan-lahan. Sehingga biasanya diketahui setelah jatuh
dalam kondisi parah. Gagal ginjal kronik tidak dapat disembuhkan. Pada penderita gagal ginjal
kronik, kemungkinan terjadinya kematian sebesar 85 %.
B. TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Agar mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif pada pasien gagal
ginjal.
2. Agar mahasiswa dapat memahami pengertian gagal ginjal akut dan kronik
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui tanda dan gejala pada pasien gagal ginjal akut dan kronik.
C. SISTEMATIKAN PENULISAN
Makalah ilmiah ini disusun ke dalam lima bab yang terdiri dari :
Bab I Pendahuluan: menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan
sistematika penulisan.
Bab II Konsep Dasar Penyakit Gagal Ginjal: menguraikan tentang anatomi fisiologi, pengertian,
penyebab, patofiologi, manifestasi klinik, pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan medic, dan
asuhan keperawatan.
Bab III Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gagal Ginjal: menjelaskan tentang konsep asuhan
keperawatan pada klien dengan gagal ginjal, yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, serta evaluasi.
Bab IV Askep pada Kasus Gagal Ginjal; menguraikan tentang asuhan keperawatan pada pasien gagal
ginjal
A. Anatomi Fisiologi
Gambar 1.1
Ginjal merupakan organ berpasangan. Beratnya ± 125 gr, terletak pada posisi disebelah lateral
vertebralis torakalis bawah, beberapa cm dsebelak kanan dan kiri garis tengah. Organ ini terbungkus
oleh jaringan ikat tipis disebut kapsula renis. Disebelah anterior dipisahkan kavum abdomen dan
isinya oleh lapisan peritoneum. Disebelah posterior dilindungi oleh dinding toraks bawah. Darah
dialirkan kedalam setiap ginjal melalui arteri renalis dan keluar dari dalam ginjal melalui vena renalis.
Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis dan vena renalis membawa darah kembali kedalam
vena kava inverior. Urin terbentuk dalam unit-unit fungsional ginjal dalam nefron.
Ginjal terdiri dari bagian external (korteks), bagian internal (medulla), setiap ginjal terdiri dari ± 1
juta nefron. Fungsi nefron adalah proses pembentuka urin dimulai dari darah mengalir lewat
glomerulus. Glomerulus yang merupakan struktur awal nefron (tersusun atas jonjot-jonjot kapiler)
mendapat darah lewat vasa aferen dan mengalir balik lewat fasa eferen. Ketika darah berjalan
melewati struktur ini, filtrasi terjadi (air dan molekul-molekul kecil akan dibiarkan lewat, molekul
besar tetap bertahan dalam aliran darah) cairan (filtrate) disaring lewat dinding jonjot-jonjot kapiler
glomerulus dan memasuki tubulus ± 20% plasma lewat glomerulus disaring dalam nefron dengan
jumlah sekitar 180 liter flitrat/hari
Fungsi Ginjal
Gagal ginjal adalah suatu kondisi di mana ginjal tidak dapat menjalankan fungsinya secara
normal. Pada kondisi normal, pertama-tama darah akan masuk ke glomerulus dan mengalami
penyaringan melalui pembuluh darah halus yang disebut kapiler. Di glomerulus, zat-zat sisa
metabolisme yang sudah tidak terpakai dan beberapa yang masih terpakai serta cairan akan
melewati membran kapiler sedangkan sel darah merah, protein dan zat-zat yang berukuran besar
akan tetap tertahan di dalam darah. Filtrat (hasil penyaringan) akan terkumpul di bagian ginjal yang
disebut kapsula Bowman. Selanjutnya, filtrat akan diproses di dalam tubulus ginjal. Di sini air dan
zat-zat yang masih berguna yang terkandung dalam filtrat akan diserap lagi dan akan terjadi
penambahan zat-zat sampah metabolisme lain ke dalam filtrat. Hasil akhir dari proses ini adalah urin
(air seni).
Gagal ginjal ini dapat menyerang siapa saja yang menderita penyakit serius atau terluka dimana
hal itu berdampak langsung pada ginjal itu sendiri . Penyakit gagal ginjal lebih sering dialami mereka
yang berusia dewasa , terlebih pada kaum lanjut usia .
Secara umum, gagal ginjal adalah penyakit akhir dari serangkaian penyakit yang menyerang traktus
urinarius.
Gagal ginjal dibagi menjadi dua bagian besar yakni Gagal Ginjal Akut (acute renal failure = ARF) dan
Gagal Ginjal Kronik (chronic renal failure = CRF).
1. Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut adalah hilangnya fungsi ginjal secara mendadak dan hampir lengkap akibat
kegagalan sirkulasi renal atau disfungsi tublar dan glomerular (Brunner & Suddarth,2000)
Pada gagal ginjal akut terjadi penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba dalam waktu beberapa
hari atau beberapa minggu dan ditandai dengan hasil pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin
darah) dan kadar urea nitrogen dalam darah yang meningkat.
Penyakit gagal ginjal akut adalah suatu penyakit dimana ginjal tidak dapat lagi menjalankan
fungsinya sebagai organ pembuangan, ginjal secara relatif mendadak tidak dapat lagi memproduksi
cairan urine yang merupakan cairan yang mengandung zat-zat yang sudah tidak diperlukan oleh
tubuh dan harus dikeluarkan dari tubuh .Gagal ginjal akut biasanya disertai oliguria (pengeluaran
kemih <400ml/ hari). (Price and Wilson, 1995 : 885).
Gambar 2.1
Gambar Ginjal yang Tidak Sehat
Gagal ginjal kronik adalah kemunduran fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel dimana
terjadi kegagalan kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseibangan metabolik,caira dan
elektrolit yang mengakibatkan uremia atau azotemia. (Brunner & Suddarth,2000)
Kegagalan ginjal menahun merupakan suatu kegagalan fungsi ginjal yang berlangsung perlahan-
lahan, karena penyebab yang berlangsung lama,sehingga tidak dapat menutupi kebutuhan biasa lagi
dan menimbulkan gejala sakit. (Purnawan Junadi,1989)
C. Penyebab
1. Penyebab gagal ginjal akut menurut (Brunner & Suddarth,2000)
a. Kondisi Pre Renal (Hipoperfusi ginjal)
Kondisi pre renal adalah masalah aliran darah akibat hipoperfusi ginjal dan turunnya laju filtrasi
glomerulus. Kondisi klinis yang umum yang menyebabkan terjadinya hipoperfusi renal adalah :
Penipisan volume
Hemoragi
Kehilangan cairan melalui ginjal (diuretic,osmotic)
Kehilangan cairan melalui saluran GI (muntah,diare)
Gangguan efisiensi jantung
Infark miokard
Gagal jantung kongestif
Disritmia
Syok karsinogenik
Vasodilatasi
Sepsis
Anafilaksis
Medikasi antihipertensif
D. Klasifikasi
Gagal ginjal kronik dibagi dalam 3 stadium
1. Stadium I
Penurunan cadangan ginjal, ditandai dengan kehilangan fungsi nefron 40-75%. Passion biasanya
tidak mempunyai gejala, karena sisa nefron yang ada dapat membawa fungsi-fungsi normal ginjal.
2. Stadium II Insufisiensi ginjal
Kehilangan fungsi ginjal 75-90% pada tingkat ini terjadi kreatinin serum dan nitrogen urea darah,
ginjal kehilangan kemampuannya untuk mengembangkan urin pekat dan azotemia
3. Stadium III Payah gagal ginjal stadium akhir atau uremia
Tingkat renal dari GGK yaitu sisa nefron yang berfungsi <10%. Pada keadaan ini kreatinin serum dan
kadar BUN akan meningkat dengan menyolok sekalisebagai respon terhadap GFR yang mengalami
penurunan sehingga terjadi ketidakseimbangan kadar ureum nitrogen darah dan elektrolit, pasien
diindikasikan untuk dialysis.
K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG:
1. Stadium 1
Kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG yang masih normal (>90
ml/menit/1,73 m2)
2. Stadium 2
Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89 mL/menit/1,73 m2
3. Stadium 3
Kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73 m2
4. Stadium 4
Kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29 mL/menit/1,73 m2
5. Stadium 5
Kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73 m2 atau gagal ginjal terminal.
E. Patofisiologi
a) Terdapat empat tahapan terjadinya gagal ginjal akut menurut (Brunner & Suddarth,2000):
1. Periode Awal
Merupakan awal kejadian penyakit dan diakhiri dengan terjadinya oliguria
2. Periode Oliguri
Pada periode ini volume urine kurang dari 400 ml/24jam, disertai dengan peningkatan
konsentrasi serum dari substansi yang biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea,kreatinin, asam urat,
kalium dan magnesium). Pada tahap ini untuk pertama kalinya gejala uremik muncul dan kondisi
yang mengancam jiwa seperti hiperkalemia terjadi.
3. Periode Diuresis
Pasien menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap.,disertai tanda perbaikan
glumerulus. Nilai laboratorium berhenti meningkat dan akhirnya menurun. Tanda uremik mungkin
masih ada,sehingga penatalaksanaan medis dan keperawatan masih di perlukan. Pasien harus
dipantau ketat akan adanya dehidrasi selama tahapan ini, jika terjadi dehidrasi, tanda uremik
biasanya meningkat.
4. Periode Penyembuhan
Merupakan tanda perbaikan fungsi ginjal dan berlangsung selama 3-12 bulan
Nilai laboratorium akan kembali normal
Namun terjadi penurunan GFR permanen 1%-3%.
• Kardiovaskular
1. Hipertensi
2. Pitting edema
3. Edema periorbital
4. Pembesaran vena leher
5. Friction rub perikardial
• Pulmoner
1. Krekel
2. Napas dangkal
3. Kusmaul
4. Sputum kental
• Gastrointestinal
1. Anoreksia, mual dan muntah
2. Pendarahan saluran GI
3. Ulserasi dan pendarahan pada mulut
4. Konstipasi
5. Napas berbau amonia
• Muskuloskeletal
1. Keram otot kehilangan kekuatan otot
2. Fraktur tulang
3. Foot drop
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Elektrokardiogram (EKG), Perubahan yang terjadi berhubungan dengan ketidakseimbangan
elektrolit dan gagal jantung.
2. Kajian foto toraks dan abdomen, Perubahan yang terjadi berhubungan dengan retensi cairan.
3. Osmolalitas serum, Lebih dari 285 mOsm/kg
4. Pelogram Retrograd, Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
5. Ultrasonografi Ginjal, Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi pada
saluran perkemihan bagian atas
6. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi, Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan
pengangkatan tumor selektif
7. Arteriogram Ginjal, Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular
H. Penatalaksanaan Medik
1. Terapi medis pada pasien Gagal Ginjal Akut menurut (Brunner & Suddarth,2000):
Gagal ginjal memiliki kemampuan pulih yang luar biasa dari penyakit. Oleh karena itu, tujuan
penanganan gagal ginjal akut adalah untuk menjaga keseimbangan kimiawi normal dan mencegah
komplikasi sehingga perbaikan jaringan ginjal dan pemeliharaan fungsi ginjal dapat terjadi.
a. Dialysis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti
hyperkalemia, pericarditis dan kejang.
b. Penanganan hyperkalemia keseimbangan cairan dan elektrolit merupkan masalah utama pada gagal
ginjal akut; hyperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini.
c. Mempertahankan keseimbangan cairan. Penatalaksanaan keseimbangan cairan didasarkan pad
berat badan harian, pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang
hilang, tekanan darah, dan status klinis pasien.
d. Pertimbangan nutrisional. Diet protein dibatasi sampai 1g/kg selama fase oligurik untuk
menurunkan pemecahan protein dan mencegah akumulasi produk akhir toksik.
e. Cairan IV dan diuretic. Aliran darah ke ginjal yang adekuat pada banyak pasien dapat dipertahankan
melalui cairan IV dan medikasi.
f. Koreksi asidosis dan peningkatan kadar fosfat. Jika asidosis berat terjadi, gas darah arteri harus
dipantau; tindakan ventilasi yang tepat harus dilakukan jika terjadi masalah pernafasan.
Gambar 8.1
Gambar Hemodialisis
f. Integritas Ego
• Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
• Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.
g. Eliminasi
• Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (pada gagal ginjal tahap lanjut
• Abdomen kembung, diare, atau konstipasi
• Perubahan warna urine, contoh kuning pekat, merah, coklat, oliguria.
h. Makanan / cairan
• Peningkatan berat badan cepat (oedema), penurunan berat badan (malnutrisi).
• Anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap pada mulut (pernapasan amonia)
• Penggunaan diuretik
• Distensi abdomen/asites, pembesaran hati (tahap akhir)
• Perubahan turgor kulit/kelembaban.
• Ulserasi gusi, pendarahan gusi/lidah.
i. Neurosensori
• Sakit kepala, penglihatan kabur.
• Kram otot / kejang, syndrome “kaki gelisah”, rasa terbakar pada telapak kaki, kesemutan dan
kelemahan, khususnya ekstremiras bawah.
• Gangguan status mental, contah penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, stupor.
• Kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang.
• Rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
j. Nyeri / kenyamanan
• Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/ nyeri kaki.
• Perilaku berhati-hati / distraksi, gelisah.
k. Pernapasan
• Napas pendek, dispnea, batuk dengan / tanpa sputum kental dan banyak.
• Takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi / kedalaman.
• Batuk dengan sputum encer (edema paru).
l. Keamanan
• Kulit gatal
• Ada / berulangnya infeksi
• Pruritis
• Demam (sepsis, dehidrasi), normotermia dapat secara aktual terjadi peningkatan pada pasien yang
mengalami suhu tubuh lebih rendah dari normal.
• Ptekie, area ekimosis pada kulit
• Fraktur tulang, keterbatasan gerak sendi
m. Seksualitas
• Penurunan libido, amenorea, infertilitas
n. Interaksi sosial
• Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran biasanya
dalam keluarga.
o. Penyuluhan / Pembelajaran
• Riwayat DM (resiko tinggi untuk gagal ginjal), penyakit polikistik, nefritis heredeter, kalkulus
urenaria, maliganansi.
• Riwayat terpejan pada toksin, contoh obat, racun lingkungan.
• Penggunaan antibiotic nefrotoksik saat ini / berulang.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan ditegakkan atas dasar data dari pasien. Kemungkinan diagnosa
keperawatan dari orang dengan kegagalan ginjal kronis adalah sebagai berikut :
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet berlebih dan retensi
cairan serta natrium.
b. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual dan muntah,
pembatasan diet, dan perubahan membrane mukosa mulut.
d. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi, pemeriksaan diagnostik, dan
rencana tindakan.
3. Intervensi
Dx
NO Tujuan dan KH Intervensi Rasional
kep
- Pemahaman meningkatkan
kerjasama pasien dan
keluarga dalam pembatasan
cairan (Keperawatan
Medikal Bedah edisi 8 vol 2,
Brunner & Suddart, hal
1452).
Peningkatan Depresi
keterlibatan pada
- Tingkatkan kemandirian
aktifitas social
dalam aktivitas - Meningkatkan aktivitas
Laporan perasaan lebih perawatan diri yang ringan/sedang dan
berenergi dapat ditoleransi, bantu memperbaiki harga diri.
jika keletihan terjadi.
Frekuensi pernapasan
dan frekuensi jantung
kembali dalam rentang
normal setelah - Anjurkan aktivitas
penghentian aktifitas. alternatif sambil - Mendorong latihan dan
istirahat. aktivitas dalam batas-batas
yang dapat ditoleransi dan
istirahat yang adekuat.
(Keperawatan Medikal
Bedah edisi 8 vol 2, Brunner
& Suddart, hal 1454).
Mengungkapkan
pemahaman
tentangkondisi,
pemeriksaan
diagnostic dan rencana
tindakan.
Sedikit melaporkan
perasaan gugup atau
takut.
4. Implementasi
- Mengusahakan agar orang tetap menekuni pantangan air yang sudah dipesankan.
- Mengusahakan agar orang menekuni diet tinggi karbohidrat disertai pantangan sodium, potassium,
phosphorus dan protein.
- Mengkaji lingkungan klien dan melindungi dari cedera dengan cara yang seksama.
- Mencegah perdarahan saluran cerna yang lebih hebat dengan menggunakan sikat gigi yang berbulu
halus dan pemberian antacid.
b. Mengusahakan Kenyamanan
- Mengusahakan hangat dan message otot yang kejang dari tangan dan kaki bawah.
- Menyiapkan orang yang bisa memberi kesempatan untuk membahas berbagai perasaan tentang
kronisitas dari penyakit.
- Membesarkan harapan orang dengan memberikan bantuan bagaimana caranya mengelola cara
hidup baru.
- Memberi penyuluhan tentang sifat dari CRF, rasional terapi, aturan obat-obatan dan keperluan
melanjutkan pengobatan. (Keperawatan Medikal Bedah, Barbara C. Long).
5. Evaluasi
Pertanyaan-pertanyaan yang umum yang harus diajukan pada evaluasi orang dengan kegagalan
ginjal terdiri dari yang berikut.
- Apakah orang dapat menguraikan tentang sifat CRF, rasional dan terapi, peraturan obat-obatan dan
gejala-gejalayang harus dilaporkan?
BAB IV
A. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dari asuhan keperawatan, pada pengkajian meliputi :
1. Identitas klien
Nama klien Tn.S , jenis kelamin laki-laki, umur 41 tahun, status perkawinan sudah menikah,
pendidikan SMA, agama islam, bekerja sebagai karyawan, alamat di Jl. Pengadegan Rt.12 Rw.7
Pancoran Jakarta Selatan, tanggal masuk rumah sakit 31 Mei 2014, diagnosa Gagal ginjal kronis,
tanggal pengkajian 2 Juni 2014.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem penglihatan
Posisi mata simetris, kelopak mata normal, pergerakkan bola mata normal, konjungtiva anemis,
kornea normal, sklera, anikterik, pupil isokor, otot-otot mata tidak ada kelainan, klien memakai
kacamata plus (+), tidak memakai lensa kontak, reaksi terhadap cahaya baik.
b. Sistem pendengaran
Daun telinga normal, tidak ada serumen, kondisi telinga normal, tidak terasa penuh dalam telinga,
tidak memakai alat bantu pendengaran, fungsi keseimbangan normal, tidak ada nyeri tekan, tidak
ada tinitus, fungsi pendengaran normal.
c. Sistem pernafasan
Jalan nafas bersih, tidak sesak nafas, tidak menggunakan otot- otot bantu pernafasan, frekuensi 20
x/menit, irama teratur, klien tidak batuk, suara nafas normal.
d. Sistem kardiovaskuler
Warna kulit pucat, tidak ada distensi vena jugularis kanan dan kiri, nadi 84x/menit, irama teratur,
denyut kuat, TD 160/100 mmHg, tempetarure kulit hangat, kapilari refil 3 detik, ada edema, denyut
nadi apikal 80x/menit, irama teratur, murmur dan gallop tidak ada, tidak ada keluhan sakit dada.
e. Sistem persyarafan
Klien bicara normal, tidak ada disorientasi orang, tempat dan waktu, nilai GCS klien 15, kesdaran
composmentis, rasa baal tidak ada, ada kesmutan, klien dapat merasakan suhu panas/ dingin,
refleks fisiologis dan patologis klien normal, kaku kuduk tidak ada, test lasaque normal > 130º, test
kernig normal > 70º, tidak ada kesulitan dalam berbicara.
f. Sistem pencernaan
Warna kulit abdomen normal, terdapat bising usus 10x/menit, bunyi timpani tidak ada massa, tidak
teraba tegang, hepar dan lien/ spelen tidak ada kelianan, konsistensi feses warna coklat setengah
padat, lamanya 2 hari, muntah tidak ada, mual ada , nafsu makan kurang, nyeri daerah perut
dikanan bawah seperti melilit rasa penuh di perut tidak ada.
g. Sistem endokrin
Nafas berbau keton (-), poliuri, polidipsi dan polipagia tidak ada, berkeringat banyak tidak ada,
tremor tidak ada, bradikardi tidak ada, takikardi tidak ada, exopthalmus tidak.
h. Sistem perkemihan
Klien memakai kateter, tidak ada nyeri tekan, nyeri tekan daerah pinggang belakang tidak ada, BAK
3-4 kali sehari, BAK terkontrol, jumlah urin 600 cc/24 jam, warna kuning pekat.
i. Sistem muskuloskeletal
Klien tampak lemas, bentuk tubuh klien atletik, gaya berjalan normal, lengkung spinal normal, tidak
ada kesulitan gerak sendir, tidak ada frsktur, tidak ada paralisis, tidak teraba panas, klien terpasang
IVFD resamen/12 jam.
8. Pemerikasaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Telah didapatkan hasil laboratorium tanggal 31 Mei 2014, yaitu leukosit: 5,3 rb/ul (normal: 3,8 –
10,6), eritrosit 2,7 jt/ul (normal: 4,4 – 5,9), hemoglobin 9,2 gr/dl (normal: 13,2 – 17,3), hematokrit
26% (normal: 40-52), trombosit 285 rb/ul (normal: 150 – 440), MCV 95,0 fl (normal: 80 – 100), MCH
33,9 pg (normal: 26 -34), MCHC 35,8 g/dl (normal: 32-36), RDW: 13,8% (normal <14) GDS : 143 mg/dl
(normal <110), Ureum: 226 mg/dl (normal: 13-43), kreatinin : 21,40 mg/dl (normal <1,2).
9. Penatalaksanaan
a. Terapi oral : CaCO3 3x1 mg, Tonar 3x2 kaplet 630 mg, Amlodipin 1x5 mg
Candesartan 1x 16 mg
b. Terapi injeksi : Ranitidin 2x1 ampul (@2ml, 25 mg/ml), Ondasentron 2x1
Ampul (@2ml, 2mg/ml)
c. Parenteral : Resamin/12 jam (14 tetes/menit)
b. Data Objektif
Klien makan habis 1/2 porsi, membran mukosa kering, turgor kulit sedang, capilary refil 3 detik, klien
bertanya tentang penyakitnya, klien dan keluarga bertanya tentang pengobatan, klien tampak
dibantu keluarga, klien beraktivitas hanya di tempat tidur, klien tampak tidak rapih, kaki kanan klien
teraba tegang otot, teraba edema pada kaki kanan, BB sebelum sakit 72 kg, BB saat ini 64 kg. TB :
170 cm, TTV: TD: 160/100 mg, N: 84 x/menit, RR: 20x/menit, S: 36°C, pemeriksaan lab : Hb: 9,2 gr/dl
(normal: 13,2-17,3), Ht : 26% (normal: 40-52).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan, didapatkan diagnosa sebagai berikut :
1. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
2. Kekurangan volume cairan
3. Kurang pengetahuan tentang kondisi, diet, dan kebutuhan pengobatan
4. Intoleransi aktivitas
5. Defisit perawatan diri personal hygiene
C. PERENCANAAN
Berdasarkan diagnosa yang didapat, rencana tindakan yang akan dilakukan antara lain:
DX
NO TUJUAN dan KH INTERVENSI
KEP
1 1 Tujuan: - Kaji status, pola dan kebiasaan makan klien
Nutrisi klien terpenuhi - Berikan makanan sedikit tapi sering
setelah dilakukan - Berikan makanan yang mudah ditelan dan
tindakan keperawatan hangat
selama 3x24 jam - Catat jumalah porsi makanan yang dihabiskan
Kriteria hasil: - Timbang BB tiap 3 hari sekali
- Mual berkurang - Kolaborasi dalam pemberian antiemetik (
- Nafsu makan meningkat ranitidin 2x1 ampul @2ml, 25 mg/ml,
- Makan habis 1 porsi ondansentron 2x1 ampul (@2ml,2 mg/ml)
- Berat badan tetap/
bertambah
- Tidak ada edema pada
tungkai
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
DX
Tgl Jam Implementasi Respon Klien Ttd
Kep
2/6/14 14.15 1 - Mengkaji pola makan klien - Klien mengatakan mual
- Klien mengatakan makan 3x
sehari dengan diet lunak
- Klien dapat menghabiskannya
- Klien makan dibantu keluarga
14.30 4&5
- TD: 160/100mmHg
- Mengkaji tingkat aktivitas - N: 84 x/menit
15.00 1&2 klien dan memberi makan - RR: 20x/menit
- S: 360C
- Klien mengatakan belum
- Mengukur TTV mengerti tentang penyakit
GGK
- Membran mukosa lembab
- Kulit sedikit elastis
15.30 3 - Turgor kulit sedang
- Capillary refil 3 detik
- Klien mengatakan akan
16.00 2 - Mengkaji tingkat pengetahuan mencatat berapa banyak klien
klien minum
3/6/14 14.00 1 - Mengkaji status nutrisi klien - Klien mengatakan makan habis
1/2 porsi
- Klien mengatakan mual
E. EVALUASI KEPERAWATAN
DX
Tgl EVALUASI TTD
Kep
3/6/14 1 S : - Klien mengatakan masih mual
- Klien mengatakan nafsu makan menurun
O : - klien menghabiskan makan ½ porsi
- BB: 65kg
- TB: 170 cm
- Hasil lab: ureum: 282 mg/dl (normal: 13-43)
A : - masalah belum teratasi
P : - intervensi dipertahankan
- Menganjurkan klien makan sedikit dan sering
- Mencatat jumlah porsi makanan yang habis
2 S : - Klien mengatakan haus berkurang
- Klien mengatakan minum 1 ltr/hari
O : - membrane mukosa lembab
- Turgor kulit sedang
- Balance cairan -200cc
- TTV : TD: 150/100 mmHg
N: 88x/menit
RR: 20x/menit
S: 36,4 0C
A : - masalah belum teratasi
P : - intervensi dilanjutkan
- Catat hasil input dan output
- Menganjurkan klien membatasi cairan 2,5 ltr/hari
3S : - Klien dan keluarga mengatakan sudah mengerti tentang penyakit GGK
O :- klien dan keluarga dapat menjawab semua pertanyaan yang diajukan
dengan benar
- Klien tidak bertanya lagi pada perawat
A : - masalah teratasi
P : - intervensi dipertahankan
4 S : - Klien mengatakan masih terasa lemas
O : - Aktivitas dibantu perawat dan keluarga
A : - masalah belum teratasi
P : - intervensi dilanjutkan
- Dorong klien melakukan aktivitas sesuai kemampuan
5 S : - Klien mengatakan masih terasa lemas
O : - klien tampak rapih
A : - masalah belum teratasi
P : - intervensi dilanjutkan
- Berikan bantuan dengan aktivitas yang diperlukan
4/6/14 1 S : - Klien mengatakan masih mual
- Klien mengatakan masih lemas
O : - klien menghabiskan makan ½ porsi (1700 kkal)
- BB: 64kg
- TB: 170 cm
- Hasil lab: ureum: 282 mg/dl (normal: 13-43)
A : - masalah belum teratasi
P : - intervensi dipertahankan
- Menganjurkan klien makan sedikit dan sering
2 S : - Klien mengatakan haus berkurang
- Klien mengatakan minum 1,5 ltr/hari
O : - membrane mukosa lembab
- Turgor kulit elastis
- Balance cairan -105cc
- TTV : TD: 150/100 mmHg
N: 84x/menit
RR: 20x/menit
S: 35,8 0C
- Hasil lab: natrium: 137 mmol/L (normal 135-155)
Kalium : 4,8 mmol/L (normal 3,6 – 5,5)
Klorida : 100 mmol/L (normal 98-109)
A : - masalah belum teratasi
P : - intervensi dipertahankan
- Catat hasil input dan output
- Menganjurkan klien membatasi cairan 2,5 ltr/hari
4 S : - Klien mengatakan masih terasa lemas
O : - Aktivitas dibantu perawat dan keluarga
A : - masalah belum teratasi
P : - intervensi dilanjutkan
- Dorong klien melakukan aktivitas sesuai kemampuan
5 S : - Klien mengatakan masih terasa lemas
O : - klien tampak rapih
A : - masalah belum teratasi
P : - intervensi dilanjutkan
- Berikan bantuan dengan aktivitas yang diperlukan
BAB V
A. KESIMPULAN
Gagal ginjal adalah suatu kondisi di mana ginjal tidak dapat menjalankan fungsinya secara
normal. Pada kondisi normal, pertama-tama darah akan masuk ke glomerulus dan mengalami
penyaringan melalui pembuluh darah halus yang disebut kapiler. Di glomerulus, zat-zat sisa
metabolisme yang sudah tidak terpakai dan beberapa yang masih terpakai serta cairan akan
melewati membran kapiler sedangkan sel darah merah, protein dan zat-zat yang berukuran besar
akan tetap tertahan di dalam darah. Filtrat (hasil penyaringan) akan terkumpul di bagian ginjal yang
disebut kapsula Bowman. Selanjutnya, filtrat akan diproses di dalam tubulus ginjal. Di sini air dan
zat-zat yang masih berguna yang terkandung dalam filtrat akan diserap lagi dan akan terjadi
penambahan zat-zat sampah metabolisme lain ke dalam filtrat. Hasil akhir dari proses ini adalah urin
(air seni).
Secara umum, gagal ginjal adalah penyakit akhir dari serangkaian penyakit yang menyerang traktus
urinarius.
Gagal ginjal dibagi menjadi dua bagian besar yakni Gagal Ginjal Akut (acute renal failure = ARF)
dan Gagal Ginjal Kronik (chronic renal failure = CRF). Penyakit gagal ginjal akut adalah suatu
penyakit dimana ginjal tidak dapat lagi menjalankan fungsinya sebagai organ pembuangan, ginjal
secara relatif mendadak tidak dapat lagi memproduksi cairan urine yang merupakan cairan yang
mengandung zat-zat yang sudah tidak diperlukan oleh tubuh dan harus dikeluarkan dari tubuh.
Gagal ginjal kronik adalah kemunduran fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel dimana terjadi
kegagalan kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseibangan metabolik,caira dan elektrolit
yang mengakibatkan uremia atau azotemia. (Brunner & Suddarth,2000).
Penyebab gagal ginjal akut dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu : Kondisi Pre
Renal (Hipoperfusi ginjal), Kondisi Intra Renal (kerusakan actual jaringan ginjal), Kondisi Post Renal
(Obstruksi Aliran Urine)
Sedangkan penyebab gagal ginjal kronik antara lain : Diabetes Melitus, Glumeruloneritis kronis,
Pielonefritis, Hipertensi tak terkontrol, Obstruksi saluran kemih, Penyakit ginjal polikistik, Gangguan
vaskuler, Lesi herediter, Agen toksik (timah,kadmium dan merkuri).
B. SARAN
Setelah penulis memberikan asuhan keperawatan pada Ny.B dengan gagal ginjal maka
berdasarkan pengalaman yang berkaitan dengan masalah keperawatan tersebut, penulis akan
memberikan saran yang bertujuan agar dapat lebih memperbaiki dan mengoptimalkan pelayanan
perawatan di rumah sakit, diantaranya :
1. Untuk klien dan keluarga baiknya memeriksakan kesehatan secara rutin, agar kesehatannya dapat
terkontrol dan dapat terdeteksi sejak dini jika ada tanda atau gejala yang menunjukkan resiko
terjadinya gagal ginjal.
2. Untuk institusi pendidikan dapat menyediakan buku-buku sumber yang lebih lengkap lagi sebagai
pedoman untuk melakukan asuhan keperawatan yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Bararah, Taqiyyah dan Jauhar Mohammad. 2013. Asuhan Keperawatan Edisi Ke-1. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Bararah, Taqiyyah dan Jauhar Mohammad. 2013. Asuhan Keperawatan Edisi Ke-2. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Brunner & Suddarth. 2000. Keperawatan Medikal Medah Edisi Ke-8. Jakarta: EGC
Wijaya, Andra Saferi dan Putri, Yessie Mariza. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 1. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Akbar, Muhammad Yudih. 2014. Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan Klien Gagal Ginjal Kronik.
Jakarta: Tidak di Terbitkan.
About
Contact Us
Privacy Policy
Disclaimer
SITEMAP
Akkes Askep
Membagikan pengalaman pribadi tentang menulis Asuhan Keperawatan, Informasi
Kesehatan, Prosedur Tetap Keperawatan beserta KTI Keperawatan dalam teknis penulisan
Asuhan Keperawatan
Home
Info Penyakit
Info Obat
Info Kesehatan
KTI
o
o
Askep
o
o
o
o
o
LOKER PERAWAT
Search...
A. Pengkajian
Menurut Nursalam (2006. Hal. 42) pengkajian pada klien dengan Gagal Ginjal Akut
adalah sebagai berikut :
1. Kaji riwayat penyakit jantung, malignansi, sepsis, atau penyakit yang diderita sebelumnya.
2. Kaji adanya paparan dengan obat yang berpotensi meracuni ginjal (antibiotik, nonsteroidal
anti inflamasi NSAID's, zat kontras, dan benda cair lainnya)
3. Lakukan pemeriksaan fisik secara terus menerus seperti turgor kulit, pucat, perubahan irama
jantung (nadi), dan edema.
4. Monitor volume urine.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang di dapatkan pada klien dengan Gagal Ginjal Akut menurut
Nursalam (2006. Hal.42) adalah sebagai berikut:
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan nilai filtrasi glumerulus dan retensi
sodium.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan sistem imun dan pertahanan tubuh
3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan katabolik,
anoreksia, mal nutrisi yang berhubungan dengan gagal ginjal
4. Resiko Gangguan ingatan berhubungan dengan efek toksin pada susunan saraf pusat.
C. Intervensi Keperawatan
Intervensi yang dilakukan berdasarkan kebutuhan yang diprioritaskan menurut
Nursalam (2006. Hal. 43) yaitu sebagai berikut :
Tabel 3.1. Intevensi Keperawatan Pada klien dengan Gagal Ginjal Akut
Diagnosa
Intervensi Rasional
Keperawatan
Kelebihan volume 1. Monitor tanda dan gejala 1. karena kamampuan
cairan berhubungan hipovolemia regulasi ginjal tidak
dengan penurunan adekuat.
nilai filtrasi 2. Monitor pengeluaran 2. Pengisapan cairan
glumerulus dan retensi urine. Ukur dan catat lambung, feses drinase
sodium. asupan serta pengeluaran luka dan penguapan
urin. melalui keringat kulit dan
pernapasan
D. Implementasi
Menurut Carpenito, (2009, hal. 57). komponen implementasi dalam proses
keperawatan mencakup penerapan ketrampilan yang diperlukan untuk mengimplentasikan
intervensi keperawatan. Keterempilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk implementasi
biasanya berfokus pada: Melakukan aktivitas untuk klien atau membantu klien. Melakukan
pengkajian keperawatan untuk mengidentifikasi masalah baru atau memantau status masalah
yang telah ada. Memberi pendidikan kesehatan untuk membantu klien mendapatkan
pengetahuan yang baru tentang kesehatannya atau penatalaksanaan gangguan. Membantu
klien membuat keptusan tentang layanan kesehatannya sendiri. Berkonsultasi dan membuat
rujukan pada profesi kesehatan lainnya untuk mendapatkan pengarahan yang tepat. Memberi
tindakan yang spesifik untuk menghilangkan, mengurangi, atau menyelesaikan masalah
kesehatan. Membantu klien melakukan aktivitasnya sendiri. Membantu klien
mengidentifikasi risiko atau masalah dan menggali pilihan yang tersedia.
E. Evaluasi
Menurut Nursalam (2006, hal. 46) hasil yang didapatkan setelah diberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal akut adalah sebagai berikut :
1. tekanan darah stabil, tidak edema, dan pernapasan normal.
2. Tidak ada tanda infeksi
3. Asupan makan cukup
4. Merasa nyaman dan dapat tidur.
ASUHAN KEPERAWATAN COREKTIONAL SETTING
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Umumnya para narapidana menjalani hukuman karena suatu tindakan yang melanggar
hukum seperti pembunuhan, pencurian, penipuan, pemerkosaan, penggunaan obat-obat
terlarang, dll. Dalam makalah ini, yang disoroti adalah tentang pembinaan pada
narapidana dengan kasus narkoba karena para narapidana narkoba kondisinya sangat
berbeda yaitu mempunyai karakter dan perilaku yang berbeda akibat penggunaan narkoba
yang telah dikonsumsinya. Diantaranya adalah kurangnya tingkat kesadaran akibat
rendahnya kamampuan penyerapan, keterpurukan kesehatan dan sifat overreaktif dan
overproduktif. Dengan kondisi demikian, maka perlu penanganan khusus pada narapidana
narkoba dibandingkan dengan narapidana yang lain.
Perawat sebagai profesi yang berorientasi pada manusia mempuyai andil dalam
memberikan pelayanan kesehatan di LP dalam bentuk “Correctional setting” . perawat
memberikan pelayanan secara menyeluruh. Dari data disebutkan bahwa para narapidana
paling banyak mengalami keluhan fisik seperti kurang nafsu makan (38,9%), daya tahan
menurun (36.,9%), badan menjadi kurus (35,3%), dan gangguan-gangguan lain pada
system tubuh. Sedangkan keluhan mental yang paling sering terjadi adalah gangguan
tidur (48,6%), sering lupa (48,3%), gelisah (44,2%) dan cemas (37,2%).
Berdasarkan masalah-masalah kesehatan yang banyak dialami tersebut, maka perawat
menerapkan praktik correctional setting pada LP Pemuda Tangerang Banten karena di
LAPAS ini tenaga medis dan tenaga Pembina khusus narapidana narkoba belum tersedia
dan narapidana narkoba dicampur menjadi satu sel dengan narapidan kasus lain.
B. Tujuan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
1. Prisons
Yaitu fasilitas federal/ Negara bagian yang memberikan hukuman lebih dari 1 tahun
bagi para narapidana dan biasanya dengan kasus criminal.
2. Jails
Yaitu fasilitas untuk wilayah lokal untuk menahan para detainees dan inmates.
Detainees /tahanan yaitu orang yang belum diputuskan bersalah dan masih menjalani
percobaan karena tidak dapat membayar jaminan atau karena belum ada jaminan bagi
mereka.
Yaitu tempat untuk aak-anak dan remaja yangdihukum karena masalah criminal dan
menjalani masa percobaan tetapi tidak dapat dibebaskan tanpa ada tanggung jawab
dari orang dewasa.
1. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara adil dan optimal dan melarang
kekejaman serta hukuman yang tidak wajar bagi para tahanan untuk mencegah
terjadinya cedera atau penyakit.
2. Para penghuni hidup dalam kemiskinan/ kekurangan, berpendidikan rendah dan gaya
hidup yang tidak sehat seperti penyalahgunaan obat. Karena banyak penghuni yang
tidak mampu membayar pelayanan kesehatan di luar maka biaya akan ditanggung
oleh lembaga tersebut.
3. Untuk mencegah penularan penyakit dari lembaga pemasyarakatan ke komunitas, atau
para antar penghuni.
a) Kesehatan mental
Menurut data dari Bureau of justice, 1999 kira-kira 285.000 tahanan dilembaga
pemasyarakatan mengalami gangguan jiwa. Penyakit jiwa yang sering dijumpai
adalah skozofrenia, bipolar affective disorder dan personality disorder. Karena
banyak yang mengalami ganguan kesehatan jiwa maka pemerintah harus
menyediakan pelayanan kesehatan mental.
b) Kesehatan fisik
Perawatan kesehatan yang paling penting adalah penyakit kronis da penyakit menular
seperti HIV, Hepatitis dan Tuberculosis.
1) HIV
Angka kejadian HI dianara para narapida diperkiraan 6 kali lebih tinggi daripada
populasi umum. Tingginya angka infeksi HIV ini berkaian dengan perilaku yang
beresiko tinggi seperti penggunaan obat-obaan, sexual intercourse yang tidak
aman dan pemakaian tato. Pendekatan yang dilakukan utnuk menekan angka
kejadian yaitu dengan dilakukannya penegaan dan program pendidikan kesehatan
mengenai HIV dan AIDS.
2) Hepatitis
3) Tuberculosis
Angka TB tiga kali lebih besar di LP dabanding populasi umum. Hal ini terkait
dengan kepadatan penjara dan ventilasi yang buruk, yang mempengaruhi
penyebaran penyakit. Pada tahun 196, lembaga yang menangani tuberculosis yaitu
CC merekomendasikan pencegahan dan pengontrolan TB di lembaga
pemasyarakatan yaitu :
Populasi yang memiliki masalah kesehatan pada lembaga pemasyarakatan yang unik,
yaitu :
1. Wanita
Masalah kesehatan yang ada mungkin lebih komplek misalnya tahanan wanita
yang dalam keadaan hamil, meninggalkan anak dalam pengasuhan orang lain
(terpisah dari anak), korban penganiaaan dan kekerasan social, penyalahgunaan obat
terlarang. Tetapi pelayanan kesehatan yang selama ini diberikan belum cukup
maksimal untuk memenuhi kebutuhan mereka seperti pemeriksaan ginekologi untuk
wanita hamil dan korban kekerasan seksual. NCCHC menawarkan ketentuan-
ketentuan berikut untuk pemenuhan pelayanan kesehatan :
2. Remaja
a. Pengkajian
1. Pengkajian Sosial
a. Umur
Saat ini semakin banyak orang yang tinggal dalam panti rehabilitasi baik anak
muda maupun dewasa. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan oleh remaja
berhubungan dengan kekerasan dan penyalahgunaan obat. Semakin banyak anak
muda yang masuk penjara dan diperlakukan seperti orang dewasa. Hal ini berarti
bahwa pemberian pelayanan kesehatan harus memenuhi kebutuhan perkembangan
usia ini seperti memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis.
b. Fisik
Saat ini semakin banyak orang yang tinggal dalam panti rehabilitasi baik anak
muda maupun dewasa. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan oleh remaja
berhubungan dengan kekerasan dan penyalahgunaan obat. Semakin banyak anak
muda yang masuk penjara dan diperlakukan seperti orang dewasa. Hal ini berarti
bahwa pemberian pelayanan kesehatan harus memenuhi kebutuhan perkembangan
usia ini seperti memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis.
c. Genetik
Ada 2 faktor genetik yang mempengaruhi kesehatan dalam correctional setting
adalah jenis kelamin dan etnisitas.
Jenis kelamin
Etnisitas
2. Pengkajian Epidemiologi
Perawat dalam correctional setting perlu mengkaji klien secara individu untuk
mengetahui masalah kesehatan fisik. Perawat perlu untuk mengidentifikasi masalah
yang memiliki kejadian yang tinggi di institusi. Area yang perlu diperhatikan meliputi
penyakit menular, penyakit kronik, cedera dan kehamilan.
Penyakit menular meliputi TBC, HIV AIDS , hepatitis B , dan penyakit seksual
lain.
TBC
Perawat sebaiknya menanyakan gejala dan riwayat penyakit agar pasien yang
terinfeksi dapat diisolasi.
HIV AIDS
Perawat mengkaji riwayat HIV, perilaku beresiko tinggi dan riwayat atau
gejala infeksi oportunistik yang mungkin terjadi pada semua tahanan.
Penyakit kronis yang biasa terjadi antara lain : diabetes, hipertensi, penyakit
jantung, dan paru serta kejang.
Perawat harus mengkaji dengan tepat riwayat kesehatan dari klien, anggota
keluarga dan pemberi pelayanan kesehatan di komunitas. Perawat harus mengkaji
adanya penyakit / kondisi kronik pada klien dan mengidentifikasi masalah dengan
tingkat kejadian yang tinggi di institusi / populasi dimana ia bekerja.
Cedera
Merupakan area lain dari fungsi fisiologis yang harus dikaji oleh perawat. Cedera
mungkin diakibatkan karena aktivitas sebelum penahanan, tindakan petugas atau
kecelakaan yang terjadi selama di tahanan. Perawat harus memperhatikan
potensial terjadinya cedera internal dan mengkaji tanda – tanda trauma.
Kehamilan
a. Banyak tahanan yang mengalami penyakit mental yang terjadi selama berada di
tahanan.
b. Berada di tahanan merupakan hal yang menimbulkan stress dan menimbulkan efek
psikis seperti depresi dan bunuh diri. Perawat di correctional setting harus
mewaspadai tanda – tanda depresi dan masalah mental ( correctional setting ) lain
pada tahanan dan mengkaji potensi terjadinya bunuh diri. Semua correctional
setting harus mempunyai program pencegahan bunuh diri dan penaganan bunuh
diri. Perwat harus melakukan pengawasan yang ketat pada tahanan yang berada
dalam isolasi .
e. Tahanan yang dihukum mati, memerlukan dukungan emosi dan psikologis. Perawat
harus mengkaji masalah psikis yang timbul dan membantu mereka melalui
konseling dengan tepat
DAFTAR PUSTAKA
Marry Jo Clark. Nursing In The Community. Amerika : Appleton a Lange. 1999.