Sunteți pe pagina 1din 37

PRESENTASI KASUS

TUBERKULOSIS PARU RESISTEN RIFAMPISIN

Dokter Pembimbing:
dr. Yahya, Sp. P

Disusun Oleh:
Asri Rahmani (1102014044)
Rhea Renata A. (1102012243)
Wahyuni Herda (1102014278)

Ilmu Penyakit Paru


Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
RS Bhayangkara Tk. I R. Said Sukanto
10 September 2018 – 17 November 2018
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Ny. A
Jenis kelamin : Perempuan
Nomor RM : 618293
Umur : 51 Tahun
Alamat : Kampung Pulo, Jakarta Timur
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Status Pernikahan : Sudah Menikah
Status Pekerjaan : IRT
Tanggal Masuk : 27 Oktober 2018
Tanggal Keluar : 30 Oktober 2018
Ruangan : Parkit 1

II. ANAMNESIS
Keluhan utama
Pasien datang ke IGD RS POLRI mengeluh sesak yang memberat sejak 2 minggu
SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RS POLRI mengeluh sesak yang memberat sejak 2
minggu SMRS. Sesak yang dirasakan pasien mulai timbul dan dirasakan kembali sejak
4 bulan yang lalu. Sesak dirasa seperti nafas yang tidak dapat keluar, sesak dipengaruhi
oleh aktivitas, sering muncul jika pasien batuk. Sesak yang dirasakan pasien semakin
lama semakin memberat, hilang timbul namun sering muncul. Ketika sesak pasien tidak
dapat berbaring sama sekali, dan cenderung duduk untuk mengurangi sesak. atau
menggunakan 2 bantal jika ingin beristirahat.
Pasien juga mengeluh batuk kering sejak 4 bulan yang lalu, dan saat batuk
pasien bertambah sesak, tidak disertai nyeri dada dan batuk darah disangkal. Pasien
juga mengeluh demam sepanjang hari disertai menggigil dan berkeringat, lemas, berat

1
badan turun drastis yaitu 17 kg disertai nafsu makan menurun. Nafsu makan pasien
membaik setelah dirawat dirumah sakit.

Riwayat Penyakit Dahulu


Terdapat riwayat diabetes mellitus sejak 2 tahun yang lalu dan berobat teratur.
Riwayat hipertensi, asma, dan penyakit jantung disangkal.

Riwayat Pengobatan
Sebelumnya pasien mendapat pengobatan TB di RS Dik Pusdikkes, namun pasien
tidak mengetahui obats yang diberikan dalam perawatan sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak terdapat keluarga yang tinggal serumah maupun orang sekitar yang mengalami
sakit serupa dengan pasien, namun kakak kandung pasien yang tinggal di rumah yang
berbeda pernah mendapatkan pengobatan OAT selama 6 bulan.

III. ANAMNESIS UMUM


A. Keluhan Umum
Perasaan nyeri : (-)
Rasa lelah : (+)
Berat badan : 40 kg
Panas badan : 37,5 oC
Bengkak : (-)
Ikterus : (-)
Nafsu makan : Menurun (membaik saat dirumah sakit)
Rasa lemas : (+)
Rasa haus : Normal
Tidur : Sulit tidur

B. Keluhan Kepala
Pengelihatan di waktu siang : dalam batas normal
Pengelihatan di malam hari : dalam batas normal
Berkunang-kunang : dalam batas normal

2
Sakit pada mata : (-)
Pendengaran : dalam batas normal
Keseimbangan : dalam batas normal
Kotoran Telinga : dalam batas normal
Hidung : Darah : (-)
Lendir : (-)
Nyeri : (-)
Lidah : dalam batas normal
Gigi : dalam batas normal
Gangguan Bicara : (-)
Gangguan Menelan : (-)

C. Keluhan Alat di Leher


Kaku kuduk : (-)
Pembesaran/nyeri kel. limfe : (-)
Pembesaran/nyeri kel. tyroid : (-)
Pembengkakan leher : (-)

D. Keluhan Alat di Dada


Sesak nafas : (+)
Sesak nafas malam hari : (+)
Ortopneu : (+)
Nyeri waktu bernafas : (-)
Bunyi waktu bernafas : (-)
Nafas berbunyi : (-)
Nyeri daerah jantung : (-)
Berdebar-debar : (+)
Nyeri retrosternal : (-)
Batuk : (+) (paling berat malam)
Dahak : (-)
Hemoptoe : (-)

E. Keluhan di Perut
Membesar : (-)
3
Mengecil : (-)
Nyeri spontan : (-)
Nyeri tekan : (-)
Nyeri bila makan : (-)
BAB : dalam batas normal
BAK : dalam batas normal
Lapar : (-)
Mual : (-)
Muntah : (-)
Obstipasi : (-)
Melena : (-)
Feses : (-)
Urin Warna : Kuning jernih
Frekuensi : sering
Jumlah : dalam batas normal
Nocturia : (-)
Inkontinensia Urin : (-)

F. Keluhan di Kaki
Gerakan tangan terganggu : (-)
Gerakan kaki terganggu : (-)
Nyeri spontan : (-)
Gangguan sendi : (-)
Nyeri tekan : (-)
Kesemutan : (-)
Luka-luka : (-)
Gangrene : (-)
Edema : (-)
Nekrosis : (-)
Kelaninan kuku : (-)
Kelainan Kulit : (-)

G. Keluhan Lain
Alat Lokomotorik : (-)
4
Tulang : (-)
Otot : (-)
Kelenjar Limfe : (-)
Hipertyroid : (-)
Hipotyroid : (-)
Endokrin : (-)
Lain-lain : (-)

IV. PEMERIKSAAN UMUM


Kesadaran Umum
Kesadaran : Composmentis
Keadaan Gizi : 17,31 IMT kg/m2 (Gizi Kurang)
Anemia : (+)
Ikterus : Tidak ditemukan
Sianosis : Tidak ditemukan
Edema : Tidak ditemukan
Afonia : Tidak ditemukan
Afasia : Tidak ditemukan

Kedaan Peredaran Darah


Tekanan : 110/80 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Irama Nadi : Regular

Keadaan Pernapasan
Frekuensi : 25 x/menit
Inspirasi : dalam batas normal
Ekspirasi : dalam batas normal
Nafas berbunyi : (-)

V. PEMERIKSAAN KHUSUS
Kepala
Bentuk : Normocephal

5
Nyeri Tekan : (-)
Pusing : (-)
Lain-lain : (-)
Muka
Otot : dalam batas normal
Kel. Kulit : dalam batas normal
Tumor : (-)
Oedem : (-)
Kakheksia : (-)
Kel. Parotis : (-)
Hidung
Bentuk : dalam batas normal
Lendir : dalam batas normal
Darah : (-)
Meatus : dalam batas normal
Hidung
Besar : dalam batas normal
Bentuk : dalam batas normal
Papil : dalam batas normal
Frenulum : dalam batas normal
Pergerakan : dalam batas normal
Mata
Pergerakan : dalam batas normal
Ikterus : dalam batas normal
Reflex cahaya : (+/+)
Pupil : isokor
Kornea : sikatrik (-),
Konvergensi : dalam batas normal
Konjungtiva : anemis (+/+), sklera ikterik (-)
Telinga
Cairan : (-)
Pendengaran : baik
Faring
Mukosa : tidak hiperemis, tidak ada massa
6
Tonsil : T1/T1
Dinding : tidak hiperemis, tidak ada massa
Uvula : tidak hiperemis, tidak deviasi
Leher
Inspeksi : pembesaran organ (-)
Palpasi : pembearan KGB (-), pembesaran tiroid (-), trakea
ditengah
Axilla
Inspeksi : pembesaran KGB (-)
Palpasi : teraba KGB (-)
Thorax Depan
Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris
kanan-kiri warna kulit normal, penggunaan otot bantu
nafas (+), terdapat purse lips breathing (-), Barrel Chest
(-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), pergerakan dinding dada simetris,
fremitus vokal simetris (-), thrill (-), Iktus cordis (+)
lokalisasi ± 2 jari dibawah papila mamae ke arah lateral.
Perkusi : Hipersonor, diphragma rendah/datar
Auskultasi : Suara nafas; vesikuler +/+ (melemah/menurun),
wheezing (-/-), rhonki (+/-).
Thorax Belakang
Inspeksi : Dalam batas normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), fremitus vokal N/N (melemah)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru kanan
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+ (melemah/menurun),
wheezing (-/-), rhonki (+/-).
Abdomen
Inspeksi : Bentuk normal, simetris, sikatrik (-).
Auskultasi : Suara usus normal, tidak terdapat suara aliran dalam
pembuluh darah.
Palpasi : Nyeri tekan (-), defans muscular (-), ascites (-), massa
(-)
Perkusi : Shifting dullness (-)
7
Regio Inguinal dan Genital
Tidak Diperiksa

Ekstremitas Atas dan Bawah


Kulit : Normal
Otot : Normal
Tulang : Normal
Nyeri tekan : Normal
Edema : Normal
Tremor : Normal
Saraf
Refleks Patologis : -/-
Perasaan di Tangan : N/N
Perasaan di Kaki : N/N
Tes Sensibilitas : Normal

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 26/10/2018
Hematologi

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

Hemoglobin 8,4* 13.0-16.0 g/dL

Hematokrit 24* 37 – 43 %

Leukosit 16.400* 5.000 – 10.000 /L

Trombosit 642.000* 150.000 – 400.000 /L

Tanggal 27/10 /2018

Kimia klinis
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
SGOT/AST 12,7 <31 U/L

8
SGPT/ALT 10,8 <31 U/L
Ureum 14 10 – 50 mg/dl
Creatinine 0,8 0,5 – 1,5 mg/dl
Estimasi GFR 112 >= 90 ml/min/1,73 m2
GDS 182 <200 mg/dl
Elekrolit
Natrium 130* 135 - 145 mmol/l
Kalium 3,9 3,5 - 5,0 mmol/l
Chlorida 95* 98 – 108 mmol/l

Urine Lengkap
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Warna Kuning
Kejernihan Jernih
Reaksi/pH 6,0 5 – 8,5
Berat Jenis 1,020 1,000 – 1,030
Protein - Negatif
Bilirubin - Negatif
Glukosa - Negatif
Keton - Negatif
Darah / Hb - Negatif
Nitrit - Negatif
Urobilinogen 0,1 0,1 – 1,0 IU
Leukosit - Negatif
Sedimen
Leukosit 1-2 0–5 /LPB
Eritrosit 0-1 1–3 /LPB
Sel epitel +

Silinder - /LPK
Kristal -
Lain-lain -

9
Tanggal 27/10 /2018

Kimia klinis
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
GDS 184 <200 mg/dl

Tanggal 28/10 /2018

Kimia klinis
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
GDS 194 <200 mg/dl
Mikrobiologi
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
S-P-S
BTA Sewaktu 2 positif Negatif
BTA Pagi 2 positif Negatif
BTA Sewaktu 1 positif Negatif
Pewarnaan Gram
Sel leukosit Banyak/LPI*
Sel epitel Sedikit (1-2/LPI)
Kuman batang
Gram positif Tidak ditemukan
Gram negative 3-5/LPI
Kuman kokus
Gram positif Tidak ditemukan
Gram negative Tidak ditemukan
Kuman tetrakokus Tidak ditemukan
Kuman kokobasil
Gram negative Tidak ditemukan
Expert MTB-Rif Assay G4
(in vitro diagnostic) RIFRES* Not detected

Xpert MTB-RIF Assay


MTB detected medium
Rif Resistance Detected

10
Pemeriksaan Radiologi
Rontgen Thorax
Hasil :
Sinus/diafragma baik
Mediastinum tidak melebar
Jantung kesan baik
Paru : perselubungan hampir
homogeny
Parahiler kanan : hilus kalsifikasi
(+)

Kesan : Pneumonia dextra, spesifik


(?)

VII. PEMERIKSAAN FISIK


Kesadaran : CM
Tekanan darah : 110/80 mmHG
Nadi : 86 x/ menit
Respirasi : 25 x/ menit
Suhu Axilla : 37,5 0C
Status general
Mata : CA +/+, SI-/-
THT : dalam batas normal
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : Rhonki +/-, Wheezing -/-
Abdomen : asites (-)

VIII. RESUME
Pasien mengeluh sesak yang memberat sejak 2 minggu SMRS. Sesak yang
dirasakan pasien hilang timbul sejak 4 bulan yang lalu. Sesak dirasa seperti nafas yang
tidak dapat keluar, dipengaruhi oleh aktivitas, sering muncul jika pasien batuk, semakin
lama semakin memberat, hilang timbul namun sering muncul. Ketika sesak pasien tidak

11
dapat berbaring sama sekali, dan cenderung duduk untuk mengurangi sesak. atau
menggunakan 2 bantal jika ingin beristirahat. Keluhan lainnya adalah batuk kering
sejak 4 bulan yang lalu, tidak disertai nyeri dada dan batuk darah disangkal. Pasien juga
mengeluh demam sepanjang hari disertai menggigil dan berkeringat, lemas, berat badan
turun drastis yaitu 17 kg disertai nafsu makan menurun.
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium didapatkan, Hematologi (Hb 8,4 ;
leukosit 16.400; trombosit 642.000), Kimia klinik (GDS: 184; SGOT: 12,7; SGPT:
10,8), Mikrobiologi (BTA SPS: 3 positif), pewarnaan gram (sel leukosit: banyak/LPI),
Xpert MTB-RIF assay G4 (MTB detected medium; RIFRES*).

IX. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis Kerja : TB Paru Resisten Rifampisin
Diagnosis Banding : Pneumonia

X. PENATALAKSANAAN
Tanggal 27/10/2018
 IVFD RL 20 tpm
 Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg IV
 Injeksi Seftriakson 1 x 2 gr IV
 Injeksi Ondansentron 3 x 4 mg IV
 Tab. Sangobion 1 x 30 mg PO
 Tab. Sucralfat 4 x 500 mg PO
 Tab. Curcuma 3 x 200 mg PO
 Tab. B-6 2 x 10 mg PO
 Tab. Metformin 3 x 500 mg PO
 Tab. Acarbose 3 x 50 mg PO
 Tab. Rifampisin 1 x 450 mg PO
 Tab. Etambutol 1 x 1000 mg PO
 Tab. Isoniazid 1 x 300 mg PO
 Tab. Pirazinamid 1x 1000 mg PO

12
Tanggal 28/10/2018
 IVFD RL 20 tpm
 Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg IV
 Injeksi Seftriakson 1 x 2 gr IV
 Injeksi Ondansentron 3 x 4 mg IV
 Tab. Sangobion 1 x 30 mg PO
 Tab. Sucralfat 4 x 500 mg PO
 Tab. Curcuma 3 x 200 mg PO
 Tab. B-6 2 x 10 mg PO
 Tab. Metformin 3 x 500 mg PO
 Tab. Acarbose 3 x 50 mg PO
 Tab. Rifampisin 1 x 450 mg PO
 Tab. Etambutol 1 x 1000 mg PO
 Tab. Isoniazid 1 x 300 mg PO
 Tab. Pirazinamid 1x 1000 mg PO

Tanggal 29/10/2018
 IVFD RL 20 tpm
 Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg IV
 Injeksi Seftriakson 1 x 2 gr IV
 Injeksi Ondansentron 3 x 4 mg IV
 Tab. Sangobion 1 x 30 mg PO
 Tab. Sucralfat 4 x 500 mg PO
 Tab. Curcuma 3 x 200 mg PO
 Tab. B-6 2 x 10 mg PO
 Tab. Metformin 3 x 500 mg PO
 Tab. Acarbose 3 x 50 mg PO
 Tab. Rifampisin 1 x 450 mg PO
 Tab. Etambutol 1 x 1000 mg PO
 Tab. Isoniazid 1 x 300 mg PO
 Tab. Pirazinamid 1x 1000 mg PO

13
Tanggal 30/10/2018
 IVFD RL 20 tpm
 Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg IV
 Injeksi Seftriakson 1 x 2 gr IV
 Injeksi Ondansentron 3 x 4 mg IV
 Tab. Sangobion 1 x 30 mg PO
 Tab. Sucralfat 4 x 500 mg PO
 Tab. Curcuma 3 x 200 mg PO
 Tab. B-6 2 x 10 mg PO
 Tab. Metformin 3 x 500 mg PO
 Tab. Acarbose 3 x 50 mg PO
 Tab. Rifampisin 1 x 450 mg PO (stop)
 Tab. Etambutol 1 x 1000 mg PO
 Tab. Isoniazid 1 x 300 mg PO
 Tab. Pirazinamid 1x 1000 mg PO

XI. RENCANA DIAGNOSTIK


Biakan dan identifikasi kuman Mycobacterium tuberculosis

XII. RENCANA MONITORING


Tanda – tanda Vital

XIII. PROGNOSIS
- Quo ad Vitam : ad bonam
- Quo ad Sanactionam : dubia ad malam
- Quo ad Functionam : dubia ad malam

14
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberkulosis
1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis complex (PDPI, 2006). Mycobacterium tuberculosis memiliki bentuk
batang dan berukuran 1-4 /μm dan tebal 0,3-0,6 /μm. Mycobacteria termasuk dalam
famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetales. Bakteri ini lebih
sering menginfeksi organ paru-paru (90%) dibandingkan bagian lain tubuh manusia
(Setiati et al., 2014).
Kuman TB merupakan sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak
(lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Asam lemak inilah yang
membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alcohol) sehingga disebut bakteri
tahan asam (BTA). Kuman ini dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam
keadaan dingin (dapat tahan bertahun tahun dalam lemari es). Hal ini dikarenakan
bakteri memiliki sifat dormant, sehingga dapat bangkit kembali dan menjadikan
penyakit tuberculosis menjadi aktif lagi (Setiati et al., 2014).
Sifat lain kuman ini adalah aerob, menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan
oksigen pada bagian apikal paru-patu lebih tinggi dari pada bagian lain, sehingga
merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis (Setiati et al., 2014).

2. Cara Penularan
Di lingkungan dengan pemukiman padat dengan kebersihan yang buruk dan
wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan
berperan dalam peningkatan jumlah kasus TB. Proses infeksi oleh M. tuberculosis
biasanya melalui inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling
sering dibandingkan dengan organ lain (Setiati et al., 2014).
Tuberkulosis ditularkan sebagian besar melalui inhalasi basil yang
mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari penderita TB paru dengan
batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA). Ketika
penderita TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka memercikkan kuman TB
ke udara. Percikan dahak (droplet) yang mengandung kuman dapat bertahan di udara

15
pada suhu kamar selama beberapa jam. Hanya droplet nukleus ukuran 1-5 μ (mikron)
yang dapat melewati atau menembus sistem mukosilier saluran nafas sehingga dapat
mencapai dan bersarang di bronkiolus dan alveolus. Setelah kuman TB masuk ke
dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari
paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,
saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Setiati et al.,
2014).

3. Patogenesis
Di dalam Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia 2006,
patogenesis tuberculosis :

Gambar 1. Patogenesis Tuberkulosis

16
a. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja
dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan
tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional).
Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks
primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut (PDPI,
2006) :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
3.1 Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya Salah satu contoh adalah
epituberkulosis.
3.2 Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke
paru sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus
3.3 Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Komplikasi dan
penyebaran ini mungkin berakhir dengan sembuh dengan meninggalkan
sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat
ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau meninggal.
b. Tuberkulosis Post-primer
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Bentuk tuberkulosis inilah
yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber
penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya
terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini
awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan
mengikuti salah satu jalan sebagai berikut (PDPI, 2006) :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat

17
2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi
lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran.
Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk
jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti
sklerotik). Kaviti ini mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang
pneumonik baru, dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated),
dan disebut tuberkuloma, dan kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh
yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus
diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang
terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

4. Klasifikasi
Menurut Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis 2014, tuberkulosis
diklasifikasikan menurut :
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:
1. Tuberkulosis paru: Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru.
Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura
tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru,
dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan
sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB
paru.
2. Tuberkulosis ekstra paru: Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru,
misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi,
selaput otak dan tulang. Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada
beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada organ
menunjukkan gambaran TB yang terberat.
b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu

18
1. Pasien baru TB
2. Pasien yang pernah diobati TB
3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obatPengelompokan pasien
disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari Mycobacterium tuberculosis
terhadap OAT dan dapat berupa :
1. Mono resistan (TB MR)
2. Poli resistan (TB PR)
3. Multi drug resistan (TB MDR
4. Extensive drug resistan (TB XDR)
5. Resistan Rifampisin (TB RR)
d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
1. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV)
2. Pasien TB dengan HIV negative
3. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui
4. Pasien TB tanpa ada bukti pendukung hasil tes HIV

5. Gejala Klinis
Gejala penyakit TB dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul
sesuai dengan organ yang terlibat. (Depkes RI, 2002)
a. Gejala sistemik/umum:
1. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
2. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam
hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti
influenza dan bersifat hilang timbul
3. Penurunan nafsu makan dan berat badan
4. Perasaan tidak enak (malaise), lemah
b. Gejala khusus:
1. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”,
suara nafas melemah yang disertai sesak.

19
2. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
3. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada
suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada
muara ini akan keluar cairan nanah.
4. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut
sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi,
adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

6. Diagnosis
Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis 2013,
berikut adalah diagnosis tuberculosis (Depkes RI, 2013) :
a. Diagnosis TB paru
1. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu – pagi – sewaktu (SPS).
2. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto
toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sepanjang sesuai dengan indikasinya.
3. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis
4. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB
paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
5. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji tuberculin

b. Diagnosis TB ekstra paru


Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
klinis, bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang

20
terkena. Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila ditemukan keluhan dan gejala
yang sesuai, untuk menemukan adanya TB paru.

Gambar 2. Alur Diagnosis TB

7. Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Obat Anti Tuberkulosis

21
(OAT) merupakan komponen terpenting dalam pengobatan TB. Pengobatan TB
diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. (Depkes RI, 2007)

a. Tahap awal (intensif)


Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam
kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
b. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Pengobatan pada penderita tuberkulosis dewasa dibagi menjadi beberapa kategori:
1. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R),Pirazinamid (Z)
dan Ethambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama
4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk penderita baru TB Paru BTA
positif, penderita TB Paru BTA negatif Rontgen Positif yang “sakit berat”, dan
penderita TB Ekstra Paru Berat

2. Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan. Dua bulan pertama dengan
Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Ethambutol (E) dan suntikan
streptomisin setiap hari di Unit Pelayanan Kesehatan. Dilanjutkan 1 bulan
dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Ethambutol (E)
setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan
HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa
suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai minum obat. Obat ini
diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure),
penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)

22
3. Kategori-3 (2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan,
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3
kali seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita baru BTA negatif dan
rontgen positif sakit ringan dan penderita ekstra paru ringan
4. OAT Sisipan
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif
dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan
kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan
(HRZE) setiap hari selama 1 bulan.

Tabel 1. OAT Lini Pertama

23
Tabel 2. Kisaran Dosis OAT Lini Pertama Bagi Pasien Dewasa

 Isonoazid (INH)
Farmakokinetika
 Absorbsi: oral & parenteral mudah, kadar max 1-2 jam setelah P.O
 Metab: asetilasi di hepar  kecepatannya ditentukan oleh genetik
 Asetilator cepat  eskimo, jepang
 T ½ 70 menit, kadar obat 30-50% asetilator lambat
 Asetilator lambat: skandinavia, yahudi, kaukasia, afrika utara
 T ½ 2-5 jam, masa paruh memanjang pd insuff hati
 Kecepatan asetilasi tdk mempengaruhi aktivitas / toksisitas INH bila
diberikan setiap hari  kec asetilator cepat bila mendapat obat seminggu sx
 penyembuhan kurang baik

Efek Samping
 Reaksi hipersensitivitas :
Demam, morbiliform, makulopapular, urtikaria
Reaksi hematologik: agranulositopenia, anemia
 Neuritis perifer
Byk terjadi pd dosis 5mg/kgbb/hr

24
Neuropatologis: vesikel sinap hilang, mitokondria bengkak & pecahnya
akson terminal  spt defisiensi piridoksin
INH  ekskresi piridoksin meningkat  Terapi ajuvan: piridoksin
10mg/hari
 Dapat mencetus kejang pd pasien riwayat kejang
 Neurotoksik lain: vertigo, ataksia, parestesia, stupor, eforia, daya ingat
berkurang sementara
 Metabolit INH  asetilhidrazin dpt sebabkan kerusakan hati, terutama pd
pasien gangguan fungsi hati
 Jarang pd pasien < 35 tahun
 Peningkatan enzim SGOT-SGPT  s/d 4 x nilai normal  asimptomatik,
obat tidak perlu dihentikan
 Pasien risiko tinggi (peminum alkohol, insuff hati)  cek SGOT-SGPt
sebulan sx  bila meningkat >5x nilai normal, INH distop
 Terjadi 4-8 minggu pengobatan dimulai
 Rifampizin
Farmakokinetik
 Kadar max 2-4 jam setelah P.O
 Absorbsi dihambat oleh makanan & asam paraamino salisilat (selang waktu
8-12jam)
 Metabolisme: termasuk drug inducer  eliminasi meningkat pd pemberian
berulang
 T ½ eliminasi 1,5 -5 jam
 Memanjang pd kelainan fungsi hati
 Memendek pd pemberian berulang  40% dlm 14 hari
 Memendek pd asetilator cepat bila diberikan bersama INH
a. Obat berdifusi baik ke berbagai jaringan termasuk ke cairan otak
b. Luas distribusi warna oranye / merah pd urin, tinja, sputum, air mata,
saliva, keringat  Pasien harus diberitahu
c. Ekskresi melalui urin 30% setengahnya merupakan rifampisin utuh  pasien
gangguan ginjal tdk perlu penyesuian dosis
Efek samping
 Jarang ES yg tidak diinginkan

25
 Sering: ruam kulit, demam, mual & muntah
 Hepatitis jarang terjd pd pasien dg fungsi hepar normal
 Lansia, gangguan fs hepar, alkoholisme  insiden ikterus bertambah
 Keluhan SSP: lelah, mengantuk, sakit kepala, ataxia, bingung, melemahnya
otot
 Hindari pd kehamilan  dpt melewati sawar plasenta
Interaksi obat
 Krn mrpkan drug inducer  meningkatkan metabolisme obat lain:
hipoglikemik oral, kirtikosteroid, kontrasepsi oral  efektifitasnya
berkurang bila diberikan bersama rifampisin
 Mengganggu metabolisme vitamin D
 Ekskresi rifampisin dihambat oleh disulfiram & probenesid
 Obat yg sangat efektif utk pengobatan TB bersama INH

 Etambutol
 Mek kerja: hambat sintesis metabolit sel  Metabolisme terhambat  sel
mati
 Absorbsi: 70-80% stlh P.O, kadar max 2-4 jam, T ½ eliminasi 3-4 jam
 Kadar pd eritrosit 1-2x > kadar plasma  depot etambutol  release sedikit
demi sedikit
 Dlm 24 jam 50% diekskresikan dlm bentuk asal melalui urin
 Tidak dpt menembus sawar darah otak, namun pd meningitis TB dpt
ditemukan etambutol pd kadar terapi di CSS
 Jarang menimbulkan ES pd dosis 15mg/kgBB/hr
 <2%; penurunan ketajaman penglihatan, ruam kulit, demam.
 ES lain: pruritus, nyeri sendi, gangguan GIT, malaise, sakit kepala, pening,
bingung, disorientasi, kaku & kesemutan pd jari
 ES penting: gangguan penglihatan (neuritis retrobulbar), bilateral: turunnya
tajam penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna, lapangan
pandang menyempit, skotoma sentral / lateral
 Intensitas meningkat ~ dosis & lama terapi  reversibel
 Pasien diingatkan utk lapor bila tjd gangguan pd mata

26
 Pasien dg keluhan mata sebelumnya  periksa cermat sebelum mdpt
etambutol
 Etambutol menyebabkan peningkatan asam urat pd 50% pasien 
Penurunan ekskresi asam urat
 Manfaat pd terapi TB: mencegah resistensi thdp OAT yg lain
 Pd pasien gangguan fs ginjal dosis perlu disesuaikan krn etambutol
terakumulasi dlm tubuh

 Pirazinamid
 Enz pirazinamidase  as pirazinoat  aktif sbg tuberkulostatik
 In vitro: menghambat pertumbuhan kuman M.tb dlm monosit  bakterisid
kuat utk mikobakteria dlm makrofag
 Mudah diabsobsri & distribusi luas, ekskresi via filtrasi glomerulus, T ½
eliminasi 10-16jam, metabolit utama as hidropirazinoat
 ES: serius: bila diberikan 3g/hari  15% pasien: kelainan hati 
peningkatan SGOT-SGPT
 Pemantauan fs hati secara berkala
 ES: hambat ekskresi as urat  pirai, atralgia, anoreksia, mual & muntah,
disuria, malaise & demam

 Streptomisin
 Bukan obat ideal sebagai obat tunggal pd terapi TB
 Sifat bekteriostatik & bakteriosid thdp kuman TB
 Resistensi meningkat ~ lama pemakaian, setelah 4 bulan 80% kuman mjd
tdk sensitif lg
 Hampir semua streptomisin berada dlm plasma stlh penyuntikan, hanya
sedikit masuk dlm eritrosit
 Diekskresi mll filtrasi glomerulus, 12 jam sejumlah besar obat diekskresi
 T ½ 2-3 jam, memanjang pd gangguan fs ginjal
 ES: sakit kepala, malaise, parestesi di wajah sekitar mulut, kesemutan di
tangan
 Reaksi hipersensitivitas pd minggu2 pertam

27
 Neurotoksin pd saraf kranial VIII  ototoksik  dosis besar & lama, bbrp
pasien pd dosis total 10-12 gram sdh mengalami gangguan tsb
 Pemeriksaan audimetrik basal scr berkala
 Ototoksik & nefrotoksik  sering pd pasien >65 th
 ES lain: rx anafilaktif, agranulositosis, anemia aplastik, demam obat
 Tdk dianjurkan diberikan pd ibu hamil trimester I
 Dosis total tidak boleh lebih dr 20g dlm 5 bln terakhir kehamilan utk
mencegah ketulian pd janin

8. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat. (PDPI, 2006)
a. Evaluasi klinik
1. Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
b. Evaluasi bakteriologik (0 – 2 – 6 /9)
1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik sebelum pengobatan
dimulai, setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif), dan pada akhir
pengobatan
3. Bila ada fasiliti biakan : pemeriksaan biakan (0 – 2 – 6/9)
c. Evaluasi radiologik (0 – 2 – 6/9)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada sebelum pengobatan, setelah 2
bulan pengobatan, pada akhir pengobatan
d. Evaluasi efek samping secara klinik
1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah
lengkap
2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula
darah , asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping
pengobatan

28
3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol
5. Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri
6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek
samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan
efek samping obat sesuai pedoman
e. Evalusi keteraturan berobat
Evaluasi ini tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan adalah
keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat
penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat yang
diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan. Ketidakteraturan berobat akan
menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

9. Hasil Pengobatan
Tabel 3. Hasil Pengobatan

29
10. Komplikasi TB Paru
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :

 Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat


mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan
napas.
 Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
 Bronkiectasis dan Fibrosis pada paru.
 Pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.
 Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan
sebagainya.
 Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).

Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu dirawat inap di rumah sakit.
Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA negatif)
masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus
kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup
diberikan pengobatan simptomatis. Bila perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke
unit spesialistik.

Komplikasi terbagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut:


 Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, emfiema, laryngitis, usus, Poncet’s
arthropathy
 Komplikasi lanjut : obstruksi jalan nafas → SOFT (Sindrom Pasca
Tuberkulosis), kerusakan perenkim berat → SOPT/ fibrosis paru, kor pulmonal,
amiloidosis karsinoma paru sindrom gagal nafas dewasa (ARDS), sering terjadi
pada TB milier dan kavitas TB

11. Pencegahan TB Paru


Cara pencegahan penularan penyakit TB adalah:
a. Mengobati pasien TB Paru BTA positif, sebagai sumber penularan hingga
sembuh, untuk memutuskan rantai penularan.

30
b. Menganjurkan kepada penderita untuk menutup hidung dan mulut bila batuk
dan bersin.
c. Jika batuk berdahak, agar dahaknya ditampung dalam pot berisi lisol 5% atau
dahaknya ditimbun dengan tanah.
d. Tidak membuang dahak di lantai atau sembarang tempat.
e. Meningkatkan kondisi perumahan danlingkungan.
f. Penderita TB dianjurkan tidak satu kamar dengan keluarganya, terutama selama
2 bulan pengobatan pertama.

Upaya untuk mencegah terjadinya penyakit TB:


a. Meningkatkan gizi.
b. Memberikan imunisasi BCG pada bayi.
c. Memberikan pengobatan pencegahan pada anak balita yang tidak mempunyai
gejala TB tetapi mempunyai anggota keluarga yang menderita TB Paru BTA
positif.

Pencegahan (profilaksis) primer


a. Anak yang kontak erat dengan penderita TBC BTA (+).
b. INH minimal 3 bulan walaupun uji tuberkulin (-).
c. Terapi profilaksis dihentikan bila hasil uji tuberkulin ulang menjadi (-) atau
sumber penularan TB aktif sudah tidak ada.
Pencegahan (profilaksis) sekunder:
Anak dengan infeksi TBC yaitu uji tuberkulin (+) tetapi tidak ada gejala sakit TBC.
Profilaksis diberikan selama 6-9 bulan.

12. Prognosis TB Paru


Ad vitam: ad bonam
Prognosis ad bonam karena keadaan yang ditemukan pada pasien ini bukan kondisi
yang berat yang dapat menyebabkan kematian. Perlu pemeriksaan lebih lanjut apakah
pada pasien terdapat infeksi HIV atau tidak.

Ad sanationam: dubia ad malam

31
Kemungkinan terjadinya infeksi TB berulang pada kasus ini cukup tinggi, disebabkan
oleh pertimbangan pasien pernah mengalami TB paru sebelumnya (gambaran fibrotic
pada foto Rontgen paru). Selain itu kemungkinan pengobatan TB paru pasien
sebelumnya tidak tuntas. Pengobatan TB yang tidak tuntas dikhawatirkan akan
membuat kuman TB menjadi resisten.

Ad funcsionam: dubia ad malam


Penyakit TB paru biasanya meninggalkan „tanda mata‟ berupa kalsifikasi dan
jaringan fibrosis pada jaringan parenkim paru yang terinfeksin. Adanya jaringan
fibrosis ini terlihat pada foto Rontgen thorax pasien. Jaringan yang sudah terkalsifikasi
dan berubah menjadi jaringan fibrosis bersifat irreversible sehingga tidak akan
sepenuhnya kembali berfungsi normal

B. Tuberkulosis Resisten Obat


1. Definisi
TB resisten obat adalah dimana kuman M. tuberculosis sudah tidak dapat lagi
dibunuh dengan OAT. Kasus TB diklasifikasikan dalam kategori berdasarkan uji
resistensi obat dari isolat klinis yang dikonfirmasi M. tuberculosis yaitu:

a. Monoresisten: isolat M. tuberculosis kebal terhadap salah satu OAT lini pertama.

b. Poliresisten: isolat M. tuberculosis kebal dua atau lebih OAT lini pertama selain
kombinasi rifampisin dan isoniazid.

c. Resisten obat ganda atau dikenal dengan multidrug-resistant tuberculosis (MDR-


TB): isolat M. tuberculosis resisten minimal terhadap isoniazid and rifampisin
yaitu OAT yang paling kuat dengan atau tanpa disertai resisten terhadap OAT
lainnya.

d. Resisten berbagai OAT / extensively drug-resistant tuberculosis (XDR-TB):


adalah TB resisten obat ganda yang disertai resisten terhadap salah satu
fluorokuinolon dan salah satu dari tiga obat injeksi lini kedua (amikasin,
kapreomisin atau kanamisin).

e. Resisten rifampisin: resisten terhadap rifampisin yang dideteksi menggunakan


metode fenotipik dan genotipik, dengan atau tanpa resisten terhadap OAT lain.

32
Apapun dengan resisten rifampisin termasuk dalam kategori ini, baik
monoresisten, poliresisten, resisten obat ganda atau resisten berbagai OAT.

f. Resisten OAT total / totally drug-resistant tuberculosis (TDR-TB): TB resisten


dengan semua OAT lini I dan lini II.

2. Diagnosis
a. Kriteria suspek TB resisten obat

 Kasus kronik atau pasien gagal pengobatan dengan OAT kategori II,

 Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah bulan ketiga
dengan OAT kategori II,

 Pasien yang pernah diobati TB secara substandar di fasyankes tanpa DOTS,


termasuk penggunaan OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin,

 Pasien gagal pengobatan dengan OAT kategori I,

 Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan
OAT kategori I,

 Kasus TB kambuh,

 Pasien yang kembali setelah lalai pada pengobatan kategori I dan / atau
kategori II,

 Pasien suspek TB dengan keluhan yang tinggal dekat pasien TB resisten


obat ganda konfirmasi termasuk petugas kesehatan yang bertugas di bangsal
TB resisten obat ganda,

 Pasien koinfeksi TB-HIV, yang tidak memberikan respons klinis terhadap


pengobatan TB dengan OAT lini pertama.

b. Alur Diagnosis TB Resisten Obat


Diagnosis TB resisten obat ditegakkan berdasarkan uji kepekaan M.
tuberculosis dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu metode
tes cepat (rapid test) dan metode konvensional. Saat ini ada dua metode tes
cepat yaitu pemeriksaan Genepert (uji kepekaan untuk rifampisin) dan LPA

33
(uji kepekaan untuk rifampisin dan isoniazid) sedangkan metode konvensional
yang digunakan adalah Lowenstein Jensen/LJ dan MGIT.

Gambar 3. Alur Diagnosa TB Paru Resisten Obat

34
Tabel 4. OAT yang dipakai dalam pengobatan TB Resisten Obat

35
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI 2007. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI 2013. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana
Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.

36

S-ar putea să vă placă și