Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri; dan (vi)
dan mutu hasil kakao nasional melalui pemberdayaan yang melibatkan seluruh
pemangku kepentingan dan sumberdaya yang ada secara optimal. Gernas kakao
tersebut dilaksanakan selama 3 tahun mulai tahun 2009 – 2011 di 9 provinsi dan
rakyat seluas 450.000 ha yang terdiri dari peremajaan seluas 70.000 ha,
pengendalian hama dan penyakit tanaman seluas 450.000 ha; dan (iv) perbaikan
mutu kakao sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI). Beberapa target
yang ingin dicapai melalui pelaksanaan kebijakan ini adalah: (i) peningkatan
kg/ha/tahun pada tahun 2013; (ii) peningkatan produksi kakao di lokasi gerakan
30.000.000/ha/tahun (2013); (iv) meningkatnya devisa negara dari US$ 494 juta
(2009) menjadi US$ 1.485 juta (2013); dan (v) meningkatnya mutu kakao sesuai
Kebijakan di sektor industri hilir kakao juga sudah mulai menjadi perhatian
industri nasional, industri kakao ditempatkan sebagai salah satu industri prioritas
fasilitas berupa insentif fiskal, insentif non fiskal dan kemudahan lainnya dari
pemerintah. Dalam road map yang disusun oleh Direktorat Jenderal Industri Agro
dalam kurun waktu (2010 – 2014) adalah sebagai berikut: (i) optimalisasi
kapasitas terpasang industri kakao olahan dalam negeri dari 40 persen menjadi
persen; (iii) peningkatan pasokan bahan baku biji kakao fermentasi untuk industri
pengendalian ekspor biji kakao kering sebagai bahan baku industri kakao dalam
negeri; dan (vi) peningkatan ekspor produk kakao olahan rata – rata 16 persen
per tahun.
Dalam upaya pengendalian ekspor biji kakao dan penyediaan bahan baku bagi
ekspor biji kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 67 tahun 2010. Bea
keluar ekspor biji kakao ditetapkan sesuai dengan harga referensi yaitu harga
rata – rata internasional yang berpedoman pada harga rata – rata CIF New York
Board of Trade (NYBOT). Tarif bea keluar biji kakao adalah sebagai berikut: (i)
untuk harga referensi sampai dengan USD 2.000, tarif sebesar nol persen; (ii)
harga referensi USD 2.000 – 2.750, tarif sebesar 5 persen; (iii) harga referensi
USD 2.750 – 3.500, tarif sebesar 10 persen; dan (iv) harga referensi lebih dari
USD 3.500, tarif sebesar 15 persen. Selain bea keluar, pemerintah juga
menetapkan tarif bea masuk untuk biji kakao dan produk olahan kakao. Tarif
MFN bea masuk biji kakao dikenakan sebesar 5 persen, sedangkan produk
negara yang termasuk dalam perjanjian perdagangan bebas ATIGA, ASEANCHINA dan ASEAN-KOREA
tarifnya sudah dihapuskan.
berupa insentif pajak. Melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2007, biji kakao15
kering baik yang difermentasi maupun non fermentasi termasuk kriteria barang
nilai tukar, inflasi, dan lain – lain, berpengaruh secara langsung maupun tidak
internasional. Dalam upaya peningkatan nilai tambah dan daya saing di pasar
strategis dalam menjembatani antar sektor pertanian mulai dari hulu hingga ke
devisa, daya saing, nilai tukar produk hasil pertanian serta penyediaan bahan
hubungannya dengan sektor lain; (iv) kebijakan makro dan mikro ekonomi yang
kurang berpihak kepada agroindustri (Djamhari, 2004). Lebih lanjut, Supriyati dan
masih sederhana sehingga kualitas produk yang dihasilkan rendah; dan (iv)
ditempuh oleh pemerintah. Langkah tersebut adalah: (i) kerja sama agroindustri
berskala besar harus membantu usaha kecil dan produsen; (iii) menghilangkan
agroindustri untuk memberikan pilihan bagi produsen bahan baku (petani) dan
konsumen serta harga yang adil; (v) meningkatkan infrastruktur; (vi) menetapkan
dengan mitra dagang internasional untuk akses pasar dan bantuan teknis.
yaitu kebijakan yang terkait dengan layanan dan kemudahan dalam melakukan
faktor yaitu (i) penerapan kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN); (ii) insentif17
investasi; (iii) penerapan kebijakan harmonisasi tarif bagi produk hilir dan bahan
bakunya; (iv) konsistensi dukungan pemerintah; (v) efisiensi biaya produksi; (vi)
jaminan keamanan investasi; (vii) penelitian dasar; (viii) kualitas bahan baku dan
bahan penolong; (ix) respon sosial; dan (x) supply chain management dan
infrastruktur. Namun, dari 10 faktor tersebut hanya terdapat 4 faktor kunci yaitu
Empat faktor kunci yang diidentifikasi peneliti tersebut dapat dilihat bahwa
semuanya terkait langsung dengan kebijakan fiskal yang dapat dilakukan oleh
terkait dengan harga output lebih efektif dalam pengembangan industri gula.
Indrawanto (2008) menyebutkan bahwa kebijakan larangan ekspor
gelondong jambu mete akan menjamin supply bahan baku untuk agroindustri
jambu mete dalam negeri. Namun, jaminan bahan baku dan tingkat keuntungan
yang tinggi hanya diperoleh industri besar. Di sisi lain, biaya keterjaminan
pasokan bahan baku tersebut akan ditanggung oleh petani sebagai akibat
penurunan suku bunga bank juga menjadi instrumen penting yang dijadikan oleh
kebijakan bea ekspor akan menurunkan harga ekspor buat eksportir sehingga
menekan harga kakao dalam negeri. Kondisi ini menyebabkan harga yang
terbentuk tidak menarik bagi petani sehingga produksi dan ekspor kakao menjadi
turun (Arsyad, 2007). Hasil penelitian Arsyad and Yusuf (2008) juga
adalah mengintegrasikan berbagai sektor dan pelaku yang terlibat dalam sistem
kesempatan kerja dan lain – lain serta memberikan multiplier effect dalam
kaitannya dengan sektor lainnya mulai dari hulu hingga ke hilir. Pengembangan
sektor agroindustri. Peningkatan nilai tambah yang terjadi akibat adanya kegiatan
petani juga dapat menikmati peningkatan nilai tambah yang terjadi melalui
petani.
bagi petani, seperti pelaksanaan contract farming antara petani dengan industri
memberikan stabilitas harga serta mengurangi risiko harga yang dihadapi petani
produktivitas, dan status kepemilikan. Industri yang jauh dari lokasi usahatani
bagi petani, walaupun dalam beberapa kasus dapat memberikan dampak negatif.
yang sangat beragam, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif untuk
sama juga digunakan oleh Fatah (2007) untuk melihat manfaat pengembangan
agroindustri.20
Pendekatan ini juga digunakan oleh Chaidir (2007) untuk membangun model
agroindustri kerapu.
kakao dan pendapatan petani, perlu dilihat sebagai suatu sistem yang bersifat
dinamis dari waktu ke waktu. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Syam, et
memberikan hubungan sebab akibat di antara faktor – faktor yang ada sehingga
dengan dapat diperoleh perilaku dari suatu gejala atau proses di masa yang akan
datang. Untuk itu, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
dinamika sistem.
kebijakan pemerintah harus dilihat sebagai satu sistem yang saling terkait satu
implikasi pada sistem secara keseluruhan sehingga membuat masa depan tidak21
mudah diprediksi (Poppe, 2010). Kondisi tersebut juga seringkali tidak dapat
dijelaskan dengan baik oleh model statis tradisional (Katchova, et al., 2001).
Penggunaan pendekatan dinamika sistem dalam upaya pengembangan
suatu komoditas dan wilayah sudah banyak dilakukan. Wigena, et al., (2009)
aspek yang dikaji yaitu aspek biofisik, ekonomi dan sosial. Pendekatan ini juga
yang optimal dari pengelolaan hutan alam produksi. Skenario jangka panjang
tenaga kerja kehutanan selama 20 tahun juga dapat dihasilkan oleh Purnomo
skenario yang dihasilkan dari model dinamika sistem tersebut dapat dijadikan
dijadikan sebagai skenario yang dapat dijadikan masukan bagi para pengambil
dinamika sistem juga dapat digunakan untuk mengukur tingkat penjualan di masa
yang akan datang dengan cukup baik (Nurhasanah, 2007). Hal tersebut memang
sawit. Dalam membangun modelnya, peneliti membagi dalam 5 sub model yaitu
sumber daya, teknis produksi, pasar dan finansial yang semuanya berpengaruh
Model yang sama juga digunakan Ardana (2009) untuk membangun model
tanaman jarak pagar. Penggunaan model dinamika sistem juga digunakan oleh
digunakan oleh Jan and Hsiao (2004) untuk membangun model pengembangan
tidak dapat berdiri sendiri sehingga harus juga melibatkan alat – alat analisis lain
yang sesuai dengan permasalahan yang ingin diselesaikan. Untuk itu, model