Sunteți pe pagina 1din 13

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Pengembangan Agribisnis Kakao di Indonesia

Kebijakan agribisnis kakao yang diterapkan oleh pemerintah tidak bisa

dilepaskan dari kebijakan perkebunan seperti yang tertuang dalam Undang –

Undang No. 18 tahun 2004. Dengan demikian, tujuan pengembangan agribisnis

kakao tidak bisa dilepaskan dari tujuan penyelenggaraan perkebunan seperti

yang tertuang dalam undang – undang tersebut, yaitu: (i) meningkatkan

pendapatan masyarakat; (ii) meningkatkan penerimaan negara; (iii)

meningkatkan penerimaan devisa negara; (iv) menyediakan lapangan kerja; (v)

meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing; (vi) memenuhi

kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri; dan (vi)

mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan.

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut yang terkait dengan agribisnis

kakao, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan. Kementerian Pertanian

melalui Direktorat Jenderal Perkebunan mulai tahun 2009 melaksanakan

program “Gerakan Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kakao Nasional” (Gernas

kakao) yang merupakan upaya percepatan peningkatan produktivitas tanaman

dan mutu hasil kakao nasional melalui pemberdayaan yang melibatkan seluruh

pemangku kepentingan dan sumberdaya yang ada secara optimal. Gernas kakao

tersebut dilaksanakan selama 3 tahun mulai tahun 2009 – 2011 di 9 provinsi dan

40 kabupaten dengan sasaran sebagai berikut: (i) perbaikan tanaman kakao

rakyat seluas 450.000 ha yang terdiri dari peremajaan seluas 70.000 ha,

rehabilitasi 235.000 ha dan intensifikasi seluas 145.000 ha; (ii) pemberdayaan

petani melalui pelatihan dan pendampingan kepada 450.000 petani; (iii)

pengendalian hama dan penyakit tanaman seluas 450.000 ha; dan (iv) perbaikan
mutu kakao sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI). Beberapa target

yang ingin dicapai melalui pelaksanaan kebijakan ini adalah: (i) peningkatan

produktivitas kakao di lokasi gerakan dari 660 kg/ha/tahun menjadi 1.500

kg/ha/tahun pada tahun 2013; (ii) peningkatan produksi kakao di lokasi gerakan

dari 297.000 ton/tahun menjadi 675.000 ton/tahun; (iii) meningkatnya

pendapatan petani dari Rp. 13.200.000/ha/tahun (2009) menjadi Rp.

30.000.000/ha/tahun (2013); (iv) meningkatnya devisa negara dari US$ 494 juta

(2009) menjadi US$ 1.485 juta (2013); dan (v) meningkatnya mutu kakao sesuai

SNI sebanyak 675.000 ton/tahun (2013).14

Kebijakan di sektor industri hilir kakao juga sudah mulai menjadi perhatian

pemerintah. Melalui Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008 tentang kebijakan

industri nasional, industri kakao ditempatkan sebagai salah satu industri prioritas

tinggi karena dianggap memiliki prospek tinggi untuk dikembangkan berdasarkan

kemampuannya bersaing di pasar internasional dan faktor – faktor produksinya

tersedia di Indonesia. Konsekuensinya adalah industri kakao dapat memperoleh

fasilitas berupa insentif fiskal, insentif non fiskal dan kemudahan lainnya dari

pemerintah. Dalam road map yang disusun oleh Direktorat Jenderal Industri Agro

dan Kimia, Kementerian Perindustrian, sasaran pengembangan industri kakao

dalam kurun waktu (2010 – 2014) adalah sebagai berikut: (i) optimalisasi

kapasitas terpasang industri kakao olahan dalam negeri dari 40 persen menjadi

80 persen; (ii) peningkatan biji kakao fermentasi dari 20 persen menjadi 80

persen; (iii) peningkatan pasokan bahan baku biji kakao fermentasi untuk industri

dalam negeri; (iv) meningkatnya investasi di bidang industri kakao; (v)

pengendalian ekspor biji kakao kering sebagai bahan baku industri kakao dalam

negeri; dan (vi) peningkatan ekspor produk kakao olahan rata – rata 16 persen
per tahun.

Perdagangan kakao juga tidak terlepas dari target kebijakan pemerintah.

Dalam upaya pengendalian ekspor biji kakao dan penyediaan bahan baku bagi

industri dalam negeri, pemerintah menerapkan kebijakan bea keluar untuk

ekspor biji kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 67 tahun 2010. Bea

keluar ekspor biji kakao ditetapkan sesuai dengan harga referensi yaitu harga

rata – rata internasional yang berpedoman pada harga rata – rata CIF New York

Board of Trade (NYBOT). Tarif bea keluar biji kakao adalah sebagai berikut: (i)

untuk harga referensi sampai dengan USD 2.000, tarif sebesar nol persen; (ii)

harga referensi USD 2.000 – 2.750, tarif sebesar 5 persen; (iii) harga referensi

USD 2.750 – 3.500, tarif sebesar 10 persen; dan (iv) harga referensi lebih dari

USD 3.500, tarif sebesar 15 persen. Selain bea keluar, pemerintah juga

menetapkan tarif bea masuk untuk biji kakao dan produk olahan kakao. Tarif

MFN bea masuk biji kakao dikenakan sebesar 5 persen, sedangkan produk

olahan kakao dikenakan tarif sebesar 10 persen. Sedangkan untuk negara –

negara yang termasuk dalam perjanjian perdagangan bebas ATIGA, ASEANCHINA dan ASEAN-KOREA
tarifnya sudah dihapuskan.

Kebijakan lain dalam upaya pengembangan agribisnis kakao adalah

berupa insentif pajak. Melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2007, biji kakao15

kering baik yang difermentasi maupun non fermentasi termasuk kriteria barang

hasil pertanian yang bersifat strategis sehingga dibebaskan dari pengenaan

pajak pertambahan nilai. Selain kebijakan yang langsung terkait dengan

komoditas kakao, berbagai kebijakan pemerintah, baik fiskal maupun moneter,

seperti subsidi pertanian secara umum, pembangunan infrastruktur, kebijakan

nilai tukar, inflasi, dan lain – lain, berpengaruh secara langsung maupun tidak

langsung terhadap perkembangan agribisnis kakao. Setiap jenis kebijakan juga


akan memberikan dampak yang berbeda – beda bagi setiap pihak yang terkait.

2.2 Kebijakan Pengembangan Agroindustri

Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai

produsen komoditas pertanian, terutama dari subsektor perkebunan yang selama

ini dijadikan sebagai komoditas andalan ekspor dalam perdagangan

internasional. Dalam upaya peningkatan nilai tambah dan daya saing di pasar

internasional, kegiatan agroindustri memegang peranan yang sangat penting,

termasuk dalam upaya pengembangan sektor agribisnis secara keseluruhan dan

peningkatan pendapatan petani. Peran agroindustri memiliki nilai yang sangat

strategis dalam menjembatani antar sektor pertanian mulai dari hulu hingga ke

hilir, sehingga pengembangan agroindustri yang tepat diharapkan mampu

meningkatkan penyerapan tenaga kerja, pendapatan petani, volume ekspor dan

devisa, daya saing, nilai tukar produk hasil pertanian serta penyediaan bahan

baku industri. Secara makro, Susilowati (2007) menyebutkan bahwa agroindustri

mempunyai peran lebih besar terhadap peningkatan output, PDB dan

penyerapan tenaga kerja. Untuk itu, kebijakan mengenai pengembangan

agroindustri menjadi sangat penting.

Permasalahan umum yang dihadapi dalam upaya pengembangan

agroindustri di Indonesia adalah (i) masih rendahnya produktivitas dan daya

saing; (ii) keterbatasan kapasitas dan kemampuan pelaku agroindustri untuk

menghimpun sumberdaya dalam rangka meningkatkan posisi tawarnya; (iii)

lemahnya keterkaitan struktural agroindustri, baik secara internal maupun dalam

hubungannya dengan sektor lain; (iv) kebijakan makro dan mikro ekonomi yang

kurang berpihak kepada agroindustri (Djamhari, 2004). Lebih lanjut, Supriyati dan

Suryani (2006) menyebutkan bahwa pengembangan agroindustri mengalami


berbagai kendala seperti (i) tidak terjaminnya kontinuitas dan kualitas pasokan

produk pertanian sebagai sumber bahan baku industri, (ii) keterbatasan16

kemampuan sumberdaya manusia; (iii) teknologi yang digunakan sebagian besar

masih sederhana sehingga kualitas produk yang dihasilkan rendah; dan (iv)

kemitraan antara agroindustri skala kecil dengan skala besar/sedang belum

berkembang. Implikasi dari berbagai permasalahan tersebut adalah perlunya

kebijakan dari pemerintah yang mampu menjembatani permasalahan tersebut

menjadi potensi dan peluang untuk pengembangan agroindustri.

Dalam upaya pengembangan agroindustri suatu komoditas, Hanson and

Cranfield (2009) menyebutkan ada beberapa langkah strategis yang harus

ditempuh oleh pemerintah. Langkah tersebut adalah: (i) kerja sama agroindustri

pada setiap tingkatan sektor/subsektor dalam menyusun kegiatannya untuk

meningkatkan daya saing di pasar domestik dan internasional; (ii) agroindustri

berskala besar harus membantu usaha kecil dan produsen; (iii) menghilangkan

hambatan kelembagaan; (iv) memastikan persaingan yang efektif antar pelaku

agroindustri untuk memberikan pilihan bagi produsen bahan baku (petani) dan

konsumen serta harga yang adil; (v) meningkatkan infrastruktur; (vi) menetapkan

kerangka regulasi yang memfasilitasi investasi dan mendorong persaingan antar

perusahaan agroindustri serta melindungi petani dan konsumen; (vii)

melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan; dan (viii) bernegosiasi

dengan mitra dagang internasional untuk akses pasar dan bantuan teknis.

Untuk mendorong daya saing agroindustri, kebijakan pemerintah

memegang peranan kunci. Christy, et al., (2009) membagi 3 jenis kebijakan

pemerintah dalam upaya meningkatkan daya saing agroindustri di negara

berkembang. Pertama, Essential Enablers, yaitu kebijakan yang terkait dengan


perdagangan, infrastruktur serta kepemilikan lahan dan property rights. Kedua,

Important enablers, yaitu kebijakan yang terkait dengan layanan finansial,

penelitian dan pengembangan, standar dan regulasi. Ketiga, Useful enablers,

yaitu kebijakan yang terkait dengan layanan dan kemudahan dalam melakukan

bisnis. Banyaknya peranan pemerintah dalam menciptakan lingkungan bisnis

agroindustri yang berdaya saing menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah

menjadi faktor kunci pengembangan agroindustri nasional.

Pentingnya kebijakan pemerintah dalam upaya pengembangan

agroindustri spesifik komoditas juga banyak ditunjukkan melalui berbagai hasil

penelitian. Suprihatini, et al., (2004) menyebutkan bahwa upaya percepatan

pengembangan agroindustri komoditas perkebunan dipengaruhi oleh beberapa

faktor yaitu (i) penerapan kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN); (ii) insentif17

investasi; (iii) penerapan kebijakan harmonisasi tarif bagi produk hilir dan bahan

bakunya; (iv) konsistensi dukungan pemerintah; (v) efisiensi biaya produksi; (vi)

jaminan keamanan investasi; (vii) penelitian dasar; (viii) kualitas bahan baku dan

bahan penolong; (ix) respon sosial; dan (x) supply chain management dan

infrastruktur. Namun, dari 10 faktor tersebut hanya terdapat 4 faktor kunci yaitu

PPN, insentif investasi, konsistensi dukungan pemerintah dan harmonisasi tarif.

Empat faktor kunci yang diidentifikasi peneliti tersebut dapat dilihat bahwa

semuanya terkait langsung dengan kebijakan fiskal yang dapat dilakukan oleh

pemerintah. Pendapat ini konsisten dengan hasil penelitian Sinaga dan

Susilowati (2007) dan Suprihatni (2004) yang menyebutkan bahwa kebijakan

ekspor, investasi/permodalan dan insentif pajak perlu difokuskan kepada sektor

agroindustri. Sementara itu, Susila (2005) menyebutkan bahwa kebijakan yang

terkait dengan harga output lebih efektif dalam pengembangan industri gula.
Indrawanto (2008) menyebutkan bahwa kebijakan larangan ekspor

gelondong jambu mete akan menjamin supply bahan baku untuk agroindustri

jambu mete dalam negeri. Namun, jaminan bahan baku dan tingkat keuntungan

yang tinggi hanya diperoleh industri besar. Di sisi lain, biaya keterjaminan

pasokan bahan baku tersebut akan ditanggung oleh petani sebagai akibat

semakin sempitnya pasar gelondong yang menyebabkan harga gelondong

menjadi rendah. Penghapusan larangan ekspor dan insentif moneter seperti

penurunan suku bunga bank juga menjadi instrumen penting yang dijadikan oleh

Sukmananto (2007) untuk meningkatkan kinerja industri pengolahan kayu.

Sementara itu, Munandar, et al., (2008) mengarahkan kebijakan difokuskan

kepada penetapan standar mutu, pengendalian nilai tukar, penetapan tingkat

suku bunga, liberalisasi perdagangan dan pengembangan teknologi.

Sementara itu, terkait dengan agribisnis kakao, kebijakan subsidi pupuk

memberikan dampak positif terhadap produksi dan ekspor kakao. Sedangkan

kebijakan bea ekspor akan menurunkan harga ekspor buat eksportir sehingga

menekan harga kakao dalam negeri. Kondisi ini menyebabkan harga yang

terbentuk tidak menarik bagi petani sehingga produksi dan ekspor kakao menjadi

turun (Arsyad, 2007). Hasil penelitian Arsyad and Yusuf (2008) juga

menunjukkan bahwa kebijakan penurunan tingkat suku bunga mampu

mendorong ekspor dan produksi kakao Indonesia.

Secara umum, Rossi (2004) menyebutkan bahwa langkah penting yang

harus dilakukan pemerintah dalam upaya pengembangan sistem agroindustri18

adalah mengintegrasikan berbagai sektor dan pelaku yang terlibat dalam sistem

agroindustri sehingga dapat dihadirkan koordinasi dan tindakan kolektif untuk

menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada dalam sistem agroindustri


tersebut. Hal senada juga disampaikan oleh Sa’id (2010) yang menyebutkan

bahwa dalam penyusunan kebijakan pengembangan sistem agroindustri kakao,

pemerintah harus mampu memuaskan semua pihak yang terlibat terutama

masyarakat petani kecil.

2.3 Dampak Pengembangan Agroindustri terhadap Pendapatan Petani

Pengembangan agroindustri dilakukan dalam rangka peningkatan nilai

tambah suatu komoditas sehingga mampu mendorong peningkatan output, PDB,

kesempatan kerja dan lain – lain serta memberikan multiplier effect dalam

kaitannya dengan sektor lainnya mulai dari hulu hingga ke hilir. Pengembangan

agroindustri secara langsung berdampak pada kegiatan pertanian primer

mengingat subsistem usahatani merupakan pemasok bahan baku utama bagi

sektor agroindustri. Peningkatan nilai tambah yang terjadi akibat adanya kegiatan

agroindustri seharusnya juga terdistribusi kepada subsistem usahatani sehingga

petani juga dapat menikmati peningkatan nilai tambah yang terjadi melalui

peningkatan harga komoditas yang berujung pada peningkatan pendapatan

petani.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kegiatan agroindustri mampu

meningkatkan pendapatan petani. Namun, ada beberapa penelitian yang

menunjukkan hal sebaliknya. Oladipo (2008) menyebutkan bahwa

pengembangan agroindustri kelapa sawit berdampak positif terhadap

kesejahteraan petani secara langsung maupun tidak langsung melalui perbaikan

infrastruktur. Selanjutnya penelitian Gandhi, et al., (2001) menunjukkan bahwa

keberadaan sektor agroindustri berkontribusi sangat signifikan terhadap

peningkatan pendapatan petani kecil dan tenaga kerja pedesaan sehingga

sangat berperan dalam mengentaskan kemiskinan. Sementara itu, Fatah (2007)


menyebutkan bahwa kegiatan agroindustri dapat membantu petani kecil untuk

tetap survive dan meningkatkan kesejahteraannya. Dampak positif

pengembangan agroindustri terhadap pendapatan petani juga ditunjukkan

melalui penelitian yang dilakukan Susilowati, et al., (2007); Sundari (2000);

Winarti, et al., (2005).19

Kegiatan agroindustri juga dapat memberikan peluang dan tantangan baru

bagi petani, seperti pelaksanaan contract farming antara petani dengan industri

pengolahan (Dhillon and Singh, 2006). Contract farming tersebut dapat

memberikan stabilitas harga serta mengurangi risiko harga yang dihadapi petani

sehingga dapat memberikan konsistensi dan kejelasan pendapatan petani.

Sementara itu, Kilkenny and Schulter (2001) menyebutkan bahwa dampak

agroindustri terhadap pendapatan petani sangat tergantung pada lokasi industri,

produktivitas, dan status kepemilikan. Industri yang jauh dari lokasi usahatani

tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan petani.

Dampak negatif kebijakan pengembangan agroindustri disampaikan oleh

Indrawanto (2008). Dalam penelitiannya, penulis menyebutkan bahwa adanya

instrumen larangan ekspor untuk merangsang kegiatan agroindustri dapat

berdampak buruk bagi pendapatan petani.

Berbagai uraian di atas dapat dilihat bahwa pengembangan agroindustri

pada dasarnya dapat meningkatkan pendapatan dan memberikan dampak positif

bagi petani, walaupun dalam beberapa kasus dapat memberikan dampak negatif.

Namun demikian, kebijakan – kebijakan yang dilakukan pemerintah guna

merangsang tumbuhnya aktivitas agroindustri kakao di Indonesia selayaknya

tidak mengorbankan petani.

2.4 Pendekatan Analisis Kebijakan Pertanian untuk Pengembangan


Agroindustri

Penelitian mengenai kebijakan pengembangan agroindustri sudah banyak

dilakukan. Penelitian-penelitian tersebut menggunakan pendekatan dan model

yang sangat beragam, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif untuk

menjawab tujuan penelitiannya. Suprihatini, et al., (2004) menggunakan analisis

prospektif untuk menentukan faktor- faktor kebijakan kunci dalam mempercepat

pengembangan industri hilir perkebunan. Sinaga dan Susilowati (2007)

menggunakan model Social Accounting Matrix (SAM) untuk menganalisis

skenario kebijakan pemerintah terhadap pengembangan agroindustri. Susilowati,

et al., (2007) menggunakan analisis dekomposisi indeks Theil terhadap hasil

model Social Accounting Matrix (SAM) untuk melihat distribusi pendapatan

rumah tangga akibat kebijakan dalam pengembangan agroindustri. Metode yang

sama juga digunakan oleh Fatah (2007) untuk melihat manfaat pengembangan

agroindustri.20

Sementara itu, Sundari (2000) menggunakan analisis model Input – Ouput

untuk melihat dampak agroindustri terhadap pendapatan petani dengan melihat

keterkaitan sektor usahatani tebu dengan industri gula. Analisis korelasi

digunakan oleh Oladipo (2008) untuk melihat dampak agroindustri terhadap

pengembangan pedesaan baik pada level komunitas maupun personal.

Sedangkan Mariana (2005) menggunakan pendekatan dinamika sistem dalam

menyusun sistem penunjang keputusan dalam industri biodiesel kelapa sawit.

Pendekatan ini juga digunakan oleh Chaidir (2007) untuk membangun model

agroindustri kerapu.

Berbagai pendekatan yang digunakan tersebut memiliki keunggulan dan

kelemahan masing – masing. Untuk menganalisis dampak kebijakan Gernas


kakao dan penetapan bea ekspor kakao terhadap pengembangan agroindustri

kakao dan pendapatan petani, perlu dilihat sebagai suatu sistem yang bersifat

dinamis dari waktu ke waktu. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Syam, et

al.,(2006) yang menyebutkan bahwa strategi pengembangan agroindustri

berbasis kakao di Indonesia seharusnya dilakukan melalui pendekatan sistem

sehingga pendekatannya lebih menyeluruh, terintegrasi dan bersinergi antar

komponen yang terkait. Eriyatno dan Sofwar (2007) menyebutkan bahwa

pendekatan dinamika sistem dapat menjelaskan struktur suatu sistem yang

memberikan hubungan sebab akibat di antara faktor – faktor yang ada sehingga

dengan dapat diperoleh perilaku dari suatu gejala atau proses di masa yang akan

datang. Untuk itu, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model

dinamika sistem.

2.5 Pendekatan Dinamika Sistem untuk Merumuskan Strategi dan Kebijakan

Pengembangan Komoditas dan Industri

Pengembangan agroindustri kakao yang dirangsang melalui berbagai

kebijakan pemerintah harus dilihat sebagai satu sistem yang saling terkait satu

sama lain. Upaya pengembangan agroindustri kakao juga melibatkan subsistem

lain seperti subsistem usahatani, perdagangan dan kebijakan pemerintah dalam

konteks agribisnis kakao secara keseluruhan yang dinamis dari waktu – ke

waktu. Untuk itu, keterkaitan antara berbagai kebijakan pemerintah, agroindustri

kakao dan pendapatan petani dapat menggunakan pendekatan sistem yang

dinamis. Perubahan yang terjadi dalam satu bagian sistem/subsistem memiliki

implikasi pada sistem secara keseluruhan sehingga membuat masa depan tidak21

mudah diprediksi (Poppe, 2010). Kondisi tersebut juga seringkali tidak dapat

dijelaskan dengan baik oleh model statis tradisional (Katchova, et al., 2001).
Penggunaan pendekatan dinamika sistem dalam upaya pengembangan

suatu komoditas dan wilayah sudah banyak dilakukan. Wigena, et al., (2009)

berhasil merancang model berkelanjutan pengelolaan kebun kelapa sawit plasma

yang berkelanjutan untuk periode 25 tahun serta mampu memenuhi semua

aspek yang dikaji yaitu aspek biofisik, ekonomi dan sosial. Pendekatan ini juga

digunakan Letaubun, et al., (2005) untuk menentukan pengembalian ekonomi

yang optimal dari pengelolaan hutan alam produksi. Skenario jangka panjang

tenaga kerja kehutanan selama 20 tahun juga dapat dihasilkan oleh Purnomo

(2006) dengan menggunakan model dinamika sistem. Disain strategi dan

skenario yang dihasilkan dari model dinamika sistem tersebut dapat dijadikan

sebagai bahan evaluasi tindakan/kebijakan pada masa yang akan datang

sehingga dapat diantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi (Zuhdi, 2007).

Model dinamika sistem juga banyak digunakan untuk melakukan simulasi

berbagai alternatif dalam menyelesaikan suatu masalah. Simulasi tersebut dapat

dijadikan sebagai skenario yang dapat dijadikan masukan bagi para pengambil

kebijakan (Purnomo, 2003). Irawan (2005) menggunakan model dinamika sistem

untuk menganalisis dan melakukan simulasi ketersediaan beras nasional. Dalam

analisisnya penulis menggunakan peubah luas lahan padi, produksi padi,

ketersediaan beras, kebutuhan beras, surplus/defisit dan pertambahan jumlah

penduduk. Nurmalina (2007) juga menganalisis model neraca ketersediaan beras

di masa yang akan datang berdasarkan pendekatan dinamika sistem. Simulasi

dinamika sistem juga dapat digunakan untuk mengukur tingkat penjualan di masa

yang akan datang dengan cukup baik (Nurhasanah, 2007). Hal tersebut memang

memungkinkan dihasilkan dari simulasi model dinamika sistem, karena dengan

model tersebut hubungan antara keputusan/kebijakan dengan dampak yang


akan dihasilkan dapat dipetakan (Hidayanto and Halim, 2004).

Mariana (2005) menggunakan model dinamika sistem untuk merumuskan

strategi dan program pengembangan investasi pada industri biodiesel kelapa

sawit. Dalam membangun modelnya, peneliti membagi dalam 5 sub model yaitu

sumber daya, teknis produksi, pasar dan finansial yang semuanya berpengaruh

terhadap kelayakan investasi dan menunjukkan keterkaitan satu sama lain.

Model yang sama juga digunakan Ardana (2009) untuk membangun model

pengelolaan energi berwawasan lingkungan dengan kasus pengembangan22

tanaman jarak pagar. Penggunaan model dinamika sistem juga digunakan oleh

Chen and Jan (2005) untuk membuat model pengembangan industri

semikonduktor. Pengembangan industri yang diukur dalam model adalah

pertumbuhan penjualan dan profitabilitas industri. Model yang sama juga

digunakan oleh Jan and Hsiao (2004) untuk membangun model pengembangan

industri otomotif. Salah satu ukuran pengembangan industri yang digunakan

adalah volume penjualan dan pangsa pasar.

Model dinamika sistem mampu memberikan banyak manfaat dalam

menganalisis suatu permasalahan. Namun demikian, model dinamika sistem

tidak dapat berdiri sendiri sehingga harus juga melibatkan alat – alat analisis lain

yang sesuai dengan permasalahan yang ingin diselesaikan. Untuk itu, model

harus dibangun untuk memecahkan suatu masalah sehingga harus terintegrasi

ke dalam upaya penyelesaian masalah sejak awal (Sterman, 2000).

S-ar putea să vă placă și