Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
lobi Bandara Incheon, Seoul, Korea Selatan. Bukan karena sedang menunggu
jemputan atau menunggu seseorang. Melainkan bingung. Bingung karena aku tak
tahu harus pergi kemana.
Setengah jam... .
Satu jam... .
Dua jam... .
Tiba-tiba ada sesuatu yang membuat banyak gadis berlarian menuju pintu
kedatangan. Aku berdiri untuk melihat apa yang terjadi, seseorang tak sengaja
menabrakku. Dan seketika gadis itu mengucapkan kata maaf dalam bahasa Korea
sambil sedikit membungkukkan badannya. Inilah yang aku suka dari orang Korea,
pikirku. Saat aku baru membuka mulut untuk bertanya apa yang sedang terjadi
ternyata gadis itu sudah berlari menuju hiruk-pikuk itu.
Tak lama aku bisa mendengar mereka berteriak memanggil nama yang tak
asing bagiku. Aku segera berlari menuju hiruk-pikuk itu dan meninggalkan koperku
yang masih ada di lobi bandara. Aku berlari secepat mungkin agar tak ketinggalan
momen ini. Bisa saja ini adalah kesempatan pertama dan terakhirku untuk bertemu
dengannya.
Aku telah berada ditengah hiruk-pikuk itu. Aku merasakan dunia telah
berputar 180 derajat. Rasanya aku ingin pingsan. Aku hanya berdiri terpaku sambil
menatap lurus kedepan. Terfokus pada senyum itu. Senyum yang dulu hanya bisa aku
lihat dari layar ponsel maupun layar laptopku. Dan sekarang senyum itu benar-benar
nyata. Baru beberapa jam yang lalu pesawat yang aku tumpangi mendarat di Bandara
Incheon ini sehingga aku yakin kalau ini bukanlah mimpi.
Sepasang kaki telah terhenti di hadapanku. Dan saat aku menatap keatas, aku
hanya bisa menelan ludah sambil mengerjapkan mata meyakinkan diriku sendiri
kalau aku memang sedang tidak bermimpi.
“Gwaenchanayo1?”
Jedaaaaaaarrrr.
Rasanya tubuhku telah disambar petir. Otakku masih belum bisa berpikir
jernih. Aku hanya menatapnya yang masih berdiri tepat dihadapanku. Aku melihat
wajahnya yang berseri. Hidung, mata, dan bibirnya sama seperti yang aku lihat difoto.
Bahkan ia terlihat lebih tampan di versi aslinya.
1
Apa kau baik-baik saja?
Bodoh!
Kesempatan!
“Ya6! Apa yang kau lakukan?” Aku berteriak sambil mendorong bahunya.
Aku tak peduli dengan ramainya orang di sana.
6 Hei
7
Apa (informal)
tak mau kalah dan mendorong bahuku. Tentu saja aku langsung terjatuh karena
bobotnya lebih berat dariku, alias gendut.
Saat ia mendekat dan hendak menamparku, ada sebuah tangan lain yang
menahan tangan gadis itu. Terdengar tarikan napas yang sama seperti saat aku
terjatuh di depan Yesung. Pria itu menoleh kearahku dan aku melihat plester
berwarna pink tertempel di dahinya.
“Apa yang akan kau lakukan pada gadis ini?” tanya pria itu pada gadis yang
akan menamparku. Gadis itu hanya diam dan hanya mengerjapkan mata tak percaya
dengan apa yang terjadi. Pria itu melepaskan tangan gadis itu dan segera
membantuku berdiri.
Aku hanya berdiri tak percaya kalau pria ini telah menyelamatkanku. Dia
adalah pria yang dahinya tak sengaja terkena aksesoris ranselku saat ada di dalam
pesawat tadi. Aku memberinya sebuah plester yang kebetulan aku bawa tapi hanya
warna pink yang tersisa. Dan pria itu menggunakannya untuk menutupi lukanya.
“Ah... . Ne10.”
Aku segera mengambil koperku dan mengikuti pria itu tanpa peduli pada
gerombolan gadis yang berlaku kasar padaku tadi.
Aku mengikuti pria itu menuju sebuah mobil berwarna putih dan mobil itu
terlihat mewah. Pria itu disambut oleh seorang pria paruh baya dan memanggil orang
yang menolongku dengan “Doryeonnim11”.
8
Panggilan dari adik perempuan pada kakak laki-laki, panggilan seorang penggemar perempuan pada idol laki-laki
9
Ayo
10
Iya
11
Tuan muda
“Tolong taruh koper gadis ini di bagasi dan antar kami pulang” kata pria itu
tanpa sungkan.
“Baik, Doryeonnim.” Pria yang disuruh tadi segera mengambil alih koperku
dan memasukkannya ke dalam bagasi. Aku terus memperhatikan pria yang membawa
koperku dan melupakan pria yang telah menolongku.
“Ya. Apa kau mau berdiri terus disitu? Ayo masuklah.” kata pria itu sambil
melongok dari jendela mobil.
“Tentu saja. Apa kamu mau aku tinggalkan di sini dan dianiaya oleh gadis
tadi?”
“Ne? Andwae13!”
Aku segera masuk mobil dan pria yang memasukkan koperku ke bagasi
segera menutup pintu mobil. Aku memerhatikan isi mobil ini. Aku tak pernah naik
mobil yang mewah seperti ini, pikirku.
“Sekarang kita menuju ke rumah, Ahjussi14. Pasti Abeoji15 akan senang saat
aku membawa gadis ini pulang.” Pria itu tersenyum nakal dan tiba-tiba aku ingat
senyuman nakal dari Kyuhyun.
Aku terus diam sambil meremas jemariku. Aku merasa jari-jariku telah
membeku. Sangat dingin.
12
Aku
13
Tidak mau, Jangan
14
Paman
15
Ayah
“Oh... . Aku orang Indonesia. Tapi aku sangat suka semua yang berbau
Korea. Kau tahu Super Junior? Ah... . Mereka idolaku. Dan apa kau tahu Yesung?
Dia sangat tampan.”
“Oh... . Tunggu dulu. Sebenarnya kau ini siapa? Kenapa kau menolongku?
Dan... . Kenapa kau menatapku seperi itu?” Aku menggeser dudukku agak menjauh
darinya.
“Lihat saja kau akan menyesal karena tak mau menyentuh tanganku.” Ia
diam sejenak. “Itu Oh Ahjussi. Dia yang selalu mengantarku pergi kemana-kemana”
Ia menunjuk pada orang yang ada di balik kemudi. Aku melihat lelaki paruh baya itu
tersenyum dan aku membalas senyumnya.
Selama beberapa menit kami terdiam sampai akhirnya aku teringat pada dahi
pria yang bernama Youngki itu yang terluka karena terkena resleting ranselku.
“Ya. Aku yang merasakan rasa sakitnya jadi kau tidak tahu apa-apa.”
Sajangnim?
“Ya... . Kau mau di dalam mobil sampai besok?” Pria itu melongok dari pintu
mobil.
“Ya... . Cepat bawa kopermu dan ikuti aku”, kata Youngki sambil berjalan
menuju pintu rumahnya. Ya, mungkin ini rumahnya.
16 Direktur
“Hana. Kenapa kau diam saja?”, tanya Youngki saat ia sadar kalau akau tak
segera mengikutinya. “Cepatlah. Abeoji sudah menunggu”, tambahnya.
“Palli17.”
“Youngki? Masuklah.”
Terdengar suara sedikit serak dari balik pintu. Aku mulai tak bisa
mengontrol diriku. Aku gemetar. Youngki tetap memegang tanganku yang sudah
dingin sedari tadi. Perlahan namun pasti, ia membuka pintu kayu yang besar itu. Aku
bisa melihat isi ruangan ini. Ada meja kerja, rak tinggi yang dipenuhi oleh buku, dan
barang-barang yang ada di dalam sini terlihat antik.
17 Cepat
“Bagaimana dengan perjalanan bisnismu di Indonesia? Apa berjalan dengan
baik?”
Aku melihat seorang pria paruh baya sedang duduk di kursi kerja sambil
membawa sebuah buku di tangannya. Dia belum terlalu tua, mungkin umurnya awal
limapuluhan. Ia melihat Youngki dengan tatapan hangat. Tapi saat ia menyadari
Youngki tak datang sendiri, ia menatap tajam ke arahku.
“Kau telah bekerja keras.” Aku melihat pria yang disebut Abeoji itu sedikit
tersenyum. “Lalu... . Siapa gadis itu?”
“Ah... . Iya.” Aku masih merasa gugup hingga lupa untuk memperkenalkan
diri. “Nama saya Hana. Saya dari Indonesia”, kataku singkat.
Aku sangat terkejut saat Youngki mengatakan itu. Aku langsung melihat
kearah ayah Youngki dan ternyata ia telah menatap tajam ke arahku. Aku melihatnya
berdiri dan tiba-tiba memukul meja kerjanya.
“Eomma? Bukankah Ayah sudah bilang kalau orang itu sudah mati!” Ayah
Youngki berteriak marah. “Kau selalu menyebut semua orang mirip dengan Eomma.
Kau tidak punya Eomma! Kau hanya punya Abeoji. Dan sampai kapan pun kau tak
akan pernah lagi memanggil seseorang dengan sebutan Eomma!”
Aku yang sudah merasa gugup menjadi semakin takut setelah mendengar
bentakan dari ayah Youngki. Rasanya seluruh tubuhku kaku dan tak bisa bergerak.
Bahkan untuk bernapas pun sangat sulit rasanya.
Jedaaarrr... .
Rasanya petir telah menyambar tubuhku yang kaku. Aku tak percaya dengan
apa yang Youngki katakan. Pasti ayahnya akan semakin murka setelah mendengar
perkataan anak laki-lakinya itu.
“Tunggu... .” Ayah Youngki berseru. “Apa yang terjadi dengan dahimu? Apa
akau terluka?” Terdengar nada khawatir dari suaranya.
“Youngki-ssi. Apa akan baik-baik saja kalau aku tinggal di sini?”, tanyaku
saat kami telah menjauh dari kamar ayah Youngki. Aku masih takut dengan respon
ayah Youngki yang marah tadi.
Kata itu keluar sendiri dari bibirku saat Youngki telah membuka pintu itu. Ia
menuntunku memasuki kamar dan menaruh koperku disamping ranjang. Ranjang
yang sangat besar. Dua kali lebih besar dari yang aku miliki di Indonesia. Aku
mengelilingi kamar dan melihat segala sesuatu yang ada di dalamnya. Aku
bertanya-tanya apa pekerjaan keluarga Youngki sehingga mereka memiliki sesuatu
yang mewah seperti ini.
“Kenapa kau diam? Apa kau tak suka kamar ini?” Youngki bertanya karena
aku hanya diam sambil memerhatikan sekeliling.
“Joahaeyo18. Kamar ini sangat indah. Aku tak pernah melihat kamar yang
seindahr ini”, jawabku jujur. Aku sedikit tersenyum padanya.
Setelah mengatakan itu Youngki segera keluar dari kamar. Sementara aku
langsung merebahkan tubuhku di atas ranjang. Rasanya nyaman sekali, pikirku. Aku
kembali melihat sekeliling sambil terus berbaring. Aku masih belum percaya hanya
karena tak sengaja menggores dahi Youngki akhirnya akan menjadi seperti ini.
Aku bangkit dari ranjang dan melihat-lihat isi kamar ini. Aku duduk di sofa
dekat rak buku dan rasanya sangat nyaman. Lalu aku membuka korden dan
terlihatlah taman yang penuh dengan bunga-bungaan. Sangat indah.
Aku kembali berjalan menuju pintu yang ada di samping kiri ranjang. Saat
aku membukanya ternyata ada ruangan rahasia di dalamnya. Itu adalah ruangan
menyimpan baju dan perhiasan. Aku mencoba membuka salah satu lemarinya namun
tak ada apapun di dalam sana. Memang tak ada apapun di dalam sini.
Aku segera keluar dan masuk ke kamar mandi. Untuk kesekian kalinya aku
dibuat takjub oleh rumah Youngki. Luasnya hampir seperti kamarnya. Di dalam sini
18 Aku menyukainya
terdapat kaca yang sangat besar sehingga aku akan merasa sangat puas saat berkaca.
Ada juga bathup, shower, dan semua kebutuhan untuk mandi sangat lengkap dan
mewah.
“Hana?”
Terdengar suara Youngki sedang mengetuk pintu kamar. Aku segera keluar
dari kamar mandi.
“Ada apa?” tanyaku pada Youngki yang sedikit melirik ke dalam kamar.
Aku baru ingat kalau aku belum mandi. Akhirnya aku sedikit tersenyum lalu
menjawab, “Belum.”
“Kau belum mandi? Lalu apa yang kau lakukan dari tadi?”
Ia berjalan masuk kedalam kamarku. Ya, mulai hari ini kamar ini akan aku
tempati. Aku melihatnya duduk di sofa dekat rak buku. Kini ia terlihat memakai
celana dan kemeja santai. Berbeda sekali dengan setelan jas yang ia kenakan tadi.
Tapi ia masih terlihat tampan.
“Ne, arasseoyo20. Tapi... . Apa yang kau lakukan di sini?” Aku mengatakan
itu karena ia malah mengambil sebuah buku dari rak dan bukannya keluar dari
kamarku.
“Ya. Rumah ini milikku. Dan itu berarti kalau kamar ini juga milikku.” Aku
bisa mendengar nadanya yang sedikit sombong.
19 Tunggu sebentar
20 Aku mengerti
“Geuraeseo21. Arasseoyo, Doryeonnim.”
Aku keluar dari kamar mandi dengan memakai celana pendek dan kaos polos
warna abu-abu. Youngki yang sedang membaca buku langsung menatap ke arahku
saat mendengar pintu kamar mandi telah tebuka. Aku menguncir rambutku yang dari
tadi aku biarkan terurai. Youngki terus memerhatikanku. Aku yang merasa tidak
nyaman langsung berdehem dan itu berhasil membuat Youngki tak melihatku lagi.
“Apa kau sudah selesai?” Youngki meletakkan buku yang tadi ia baca di
meja lalu ia bangkit dari duduknya.
Ia segera keluar dari kamar setelah mengatakan itu dan aku mengikutinya
dari belakang. Kami menuruni tangga menuju ke lantai bawah. Dan untuk kedua
21 Benar
22 Bibi
kalinya aku terkagum-kagum dengan rumah milik Youngki yang sangat besar dan
indah ini.
Aku terus mengikutinya menuju meja makan. Di sana aku melihat ayah
Youngki tengah menyantap makan malamnya. Ia memerhatikan sampai Youngki
duduk di kursi yang ada di sebelahnya. Lalu ia menatap tajam ke arahku. Aku yang
melihat tatapannya itu menjadi takut untuk bergerak hingga Youngki memanggilku
dan menyuruhku duduk di sampingnya.
Aku menurut dan segera duduk di kursi yang ia tunjukkan. Sesaat setelah aku
duduk, ayah Youngki bangkit dari duduknya dan meninggalkan meja makan tanpa
berkata sepatah kata pun. Sementara itu Youngki sangat ceria dan mengajakku
makan.
Aku terbangun saat cahaya matahari sudah sangat terang. Sementara korden
yang ada di kamar ini masih tertutup rapat. Semalam aku tak bisa tidur karena
memikirkan postingan foto saat Yesung menolongku untuk berdiri saat di bandara
kemarin. Banyak sekali yang berkomentar negatif, tapi ada beberapa juga yang
memuji keberuntunganku. Bisa dibayangkan memang karena komentar para
warganet korea sangatlah pedas.
Aku segera mandi dan keluar dari kamar untuk mencari Youngki. Aku
mengetuk pelan pintu kamar Youngki yang ada di depan kamarku tapi tak ada
jawaban. Suasana di rumah ini sangat sepi. Aku melihat Ahjumma sedang ada di
dapur dan aku segera menghampirinya.
23 Makanan khas Korea yang biasa terbuat dari fermentasi sawi atau lobak dan rasanya sedikit pedas
“Maaf, Ahjumma. Tapi kenapa rumah ini sepi sekali? Kemana Youngki-ssi
pergi?”
“Ahjumma. Apa aku boleh minta roti saja? Aku mau berjalan-jalan untuk
mencari udara segar.”
“Agassi tidak mau makan jadi aku berikan sandwich agar Agassi tidak lapar
jika hanya makan roti saja.”
24 Nona
Aku berjalan menyusuri taman dan segera menuju gerbang. Jarak pintu
rumah dan gerbang rumahnya cukup jauh kira-kira dua puluh meter lebih.
Dengan penuh semangat aku melangkahkan kaki entah kemana. Aku ingin
mengetahui suasana kota Seoul yang selama ini hanya aku lihat di televisi dan juga
membacanya di beberapa artikel.
Aku terus berjalan. Jika ada belokan aku ikut berbelok. Entah sudah berapa
belokan yang aku lewati beberapa menit ini. Aku terus berjalan sambil memakan
sandwich buatan Ahjumma. Hingga akhirnya aku ingat sesuatu.
“Sekarang aku sudah ada di Korea dan aku harus mengunjungi kafe Mouse
and Rabbit milik suamiku Yesung. Ah... . Iya benar. Kenapa tidak terpikir olehku
dari tadi.”
Aku segera melahap sandwich terakhirku dan mengambil ponsel yang ada di
dalam ransel. Setelah mendapatkannya aku segera membuka aplikasi Maps dan
mengetik lokasi dari kafe Mouse and Rabbit.
“Akhirnya ketemu!”
Aku segera menuju antrian untuk memesan kopi. Aku sedikit berjinjit untuk
melihat kasir yang sedang melayani pelanggan dan ternyata bukan Yesung.
Seringkali Yesung menjadi kasir dan menyapa penggemarnya dengan hangat.
Aku langsung memalingkan wajahku. Semoga saja gadis itu tidak melihatku.
Dan aku baru sadar kalau aku berada di tengah-tengah kerumunan Clouds25 yang
mungkin akan marah saat tahu kalau aku adalah orang yang ditolong oleh Yesung
saat ada di bandara kemarin. Pikiranku mulai kacau.
“Permisi. Apa anda baik-baik saja? Sekarang giliran anda untuk memesan”,
ucap seorang wanita yang ada di balik mesin kasir.
Aku segera memesan segelas kopi dingin dan beberapa menit saja kopi
pesananku telah siap. Aku langsung membayar dan segera keluar dari kafe. Aku
sudah melupakan tujuan pertamaku untuk bertemu Yesung karena rasa takutku pada
penggemar Yesung lebih besar. Aku sedikit melirik ke arah gadis di bandara kemarin
dan untunglah ia tidak mengetahui keberadaanku.
Aku masih belum berani membuka mata. Aku merasa gemetar. Aku tak
sadar kalau tangan itu telah berpindah tempat dan sekarang ada jari yang menyentil
keningku.
Mendengar suara itu aku langsung membuka mata. Aku tahu kalau itu adalah
suara Yesung. Aku sama sekali tidak percaya kalau ia masih mengingatku.
“Ya. Apa kau juga mulai tidak bisa mendengarku?” Ia kembali bertanya
karena aku hanya diam.
“Tentu saja. Sudah ratusan kali aku pulang dan pergi dari bandara tapi baru
kemarin ada orang yang jatuh tepat di depanku.”
Aku langsung menundukkan kepala karena merasa malu. Belum hilang rasa
malu dari wajahku dan aku mendengar suara yang tak asing bagiku.
Yesung berjongkok lalu menyambut anjing itu. Bukan hanya satu, tapi ada
dua ekor anjing yang menghampirinya. Ia menggendong salah satu anjingnya yang
berwarna hitam dan aku tahu kalau itu adalah Kkoming. Sementara anjing yang
berukuran lebih kecil dan berwarna putih yang berlarian di kaki Yesung adalah
Mello.
Aku hanya tersenyum saat Yesung menanyakan hal itu. Memang aku
mempunyai pengalaman buruk yaitu saat masih SMP aku pernah dikejar oleh anjing
milik tetanggaku. Sehingga mulai saat itu aku menjadi sangat takut bahkan saat
mendengar suaranya saja tubuhku langsung merinding.
“Kau baru membeli kopi?”, tanyanya sambil menunjuk gelas kopi yang ada
di tanganku.
“Oh... . Ne. Aku kira Yesung-ssi yang menjadi kasirnya jadi aku datang ke
sini”, jawabku dengan sedikit malu. Ia sedikit tersenyum mendengar jawaban dariku.
“Ne, Araseo-yo. Mulai Super Show 4 yang diadakan di Jakarta. Tapi saat
Super Show 5 dan 6 Yesung-ssi tidak ikut karena menjalani wajib militer”, jelasku.
“Ah... . Ne. Maaf aku lupa.” Aku meminum sedikit kopi dan tiba-tiba
terdengar bunyi aneh dari perutku.
Aku berjalan mengikutinya menuju sebuah minimarket yang berada tak jauh
dari kafe. Ia menyuruhku menunggu di depan minimarket. Tak lama ia keluar dengan
membawa dua cup ramyeon dan sebuah kantong plastik yang berisi beberapa
minuman. Aku membantunya membawa kantong plastik itu.
Aku mengambil sepasang sumpit tapi aku hanya diam. Aku menatap
ramyeon milikku lalu menatap ke arah Yesung yang sedang menyantap ramyeon.
“Wae-yo?”, tanyanya heran. “Jangan bilang kalau kau tidak bisa makan
menggunakan sumpit”, tambahnya.
“Tadi aku meminta garpu ini pada penjaga minimarket. Aku sudah tahu saat
beru melihat wajahmu. Cepat makan ramyeonmu.”
“Kamsahamnida, Yesung-ssi.”
“Mwo? Kenapa meeting mendadak seperti ini? Baiklah aku akan segera
berangkat ke sana.”
Yesung menerima telepon dari seseorang yang aku tak tahu itu siapa. Setelah
menutup ponselnya ia menatapku.
29 Kau benar-benar
“Ah... . Joiseonghamnida. Aku harus pergi sekarang”, katanya sedikit ragu.
“Anggap saja ini sebagai permintaan maafku. Karena kemarin kamu terjatuh
dan dibicarakan oleh banyak orang.”
“Aku juga meminta maaf atas kejadian yang terjadi di bandara kemarin.”
Aku langsung berdiri dan menyusuri jalan yang tadi telah aku lewati. Aku
melewati minimartket tempat Yesung membeli ramyeon. Beberapa meter kemudian
aku telah sampai di depan kafe Mouse and Rabbit milik Yesung lagi. Aku terus
berjalan sambil menatap layar ponselku agar tidak tersesat.
Akhirnya aku sudah sampai di pinggir jalan raya besar. Namun ponselku
mengalami lowbat!
“Jangan mati dulu!”
Aku mulai bingung. Aku segera merogoh ke dalam ransel untuk mencari
Power Bank yang biasa aku bawa. Tapi aku tak bisa menemukannya. Aku bahkan
sudah mengeluarkan semua barang dari dalam ranselku tapi aku tetep tidak bisa
menemukannya. Mungkin aku lupa membawanya karena aku charge kemarin malam.
Jam tanganku menunjukkan pukul tiga. Itu berarti di Korea sudah pukul lima
sore. Hari mulai gelap dan mendung terlihat menggantung di langit kota Seoul. Aku
berjalan tak tentu arah.
“Bodoh! Setelah ini aku akan menjadi seorang gelandangan di Seoul.” Aku
menagis sambil terus berjalan. Orang-orang yang lewat menatapku dengan
pandangan yang aneh. “ Aku datang ke Korea untuk mencari tahu tentang Papa dan
siapa aku sebenarnya. Tapi sekarang aku tersesat dan tidak tahu di mana rumah
Youngki. Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Tangisanku semakin keras.
“Youngki-ssi.” Aku teringat pada Youngki. Ia sangat baik padaku tapi sekarang siapa
yang akan menolongku. Lagi.
Hujan mulai turun. Aku terus berjalan dan masih menangis. Dengan
turunnya hujan ini rasanya kesedihanku menjadi bertambah.
“Kenapa harus turun hujan saat aku sedih seperti ini? Kenapa?”
Aku terus berjalan dan melihat beberapa orang berteduh di sebuah halte bis.
Aku duduk di kursi yang ada di pojok halte. Aku masih terisak-isak. Aku takut kalau
sampai aku tidak bisa pulang ke rumah Youngki lagi.
Tubuhku basah oleh air hujan. Aku menggigil dan itu membuatku semakin
takut. Aku terus menangis. Tapi aku bersyukur karena suara isakanku tersamarkan
oleh derasnya air hujan.
Kini langit sudah benar-benar gelap. Hari sudah malam. Tapi hujan masih
turun rintik-rintik. Orang-orang yang berteduh tadi sudah pergi entah kemana. Di
halte bis ini hanya tinggal aku dan dua orang gadis yang sedang menunggu bis.
Mereka sedang melihat poster yang terpasang di dinding halte.
Aku ikut melihat poster yang ada di belakangku. Dan di dalam poster itu aku
bisa melihat sosok Youngki. Aku masih belum percaya kalau itu Youngki. Aku
membacanya sedikit dan ternyata itu memang benar Youngki.
Pria yang ada di poster itu benar-benar Youngki. Aku sangat yakin kalau itu
memang Youngki. Dan sekarang aku di sini tak tahu kemana aku harus pergi.
Harusnya aku tak keluar dari rumah Youngki. Aku benar-benar akan menjadi
gelandangan.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan halte. Mobil itu mirip dengan
mobil milik Youngki. Aku sangat yakin kalau itu memang mobilnya. Aku segera
berdiri dan melangkahkan kakiku menuju mobil yang berwarna putih itu. Saat
pemilik mobil itu keluar aku terus menatapnya dan berharap kalau ia adalah Youngki.
Tapi dugaanku salah. Dia bukanlah Youngki.
“Bodoh. Memang cuma Youngki saja yang punya mobil seperti itu? Ada
ratusan mobil seperti itu di dunia ini dan Youngki adalah salah satu pemiliknya.
Bodoh. Aku benar-benar bodoh. Youngki tidak akan pernah menemukanku. Aku
tidak akan bisa pulang ke rumahnya lagi.”
Aku benar-benar putus asa. Rasanya air mataku tidak bisa menetes lagi.
Youngki mengajakku masuk ke dalam mobil. Kali ini aku tak melihat Oh
Ahjussi. Mungkin Youngki menyetir mobilnya sendiri. Ia membantuku masuk ke
dalam mobil dengan sedikit menuntunku. Setelah Youngki telah berada di kemudi, ia
langsung memacu mobilnya.
Aku menceritakan semua kejadian yang terjadi hari ini pada Youngki. Dari
awal aku keluar dari rumahnya sampai pada saat di halte bis.
“Ya. Kenapa kau tertawa? Apa itu lucu?” Aku berteriak karena kesal. “Kau
tak tahu kalau aku sangat takut di sana sendirian. Bagaimana kalau aku tidak bisa
kembali ke rumahmu lagi?”
Aku mendengar pelan sayup-sayup orang bicara. Tapi aku tak sanggup untuk
membuka mataku. Rasanya masih berat untuk membukanya. Aku yakin itu suara
Youngki dan aku mendengarnya sedikit berteriak. Aku juga bisa mendengar suara
ayah Youngki. Aku bisa merasakan kalau aku mengalami demam. Tapi tubuhku
masih tidak bisa bergerak.
Aku berusaha membuka kelopak mataku. Tapi rasanya masih berat. Perlahan
aku bisa melihat sedikit cahaya dari jendela kamar. Kepalaku masih terasa pusing.
Aku juga merasakan demam di tubuhku. Aku berhasil membuka kedua mataku dan
ternyata aku telah berada di dalam kamar. Di meja dekat ranjang aku melihat ada
baskom kecil dan juga sehelai sapu tangan berada di sampingnya.
Aku masih merasa lemas tapi aku tetap mencoba untuk duduk. Tiba-tiba aku
merasakan sedikit nyeri di tangan kiriku. Ternyata aku diinfus. Aku tak percaya tapi
aku benar-benar diinfus. Baru kali ini aku diinfus karena biasanya aku tak pernah
sesakit ini.
Aku mencoba turun dari ranjang dan tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Itu
adalah Ahjumma. Aku bisa mengenalinya. Ia terkejut saat melihatku mencoba turun
dari ranjang dan segera berlari mendekatiku.
“Agassi sudah sadar?”, tanyanya sambil meletakkan sebuah baskom berisi air
di meja dekat ranjang.
Aku terus berusaha untuk mengembalikan suaraku tapi itu semua hanya
sia-sia. Aku sudah mencoba berbicara tapi masih terdengar seperti orang yang
berbisik tak jelas. Tenggorokanku terasa sedikit sakit.
Aku mengangguk.
“Ya. Kau jangan membuatku takut. Kenapa kau hanya menggeleng dan
menganggukkan kepalamu saja? Apa kau tak bisa bicara?”
“Heol30. Apa kau tahu sudah dua hari kau tak sadarkan diri?”
“Hapa? Hau behanha?” Aku berbicara karena aku terlalu terkejut saat tahu
aku tak sadarkan diri selama dua hari.
Youngki diam sejenak. “Ya. Apa kau sedang bercanda? Kau hanya
menakutiku bukan?” Ia masih tidak percaya.
Aku diam. Tapi saat aku membuka mulutku untuk bicara ia menyuruhku
untuk diam saja.
30 Omong Kosong
Youngki membantuku duduk dan ia mengatur beberapa bantal di
punggungku sebagai sandaran. Ia mengambil mangkuk yang berisi bubur dan mulai
menyuapiku. Aku hanya diam melihatnya lali melihat sendok yang terisi penug oleh
bubur itu.
“Ayo buka mulut kecilmu itu. Sudah dua hari hanya mendapat nutrisi dari
infus”, bujuknya. Perlahan aku membuka mulutku dan melahap suapan dari tangan
Youngki.
“Rasanya lezat bukan? Kau harus makan sampai ini habis. Oke?”
Ia terus menyuapiku dan aku hanya bisa menurutinya. Tak lama terdengar
pintu kamarku diketuk oleh seseorang. Youngki memberiku segelss air lalu ia
bangkit dan segera membuka pintu kamarku. Aku melihat seorang pria berdiri di
balik pintu dan Youngki mempersilakan pria itu masuk. Mungkin orang ini yang
dihubungi oleh Youngki tadi, pikirku.
“Dia baik-baik saja. Semuanya sudah normal. Hanya demamnya saja yang
masih belum turun.”
“Ia terkena radang tenggorokan. Mungkin itu terjadi karena kemarin dia
mengalami kehujanan. Berikan ia banyak minum air putih dan berikan obat ini
padanya.”
Setelah tiga hari aku hidup tanpa bersuara, akhirnya hari ini suaraku telah
kembali. Kini aku sudah bisa berbicara seperti biasanya bahkan aku juga bisa
berteriak.
Aku merasa tak enak hati pada Youngki karena selama aku sakit ia jadi
sering pulang ke rumah. Seperti dua hari yang lalu, baru tiga jam ia berangkat ke
kantor tapi ia kembali pulang untuk memastikan kalau aku sudah makan dan
meminum obatku. Beberapa menit setelah itu ia mendapat telepon dari sekretarisnya
bahwa ada meeting mendadak sehingga ia harus segera kembali ke kantor.
Tak hanya itu. Pada siang hari ia juga pulang dari kantor dengan alasan ia
sedang tidak enak badan tapi yang ia lakukan adalah menungguiku di kamar. Bahkan
tiap pagi dan menjelang tidur ia selalu masuk ke dalam kamarku tanpa permisi.
Aku juga merasa tidak enak hati pada ayah Youngki. Han Sajangnim.
Beberapa hari yang lalu aku melihatnya sedang memerhatikan aku dan Youngki yang
ada di dalam kamar. Aku yakin kalau ia sebenarnya adalah orang yang baik. Hanya
saja kadang-kadang ia terlihat menyeramkan.
Aku beruntung sekali bisa bertemu dengan Youngki. Aku bahkan tidak bisa
membayangkan bagaimana kehidupanku jika aku tidak sengaja melukai dahinya saat
ada di dalam pesawat saat aku akan berangkat ke Korea satu minggu yang lalu.
Namun entah sampai kapan keberuntungan ini akan memihak kepadaku. Dan semoga
Tuhan menjaga keluarga Youngki dengan baik seperti Youngki menjagaku selama
ini.
31 Jangan khawatir
“Youngki-ssi? Apa kau belum bangun?”
Aku mengetuk pintu kamar Youngki beberapa kali tapi tak ada jawaban. Saat
itu sudah pukul delapan pagi. Biasanya Youngki yang selalu membangunkanku. Tapi
hari ini entah kenapa aku belum mendengar ocehannya.
“Agassi? Apa yang anda lakukan?” Aku sedikit kaget mendengar suara
Ahjumma yang tiba-tiba saja muncul di sebelahku. Sebelum aku menjawab
pertanyaannya tadi ia kembali berkata, “Doryeonnim sudah berangkat dari pukul lima
tadi. Ia akan bertemu klien di Busan.”
“Agassi ingin sarapan? Sarapan sudah siap di meja makan. Apa Agassi ingin
makan di kamar saja?”
Aku diam sejenak. “Aku sedang malas makan. Aku makan nanti saja.”
“Tapi Doryeonnim berpesan agar aku memastikan Agassi makan tepat waktu.
Ia akan marah kalau tahu Agassi tidak mau makan”, kata Ahjumma sedikit
membujukku.
Aku mengikuti Ahjumma menuju meja makan. Aku bisa melihat ada piring
di depan kursi yang biasa digunakan oleh ayah Youngki.
Jakkan Namja? Siapa dia? Aku bahkan tidak pernah menyimpan kontak
seseorang dengan nama seperti itu. Aku berusaha mengingat-ingat dan aku sangat
yakin kalau aku tidak pernah menyimpan kontak seseorang dengan nama Jakkan
Namja.
“Ya. Apa kau masih tidur? Dasar panda!” Ia kembali mengirim SMS karena
aku tak segera membalasnya.
Orang itu tidak membalas SMS dariku dan malah menelepon. Aku paling
tidak menyukai jika ada orang asing yang menghubungiku. Aku menolak telepon
darinya. Sudah lima telepon yang telah aku tolak tapi orang itu terus menelepon.
Akhirnya aku mengangkat teleponnya.
“Ya. Na-ya35.”
Sepertinya aku mengenali suara itu. Tapi dimana aku pernah mendengarnya.
Suara itu tidak asing bagiku.
32 Pria tampan
33 Siapa ini? (formal)
34 Halo
35 Ini aku
“Ya. Kenapa kau diam saja?”
“Awas saja kalau kau sampai pulang ke rumah. Apa yang kau lakukan pada
ponselku?”
“Aku hanya bermain-main sedikit.” Ia sedikit tertawa. “Apa kau suka dengan
namaku di ponselmu?” Ia mulai menggodaku.
“Aku sudah berkerja pada Sajangnim sejak Doryeonnim berusia tiga tahun.
Doryeonnim sebenarnya mempunyai seorang adik perempuan usianya empat tahun
Aku merasa sangat kasihan pada Youngki. Pada usia semuda itu ia harus
kehilangan adik dan juga ibunya.
“Sejak saat itu Doryeonnim mulai menutup diri dan ia selalu menghindar dari
ayahnya. Ia dulu anak yang ceria tapi semenjak kejadian itu ia menjadi sangat
pendiam. Ia anak yang cerdas dan juga pintar tapi ia tidak pernah mempunyai
seorang teman.” Ahjumma memegang tanganku dan menatapku. “Tapi semenjak
Doryeonnim bertemu dengan Agassi, aku merasa Doryeonnim telah berubah. Ia
menjadi sering tersenyum dan tertawa semenjak Agassi tinggal di sini. Aku berharap
Agassi akan terus membuat Doryeonnim ceria seperti sekarang.”
Sebenarnya aku masih ingin tahu banyak tentang keluarga Youngki tapi
Ahjumma menyuruhku kembali ke kamar untuk meminum obat dan beristirahat.
Awalnya aku menolak tapi ahjumma berhasil membujukku. Setelah minum obat
mataku terasa berat hingga akhirnya aku tertidur.
Aku pikir Youngki akan langsung pulang tapi ternyata yang aku pikirkan itu
salah. Youngki bilang kalau ia harus menginap selama dua malam karena masih ada
jadwal pertemuan dengan klien. Saat Youngki sedang tidak sibuk, ia akan mengirim
SMS dan meneleponku. Bahkan sesekali ia mengirimkan MMS untukku.
“Jangan terlalu memikirkanku. Kau pasti merindukanku bukan?” Ia
mengirimkan itu bersamaan dengan fotonya yang tersenyum nakal. Lagi-lagi
senyuman itu.
Aku baru tahu kalau ternyata Ahjumma dan Oh Ahjussi juga tinggal di rumah
ini. Tapi mereka tinggal di belakang rumah Youngki. Ahjumma bilang kalau ayah
Youngki yang membangun tempat itu dengan alasan agar Ahjumma dan Oh Ahjussi
tidak harus bolak-balik untuk bekerja.
Tiba-tiba aku mendengar suara klakson mobil. Aku menoleh ke arah mobil
yang baru datang itu. Aku melihat mobil hitam itu berhenti tepat di depan rumah
Youngki. Aku terus melihat mobil itu dan berharap kalau Youngki yang akan keluar
dari sana.
Tak lama aku melihat pintu mobil itu terbuka. Seorang pria dengan setelan
jas berwarna biru tua keluar dari dalam mobil. Dan aku langsung mengenali sosok itu.
Ia tersenyum ke arahku dan berjalan ke depan mobilnya.
Youngki telah pulang. Aku tak kesepian lagi sekarang. Sejak ia kembali sore
itu, aku selalu mengikuti kemana pun Youngki pergi. Aku juga menungguinya
sampai selesai makan dan mendengarkan ceritanya tentang Busan.
“Disana sangat indah. Tidak ramai seperti kota Seoul.” Ia menyendok sup
lalu melahapnya. “Kalau aku diperintahkan untuk memilih, aku akan memilih Busan
dari pada Seoul. Tapi rumahku ada di Seoul jadi aku tidak bisa melakukan apa-apa.”
“Apa kau marah? Baiklah kalau ada waktu aku akan mengajakmu
jalan-jalan”, katanya setelah menutup pintu kamarku. Aku hanya diam tak menjawab.
“Besok aku libur. Apa kau mau pergi jalan-jalan denganku?”, tanyanya lagi.
Aku menggeleng.
“Apa kau yakin? Kemarin kau bilang saat sudah sembuh kau ingin aku
mengajakmu berkeliling Seoul kan?” Ia mencoba membujukku. Tapi aku mempunyai
ide yang lebih bagus.
“Bersenang-senang?”
“Mwoya? Apa yang akan kita lakukan di sini?”
Aku bisa melihat kalau ia terkejut saat aku mengajaknya ke taman. Aku
hanya sekedar mengajaknya berjalan-jalan seperti yang aku lakukan saat ia berada di
Busan beberapa hari yang lalu.
“Kau tahu aku hanya berjalan-jalan mengelilingi taman ini. Aku tak berani
keluar dari pintu gerbang rumahmu lagi.”
Ia tertawa seperti biasanya. “Kau ini. Apa kau tak mengingat jalan yang telah
kau lewati?”
“Aku sangat sulit untuk menghafalkan jalan. Aku akan hafal jika aku sering
melewatinya. Dan kemarin baru pertama kalinya aku ke Mouse and Rabbit dan aku
tidak mungkin ingat jalannya.”
Kami terus berjalan hingga sampai di sebuah kolam yang ada di tengah
taman. Youngki melihat ke dalam kolam sejenak lalu kembali mendekatiku.
“Aku baru tahu kalau di dalam kolam ini tidak ada ikannya. Besok aku akan
membeli beberapa ikan,” katanya dengan penuh semangat.
“Youngki-ssi. Aku mau ikut membeli ikan bersamamu.” Aku terus meminta
agar ia mengajakku saat akan membeli ikan.
Ia hanya diam dan terus berjalan. Saat sudah berada di teras, ia berbalik ke
arahku. “Baiklah. Tapi besok kau harus ikut kemana pun aku pergi. Oke?”
38 Benarkah?
“Kita akan membeli ikan di mana?
Aku terus bertanya tapi Youngki hanya diam dan terus memacu mobilnya.
Aku tak tahu mau dibawa kemana oleh Youngki karena aku tak tahu jalan. Setelah
beberapa menit berkendara, akhirnya Youngki menghentikan mobilnya dan
mengajakku turun. Aku yang tak tahu apa-apa hanya menurut dengan yang ia
katakan.
Aku mengikuti langkah panjangnya karena aku jauh lebih pendek darinya.
Mungkin ia setinggi Yesung atau bahkan lebih tinggi Youngki sedikit. Aku tak tahu
saat ia berhenti dan itu membuat kepalaku menabrak punggungnya.
Kali ini ia menggandeng tanganku dan berjalan dengan langkah yang lebih
pendek. Setelah masuk, aku bisa mengenali kalau ini adalah Istana Gyeongbok yang
dulu hanya bisa aku lihat dari blog dan juga dari drama Korea. Ia mengajakku
berkeliling dan juga berfoto. Ia juga sedikit bercerita tentang pengalaman pertamanya
berkunjung ke tempat ini saat ia masih duduk di SD.
Aku tersenyum. “Kau tahu ada berapa ratus fotomu yang ada di ponsel dan
laptopku? Aku sudah hafal walau hanya sekilas melihatnya.”
“Apa kau tahu kalau ia tak tahu jalan? Ia bahkan kehujanan dan itu
membuatnya demam. Ia juga tak sadarkkan diri selama dua hari.” Aku benar-benar
merasa malu saat Youngki mengatakan semuanya pada Yesung.
“Apa? Apa itu benar-benar terjadi padamu?” Yesung bertanya seakan tak
percaya.
Aku bertanya saat kami sudah berada di dalam mobil. Tapi Youngki hanya
diam dan terus memerhatikan jalan. Hari telah gelap tapi suasana jalan terlihat lebih
ramai. Youngki masih diam. Aku tak berani berbicara dan ikut diam. Beberapa saat
kemudian Youngki menghentikan mobilnya dan mengajakku turun.
“Sekarang kita ada di Myeongdong. Sebentar lagi musim dingin dan aku
yakin kau belum punya mantel dan pakaian musim dingin.”
Ia berjalan dan membiarkanku membuntutinya. Tapi suasana di sini sangat
ramai. Aku terus mengikuti langkah cepatnya tapi memakai Hanbok ini menjadikan
aku susah untuk berjalan. Aku menjinjing sedikit Hanbokku dan sedikit berlari agar
tak ia tinggal. Tapi benar saja aku telah tertinggal di belakangnya.
Aku menoleh ke kanan, lalu ke kiri, dan juga ke belakang. Tapi aku tidak
bisa menemukan Youngki. Aku mulai gelisah. Aku kembali berlari dan mencoba
mencarinya. Aku mencoba mengingat baju yang Youngki pakai.
Aku mengingatnya. Aku terus mencarinya tapi aku tidak bisa menemukan
Youngki. Saat aku mulai menangis tiba-tiba ada seseorang yang menarik tangan
kananku.
Aku sangat bersyukur bisa melihatnya lagi. Tapi aku juga kesal karena ia
meninggalkanku.
“Itu karena kau berjalan terlalu cepat. Aku tidak bisa mengikutimu.” Aku
mulai menangis. “Dan juga baju ini. Aku sangat benci baju ini. Aku jadi sulit berjalan
karena baju ini, Youngki-ssi.”
“Cepat masuk ke kamarmu dan mandilah. Hari ini aku tidak akan ke
kamarmu. Kau istirahat saja.”
Sehabis mandi aku keluar kamar dan berjalan pelan mendekati kamar
Youngki yang berada tepat di depan kamarku. Aku menempelkan telinga kiriku di
pintu tapi aku tak mendengar apa-apa. Akhirnya aku menempelkan telinga kananku
dantetap tidak mendengar apapun dari dalam kamar Youngki.
“Ya. Mwo-hanya?”
“Aku mau meminjam charge ponsel. Tapi power bank milikku masih
berfungsi dan aku tidak jadi meminjamnya.”
Aku segera berlari masuk ke kamarku dan menutup pintunya. Aku berdiri di
balik pintu dan tidak mendengar apapun di depan kamarku. Apa Youngki
benar-benar tidak akan ke kamarku malam ini?
“Hana. Kau hebat sekali bisa bertemu dengannya dan juga berfoto
dengannya.”
Itulah beberapa pesan yang masuk dalam akun yang aku miliki. Ini kedua
kalinya setelah beberapa minggu yang lalu fotoku juga membuat gempar para
warganet saat jatuh di depan Yesung. Dan sekarang fotoku memakai Hanbok
bersama yesung yang menjadi heboh.
41 Luar biasa
Setelah puas membaca pesan yang berisi pujian serta celaan aku menjadi
sedikit was-was. Tepatnya perasaan takut. Itu karena Yesung telah memposting foto
kami berdua bahkan wajahnya benar-benar terlihat di foto itu. Bahkan ia juga
menandai akun sosial mediaku sehingga banyak juga yang mengikuti akunku dan
banyak juga yang berkomentar di postinganku yang lama.
“Hana? Apa kau sudah tidur?”, tanyanya sambil mengetuk pintu kamarku.
Aku segera bangkit dan berjalan menuju pintu. Aku lupa ternyata tadi aku
mengunci pintu kamarku. Aku segera membuka kuncinya dan membuka pintu kamar.
Youngki langsung masuk saat ia melihat pintu kamarku telah terbuka.
Seperti biasanya, ia duduk di kursi dekat ranjangku. Padahal dulu kursi itu
ada di dekat rak buku. Aku sangat yakin kalau Youngki yang memindahkannya di
dekat ranjang. Bahkan pernah sekali aku mengembalikan sofa itu di dekat rak buku
tapi entah bagaimana sofa itu kembali bertempat di dekat ranjangku.
“Meolla42”, jawabnya. “Aku kesal saat kau membahas tentangnya. Dan tadi
saat kau menghampirinya aku merasa sangat kesal.” Ia menatapku. “Dia hanya
membuatmu dalam masalah. Pertama di bandara. Yang kedua kau jadi sakit selama
hampir seminggu.”
Beberapa hari yang lalu saat aku menemani Ahjumma berbelanja, aku
melihat ada sebuah toko bunga yang sedang mencari pekerja paruh waktu. Saat itu
juga aku langsung mencoba berbicara dengan pemilik toko dan akhirnya aku diterima
bekerja di sana. Hari ini adalah hari pertama aku masuk kerja.
“Youngki-ssi. Aku pergi dulu ya?” Aku berteriak dari depan pintu kamar
Youngki.
“Ya. Kenapa kau bekerja?” Aku bisa melihat ekspresi kaget di wajahnya.
“Aku melakukan itu karena aku bosan di rumah. Aku juga merasa tak enak
hati saat semua orang sedang sibuk bekerja sedangkan aku hanya bersantai-santai di
kamar”, jelasku.
Aku segera pergi sebelum ia bertanya lagi. Tapi di lantai bawah aku
berpapasan dengan Han Sajangnim yang saat itu ia baru keluar dari ruangannya.
Walau sedikit merasa ragu, aku menyapanya dan memberitahunya kalau aku akan
pergi bekerja. Awalnya ia hanya diam, tapi saat Han Sajangnim akan pergi ia berkata,
“Di dalam garasi ada sepeda milik Youngki. Mintalah bantuan pada Ahjumma untuk
mengambilkannya. Pakailah sepeda itu jika kau mau.”
“Baiklah. Jangan lupa bayar uang sewa untuk sepeda yang kau pakai ya.
Jalka, Agassi.” Setelah mengatakan itu ia meminta Oh Ahjussi untuk mempercepat
mobil yang mereka tumpangi.
Aku merasa sedikit lelah karena selama ini aku tak pernah bekerja
sebelumnya. Tapi aku harus tetap bersemangat karena aku tak mau merepotkan
Youngki terus. Sore itu aku sedang belajar membuat karangan bunga bersama
Minyoung Eonni tiba-tiba masuk sosok yang tak asing bagiku.
“Apa di sini ada bunga tulip?”, tanya orang itu saat baru masuk toko. Sang
pemilik toko bunga, Miss Kim, menyuruhku untuk melayani orang itu.
“Hana. Kau harus sopan pada pelanggan kita”, kata Miss Kim.
Aku mendekati pria itu dan menyeret lengannya. Aku membawanya keluar
dari toko.
“Ya. Apa yang kau lakukan di sini? Jangan menggangguku bekerja” Aku
berbisik padanya.
Mulai hari itu Youngki selalu menjemputku di sore hari saat ia pulang dari
kantor. Ia selalu turun di depan toko dan menyuruh Oh Ahjussi untuk pulang lebih
dulu. Setelah itu ia akan menuntun sepedanya dan mengajakku berjalan kaki. Tapi
suatu sore ia bilang kalau ia tidak bisa pulang karena ia ada meeting dengan klien
penting dan ia menyuruhku untuk tidak menunggunya.
“Akhirnya hari ini aku bisa pulang dengan naik sepeda dan tidak berjalan
kaki lagi”, gumamku.
Aku kembali menata bunga-bunga yang ada di depan toko dengan sedikit
bernyanyi karena merasa senang tidak harus berjalan kaki hari ini. Tapi... . Pasti sepi
sekali kalau aku pulang sendirian tanpa Youngki. Di tengah lamunanku itu tiba-tiba
muncul seorang wanita yang kira-kira berumur empatpuluhan. Dia menghampiriku
yang ada di depan toko.
“Rose.” Ia menunjuk mawar merah yang dari tadi sedang aku rapikan.
Aku terus memperhatikan wanita itu karena selama beberapa hari selama aku
bekerja di sini aku tak pernah melihatnya. Bajunya terlihat tak rapi dan rambutnya
terlihat kusut. Tapi dari wajahnya terlihat kalau ia cantik. Dan sepertinya mentalnya
seddikit terganggu.
“Rose.” Ia mengatakan itu lagi karena aku hanya diam. “Berikan aku bunga
mawar itu”, tambahnya sambil menunjuk mawar mewah yang ada di tanganku.
Aku segera meminta uang kembalian pada Miss Kim dan berpamitan untuk
pulang karena jam kerjaku telah habis. Aku keluar toko dan langsung mengayuh
sepedaku.
Aku terus mencari wanita tadi untuk memberikan uang kembaliannya. Aku
menyusuri jalan yang di lewati wanita tadi. Aku mengayuh sepedaku dengan
menoleh ke kanan dan kiri agar bisa menemukannya.
Disaat aku melewati salah satu gang, aku melihat wanita itu menuruni jalan
yang bertangga. Dengan segera aku memarkir sepedaku dan berlari menyusul wanita
itu.
Siapa yang ada di depan rumah Youngki? Dan kenapa berwarna putih?,
pikirku.
“Hantu?”
Aku segera mengerem sepeda yang aku tumpangi dan terus memperhatikan
sosok itu. Ia terlihat mondar-mandir di depan rumah Youngki. Aku menengok ke
sekitar dan suasanya sangat sepi. Aku mulai takut dan memutuskan untuk memutar
dan kembali ke toko bunga dari pada terjadi sesuatu yang tidak di inginkan.
Saat aku mulai mengayuh sepeda untuk kembali ke toko bunga, aku
mendengar sayup-sayup orang memanggil namaku.
“Tuan hantu tolong jangan lakukan apa-apa. Tolong lepaskan aku.” Aku
berteriak ketakutan.
Mendengar suara itu aku langsung menoleh. Aku melihat Youngki sedang
memegang bagian belakang sepeda tang sedang aku tumpangi.
“Kau ini. Kau kira aku tidak lelah berlari-lari mengejarmu yang naik
sepeda?”
“Itu karena kau memakai baju dan celana yang berwarna putih. Jadi aku kira
kalau kau itu hantu,” jelasku.
“Tangannya hanya terkilir. Dalam beberapa hari pasti akan segera sembuh”,
jelasnya. “Aku mendengar kalau kau mulai bekerja?”
Aku mengangguk.
“Apa benar-benar sakit? Apa kau terjatuh? Tapi... . Kenapa tidak ada bekas
goresan di sepedanya? Kau bertemu dengannya lagi?”
“Aku tidak bertemu dengannya. Tadi di toko bunga aku tidak sengaja
terpeleset.” Aku mencoba beralasan dan Youngki percaya dengan yang aku katakan.
“Kalau begitu cepatlah beristirahat. Dan mulai besok kau tidak usah pergi ke
toko bunga. Aku akan memberitahu Miss Kim kalau kau sedang sakit.”
“Ya. Apa yang kau lakukan?” Youngki segera mendekat dan duduk di kursi
yang ada di sebelahku. Ia sudah siap dengan setelan jasnya. “Biarkan aku yang
menyuapimu makan.” Ia merebut sendok yang ada di tanganku.
“Apa yang kau lakukan? Kau harus segera berangkat ke kantor.” Aku
mencoba menolak.
Aku segera minum segelass susu yang sudah disiapkan oleh Ahjumma.
Beberapa detik kemudian aku baru sadar kalau ponsel Youngki tertinggal di meja
makan. Aku segera berlari mengejarnya dan ternyata ia baru akan masuk ke mobil.
Aku berlari ke teras dan berteriak memanggilnya.
Ia tak jadi masuk mobil dan menatap kearahku. “Tidak ada. Memangnya apa
yang aku lupakan?”
Aku terus berjalan mengelilingi taman hingga akhirnya aku sampai di pojok
taman. Aku menarik napas lalu menghembuskannya pelan. Saat akan berbalik aku
melihat sesuatu di pagar rumah Youngki. Aku mendekat dan ternyata itu adalah
bunga mawar. Ada beberapa tangkai bunga mawar merah layu dan sebagiannya telah
kering. Aku segera mengambil dan memperhatikannya.
45 Ciuman di pagi hari
“Bunga mawar? Kenapa ada bunga mawar di sini?” Aku mencoba berpikir
tapi aku mendengar suara Ahjumma sedang memanggilku.
“Apa? Padahal dia baru saja berangkat dan sudah menelepon Ahjumma?”
Ahjumma bilang kalau ruangan yang menyimpan hasil dari cctv adalah
dalam kamar ayah Youngki. Aku langsung merasa merinding saat Ahjumma
mengatakan itu. Aku tidak berani berhadapan dengannya. Akhirnya aku memutuskan
untuk menyimpan bunga layu itu dalam laci di kamarku.
Ahjumma bilang kalau akan pergi berbelanja dan kini aku sedang di rumah
sendirian. Sempat terpikir olehku untuk memeriksa rekaman cctv di ruangan ayah
Youngki tapi aku bahkan tak berani mendekati pintu kamarnya. Akhirnya aku
memutuskan untuk bersantai-santai di dalam kamar.
Youngki mendekat lalu duduk di kursi yang ada di dekat ranjang seperti
biasa. Mungkin ia memang sengaja meletakkan kursi itu disana.
“Kenapa kau sudah pulang? Bahkan ini belum jam makan siang.”
“Ini rumahku. Jadi terserah kalau aku mau pulang kapan saja”, jawabnya
dengan nada sedikit sombong.
“Kau ini!”
Youngki menggelitiki pinggang dan juga perutku. Aku meronta karena aku
tak tahan geli.
46 Saya mengerti
Aku menutup mata dan merasakan ada sesuatu di atas tubuhku. Aku
membuka salah satu mataku dan yang aku lihat adalah wajah tampan Youngki yang
tepat berada di atas wajahku. Aku yang kaget langsung mebuka kedua mataku karena
tak pervaya dengan yang baru saja aku lihat. Youngki benar-benar terjatuh di atas
tubuhku di atas ranjang.
“Ah... . Aku akan menyuruh Ahjumma untuk menyiapkan makan siang. Pasti
Ahjumma sudah pulang”, katanya sambil pergi meninggalkanku sendirian di dalam
kamar.
“Bodoh. Apa yang baru saja terjadi padaku?” Aku mengomel pada diriku
sendiri sambil menepuk kedua pipiku. “Eottohke 47 ? Bagaimana nanti kalau aku
bertemu dengannya? Aku malu sekali.” Aku terus bergumam tak jelas.
Akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar dan turun ke bawah untuk
makan siang. Dengan sedikit ragu aku membuka pintu kamar lalu aku menguping di
depan pintu kamar Youngki tapi tak ada suara apapun dari dalam sana. Aku berjalan
pelan dan menuruni tangga menuju meja makan. Aku menengok ke kanan dan kiri
untuk memastikan kalau Youngki tidak ada.
Dan hari ini aku sudah masuk kerja lagi. Tanganku sudah sembuh dan aku
tak merasakan sakit. Tapi Youngki masih saja khawatir saat aku bilang akan
berangkat bekerja.
Akhirnya ia mengijinkanku untuk pergi bekerja tapi dengan syarat aku harus
berangkat dan pulang bersama dengannya. Bisa dipastikan jika aku menolaknya ia
tak akan membiarkanku bekerja lagi. Sebelum kami berangkat, ia mengingatkanku
agar memakai mantel karena cuacanya sudah mulai dingin.
“Pakailah mantel yang kemarin aku belikan. Cuacanya sudah mulai dingin”,
katanya saat kami baru saja selesai makan.
Aku menurut dan segera kembali ke kamar untuk memakai mantel yang
dibelikan olehnya. Setelah itu kami berangkat tapi Youngki menolak saat Oh Ahjussi
akan mengantar kami. Ia bilang kalau ia akan menyetir sendiri mobilnya. Ia
mengantarku sampai ke toko bunga lalu ia segera memacu mobilnya untuk pergi ke
kantor.
Seperti biasa aku langsung merapikan dan menata bunga yang ada di depan
toko. Hari ini toko cukup ramai sehingga bunga yang kami butuhkan cukup banyak.
Aku membantu Minyoung Eonni menggunting tangkai bunga dan ikut membuat
bouquet48 bersamanya.
Hingga saat hari mulai sore datanglah seorang pembeli yang aku langsung
mengenali sosoknya.
“Ada, Yesung-ssi. Kau mau yang ini atau mau aku buatkan bouquet yang
baru?”, tanyaku sambil menunjukkan bouquet yang telah aku buat tadi.
“Aku tidak mau yang itu. Tolong buatkan bouquet yang baru. Eommaku
sangat menyukai bunga mawar merah”, jelasnya.
Aku membuatkan bouquet bunga terbaik untuk ibu Yesung. Setengah jam
kemudian Yesung membayar semua bunga yang dibelinya. Saat Yesung berpamitan
untuk pulang, Miss Kim menyuruhku untuk ikut dengannya.
“Kau sudah bekerja keras. Sekarang kau ikutlah dengannya dan bantu dia
mengatur bunga-bunga itu di kafenya. Setelah itu kau bisa langsung pulang.”
“Yesung-ssi. Apa akan baik-baik saja kalau aku ikut masuk ke dalam?” Aku
masih sedikit ragu.
Aku dan Yesung masuk di ikuti dengan teriakan para gadis yang ada di
dalam kafe milik Yesung. Yesung terlihat tersenyum sambil membawa sebuah
kantong belanjaan berisi bunga dan juga bouquet di tangan kirinya. Sedangkan aku
yang ada di belakang Yesung berusaha untuk menyembunyikan wajahku. Tadi
sebelum kami masuk ke dalam kafe Yesung memberikan sebuah masker untuk aku
pakai. Aku sedikit menundukkan kepala agar mereka tidak mengenaliku.
Aku terus mengikuti langkah kaki Yesung. Ia mengajakku menuju lantai dua
kafe yang saat itu memang tak ada seorang pun di sana. Aku menyadari kalau semua
orang tengah mengawasiku. Mereka semua telah memotret bahkan melakukan live
video sejak aku dan Yesung keluar dari dalam mobil. Yesung membawaku ke sebuah
meja dan ia meletakkan barang bawaannya di sana. Akhirnya aku memutuskan untuk
membelakingi gadis-gadis yang sedang memegang ponsel masing-masing yang
diarahkan pada Yesung.
Tak lama datanglah seorang pria dan aku bisa tahu kalau ia adalah Jongjin,
adik Yesung. Ia membawa beberapa vas bunga dan juga beberapa botol berisi air.
Yesung memperkenalkan kami dan aku menyambut uluran tangan Jongjin. Setelah
beberapa menit ia mengobrol dengan Yesung akhirnya ia kembali turun ke bawah.
Meninggalkan aku dan Yesung, berdua.
Aku segera mengisi vas-vas tadi dengan sedikit air. Lalu aku meletakkan
beberapa bunga mawar di dalamnya. Yesung terlihat memotret beberapa bunga yang
telah aku letakkan ke dalam vas. Setelah itu ia berusaha membantuku tapi aku tidak
mengijinkan ia melakukannya.
“Minumlah ini”, kata Yesung sambil memberikan satu gelas kopi dingin
padaku. Lalu ia duduk di kursi yang ada di depanku.
“Sluurrp slurp... .” Aku melihat ke gelas kopiku. “Kenapa sudah habis?” Aku
sendiri bingung kenapa cepat sekali aku menghabiskan kopi yang tadi diberikan
Yesung. Yesung terlihat tertawa melihat ekspresi wajahku.
Aku menghela napas. “Aku merasa takut karena ada banyak sekali
penggemarmu di sini. Bagaimana kalau nanti aku di keroyok oleh mereka semua?”
Kami terdiam. Beberapa saat kemudian aku melihat Yesung berdiri. Aku
menoleh ke belakang dan aku melihat seorang wanita paruhbaya sedang berjalan
mendekati kami.
“Eomma.”
Apa aku belum pernah memberitahu namaku padanya? Atau dia yang lupa?
“Maaf aku harus menjawab telepon.” Aku sedikit tersenyum pada ibu
Yesung. Aku sedikit memelingkan wajahku dari Yesung dan ibunya yang tengah
duduk tepat di depanku.
“Ya. Eodiga? Aku sudah sampai di toko bunga tapi kau tidak ada. Kau
sedang dimana?” Ia sedikit berteriak karena kesal.
“Jadi... . kau belum punya pacar?”, tanyanya sambil menoleh ke arahku yang
sedang duduk di sampingnya.
“Kita belok melewati toko bunga Miss Kim”, jawabku sambil menunjukkan
jalan padanya.
“Apa ini di Gangnam?” Aku balik bertanya. Baru kali ini aku tahu kalau
rumah Youngki ada di daerah Gangnam.
Aku menggeleng.
Aku mengetik perlahan karena merasa gugup. Aku masih belum bisa percaya
kalau aku bisa mengenal Yesung dan sekarang ia sedang meminta nomer ponselku.
Setelah Yesung pergi aku langsung masuk ke dalam rumah. Aku tak
mendengar apapun dari dalam kamar Youngki. Akhirnya aku langsung membuka
pintu kamarku dan menyalakan lampunya. Aku melihat Youngki tengah tertidur di
kursi yang ia letakkan di samping ranjangku. Aku berjalan mendekat dan
memperhatikan wajahnya sejenak.
50 Tunggu sebentar
“Youngki-ssi”, kataku pelan sambil menepuk pundaknya. Ia belum bangun.
“Youngki-ssi”. Aku kembali menepuk pundaknya dan ia benar-benar bangun.
Gawat! Pasti ia akan mengamuk saat tahu aku pergi ke kafe Yesung. Aku
harus membuat alasan yang bisa membuatnya percaya.
“Kau ini. Mana aku tahu alamat kafenya”, jawabku sambil sedikit tertawa.
Akhirnya Youngki percaya dengan yang aku katakan. Aku tahu kalau ia
tidak suka kalau aku bertemu dan pergi dengan Yesung. Karena itu aku tidak
memberitahunya.
“Dulu aku merasa kalau ia beruntung bisa di tolong oleh Yesung. Tapi
sekarang aku membenci gadis itu. Dia benar-benar penguntit sejati.”
“Dia bersikap sok baik di depan ibu Yesung. Aku melihatnya sendiri. Ia
bahkan meminta Yesung untuk mengantarnya pulang.”
Ya Tuhan... . Aku tak sanggup lagi untuk membaca komentar dari warganet
Korea yang lidahnya terkenal sangat tajam. Bahkan ada banyak sekali yang
berkomentar di akun Instagram milikku. Mereka bahkan menyuruhku untuk
menjauhi Yesung. Kalau aku tidak melakukannya maka mereka mengancam akan
menyakitiku.
Kenapa aku pergi ke Korea? Apa alasanku pergi ke negeri ini? Aku ke sini
bukan untuk kuliah. Aku kesini juga bukan untuk bekerja. Bahkan bukan untuk
berlibur. Aku ke sini untuk satu alasan. Tapi sampai saat ini aku belum menemukan
titik terangnya.
Aku kembali mengingat memori itu. Saat usiaku masih sepuluh tahun. Papa
mengajakku jalan-jalan dengan menaiki mobil kami. Saat itu Papa mengajakku
berkeliling kota Jakarta dan kebetulan saat itu Mama tidak ikut karena sedang tidak
enak badan. Di sepanjang perjalanan Papa mengajakku bernyanyi dan mengajariku
berbicara dengan bahasa Indonesia. Ya, aku ingat saat itu aku belum lancar berbahasa
Indonesia.
“Apa kau senang jalan-jalan bersama dengan Papa?” Papa bertanya padaku
saat kami tengah dalam perjalanan pulang.
“Iya, Pa. Besok ajak aku jalan-jalan lagi, ya”, jawabku dengan penuh
semangat.
Beberapa menit kemudian ponsel Papa berbunyi. Aku melihat Papa berbicara
dengan seseorang dengan serius. Aku tak tahu apa yang Papa bicarakan jadi aku
mengalihkan pandanganku keluar mobil. Aku melihat seorang penjual gula kapas
sedang berjalan di trotoar jalan. Penjual itu berada beberapa meter di depan mobil
kami.
“Papa. Belikan aku itu”, kataku sambil menunjuk penjual bunga kapas itu.
Tapi Papa terus bicara dan tidak memperhatikanku. “Papa”, rengekku sambil menarik
lengan kiri Papa. Aku terus menarik lengannya tapi Papa tetap berbicara lewat
ponselnya. Hingga mobil kami telah melewati penjual gula kapas tadi. Aku semakin
merengek dan terus menarik lengan Papa. Namun yang terjadi adalah ponsel Papa
terjatuh entah kemana.
Aku melihat mobil kami mulai salah jalur. Aku juga melihat banyak mobil
yang membunyikan klakson karena mobil kami menghalangi jalam mereka. Tiba-tina
aku melihat ada sebuah truk besar melaju beberapa meter di depan kami. Aku
berteriak memanggil-manggil Papa.
“Papa! Papa!”
Aku mulai histeris. Papa segera bangkit saat mendengarku berteriak. Lalu ia
menghadap ke jalan dan aku bisa melihat keterkejutan di wajahnya. Papa
membanting setir dan mobil kami menjadi kehilangan keseimbangan. Aku terus
berteriak ketakutan. Mobil kami terus melaju tak terkendali dan akhirnya menabrak
sebuah pembatas jalan.
Braaak... . Braaaaakkk.. .
Aku masih ingat mobil kami terguling selama beberapa kali sampai akhirnya
berhenti namun dalam keadaan terbalik. Aku melihat tubuhku berdarah terkena
pecahan kaca. Aku semakin histeris melihat darah-darah itu mengalir dari lengan,
kaki, dan bahkan kepalaku.
Aku semakin histeris saat melihat darah menutupi sebagian wajah Papa.
Tangisku semakin tak terkendali.
“Aku tidak mau pergi dari sini. Aku mau di sini dengan Papa.”
“Hana. Maafkan Papa. Papa bukan orang yang baik”, katanya dengan sedikit
terbata-bata. “Kau harus jaga dirimu baik-baik.”
“Ini semua salahku. Maafkan aku sudah membuat Papa seperti ini.”
Aku mencium bau yang aneh. Aku melihat ada setitik api menyala di bagian
belakang mobil. Aku juga mendengar suara orang-orang yang mulai mengerubungi
mobil kami. Mereka berteriak-teriak. Dan sebagiannya melihat ke dalam mobil.
Papa mendorongku untuk segera keluar dari dalam mobil. Aku menolaknya
tapi orang-orang menarik lengan dan kakiku dari luar mobil. Saat aku sudah berhasil
keluar salah satu dari orang itu menggendongku tapi aku meronta-ronta. Aku histeris
karena Papa masih ada di dalam mobil yang terbalik itu.
“Papaku masih ada di dalam sana. Tolong selamatkan Papaku. Dia masih ada
di dalam mobil itu.” Aku berteriak sambil terus menangis.
Setelah aku di bawa menjauh dari mobil, aku mendengar sebuah ledakan
kecil. Beberapa detik kemudian aku mendengar ledakan yang lebih keras. Aku
melihat dari kejauhan mobil kami sudah dipenuhi oleh asap dan api.
“Papa!”
“Papa!”
Aku berteriak. Aku terbangun dan memeluk sesosok tubuh yang ada di
depanku. Aku menagis ketakutan.
Aku hanya diam dan mencoba menangkan diri. Youngki bangkit untuk
menyalakan lampu kamar lalu ia memberikan segelas air untukku.
Sehabis mandi aku langsung menuruni tangga menuju meja makan. Aku
melihat Youngki tengah duduk manis di kursinya dengan memakai setelan jasnya.
Aku juga melihat ayah Youngki sedang menyantap sarapan paginya.
“Ini dia yang dari tadi ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Cepat duduk,
Panda”, katanya sambil menunjuk kursi yang ada di sampingnya.
Sore itu aku meminta ijin pada Miss Kim untuk pulang cepat karena aku
merasa sedang tak enak badan. Aku berjalan kaki menyusuri jalan karena tadi aku
berangkat bersama dengan Youngki. Aku sedikit bernyanyi sepenggal lagu milik
Yeesung yang berjudul Paper Umbrella.
Aku terus mengawasi gerak-gerik wanita itu. Tiba-tiba aku mendengar suara
klakson mobil yang membuatku sangat terkejut.
Aku bisa melihat Yesung dari kaca jendela mobil yang telah dibuka olehnya.
“Yesung-ssi. Apa yang kau lakukan di sini?” Aku balik bertanya padanya.
“Kau ini. Tadi aku sudah mengirimkan SMS kalau aku akan menjemputmu
di toko bunga. Tapi saat aku telah sampai di sana Miss Kim bilang kalau kau sudah
pulang”, jelasnya.
“Apa kau mau pulang? Tapi apa yang kau lakukan di sana?”
“Hana. Katakan padaku siapa yang sedang kau cari?” Yesung terus
menanyakan hal yang sama.
“Kau ini. Apa kau tidak melihat wanita misterius yang berhenti di depan
rumah Youngki tadi?”, tanyaku dengan nada serius.
“Wanita misterius?” Ia tertawa. “Kau ini ada-ada saja. Kau terlalu banyak
menonton film”, katanya masih dengan tertawa.
Yesung masih belum percaya dengan aku katakan. “Mungkin wanita itu
penggemar Youngki”, celetuknya.
“Itu benar. Kau tahu berapa banyak hadiah yang aku dapatkan setiap harinya?
Dan aku mendapat banyak bunga dari penggemarku”, jelasnya.
“Bagaimana kalau kita makan malam dulu? Bukankah kau belum makan dari
tadi siang?”
“Apa tidak apa-apa kalau kita makan di sini?”, tanyaku sedikit ragu karena
pengunjung di restoran ini cukup ramai.
Youngki?
Aku baru ingat kalau Youngki pasti menjemputku di toko bunga. Aku segera
mencari ponselku di dalam ransel. Dan benar sekali. Ada puluhan misscall dan
beberapa SMS dari Youngki. Aku lupa tadi sebelum berangkat bekerja aku
mematikan nada ponselku. Saat aku akan meneleponnya ternyata ia lebih dulu
meneleponku.
“Ini dia makanan kita sudah datang. Hana cepat makanlah.” Yesung
mengatakan itu dengan cukup keras. Aku yakin Youngki bisa mendengar suara
Yesung saat itu.
“Youngki-ssi?”
Aku sudah mengetuk pintu kamar Youngki berkali-kali tapi tak ada jawaban
darinya. Dia pasti sangat marah. Aku terus mengetuk pintu kamarnya selama
beberapa menit.
Aku menyerah. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamarku yang tepat
berada di depan kamar Youngki. Aku langsung mandi lalu mengecek ponselku.
Ternyata aku mendapat SMS dari Yesung.
“Apa kau sudah mandi? Apa kau suka makan malam tadi?”
“Aku sudah mandi. Dan aku menyukai makan malam bersamamu.” Aku
menjawab SMS darinya.
Setelah beberapa saat berkirim SMS dengan Yesung, aku teringat pada
Youngki. Akhirnya aku mencoba untuk meneleponnya dan ia menjawab telepon
dariku.
“Kau kemana?”, tanyaku. “Tadi aku mengetuk pintu kamarmu tapi kau tidak
menjawabnya.”
Ia diam sejenak lalu menghela napas. “Pakailah mantelmu dan keluarlah dari
kamar.”
Kami terus terdiam. Aku juga terus mengikuti langkahnya dari belakang.
Beberapa saat kemudian kami sampai di sebuah taman. Taman itu terletak beberapa
meter di pinggir sungai.
Ia menyuruhku duduk di sebuah ayunan. Aku menuruti perintahnya dan ia
mulai mendorong pelan ayunan yang aku tumpangi. Aku menatap ke seberang sungai
yang lebar itu dan aku merasakan udara dingin merasuki jemariku. Aku masih belum
berani bertanya ia membawaku kemana.
Aku menghela napas. “Apa kau tahu kalau aku sudah menyukainya bahkan
sebelum aku menginjakkan kaki di negeri ini?” Aku sedikit tersenyum. “Aku adalah
penggemarnya.”
Aku merasakan lidahku seperti tak bisa digerakkan. Aku tak mampu
menjawab pertanyaan dari Youngki. Aku bahkan tak tahu dengan perasaanku. Apa
aku menyukainya hanya sebatas penggemar atau aku menyukainya lebih dari itu?
Youngki berjalan mendekat dan kini ia berdiri di depanku. Aku harus
mendongak agar bisa melihat wajahnya karena aku masih terduduk di ayunan. Aku
bisa melihat kekecewaan di wajahnya.
Aku berdiri tepat di depan Youngki. Aku tak pernah berdiri sedekat ini
dengan wajahnya. Saat aku akan membuka mulutku untuk menjawab, aku melihat
sesuatu berwarna putih turun dari langit dan tersangkut di rambut hitam Youngki.
Aku mencoba mengambil benda putih itu dengan sedikit berjinjit.
Aku memperhatikan benda itu sejenak. “Apa ini yang namanya salju?”,
tanyaku sambil menunjukkan benda putih yang ringan seperti kapas itu pada
Youngki.
Aku tak percaya ini. Aku menatap ke atas langit dan melihat benda putih itu
semakin banyak turun dari atas sana. Aku tersenyum dan mengangkat tanganku
untuk meraih benda putih itu. Aku menari-nari dan berputar di tengah taman. Ini
pertama kalinya dalam hidupku melihat dan juga memegang salju dengan tanganku
sendiri.
Setelah kejadian di tepi sungai Han, sepertinya Youngki sudah tak marah
lagi padaku. Saat akan pulang ia mengajakku mampir ke toko boneka. Ia mengajakku
masuk dan berkeliling toko itu. Ada bermacam-macam jenis dan bentuk boneka yang
ada di sini.
Aku sedikit menggeser tempatku berdiri agar bisa melihat boneka yang ia
maksud. Saat aku baru melihatnya sekilas, Youngki mengangkat boneka itu dan
memberikannya padaku.
Boneka itu sangat besar. Seukuran tubuhku. Aku mencoba memeluk boneka
itu tapi lenganku tak muat untuk memeluk boneka sebesar itu. Bahkan sangat sulit
saat aku akan melihat wajah Youngki karena terhalangi oleh besarnya boneka yang ia
berikan padaku.
Aku berjalan mengikutinya menuju meja kasir dengan susah payah. Rasanya
sangat sulit membawa boneka yang seukuran dengan tubuhku. Aku merasa senang
tapi aku juga merasa kesal karena ia tak membantuku membawa boneka ini. Bahkan
aku menabrak beberapa rak berisi boneka karena aku tak bisa melihat jalan dengan
benar.
Aku membawa boneka itu ke menuju ke mobil dengan susah payah. Lagi.
Aku sangat kesal pada Youngki karena ia tak membantuku sama sekali. Rasanya aku
ingin menendang kakinya yang panjang itu. Ia bahkan berjalan terlebih dulu menuju
ke mobil dan meninggalkanku membawa boneka yang baru saja ia belikan.
“Kau ini lama sekali”, ucapnya saat aku baru sampai di mobil. Ia sedang
berdiri bersandar di mobilnya. “Masukkan itu ke dalam bagasi”, tambahnya.
Penderitaanku masih belum usai. Saat sudah sampai di rumah ia juga tak
mau membantuku membawa boneka itu.
“Youngki-ssi”, teriakku.
Aku sangat terkejut saat membuka pintu kamarku. Aku melihat Youngki
tengah tiduran di atas ranjangku. Aku benar-benar merasa kesal padanya.
Ia tertawa lalu berjalan mendekatiku. “Kau marah? Boneka itu seperti dirimu.
Boneka panda. Apa kau tak menyukainya?”
Aku segera menyusuri jalanan dengan berjalan kaki setelah mendapat ijin
dari Miss Kim. Dan tentu saja aku memakai aplikasi Maps untuk menuju tempat
yang akan aku datangi. Tak lupa aku juga sudah membawa Power Bank agar baterai
ponselku tetap terisi dan aku tak tersesat lagi seperti kejadian tempo hari.
Tempat yang akan aku datangi adalah tempat yang sangat penting untuk
mencari tahu siapa jati diriku yang sebenarnya. Aku mengetahui tentang tempat itu di
sebuah berkas yang disimpan oleh Mama di laci kamarnya. Saat itu aku sedang
membersihkan kamar Mama dan tak sengaja menemukan berkas itu di sana.
Aku terus menyusuri jalanan kota Seoul yang ramai. Aku kira tempatnya
sangat jauh tapi ternyata cukup dekat dengan perumahan tempat rumah Youngki
berada.
Aku melihat seorang gadis kecil sedang menarik pelan ujung bajuku. Aku
sedikit merjongkok agar bisa melihatnya lebih baik.
“Hana? Namaku juga Hana”, jawabnya sambil tersenyum. “Untuk apa Eonni
datang ke sini?”
Aku melihat Ibu Gong masih mencari-cari data di sebuah buku besar. Cukup
lama ia mencari hingga akhirnya ia menemukan sesuatu.
Aku mengangguk.
“Orangtua adopsi anda bernama tuan Kim Tayoung dan nyonya Donita?”
“Ne. Mereka adalah Papa dan Mama saya”, jawabku. “Tapi... . Apa tak ada
informasi lain tentang orangtua kandung saya?”
Ibu Gong kembali membuka-buka buku yang ada di tangannya. “Tidak ada,
Agassi. Di sini ditulis kalau anda ditemukan di panti asuhan Uri Jib saat masih bayi”,
jelasnya.
Aku sedikit kecewa dengan jawaban itu. Akhirnya aku berpamitan pada ibu
Gong dan segera keluar dari ruangannya. Saat aku sampai di halaman, aku melihat
Hana tengah bermain dengan anak-anak yang lain. Aku melihat dari wajahnya kalau
tak ada beban di dalam dirinya. Mungkin saat aku masih seusianya juga merasakan
hal yang sama, pikirku.
Aku melangkahkan kakiku untuk meninggalkan tempat ini. Tapi saat aku tak
sengaja membalikkan badan, aku melihat seorang wanita dan sepertinya aku pernah
melihatnya. Aku berjalan mendekati wanita yang sedang duduk termenung di bangku
yang ada di halaman panti asuhan Uri Jib.
“Apa yang sedang Ahjumma lakukan di sini?”, tanyaku pada wanita itu.
Ternyata benar kalau ia adalah wanita yang membeli bunga mawar di toko bunga
Miss Kim beberapa minggu yang lalu.
“Apa Ahjumma lupa? Aku yang bekerja di toko bunga Miss Kim. Aku juga
yang telah mengejar Ahjumma untuk mengembalikan uang kembalian Ahjumma”,
jelasku.
“Ahjumma harus makan yang banyak. Hari ini aku mendapatkan gaji
pertamaku”, kataku sambil memberikan semangkuk mie padanya.
Aku mengajak Ahjumma untuk makan siang. Aku membawanya ke sebuah
kedai kecil dan aku memesan dua mangkuk mie. Untukku dan juga untuk Ahjumma.
Aku melihatnya makan dengan lahap. Aku senang melihatnya. Setelah selesai makan,
aku mengantarkan Ahjumma kembali ke panti asuhan.
“Oh... . Baiklah kalau begitu aku mau pulang dulu. Besok aku akan kembali
ke sini lagi.”
Aku sedikit tertawa. “Kau masih di kantor? Apa kau sedang sibuk?”
Ia diam sejenak. “Ya. Apa kau sakit? Kau sedang tak enak badan?”
Aku kembali tertawa. “Ani-yo. Aku sedang jalan-jalan. Hari ini aku libur dan
aku ingin mentraktirmu makan siang.”
“Tapi apa akan baik-baik saja kalau kau meninggalkan kantor di siang hari
seperti sekarang ini?”
“Ya. Kau lupa? Aku ini Busajangnim. Jadi aku bebas melakukan apapun.
Katakan kau ada dimana sekarang?”
Aku sudah ada di dalam mobil bersama dengan Youngki. Aku melihat
wajahnya yang berseri dan itu membuatnya terlihat semakin tampan. Aku baru ingat
kalau tadi pagi ia di antar oleh Oh Ahjussi ke kantor. Tapi... . Sekarang ia tengah
mengemudikan mobilnya sendiri.
“Heeem... .”
“Karena tadi aku diajak berkencan oleh seorang gadis”, jawabnya sambil
menoleh ke arahku.
Ia tertawa. “Apa tadi aku bilang kalau kau yang mengajakku berkencan?”
Dia itu benar-benar pintar bicara. Kadang aku merasa sangat kesal padanya
tapi beberapa saat kemudian ia berhasil meredam kekesalanku.
Ternyata Youngki sudah keluar dari mobil tanpa aku menyadarinya. Aku
segera mengikutinya masuk ke dalam restoran itu. Bahkan saat ia berjalan menuju
restoran banyak gadis yang menatapnya. Ya, aku akui kalau Youngki tampan. Tapi
pria yang paling tampan bagiku adalah Yesung. Hahaha.
“Aku mau pesan hotdog”, ucapnya pada pelayan. “Kau mau makan apa?”,
tanyanya.
“Apa? Lalu kenapa kau mengajakku makan siang?”, tanyanya dengan nada
yang agak keras. “Apa kau makan siang dengannya?”
“Tidak. Aku makan siang dengan Ahjumma pelanggan di toko bunga Miss
Kim. Tadi kebetulan aku bertemu dengannya.”
“Baiklah.” Ia kembali menatap menu yang di pajang di atas meja kasir. “Aku
mau pesan hotdog spesial dan minuman yang jumbo. Dan juga kentang goreng”,
tambahnya.
“Ya. Kau mau menghabiskan itu semua sendirian?”, tanyaku sambil
mengikutinya duduk di sebuah kursi dekat jendela.
“Tentu saja”, jawabnya. “Karena hari ini aku sedang ditraktir jadi aku harus
pesan banyak makanan.”
Tak lama makanan yang di pesan Youngki telah siap. Aku melihatnya
melahap hotdog dengan mulut kecilnya. Kemudian ia memasukkan sepotong kentang
goreng ke dalam mulutnya. Terakhir ia meminum minuman jumbonya.
Aku terus diam karena merasa kesal padanya. Entah sudah berapa kali aku
merasa kesal padanya satu hari ini. Ia terus bicara tapi aku mengacuhkannya.
Mungkin ia menyadari kalau aku kesal jadi ia mengajakku jalan-jalan lagi ke sungai
Han.
“Kau mau makan es krim?”, tanyanya saat kami sedang berjalan di tepi
sungai Han.
Hari sudah menjelang sore. Aku melihat cahaya keemasan sang mentari
dipantulkan oleh air tenang dari sungai Han. Negeri ini sangat indah. Aku terlahir di
negeri ini tapi aku tumbuh dewasa di negeri lain. Aku sangat bersyukur bisa kembali
ke negeri tempatku lahir.
“Kenapa hanya satu? Kau tak mau makan ini?”, tanyaku sambil menjilat es
krim yang baru saja ia berikan. “Ah... . Sangat dingin.”
“Apa kau tahu kalau kemarin adalah kali pertamaku berkunjung ke tempat
ini lagi?”
“Dan juga es krim itu”, katanya sambil melihat es krim yang sedang aku
pegang. “Baru kali ini aku membelinya setelah sekian lama.”
“Apa kau tahu kalau aku mempunyai seorang adik perempuan? Dia sangat
cantik dan juga baik. Aku sangat menyukai namanya. Han Kiki.”
Ia mulai bercerita. Sebenarnya aku sudah tahu tentang adik Youngki dari
cerita Ahjumma tapi aku tetap diam mendengarkan ia bercerita sambil menjilati es
krim yang tadi ia belikan.
“Dia meninggal karena aku.” Ia kembali bercerita. “Saat itu aku, adikku, dan
Eomma sedang bermain di sini. Aku dan adikku bermain lempar bola sedangkan
Eomma mengawasi kami dari ayunan ini. Tapi saat ada penjual es krim, aku
mengajak Eomma untuk membelinya. Entah mengapa saat itu adikku tak mau
membeli es krim padahal biasanya ia sangat menyukainya. Akhirnya aku dan Eomma
meninggalkannya bermain sendirian. Dan saat aku kembali... .”
“Aku melihat bola yang kami pakai untuk bermain sudah dibawa arus sungai.
Aku dan Eomma sudah mencarinya kemana-mana tapi kami tak bisa menemukannya.
Abeoji sangat marah saat tahu kalau adikku telah menghilang. Kami meminta
bantuan polisi untuk mencarinya.”
“Sejak saat itu aku memutuskan untuk tak mempunyai teman. Aku takut
mereka yang dekat denganku akan tersakiti.” Ia berdiri dengan masih menatap
mataku. “Tapi sejak kejadian di pesawat itu, aku melihat sesuatu yang lain. Aku
merasa telah lama mengenalmu. Aku merasa sangat nyaman dan bahagia saat
bersamamu.” Ia meremas tanganku. “Kau adalah cinta pertamaku.”
Jedaaaaar... .
Tubuhku terasa disambar oleh petir. Tubuhku juga terasa membeku terkena
udara dingin. Aku tak tahu harus bagaimana. Youngki terus menatapku.
Aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Ini kedua kalinya Youngki
membuatku terdiam tak bisa melakukan apapun. Matanya terus menatap tajam
mataku dan itu membuatku semakin membeku.
“Youngki-ssi. Kau adalah orang baik nomor satu di dunia ini”, jelasku. “Apa
kau tahu kehidupanku di Jakarta sebelum aku datang ke sini? Bahkan untuk
mengingatnya saja aku sudah merasa tersiksa. Tapi kau telah memberikan kehidupan
baru untukku. Kau adalah malaikat penyelamatku.”
Aku mengangguk pelan. Aku menjadi teringat kehidupan masa laluku saat di
Jakarta.
Aku menghela napas. “Aku tak tahu dengan apa yang aku rasakan.”