Sunteți pe pagina 1din 14

Vaginismus, Studi literatur pada klasifikasi, etiologi dan terapi

Marie-Andrée Lahaie†1, Stéphanie C Boyer2, Rhonda Amsel1, Samir Khalifé3


& Yitzchak M Binik1,4

Vaginismus didefinisikan sebagai kontraksi otot vagina yang involunter, menghambat


proses penetrasi pada hubungan seksual yang yang cukup mudah untuk didiagnosis dan diterapi.
Hal ini mengakibatkan, kurangnya penelitian terkait sehingga studi pada diagnostik, etiologi dan
terapi terbatas. Menariknya, beberapa studi empiris yang dilaksanakan terkait vaginismus tidak
mendukung pandangan bahwa kasus ini dapat didiagnosis dan diterapi dengan mudah. Etiologi
yang mungkin menyebabkan hal ini juga tidak dapat ditentukan. Studi literatur ini akan
menyampaikan klasifikasi, diagnosis dan terapi vaginismus berfokus pada data studi empiris
terkini. Artikel ini menyampaikan bahwa vaginismus sulit dibedakan dari dyspareunia dan
membutuhkan terapi multidisipliner.

Vaginismus didefinisikan sebagai kontraksi otot vagina yang involunter, menghambat


proses penetrasi pada hubungan seksual yang yang cukup mudah untuk didiagnosis dan diterapi.1
Istilah vaginismus pertama kali dikemukakan pada abad ke 19. Saat itu vaginismus dikenal sebagai
disfungsi seksual pada wanita yang relatif jarang namun dikenal secara luas dan mudah diterapi.
Pada 1859, Gynecologist Sims menuliskan bahwa “ berdasar pengalaman pribadi, saya dengan
yakin dapat menyampaikan bahwa tidak ada penyakit yang mampu mengakibatkan begitu banyak
kesusahan bagi pasangan suami istri dan saya senang dapat menyampaikan bahw penyakit ini
dapat disembuhkan dengan mudah, aman dan pasti.”2 Konsep ini dilanjutkan oleh Masters and
Johnson yang melaporkan bahwa angka kesuksesan terapi mencapai 100%.3 Sepertinya asumsi
mengenai tingginya angka kesembuhan dan tidak adanya kontroversi terkait diagnosis
mengakibatkan rendahnya jumloah penelitian baru. Faktanya, Beck mendeskripsikan vaginismus
sebagai “ilustrasi menarik dari kelalaian medis”.
Setelah studi literatur Reissing et al, beberapa studi empiris penting terkait diagnosis dan
terapi vaginismua telah dipublikasikan.5 Menariknya, hasil studi-studi ini berlawanan dengan
validitas definisi vaginismus yang mudah didiagnosis dan mudah diterapi. Karya tulis ini akan
membahas literature terkait klasifikasi, diagnosis, etilogi dan terapi vaginismus, dengan fokus pada
bukti empiris terkini.

Prevalensi
TIdak ada studi epidemiologi yang membahas prevalensi vaginismus. Hal ini mungkin
berkaitan dengan fakta bahwa studi ini akan membutuhkan pemeriksaan ginekologi yang penuh
tekanan sehingga pasien memilih untuk menghindari hal ini. Sebagai hasilnya, prevalensi
vaginismus sangat bervariasi.

1
Sebagian penelitian, seperti Masters and Johnson mengklaim bahwa vaginismus adalah
kondisi yang relatif jarang.3,6 sementara studi lainnya menunjukkan bahwa kondisi ini adalah
salah satu kondisi disfungsi psikoseksual wanita yang paling umum.7-10 Walaupun prevalensi
populasi masih belum diketahui, tingkat prevalensi dalam setting klinis telah dilaporkan berkisar
antara 5-17%.11

Dalam sebuah penelitian di Inggris, Ogden and Ward memeriksa kecenderungan perilaku
mencari pertolongan perempuan yang menderita vaginismus dan menemukan bahwa tenaga
kesehatan yang paling sering didatangi adalah dokter umum.12 Sayangnya, responden mereka
melaporkan bahwa dokter umum adalah tenaga kesehatan yang paling sedikit dapat memberikan
bantuan. Secara keseluruhan, ada ketidakpuasan pasien akan bantuan yang tersedia, sehingga
memperkuat keinginan banyak wanita vaginismus untuk menghindari pengobatan. Hal ini
konsisten dengan temuan Shifren dkk di Amerika Serikat yang menyatakan bahwa hanya sepertiga
wanita dengan 'masalah seksual' berkonsultasi mengenai masalahnya.13 Menurut subyek
penelitian tersebut, hal yang menghalangi kecenderungan untuk menerima bantuan profesional
adalah pendapat bahwa membahas dan mendiskusikan masalah seksual adalah hal yang
memalukan.

Klasifikasi dan diagnosis Vaginal Muscle Spasm

Dalam risalahnya yang ke 1547 tentang 'The Diseases of Women', Trotula of Salerno
diperkirakan memberikan deskripsi paling awal dari yang saat ini disebut dengan vaginismus
sebagai 'pengetatan vulva sehingga bahkan wanita yang telah tergoda mungkin tetap perawan’.14
Tidak lama kemudian, Huguier memberikan deskripsi medis pertama dari sindrom ini, namun
Sims adalah orang yang pertama kali menyebutkan istilah 'vaginismus' pada tahun 1862 di
London.15 Sims menggambarkan vaginismus sebagai 'penutupan spasmodik tanpa disengaja pada
mulut vagina yang berkaitan dengan supersensitivitas berlebihan untuk membentuk penghalang
terjadinya koitus'.2 Hingga saat ini, American College of Obstetrics
and Gynecology (ACOG) dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV-TR
(DSM-IV-TR) tetap menjadikan kejang otot yang involunter sebagai unsur inti dari definisi
vaginismus.1,16 International Classification of Diseases (ICD)-10 mengkategorikan
vaginismus baik sebagai 'gangguan nyeri' dan sebagai 'Disfungsi seksual yang terdiri dari kejang
pada otot dasar panggul yang mengelilingi vagina, sehingga menyebabkan oklusi lubang vagina
yang mengakibatkan penetrasi penis tidak mungkin atau menyakitkan.17

Konsensus terkait definisi vaginismus sangat menarik perhatian mengingat kurangnya


temuan empiris yang memvalidasi kriteria kejang otot vagina.5 Reissing et al.
(n = 87) menemukan bahwa meskipun wanita dengan vaginismus menunjukkan frekuensi kejang
otot vaginal yang lebih besar saat menjalani pemeriksaan ginekologi jika dibandingkan dengan

2
kontrol pada kelompok umur, hubungan dan paritas yang sama, maupun bila dibandingkan dengan
wanita yang menderita dispareunia terkait provoked vestibulodynia (PVD), hanya 28% dari
kelompok vaginismus yang benar-benar menunjukkan kejang otot vagina. Lebih dari itu, hanya
24% yang dilaporkan mengalami kejang otot vagina saat mencoba berhubungan seksual. Hal yang
membingungkan adalah adanya temuandua orang ginekologis independen yang mendapati hanya
4% kontraksi otot vagina involunter yang didapatkan pada
diagnosis vaginismus.18 Temuan ini menimbulkan pertanyaan akan kriteria diagnostik utama
dari vaginismus.

Metode lain untuk mengevaluasi validitas dari kriteria kejang otot vagina adalah melalui
pencatatan aktivitas listrik otot, yang dapat dilakukan melalui surface electromyography (sEMG)
atau needle electromyography. Penelitian SEMG dan EMG jarum telah menyelidiki aktivitas otot
panggul pada wanita didiagnosis dengan vaginismus. Reissing et al. menemukan bahwa
terdapat kekuatan otot dasar panggul yang lebih rendah dan kekuatan otot vagina / pelvis yang
lebih besar wanita dengan vaginismus jika dibandingkan dengan kontrol, namun apabila
dibandingkan dengan kelompok PVD maka didapati tidak ada perbedaan signifikan antara
keduanya.18,19 Shafik dan El-Sibai (n = 14) juga membuat demonstrasi menggunakan EMG
jarum, membandingkan aktivitas EMG yang lebih tinggi saat istirahat dan saat induksi refleks
vaginismus pada levator ani, puborectalis dan bulbocavernosus, pada wanita dengan vaginismus
dibandingkan dengan kontrol sesuai kelompok usia.20 Konsisten dengan temuan di atas, Frasson
dkk. (n = 30) metemukan nilai basal EMG jarum yang secara signifikan dan reaktif
hipereksitabilitas pada vaginismus primer dan pada wanita dengan PVD + vaginismus jika
dibandingkan dengan kontrol.21 Di sisi lain, tiga studi menggunakan sEMG (berkisar antara 29
sampai 224) tidak mendapatkan adanya perbedaan yang signifikan dalam kemampuan kontraksi
dan relaksasi otot dasar panggul antara wanita dengan dan tanpa vaginismus. 22-24

Hasil yang kontradiktif ini mungkin dapat disebkan karena tidak adanya standarisasi definisi
'spasme otot' dan kurangnya konsensus mengenai otot-otot mana yang terlibat dalam vaginismus.
Beberapa penulis merujuk kelompok otot yang luas seperti sepertiga otot bagian luar vagina, otot
panggul atau otot circumvaginal dan perivaginal.25-29 Sementara yang lain mengacu pada otot
yang lebih spesifik, seperti bulbocavernosus, levator ani dan puboccoccygeus.30,31 Tidak ada
studi menjelaskan bagaimana mereka menyimpulkan otot mana terlibat.5 Istilah spasme/ kejang
sendiri juga kontroversial karena tidak ada kesepakatan apakah kejang mengacu pada kejang otot
yang tidak disengaja, sebuah mekanisme defensif atau hipertonisitas otot dasar panggul. Selain
tidak adanya kesepakatan mengenai istilah spasme otot dan oto st t terlibat dalam vaginismus,
tidak ada protokol diagnostik empiris standar untuk kejang otot vagina. Meski Masters and
Johnson mengklaim bahwa pemeriksaan panggul perlu dilakukan untuk mendiagnosa vaginismus,
peneliti dan dokter seringkali hanya mengandalkan laporan keluhan sulitnya penetrasi vagina.2,32
Kurangnya protokol diagnostik terstandar bukanlah hal yang sepele karena salah satu masalah
yang dihadapi berbagai studi tentang vaginismus adalah sampel yang sangat beragam.

3
Fakta bahwa berbagai penelitian yang menggunakan definisi vaginismus DSM-IV-TR berupa
kejang otot vagina, justru gagal menemukan kejang vagina menunjukkan bahwa kejang otot vagina
bukanlah diagnosis yang dapat diandalkan. Hal ini mungkin menjadi salah satu penyebab
didapatkannya populasi pasien yang beragam.21-24

Nyeri

Meski vaginismus tergolong sebagai sexual pain disorder pada DSM-IV-TR, nyeri tidak
disebutkan dalam kriteria diagnostik. Definisi lain dari vaginismus, yang diterbitkan oleh ACOG
[16], International Association for the Study of Pain (IASP), WHO dan Lamont memang
menyebutkan rasa nyeri dalam definisi vaginismus.17,33,34 Namun, belum ada yang menjelaskan
deskripsi nyeri yang spesifik seperti karakteristik, lokasi, kualitas, intensitas dan durasi.32
Informasi mengenai apakah nyeri yang terjadi merupakan penyebab atau konsekuensi dari kejang
otot vagina.32 Walaupun kebanyakan laporan klinis dan penelitian tentang vaginismus tidak
mengacu pada unsur nyeri vaginismus,35 beberapa penulis percaya bahwa rasa nyeri adalah salah
satu komponen inti daeri vaginismus.10,18,36-40 Faktanya beberapa penelitian telah menemukan
bahwa sebagian besar wanita menderita vaginismus mengalami rasa sakit saat percobaan penetrasi
vagina.18,25,35,37,40-43 Rasa nyeri yang dialami wanita dengan vaginismus
telah ditemukan sangat mirip dengan nyeri yang dilaporkan oleh wanita dengan PVD.18,40,42

Menurut DSM-IV-TR, vaginismus dapat diklasifikasikan menjadi vaginismus primer


(seumur hidup) dan sekunder. Banyak pendapat yang mengemukakan bahwa PVD adalah bagian
dari vaginismus (vaginismus sekunder).31,34,44 Meskipun vaginismus primer dan sekunder
umumnya dinilai memiliki etiologi dan respons terhadap terapi yang berbeda, belum ada validasi
data empiris akan hal ini.

Differential diagnosis vaginismus dari dyspareunia

Menurut DSM-IV-TR, ada dua sexual pain disorder yang eksklusif yaitu vaginismus dan
dispareunia. Dispareunia didefinisikan sebagai 'nyeri genital rekuren yang terkait
dengan hubungan seksual'.1 PVD menjadi subtipe dyspareunia pada wanita pramenopause yang
paling sering terjadi di Indonesia dengan prevalensi 7%. 45,46 Wanita dengan
PVD biasanya mengalami nyeri berupa rasa terbakar yang berat dan tajam pada sentuhan
vestibular atau percobaan penetrasi vagina.45,47,48 Hal ini didiagnosis melalui
tes kapas-swab, yang terdiri dari aplikasi kapas di berbagai area vestibulum, vulva dan jaringan
sekitarnya.47

Terlepas dari kenyataan bahwa vaginismus dan dyspareunia terkait dengan PVD telah
digambarkan sebagai dua entitas klinis yang berbeda, keduanya memiliki banyak karakteristik

4
yang tumpang tindih, seperti nyeri vulva dan tonus otot vagina / pelvis.18,42 Padahal, sejumlah
penelitian telah menunjukkan bahwa sebagian besar (42-100%) wanita dengan vaginismus
juga memenuhi kriteria PVD.18,24,41,42 Ini bisa menjelaskan, mengapa sebagian praktisi
kesehatan (yaitu, ginekolog, terapis fisik dan psikolog) kesulitan dalam membedakan vaginismus
dari PVD.18 Perlu dicatat, bagaimanapun, PVD dicirikan dengan dyspareunia superfisial.
Rasa sakit pada dispareunia lebih dalam, biasanya mudah dibedakan dengan nyeri yang
berhubungan dengan vaginismus. Wanita dengan vaginismus, umumnya merasa lebih cemas dan
menghindari pemeriksaan ginekologi serta penetrasi vagina seksual dan nonseksual
bila dibandingkan dengan wanita dengan PVD.18,37,42

Takut
Berbagai laporan klinis telah lama mengemukakan bahwa ketakutan memainkan peran
penting dalam vaginismus.3,16,47-50 Hanya beberapa penelitian yang telah menyelidiki hal ini
lebih jauh.50-53 Misalnya, takut sakit adalah alasan utama yang dilaporkan oleh wanita dengan
vaginismus untuk menghindari hubungan seksual dan abstinence.18,53 Apalagi sebagian besar
(74-88%) wanita dengan vaginismus melaporkan rasa takut yang signifikan akan rasa sakit selama
koitus.50,53 Wanita penderita vaginismus memiliki sejumlah karakteristik yang sama dengan
individu menderita 'fobia spesifik'. Fobia spesifik didefinisikan sebagai Rasa takut itu berlebihan
atau tidak masuk akal dan terus-menerus, dikarenakan kehadiran atau antisipasi objek atau situasi
tertentu.1 Individu dengan fobia tertentu akan mengalami perasaan cemas, takut atau panik saat
menghadapi objek atau situasi yang ditakuti. Akibatnya, mereka akan cenderung aktif menghindari
kontak langsung dengan stimulus fobia.1 Wanita dengan vaginismus melaporkan rasa takut akan
penetrasi vagina dan nyeri terkait tekanan emosional saat penetrasi vagina.18,50 Wanita dengan
vaginismus juga cenderung menghindari situasi yang melibatkan penetrasi vagina (yaitu,
pemeriksaan ginekologi, penyisipan tampon dan hubungan seksual).18

Masih belum diketahui, apakah kecenderungan wanita dengan vaginismus dalam


menghindari situasi tertentu untuk mengurangi tingkat kecemasan, serupa dengan individu yang
menderita fobia spesifik, ataukah sebagai respons terhadap pengalaman nyeri mereka, atau
keduanya. Meski demikian, penghindaran penetrasi vagina tidak bisa hanya dijelaskan oleh sensasi
nyeri karena wanita dengan dispareunia, yang juga mengalami nyeri hebat selama penetrasi
vagina, belum menunjukkan kencenderungan untuk menghindari penetrasi vagina seperti wanita
yang menderita vaginismus.18,42

Meski ketakutan tampaknya menjadi factor karakteristik wanita dengan vaginismus, studi
empiris yang ada masih belum memiliki kelompok kontrol yang tepat, instrumen standar
untuk mengukur rasa takut serta analisis statistik yang sesuai.50-53

Kesimpulan
Definisi vaginismus saat ini masih kontroversial. Pertama, kriteria kejang otot vagina belum
pernah divalidasi secara empiris dan tampaknya rasa sakit vulva dan rasa takut akan rasa sakit atau

5
takut akan penetrasi vagina paling sering dikaitkan dengan diagnosis vaginismus saat ini.
Selain itu, vaginismus tidak dapat sepenuhnya dibedakan dari dyspareunia superfisial. Baru- baru
ini i konsensus menyimpulkan dan mendefinisikan vaginismus sebagai: Kesulitan wanita untuk
memungkinkan masuknya penis, jari dan / atau objek apa pun pervaginam tanpa memandang
keinginan wania tersebut, yang terjadi persisten atau berulang. Terdapat variable (fobia)
penghindaran, kontraksi dan antisipasi otot panggul yang tidak disengaja, ketakutan / pengalaman
rasa sakit terkait penetrasi vagina. Struktural atau kelainan fisik lainnya harus dicari dan
dikesampingkan.54 Binik baru-baru ini mengusulkan sebuah konseptualisasi baru yang
menggabungkan vaginismus dan dispareunia ke dalam satu kelainan genito-pelvis / gangguan
penetrasi ditandai dengan kesulitan persisten atau berulang selama 6 bulan atau lebih dengan
setidaknya satu dari berikut:32

• Ketidakmampuan melakukan hubungan seksual (penetrasi vagina) setidaknya sebanyak 50%


usaha penetrasi;
• Adanya nyeri genito-panggul setidaknya 50% upaya hubungan seks / penetrasi vagina;
• Adanya ketakutan akan hubungan seks / penetrasi vagina atau nyeri genito-panggul saat
bersenggama / penetrasi yang timbul minimal 50% dari upaya penetrasi vagina;
• Adanya kontraksi pengencangan otot dasar panggul saat upaya penetrasi vagina minimal 50%
dari usaha penetrasi.

Faktor etiologi
Faktor psikologi
Meski definisi, diagnosa dan pengobatan vaginismus telah berfokus terutama pada
gejala organik dari kejang otot vagina, faktor etiologi yang diusulkan utamanya
adalah psikogenik. Diantaranya termasuk sikap seksual negatif, trauma psikologis dan / atau fisik,
dan kesulitan hubungan perorangan.

Sikap seksual negatif & kurangnya pendidikan seksual


Hubungan antara sikap seksual negatif, ketidaktahuan seksual dan vaginismus sering disebut-sebut
dalam berbagai literatur vaginismus.1,51,55 Misalnya, Ellison mengklaim bahwa vaginismus
terutama disebabkan oleh: kurangnya pengetahuan seksual dan adanya rasa bersalah menimbulkan
rasa takut untuk terlibat dalam hubungan seksual [56,57]. Hal ni konsisten dengan pernyataan
Silverstein, Ward dkk. seta kesimpulan Basson bahwa wanita yang menderita vaginismus pada
umumnya memiliki pandangan negatif tentang seksualitas dan seks sebelum menikah.41,51,53
Namun, studi-studi ini memiliki sejumlah keterbatasan metodologis yang penting, misalnya
ukuran sampel kecil (n = 22-89), analisis statistik dan kelompok control yang kurang tepat, seperti

6
tidak adanya pengukuran standar instrumen dan protokol standar untuk mendiagnosa
vaginismus.41,51,53,56,57

Hanya ada dua studi tentang etiologi vaginismus yang memiliki analisis statistik atau
kelompok control yang terstandar.58,59 dan hanya satu diantaranya yang menggunakan instrumen
pengukuran terstandar. Hasil kedua studi tersebut tidak mendukung anggapan bahwa wanita
dengan vaginismus memiliki sikap seksual negatif dan / atau memiliki tingkat pengetahuan seksual
dan pendidikan yang lebih rendah..

Faktor hubungan
Vaginismus telah sering dilaporkan terjadi pada pasangan dengan hubungan
disfungsional.60,61 Bukti empiris yang tersedia masih kontroversial. Misalnya, Tugrul dan
Kabakçi (n = 40) Studi yang tidak terkontrol menunjukkan bahwa 85% dari wanita vaginismus
yang mencari pengobatan dan 90% suami mereka menyatakan bahwa perkawinan mereka
memuaskan.50 Hawton dan Catalan (n = 30) menemukan bahwa pasangan yang menderita
vaginismus memiliki hubungan dan komunikasi yang signifikan lebih baik bila dibandingkan
dengan 76 pasangan yang mengeluhkan jenis disfungsi seksual wanita lainnya [62]. Meskipun
faktor hubungan belum secara empiris menunjukkan pentingnya perannya dalam etiologi
vaginismus, wanita yang menderita vaginismus memang memiliki hubungan seksual yang lebih
sedikit dan cenderung menghindari kontak seksual bila dibandingkan dengan kontrol sehat. 50,59].
Wallaupun demikian, masih belum jelas, apakah ini penyebab atau konsekuensi dari vaginismus.
Mitra wanita dengan vaginismus telah dilaporkan menderita disfungsi seksual sekaligus tampilan
pasif dan kepribadian yang tidak tegas [3,26,51,57,63-65].

Temuan empiris terkontrol menggunakan standarisasi instrumen mengevaluasi jenis


kepribadian dan disfungsi seksual laki-laki, tidak mendukung pandangan ini [26,52,58]. Sebagai
contoh, bila karakteristik kepribadian pria pasangan wanita dengan vaginismus dibandingkan
dengan kontrol atau norma, tidak ada perbedaan ditunjukkan. Apalagi, sedikit penelitian
yang menyelidiki kronologi disfungsi seksual pada pasangan wanita dengan vaginismus
menyimpulkan bahwa umumnya disfungsi seksual seperti ejakulasi ereksi dan ejakulasi dini
bukan penyebab vaginismus [30,64,66,67].

Pelecehan seksual dan atau fisik


Meski riwayat pelecehan seksual dan atau fisik umumnya dianggap sebagai faktor etiologi
penting dari vaginismus, bukti empiris kurang meyakinkan [1,60,68]. Lima dari enam studi
[62,65,66,69,70] tidak menemukan bukti prevalensi pelecehan seksual dan fisik yang lebih
tinggi.Studi keenam hanya menemukan bukti yang lemah bahwa wanita dengan vaginismus dua
kali lebih mungkin untuk melaporkan riwayat gangguan seksual masa kecil (upaya pelecehan
seksual dan pelecehan seksual yang melibatkan sentuhan) dibandingkan dengan kelompok
control59. Studi lebih besar dengan kontrol yang sebanding dan definisi pelecehan seksual yang

7
telah divalidasi dengan baik dibutuhkan untuk dapat mengatasi masalah ini.

Faktor biologis
Patologi organic
Sejumlah patologi organik (mis., Hymeneal dan kelainan kongenital, infeksi, vestibulodynia,
trauma berhubungan dengan operasi genital atau radioterapi, atrofi vagina, endometriosis, lesi
pada vagina dan tumor, bekas luka di vagina karena cedera, persalinan atau operasi, dan iritasi
yang ditimbulkan dengan douching, spermisida atau lateks dari kondom) mengakibatkan penetrasi
vagina yang menyakitkan / sulit / tidak mungkin telah dinilai sebagai salah satu factor etiologis
[5,8,16,68,71]. Belum ada studi yang mengevaluasi kemungkinan ini.

Disfungsi dasar panggul


Disfungsi otot dasar panggul (mis., Hipertonisitas dan rendahnya kontrol otot) dinilai
sebagai faktor predisposisi dalam berkembangnya vaginismus [39,45]. Studi Barnes dkk (n = 5)
mengemukakan bahwa wanita dengan vaginismus mengalami kesulitan dalam mengendalikan otot
vagina sehingga sulit membedakan antara keadaan kontraksi dan relaksasi [72]. Namun tetap tidak
jelas apakah disfungsi dasar panggul merupakan faktor predisposisi atau gejala dari vaginismus.
Sampai saat ini, belum ada studi longitudinal yang menyelidiki peran disfungsi otot dasar panggul
sebagai etiologi vaginismus.

Ringkasan
Meski berbagai faktor psikologis dinilai memainkan peran penting dalam etiologi
vaginismus, hanya sedikit factor yang telah didukung penelitian empiris. Selain itu, belum ada
penelitian yang memadai terkait faktor biologis yang dinilai memperngaruhi perkembangan
vaginismus.

Pengobatan
Ada banyak kontroversi mengenai terapi pilihan untuk vaginismus. Sims merekomendasikan
sebuah intervensi bedah yang terdiridari pemindahan selaput dara, sayatan dari
lubang vagina dan dilatasi.2 Tidak lama kemudian, kebutuhan akan prosedur operasi mulai
diragukan mengingat dilatasi saja tampaknya menunjukkan hasil yang memuaskan [5,73, 74].
Walthard, yang mengkonseptualisasikan vaginismus sebagai reaksi fobia atau rasa takut yang
berlebihan akan rasa sakit, adalah salah satu orang pertama merekomendasikan psikoterapi sebagai
terapi vaginismus[75]. Sepanjang awal abad ke 20, psikoanalisis mengikuti
gagasan bahwa vaginismus adalah gejala histeris atau conversion syndrome [76,77]. Pada 1970-
an, Masters dan Johnson memberikan pengaruh besar pada tatalaksana vaginismus, berupa
behaviorally oriented sex theraphy yang di dalamnya termasuk vaginal dilatation[2]. Tingkat
keberhasilan berbagai perawatan, mulai dari dilatasi vagina hingga psikoanalisis

8
berorientasi pada perilaku sangat beragam. Behaviorally oriented sex theraphy yang di dalamnya
termasuk vaginal dilatation selalu dilaporkan menjadi primadona. Saat ini terapi vaginismus dapat
dibagi menjadi empat kategori utama: fisioterapi dasar panggul, perawatan farmakologis,
psikoterapi umum dan terapi perilaku seks / kognitif.
Tabel 1 merangkum hasil berbagai studi terkait penatalaksanaan dari vaginismus

Fisioterapi dasar panggul


Dasar pemikiran untuk penggunaan fisioterapi dasar panggul dalam perawatan vaginismus
adalah membantu mengembangkan kesadaran dan kontrol otot vagina serta memulihkan
fungsi seksual, meningkatkan mobilitas, mengurangi rasa sakit dan
mengatasi kecemasan penetrasi vagina [39,72,78]. Terapis fisik menggunakan berbagai teknik
untuk mencapai tujuan tersebut, seperti bernapas dan relaksasi, desensitisasi jaringan lokal, vaginal
dilator, biofeedback dasar panggul dan teknik terapi manual [39,72,78]. Sampai saat ini, terdapat
dua penelitian dengan tingkat keberhasilan 100% yang menunjukkan tingkat efektifitas
biofeedback dalam pengobatan vaginismus [72,79]. Kekurangan dari studi ini adalah ukuran
sampelnya sangat kecil (<12) dan kelompok kontrol yang kurang tepat [72,79]. Salah satu studi
diantaranya hanya memiliki follow up selama 6 bulan yang menunjukkan tingkat keberhasilan
yang turun menjadi 60% [66,72]. Meskipun kejang otot vagina sebagai komponen diagnosis
vaginismus dianggap penting, fisioterapi panggul belum banyak diselidiki.

Terapi Farmakologis
Terdapat tiga tipe dalam terapi farmakologis yang sudah digunakan untuk penanganan
vaginismus : anestesi lokal (cth : lidocaine), pelemas otot (cth : nitroglycerin topical dan botulinum
toksin) dan terapi anti cemas. Anestesi lokal seperti gel lidocaine digunakan berdasarkan
penemuan bahwa vaginismus disebabkan oleh spasme otot akibat dari nyeri berulang yang
diakibatkan senggama vagina berulang dan, penggunaan anestesi topikal ditargetkan mengurangi
nyeri dan menghilangkan spasme otot yang diduga sebagai penyebab. Efikasi dari terapi ini hanya
dilaporkan dalam studi kasus dimana diberikan 5% lidocaine gel pada pada hyperestethic area dari
introitus vagina dari 17 tahun wanita yang mengalami vaginismus primer. Nitroglycerine topikal
jenis salep, diperkirakan dapat menangani spasme otot dengan cara membuat relaks otot-otot
vagina juga hanya dilaporkan dalam studi kasus.

Pasangan Muslim Bedouin datang dengan vaginismus primer mengaku dapat berhubungan
dan mencapai hubungan seksual yang memuaskan setelah menggunakan jenis terapi topikal salep
nitrogliserin. Berdasar dari segala informasi yang tersedia dalam studi kasus tersebut, tidak ada
kesimpulan pasti yang dicapai.

Toksin botulinum sebagai paralisa otot sementara, direkomendasikan sebagai terapi


vaginismus dengan target tujuan untuk mengurangi hipertonisitas dari otot dinding panggul. Pada
studi terapi Shafik dan El-Sibai’s (n=13), wanita dengan vaginismus yang mendapatkan terapi
injeksi toksin botulinum dapat mencapai ‘kepuasan berhubungan’ dibandingkan dengan tidak ada

9
hasil pada kelompok kontrol yang hanya diberikan injeksi normal saline. Hasil luaran yang sukses
didapatkan rata-rata setelah diikuti 10.2 bulan. Namun, terdapat pembatasan angka pada studi ini
seperti, kecilnya jumlah sampel, kurangnya informasi bagaimana vaginismus terdiagnosa dan
kurangnya determinasi independen pada hasil luaran terapi. Hasil luaran terapi terkini dengan studi
(n=39) mendemonstrasikan wanita dengan vaginismus sekunder hingga PVD yang mendapatkan
injeksi berulang botulinum neurotoxin tipe A pada otot levator ani, menunjukan peningkatan pada
standarisasi pengukuran aktifitas seksual. (cth : Female Sexual Functioning Index), kemungkinan
melakukan hubungan seksual, evaluasi hiperaktifitas levator ani dengan EMG dan pada gejala
bowel – bladder. Setelah tindak lanjut 39 bulan, 63.2% dari seluruh partisipan mengaku telah
terbebas dari vaginismus dan PVD, 15.4% masih terkadang membutuhkan injeksi, 15.4% lainnya
dinyatakan gagal dan sisanya tidak menyelesaikan protocol terapi. Terapi farmakologis lainnya
yang sudah dicoba adalah dengan terapi anxiolytics, seperti diazepam, digabungkan dengan
psikoterapi berdasar hipotesis bahwa vaginismus merupakan kondisi psikosomatis yang
merupakan hasil dari trauma masa lalu, sehingga diyakini, terapi anti anxietas akan menghilangkan
gejala. Studi Mikhail’s ditemukan bahwa pemberian diazepam secara intravena saat dilakukan
interview psikologis pada 4 wanita menghasilkan hubungan seksual yang sukses. Sayangnya,
keputusan tentang terapi dari vaginismus masih terbatas karena kebanyakan studi masih kurangnya
kelompok kontrol placebo yang layak dan sampel tidak dapat dipilih secara acak, dan tidak dapat
menggunakan instrumen luaran standar.

Psikoterapi Umum
Berbagai variasi dari terapi psikologis untuk vaginismus sudah diinvestigasi, termasuk
kondisi pernikahan, interaksi, existential – experiential, peningkatan hubungan, dan hypnosis.
Terapi psikologis seringkali berdasarkan dari dasar vaginismus yang disebabkan oleh kondisi
pernikahan, pengalaman seksual negative saat anak-anak, ataupun kurangnya edukasi seksual.
Terapi ini bisa dilakukan berpasangan ataupun individual. Umumnya, pada terapi individual, terapi
bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengatasi dasar masalah psikologis yang dapat
menyebabkan kelainan. Pada terapi berpasangan, vaginismus sebagai suatu konsep masalah yang
berhubungan dengan pasangan, dan terapi berfokus pada riwayat seksual pasangan dan masalah
lainnya yang mungkin terjadi dalam hubungan mereka. Meskipun dilaporkan tingkat
keberhasilannya tinggi (78-100%), semua kecuali dua studi kasus dengan rancangan awal yg
kurang baik, dan intervensi terapi yang kurang jelas seperti kurangnya informasi bagaimana
vaginismus tersebut terdiagnosa. Dua laporan kasus tersbut yang bukan merupakan studi kasus
kekurangan factor grup kontrol dan tidak ada data tindak lanjut.

Sex/ kognitif/ terapi kebiasaan


Pada 1970, Masters dan Johnson melaporkan bahwa vaginismus dapat dengan mudah
diterapi dengan terapi kebiasaan seks oriented yang termasuk dilatasi vagina. Langkah pertama
dari terapi tersebut adalah demonstrasi pengenalan fisik dari spasme otot vagina kepada pasien
(dan pasangannya) saat dilakukan pemeriksaan ginekologis. Kemudian pasangan diarahkan untuk

10
memasukkan beberapa alat instrument dilator dengan ukuran berbeda saat di rumah dengan
bantuan dari pasangan, hal ini bertujuan untuk mengenalkan pasien terhadap penetrasi vagina.
Terapi dari Master dan Johnson’s juga mengenalkan pentingnya edukasi berhubungan tentang
fungsi seksual dan perkembangan dan perawatan vaginismus dengan tujuan untuk mengatasi
dampak psikologis dari kondisi pasien. Sebagai hasil dari pengaruh Master dan Johnsons,
dilakukan beberapa studi pada tingkat efikasi terapi seks pada penanganan vaginismus dengan
tingkat keberhasilan yang sangat baik pada terapi ini. Studi ini merupakan studi tidak terkontrol
dan semua metode ini masih memiliki kekurangan seperti kurangnya grup kontrol dan pengukuran
standar untuk evaluasi hasi luaran terapi. Hasil luaran pertama kali dari studi acak terkontrol dari
vaginismus ini baru saja diumumkan. Studi ini menginvestigasi kebiasaan kognitif terapi seksual
untuk terapi dari vaginismus. Terapi ini termasuk edukasi seks dan teknik dilatasi vagina seperti
pada protocol Masters dan Johnson. Studi ini juga termasuk terapi kognitif, relaksasi dan latihan
berkonsentrasi. Partisipan yang mendapatkan terapi untuk 3 bulan, baik yang merupakan grup
terapi maupun dalam format bibliotherapy. Setelah terapi, 18% (14% terapi grup; 9%
bibliotherapy) dari partisipan pada terapi berkelompok, dilaporkan keberhasilan dari percobaan
hubungan seks penis-vagina ketika di saat yang lain, belum ada partisipan yang berhasil
melakukan hubungan seks. Menariknya, tidak ada perbedaan signifikan antara efikasi terapi
berkelompok ataupun bibliotherapy. Pada tindak lanjut 3 bulan dan 1 tahun, 19% dari partisipan
berkelompok pada terapi kebiasaan kognitif seks, dan 18% pada kelompok biblioterapi, berhasil
melakukan hubungan seksual.
Meskipun angka keberhasilan masih jauh dari apa yang diharapkan, berdasarkan studi
sebelumnya, analisis dari data tersebut menyebutkan kesuksesan dari metode tersebut karena
adanya perubahan dari ketakutan akan hubungan seks dan kebiasaan menghindari hubungan
seks.Kelompok Van Lankveld’s menyimpulkan ulang konsep vaginismus dari gangguan seksual
menjadi fobia penetrasi vagina. Studi terakhir yang dilakukan oleh kelompok yang sama
menginvestigasi terapi untuk vaginismus yang berkonsentrasi secara eksplisit dan sistematis
tentang ketakutan akan koitus (berhubungan seks). Terapi tersebut terdiri dari edukasi tentang
ketakutan dan penghindaran penetrasi vagina, yang mana dilakukan maksimum 3 sesi masing-
masing 2 jam dengan paparan in vivo untuk mengatasi ketakutan selama penetrasi vagina. Hasil
tersebut menunjukan 9 dari 10 partisipan dapat melakukan hubungan seksual dengan mengikuti
terapi tersebut, dan hal ini terus berlanjut hingga 1 tahun ke depan. Sebagai tambahan, paparan
terapi juga berhasil menurunkan ketakutan dan kepercayaan negative tentang penetrasi.

Penilaian dari penelitian terapi


Vaginismus secara tradisional dianggap sebagai disfungsi seksual yang dapat diterapi
dengan mudah. Peningkatan dari tingkat kesuksesan terapi, dilaporkan pada beberapa literatur
merupakan suatu keharusan. Namun, pada studi tidak terkontrol, kecilnya jumlah sample,
meningkatnya atau kasus drop out yang tidak terlapor, yang mana tidak dapat dimasukan ke dalam
statistic intent to treat, hal ini diberlakukan sama pada kasus yang kurang data tindak lanjut jangka

11
panjang. Pada kenyataannya, hanya studi terapi acak terkontrol yang tidak mendukung bahwa
vaginismus merupakan kondisi yang mudah disembuhkan.

Hal dasar pada evaluasi terapi adalah bagaimana hasil kesukesan terapi tersebut diartikan.
Mayoritas kelompok studi telah mengartikan kesuksesan terapi mereka dengan keberhasilan
penetrasi melalui hubungan seksual. Sementara keberhasilan penetrasi merupakan hal pertama
yang krusial, jikalau hal ini tidak diimbangi dengan perasaan puas, maka keberhasilan terapi
tersebut masih dipertanyakan. Contohnya, Schynder et al menemukan bahwa 98% wanita pada
studinya berakhir dengan dapat melakukan hubungan seksual dengan vaginal dilator, 50% masih
mengalami nyeri saat senggama. Hal yang sama juga terjadi 9 dari 10 partisipan studi Ter Kuile et
al. tentang studi mengurangi ketakutan dapat bersenggama, namun tidak ada yang merasa
kenikmatan seksual ataupun kepuasannya meningkat secara signifikan.Walaupun tampaknya
tingkat keberhasilan dari penetrasi vagina dapat tercapai, tantangan masih tetap ada untuk
meningkatkan kepuasan wanita vaginismus saat bersenggama.

Kesimpulan
Meskipun kebanyakn penelitian tentang vaginismus menyajikan keterbatasan metodologis
yang signifikan .Kesimpulan tertentu dapat dibuat dari beberapa studi terkontrol dengan baik.
Pertama, spasme otot vagina bukan merupakan kriteria diagnostik yang valid atau dapat
diandalkan untuk vaginismus.Kedua, nyeri vulva merupakan karakteristik penting kebanyakan
wanita yang menderita vaginismus dan harus selalu dievaluasi. Ketiga, meskipun vaginismus dan
dispareunia saat ini dianggap sebagai dua gangguan yang saling eksklusif, mereka memiliki
banyak karakteristik dan sangat sulit untuk dibedakan dengan menggunakan alat klinis kita saat
ini. Keempat, ketakutan dan penghindaran situasi penetrasi vagina telah disebutkan sebagai bagian
integral dari vaginismus; Menariknya, tidak ada studi yang dipublikasikan terkontrol yang meneliti
perannya. Akhirnya, konseptualisasi vaginismus saat ini sebagai disfungsi seksual yang mudah
ditangani belum didukung oleh penelitian empiris. Sayangnya, sangat sulit melakukan penelitian
bila ada masalah bawaan dengan definisi vaginismus.

Perspektif Masa Depan

Berbeda dengan definisi vaginismus pada DSM-IV-TR saat ini, konseptualisme baru Binik
tentang vaginismus sebagai gangguan nyeri / penetrasi genito-pelvis mempertimbangkan temuan
empiris yang ada karena menggabungkan rasa sakit, ketegangan otot dan ketakutan. Kriteria
diagnostik Binik mudah diterjemahkan ke dalam istilah dimensi dan tidak secara kategoris
memisahkan vaginismus dari vestibulodynia yang diprovokasi. Konseptualisasi baru ini juga
memiliki implikasi terapeutik diagnostik yang signifikan karena menunjukkan bahwa pendekatan
multidisiplin dengan mempertimbangkan ketegangan otot, rasa sakit dan ketakutan genital
diperlukan untuk mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi. Tidak mungkin satu profesional pun
bisa memberikan perawatan semacam itu. Tim multidisiplin, termasuk ginekolog, terapis fisik dan

12
psikolog / terapis seks, harus dilibatkan dalam penilaian dan perawatan vaginismus untuk
mengatasi dimensi yang berbeda

Ringkasan
Vaginismus dianggap oleh dokter sebagai kelainan disfungsi seksual wanita yang dapat dipahami
dengan baik dan mudah diobati walaupun kuranganya penelitian yang mendukung klaim ini.
Prevalensi
• Meskipun prevalensi populasi vaginismus masih belum diketahui, telah dilaporkan berkisar
antara 5 dan 17%
Klasifikasi & diagnosis
• Telah ada konsensus 150 tahun mengenai definisi vaginismus sebagai spasme otot vagina
anpa disadari meskipun kurangnya penelitian yang mendukung kriteria spasme otot vagina.
• Wanita dengan vaginismus dapat menunjukkan ketegangan otot dasar panggul yang tinggi
dan / atau mengalami nyeri kelamin dan / atau melaporkan rasa takut pada saat penetrasi
vagina atau nyeri.
• Vaginismus dan dispareunia saat ini dianggap sebagai dua kelainan yang saling
berhubungan meskipun ada temuan empiris yang menunjukkan kedua kondisi tersebut
sangat sulit dibedakan
• Baru-baru ini, definisi baru vaginismus yang mengintegrasikan ketegangan otot panggul,
nyeri dan rasa sakit kelamin telah diajukan.
Etiologi
• Sebagian besar faktor psikologis yang telah diusulkan untuk berperan dalam etiologi
vaginismus (yaitu, pelecehan, faktor hubungan, sikap seksual negatif dan kurangnya
pendidikan seksual) belum mendapat dukungan empiris.
• Meskipun patologi organik dan disfungsi dasar panggul seringkali terlibat dalam
perkembangan vaginismus, mereka belum diselidiki secara empiris.
Terapi
• Pilihan terapi terkini untuk vaginismus meliputi fisioterapi dasar panggul, perawatan
farmakologis, psikoterapi umum dan terapi perilaku seks / kognitif.
• Tingkat keberhasilan untuk berbagai perlakuan umumnya dilaporkan sangat baik meski
tidak didukung hasil studi yang memvalidasi klaim ini.
• Sampai saat ini hanya hasil penelitian perlakuan terkontrol acak yang menyelidiki
keefektifan terapi seks perilaku kognitif untuk vaginismus tidak mendukung anggapan
bahwa vaginismus adalah kondisi yang mudah diobati.
• Pemaparan terapi baru-baru ini berfokus lebih luas pada komponen rasa takut vaginismus
telah menunjukkan hasil yang menjanjikan.
Perspektif masa depan
• Konseptualisasi baru vaginismus sebagai 'kelainan genito-pelvis / kelainan penetrasi',
ditandai dengan ketidakmampuan untuk memiliki hubungan intim / penetrasi, nyeri genito-
pelvis, ketakutan akan hubungan / penetrasi vagina, dan ketegangan otot dasar panggul, telah

13
baru saja diusulkan
• Pendekatan diagnosis diagnostik dan pengobatan multidisipliner untuk vaginismus guna
mengatasi rasa takut, nyeri pada kelamin, ketegangan otot dasar panggul dan kenikmatan
seksual sangat dianjurkan. Keahlian ini tidak mudah dilakukan oleh praktisi perorangan dan
mungkin juga perlu ditangani oleh tim multidisiplin.

14

S-ar putea să vă placă și