Sunteți pe pagina 1din 5

Pada tahun 1968, pemerintah menerbitkan peraturan Menteri Kesehatan Nomor

1 Tahun 1968 dengan membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeiharaan Kesehatan


(BPDPK) yang mengatur penjaminan kesehatan bagi pegawai negara dan pensiunan
negara beserta keluarganya. Tidak lama dari penerbitan peraturan tersebut, pemerintah
menerbitkan peraturan baru melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22 dan 23 Tahun
1984 yang mana BPDPK merubah statusnya dari badan di lingkungan Departemen
Kesehatan menjadi BUMN, yaitu PERUM HUSADA BHAKTI (PHB), yang melayani
jaminan kesehatan bagi PNS, pensiunan PNS, veteran, perintis kemerdekaan, dan
anggota keluarganya. Melalu peraturan pemerintah Nomor 6 Tahun 1992, PHB
berubah status menjadi PT Askes (Persero) dan mulai menjangkau karyawan BUMN
melalui program Askes komersial.

Pada Januari 2005, PT Askes (Persero) dipercaya pemerintah untuk


melaksanakan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin (PJKMM) yang
selanjutnya dikenal menjadi program Askeskin dengan sasaran peserta masyarakat
miskin dan tidak mampu sebanyak 60 juta jiwa yang iurannya dibayarkan oleh
Pemerintah Pusat. PT Askes (Persero) juga menciptakan Program Jaminan Kesehatan
Masyarakat Umum (PJKMU), yang ditujukan bagi masyarakat yang belum tercover
oleh Jamkesmas, Askes Sosial, maupun asuransi swasta. Hingga saat itu, ada lebih dari
200 kabupaten/kota atau 6,4 juta jiwa yang telah menjadi peserta PJKMU. PJKMU
adalah Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang pengelolaannya diserahkan kepada
PT Askes (Persero).

Banyak pihak menuding bahwa Indonesia sebagai negara tanpa jaminan sosial,
untuk mematahkan asusmsi tersebut Presiden Megawati mensahkan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan kemudian
pada tahun 2011 pemerintah menetapkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) serta menunjuk PT Askes (Persero) sebagai
penyelenggara program jaminan sosial di bidang kesehatan, sehingga pada tanggal 1
Januari 2014 PT Askes (Persero) pun berubah menjadi BPJS Kesehatan dan mulai
beroperasi untuk menjamin dan memastikan seluruh penduduk Indonesia terlindungi
oleh jaminan kesehatan yang komprehensif, adil, dan merata.

Pada tahun 2018, dalam rapatrencana kinerja dan anggarantahunan (RKAT)


2018 yang disusun oleh manajemen BPJS mencatat bahwa defisit arus kas 2018 BPJS
mencapai Rp. 16,5 triliun. Komposisi defisit berasal dari carry over 2017 sebesar Rp.
4,4 triliun dan defisit RKAT 2018 sebesar Rp. 12,1 triliun. Untuk menutupi defisit
tersebut kementrian keuangan (Kemenkeu) memberikan bailout (dana talangan)kepada
BPJS sebesar Rp. 4,993 triliun. Meskipun bailout telah diberikan, BPJS masih dihantui
defisit keuangan. Untuk menambal defisit BPJS in juga pada tanggal 17 September
2018 Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 82
Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Pada perpres tersebut dituliskan bahwa
pemanfaatan cukai rokok untukmenutupi defisit kauangan BPJS. Ketentuan mengenai
penggunaan pajak rokok ini tertuang pada pasal 99 Bab XII mengenai Dukungan
Pemerintah Daerah, dimana disebutkan bahwa Pemerintah Daerahwajib mendukung
penyelenggaraan program jaminan kesehatan. Menurut perpres Pasal 99 ayat (6),
dukungan yang dimaksud dilaksanakan melalui kontribusi pajak rokok bagian hak
masing-masing daerah provinsi/kabupaten/kota. Besaran kontribusi pajak rokok yang
dimaksud yaitu 75% dari 50% realisasi penerimaan pajak rokok bagian hak masing-
masing daerah provinsi/kabupaten/kota. Artinya 75% dari 50% pajak rokok dapat
digunakan untuk kepentingan BPJS. Pasal 100 ayat (2) perpres ini menuliskan
kontribusi pajak tersebut langsung dipotong untuk dipindahbukukan ke dalam
rekening BPJS.

Fahmi Idris selaku Direktur Utama BPJS Kesehatan mengungkapkan bahwa


BPJS Kesehatan menggunakan sistem keuangan berimbang, yang mana besaran
pemasukan setara dengan besaran pengeluaran. Untuk men cegah defisit keuangan
tahun ini maka manajemen BPJS akan melakukan efisiensi. Efisiensi yang akan
dilakukan oleh BPJS yaitu dengan melakukan pengaturan pada layanan kesehatan
yang diberikan oleh BPJS. Pada 25 Juli 2018 Direktur BPJS memperbarui peraturanya
melalu Peraturan Direktur BPJS. BPJS mengimplementasikan aturan baru yaitu (1)
Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 Tentang
Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan, (2) Peraturan
Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Penjaminan
Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Lahir Sehat, dan (3) Peraturan Direktur Jaminan
Pelayanan Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan
Rehabilitasi Medik. Dasar dari peraturan baru tersebut berasal dari ketentuan
Undang-Undang (UU) Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN). Khususnya, Pasal 24 ayat 3 yang menjelaskan bahwa BPJS Kesehatan dapat
mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan
sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas jaminan kesehatan. BPJS mengklaim dengan menerapkan tiga aturan baru
ini, BPJS dapat menghemat biaya hingga Rp. 360 Miliar. Ketua Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia (PB IDI) Ilham Oetama Marsis mengatakan bahwa penerapan tiga
aturan baru tersebut akan mengurangi mutu layanan kesehatan, bahkan
mengorbankan keselamatan pasien. Tiga aturan baru yang berisi pembatasan
jaminan atas kasus katarak, bayi baru lahir, dan rehabilitasi medik hanya untuk
mengurangi defisit pembiayaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) saja, tetapi akan
berpotensi merugikan bagi pemilik jaminan BPJS. Marsis sebagai organisasi profesi
menyadari adanya defisit bembiayaan JKN, namun hendaknya dengan adanya defisit
tersebut tidak mengorbankan keselamatan pasien, mutu layanan kesehatan, dan
kepentingan masyarakat.

Pada awalnya BPJS menjamin operasi semua pasien katarak, dalam aturan
baru dijelaskan bahwa BPJS akan tetap menjamin biaya operasi katarak bagi
penyandang katarak yang mengikuti jaminan BPJS Kesehatan dengan setidaknya
memenuhi kriteria visus (lapang pandang penglihatan) 6 per 18. BPJS tidak akan
menanggung biaya operasi pasien katarak jika visus belum mencapai angka tersebut.
Dengan penjelasan tersebut dapat dikatakan tidak seluruh pasien katarak yang ikut
dalam jaminan BPJS akan mendapatan tindakan operasi. Hal ini akan berpotensi
merugikan sebagian besar pasien katarak lainnya. Ada kekhawatiran BPJS
Kesehatan menerapkan indikator yang tinggi kepada pasien katarak yang layak untuk
dilakukan operasi. Meskipun tingkat penyakit katarak seorang pasien yang menurut
BPJS belum layak untuk dilakukan operasi, sangat akan jadi sudah sangat
mengganggu aktivitas harian pasien tersebut. Marsus mengatakan, kebutaan akibat
katarak di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Aturan baru BPJS
ini akan mengakibatkan angka kebutanaan di Indonesia semakin meningkat.

Terkait pelayanan persalinan dengan bay lahir sehat, BPJS tetap menjamin
semua jenis persalinan baik normal maupun caesar. Namun yang menjadi
kekhawatiran yaitu peraturan jika bayi membutuhkan pelayanan khusus seperti bayi
prematur yang memerlukan penanganan melalui Neonatal Intensive Care Unit
(NICU), maka tidak akan dijamin oleh BPJS Kesehatan. Penanganan khusus akan
dijamin oleh BPJS jika sebelum lahir telah didaftarkan terlebih dahulu. Artinya bahwa,
dengan kewajiban iuran yang sama bahkan cenderung naik, ternyata pelayanan
persalinan bagi ibu hamil justru berkurang secara kuantitas. Marsis menyampaikan,
semua kelahiran harus mendapatkan penanganan yang optimal karena bayi baru lahir
memiliki risiko yang tinggi mengalami sakit, cacat, bahkan kematian. Marsis menilai
aturan baru BPJS bertentangan dengan semangat Ikatan Dokter Indonesia untuk
menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian bayi.

Terkait rehabilitasi medik dan fisioterapi, dahulu berapa kali pun pasien
melaksanakan rehabilitasi medik akan dijamin oleh BPJS. Namun aturan baru ini
BPJS mengklaim akan tetap menjamin pelayanan rehabilitasi medik dan fisioterapi,
dengan frekuensi maksimal dua kali dalam seminggu atau delapan kali dalam
sebulan. Pembatasan ini tentunya akan memberikan kesulitan bagi pasien untuk
melakukan rehabilitasi medik. Hal ini tidak sesuai dengan standar pelayanan
rehabilitasi medik. Ketika intensitas pelayanan dibatasi, hal ini akan memperlambat
proses penyembuhan pasien serta hasil terapi tidak tercapai secara maksimal.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20180928112213-4-35182/bpjs-
kesehatan-defisit-rp-165-t-ini-yang-dilakukan-direksi

https://economy.okezone.com/read/2018/09/21/320/1953640/perpres-82-
tahun-2018-ini-aturan-cukai-rokok-untuk-tambal-defisit-bpjs-kesehatan

S-ar putea să vă placă și