Sunteți pe pagina 1din 27

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN CIDERA KEPALA

Disusun Oleh :

1.Muhamad gigih bangasawan (1614301035)

2. Nadhya ayuningtyas (1614301033)

3. Nadila okti fariza (1614301024)

4. Nesia Dwi Agustina (1614301026)

5. Ningsih (1614301028)

6.Nofa safitri (1614301002)

7. Novi rahmawati (1614301038)

8. putri finka novia (1614301023)

9. Rani devika sari (1614301034)

10. Risa hairun nisa (1614301042)

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG

PRODI D.IV KEPERAWATAN

TAHUN 2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpah Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dengan judul “asuhan keperawatan
cidera kepala”

Harapan kami semoga makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan bagi para pembaca,
sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini dan kedepannya menjadi lebih
baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kami harapakan
kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini

Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhai segala usaha kita.
Amin.

Bandar lampung, 25 september 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... 2

DAFTAR ISI..................................................................................................... 3

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..............................................................................

B. Tujuan............................................................................................

C.tujuan

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian......................................................................................

B. Klasifikasi..........................................................................................

C. Etiologi..........................................................................

D. Manifestasi klinik.............................................................................

E. Patofisiologi.....................................................................................

F.Pemerisaan diagnostik………………………………………………..

G.Penatalaksanaan……………………………………………………..

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN CIDERA KEPALA

BAB 1II : PENUTUP

A .Kesimpulan....................................................................................

B. Saran..............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di indonesia, kejadian

cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah di

atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000

penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut. Di

negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri

memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin meningkat1,2.

Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara

15–44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas, disusul

dengan jatuh (terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir

separuh dari seluruh kematian akibat trauma. Karena itu, sudah saatnya seluruh

fasilitas kesehatan yang ada, khususnya Rumah Sakit sebagai layanan terdepan

pelayanan kesehatan, dapat melakukan penanganan yang optimal bagi penderita

cedera kepala.

Penanganan yang kurang tepat pada pasien cidera kepala akan berdampak fatal

dan bahkan sampai pada kematian. Dalam pengambilan diagnose keperawatanpun

haruslah tepat sehingga pasien dapat ditolong dengan cepat dan tepat.

B. RUMUSAN MASALAH
1.Bagaimana pengertian dari cidera kepala?
2. Apa penyebab cidera kepala
3. Bagaimana manifestasi klinik cidera kepala
4. Bagaimana patofisiologi cidera kepala
5. apa komplikasi cidera kepala
6. bagaimana klasifikasi cidera kepala
Bagaimana penatalaksanaan cidera kepala

C. TUJUAN
1. untuk mengetahui penyebab dari cidera kepala
2. utuk mengetahun penyebab dari cidera kepala
3.untuk mengetahui manifestasi klinis cidera kepala
4. untuk mengetahui patofisiologi cidera kepala
5. untuk mengetahui komplikasi cidera kepala
6. untu mengetahui kasifiasi cidera kepala
BAB II

A. DEFINISI
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan
garis pada tulang tengkorak, percepatan (accelerasi) dan perlambatan (decelerasi) yang
merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor
dan penurunan kecepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak
sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Doenges, 1989). Kasan (2000) mengatakan
cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai
perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala menurut Suriadi & Rita (2001) adalah suatu trauma yang mengenai daerah
kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun
tidak langsung pada kepala. Sedangkan menurut Satya (1998), cedera kepala adalah keadaan
dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh
darah serta otaknya mengalami cidera baik yang trauma tumpul maupun trauma tembus.
B. KLASIFIKASI

Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara deskripsi

dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera kepala.

(IKABI, 2004).

1. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua yaitu :

a. Cedera kepala tumpul

Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,

jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi 7 dan decelerasi

yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan melakukan kontak

pada protuberas tulang tengkorak.

b. Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan. (IKABI, 2004).

2. Berdasarkan morfologi cedera kepala

Cedera kepala menurut (Tandian, 2011). Dapat terjadi diarea tulang tengkorak

yang meliputi :

a. Laserasi kulit kepala

Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit

kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective

tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat

longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala,

sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh

darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan

perdarahan yang cukup banyak.

b. Fraktur tulang kepala

Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi :

1) Fraktur linier

Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada

tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier dapat

terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak

menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk

kedalam rongga intrakranial.

2) Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg tengkorak

yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang 8 kepala. Jenis fraktur ini sering

terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat. Fraktur

diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat

mengakibatkan terjadinya hematum epidural.

3) Fraktur kominutif

Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari satu

fragmen dalam satu area fraktur..

4) Fraktur impresi

Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang

langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur impresi pada

tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duremater dan

jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi, jika tabula eksterna segmen

yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat.

5) Fraktur basis kranii

Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang

tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter yang merekat

erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkan letak anatomi di bagi

menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara

anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter

daerah basis krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis

melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi

fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat
menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya

infeksi selaput otak (meningitis).

c. Cedera kepala di area intracranial

Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan

cedera otak difus Cedera otak fokal yang meliputi :

1) Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) Epidural hematom (EDH) adalah

adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial antara tabula interna

tulangtengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan

kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit

neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain

yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.

2) Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut

Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang

terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil

dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir

otak. Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan 10 prognosisnya jauh lebih

buruk dibanding pada perdarahan epidural.

3) Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik Subdural hematom kronik adalah

terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural

hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di

ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan

darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi
fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan

lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan

pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau

likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi

membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor diluar

membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak.

Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung,

kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic

attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti kelemahan

otorik dan kejang.

4) Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)

Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang

terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh

benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya

akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah

yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan

subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya 11 penurunan

kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi

dari trauma yang dialami.

5) Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)

Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik

arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang
subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA). Luasnya PSA

menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan burukna

prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan

menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.

3. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan beratnya

Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut (Mansjoer, 2000) dapat

diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan menjadi :

a. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15.

1) Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.

2) Tidak ada kehilangan kesadaran.

3) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang.

4) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.

5) Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala

b. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13

Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang

sesuai dengan pernyataan yang di berikan.

1) Amnesia paska trauma

2) Muntah

3) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea

atau rinorea cairan serebro spinal)

4) Kejang

c. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.

1) Penurunan kesadaran sacara progresif


2) Tanda neorologis fokal

3) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium (mansjoer, 2000)

C. ETIOLOGI
1. Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 108) mendiskripsikan bahwa penyebab cedera kepala adalah
karena adanya trauma yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu :

a. Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi dan deselerasi)
b. Trauma sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia,
hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.
2. Trauma akibat persalinan
3. Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan pada saat olahraga.
4. Jatuh
5. Cedera akibat kekerasan.
D. MANIFESTASI KLINIK
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing
7. Nyeri kepala hebat
8. Terdapat hematoma
9. Kecemasan
10. Sukar untuk dibangunkan
11. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan
telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
E. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar
akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan
bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar
glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui
proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio
berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood
flow (CBF) adalah 50 - 60 ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac
output dan akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi
Menurut Long (1996) trauma kepala terjadi karena cidera kepala, kulit kepala, tulang
kepala, jaringan otak. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat
terjadinya akselerasi, deselerasi dan pembentukan rongga. Trauma langsung juga menyebabkan
rotasi tengkorak dan isinya, kekuatan itu bisa seketika/menyusul rusaknya otak dan kompresi,
goresan/tekanan. Cidera akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari obyek yang bergerak
dan menimbulkan gerakan. Akibat dari akselerasi, kikisan/konstusio pada lobus oksipital dan
frontal batang otak dan cerebellum dapat terjadi. Sedangkan cidera deselerasi terjadi bila kepala
membentur bahan padat yang tidak bergerak dengan deselerasi yang cepat dari tulang tengkorak.
Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak ringan sampai tingkat berat ialah edema otak,
deficit sensorik dan motorik. Peningkatan TIK terjadi dalam rongga tengkorak (TIK normal 4-
15 mmHg). Kerusakan selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran otot.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan
otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder
dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar”
sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus.
Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom
intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi,
pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar
secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak
hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera
ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar
pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.
Sedangkan patofisiologi menurut Markum (1999). trauma pada kepala menyebabkan
tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran
makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan
menuju Galia aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal itu
menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan haematoma epidural,
subdural, maupun intracranial, perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah
ke otak menurun sehingga suplay oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan
menyebabkan odema cerebral.
Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak terdorong ke
arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan T.I.K (Tekanan Intra Kranial) merangsang
kelenjar pituitari dan steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul
rasa mual dan muntah dan anaroksia sehingga masukan nutrisi kurang (Satya, 1998).
PATHWAYS
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
Catatan : Untuk mengetahui adanya infark/iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah
injuri.
2. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi
edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG (Elektroencepalograf)
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema),
fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Pungsi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan untuk mengevaluasi/mencatat
peningkatan tekanan cairan serebrospinal.
9. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial
11. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.
G. PENATALAKSANAAN
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus dextrosa 5 %,
amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Terapi obat-obatan.
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat
ringanya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
c. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa 40 % atau
gliserol 10 %.
d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidasol.
e. Pada trauma berat. karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami penurunan kesadaran
dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak
terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 %
8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric
tube (2500 - 3000 TKTP).
6. Pembedahan bila ada indikasi.
H. KOMPLIKASI
1. Hemorrhagie
2. Infeksi
3. Edema serebral dan herniasi
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

a. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah, pendidikan terakhir, agama,
suku, status perkawinan, pekerjaan, TB/BB, alamat
b. Identitas Penanggung jawab
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan terakhir,
pekerjaan, alamat.
c. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah
simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya
liquor dari hidung dan telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem
persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga
terutama yang mempunyai penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif.
Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.
d. Pengkajian persistem
1). Keadaan umum
2). Tingkat kesedaran : composmetis, apatis, somnolen, sopor, koma
3). TTV
4). Sistem Pernapasan
Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi, nafas bunyi ronchi.
5). Sistem Kardiovaskuler
Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah meningkat, denyut nadi bradikardi kemudian
takikardi.
6). Sistem Perkemihan
Inkotenensia, distensi kandung kemih
7). Sistem Gastrointestinal
Usus mengalami gangguan fungsi, mual/muntah dan mengalami perubahan selera
8). SistemMuskuloskeletal
Kelemahan otot, deformasi
9). Sistem Persarafan
Gejala : kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope, tinitus, kehilangan pendengaran, perubahan
penglihatan, gangguan pengecapan .
Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental, perubahan pupil, kehilangan
pengindraan, kejang, kehilangan sensasi sebagian tubuh.
a. Nervus cranial
N.I : penurunan daya penciuman
N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
N.III, N.IV, N.VI : penurunan lapang pandang, refleks cahaya menurun, perubahan ukuran
pupil, bola mta tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
N.V : gangguan mengunyah
N.VII, N.XII :lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada 2/3 anterior lidah
VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh
N.IX , N.X , N.XI jarang ditemukan

b. Skala Koma glasgow (GCS)


NO KOMPONEN NILAI HASIL
1 VERBAL 1 Tidak berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti, rintihan
3 Bicara kacau/kata-kata tidak tepat/tidak
nyambung dengan pertanyaan
4 Bicara membingungkan, jawaban tidak tepat
5 Orientasi baik
2 MOTORIK 1 Tidak berespon
2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
4 Menarik area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
6 Dengan perintah
3 Reaksi membuka 1 Tidak berespon
mata (EYE) 2 Rangsang nyeri
3 Dengan perintah (rangsang suara/sentuh)
4 Spontan
c. Fungsi motorik
Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut yang
digunakan secara internasional :
RESPON SKALA
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0

2. KEMUNGKINAN DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d akumulasi cairan


b. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan pusat pernapasan di medula oblongata
c. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d hiposksia
d. Perubahan persepsi sensori b.d defisit neorologis.
e. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d peningkatan TIK.
f. Kerusakan mobilitas fisik b.d imobilitas.
g. Resti injury b.d kejang.
h. Resti infeksi b.d kontinuitas yang rusak
i. Resti gangguan intregritas fisik b.d imobilitas
j. Resti kekurangan volume cairan b.d mual-muntah.

DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN


1. Pola napas tidak efektif b.d depresi pusat napas di otak
Tujuan : Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.
Kh : Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia
tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.
Rencana tindakan :
 Hitung pernapasan pasien dalam satu menit.
Rasional : pernapasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan
pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.
 Cek pemasangan tube.
Rasional : untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal volume.
 Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi.
Rasional : pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang
sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.
 Perhatikan kelembaban dan suhu pasien.
Rasional : keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental
dan meningkatkan resiko infeksi.
 Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit).
Rasional : adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan
menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.
 Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien.
Rasional : membantu memberikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.
2. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d penumpukan sputum.
Tujuan : Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi
Kh : Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena
peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.
Rencana tindakan :
 Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas.
Rasional : ostruksi dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau
masalah terhadap tube.
 Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ).
Rasional : Pergerakan yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang
tepat dan tidak adanya penumpukan sputum.
 Lakukan pengisapan lendir dengan waktu <15 detik bila sputum banyak.
Rasional : Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah
hipoksia.
 Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam.
Rasional : Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran
serta pelepasan sputum.
3. Gangguan perfusi jaringan cerebral b.d udem otak
Tujuan : Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik.
Kh : Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.
Rencana tindakan :
 Monitor dan catat status neurologis menggunakan GCS.
Rasional : mengetahui status nerologis pasien saat ini
 Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit.
Rasional : Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat kesadaran dan
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya pernapasan yang irreguler indikasi
terhadap adanya peningkatan metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui
tanda-tanda keadaan syok akibat perdarahan.
 Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.
Rasioal : Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan
menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
 Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.
Rasional : Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan tekanan
intrakrania.
 Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien.
Rasional : Dapat menurunkan hipoksia otak.
 Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar (kolaborasi).
Rasional : Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia seperti osmotik
diuritik untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat menurunkan udem otak, steroid
(dexametason) untuk menurunkan inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang
untuk menurunkan kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif dari peningkatan
tekanan intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat meningkatkan pemakaian
oksigen otak.

4. Kerusakan mobilitas fisik b.d penurunan kesadaran


Tujuan : Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.
Kh : Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan
kebutuhan, oksigen adekuat.
Rencana Tindakan :
 Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.
Rasional : Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang
dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.
 Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
Rasional : Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku,
mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga oleh perawat
untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah infeksi dan keindahan.
 Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.
Rasional : Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi untuk
menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien baik jumlah,
kalori, dan waktu.
 Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang aman
dan bersih.
Rasional : Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di ruangan.
 Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.
Rasional : Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.
5. Resiko infeksi b.d luka, gangguan integritas kranium
Tujuan : klien tidak mengalami infeksi
Kh : tanda-tanda vital dalam batas normal, suhu tubuh tidak meningkat
Rencana tindakan :
 Berikan perawatan dengan teknik steril
Rasional : mengurangi resiko infeksi
 Observasi daerah yang mengalami luka, adanya peradangan.
Rasional : mengetahui kondisi luka
 Berikan obat antibiotik sesuai program
Rasional : menekan proses infeksi
 Monitor suhu tubuh secara teratur
Rasional : suhu dapat mengindikasikan terjadinya proses infeksi
BAB IV
KESIMPULAN
cidera kepala sudah menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di seluruh Negara dan lebih dari dua
per tiga dialami oleh Negara berkembang.
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada
tulang tengkorak, percepatan (accelerasi) dan perlambatan (decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk
dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta rotasi
yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan
pencegahan (Doenges, 1989).

SARAN
Diharapkan negara indonesia perduli dan waspada akan bahayanya jika terjadi cidera kepala, dan
diseluruh rumah sakit, memiliki alat yang lengkap untuk penanganan cidera kepala agar apa yang terjadi
dapat segera ditangani supaya tidak menjadi alasan untuk bertambahnya banyak korban jiwa.
DAFTAR PUSTAKA

Wujan, andra saferi dan putri, yessie


Buku 3,Elsevier
Selatan: salemba
Medical bedah. Jakarta: Kedokteran EGC
VIEWFILE/14739/14308

S-ar putea să vă placă și