Sunteți pe pagina 1din 91

Aku hanya duduk termenung sambil menyaksikan orang yang lalu lalang di

lobi Bandara Incheon, Seoul, Korea Selatan. Bukan karena sedang menunggu
jemputan atau menunggu seseorang. Melainkan bingung. Bingung karena aku tak
tahu harus pergi kemana.

Memang sekarang aku telah berhasil menginjakkan kaki di negeri impianku


ini, tapi sekarang masalah yang timbul adalah bahwa aku tak tahu arah dan tujuanku
di sini. Aku hanya bisa termenung menyaksikan ramainya keadaan di bandara.

Setengah jam... .

Satu jam... .

Dua jam... .

Tiba-tiba ada sesuatu yang membuat banyak gadis berlarian menuju pintu
kedatangan. Aku berdiri untuk melihat apa yang terjadi, seseorang tak sengaja
menabrakku. Dan seketika gadis itu mengucapkan kata maaf dalam bahasa Korea
sambil sedikit membungkukkan badannya. Inilah yang aku suka dari orang Korea,
pikirku. Saat aku baru membuka mulut untuk bertanya apa yang sedang terjadi
ternyata gadis itu sudah berlari menuju hiruk-pikuk itu.

Tak lama aku bisa mendengar mereka berteriak memanggil nama yang tak
asing bagiku. Aku segera berlari menuju hiruk-pikuk itu dan meninggalkan koperku
yang masih ada di lobi bandara. Aku berlari secepat mungkin agar tak ketinggalan
momen ini. Bisa saja ini adalah kesempatan pertama dan terakhirku untuk bertemu
dengannya.
Aku telah berada ditengah hiruk-pikuk itu. Aku merasakan dunia telah
berputar 180 derajat. Rasanya aku ingin pingsan. Aku hanya berdiri terpaku sambil
menatap lurus kedepan. Terfokus pada senyum itu. Senyum yang dulu hanya bisa aku
lihat dari layar ponsel maupun layar laptopku. Dan sekarang senyum itu benar-benar
nyata. Baru beberapa jam yang lalu pesawat yang aku tumpangi mendarat di Bandara
Incheon ini sehingga aku yakin kalau ini bukanlah mimpi.

Tiba-tiba seseorang mendorongku dan itu membuatku terjungkal ke lantai.


Tepat saat ia berada beberapa langkah di depanku. Aku mendengar tarikan napas dari
para gadis yang mengerubunginya dan tatapan mata mereka membuatku tak berani
bergerak.

Sepasang kaki telah terhenti di hadapanku. Dan saat aku menatap keatas, aku
hanya bisa menelan ludah sambil mengerjapkan mata meyakinkan diriku sendiri
kalau aku memang sedang tidak bermimpi.

“Gwaenchanayo1?”

Jedaaaaaaarrrr.

Rasanya tubuhku telah disambar petir. Otakku masih belum bisa berpikir
jernih. Aku hanya menatapnya yang masih berdiri tepat dihadapanku. Aku melihat
wajahnya yang berseri. Hidung, mata, dan bibirnya sama seperti yang aku lihat difoto.
Bahkan ia terlihat lebih tampan di versi aslinya.

Tiba-tiba sebuah tangan kecil melambai-lambai di depan mataku. Dan dalam


sekejap lamunanku langsung hilang.

“Gwaenchanhayo?” Ia kembali bertanya kepadaku.

Dengan setengah sadar aku menjawab, “Iya aku baik-baik saja.”

1
Apa kau baik-baik saja?
Bodoh!

Aku menjawab dengan Bahasa Indonesia. Bisa dipastikan ia tidak mengerti


apa yang baru aku katakan.

“Mwo-rago2?” Ia bertanya dengan tatapan polos. Ya, bisa diartikan tatapan


aneh kerana ia tidak mengerti yang tadi aku katakan.

“Oh... . Joisonghamnida3. Tadi aku menjawab dengan Bahasa Indonesia.


Naega gwaenchanseumnida4.” Aku menjawab dengan Bahasa Korea sambil mencoba
berdiri. Tapi aku melihat tangan mungil miliknya diulurkan kepadaku.

Kesempatan!

Aku tak mungkin melewatkan kesempatan untuk memegang tangan seorang


Yesung. Aku menyambut uluran tangannya dengan memasang senyumku yang
paling manis. Huahahahahaha. Aku yakin sekali kalau mereka yang berdiri
mengelilingiku tak percaya dengan apa yang sedang mereka lihat.

“Kamsahamnida5”, ucapku saat telah berdiri di hadapannya. Tetap dengan


senyuman termanisku. Dia lebih tinggi dariku, kira-kira duapuluh sentimeter lebih
tinggi. Memang benar kalau melihatnya secara langsung ia terlihat sangat sangat
sangat sangatlah tampan. Mata yang sipit, hidung yang mancung, bibir yang kecil,
berada diantara kulit yang seputih kapas. Rasanya aku ingin memeluknya sambil
berteriak kegirangan. Tapi ia segera berlalu dan aku terus memperhatikannya.
2
Apa?
3
Saya minta maaf (formal)
4
Saya baik-baik saja
5
Terimakasih (formal)
Akhirnya aku teringat pada koperku. Aku segera berlari menuju lobi dan untunglah
aku masih bisa menemukannya.

Aku keluar dari bandara dengan masih tersenyum-senyum. Ada


segerombolan gadis yang menatap sinis kearahku. Tapi aku mengacuhkan mereka
dan terus berjalan. Salah satu dari mereka berjalan kearahku dengan tatapan yang
sedikit menakutkan. Tiba-tiba ia menendang koperku dan membuatnya terlepas dari
genggaman tanganku. Tentu saja aku marah dengan apa yang barus saja ia lakukan
padaku.

“Ya6! Apa yang kau lakukan?” Aku berteriak sambil mendorong bahunya.
Aku tak peduli dengan ramainya orang di sana.

“Mwo7? Apa yang aku lakukan?” Ia semakin mendekatiku. “Harusnya aku


yang bertanya begitu padamu. Berani sekali kau sampai memegang Oppa8-ku!” Ia

6 Hei
7
Apa (informal)
tak mau kalah dan mendorong bahuku. Tentu saja aku langsung terjatuh karena
bobotnya lebih berat dariku, alias gendut.

Saat ia mendekat dan hendak menamparku, ada sebuah tangan lain yang
menahan tangan gadis itu. Terdengar tarikan napas yang sama seperti saat aku
terjatuh di depan Yesung. Pria itu menoleh kearahku dan aku melihat plester
berwarna pink tertempel di dahinya.

“Dia kan... .” Aku tak percaya dengan yang terjadi.

“Apa yang akan kau lakukan pada gadis ini?” tanya pria itu pada gadis yang
akan menamparku. Gadis itu hanya diam dan hanya mengerjapkan mata tak percaya
dengan apa yang terjadi. Pria itu melepaskan tangan gadis itu dan segera
membantuku berdiri.

“Bawa kopermu dan ikuti aku” katanya sambil tersenyum kearahku.

Aku hanya berdiri tak percaya kalau pria ini telah menyelamatkanku. Dia
adalah pria yang dahinya tak sengaja terkena aksesoris ranselku saat ada di dalam
pesawat tadi. Aku memberinya sebuah plester yang kebetulan aku bawa tapi hanya
warna pink yang tersisa. Dan pria itu menggunakannya untuk menutupi lukanya.

“Ya. Kajja9.” Ia berteriak karena aku tak segera mengikutinya.

“Ah... . Ne10.”

Aku segera mengambil koperku dan mengikuti pria itu tanpa peduli pada
gerombolan gadis yang berlaku kasar padaku tadi.

Aku mengikuti pria itu menuju sebuah mobil berwarna putih dan mobil itu
terlihat mewah. Pria itu disambut oleh seorang pria paruh baya dan memanggil orang
yang menolongku dengan “Doryeonnim11”.

Doryeonnim? Tanda tanya besar mulai menghantui otakku.

8
Panggilan dari adik perempuan pada kakak laki-laki, panggilan seorang penggemar perempuan pada idol laki-laki
9
Ayo
10
Iya
11
Tuan muda
“Tolong taruh koper gadis ini di bagasi dan antar kami pulang” kata pria itu
tanpa sungkan.

“Baik, Doryeonnim.” Pria yang disuruh tadi segera mengambil alih koperku
dan memasukkannya ke dalam bagasi. Aku terus memperhatikan pria yang membawa
koperku dan melupakan pria yang telah menolongku.

“Ya. Apa kau mau berdiri terus disitu? Ayo masuklah.” kata pria itu sambil
melongok dari jendela mobil.

“Naega12? Masuk ke mobil?” Aku masih tak percaya.

“Tentu saja. Apa kamu mau aku tinggalkan di sini dan dianiaya oleh gadis
tadi?”

“Ne? Andwae13!”

Aku segera masuk mobil dan pria yang memasukkan koperku ke bagasi
segera menutup pintu mobil. Aku memerhatikan isi mobil ini. Aku tak pernah naik
mobil yang mewah seperti ini, pikirku.

“Sekarang kita menuju ke rumah, Ahjussi14. Pasti Abeoji15 akan senang saat
aku membawa gadis ini pulang.” Pria itu tersenyum nakal dan tiba-tiba aku ingat
senyuman nakal dari Kyuhyun.

Aku terus diam sambil meremas jemariku. Aku merasa jari-jariku telah
membeku. Sangat dingin.

“Ya... . Siapa namamu?” Ia menatapku dan itu membuatku semakin gugup.

“Aku? Namaku Hana”, jawabku singkat.

“Hana. Cukup bagus”, katanya dengan senyum nakalnya lagi.”Sepertinya


kamu bukan orang Korea.” Ia melihatku dari kepala hingga kaki.

12
Aku
13
Tidak mau, Jangan
14
Paman
15
Ayah
“Oh... . Aku orang Indonesia. Tapi aku sangat suka semua yang berbau
Korea. Kau tahu Super Junior? Ah... . Mereka idolaku. Dan apa kau tahu Yesung?
Dia sangat tampan.”

“Oh... . Tunggu dulu. Sebenarnya kau ini siapa? Kenapa kau menolongku?
Dan... . Kenapa kau menatapku seperi itu?” Aku menggeser dudukku agak menjauh
darinya.

Ia tertawa. “Baiklah. Namaku Youngki. Han Youngki.” Ia mengulurkan


tangan tapi aku hanya diam.”Eheem... . Kau tak ingin menjabat tanganku? Kau tahu
berapa banyak gadis yang ingin menyentuh tanganku ini?”

Aku menggelengkan kepala. Ia menghela napas.

“Lihat saja kau akan menyesal karena tak mau menyentuh tanganku.” Ia
diam sejenak. “Itu Oh Ahjussi. Dia yang selalu mengantarku pergi kemana-kemana”
Ia menunjuk pada orang yang ada di balik kemudi. Aku melihat lelaki paruh baya itu
tersenyum dan aku membalas senyumnya.

Selama beberapa menit kami terdiam sampai akhirnya aku teringat pada dahi
pria yang bernama Youngki itu yang terluka karena terkena resleting ranselku.

“Apa dahimu tidak apa-apa?” Aku bertanya dengan sedikit ragu.

Ia menatapku sejenak lalu memegang plester yang ia pakai di dahinya.


“Sepertinya aku butuh ke rumah sakit. Ini rasanya sangat sakit.”

“Apa separah itu? Tadi aku lihat hanya berdarah sedikit.”

“Ya. Aku yang merasakan rasa sakitnya jadi kau tidak tahu apa-apa.”

Aku langsung diam mendengar jawabannya itu. Sementara ia mengobrol


sedikit dengan Ahjussi yang sedang menyetir mobil.

“Apa Abeoji tidak marah-marah saat aku pergi ke Indonesia?”, tanyanya


sambil memandang ke luar jendela mobil.
“Sajangnim16 sedikit marah karena khawatir pada keadaan Anda selama di
sana, Doryeonnim. Pasti Sajangnim akan merasa senang saat Anda kembali ke
rumah.”

Sajangnim?

Sebenarnya siapa pria yang duduk di sampingku ini?

Tak lama akhirnya kami sampai di sebuah rumah. Oh Ahjussi menghentikan


mobilnya sejenak di depan gerbang. Beberapa detik kemudian gerbang itu terbuka
lalu Oh Ahjussi kembali memacu mobilnya. Dan yang aku lihat sekarang adalah
sebuah istana.

“Ya... . Kau mau di dalam mobil sampai besok?” Pria itu melongok dari pintu
mobil.

Kapan ia keluar dari mobil ini, pikirku.

Aku segera membuka pintu mobil dan saat sudah keluar... .

“Woooah. Ini benar-benar istana”, gumamku.

“Ya... . Cepat bawa kopermu dan ikuti aku”, kata Youngki sambil berjalan
menuju pintu rumahnya. Ya, mungkin ini rumahnya.

Tapi... . Bagaimana kalau ia penculik? Dia termasuk dalam golongan


perdagangan manusia? Bagaimana kalau ia mengurungku di sini dan... . Tunggu... .
Abeoji? Apa aku akan di serahkan pada seorang om-om? Otakku mencoba untuk
berpikir. Tapi... . Dari wajahnya dia bukan orang jahat. Tapi... . Bagaimana kalau
wajahnya itu hanya topeng saja?

16 Direktur
“Hana. Kenapa kau diam saja?”, tanya Youngki saat ia sadar kalau akau tak
segera mengikutinya. “Cepatlah. Abeoji sudah menunggu”, tambahnya.

Ya Tuhan... . Apa yang harus aku lakukan?

“Ya... . Apa aku harus menggendongmu?” Ia mendekatiku.

“Ani-eyo! Aku bisa berjalan sendiri.”

Aku mulai berjalan mendekatinya. Aku berusaha mengumpulkan


keberanianku. Rasanya aku mendengar jantungku berdetak sangat keras di telingaku.

“Palli17.”

Ia menggandeng tanganku dan aku tak bisa menolaknya. Rasanya jantungku


mau meledak saat itu juga.

Ia mengetuk sebuah pintu kayu dengan sedikit ragu, kelihatannya memang


seperti itu. Sementara aku... . Aku merasakan panas dingin di dalam tubuhku.

“Youngki? Masuklah.”

Terdengar suara sedikit serak dari balik pintu. Aku mulai tak bisa
mengontrol diriku. Aku gemetar. Youngki tetap memegang tanganku yang sudah
dingin sedari tadi. Perlahan namun pasti, ia membuka pintu kayu yang besar itu. Aku
bisa melihat isi ruangan ini. Ada meja kerja, rak tinggi yang dipenuhi oleh buku, dan
barang-barang yang ada di dalam sini terlihat antik.

“Abeoji. Aku sudah pulang.” Youngki memulai percakapan.

17 Cepat
“Bagaimana dengan perjalanan bisnismu di Indonesia? Apa berjalan dengan
baik?”

Aku melihat seorang pria paruh baya sedang duduk di kursi kerja sambil
membawa sebuah buku di tangannya. Dia belum terlalu tua, mungkin umurnya awal
limapuluhan. Ia melihat Youngki dengan tatapan hangat. Tapi saat ia menyadari
Youngki tak datang sendiri, ia menatap tajam ke arahku.

“Semua berjalan sesuai dengan rencana kita. Mereka sudah menandatangani


kerja sama dengan perusahaan kita, Abeoji.”

“Kau telah bekerja keras.” Aku melihat pria yang disebut Abeoji itu sedikit
tersenyum. “Lalu... . Siapa gadis itu?”

“Oh... . Dia... .” Youngki melepas genggaman tangannya dari jemariku. “Dia


cantik kan? Aku bertemu dengannya di bandara.” Ia menjelaskan dengan perasaan
bangga. “Ssttt... . Perkenalkan dirimu pada Abeoji.” Ia berbisik sambil sedikit
menyentuh lenganku.

“Ah... . Iya.” Aku masih merasa gugup hingga lupa untuk memperkenalkan
diri. “Nama saya Hana. Saya dari Indonesia”, kataku singkat.

Aku melihat ayah Youngki sedikit mengerutkan dahi.

“Dia terlihat seperti Eomma, kan?”

Aku sangat terkejut saat Youngki mengatakan itu. Aku langsung melihat
kearah ayah Youngki dan ternyata ia telah menatap tajam ke arahku. Aku melihatnya
berdiri dan tiba-tiba memukul meja kerjanya.

“Eomma? Bukankah Ayah sudah bilang kalau orang itu sudah mati!” Ayah
Youngki berteriak marah. “Kau selalu menyebut semua orang mirip dengan Eomma.
Kau tidak punya Eomma! Kau hanya punya Abeoji. Dan sampai kapan pun kau tak
akan pernah lagi memanggil seseorang dengan sebutan Eomma!”
Aku yang sudah merasa gugup menjadi semakin takut setelah mendengar
bentakan dari ayah Youngki. Rasanya seluruh tubuhku kaku dan tak bisa bergerak.
Bahkan untuk bernapas pun sangat sulit rasanya.

“Aku ingin ia tinggal di sini”

Jedaaarrr... .

Rasanya petir telah menyambar tubuhku yang kaku. Aku tak percaya dengan
apa yang Youngki katakan. Pasti ayahnya akan semakin murka setelah mendengar
perkataan anak laki-lakinya itu.

“Youngki!” Ayah Youngki kembali berteriak.

“Aku ingin ia tinggal di sini dan menjadi temanku”, jawab Youngki. Ia


meraih tanganku dan membawaku keluar dari ruangan ayahnya. Aku tak bisa
membayangkan kalau ia bisa seberani itu padahal wajahnya penuh dengan kepolosan.

“Tunggu... .” Ayah Youngki berseru. “Apa yang terjadi dengan dahimu? Apa
akau terluka?” Terdengar nada khawatir dari suaranya.

Youngki berhenti sejenak lalu menjawab, “Gwaenchanseumnida.” Sedetik


kemudian ia kembali berjalan mengajakku menjauh dari kamar ayahnya.

“Youngki-ssi. Apa akan baik-baik saja kalau aku tinggal di sini?”, tanyaku
saat kami telah menjauh dari kamar ayah Youngki. Aku masih takut dengan respon
ayah Youngki yang marah tadi.

“Gwaenchana.” Ia tersenyum sambil menatap wajahku. “Aku akan


menunjukkan kamarmu.”

Ia membawaku menaiki tangga menuju ke lantai dua. Aku sedikit menengok


ke kanan maupun kiri untuk melihat isi rumah yang mewah ini. Banyak sekali hiasan
yang ada di rumahYoungki. Aku yakin mereka adalah orang kaya.

“Ini adalah kamarmu.”

Suara Youngki membuyarkan lamunanku. Ia mulai membuka sebuah pintu


kayu dan ia membawaku masuk kedalamnya. Dan... .
“Woooaa.”

Kata itu keluar sendiri dari bibirku saat Youngki telah membuka pintu itu. Ia
menuntunku memasuki kamar dan menaruh koperku disamping ranjang. Ranjang
yang sangat besar. Dua kali lebih besar dari yang aku miliki di Indonesia. Aku
mengelilingi kamar dan melihat segala sesuatu yang ada di dalamnya. Aku
bertanya-tanya apa pekerjaan keluarga Youngki sehingga mereka memiliki sesuatu
yang mewah seperti ini.

“Kenapa kau diam? Apa kau tak suka kamar ini?” Youngki bertanya karena
aku hanya diam sambil memerhatikan sekeliling.

“Joahaeyo18. Kamar ini sangat indah. Aku tak pernah melihat kamar yang
seindahr ini”, jawabku jujur. Aku sedikit tersenyum padanya.

“Benarkah? Baguslah kalau kau menyukainya.” Ia membalas senyumanku.


“Cepat mandilah. Nanti aku akan memanggilmu untuk makan. Dan kalau kau butuh
sesuatu kau bisa ke kamarku. Itu tepat di depan pintu kamarmu.”

Setelah mengatakan itu Youngki segera keluar dari kamar. Sementara aku
langsung merebahkan tubuhku di atas ranjang. Rasanya nyaman sekali, pikirku. Aku
kembali melihat sekeliling sambil terus berbaring. Aku masih belum percaya hanya
karena tak sengaja menggores dahi Youngki akhirnya akan menjadi seperti ini.

Aku bangkit dari ranjang dan melihat-lihat isi kamar ini. Aku duduk di sofa
dekat rak buku dan rasanya sangat nyaman. Lalu aku membuka korden dan
terlihatlah taman yang penuh dengan bunga-bungaan. Sangat indah.

Aku kembali berjalan menuju pintu yang ada di samping kiri ranjang. Saat
aku membukanya ternyata ada ruangan rahasia di dalamnya. Itu adalah ruangan
menyimpan baju dan perhiasan. Aku mencoba membuka salah satu lemarinya namun
tak ada apapun di dalam sana. Memang tak ada apapun di dalam sini.

Aku segera keluar dan masuk ke kamar mandi. Untuk kesekian kalinya aku
dibuat takjub oleh rumah Youngki. Luasnya hampir seperti kamarnya. Di dalam sini

18 Aku menyukainya
terdapat kaca yang sangat besar sehingga aku akan merasa sangat puas saat berkaca.
Ada juga bathup, shower, dan semua kebutuhan untuk mandi sangat lengkap dan
mewah.

“Hana?”

Terdengar suara Youngki sedang mengetuk pintu kamar. Aku segera keluar
dari kamar mandi.

“Ne, Youngki-ssi. Jamsimannyeo19.” Aku menyahutinya. Youngki terlihat


berdiri di depan pintu kamarku.

“Ada apa?” tanyaku pada Youngki yang sedikit melirik ke dalam kamar.

“Ayo kita makan malam. Apa kau sudah mandi?”

Aku baru ingat kalau aku belum mandi. Akhirnya aku sedikit tersenyum lalu
menjawab, “Belum.”

“Kau belum mandi? Lalu apa yang kau lakukan dari tadi?”

Ia berjalan masuk kedalam kamarku. Ya, mulai hari ini kamar ini akan aku
tempati. Aku melihatnya duduk di sofa dekat rak buku. Kini ia terlihat memakai
celana dan kemeja santai. Berbeda sekali dengan setelan jas yang ia kenakan tadi.
Tapi ia masih terlihat tampan.

“Apa yang kau lakukan? Cepatlah mandi.”

“Ne, arasseoyo20. Tapi... . Apa yang kau lakukan di sini?” Aku mengatakan
itu karena ia malah mengambil sebuah buku dari rak dan bukannya keluar dari
kamarku.

“Ya. Rumah ini milikku. Dan itu berarti kalau kamar ini juga milikku.” Aku
bisa mendengar nadanya yang sedikit sombong.

19 Tunggu sebentar
20 Aku mengerti
“Geuraeseo21. Arasseoyo, Doryeonnim.”

“Ya. Jangan pernah memanggilku seperti itu.”

Aku tak memerdulikan teriakannya. Aku langsung menuju kamar mandi


yang ada di dalam kamar. Tentu saja dengan membawa baju ganti karena ada
Youngki yang sedang menungguku dan tak mau keluar.

Aku keluar dari kamar mandi dengan memakai celana pendek dan kaos polos
warna abu-abu. Youngki yang sedang membaca buku langsung menatap ke arahku
saat mendengar pintu kamar mandi telah tebuka. Aku menguncir rambutku yang dari
tadi aku biarkan terurai. Youngki terus memerhatikanku. Aku yang merasa tidak
nyaman langsung berdehem dan itu berhasil membuat Youngki tak melihatku lagi.

“Apa kau sudah selesai?” Youngki meletakkan buku yang tadi ia baca di
meja lalu ia bangkit dari duduknya.

Aku hanya mengangguk.

“Handuknya biarkan saja di dalam. Biarkan Ahjumma22 yang mencucinya


besok pagi.”

Aku kembali mengangguk.

“Kalau begitu mari kita makan.”

Ia segera keluar dari kamar setelah mengatakan itu dan aku mengikutinya
dari belakang. Kami menuruni tangga menuju ke lantai bawah. Dan untuk kedua

21 Benar
22 Bibi
kalinya aku terkagum-kagum dengan rumah milik Youngki yang sangat besar dan
indah ini.

Aku terus mengikutinya menuju meja makan. Di sana aku melihat ayah
Youngki tengah menyantap makan malamnya. Ia memerhatikan sampai Youngki
duduk di kursi yang ada di sebelahnya. Lalu ia menatap tajam ke arahku. Aku yang
melihat tatapannya itu menjadi takut untuk bergerak hingga Youngki memanggilku
dan menyuruhku duduk di sampingnya.

“Hana. Duduklah di sini”, katanya sambil menunjukkan kursi yang tepat


berada di sampingnya.

Aku menurut dan segera duduk di kursi yang ia tunjukkan. Sesaat setelah aku
duduk, ayah Youngki bangkit dari duduknya dan meninggalkan meja makan tanpa
berkata sepatah kata pun. Sementara itu Youngki sangat ceria dan mengajakku
makan.

“Cepat makan makananmu,” kata Youngki sambil melahap sesumpit


Kimchi23.

“Apa aku boleh meminta sendok?”

Aku terbangun saat cahaya matahari sudah sangat terang. Sementara korden
yang ada di kamar ini masih tertutup rapat. Semalam aku tak bisa tidur karena
memikirkan postingan foto saat Yesung menolongku untuk berdiri saat di bandara
kemarin. Banyak sekali yang berkomentar negatif, tapi ada beberapa juga yang
memuji keberuntunganku. Bisa dibayangkan memang karena komentar para
warganet korea sangatlah pedas.

Aku segera mandi dan keluar dari kamar untuk mencari Youngki. Aku
mengetuk pelan pintu kamar Youngki yang ada di depan kamarku tapi tak ada
jawaban. Suasana di rumah ini sangat sepi. Aku melihat Ahjumma sedang ada di
dapur dan aku segera menghampirinya.

23 Makanan khas Korea yang biasa terbuat dari fermentasi sawi atau lobak dan rasanya sedikit pedas
“Maaf, Ahjumma. Tapi kenapa rumah ini sepi sekali? Kemana Youngki-ssi
pergi?”

“Oh, Agassi24 sudah bangun. Sajangnim dan Doryeonnim sudah berangkat


ke kantor”, jawabnya. “Doryeonnim berpesan agar aku menyiapkan sarapan saat
Agassi sudah bangun. Tunggu sebentar, aku akan menyiapkan makanan untuk
Agassi.”

Aku duduk di meja makan, sementara Ahjumma terlihat sedang


menghangatkan makanan untukku. Tapi aku teringat sesuatu dan segera menghampiri
Ahjumma.

“Ahjumma. Apa aku boleh minta roti saja? Aku mau berjalan-jalan untuk
mencari udara segar.”

Ahjumma tersenyum dan menuruti permintaanku. Sementara Ahjumma


menyiapkan roti untukku, aku kembali ke kamar untuk mengambil ransel dan
ponselku.

“Apa rotinya sudah siap?” Aku bertanya pada Ahjumma.

“Ini, Agassi.” Ahjumma memberikan dua roti sandwich padaku.

“Sandwich?” Aku bertanya saat sudah memegang sandwich yang baru ia


berikan.

“Agassi tidak mau makan jadi aku berikan sandwich agar Agassi tidak lapar
jika hanya makan roti saja.”

“Kamsahamnida, Ahjumma. Aku pergi dulu.”

Untuk kesekian kalinya aku dibuat terkagum-kagum oleh rumah milik


Youngki. Kemarinaku tidak terlalu memperhatikan karena merasa sangat gugup. Tapi
sekarang aku bisa melihat setiap senti di rumah ini tanpa rasa takut karena tak ada
ayah Youngki di sini.

24 Nona
Aku berjalan menyusuri taman dan segera menuju gerbang. Jarak pintu
rumah dan gerbang rumahnya cukup jauh kira-kira dua puluh meter lebih.

“Akhirnya... . Aku bisa berjalan-jalan di Seoul. Seoul i’m coming.”

Dengan penuh semangat aku melangkahkan kaki entah kemana. Aku ingin
mengetahui suasana kota Seoul yang selama ini hanya aku lihat di televisi dan juga
membacanya di beberapa artikel.

Aku terus berjalan. Jika ada belokan aku ikut berbelok. Entah sudah berapa
belokan yang aku lewati beberapa menit ini. Aku terus berjalan sambil memakan
sandwich buatan Ahjumma. Hingga akhirnya aku ingat sesuatu.

“Sekarang aku sudah ada di Korea dan aku harus mengunjungi kafe Mouse
and Rabbit milik suamiku Yesung. Ah... . Iya benar. Kenapa tidak terpikir olehku
dari tadi.”

Aku segera melahap sandwich terakhirku dan mengambil ponsel yang ada di
dalam ransel. Setelah mendapatkannya aku segera membuka aplikasi Maps dan
mengetik lokasi dari kafe Mouse and Rabbit.

“Akhirnya ketemu!”

Aku melompat kegirangan. Tanpa pikir panjang aku langsung melangkahkan


kakiku menuju kafe milik salah satu member Super Junior itu. Aku terus berjalan
menyusuri trotoar yang ada di tengah kota Seoul yang ramai. Aku semakin tak sabar
untuk segera sampai di kafe milik Yesung.

“Semoga aku bisa bertemu dengannya lagi.”


Setelah sekian lama aku berjalan, akhirnya sampailah aku di kafe milik
idolaku ini. Aku mempercepat langkahku karena tak sabar untuk bertemu dengan
Yesung lagi. Dia sering datang ke kafe ini untuk sekedar mampir dan kadang juga
bersantai bersama dengan teman-temannya.

Aku langsung masuk ke dalam kafe dan ternyata... .

“Ramai sekali”, gumamku.

Aku segera menuju antrian untuk memesan kopi. Aku sedikit berjinjit untuk
melihat kasir yang sedang melayani pelanggan dan ternyata bukan Yesung.
Seringkali Yesung menjadi kasir dan menyapa penggemarnya dengan hangat.

“Dia pergi kemana? Apa dia tidak datang ke sini?”

Aku menengok ke kanan dan ke kiri untuk mencari keberadaan Yesung. Ia


biasanya duduk di pojok kafe tapi meja di sana kosong. Setelah beberapa saat
mencari-cari ternyata yang aku lihat adalah... .

“Dia gadis yang di bandara kemarin.”

Aku langsung memalingkan wajahku. Semoga saja gadis itu tidak melihatku.
Dan aku baru sadar kalau aku berada di tengah-tengah kerumunan Clouds25 yang
mungkin akan marah saat tahu kalau aku adalah orang yang ditolong oleh Yesung
saat ada di bandara kemarin. Pikiranku mulai kacau.

“Permisi. Apa anda baik-baik saja? Sekarang giliran anda untuk memesan”,
ucap seorang wanita yang ada di balik mesin kasir.

Aku segera memesan segelas kopi dingin dan beberapa menit saja kopi
pesananku telah siap. Aku langsung membayar dan segera keluar dari kafe. Aku
sudah melupakan tujuan pertamaku untuk bertemu Yesung karena rasa takutku pada
penggemar Yesung lebih besar. Aku sedikit melirik ke arah gadis di bandara kemarin
dan untunglah ia tidak mengetahui keberadaanku.

25 Nama fansclub Yesung Super Junior


Baru beberapa langkah aku keluar dari pintu kafe tiba-tiba aku merasakan
ada tangan yang menepuk bahuku. Aku langsung berhenti dan tak berani menoleh
karena takut kalau saja itu adalah tangan gadis yang kemarin. Aku memejamkan mata
sambil berdo’a semoga dugaanku salah.

Aku masih belum berani membuka mata. Aku merasa gemetar. Aku tak
sadar kalau tangan itu telah berpindah tempat dan sekarang ada jari yang menyentil
keningku.

“Ya. Apa kau merasa tidak sehat setelah jatuh kemarin?”

Mendengar suara itu aku langsung membuka mata. Aku tahu kalau itu adalah
suara Yesung. Aku sama sekali tidak percaya kalau ia masih mengingatku.

“Ya. Apa kau juga mulai tidak bisa mendengarku?” Ia kembali bertanya
karena aku hanya diam.

“Ne? Tentu saja aku bisa mendengarmu”, sahutku. “Kau masih


mengingatku?”

“Tentu saja. Sudah ratusan kali aku pulang dan pergi dari bandara tapi baru
kemarin ada orang yang jatuh tepat di depanku.”

Aku langsung menundukkan kepala karena merasa malu. Belum hilang rasa
malu dari wajahku dan aku mendengar suara yang tak asing bagiku.

“Anjing!” Aku berteriak sambil melompat dan bersembunyi di balik tubuh


Yesung.

Yesung berjongkok lalu menyambut anjing itu. Bukan hanya satu, tapi ada
dua ekor anjing yang menghampirinya. Ia menggendong salah satu anjingnya yang
berwarna hitam dan aku tahu kalau itu adalah Kkoming. Sementara anjing yang
berukuran lebih kecil dan berwarna putih yang berlarian di kaki Yesung adalah
Mello.

“Apa kau takut pada anjing?”

Aku hanya tersenyum saat Yesung menanyakan hal itu. Memang aku
mempunyai pengalaman buruk yaitu saat masih SMP aku pernah dikejar oleh anjing
milik tetanggaku. Sehingga mulai saat itu aku menjadi sangat takut bahkan saat
mendengar suaranya saja tubuhku langsung merinding.

“Kau baru membeli kopi?”, tanyanya sambil menunjuk gelas kopi yang ada
di tanganku.

“Oh... . Ne. Aku kira Yesung-ssi yang menjadi kasirnya jadi aku datang ke
sini”, jawabku dengan sedikit malu. Ia sedikit tersenyum mendengar jawaban dariku.

“Kelihatannya kau bukan orang Korea?”, tanyanya sambil membelai anjing


kesayangannya.

“Ani-eyo. Aku orang Indonesia”, jawabku singkat.

“Indonesia? Aku sudah beberapa kali berkunjung ke sana.”

“Ne, Araseo-yo. Mulai Super Show 4 yang diadakan di Jakarta. Tapi saat
Super Show 5 dan 6 Yesung-ssi tidak ikut karena menjalani wajib militer”, jelasku.

Ia menurunkan Kkoming agar bermain dengan Mello lalu ia tersenyum


padaku. Senyumannya sangat manis sehingga akan membuatku meleleh.
“Kau tahu itu? Kau ELF26?” Ia bertanya seakan tak percaya.

Aku mengangguk. “Dan aku adalah Clouds.”

“Geurae-yo? Manna-seo bangap-seumnida27,” katanya sambil mengulurkan


tangan mungilnya kepadaku. Aku tersenyum dan menyambut uluran tangannya. Ini
kedua kalinya aku menjabat tangan seorang Yesung!

Baru beberapa detik aku merasakan hangatnya tangan Yesung, ada


sekumpulan gadis yang keluar dari kafe dan menatap tajam ke arahku. Salah satu dari
mereka adalah gadis yang kemarin mendorongku saat di bandara. Dengan cepat aku
melepaskan tangan Yesung. Gadis-gadis itu menyapa Yesung dan sedikit
bercakap-cakap dengannya tapi mereka langsung pergi. Aku melihat mereka sesekali
berbisik dan menoleh ke arahku.

“Apa kopinya tidak kau minum?”

“Ah... . Ne. Maaf aku lupa.” Aku meminum sedikit kopi dan tiba-tiba
terdengar bunyi aneh dari perutku.

“Apa kau belum makan?”

“Ayo kita makan ramyeon28. Sudah lama aku tidak memakannya.”

Aku berjalan mengikutinya menuju sebuah minimarket yang berada tak jauh
dari kafe. Ia menyuruhku menunggu di depan minimarket. Tak lama ia keluar dengan
membawa dua cup ramyeon dan sebuah kantong plastik yang berisi beberapa
minuman. Aku membantunya membawa kantong plastik itu.

Ia membawaku ke sebuah bangku yang ada di taman dekat minimarket. Lalu


ia memberika satu cup ramyeon untuk aku makan. Aku menatapnya. Sekarang ia
berdandan seperti teroris, pikirku sambil menahan senyum. Ia memakai celana hitam,
kaos putih, topi hitam dan juga maskernya berwarna hitam. Ia memerhatikan
sekeliling sejenak lalu melepas masker yang ia kenakan.

26 EverLasting Friends; nama fansclub Super Junior


27 Senang bisa bertemu denganmu
28 Sejenis ramen khas Korea
Aku melihatnya membuka bungkus sumpit dan sedikit menggesekkannya.
Kemudian ia membuka bungkus ramyeon itu dan mulai memakannya. Aku melihat
ekspresinya saat makan dan itu sangat menggemaskan. Aku terus melihatnya hingga
akhirnya ia sadar kalau sedari tadi aku sedang memerhatikannya.

“Ya. Kenapa kau tidak memakan ramyeonmu?”, tanyanya sambil kembali


memakan ramyeon miliknya.

Aku mengambil sepasang sumpit tapi aku hanya diam. Aku menatap
ramyeon milikku lalu menatap ke arah Yesung yang sedang menyantap ramyeon.

“Wae-yo?”, tanyanya heran. “Jangan bilang kalau kau tidak bisa makan
menggunakan sumpit”, tambahnya.

Aku mengangguk pelan.

“Neo jeongmal29. Aiisshh... . Lalu apa yang bisa kau lakukan?”

Ia mencari sesuatu di dalam kantong plastik dari minimarket tadi. Lalu ia


memberikan sebuah garpu plastik kepadaku.

“Tadi aku meminta garpu ini pada penjaga minimarket. Aku sudah tahu saat
beru melihat wajahmu. Cepat makan ramyeonmu.”

Aku menerima garpu itu dengan malu.

“Kamsahamnida, Yesung-ssi.”

“Mwo? Kenapa meeting mendadak seperti ini? Baiklah aku akan segera
berangkat ke sana.”

Yesung menerima telepon dari seseorang yang aku tak tahu itu siapa. Setelah
menutup ponselnya ia menatapku.

29 Kau benar-benar
“Ah... . Joiseonghamnida. Aku harus pergi sekarang”, katanya sedikit ragu.

“Gwaenchana-yo. Aku yang seharusnya meminta maaf karena sudah


membuat Yesung-ssi repot”, jawabku karena tak enak hati telah merepotkannya.

“Anggap saja ini sebagai permintaan maafku. Karena kemarin kamu terjatuh
dan dibicarakan oleh banyak orang.”

“Aku juga meminta maaf atas kejadian yang terjadi di bandara kemarin.”

Ia tersenyum lalu membereskan barang-barangnya. Setelah itu berpamitan


kepadaku.

“Maaf aku tidak bisa mengantarmu pulang. Aku pergi dulu.”

Aku melihat Yesung berjalan terburu-buru. Aku melihatnya kembali


berbicara melalui ponselnya. Aku etrus memerhatikannya hingga bayangannya
menghilang. Beberapa menit kemudian aku tersadar dan kata-kata Yesung mengiang
di telingaku.

“MAAF AKU TIDAK BISA MENGANTARMU PULANG”

Pulang? Youngki? Dimana Rumah Youngki? Aku langsung mencari ponsel


yang ada di dalam ransel. Setelah menemukannya aku segera membuka Maps lagi.

“Syukurlah GPS-nya masih menyala.”

Aku langsung berdiri dan menyusuri jalan yang tadi telah aku lewati. Aku
melewati minimartket tempat Yesung membeli ramyeon. Beberapa meter kemudian
aku telah sampai di depan kafe Mouse and Rabbit milik Yesung lagi. Aku terus
berjalan sambil menatap layar ponselku agar tidak tersesat.

Akhirnya aku sudah sampai di pinggir jalan raya besar. Namun ponselku
mengalami lowbat!
“Jangan mati dulu!”

Aku mulai bingung. Aku segera merogoh ke dalam ransel untuk mencari
Power Bank yang biasa aku bawa. Tapi aku tak bisa menemukannya. Aku bahkan
sudah mengeluarkan semua barang dari dalam ranselku tapi aku tetep tidak bisa
menemukannya. Mungkin aku lupa membawanya karena aku charge kemarin malam.

Aku mempercepat jalanku dan berharap ponselku masih bisa bertahan.


Beberapa menit kemudian ponselku sudah mati dan tak bisa dinyalakan lagi. Aku
mulai histeris. Aku tak tahu harus berjalan kemana lagi. Aku berdiri terpaku sambil
menoleh ke kanan kiriku namun tak ada seorangpun yang aku kenal.

Jam tanganku menunjukkan pukul tiga. Itu berarti di Korea sudah pukul lima
sore. Hari mulai gelap dan mendung terlihat menggantung di langit kota Seoul. Aku
berjalan tak tentu arah.

“Bodoh! Setelah ini aku akan menjadi seorang gelandangan di Seoul.” Aku
menagis sambil terus berjalan. Orang-orang yang lewat menatapku dengan
pandangan yang aneh. “ Aku datang ke Korea untuk mencari tahu tentang Papa dan
siapa aku sebenarnya. Tapi sekarang aku tersesat dan tidak tahu di mana rumah
Youngki. Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Tangisanku semakin keras.
“Youngki-ssi.” Aku teringat pada Youngki. Ia sangat baik padaku tapi sekarang siapa
yang akan menolongku. Lagi.

Hujan mulai turun. Aku terus berjalan dan masih menangis. Dengan
turunnya hujan ini rasanya kesedihanku menjadi bertambah.

“Kenapa harus turun hujan saat aku sedih seperti ini? Kenapa?”

Aku terus berjalan dan melihat beberapa orang berteduh di sebuah halte bis.
Aku duduk di kursi yang ada di pojok halte. Aku masih terisak-isak. Aku takut kalau
sampai aku tidak bisa pulang ke rumah Youngki lagi.

Tubuhku basah oleh air hujan. Aku menggigil dan itu membuatku semakin
takut. Aku terus menangis. Tapi aku bersyukur karena suara isakanku tersamarkan
oleh derasnya air hujan.
Kini langit sudah benar-benar gelap. Hari sudah malam. Tapi hujan masih
turun rintik-rintik. Orang-orang yang berteduh tadi sudah pergi entah kemana. Di
halte bis ini hanya tinggal aku dan dua orang gadis yang sedang menunggu bis.
Mereka sedang melihat poster yang terpasang di dinding halte.

Aku ikut melihat poster yang ada di belakangku. Dan di dalam poster itu aku
bisa melihat sosok Youngki. Aku masih belum percaya kalau itu Youngki. Aku
membacanya sedikit dan ternyata itu memang benar Youngki.

“Youngki-ssi?”, bisikku sambil kembali menangis.

Pria yang ada di poster itu benar-benar Youngki. Aku sangat yakin kalau itu
memang Youngki. Dan sekarang aku di sini tak tahu kemana aku harus pergi.
Harusnya aku tak keluar dari rumah Youngki. Aku benar-benar akan menjadi
gelandangan.

Kini halte telah benar-benar sepi. Jam tanganku menunjukkan pukul


sembilan waktu Korea. Tadi aku sudah merubahnya agar aku tak bingung saat
melihat jam. Entah sudah berapa jam aku duduk di halte ini seperti orang bodoh.

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan halte. Mobil itu mirip dengan
mobil milik Youngki. Aku sangat yakin kalau itu memang mobilnya. Aku segera
berdiri dan melangkahkan kakiku menuju mobil yang berwarna putih itu. Saat
pemilik mobil itu keluar aku terus menatapnya dan berharap kalau ia adalah Youngki.
Tapi dugaanku salah. Dia bukanlah Youngki.

Aku kembali duduk dan meratapi nasib burukku.

“Bodoh. Memang cuma Youngki saja yang punya mobil seperti itu? Ada
ratusan mobil seperti itu di dunia ini dan Youngki adalah salah satu pemiliknya.
Bodoh. Aku benar-benar bodoh. Youngki tidak akan pernah menemukanku. Aku
tidak akan bisa pulang ke rumahnya lagi.”

Aku benar-benar putus asa. Rasanya air mataku tidak bisa menetes lagi.

“Ya. Apa yang kau lakukan di sini?”

Youngki mengajakku masuk ke dalam mobil. Kali ini aku tak melihat Oh
Ahjussi. Mungkin Youngki menyetir mobilnya sendiri. Ia membantuku masuk ke
dalam mobil dengan sedikit menuntunku. Setelah Youngki telah berada di kemudi, ia
langsung memacu mobilnya.

Aku menceritakan semua kejadian yang terjadi hari ini pada Youngki. Dari
awal aku keluar dari rumahnya sampai pada saat di halte bis.

“Syukurlah Youngki-ssi datang. Kalau tidak pasti aku akan membeku di


halte bis itu,” ucapku sambil menahan tangis.

Aku melihatnya sedikit tertawa.

“Ya. Kenapa kau tertawa? Apa itu lucu?” Aku berteriak karena kesal. “Kau
tak tahu kalau aku sangat takut di sana sendirian. Bagaimana kalau aku tidak bisa
kembali ke rumahmu lagi?”

Ia masih tertawa. “Itu karena kau berjalan-jalan sendirian dan tidak


mengajakku. Karena itu kau jadi tersesat.” Ia tersenyum lalu berkata, “ Kalau kau
ingin pergi berjalan-jalan, kau bilang saja padaku.”

Aku tak menjawab karena merasa kesal padanya. Aku mengarahkan


pandangan keluar jendela mobil. Aku melihat tetesan air hujan yang mengalir pelan
di jendela mobil Youngki. Aku memerhatikan gedung-gedung yang ada di seberang
sana dengan tatapan kosong.
Hingga akhirnya aku merasakan tubuhku semakin menggigil. Rasanya
seperti diguyur oleh air es. Kepalaku terasa pusing dan pandanganku mulai kabur.
Aku mencoba mengerjapkan mataku tapi itu tak bisa menghilangkan pandanganku
yang sedikit kabur. Mataku terasa semakin berat. Aku tak bisa menahannya lagi. Aku
memejamkan mataku dan tertidur. Pulas.

Aku mendengar pelan sayup-sayup orang bicara. Tapi aku tak sanggup untuk
membuka mataku. Rasanya masih berat untuk membukanya. Aku yakin itu suara
Youngki dan aku mendengarnya sedikit berteriak. Aku juga bisa mendengar suara
ayah Youngki. Aku bisa merasakan kalau aku mengalami demam. Tapi tubuhku
masih tidak bisa bergerak.

Aku berusaha membuka kelopak mataku. Tapi rasanya masih berat. Perlahan
aku bisa melihat sedikit cahaya dari jendela kamar. Kepalaku masih terasa pusing.
Aku juga merasakan demam di tubuhku. Aku berhasil membuka kedua mataku dan
ternyata aku telah berada di dalam kamar. Di meja dekat ranjang aku melihat ada
baskom kecil dan juga sehelai sapu tangan berada di sampingnya.

Aku masih merasa lemas tapi aku tetap mencoba untuk duduk. Tiba-tiba aku
merasakan sedikit nyeri di tangan kiriku. Ternyata aku diinfus. Aku tak percaya tapi
aku benar-benar diinfus. Baru kali ini aku diinfus karena biasanya aku tak pernah
sesakit ini.

Aku mencoba turun dari ranjang dan tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Itu
adalah Ahjumma. Aku bisa mengenalinya. Ia terkejut saat melihatku mencoba turun
dari ranjang dan segera berlari mendekatiku.

“Agassi sudah sadar?”, tanyanya sambil meletakkan sebuah baskom berisi air
di meja dekat ranjang.

Aku mengangguk pelan.


“Agassi mau minum?”

Aku kembali mengangguk. Ahjumma segera mengambilkan air yang ada di


meja dekat rak buku. Lalu ia membantuku minum air itu.

“Agassi beristirahat saja. Aku akan memberitahu Doryeonnim kalau Agassi


sudah sadar.” Ia membantuku kembali berbaring. Ia segera keluar dari kamar dan
membiarkanku sendirian.

Aku sedikit tersenyum.

“Hia Haik Syehali.”

Tunggu. Apa ini? Suaraku? Apa yang terjadi padaku?

Aku terus berusaha untuk mengembalikan suaraku tapi itu semua hanya
sia-sia. Aku sudah mencoba berbicara tapi masih terdengar seperti orang yang
berbisik tak jelas. Tenggorokanku terasa sedikit sakit.

Beberapa menit kemudian seseorang membuka pintu kamarku. Ternyata itu


adalah Youngki. Ia berjalan mendekatiku dan duduk di pinggir ranjang. Tiba-tiba ia
meletakkan tangan kanannya di keningku. Aku yang masih belum seutuhnya sadar
hanya diam dan terus memandangnya. Tak lama ia menurunkan tangannya dari
keningku.

“Kau masih demam. Tapi syukurlah tidak separah kemarin.”

Aku terus memerhatikan wajahnya. Mata Youngki terlihat kemerahan dan


juga sedikit bengkak. Apa yang terjadi padanya?
“Apa kau merasa baik-baik saja?”

Aku mengangguk.

“Apa kau merasakan sakit?”

Aku menggelengkan kepalaku.

“Apa kau sudah makan? Kau sudah sadar dari tadi?”

Aku menggeleng lalu mengangguk.

“Ya. Kau jangan membuatku takut. Kenapa kau hanya menggeleng dan
menganggukkan kepalamu saja? Apa kau tak bisa bicara?”

Aku mengangguk lagi.

“Heol30. Apa kau tahu sudah dua hari kau tak sadarkan diri?”

“Hapa? Hau behanha?” Aku berbicara karena aku terlalu terkejut saat tahu
aku tak sadarkan diri selama dua hari.

Youngki diam sejenak. “Ya. Apa kau sedang bercanda? Kau hanya
menakutiku bukan?” Ia masih tidak percaya.

Aku diam. Tapi saat aku membuka mulutku untuk bicara ia menyuruhku
untuk diam saja.

“Sudahlah lupakan. Apa kau merasa tenggorokanmu sakit?”

Ahjumma masuk ke dalam kamarku dengan membawa mangkuk berisi bubur


dan satu mangkuk lagi berisi sup. Aku menundukkan kepala untuk berterimakasih
dan ia membalasnya dengan tersenyum. Aku terus memerhatikan Ahjumma sampai
keluar dari kamar dan menutup kembali pintunya.

30 Omong Kosong
Youngki membantuku duduk dan ia mengatur beberapa bantal di
punggungku sebagai sandaran. Ia mengambil mangkuk yang berisi bubur dan mulai
menyuapiku. Aku hanya diam melihatnya lali melihat sendok yang terisi penug oleh
bubur itu.

“Ayo buka mulut kecilmu itu. Sudah dua hari hanya mendapat nutrisi dari
infus”, bujuknya. Perlahan aku membuka mulutku dan melahap suapan dari tangan
Youngki.

“Rasanya lezat bukan? Kau harus makan sampai ini habis. Oke?”

Ia terus menyuapiku dan aku hanya bisa menurutinya. Tak lama terdengar
pintu kamarku diketuk oleh seseorang. Youngki memberiku segelss air lalu ia
bangkit dan segera membuka pintu kamarku. Aku melihat seorang pria berdiri di
balik pintu dan Youngki mempersilakan pria itu masuk. Mungkin orang ini yang
dihubungi oleh Youngki tadi, pikirku.

Pria itu segera duduk di pinggir ranjang sementara Youngki berdiri di


sebelah jendela kamar. Pria itu mulai memeriksaku. Dan aku baru tahu kalau orang
ini adalah seorang dokter. Ia memeriksa detak jantung, suhu, dan juga tekanan
darahku.

“Bagaimana keadaannya?” Youngki bertanya setelah dokter itu selesai


memeriksaku.

“Dia baik-baik saja. Semuanya sudah normal. Hanya demamnya saja yang
masih belum turun.”

“Uisa-nim. Suaranya juga menghilang. Tolong periksa tenggorokannya”,


pinta Youngki.

Dokter itu memeriksa tenggorokanku seperti yang diminta oleh Youngki. Ia


menyuruhku menjulurkan lidah. Ia juga menyuruhku sedikit berbicara. Ia menulis
sesuatu di kertas kecil dan menyerahkannya pada Youngki.

“Ia terkena radang tenggorokan. Mungkin itu terjadi karena kemarin dia
mengalami kehujanan. Berikan ia banyak minum air putih dan berikan obat ini
padanya.”
Setelah tiga hari aku hidup tanpa bersuara, akhirnya hari ini suaraku telah
kembali. Kini aku sudah bisa berbicara seperti biasanya bahkan aku juga bisa
berteriak.

Aku merasa tak enak hati pada Youngki karena selama aku sakit ia jadi
sering pulang ke rumah. Seperti dua hari yang lalu, baru tiga jam ia berangkat ke
kantor tapi ia kembali pulang untuk memastikan kalau aku sudah makan dan
meminum obatku. Beberapa menit setelah itu ia mendapat telepon dari sekretarisnya
bahwa ada meeting mendadak sehingga ia harus segera kembali ke kantor.

Tak hanya itu. Pada siang hari ia juga pulang dari kantor dengan alasan ia
sedang tidak enak badan tapi yang ia lakukan adalah menungguiku di kamar. Bahkan
tiap pagi dan menjelang tidur ia selalu masuk ke dalam kamarku tanpa permisi.

“Cepatlah berangkat. Gokjeong-hajima31. Aku akan baik-baik saja karena


Ahjumma yang merawatku. Awas saja kalau kau masih sering pulang lagi.” Aku
mengancamnya dan ia hanya tertawa.

Aku juga merasa tidak enak hati pada ayah Youngki. Han Sajangnim.
Beberapa hari yang lalu aku melihatnya sedang memerhatikan aku dan Youngki yang
ada di dalam kamar. Aku yakin kalau ia sebenarnya adalah orang yang baik. Hanya
saja kadang-kadang ia terlihat menyeramkan.

Aku beruntung sekali bisa bertemu dengan Youngki. Aku bahkan tidak bisa
membayangkan bagaimana kehidupanku jika aku tidak sengaja melukai dahinya saat
ada di dalam pesawat saat aku akan berangkat ke Korea satu minggu yang lalu.
Namun entah sampai kapan keberuntungan ini akan memihak kepadaku. Dan semoga
Tuhan menjaga keluarga Youngki dengan baik seperti Youngki menjagaku selama
ini.

31 Jangan khawatir
“Youngki-ssi? Apa kau belum bangun?”

Aku mengetuk pintu kamar Youngki beberapa kali tapi tak ada jawaban. Saat
itu sudah pukul delapan pagi. Biasanya Youngki yang selalu membangunkanku. Tapi
hari ini entah kenapa aku belum mendengar ocehannya.

“Youngki-ssi?” Aku kembali mengetuk pintu kamarnya dan


memanggil-manggil namanya.

“Agassi? Apa yang anda lakukan?” Aku sedikit kaget mendengar suara
Ahjumma yang tiba-tiba saja muncul di sebelahku. Sebelum aku menjawab
pertanyaannya tadi ia kembali berkata, “Doryeonnim sudah berangkat dari pukul lima
tadi. Ia akan bertemu klien di Busan.”

Dia sudah berangkat? Kenapa ia tidak berpamitan denganku?

“Agassi ingin sarapan? Sarapan sudah siap di meja makan. Apa Agassi ingin
makan di kamar saja?”

Aku diam sejenak. “Aku sedang malas makan. Aku makan nanti saja.”

“Tapi Doryeonnim berpesan agar aku memastikan Agassi makan tepat waktu.
Ia akan marah kalau tahu Agassi tidak mau makan”, kata Ahjumma sedikit
membujukku.

“Baiklah, Ahjumma. Aku tidak akan membiarkan Youngki memarahi


Ahjumma.”

Aku mengikuti Ahjumma menuju meja makan. Aku bisa melihat ada piring
di depan kursi yang biasa digunakan oleh ayah Youngki.

“Apa tadi Youngki juga sudah sarapan?”, tanyaku saat Ahjumma


menuangkan jus alpukat ke dalam gelasku.
Ahjumma mengangguk. “Doryeonnim hanya memakan roti dan meminum
segelas susu.”

Aku mengangguk pelan. Aku meneruskan makananku dan menghabiskannya.


Sementara Ahjumma membereskan dapur. Tak lama aku melihat bayangan ayah
Youngki keluar dari kamarnya. Ia menatapku sejenak lalu kembali berjalan untuk
berangkat ke kantor. Tiba-tiba ada SMS masuk ke ponselku.

“Apa kau sudah sarapan?”

Itulah isi SMS dari Jakkan Namja32.

Jakkan Namja? Siapa dia? Aku bahkan tidak pernah menyimpan kontak
seseorang dengan nama seperti itu. Aku berusaha mengingat-ingat dan aku sangat
yakin kalau aku tidak pernah menyimpan kontak seseorang dengan nama Jakkan
Namja.

“Ya. Apa kau masih tidur? Dasar panda!” Ia kembali mengirim SMS karena
aku tak segera membalasnya.

“Nugu-seyo33?” Aku mulai membalasnya.

Orang itu tidak membalas SMS dariku dan malah menelepon. Aku paling
tidak menyukai jika ada orang asing yang menghubungiku. Aku menolak telepon
darinya. Sudah lima telepon yang telah aku tolak tapi orang itu terus menelepon.
Akhirnya aku mengangkat teleponnya.

“Yeobo-seyo34? Nugu-seyo? Kenapa kau menghubungiku padahal kita tak


saling kenal.” Aku sedikit berteriak.

“Ya. Na-ya35.”

Sepertinya aku mengenali suara itu. Tapi dimana aku pernah mendengarnya.
Suara itu tidak asing bagiku.

32 Pria tampan
33 Siapa ini? (formal)
34 Halo
35 Ini aku
“Ya. Kenapa kau diam saja?”

Aku berhasil mengingatnya dan tertawa. “Youngki-ssi? Apa ini benar-benar


kau?”

“Youngki-ssi ani-eyo36. Busajangnim-i Han Youngki-eyo37.”

“Awas saja kalau kau sampai pulang ke rumah. Apa yang kau lakukan pada
ponselku?”

“Aku hanya bermain-main sedikit.” Ia sedikit tertawa. “Apa kau suka dengan
namaku di ponselmu?” Ia mulai menggodaku.

“Ya. Aku akan menghapus nomormu. Apa itu? Jakkan namja?”

“Tapi bukankah aku memang tampan?”

Kami berbicara selama beberapa menit sampai Youngki berkata kalau ia


harus bertemu dengan klien. Akhirnya aku memutuskan untuk membantu Ahjumma
di dapur. Aku melihatnya sedang mencuci piring dan aku berkata kalau aku ingin
membantunya tapi Ahjumma tidak mengijinkan aku untuk melakukannya. Ahjumma
bilang nanti tanganku akan kotor dan juga menjadi kasar. Akhirnya aku hanya
memerhatikan Ahjumma sampai selesai mencuci piring-piring itu.

Ahjumma mengajakku berjalan-jalan di taman dan juga menceritakan banyak


hal padaku. Ia menceritakan tentang kehidupannya dan juga saat ia bertemu dengan
Oh Ahjussi. Aku baru tahu kalau Ahjumma dan Oh Ahjussi adalah suami istri. Tak
hanya itu, Ahjumma juga menceritakan tentang kehidupan Youngki.

“Aku sudah berkerja pada Sajangnim sejak Doryeonnim berusia tiga tahun.
Doryeonnim sebenarnya mempunyai seorang adik perempuan usianya empat tahun

36 Aku bukan Youngki


37 Aku Wakil Direktur Han Youngki
lebih muda darinya. Adikya bernama Han Kiki dan ia sangat cantik. Keluarga mereka
sangat baik dan juga berbahagia. Tapi suatu ketika adik Doryeonnim meninggal. Saat
itu Sajangnim sangat marah dan mengusir ibu Doryeonnim dari rumah karena ia yang
bertanggungjawab atas kematian Han Kiki. Tak lama setelah itu, ada kabar kalau ibu
Doryeonnim mengalami gangguan kejiwaan dan ia meninggal karena bunuh diri.”

Aku merasa sangat kasihan pada Youngki. Pada usia semuda itu ia harus
kehilangan adik dan juga ibunya.

“Sejak saat itu Doryeonnim mulai menutup diri dan ia selalu menghindar dari
ayahnya. Ia dulu anak yang ceria tapi semenjak kejadian itu ia menjadi sangat
pendiam. Ia anak yang cerdas dan juga pintar tapi ia tidak pernah mempunyai
seorang teman.” Ahjumma memegang tanganku dan menatapku. “Tapi semenjak
Doryeonnim bertemu dengan Agassi, aku merasa Doryeonnim telah berubah. Ia
menjadi sering tersenyum dan tertawa semenjak Agassi tinggal di sini. Aku berharap
Agassi akan terus membuat Doryeonnim ceria seperti sekarang.”

Sebenarnya aku masih ingin tahu banyak tentang keluarga Youngki tapi
Ahjumma menyuruhku kembali ke kamar untuk meminum obat dan beristirahat.
Awalnya aku menolak tapi ahjumma berhasil membujukku. Setelah minum obat
mataku terasa berat hingga akhirnya aku tertidur.

Aku pikir Youngki akan langsung pulang tapi ternyata yang aku pikirkan itu
salah. Youngki bilang kalau ia harus menginap selama dua malam karena masih ada
jadwal pertemuan dengan klien. Saat Youngki sedang tidak sibuk, ia akan mengirim
SMS dan meneleponku. Bahkan sesekali ia mengirimkan MMS untukku.
“Jangan terlalu memikirkanku. Kau pasti merindukanku bukan?” Ia
mengirimkan itu bersamaan dengan fotonya yang tersenyum nakal. Lagi-lagi
senyuman itu.

Akhirnya aku hanya menghabiskan waktu dengan Ahjumma di dapur. Aku


membantu Ahjumma tapi yang aku lakukan adalah membuatnya kerepotan karena
aku tidak bisa memasak. Selain itu di pagi dan sore hari aku berjalan-jalan di taman
sekedar untuk mencari udara segar.

Aku baru tahu kalau ternyata Ahjumma dan Oh Ahjussi juga tinggal di rumah
ini. Tapi mereka tinggal di belakang rumah Youngki. Ahjumma bilang kalau ayah
Youngki yang membangun tempat itu dengan alasan agar Ahjumma dan Oh Ahjussi
tidak harus bolak-balik untuk bekerja.

Sore itu aku membantu Oh Ahjussi membersihkan taman. Aku membantu


menyirami tanaman sementara Ahjussi menyapu beberapa daun kering yang jatuh.
Sementara Ahjumma sedang menyiapkan makan malam di dapur.

Tiba-tiba aku mendengar suara klakson mobil. Aku menoleh ke arah mobil
yang baru datang itu. Aku melihat mobil hitam itu berhenti tepat di depan rumah
Youngki. Aku terus melihat mobil itu dan berharap kalau Youngki yang akan keluar
dari sana.

Tak lama aku melihat pintu mobil itu terbuka. Seorang pria dengan setelan
jas berwarna biru tua keluar dari dalam mobil. Dan aku langsung mengenali sosok itu.
Ia tersenyum ke arahku dan berjalan ke depan mobilnya.

“Apa yang kau lakukan di sana?”

Youngki telah pulang. Aku tak kesepian lagi sekarang. Sejak ia kembali sore
itu, aku selalu mengikuti kemana pun Youngki pergi. Aku juga menungguinya
sampai selesai makan dan mendengarkan ceritanya tentang Busan.
“Disana sangat indah. Tidak ramai seperti kota Seoul.” Ia menyendok sup
lalu melahapnya. “Kalau aku diperintahkan untuk memilih, aku akan memilih Busan
dari pada Seoul. Tapi rumahku ada di Seoul jadi aku tidak bisa melakukan apa-apa.”

“Bisakah kau mengajakku ke sana?”, tanyaku saat ia menceritakan


tempat-tempat yang ada di sana.

“Kenapa kemarin kau tidak menyusulku ke Busan?”

“Kau bercanda? Bagaimana kalau aku tersesat seperti kemarin?”

Ia tertawa saat aku mengatakan itu. Karena kesal aku meninggalkannya di


meja makan dan segera naik tangga untuk masuk ke dalam kamarku. Aku tahu ia
akan menyusulku ke kamar tapi saat itu ayahnya memanggilnya dan ia masuk ke
dalam ruangan ayahnya yang ada di lantai bawah. Beberapa menit kemudian ia
masuk ke dalam kamarku.

“Apa kau marah? Baiklah kalau ada waktu aku akan mengajakmu
jalan-jalan”, katanya setelah menutup pintu kamarku. Aku hanya diam tak menjawab.
“Besok aku libur. Apa kau mau pergi jalan-jalan denganku?”, tanyanya lagi.

Aku menggeleng.

“Apa kau yakin? Kemarin kau bilang saat sudah sembuh kau ingin aku
mengajakmu berkeliling Seoul kan?” Ia mencoba membujukku. Tapi aku mempunyai
ide yang lebih bagus.

“Besok aku akan mengajakmu bersenang-senang. Kau harus bangun yang


pagi”, ucapku sambil tersenyum nakal.

“Bersenang-senang?”
“Mwoya? Apa yang akan kita lakukan di sini?”

Aku bisa melihat kalau ia terkejut saat aku mengajaknya ke taman. Aku
hanya sekedar mengajaknya berjalan-jalan seperti yang aku lakukan saat ia berada di
Busan beberapa hari yang lalu.

“Kau tahu aku hanya berjalan-jalan mengelilingi taman ini. Aku tak berani
keluar dari pintu gerbang rumahmu lagi.”

Ia tertawa seperti biasanya. “Kau ini. Apa kau tak mengingat jalan yang telah
kau lewati?”

“Aku sangat sulit untuk menghafalkan jalan. Aku akan hafal jika aku sering
melewatinya. Dan kemarin baru pertama kalinya aku ke Mouse and Rabbit dan aku
tidak mungkin ingat jalannya.”

Kami terus berjalan hingga sampai di sebuah kolam yang ada di tengah
taman. Youngki melihat ke dalam kolam sejenak lalu kembali mendekatiku.

“Aku baru tahu kalau di dalam kolam ini tidak ada ikannya. Besok aku akan
membeli beberapa ikan,” katanya dengan penuh semangat.

“Jinja38? Apa aku boleh ikut?”

Ia berjalan menjauhi kolam itu dan aku membuntutinya.

“Youngki-ssi. Aku mau ikut membeli ikan bersamamu.” Aku terus meminta
agar ia mengajakku saat akan membeli ikan.

Ia hanya diam dan terus berjalan. Saat sudah berada di teras, ia berbalik ke
arahku. “Baiklah. Tapi besok kau harus ikut kemana pun aku pergi. Oke?”

38 Benarkah?
“Kita akan membeli ikan di mana?

Aku terus bertanya tapi Youngki hanya diam dan terus memacu mobilnya.
Aku tak tahu mau dibawa kemana oleh Youngki karena aku tak tahu jalan. Setelah
beberapa menit berkendara, akhirnya Youngki menghentikan mobilnya dan
mengajakku turun. Aku yang tak tahu apa-apa hanya menurut dengan yang ia
katakan.

Aku mengikuti langkah panjangnya karena aku jauh lebih pendek darinya.
Mungkin ia setinggi Yesung atau bahkan lebih tinggi Youngki sedikit. Aku tak tahu
saat ia berhenti dan itu membuat kepalaku menabrak punggungnya.

“Kau ini. Ayo kita masuk.”

Kali ini ia menggandeng tanganku dan berjalan dengan langkah yang lebih
pendek. Setelah masuk, aku bisa mengenali kalau ini adalah Istana Gyeongbok yang
dulu hanya bisa aku lihat dari blog dan juga dari drama Korea. Ia mengajakku
berkeliling dan juga berfoto. Ia juga sedikit bercerita tentang pengalaman pertamanya
berkunjung ke tempat ini saat ia masih duduk di SD.

“Youngki-ssi. Kapan kita akan membeli ikan?”

Youngki hanya diam dan tidak menjawab pertanyaanku. Ia malah


menyuruhku memakai Hanbok39. Ia bilang kalau aku terlihat manis saat memakainya.

39 Baju tradisional Korea


Ia membelikan Hanbok itu untukku dan menyuruhku untuk memakainya sampai
pulang nanti. Aku tak masalah untuk memakainya, tapi banyak orang yang mengenali
Youngki, putra satu-satunya Han Joongkok, sedang berjalan-jalan dengan seorang
gadis yang memakai Hanbok.

Youngki kembali mengajakku berjalan-jalan. Ia mengajakku ke Istana


Changdeok dan juga Bukchon Village, desa tradisional Korea. Akhirnya saat
matahari mulai tergelincir ke barat, ia mengajakku menuju Pet Shop untuk mencari
ikan. Di sana aku melihat seseorang yang tak asing dan aku langsung mengenalinya
walaupun baru melihatnya dari belakang.

“Yesung-ssi. Apa yang sedang kau cari?”

Aku melihat Yesung sedang mencari-cari sesuatu. Aku segera


menghampirinya dan meninggalkan Youngki yang sedang memilih ikan hias. Setelah
aku bertanya ternyata ia sedang mencari makanan untuk kedua anjingnya, Kkoming
dan Mello. Aku membantunya mencari makanan untuk anjing kesayangannya itu dan
aku berhasil menemukannya.

“Kamsahamnida. Bagaimana kau bisa mengenaliku?” Ia berbisik sambil


membuka sedikit masker hitam yang ia pakai.

Aku tersenyum. “Kau tahu ada berapa ratus fotomu yang ada di ponsel dan
laptopku? Aku sudah hafal walau hanya sekilas melihatnya.”

Ia ikut tersenyum mendengar jawabanku. Sejenak ia memerhatikanku dari


atas hingga bawah.

“Apa ini? Kau memakai Hanbok? Bisakah kita berfoto bersama?”

Akhirnya ia mengajakku berfoto dalam beberapa jepretan. Ia langsung


memposting foto kami dan ia juga bertanya tentang akun sosial mediaku. Setelah itu
ia mengajakku menuju meja kasir dan aku melihat Youngki telah selesai memilih
ikannya. Tapi aku melihat ada masalah dengan wajah Youngki. Ia terlihat kesal.

Aku mendekatinya dan memperkenalkannya dengan Yesung. Tapi yang


terjadi ia memberitahu Yesung tentang apa yang terjadi padaku beberapa hari yang
lalu.

“Kau membiarkannya sendiri dan tak mengantarnya pulang?” Youngki


langsung mencerocos dengan nada kesal.

“Youngki-ssi. Itu hanya salah paham.” Aku berbisik padanya.

“Apa kau tahu kalau ia tak tahu jalan? Ia bahkan kehujanan dan itu
membuatnya demam. Ia juga tak sadarkkan diri selama dua hari.” Aku benar-benar
merasa malu saat Youngki mengatakan semuanya pada Yesung.

“Apa? Apa itu benar-benar terjadi padamu?” Yesung bertanya seakan tak
percaya.

Aku mengangguk dan menceritakan semuanya. Namun ditengah ceritaku


Youngki mengajakku untuk segera pulang.

“Aku pulang dulu, Yesung-ssi.”

“Kenapa kau memberitahunya tentang kejadian kemarin?”

Aku bertanya saat kami sudah berada di dalam mobil. Tapi Youngki hanya
diam dan terus memerhatikan jalan. Hari telah gelap tapi suasana jalan terlihat lebih
ramai. Youngki masih diam. Aku tak berani berbicara dan ikut diam. Beberapa saat
kemudian Youngki menghentikan mobilnya dan mengajakku turun.

“Kita ada di mana? Kenapa di sini sangat ramai?”

“Sekarang kita ada di Myeongdong. Sebentar lagi musim dingin dan aku
yakin kau belum punya mantel dan pakaian musim dingin.”
Ia berjalan dan membiarkanku membuntutinya. Tapi suasana di sini sangat
ramai. Aku terus mengikuti langkah cepatnya tapi memakai Hanbok ini menjadikan
aku susah untuk berjalan. Aku menjinjing sedikit Hanbokku dan sedikit berlari agar
tak ia tinggal. Tapi benar saja aku telah tertinggal di belakangnya.

Aku menoleh ke kanan, lalu ke kiri, dan juga ke belakang. Tapi aku tidak
bisa menemukan Youngki. Aku mulai gelisah. Aku kembali berlari dan mencoba
mencarinya. Aku mencoba mengingat baju yang Youngki pakai.

“Celana hitam dan kemeja putih.”

Aku mengingatnya. Aku terus mencarinya tapi aku tidak bisa menemukan
Youngki. Saat aku mulai menangis tiba-tiba ada seseorang yang menarik tangan
kananku.

“Ya. Kenapa kau tidak mengikutiku?”

Aku sangat bersyukur bisa melihatnya lagi. Tapi aku juga kesal karena ia
meninggalkanku.

“Itu karena kau berjalan terlalu cepat. Aku tidak bisa mengikutimu.” Aku
mulai menangis. “Dan juga baju ini. Aku sangat benci baju ini. Aku jadi sulit berjalan
karena baju ini, Youngki-ssi.”

Aku menangis di tengah kerumunan orang-orang. Aku yakin mereka pasti


menatap aneh ke arahku. Tapi aku melihat Youngki tersenyum. Tiba-tiba ia
memelukku dan meminta maaf.

“Mian-hae40. Aku akan membelikan baju baru untukmu.”

“Cepat masuk ke kamarmu dan mandilah. Hari ini aku tidak akan ke
kamarmu. Kau istirahat saja.”

40 Maafkan aku (in-formal)


Aku menuruti perintah Youngki. Aku segera masuk kamar dengan membawa
beberapa tas belanja. Tadi Youngki membelikan beberapa baju dan juga mantel
untukku. Ia juga membelikan jepit rambut yang warnanya cocok dengan Hanbok
yang aku pakai. Selain itu, ia juga mengajakku makan Ddobeokki dan juga beberapa
makanan yang di jual di Myeongdong.

Sehabis mandi aku keluar kamar dan berjalan pelan mendekati kamar
Youngki yang berada tepat di depan kamarku. Aku menempelkan telinga kiriku di
pintu tapi aku tak mendengar apa-apa. Akhirnya aku menempelkan telinga kananku
dantetap tidak mendengar apapun dari dalam kamar Youngki.

“Ya. Mwo-hanya?”

Itu suara Youngki. Ia berteriak dari ujung tangga.

“Aku mau meminjam charge ponsel. Tapi power bank milikku masih
berfungsi dan aku tidak jadi meminjamnya.”

Aku segera berlari masuk ke kamarku dan menutup pintunya. Aku berdiri di
balik pintu dan tidak mendengar apapun di depan kamarku. Apa Youngki
benar-benar tidak akan ke kamarku malam ini?

Karena Youngki tidak menyusulku ke dalam kamar, akhirnya aku


memutuskan untuk membuka akun sosial mediaku. Aku sangat terkejut saat baru
membukanya.

“Eonni. Apa itu benar-benar kau?”

“Hana. Kau hebat sekali bisa bertemu dengannya dan juga berfoto
dengannya.”

“Daebak41! Kemarin bertemu di bandara dan sekarang bertemu di Pet Shop?”

Itulah beberapa pesan yang masuk dalam akun yang aku miliki. Ini kedua
kalinya setelah beberapa minggu yang lalu fotoku juga membuat gempar para
warganet saat jatuh di depan Yesung. Dan sekarang fotoku memakai Hanbok
bersama yesung yang menjadi heboh.

41 Luar biasa
Setelah puas membaca pesan yang berisi pujian serta celaan aku menjadi
sedikit was-was. Tepatnya perasaan takut. Itu karena Yesung telah memposting foto
kami berdua bahkan wajahnya benar-benar terlihat di foto itu. Bahkan ia juga
menandai akun sosial mediaku sehingga banyak juga yang mengikuti akunku dan
banyak juga yang berkomentar di postinganku yang lama.

Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu kamarku.

“Hana? Apa kau sudah tidur?”, tanyanya sambil mengetuk pintu kamarku.

“Kenapa Youngki mengetuk pintu kamarku? Biasanya ia lngaung masuk ke


sini”, gumamku.

Aku segera bangkit dan berjalan menuju pintu. Aku lupa ternyata tadi aku
mengunci pintu kamarku. Aku segera membuka kuncinya dan membuka pintu kamar.
Youngki langsung masuk saat ia melihat pintu kamarku telah terbuka.

Seperti biasanya, ia duduk di kursi dekat ranjangku. Padahal dulu kursi itu
ada di dekat rak buku. Aku sangat yakin kalau Youngki yang memindahkannya di
dekat ranjang. Bahkan pernah sekali aku mengembalikan sofa itu di dekat rak buku
tapi entah bagaimana sofa itu kembali bertempat di dekat ranjangku.

Youngki hanya diam tak seperti biasanya.

“Apa kau marah?” Aku bertanya saat sudah duduk di ranjangku.

“Meolla42”, jawabnya. “Aku kesal saat kau membahas tentangnya. Dan tadi
saat kau menghampirinya aku merasa sangat kesal.” Ia menatapku. “Dia hanya
membuatmu dalam masalah. Pertama di bandara. Yang kedua kau jadi sakit selama
hampir seminggu.”

“Youngki-ssi. Kenapa kau jadi seperti ini?”

42 Aku tidak tahu


Hari terus berlalu. Aku merasa tak enak hati jika terus bersantai-santai di
rumah. Sementara Youngki, Han Sajangnim, Oh Ahjussi, dan Ahjumma selalu sibuk
bekerja. Akhirnya aku memutuskan untuk memcari pekerjaan.

Beberapa hari yang lalu saat aku menemani Ahjumma berbelanja, aku
melihat ada sebuah toko bunga yang sedang mencari pekerja paruh waktu. Saat itu
juga aku langsung mencoba berbicara dengan pemilik toko dan akhirnya aku diterima
bekerja di sana. Hari ini adalah hari pertama aku masuk kerja.

“Youngki-ssi. Aku pergi dulu ya?” Aku berteriak dari depan pintu kamar
Youngki.

“Eodiga 43 ? Berbelanja dengan Ahjumma lagi?” Ia berteriak dari dalam


kamar. Ia belum membuka pintu kamarnya.

“Aku mau pergi bekerja”, jawabku.

Beberapa detik kemudian Youngki membuka pintu kamarnya.

“Ya. Kenapa kau bekerja?” Aku bisa melihat ekspresi kaget di wajahnya.

“Aku melakukan itu karena aku bosan di rumah. Aku juga merasa tak enak
hati saat semua orang sedang sibuk bekerja sedangkan aku hanya bersantai-santai di
kamar”, jelasku.

“Kau bekerja dimana?”, tanyanya sambil memakai dasi.

43 Kemana kau pergi?


“Di toko bunga yang ada di ujung jalan perumahan”, jawabku. “Aku
berangkat dulu, Youngki-ssi.”

Aku segera pergi sebelum ia bertanya lagi. Tapi di lantai bawah aku
berpapasan dengan Han Sajangnim yang saat itu ia baru keluar dari ruangannya.
Walau sedikit merasa ragu, aku menyapanya dan memberitahunya kalau aku akan
pergi bekerja. Awalnya ia hanya diam, tapi saat Han Sajangnim akan pergi ia berkata,
“Di dalam garasi ada sepeda milik Youngki. Mintalah bantuan pada Ahjumma untuk
mengambilkannya. Pakailah sepeda itu jika kau mau.”

“Ya. Dari tadi kau baru sampai di sini?”

Aku melihat Youngki telah berada di dalam mobil. Ia terlihat mengeluarkan


kepalanya dari jendela. Ia berteriak memanggil-manggil namaku dan
melambai-lambaikan tangannya.

“Agassi. Apa anda butuh tumpangan?”

Ia terus menggodaku. Sedangkan aku terus mengayuh sepeda yang dulunya


milik Youngki.

“Ya. Hajima44.” Aku berteriak karena kesal ia terus menggodaku.

“Baiklah. Jangan lupa bayar uang sewa untuk sepeda yang kau pakai ya.
Jalka, Agassi.” Setelah mengatakan itu ia meminta Oh Ahjussi untuk mempercepat
mobil yang mereka tumpangi.

44 Jangan lakukan itu


Tak lama akhirnya aku telah sampai di tempatku bekerja. Aku diberi tugas
untuk menata bertangkai-tangkai bunga. Ada bunga mawar, lili, lavender, krisan, dan
banyak yang lainnya. Aku memang sangat menyukai bunga seperti namaku. Hana
dalam bahasa Jepang berarti bunga.

Aku merasa sedikit lelah karena selama ini aku tak pernah bekerja
sebelumnya. Tapi aku harus tetap bersemangat karena aku tak mau merepotkan
Youngki terus. Sore itu aku sedang belajar membuat karangan bunga bersama
Minyoung Eonni tiba-tiba masuk sosok yang tak asing bagiku.

“Apa di sini ada bunga tulip?”, tanya orang itu saat baru masuk toko. Sang
pemilik toko bunga, Miss Kim, menyuruhku untuk melayani orang itu.

“Di sini tidak ada bunga tulip”, jawabku singkat.

“Hana. Kau harus sopan pada pelanggan kita”, kata Miss Kim.

Aku mendekati pria itu dan menyeret lengannya. Aku membawanya keluar
dari toko.

“Ya. Apa yang kau lakukan di sini? Jangan menggangguku bekerja” Aku
berbisik padanya.

“Aku ke sini untuk membeli bunga” Ia terlihat menyentuh beberapa bunga


mawar merah.

“Dirumah sudah ada banyak bunga. Jadi cepatlah pulang.”

“Aku mau menunggumu. Kita bisa pulang bersama nanti.”

Mulai hari itu Youngki selalu menjemputku di sore hari saat ia pulang dari
kantor. Ia selalu turun di depan toko dan menyuruh Oh Ahjussi untuk pulang lebih
dulu. Setelah itu ia akan menuntun sepedanya dan mengajakku berjalan kaki. Tapi
suatu sore ia bilang kalau ia tidak bisa pulang karena ia ada meeting dengan klien
penting dan ia menyuruhku untuk tidak menunggunya.

“Akhirnya hari ini aku bisa pulang dengan naik sepeda dan tidak berjalan
kaki lagi”, gumamku.

Aku kembali menata bunga-bunga yang ada di depan toko dengan sedikit
bernyanyi karena merasa senang tidak harus berjalan kaki hari ini. Tapi... . Pasti sepi
sekali kalau aku pulang sendirian tanpa Youngki. Di tengah lamunanku itu tiba-tiba
muncul seorang wanita yang kira-kira berumur empatpuluhan. Dia menghampiriku
yang ada di depan toko.

“Rose.” Ia menunjuk mawar merah yang dari tadi sedang aku rapikan.

Aku terus memperhatikan wanita itu karena selama beberapa hari selama aku
bekerja di sini aku tak pernah melihatnya. Bajunya terlihat tak rapi dan rambutnya
terlihat kusut. Tapi dari wajahnya terlihat kalau ia cantik. Dan sepertinya mentalnya
seddikit terganggu.

“Rose.” Ia mengatakan itu lagi karena aku hanya diam. “Berikan aku bunga
mawar itu”, tambahnya sambil menunjuk mawar mewah yang ada di tanganku.

Aku memberikan setangkai bunga mawar padanya. Setelah memberikan


uang padaku, ia langsung pergi. Aku terus melihatnya berlalu dan baru sadar kalau ia
melupakan uang kembaliannya.

Aku segera meminta uang kembalian pada Miss Kim dan berpamitan untuk
pulang karena jam kerjaku telah habis. Aku keluar toko dan langsung mengayuh
sepedaku.

Aku terus mencari wanita tadi untuk memberikan uang kembaliannya. Aku
menyusuri jalan yang di lewati wanita tadi. Aku mengayuh sepedaku dengan
menoleh ke kanan dan kiri agar bisa menemukannya.

“Kemana orang itu pergi?”, gumamku sambil mengayuh pedal sepeda.


Aku terus berusaha mencarinya sampai ujung perumahan yang di bawahnya
ada kompleks rumah milik masyarakat biasa. Ya, memang ini adalah kawasan
perumahan orang-orang kaya, termasuk rumah Youngki.

Disaat aku melewati salah satu gang, aku melihat wanita itu menuruni jalan
yang bertangga. Dengan segera aku memarkir sepedaku dan berlari menyusul wanita
itu.

“Ahjumma! Ahjumma!” Aku berteriak dan terus mengejarnya. Tapi ia malah


mempercepat langkahnya. Aku terus berlari hingga bisa mencapainya lalu aku meraih
lengannya. Namun ia mendorongku ke pagar tembok yang mengapit jalan ini. Ia
mendorongku sampai tersungkur dan aku merasakan sedikit nyeri pada tangan
kananku.

“Bukan aku yang melakukannya! Jangan menangkapku!” Ia berteriak sambil


menutup kedua telinganya menggunakan tangan. Aku berdiri dan perlahan-lahan
mendekatinya.

“Ahjumma. Aku ke sini untuk menyerahkan uang kembalian Ahjumma.


Uang yang Ahjumma gunakan untuk membeli bunga itu terlalu banyak. Dan ini
kembaliannya”, kataku sambil menyerahkan uang kembaliannya.

“Kau bukan orang jahat?” Ia bertanya dengan sedikit ragu.

Aku menggeleng sambil tersenyum. Kemudian ia menerima uang yang ada


di tanganku.
Kini hari mulai gelap dan aku masih dalam perjalanan pulang. Dalam
perjalanan aku masih mengingat wanita tadi. Aku terus memikirkannya dan tak terasa
aku sudah dekat dengan rumah Youngki. Namun aku melihat sosok berwarna putih
tengah berdiri di depan pintu gerbang rumah Youngki.

Siapa yang ada di depan rumah Youngki? Dan kenapa berwarna putih?,
pikirku.

“Hantu?”

Aku segera mengerem sepeda yang aku tumpangi dan terus memperhatikan
sosok itu. Ia terlihat mondar-mandir di depan rumah Youngki. Aku menengok ke
sekitar dan suasanya sangat sepi. Aku mulai takut dan memutuskan untuk memutar
dan kembali ke toko bunga dari pada terjadi sesuatu yang tidak di inginkan.

Saat aku mulai mengayuh sepeda untuk kembali ke toko bunga, aku
mendengar sayup-sayup orang memanggil namaku.

“Baru kali ini aku di panggil oleh hantu.”

Aku semakin mempercepat kayuhanku karena merasa takut. Tapi aku


mendengar suara langkah yang mengikutiku dan suara itu terus memanggil-manggil
namaku. Tiba-tiba suara itu menghilang dan malah sepedaku yang tak bisa bergerak.

“Tuan hantu tolong jangan lakukan apa-apa. Tolong lepaskan aku.” Aku
berteriak ketakutan.

“Ya. Kau bilang aku hantu?”

Mendengar suara itu aku langsung menoleh. Aku melihat Youngki sedang
memegang bagian belakang sepeda tang sedang aku tumpangi.

“Kau ini. Kau kira aku tidak lelah berlari-lari mengejarmu yang naik
sepeda?”
“Itu karena kau memakai baju dan celana yang berwarna putih. Jadi aku kira
kalau kau itu hantu,” jelasku.

“Kenapa kau tidak segera pulang?”

“Aku ada urusan sebentar”, jawabku.

“Kau ini. Biarkan aku yang membawa sepedanya.”

Youngki mencoba meraih setir dari sepedanya tapi ia malah memegang


tangan kananku.

“Aaah... .” Aku berteriak kesakitan.

“Kau kenapa? Berikan tanganmu.” Ia mencoba melihat tangan kananku.


“Hanya lecet sedikit. Tapi kenapa kau berteriak keras sekali?” Ia memegang
tanganku lagi.

“Youngki-ssi! Rasanya sakit.”

Youngki segera membawaku pulang. Lalu ia menelepon Dokter Kang,


dokter yang memeriksaku saat sakit kemarin. Tak lebih dari satu jam Dokter Kang
sudah datang dan ia langsung memeriksa tanganku.

“Tangannya hanya terkilir. Dalam beberapa hari pasti akan segera sembuh”,
jelasnya. “Aku mendengar kalau kau mulai bekerja?”

Aku mengangguk.

“Liburlah dulu dan beristirahatlah sampai tanganmu sembuh”, perintahnya.


Setelah Dokter Kang pergi, Youngki langsung mendekatiku. Ia
memperhatikan tanganku yang di perban selama beberapa detik.

“Apa benar-benar sakit? Apa kau terjatuh? Tapi... . Kenapa tidak ada bekas
goresan di sepedanya? Kau bertemu dengannya lagi?”

“Dengannya? Maksudmu Yesung?”, tanyaku.

Aku melihatnya menghela napas.

“Aku tidak bertemu dengannya. Tadi di toko bunga aku tidak sengaja
terpeleset.” Aku mencoba beralasan dan Youngki percaya dengan yang aku katakan.

“Kalau begitu cepatlah beristirahat. Dan mulai besok kau tidak usah pergi ke
toko bunga. Aku akan memberitahu Miss Kim kalau kau sedang sakit.”

Aku duduk di meja makan sambil memperhatika makanan yang telah


disajikan oleh Ahjumma. Aku mencoba memegang sendok dengan tangan kananku
tapi masih terasa sakit. Akhirnya aku mencoba menggunakan tangan kiriku tapi
karena tidak terbiasa itu menjadi sangat sulit untuk melakukannya.

“Ya. Apa yang kau lakukan?” Youngki segera mendekat dan duduk di kursi
yang ada di sebelahku. Ia sudah siap dengan setelan jasnya. “Biarkan aku yang
menyuapimu makan.” Ia merebut sendok yang ada di tanganku.

“Apa yang kau lakukan? Kau harus segera berangkat ke kantor.” Aku
mencoba menolak.

“Diamlah. Ayo buka mulutmu.” Ia memaksa untuk menyuapiku dan aku


hanya menurut.

“Youngki. Cepat berangkat ke kantor atau pekerjaanmu akan menumpuk.”


Ayah Youngki tiba-tiba muncul dan mengatakan itu dari depan ruangannya. Setelah
mengatakan itu Han Sajangnim langsung mengilang.
“Cepat habiskan makananmu atau aku akan dimarahi oleh Abeoji.” Ia terus
menyuapiku sampai makanku habis. “Minumlah susu dan juga obatmu. Lalu
istirahatlah di kamar”, katanya sambil berlari keluar rumah.

Aku segera minum segelass susu yang sudah disiapkan oleh Ahjumma.
Beberapa detik kemudian aku baru sadar kalau ponsel Youngki tertinggal di meja
makan. Aku segera berlari mengejarnya dan ternyata ia baru akan masuk ke mobil.
Aku berlari ke teras dan berteriak memanggilnya.

“Youngki-ssi. Kau melupakan sesuatu?” Aku mendekatinya tapi aku


menyembunyikan ponselnya dibelakang tubuhku.

Ia tak jadi masuk mobil dan menatap kearahku. “Tidak ada. Memangnya apa
yang aku lupakan?”

“Coba kau ingat-ingat”, godaku.

“Ah... .” Ia berjalan mendekatiku lalu berbisik, “Morning Kiss-eu45?”

Aku memukul dada bidangnya dan mengangkat ponselnya yang tertinggal.


“Ini. Ciumlah ponsel ini sesukamu.”

Setelah memberikan ponsel milik Youngki yang tadi tertinggal akhirnya


aku memutuskan untuk berjalan-jalan di taman. Cuacanya mulai dingin. Mungkin
sebentar lagi kota Seoul akan mengalami musim dingin yang bersalju. Aku
membayangkan sedang bermain salju bersama dengan Youngki. Pasti akan sangat
menyenangkan.

Aku terus berjalan mengelilingi taman hingga akhirnya aku sampai di pojok
taman. Aku menarik napas lalu menghembuskannya pelan. Saat akan berbalik aku
melihat sesuatu di pagar rumah Youngki. Aku mendekat dan ternyata itu adalah
bunga mawar. Ada beberapa tangkai bunga mawar merah layu dan sebagiannya telah
kering. Aku segera mengambil dan memperhatikannya.
45 Ciuman di pagi hari
“Bunga mawar? Kenapa ada bunga mawar di sini?” Aku mencoba berpikir
tapi aku mendengar suara Ahjumma sedang memanggilku.

“Agassi. Agassi dimana?”

Aku segera menghampiri Ahjumma. Aku melihatnya telah membawa obat


dan juga segelas air.

“Ada apa, Ahjumma?”, tanyaku.

“Agassi harus segera minum obat. Doryeonnim sudah menelepon dan


menanyakan apakah Agassi sudah meminum obat”, jelasnya.

“Apa? Padahal dia baru saja berangkat dan sudah menelepon Ahjumma?”

Ahjumma hanya mengangguk. Kemudian ia menyodorkan obat dan juga


segelas air yang dibawanya. Aku segera meminum obat itu.

“Ahjumma. Apa Ahjumma tahu orang yang meletakkan bunga-bunga ini?”

“Bunga? Bunga apa Agassi?” Ahjumma berbalik bertanya padaku. Aku


menunjukkan bunga yang mulai layu itu padanya. “Aku tidak pernah melihat
bunga-bunga itu. Dimana Agassi menemukannya?”

“Aku menemukannya di pojok taman”, jawabku sambil menunjuk ke arah


aku menemukan bunga-bunga itu.

Ahjumma hanya diam. Wajahnya terlihat bingung.

“Ahjumma. Apa di rumah ini ada cctv?”

Ahjumma bilang kalau ruangan yang menyimpan hasil dari cctv adalah
dalam kamar ayah Youngki. Aku langsung merasa merinding saat Ahjumma
mengatakan itu. Aku tidak berani berhadapan dengannya. Akhirnya aku memutuskan
untuk menyimpan bunga layu itu dalam laci di kamarku.
Ahjumma bilang kalau akan pergi berbelanja dan kini aku sedang di rumah
sendirian. Sempat terpikir olehku untuk memeriksa rekaman cctv di ruangan ayah
Youngki tapi aku bahkan tak berani mendekati pintu kamarnya. Akhirnya aku
memutuskan untuk bersantai-santai di dalam kamar.

“Kenapa sepi sekali?”

Tiba-tiba Youngki memasuki kamarku Seperti biasa ia langsung melesat


masuk ke dalam kamarku. Aku yang sedang tiduran di ranjang langsung bangun dan
kini aku tengah duduk di atas ranjang.

“Ahjumma sedang berbelanja. Ia tidak mengijinkanku ikut”, jawabku.

Youngki mendekat lalu duduk di kursi yang ada di dekat ranjang seperti
biasa. Mungkin ia memang sengaja meletakkan kursi itu disana.

“Kenapa kau sudah pulang? Bahkan ini belum jam makan siang.”

“Ini rumahku. Jadi terserah kalau aku mau pulang kapan saja”, jawabnya
dengan nada sedikit sombong.

“Ne, Agesseumnida46 Busajangnim,” kataku sambil menundukkan kepala


untuk menunjukkan penghormatan.

“Kau ini!”

Youngki menggelitiki pinggang dan juga perutku. Aku meronta karena aku
tak tahan geli.

“Hentikan, Youngki-ssi”, teriakku sambil menarik jas Youngki. “Perutku


sakit.” Aku merasakan perutku kram karena terlalu lama tertawa tapi Youngki belum
berhenti mengerjaiku. Kini aku mendorong tubuhnya kebelakang namun ia malah
kehilangan keseimbangan. Akhirnya aku menarik tangannya.

46 Saya mengerti
Aku menutup mata dan merasakan ada sesuatu di atas tubuhku. Aku
membuka salah satu mataku dan yang aku lihat adalah wajah tampan Youngki yang
tepat berada di atas wajahku. Aku yang kaget langsung mebuka kedua mataku karena
tak pervaya dengan yang baru saja aku lihat. Youngki benar-benar terjatuh di atas
tubuhku di atas ranjang.

Beberapa detik kami terdiam, akhirnya Youngki berusaha bangkit lalu


merapikan jas yang ia pakai. Aku segera bangun dari ranjang dan merasa sangat
gugup.

“Ah... . Aku akan menyuruh Ahjumma untuk menyiapkan makan siang. Pasti
Ahjumma sudah pulang”, katanya sambil pergi meninggalkanku sendirian di dalam
kamar.

“Bodoh. Apa yang baru saja terjadi padaku?” Aku mengomel pada diriku
sendiri sambil menepuk kedua pipiku. “Eottohke 47 ? Bagaimana nanti kalau aku
bertemu dengannya? Aku malu sekali.” Aku terus bergumam tak jelas.

Akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar dan turun ke bawah untuk
makan siang. Dengan sedikit ragu aku membuka pintu kamar lalu aku menguping di
depan pintu kamar Youngki tapi tak ada suara apapun dari dalam sana. Aku berjalan
pelan dan menuruni tangga menuju meja makan. Aku menengok ke kanan dan kiri
untuk memastikan kalau Youngki tidak ada.

“Apa yang Agassi lakukan?”, tanya Ahjumma yang sedang menyiapkan


piring di meja makan.

Aku menegakkan badanku dan mendekatinya. “Youngki-ssi kemana?”

“Doryeonnim? Ia pergi setelah menyuruhku untuk menyiapkan makan siang


untuk Agassi.”

“Syukurlah dia sudah pergi”, ucapku pelan.

“Apa terjadi sesuatu? Tadi aku melihat wajahnya sangat aneh.”


47 Bagaimana
Setelah kejadian itu aku merasa sangat malu saat bertemu dengan Youngki.
Kira-kira selama dua hari aku merasa gugup dan sepertinya itu juga terjadi padanya.
Bahkan kadang aku menjadi salah tingkah saat tak sengaja berpapasan dengannya.
Padahal sebelum kejadian itu terjadi aku tak pernah merasa gugup seperti ini. Tapi
sejak kemarin kami sudah berperilaku seperti biasanya. Ia mulai datang ke kamarku
seperti yang biasa ia lakukan.

Dan hari ini aku sudah masuk kerja lagi. Tanganku sudah sembuh dan aku
tak merasakan sakit. Tapi Youngki masih saja khawatir saat aku bilang akan
berangkat bekerja.

“Apa benar-benar sudah sembuh?” Ia bertanya sambil memperhatikan


pergelangan tanganku.

“Ne, Youngki-ssi. Lihatlah ini.” Aku memutar pergelangan tanganku agar ia


percaya kalau aku memang sudah sembuh. “Sudah tidak sakit lagi”, kataku sambil
tersenyum.

Akhirnya ia mengijinkanku untuk pergi bekerja tapi dengan syarat aku harus
berangkat dan pulang bersama dengannya. Bisa dipastikan jika aku menolaknya ia
tak akan membiarkanku bekerja lagi. Sebelum kami berangkat, ia mengingatkanku
agar memakai mantel karena cuacanya sudah mulai dingin.

“Pakailah mantel yang kemarin aku belikan. Cuacanya sudah mulai dingin”,
katanya saat kami baru saja selesai makan.

Aku menurut dan segera kembali ke kamar untuk memakai mantel yang
dibelikan olehnya. Setelah itu kami berangkat tapi Youngki menolak saat Oh Ahjussi
akan mengantar kami. Ia bilang kalau ia akan menyetir sendiri mobilnya. Ia
mengantarku sampai ke toko bunga lalu ia segera memacu mobilnya untuk pergi ke
kantor.

Seperti biasa aku langsung merapikan dan menata bunga yang ada di depan
toko. Hari ini toko cukup ramai sehingga bunga yang kami butuhkan cukup banyak.
Aku membantu Minyoung Eonni menggunting tangkai bunga dan ikut membuat
bouquet48 bersamanya.

Hingga saat hari mulai sore datanglah seorang pembeli yang aku langsung
mengenali sosoknya.

“Permisi. Apa aku bisa membeli beberapa bunga di sini?”

“Kenapa Yesung-ssi membeli bunga banyak sekali?”, tanyaku pada Yesung


yang sedang menghitung bunga yang akan dibelinya.

“Aku ingin meletakkannya di meja kafe. Mungkin pelangganku akan merasa


senang dengan ini”, jawabnya sambil tersenyum padaku. Untuk kesekian kalinya
rasanya aku akan meleleh saat melihat senyumannya itu. “Apa ada bouquet juga?”

“Ada, Yesung-ssi. Kau mau yang ini atau mau aku buatkan bouquet yang
baru?”, tanyaku sambil menunjukkan bouquet yang telah aku buat tadi.

“Aku tidak mau yang itu. Tolong buatkan bouquet yang baru. Eommaku
sangat menyukai bunga mawar merah”, jelasnya.

Aku membuatkan bouquet bunga terbaik untuk ibu Yesung. Setengah jam
kemudian Yesung membayar semua bunga yang dibelinya. Saat Yesung berpamitan
untuk pulang, Miss Kim menyuruhku untuk ikut dengannya.

“Tapi jam kerjaku masih belum habis, Miss.”

“Kau sudah bekerja keras. Sekarang kau ikutlah dengannya dan bantu dia
mengatur bunga-bunga itu di kafenya. Setelah itu kau bisa langsung pulang.”

Akhirnya Yesung benar-benar mengajakku ke kafe Mouse and Rabbit


miliknya. Saat kami sampai ternyata kafe dalam keadaan cukup ramai. Aku merasa
sedikit gugup saat Yesung mengajakku keluar dari mobil. Aku sempat menolak
ajaknnya tapi ia berhasil meyakinkanku dan akhirnya aku mau keluar dari mobil. Ia
48 Karangan bunga
keluar dari mobil lebih dulu lalu aku membantunya membawa masuk bunga-bunga
yang telah ia beli di toko bunga Miss Kim. Tapi aku merasa detak jantungku menjadi
sangat cepat.

“Yesung-ssi. Apa akan baik-baik saja kalau aku ikut masuk ke dalam?” Aku
masih sedikit ragu.

“Tentu saja. Ikuti aku.”

Aku dan Yesung masuk di ikuti dengan teriakan para gadis yang ada di
dalam kafe milik Yesung. Yesung terlihat tersenyum sambil membawa sebuah
kantong belanjaan berisi bunga dan juga bouquet di tangan kirinya. Sedangkan aku
yang ada di belakang Yesung berusaha untuk menyembunyikan wajahku. Tadi
sebelum kami masuk ke dalam kafe Yesung memberikan sebuah masker untuk aku
pakai. Aku sedikit menundukkan kepala agar mereka tidak mengenaliku.

Aku terus mengikuti langkah kaki Yesung. Ia mengajakku menuju lantai dua
kafe yang saat itu memang tak ada seorang pun di sana. Aku menyadari kalau semua
orang tengah mengawasiku. Mereka semua telah memotret bahkan melakukan live
video sejak aku dan Yesung keluar dari dalam mobil. Yesung membawaku ke sebuah
meja dan ia meletakkan barang bawaannya di sana. Akhirnya aku memutuskan untuk
membelakingi gadis-gadis yang sedang memegang ponsel masing-masing yang
diarahkan pada Yesung.
Tak lama datanglah seorang pria dan aku bisa tahu kalau ia adalah Jongjin,
adik Yesung. Ia membawa beberapa vas bunga dan juga beberapa botol berisi air.
Yesung memperkenalkan kami dan aku menyambut uluran tangan Jongjin. Setelah
beberapa menit ia mengobrol dengan Yesung akhirnya ia kembali turun ke bawah.
Meninggalkan aku dan Yesung, berdua.

Aku segera mengisi vas-vas tadi dengan sedikit air. Lalu aku meletakkan
beberapa bunga mawar di dalamnya. Yesung terlihat memotret beberapa bunga yang
telah aku letakkan ke dalam vas. Setelah itu ia berusaha membantuku tapi aku tidak
mengijinkan ia melakukannya.

“Biarkan aku saja yang melakukannya, Yesung-ssi”, bisikku pada Yesung


yang berdiri di depanku.

“Gwaenchanha”, jawabnya sambil tersenyum.

Aku melihat ia sedang melambaikan tangannya yang memegang bunga


mawar dengan tersenyum ke arah gadis-gadis yang tengah menatap kami. Aku
merasa semakin gugup dan juga sedikit kesal padanya.

“Yesung-ssi. Apa yang kau lakukan?”, bisikku. “Mereka akan semakin


memperhatikan kita”, ucapku kesal.

“Ne, ne, ne. Aku diam saja.”

Setelah selesai menata bunga-bunga itu ke dalam vas akhirnya Yesung


memanggil karyawannya untk menaruh bunga-bunga itu di setiap meja yang ada di
kafenya. Aku yang masih merasa gugup memutuskan untuk duduk karena sedari tadi
aku berdiri untuk menata bunga. Aku melepaskan masker yang tadi aku pakai. Lalu
aku melihat ke sekeliling dan ternyata masih ada beberapa gadis yang menatapku.

“Minumlah ini”, kata Yesung sambil memberikan satu gelas kopi dingin
padaku. Lalu ia duduk di kursi yang ada di depanku.

“Ah... . Kamsahamnida. Tidak perlu repot-repot.” Aku langsung meminum


kopi dingin itu melalui sedotan.
“Apa kamu sangat haus?”, tanyanya dengan tatapan aneh.

“Sluurrp slurp... .” Aku melihat ke gelas kopiku. “Kenapa sudah habis?” Aku
sendiri bingung kenapa cepat sekali aku menghabiskan kopi yang tadi diberikan
Yesung. Yesung terlihat tertawa melihat ekspresi wajahku.

“Kenapa kau tertawa?”

Ia terus tertawa dan tidak menjawab pertanyaanku.

“Ya. Hajima,” ucapku kesal.

“Kenapa kau bersikap seperti itu?”, tanyanya sambil sedikit tertawa.

Aku menghela napas. “Aku merasa takut karena ada banyak sekali
penggemarmu di sini. Bagaimana kalau nanti aku di keroyok oleh mereka semua?”

Ia diam sejenak lalu menjawab, “Tidak mungkin. Percayalah tidak akan


terjadi apa-apa.”

Kami terdiam. Beberapa saat kemudian aku melihat Yesung berdiri. Aku
menoleh ke belakang dan aku melihat seorang wanita paruhbaya sedang berjalan
mendekati kami.

“Oh... . Jadi gadis ini yang dibicarakan oleh orang-orang?”

“Eomma.”

Yesung menyambut wanita itu lalu aku mengucapkan salam padanya.

“Jadi sejak kapan kalian berhubungan?”


Aku sangat terkejut mendengar pertanyaan dari ibu Yesung. Sedangkan
Yesung tersedak saat meminum kopi miliknya. Aku dan Yesung saling bertatapan
dan diam tak mengatakan apapun.

“Kalian kenapa? Bukankah kalian sudah berpacaran?”

“Aninde-yo!” Aku dan Yesung menjawab bersamaan.

“Kalian kompak sekali.” Ibu Yesung sedikit tersenyum. “Jadi... . Siapa


namanya?” Ibu Yesung bertanya anaknya dengan sedikit berbisik. Sedangkan
Yesung terlihat bingung saat memndengar pertanyaan dari ibunya.

Apa aku belum pernah memberitahu namaku padanya? Atau dia yang lupa?

“Namanya... .” Yesung sedikit ragu dan menatap tajam kearahku.

“Hana. Nama saya Hana.” Aku membantunya menjawab. Aku melihatnya


sedikit lega.

“Oh... . Hana.” Ibunya tersenyum ke arahku lagi. “Sering-seringlah datang ke


sini.”

Aku hanya mengangguk mendengar perkataan dari ibu Yesung. Tiba-tiba


ponselku berdering dan saat aku melihatnya ternyata telepon dari Youngki. Aku lupa
kalau tadi aku berangkat bersamanya dan ia bilang kalau akan menjemputku di toko
bunga.

“Maaf aku harus menjawab telepon.” Aku sedikit tersenyum pada ibu
Yesung. Aku sedikit memelingkan wajahku dari Yesung dan ibunya yang tengah
duduk tepat di depanku.

“Yeobose-yo?”, ucapku saat telepon kami sudah tersaambung.

“Ya. Eodiga? Aku sudah sampai di toko bunga tapi kau tidak ada. Kau
sedang dimana?” Ia sedikit berteriak karena kesal.

“Mian-hae, Youngki-ssi. Tadi Miss Kim menyuruhku untuk membantu


pembeli menata bunga, Jadi aku ikut pembeli itu.” Aku bisa mendengar ia menghela
napas. “Kau pulanglah lebih dulu. Setelah ini aku akan langsung pulang. Aku tutup
teleponnya.”
Aku menutup telepon dari Youngki dan kembali menghadap kearah Yesung
dan ibunya yang sedari tadi menatapku.

“Yesung-ssi. Apa aku boleh pulang sekarang?”

“Apa dia namja-chingu49mu?”, tanyanya sambil terus menatap ke jalan. Kini


ia tengah mengantarkan aku pulang.

“Nugu? Youngki-ssi?” Aku melihatnya mengangguk. “Dia temanku. Aku


tingga di rumahnya”, jelasku.

“Jadi... . kau belum punya pacar?”, tanyanya sambil menoleh ke arahku yang
sedang duduk di sampingnya.

Aku hanya diam dan tidak menjawab pertanyaannya. Ia terus menatapku.

“Apa kau malu?”

Oh Tuhan... . Apa yang bertanya ini memang benar-benar Yesung?


Jantungku kembali dipaksa untuk berdetak lebih cepat. Aku merasa sangat malu.
Akhirnya aku mengalihkan pandanganku keluar jendela mobil.

“Aku akan mengantarmu sampai di rumah. Jadi kita ke arah mana?” Ia


bertanya saat berada di depan toko bunga Miss Kim.

“Kita belok melewati toko bunga Miss Kim”, jawabku sambil menunjukkan
jalan padanya.

“Rumahnya di daerah Gangnam?”, tanyanya sambil melihat sekeliling.

“Apa ini di Gangnam?” Aku balik bertanya. Baru kali ini aku tahu kalau
rumah Youngki ada di daerah Gangnam.

“Kau tidak tahu?”

Aku menggeleng.

“Sekarang kita ke arah mana?” Ia kembali bertanya.

“Lurus saja. Rumahnya ada setelah pertigaan kedua.”

49 Pacar (laki-laki), Yeoja-chingu (perempuan)


Yesung terus memacu mobilnya. Ia terlihat memperhatika pertigaan yang
dilewatinya. Bebertapa saat kemudian kami telah sampai di depan rumah Youngki.

“Apa benar ini rumahnya?”, tanyanya sambil sedikit menengok ke arah


rumah Youngki.

“Ne, Yesung-ssi”, jawabku sambil berusaha membuka sabuk pengaman yang


melingkari tubuhku.

Yesung membantuku membuka sabuk pengamanku. Setelah berhasil


membukanya aku mengucapkan terimakasih dan berpamitan padanya.

“Kamsahamnida. Terimakasih telah mengantarkan aku pulang”, kataku


sambil membuka pintu mobil.

“Jamsiman-nyeo50!” Ia berteriak sesaat setelah aku menutup pinu mobilnya.


Aku melihatnya keluar dari mobil dan berjalan mendekatiku. Ia memberikan
ponselnya kepadaku. “Aku mau meminta nomor ponselmu”

Aku mengetik perlahan karena merasa gugup. Aku masih belum bisa percaya
kalau aku bisa mengenal Yesung dan sekarang ia sedang meminta nomer ponselku.

“Kapan-kapan aku akan mengajakmu jalan-jalan”, katanya setelah aku


mengembalikan ponsel itu padanya.

Setelah Yesung pergi aku langsung masuk ke dalam rumah. Aku tak
mendengar apapun dari dalam kamar Youngki. Akhirnya aku langsung membuka
pintu kamarku dan menyalakan lampunya. Aku melihat Youngki tengah tertidur di
kursi yang ia letakkan di samping ranjangku. Aku berjalan mendekat dan
memperhatikan wajahnya sejenak.

50 Tunggu sebentar
“Youngki-ssi”, kataku pelan sambil menepuk pundaknya. Ia belum bangun.
“Youngki-ssi”. Aku kembali menepuk pundaknya dan ia benar-benar bangun.

“Kau baru pulang?”, katanya sambil mengerjapkan matanya.

“Ne,” kataku sambil duduk di pinggir ranjang menghadap ke arahnya.

“Tadi kau pergi kemana?”

Gawat! Pasti ia akan mengamuk saat tahu aku pergi ke kafe Yesung. Aku
harus membuat alasan yang bisa membuatnya percaya.

“Aku... . Aku pergi ke kafe seorang pelanggan. Ia membeli bunga sebagai


hiasan di meja kafenya.”

“Benarkah? Dimana?”, tanyanya masih penasaran.

“Kau ini. Mana aku tahu alamat kafenya”, jawabku sambil sedikit tertawa.

Akhirnya Youngki percaya dengan yang aku katakan. Aku tahu kalau ia
tidak suka kalau aku bertemu dan pergi dengan Yesung. Karena itu aku tidak
memberitahunya.

Sehabis mandi aku merebahkan tubuhku di atas ranjang. Aku mulai


mengotak-atik ponselku dan ternyata ada banyak sekali notifikasi yang masuk. Itu
terjadi karena kejadian yang terjadi hari ini di kafe Yesung. Aku sangat terkejut saat
wajahku berhasil tertangkap kamera padahal aku sudah mengenakan masker. Tapi
akhirnya aku sadar kalau tadi aku membuka masker setelah selesai menata bunga ke
dalam vas.

“Bodoh! Apa yang harus aku lakukan?”, gumamku.


Aku membaca komentar para warganet di Instagram. Fotoku bertebaran
dimana-mana dan komentar yang ada di sana sangat tajam bahkan aku merasa sedikit
merinding saat membacanya.

“Dia adalah seorang penguntit.”

“Yesung harus melaporkannya pada polisi agar ia dipenjara.”

“Aku sangat yakin ia sengaja terjatuh di bandara agar Yesung menolongnya.


Lalu ia mengikuti kemana pun Yesung pergi.”

“Dulu aku merasa kalau ia beruntung bisa di tolong oleh Yesung. Tapi
sekarang aku membenci gadis itu. Dia benar-benar penguntit sejati.”

“Dia bersikap sok baik di depan ibu Yesung. Aku melihatnya sendiri. Ia
bahkan meminta Yesung untuk mengantarnya pulang.”

Ya Tuhan... . Aku tak sanggup lagi untuk membaca komentar dari warganet
Korea yang lidahnya terkenal sangat tajam. Bahkan ada banyak sekali yang
berkomentar di akun Instagram milikku. Mereka bahkan menyuruhku untuk
menjauhi Yesung. Kalau aku tidak melakukannya maka mereka mengancam akan
menyakitiku.

Kenapa aku pergi ke Korea? Apa alasanku pergi ke negeri ini? Aku ke sini
bukan untuk kuliah. Aku kesini juga bukan untuk bekerja. Bahkan bukan untuk
berlibur. Aku ke sini untuk satu alasan. Tapi sampai saat ini aku belum menemukan
titik terangnya.
Aku kembali mengingat memori itu. Saat usiaku masih sepuluh tahun. Papa
mengajakku jalan-jalan dengan menaiki mobil kami. Saat itu Papa mengajakku
berkeliling kota Jakarta dan kebetulan saat itu Mama tidak ikut karena sedang tidak
enak badan. Di sepanjang perjalanan Papa mengajakku bernyanyi dan mengajariku
berbicara dengan bahasa Indonesia. Ya, aku ingat saat itu aku belum lancar berbahasa
Indonesia.

“Apa kau senang jalan-jalan bersama dengan Papa?” Papa bertanya padaku
saat kami tengah dalam perjalanan pulang.

“Iya, Pa. Besok ajak aku jalan-jalan lagi, ya”, jawabku dengan penuh
semangat.

Beberapa menit kemudian ponsel Papa berbunyi. Aku melihat Papa berbicara
dengan seseorang dengan serius. Aku tak tahu apa yang Papa bicarakan jadi aku
mengalihkan pandanganku keluar mobil. Aku melihat seorang penjual gula kapas
sedang berjalan di trotoar jalan. Penjual itu berada beberapa meter di depan mobil
kami.

“Papa. Belikan aku itu”, kataku sambil menunjuk penjual bunga kapas itu.
Tapi Papa terus bicara dan tidak memperhatikanku. “Papa”, rengekku sambil menarik
lengan kiri Papa. Aku terus menarik lengannya tapi Papa tetap berbicara lewat
ponselnya. Hingga mobil kami telah melewati penjual gula kapas tadi. Aku semakin
merengek dan terus menarik lengan Papa. Namun yang terjadi adalah ponsel Papa
terjatuh entah kemana.

“Hana. Papa masih bicara dengan seseorang. Jadi tolong diamlah.”


Aku mulai menangis. Sementara Papa berusaha mencari ponselnya yang
terjatuh masih dengan posisi menyetir. Papa mencari ponselnya di bawah kursi mobil
yang ia duduki.

Aku melihat mobil kami mulai salah jalur. Aku juga melihat banyak mobil
yang membunyikan klakson karena mobil kami menghalangi jalam mereka. Tiba-tina
aku melihat ada sebuah truk besar melaju beberapa meter di depan kami. Aku
berteriak memanggil-manggil Papa.

“Papa! Papa!”

Aku mulai histeris. Papa segera bangkit saat mendengarku berteriak. Lalu ia
menghadap ke jalan dan aku bisa melihat keterkejutan di wajahnya. Papa
membanting setir dan mobil kami menjadi kehilangan keseimbangan. Aku terus
berteriak ketakutan. Mobil kami terus melaju tak terkendali dan akhirnya menabrak
sebuah pembatas jalan.

Braaak... . Braaaaakkk.. .

Aku masih ingat mobil kami terguling selama beberapa kali sampai akhirnya
berhenti namun dalam keadaan terbalik. Aku melihat tubuhku berdarah terkena
pecahan kaca. Aku semakin histeris melihat darah-darah itu mengalir dari lengan,
kaki, dan bahkan kepalaku.

“Hana! Hana! Kau baik-baik saja kan?”

Aku semakin histeris saat melihat darah menutupi sebagian wajah Papa.
Tangisku semakin tak terkendali.

“Papa!” Aku berteriak. “Aku takut, Pa.”

“Kau akan baik-baik saja.”


Papa berusaha melepas sabuk pengaman yang melingkari tubuhku meskipun
kami dalam keadaan terbalik. Aku terus menangis karena merasakan sakit dan juga
karena melihat keadaan Papa yang seperti itu. Setelah berhasil melepas sabuk
pengamanku, Papa menyuruhku untuk segera keluar mobil tapi aku menolaknya.

“Aku tidak mau pergi dari sini. Aku mau di sini dengan Papa.”

Papa membelai pipiku dengan tangannya yang berlumuran darah. Aku


melihat Papa menangis. Ini pertama kalinya aku melihat Papa menangis dan itu
membuatku semakin pedih.

“Hana. Maafkan Papa. Papa bukan orang yang baik”, katanya dengan sedikit
terbata-bata. “Kau harus jaga dirimu baik-baik.”

“Ini semua salahku. Maafkan aku sudah membuat Papa seperti ini.”

Aku mencium bau yang aneh. Aku melihat ada setitik api menyala di bagian
belakang mobil. Aku juga mendengar suara orang-orang yang mulai mengerubungi
mobil kami. Mereka berteriak-teriak. Dan sebagiannya melihat ke dalam mobil.

“Hana. Cepatlah keluar dari mobil ini.”

Papa mendorongku untuk segera keluar dari dalam mobil. Aku menolaknya
tapi orang-orang menarik lengan dan kakiku dari luar mobil. Saat aku sudah berhasil
keluar salah satu dari orang itu menggendongku tapi aku meronta-ronta. Aku histeris
karena Papa masih ada di dalam mobil yang terbalik itu.

“Papaku masih ada di dalam sana. Tolong selamatkan Papaku. Dia masih ada
di dalam mobil itu.” Aku berteriak sambil terus menangis.
Setelah aku di bawa menjauh dari mobil, aku mendengar sebuah ledakan
kecil. Beberapa detik kemudian aku mendengar ledakan yang lebih keras. Aku
melihat dari kejauhan mobil kami sudah dipenuhi oleh asap dan api.

“Papa!”

Aku merasakan tubuhku diguncang-guncangkan. Aku merasa sesak napas.


Memori itu. Kecelakaan itu. Ledakan itu. Luka itu. Dan Papa.

“Papa!”

Aku berteriak. Aku terbangun dan memeluk sesosok tubuh yang ada di
depanku. Aku menagis ketakutan.

“Apa yang terjadi?”

Itu suara Youngki. Aku segera melepas pelukanku.

“Kau tidak apa-apa kan? Ada apa?” Ia kembali bertanya.

Aku hanya diam dan mencoba menangkan diri. Youngki bangkit untuk
menyalakan lampu kamar lalu ia memberikan segelas air untukku.

“Cepat minumlah”, katanya sambil duduk di tepi ranjangku. “Apa yang


terjadi?”

“Itu hanya mimpi buruk”, jawabku. “Kenapa kamu belum tidur?”


“Kau ini. Sekarang sudah pagi.” Youngki membuka korden yang menutup
jendela kamarku dan benar saja sinar matahari sudah terlihat walau samar-samar. Ia
kembali duduk di sampingku. “Tadi aku mau mengajakmu jalan-jalan di taman tapi
aku mendengarmu berteriak dan aku langsung masuk ke dalam”, jelasnya. Cepatlah
mandi. Kita akan sarapan bersama nanti.”

Youngki meninggalkanku di dalam kamar sendirian. Aku masih merasa


sedikit takut. Ini pertama kalinya aku bermimpi tentang kecelakaan yang pernah aku
alami bersama Papa. Aku memutuskan untuk segera mandi agar tak mengingat
kejadian itu lagi.

Sehabis mandi aku langsung menuruni tangga menuju meja makan. Aku
melihat Youngki tengah duduk manis di kursinya dengan memakai setelan jasnya.
Aku juga melihat ayah Youngki sedang menyantap sarapan paginya.

“Ini dia yang dari tadi ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Cepat duduk,
Panda”, katanya sambil menunjuk kursi yang ada di sampingnya.

Aku berjalan menghampirinya dan segera duduk di kursi yang Youngki


tunjuk tadi. Kami pun sarapan pagi bersama.

Sore itu aku meminta ijin pada Miss Kim untuk pulang cepat karena aku
merasa sedang tak enak badan. Aku berjalan kaki menyusuri jalan karena tadi aku
berangkat bersama dengan Youngki. Aku sedikit bernyanyi sepenggal lagu milik
Yeesung yang berjudul Paper Umbrella.

Di tengah nyanyianku, aku melihat seorang wanita berjalan beberapa meter


di depanku. Aku melihatnya berbicara sendiri sambil sedikit tertawa. Karenamerasa
penasaran akhirnya aku mengikuti wanita itu. Dan ternyata jalan yang kami lewati
sama. Ini juga jalan menuju rumah Youngki.
Aku terus mengikuti wanita itu dan kami semakin dekat dengan rumah
Youngki. Aku masih mendengarnya berbicara sendiri. Beberapa saat kemudian ia
berhenti di depan pagar rumah Youngki. Aku mencoba bersembunyi di balik tiang
listrik agar wanita itu tidak melihatku.

“Apa yang dilakukan wanita itu di depan rumah Youngki?”

Aku terus mengawasi gerak-gerik wanita itu. Tiba-tiba aku mendengar suara
klakson mobil yang membuatku sangat terkejut.

“Kenapa kau berdiri di sana?”

Aku bisa melihat Yesung dari kaca jendela mobil yang telah dibuka olehnya.

“Yesung-ssi. Apa yang kau lakukan di sini?” Aku balik bertanya padanya.

“Kau ini. Tadi aku sudah mengirimkan SMS kalau aku akan menjemputmu
di toko bunga. Tapi saat aku telah sampai di sana Miss Kim bilang kalau kau sudah
pulang”, jelasnya.

“Yesung-ssi mengirim SMS padaku? Maaf aku tidak membuka ponselku


sama sekali.”

“Apa kau mau pulang? Tapi apa yang kau lakukan di sana?”

“Aku sedang mengawasi... .” Aku menoleh ke arah rumah Youngki tapi


wanita itu telah menghilang. “Kemana wanita itu pergi?”

“Sebenarnya siapa yang sedang kita cari?”


Yesung terus bertanya sambil terus memacu mobilnya dengan pelan.
Sementara aku sibuk menoleh ke kanan dan kiri mencari keberadaan wanita yang ada
di depan rumah Youngki. Tadi saat aku menyadari wanita itu telah menghilang, aku
langsung memeriksa tempatnya berhenti. Dan benar saja aku berhasil menemukan
setangkai bunga mawar segar tergeletak persis di tempat aku menemukan mawar layu
beberapa hari yang lalu.

Sekarang aku berada di dalam mobil Yesung. Aku berhasil membujuknya


untuk mencari jejak wanita misterius itu.

“Hana. Katakan padaku siapa yang sedang kau cari?” Yesung terus
menanyakan hal yang sama.

“Kau ini. Apa kau tidak melihat wanita misterius yang berhenti di depan
rumah Youngki tadi?”, tanyaku dengan nada serius.

“Wanita misterius?” Ia tertawa. “Kau ini ada-ada saja. Kau terlalu banyak
menonton film”, katanya masih dengan tertawa.

“Yesung-ssi. Aku benar-benar serius. Tadi aku menemukan mawar ini di


tempat wanita itu berhenti”, ucapku sambil menunjukkan bunga mawar yang tadi aku
temukan. “Dan beberapa hari yang lalu aku juga menemukan beberapa tangkai
mawar layu di tempat yang sama”, tambahku.

Yesung masih belum percaya dengan aku katakan. “Mungkin wanita itu
penggemar Youngki”, celetuknya.

Aku mengerutkan dahi tanda bingung.

“Itu benar. Kau tahu berapa banyak hadiah yang aku dapatkan setiap harinya?
Dan aku mendapat banyak bunga dari penggemarku”, jelasnya.

Aku masih terdiam dan berpikir sejenak.

“Apa benar wanita itu penggemar Youngki?”


Kami mencari sampai hari menjelang gelap tanpa mendapatkan hasil apa-apa.
Akhirnya aku meminta pada Yesung agar mengantarkanku pulang. Tapi ia menolak
dan mengajakku makan malam.

“Bagaimana kalau kita makan malam dulu? Bukankah kau belum makan dari
tadi siang?”

Aku hanya menurut dengan apa yang ia katakan. Ia mengajakku makan di


sebuah restoran cepat saji. Sebelum keluar dari mobil, aku melihat Yesung memakai
maskernya sebagai penyamaran.

“Apa tidak apa-apa kalau kita makan di sini?”, tanyaku sedikit ragu karena
pengunjung di restoran ini cukup ramai.

“Apa kau tidak percaya padaku?”

Ia menggandeng tanganku dan mengajakku duduk di meja yang ada di pojok


restoran. Aku yakin itu ia lakukan agar tak ada orang yang melihat kami.

Setelah memesan beberapa makanan, kami mengobrol dan sedikit bercanda.


Ia lucu dan juga baik. Sama seperti Youngki.

Youngki?

Aku baru ingat kalau Youngki pasti menjemputku di toko bunga. Aku segera
mencari ponselku di dalam ransel. Dan benar sekali. Ada puluhan misscall dan
beberapa SMS dari Youngki. Aku lupa tadi sebelum berangkat bekerja aku
mematikan nada ponselku. Saat aku akan meneleponnya ternyata ia lebih dulu
meneleponku.

“Ya. Eodiga?” Ia langsung menyemburkan kekesalannya setelah aku


mengangkat telepon darinya.

“Aku masih makan malam, Youngki-ssi.”


“Makan malam? Dengan siapa?”

“Dengan temanku.” Aku mencoba berbohong agar ia tidak memarahiku.

“Ini dia makanan kita sudah datang. Hana cepat makanlah.” Yesung
mengatakan itu dengan cukup keras. Aku yakin Youngki bisa mendengar suara
Yesung saat itu.

“Nugu-ya? Bukankah itu suaranya? Kau makan malam bersamanya?”

“Youngki-ssi?”

Aku sudah mengetuk pintu kamar Youngki berkali-kali tapi tak ada jawaban
darinya. Dia pasti sangat marah. Aku terus mengetuk pintu kamarnya selama
beberapa menit.

“Youngki-ssi? Apa kau sudah tidur?”

Aku menyerah. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamarku yang tepat
berada di depan kamar Youngki. Aku langsung mandi lalu mengecek ponselku.
Ternyata aku mendapat SMS dari Yesung.

“Apa kau sudah mandi? Apa kau suka makan malam tadi?”

“Aku sudah mandi. Dan aku menyukai makan malam bersamamu.” Aku
menjawab SMS darinya.

“Benarkah? Kalau begitu aku akan mengajakmu makan malam bersama


lagi.”

“Tentu saja, Yesung-ssi.”

Setelah beberapa saat berkirim SMS dengan Yesung, aku teringat pada
Youngki. Akhirnya aku mencoba untuk meneleponnya dan ia menjawab telepon
dariku.

“Yeobose-yo? Youngki-ssi?”, ucapku saat ia sudah menerima teleponku.


“Ne. Wae?”, jawabnya singkat.

“Kau kemana?”, tanyaku. “Tadi aku mengetuk pintu kamarmu tapi kau tidak
menjawabnya.”

“Untuk apa kau mencariku?”

Aku bisa mendengar nada kesalnya.

“Kenapa kau bilang begitu?”, tanyaku.

Ia diam sejenak lalu menghela napas. “Pakailah mantelmu dan keluarlah dari
kamar.”

“Kenapa aku harus melakukan itu?”

Youngki memacu mobilnya entah kemana. Ia terus memperhatikan jalan


sementara aku terus melihat keluar jendela. Aku tak berani bertanya ia akan
membawaku kemana. Aku menoleh ke arahnya sejenak dan aku masih melihat
kekesalan di wajahnya. Aku merasa bersalah karena sudah berusaha
membohonginya.

Setelah beberapa menit kami di dalam mobil dalam keheningan, ia


menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Aku melihatnya keluar dari mobil dan
berjalan menjauhi mobilnya. Aku segera mengikutinya dengan sedikit berlari.

Kami terus terdiam. Aku juga terus mengikuti langkahnya dari belakang.
Beberapa saat kemudian kami sampai di sebuah taman. Taman itu terletak beberapa
meter di pinggir sungai.
Ia menyuruhku duduk di sebuah ayunan. Aku menuruti perintahnya dan ia
mulai mendorong pelan ayunan yang aku tumpangi. Aku menatap ke seberang sungai
yang lebar itu dan aku merasakan udara dingin merasuki jemariku. Aku masih belum
berani bertanya ia membawaku kemana.

“Ini adalah sungai Han”, katanya pelan.

Apa ia bisa mendengar pikiranku?

“Ooh...”, jawabku singkat.

“Apa kau menyukainya?” Ia terus mendorong ayunanku. “Apa kau menyukai


pria itu?”

Aku menghela napas. “Apa kau tahu kalau aku sudah menyukainya bahkan
sebelum aku menginjakkan kaki di negeri ini?” Aku sedikit tersenyum. “Aku adalah
penggemarnya.”

“Apa hanya sebatas penggemar...” Ia berhenti mendorong ayunan yang aku


tumpangi. “Atau lebih dari itu?”, lanjutnya.

Aku merasakan lidahku seperti tak bisa digerakkan. Aku tak mampu
menjawab pertanyaan dari Youngki. Aku bahkan tak tahu dengan perasaanku. Apa
aku menyukainya hanya sebatas penggemar atau aku menyukainya lebih dari itu?
Youngki berjalan mendekat dan kini ia berdiri di depanku. Aku harus
mendongak agar bisa melihat wajahnya karena aku masih terduduk di ayunan. Aku
bisa melihat kekecewaan di wajahnya.

“Kenapa kau tak menjawab?”

Aku berdiri tepat di depan Youngki. Aku tak pernah berdiri sedekat ini
dengan wajahnya. Saat aku akan membuka mulutku untuk menjawab, aku melihat
sesuatu berwarna putih turun dari langit dan tersangkut di rambut hitam Youngki.
Aku mencoba mengambil benda putih itu dengan sedikit berjinjit.

Aku memperhatikan benda itu sejenak. “Apa ini yang namanya salju?”,
tanyaku sambil menunjukkan benda putih yang ringan seperti kapas itu pada
Youngki.

Ia menghela napas lalu mengangguk.

Aku tak percaya ini. Aku menatap ke atas langit dan melihat benda putih itu
semakin banyak turun dari atas sana. Aku tersenyum dan mengangkat tanganku
untuk meraih benda putih itu. Aku menari-nari dan berputar di tengah taman. Ini
pertama kalinya dalam hidupku melihat dan juga memegang salju dengan tanganku
sendiri.

Aku berlari menghampiri Youngki yang sedari tadi hanya berdiri


memandangku. Aku tersenyum dan memegang tangannya.

“Youngki-ssi. Terimakasih kau sudah membawaku ke sini”, ucapku dengan


perasaan sangat bahagia.

“Kau ini seperti anak kecil saja.”

Youngki membersihkan salju yang menyangkut di rambutku. Aku menatap


wajahnya dan aku rasa ia sudah tak marah lagi. Aku tersenyum dan tak sadar kalau
wajahnya berada tepat di depan wajahku. Aku melihatnya sedikit menunduk.

Aku merasakan tubuhku tak bisa digerakkan. Sementara ia semakin


mendekatkan wajahnya itu ke wajahku. Aku berusaha untuk berteriak tapi sangat
sulit untuk membuka mulutku.
“Young... . Youngki-ssi”, ucapku dengan susah payah. “Jib-ee kajja51.”

Setelah kejadian di tepi sungai Han, sepertinya Youngki sudah tak marah
lagi padaku. Saat akan pulang ia mengajakku mampir ke toko boneka. Ia mengajakku
masuk dan berkeliling toko itu. Ada bermacam-macam jenis dan bentuk boneka yang
ada di sini.

Aku terus mengikuti langkahnya. Ia mengajakku mengelilingi toko ini


selama beberapa kali. Rasanya aku ingin mengomel tapi aku takut ia akan marah lagi.
Aku terus mengikutinya dari belakang tapi tiba-tiba ia berhenti dan akhirnya aku
menabrak tubuh bagian belakangnya.

“Sepertinya boneka ini cocok untukmu”, katanya setelah aku menabrak


tubuhnya.

Aku sedikit menggeser tempatku berdiri agar bisa melihat boneka yang ia
maksud. Saat aku baru melihatnya sekilas, Youngki mengangkat boneka itu dan
memberikannya padaku.

Boneka itu sangat besar. Seukuran tubuhku. Aku mencoba memeluk boneka
itu tapi lenganku tak muat untuk memeluk boneka sebesar itu. Bahkan sangat sulit
saat aku akan melihat wajah Youngki karena terhalangi oleh besarnya boneka yang ia
berikan padaku.

“Kajja. Kita harus membayarnya”, katanya sambil berlalu meninggalkanku.

“Ya. Youngki-ssi”, teriakku.

Aku berjalan mengikutinya menuju meja kasir dengan susah payah. Rasanya
sangat sulit membawa boneka yang seukuran dengan tubuhku. Aku merasa senang
tapi aku juga merasa kesal karena ia tak membantuku membawa boneka ini. Bahkan
aku menabrak beberapa rak berisi boneka karena aku tak bisa melihat jalan dengan
benar.

“Letakkan boneka itu disini”, katanya dengan santai.

51 Ayo kita pulang ke rumah


Aku segera meletakkan boneka besar itu di meja kasir. Aku menghela napas.
“Kenapa kau tak membantuku membawa boneka itu? Kau ingin membunuhku?”,
ucapku kesal.

Aku membawa boneka itu ke menuju ke mobil dengan susah payah. Lagi.
Aku sangat kesal pada Youngki karena ia tak membantuku sama sekali. Rasanya aku
ingin menendang kakinya yang panjang itu. Ia bahkan berjalan terlebih dulu menuju
ke mobil dan meninggalkanku membawa boneka yang baru saja ia belikan.

“Kau ini lama sekali”, ucapnya saat aku baru sampai di mobil. Ia sedang
berdiri bersandar di mobilnya. “Masukkan itu ke dalam bagasi”, tambahnya.

Penderitaanku masih belum usai. Saat sudah sampai di rumah ia juga tak
mau membantuku membawa boneka itu.

“Boneka itu milikmu jadi aku tidak mempunyai kewajiban untuk


membawanya”, ucapnya dengan nada sombong.

“Youngki-ssi”, teriakku.

Ia meninggalkanku dan masuk ke dalam rumah. Aku sudah terlalu lelah


untuk mengangkat boneka pemberiannya. Akhirnya aku menyeret kedua tangan
boneka itu dan membawanya masuk ke dalam kamar. Aku sempat kesulitan saat akan
menaiki tangga tapi untunglah aku bisa mengatasinya.

Aku sangat terkejut saat membuka pintu kamarku. Aku melihat Youngki
tengah tiduran di atas ranjangku. Aku benar-benar merasa kesal padanya.

“Ya. Apa yang kau lakukan di dalam kamarku?”, tanyaku kesal.

Ia hanya diam. Aku mendekatinya dan melemparkan boneka itu ke atas


tubuhnya.
“Aku tak membutuhkan boneka itu.” Aku sudah merasa sangat kesal.

Ia tertawa lalu berjalan mendekatiku. “Kau marah? Boneka itu seperti dirimu.
Boneka panda. Apa kau tak menyukainya?”

Aku diam sejenak lalu mengangguk pelan. “Kau membelikanku boneka


panda yang besar itu tapi kenapa kau tak membantuku untuk membawanya?”

“Itu hukuman karena kau sudah berani membohongiku.”

Esoknya, Youngki mengantarkanku ke toko bunga seperti biasanya. Ia sudah


tak marah lagi padaku. Bahkan tadi saat sedang sarapan ia sudah mengajakku
bercanda. Ia benar-benar orang yang baik. Aku sangat beruntung bisa bertemu
dengan Youngki.

Setelah mengantarku ke toko bunga, Youngki langsung menuju ke kantornya


dengan diantar oleh Oh Ahjussi. Sebenarnya hari ini aku ingin meminta ijin pada
Miss Kim untuk libur karena aku ingin mengunjungi suatu tempat.

Aku segera menyusuri jalanan dengan berjalan kaki setelah mendapat ijin
dari Miss Kim. Dan tentu saja aku memakai aplikasi Maps untuk menuju tempat
yang akan aku datangi. Tak lupa aku juga sudah membawa Power Bank agar baterai
ponselku tetap terisi dan aku tak tersesat lagi seperti kejadian tempo hari.

Tempat yang akan aku datangi adalah tempat yang sangat penting untuk
mencari tahu siapa jati diriku yang sebenarnya. Aku mengetahui tentang tempat itu di
sebuah berkas yang disimpan oleh Mama di laci kamarnya. Saat itu aku sedang
membersihkan kamar Mama dan tak sengaja menemukan berkas itu di sana.
Aku terus menyusuri jalanan kota Seoul yang ramai. Aku kira tempatnya
sangat jauh tapi ternyata cukup dekat dengan perumahan tempat rumah Youngki
berada.

Sesampainya di sana aku melihat banyak anak-anak tengah bermain di


halaman. Tempat ini tak terlalu besar tapi terlihat nyaman. Aku hanya berdiri terpaku
melihat rumah tempatku menghabiskan masa kecilku.

“Eonni. Eonni siapa?”

Aku melihat seorang gadis kecil sedang menarik pelan ujung bajuku. Aku
sedikit merjongkok agar bisa melihatnya lebih baik.

“Namaku Hana. Siapa namamu?”, tanyaku.

“Hana? Namaku juga Hana”, jawabnya sambil tersenyum. “Untuk apa Eonni
datang ke sini?”

“Bisakah kau mengantarkanku?”

“Nama anda Hana? Tahun berapa Agassi diadopsi?”

“Mungkin sekitar tahun dua ribu empat”, jawabku.

Aku melihat Ibu Gong masih mencari-cari data di sebuah buku besar. Cukup
lama ia mencari hingga akhirnya ia menemukan sesuatu.

“Nama anda Kim Hana?”

Aku mengangguk.

“Orangtua adopsi anda bernama tuan Kim Tayoung dan nyonya Donita?”
“Ne. Mereka adalah Papa dan Mama saya”, jawabku. “Tapi... . Apa tak ada
informasi lain tentang orangtua kandung saya?”

Ibu Gong kembali membuka-buka buku yang ada di tangannya. “Tidak ada,
Agassi. Di sini ditulis kalau anda ditemukan di panti asuhan Uri Jib saat masih bayi”,
jelasnya.

Aku sedikit kecewa dengan jawaban itu. Akhirnya aku berpamitan pada ibu
Gong dan segera keluar dari ruangannya. Saat aku sampai di halaman, aku melihat
Hana tengah bermain dengan anak-anak yang lain. Aku melihat dari wajahnya kalau
tak ada beban di dalam dirinya. Mungkin saat aku masih seusianya juga merasakan
hal yang sama, pikirku.

Aku melangkahkan kakiku untuk meninggalkan tempat ini. Tapi saat aku tak
sengaja membalikkan badan, aku melihat seorang wanita dan sepertinya aku pernah
melihatnya. Aku berjalan mendekati wanita yang sedang duduk termenung di bangku
yang ada di halaman panti asuhan Uri Jib.

“Apa yang sedang Ahjumma lakukan di sini?”, tanyaku pada wanita itu.
Ternyata benar kalau ia adalah wanita yang membeli bunga mawar di toko bunga
Miss Kim beberapa minggu yang lalu.

Ia terlihat sedikit terkejut. Aku mencoba mendekatinya.

“Apa Ahjumma lupa? Aku yang bekerja di toko bunga Miss Kim. Aku juga
yang telah mengejar Ahjumma untuk mengembalikan uang kembalian Ahjumma”,
jelasku.

Ia diam sejenak lalu tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

“Ahjumma harus makan yang banyak. Hari ini aku mendapatkan gaji
pertamaku”, kataku sambil memberikan semangkuk mie padanya.
Aku mengajak Ahjumma untuk makan siang. Aku membawanya ke sebuah
kedai kecil dan aku memesan dua mangkuk mie. Untukku dan juga untuk Ahjumma.
Aku melihatnya makan dengan lahap. Aku senang melihatnya. Setelah selesai makan,
aku mengantarkan Ahjumma kembali ke panti asuhan.

“Apa Ahjumma tinggal di sini?”, tanyaku sedikit penasaran.

“Ne”, jawabnya singkat.

“Oh... . Baiklah kalau begitu aku mau pulang dulu. Besok aku akan kembali
ke sini lagi.”

Sehabis mengantar Ahjumma, aku segera berjalan untuk pulang ke rumah


Youngki. Di tengah perjalanan, aku mendapatkan ide yang cukup bagus. Aku segera
menelepon Youngki.

“Yeoboseyo? Youngki-ssi?”, kataku setelah ia mengangkat telepon dariku.

“Wae? Kenapa tiba-tiba kau menelepon? Biasanya kau tak pernah


meneleponku.”

Aku sedikit tertawa. “Kau masih di kantor? Apa kau sedang sibuk?”

“Memangnya kenapa kalau aku sibuk?”

“Bisakah kau menjemputku?”, tanyaku sambil berjalan perlahan.

Ia diam sejenak. “Ya. Apa kau sakit? Kau sedang tak enak badan?”

Aku kembali tertawa. “Ani-yo. Aku sedang jalan-jalan. Hari ini aku libur dan
aku ingin mentraktirmu makan siang.”

“Benarkah? Baiklah aku akan menjemputku. Ada dimana kau sekarang?”


Aku bisa mendengar nadanya yang penuh semangat itu.

“Tapi apa akan baik-baik saja kalau kau meninggalkan kantor di siang hari
seperti sekarang ini?”

“Ya. Kau lupa? Aku ini Busajangnim. Jadi aku bebas melakukan apapun.
Katakan kau ada dimana sekarang?”
Aku sudah ada di dalam mobil bersama dengan Youngki. Aku melihat
wajahnya yang berseri dan itu membuatnya terlihat semakin tampan. Aku baru ingat
kalau tadi pagi ia di antar oleh Oh Ahjussi ke kantor. Tapi... . Sekarang ia tengah
mengemudikan mobilnya sendiri.

“Youngki-ssi?”, panggilku saat ia tengah fokus melihat ke jalan.

“Heeem... .”

“Kemana Oh Ahjussi? Bukankah tadi pagi dia yang menyetir mobil?”,


tanyaku penasaran.

“Oh Ahjussi?” Ia diam beberapa detik. “Aku menyuruhnya pulang naik


taksi.”

“Wae? Kenapa kau menyuruhnya pulang?”

“Karena tadi aku diajak berkencan oleh seorang gadis”, jawabnya sambil
menoleh ke arahku.

“Ya. Aku tidak mengajakmu berkencan.” Aku memalingkan wajah karena


merasa sedikit malu dengan perkataannya itu. “Aku hanya ingin mentraktirmu karena
aku mendapatkan gaji pertamaku hari ini”, tambahku.

Ia tertawa. “Apa tadi aku bilang kalau kau yang mengajakku berkencan?”

Dia itu benar-benar pintar bicara. Kadang aku merasa sangat kesal padanya
tapi beberapa saat kemudian ia berhasil meredam kekesalanku.

“Kita makan di sini saja”, ucapnya setelah menghentikan mobilnya.

Aku melihat ia menghentikan mobilnya di depan restoran cepat saji. Aku


masih terdiam di dalam mobil dan menghitung sisa uangku di dalam hati.
Mudah-mudahan saja uangnya cukup untuk membayar makanan Youngki. Aku akan
sangat malu kalau uangku tidak cukup karena tadi aku sudah bilang kalau aku akan
mentraktir dia makan siang.

“Ya. Cepat turunlah. Aku sudah sangat lapar.”

Ternyata Youngki sudah keluar dari mobil tanpa aku menyadarinya. Aku
segera mengikutinya masuk ke dalam restoran itu. Bahkan saat ia berjalan menuju
restoran banyak gadis yang menatapnya. Ya, aku akui kalau Youngki tampan. Tapi
pria yang paling tampan bagiku adalah Yesung. Hahaha.

“Aku mau pesan hotdog”, ucapnya pada pelayan. “Kau mau makan apa?”,
tanyanya.

“Tadi aku sudah makan mie.”

“Apa? Lalu kenapa kau mengajakku makan siang?”, tanyanya dengan nada
yang agak keras. “Apa kau makan siang dengannya?”

“Tidak. Aku makan siang dengan Ahjumma pelanggan di toko bunga Miss
Kim. Tadi kebetulan aku bertemu dengannya.”

Ia mendekatkan wajahnya ke telingaku. “Kau tidak sedang berbohong kan?”

“Tentu saja tidak. Cepat pesan makananmu”, kataku sedikit kesal.

“Baiklah.” Ia kembali menatap menu yang di pajang di atas meja kasir. “Aku
mau pesan hotdog spesial dan minuman yang jumbo. Dan juga kentang goreng”,
tambahnya.
“Ya. Kau mau menghabiskan itu semua sendirian?”, tanyaku sambil
mengikutinya duduk di sebuah kursi dekat jendela.

“Tentu saja”, jawabnya. “Karena hari ini aku sedang ditraktir jadi aku harus
pesan banyak makanan.”

Tak lama makanan yang di pesan Youngki telah siap. Aku melihatnya
melahap hotdog dengan mulut kecilnya. Kemudian ia memasukkan sepotong kentang
goreng ke dalam mulutnya. Terakhir ia meminum minuman jumbonya.

“Youngki-ssi. Kau terlihat seperti orang yang belum makan selama


seminggu.”

“Ya. Kau bercanda? Aku menghabiskan setengah gajiku untuk membayar


makan siangmu.” Aku berteriak sesaat setelah keluar dari dalam restoran.

“Ah... . Aku merasa sangat kenyang. Rasanya perutku mau meledak.” Ia


mengabaikanku dan masuk ke dalam mobil.

Aku terus diam karena merasa kesal padanya. Entah sudah berapa kali aku
merasa kesal padanya satu hari ini. Ia terus bicara tapi aku mengacuhkannya.
Mungkin ia menyadari kalau aku kesal jadi ia mengajakku jalan-jalan lagi ke sungai
Han.

“Kau mau makan es krim?”, tanyanya saat kami sedang berjalan di tepi
sungai Han.

“Di musim dingin seperti ini?”, tanyaku heran.


“Kau pasti belum pernah merasakan makan es krim di musim dingin”,
jawabnya. “Dengarkan aku. Kau tunggulah aku di ayuan yang kemarin dan aku akan
membeli es krim sebentar.”

Hari sudah menjelang sore. Aku melihat cahaya keemasan sang mentari
dipantulkan oleh air tenang dari sungai Han. Negeri ini sangat indah. Aku terlahir di
negeri ini tapi aku tumbuh dewasa di negeri lain. Aku sangat bersyukur bisa kembali
ke negeri tempatku lahir.

“Ya. Kau sedang melamun?”, tanya Youngki sambil menyodorkan sebuah es


krim di depan wajahku.

“Kenapa hanya satu? Kau tak mau makan ini?”, tanyaku sambil menjilat es
krim yang baru saja ia berikan. “Ah... . Sangat dingin.”

Ia duduk di ayunan yang ada di sebelahku. Aku melihatnya berayun pelan. Ia


menatap ke seberang sungai Han. Entah apa yang sedang ia pikirkan.

“Apa kau tahu kalau kemarin adalah kali pertamaku berkunjung ke tempat
ini lagi?”

Aku berhenti menjilati es krim dan menatapnya.

“Dan juga es krim itu”, katanya sambil melihat es krim yang sedang aku
pegang. “Baru kali ini aku membelinya setelah sekian lama.”

Aku melihat es krim yang ada di genggamanku. “Apa maksudmu,


Youngki-ssi?”

“Apa kau tahu kalau aku mempunyai seorang adik perempuan? Dia sangat
cantik dan juga baik. Aku sangat menyukai namanya. Han Kiki.”

Ia mulai bercerita. Sebenarnya aku sudah tahu tentang adik Youngki dari
cerita Ahjumma tapi aku tetap diam mendengarkan ia bercerita sambil menjilati es
krim yang tadi ia belikan.
“Dia meninggal karena aku.” Ia kembali bercerita. “Saat itu aku, adikku, dan
Eomma sedang bermain di sini. Aku dan adikku bermain lempar bola sedangkan
Eomma mengawasi kami dari ayunan ini. Tapi saat ada penjual es krim, aku
mengajak Eomma untuk membelinya. Entah mengapa saat itu adikku tak mau
membeli es krim padahal biasanya ia sangat menyukainya. Akhirnya aku dan Eomma
meninggalkannya bermain sendirian. Dan saat aku kembali... .”

Ia berhenti sejenak. Aku mendengar suaranya sedikit bergetar.

“Aku melihat bola yang kami pakai untuk bermain sudah dibawa arus sungai.
Aku dan Eomma sudah mencarinya kemana-mana tapi kami tak bisa menemukannya.
Abeoji sangat marah saat tahu kalau adikku telah menghilang. Kami meminta
bantuan polisi untuk mencarinya.”

Aku melihatnya mulai menangis. Akhirnya aku mengelus pelan pundaknya.

“Beberapa hari kemudian, adikku di temukan mengapung di pinggir sungai


Han. Abeoji menyalahkan Eomma dan mengusirnya dari rumah. Beberapa bulan
kemudian kami mendapat kabar kalau Eomma meninggal karena depresi. Aku
benar-benar merasa sangat tertekan.”

Ia terisak-isak. Aku bingung. Aku berjalan dan berdiri di hadapannya. Aku


memegang pundaknya dengan sedikit ragu tapi ia malah memelukku. Aku merasa
sangat terkejut. Rasanya jantungku telah berhenti berdetak.

“Youngki-ssi”, ucapku. “Jangan menangis lagi.”


Youngki melepaskan pelukannya lalu ia menatap wajahku. Aku tak bisa
memalingkan wajahku saat melihat tatapannya itu. Aku merasa sangat gugup. Ia
memegang kedua tanganku.

“Sejak saat itu aku memutuskan untuk tak mempunyai teman. Aku takut
mereka yang dekat denganku akan tersakiti.” Ia berdiri dengan masih menatap
mataku. “Tapi sejak kejadian di pesawat itu, aku melihat sesuatu yang lain. Aku
merasa telah lama mengenalmu. Aku merasa sangat nyaman dan bahagia saat
bersamamu.” Ia meremas tanganku. “Kau adalah cinta pertamaku.”

Jedaaaaar... .

Tubuhku terasa disambar oleh petir. Tubuhku juga terasa membeku terkena
udara dingin. Aku tak tahu harus bagaimana. Youngki terus menatapku.

“Apa kau tak mencintaiku?”

“Ya. Mwo... . Mwo-ya?”

“Katakan padaku. Apa kau mencintaiku?”

Aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Ini kedua kalinya Youngki
membuatku terdiam tak bisa melakukan apapun. Matanya terus menatap tajam
mataku dan itu membuatku semakin membeku.

“Youngki-ssi. Kau adalah orang baik nomor satu di dunia ini”, jelasku. “Apa
kau tahu kehidupanku di Jakarta sebelum aku datang ke sini? Bahkan untuk
mengingatnya saja aku sudah merasa tersiksa. Tapi kau telah memberikan kehidupan
baru untukku. Kau adalah malaikat penyelamatku.”

“Benarkah itu?”, tanyanya tak percaya.

Aku mengangguk pelan. Aku menjadi teringat kehidupan masa laluku saat di
Jakarta.

“Jadi bagaimana jawabanmu? Apa kau mencintaiku atau tidak?” Ia terus


bertanya dengan menggebu-gebu.

Aku menghela napas. “Aku tak tahu dengan apa yang aku rasakan.”

“Apa kau mencintainya? Yesung?”

S-ar putea să vă placă și