Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
1 Patogenesis
EM termasuk virus dan terutama herpes simplex virus (HSV) yang persentasenya mencapai
70% pada kasus-kasus yang rekuren. Beberapa pasien melaporkan adanya riwayat infeksi HSV
dua minggu sebelum EM muncul dan terapi anti viral acyclovir berhasil menanggulangi
kejadian EM berulang pada sebagian besar pasien. Terapi anti viral acyclovir ini juga berhasil
menanggulangi kejadian EM yang kurang menunjukkan hubungan klinis dengan HSV, hal ini
HSV subklinis atau reaktivitas infeksi HSV sehingga kemudian dikenal istilah Herpes
Pemeriksaan menggunakan PCR menemukan bahwa di dalam lesi oral EM terdapat DNA
HSV (36-81%) dimana HSV-1 66%, HSV-2 28% dan keduanya 6%. Patogenesis HSV dimulai
ketika keratinosit mengekspresikan DNA HSV yang kemudian menstimulasi CD4 pada sel-T
helper 1 sehingga melepaskan interferon gamma, sitokin dan mediator inflamasi lainnya. Sel
T kemudian menjadi autoreaktif dan bersama-sama dengan sel T sitotoksik, sel NK dan
Pemakaian obat-obatan juga dapat memicu terjadinya EM, penelitian melaporkan 59%
terjadinya EM oleh karena hal ini. Peningkatan yang tajam terjadi karena penggunaan
cephalosporin. Hal ini dipicu oleh metabolit obat-obatan reaktif dan adanya peningkatan
apoptosis keratinosit oleh karena peningkatan TNF-α yang dirilis oleh keratinosit, makrofag
Selain itu pada erythema multifore tipe mayor terjadi adanya reaksi hipersensitivitas tipe
III yang diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-antibodi (imun). Diikuti dengan
mengendap akan timbul kerusakan jaringan yang membentuk lesi patologis (Kumar, 2008).
EM merupakan hasil dari T-cell mediated immune reactions sebagai agen pencetus terjadinya
cytotoxic immunological attack pada keratinosit yang mengekpresikan non-self antigen yang
kemudian akan terjadi vesikulasi subepitelial dan intraepitelial dan akhirnya terjadilah blister
timbul sebagai manifestasi mukokutaneus dari reaksi imun langsung yang nyata terhadap kulit
yang terjadi akibat adanya satu infeksi pada individu yang memiliki faktor presipitasi.
mikrovaskulatur kutaneus memiliki peran dalam patogenesis EM. Kompleks imun yang
bersirkulasi dan deposisi dari C3, IgM, dan fibrin di sekitar bagian atas pembuluh darah dermal
pembuluhdarah dermal; dimana halnya pada vaskulitis kutaneus yang dimediasi oleh kompleks
lichenoid dan nekrosis epidermal yang kebanyakan mempengaruhi lapisan basalis. Keratinosit
yang mengalami nekrosis bervariasi mulai dari individu sel sampai nekrosisepidermal yang
perubahan vaskuler sampai subepidermal yang melepuh. Infiltrat didermal kebanyakan berada
Bila dibandingkan dengan SSJ, SSJ menunjukkan lebih banyak jaringan yang nekrotik
mengalami inflamasi pada EM terjadi pada kasus-kasus yang behubungan dengan obat-obatan
eosinofil. EM memiliki infiltrat dengan densitas yang kaya akan limfosit T.Sebaliknya,
nekrosis epidermal toksik dicirikan dengan infiltrat yang miskin sel dan mengandung
kebanyakan makrofag dan dendrosit. Perbedaan ini menunjukkan patogenesisyang jelas untuk
Farthing, P., Bagan, J. V. and Scully, C. (2005) ‘Number IV: Erythema multiforme’, Oral