Sunteți pe pagina 1din 36

Connecting Intercultural Communication Service Learning with General Education: Issues,

Outcomes, and Assessment


Author(s): Robert S. Littlefield, Jessica M. Rick, and Jenna L. Currie-Mueller
Source: The Journal of General Education, Vol. 65, No. 1 (2016), pp. 66-84
Published by: Penn State University Press
Stable URL: http://www.jstor.org/stable/10.5325/jgeneeduc.65.1.0066
Accessed: 23-09-2016 10:20 UTC

REFERENCES
Linked references are available on JSTOR for this article:
http://www.jstor.org/stable/10.5325/jgeneeduc.65.1.0066?seq=1&cid=pdf-
reference#references_tab_contents
You may need to log in to JSTOR to access the linked references.

Conecting Intercultural Communication


Service Learning with General Education:
Issues, Outcomes, and Assessment

Menghubungkan kominikasi Antar Budaya


Service Learning dengan Pendidikan Umum:
Permasalahan, Hasil, dan Penilaian.

ROBERT S. LITTLEFIELD, JESSICA M. RICK, AND JENNA L. CURRIE-MUELLER

ABSTRACT | This study explored the intersection between KEYWORDS | service


service learning and general education outcomes through the learning, intercultural
self-reported perceptions of 382 college students participating in communication, cognitive
an intercultural communication course that satisfied the general outcomes, behavioral
education requirement at a midsized Upper Plains research outcomes, integrative
university for studying cultural diversity. The data demonstrated outcomes
student attention to cognitive, behavioral, and integrative
outcomes associated with general education objectives. In
addition, personal and social responsibility outcomes were noted
in the reflections.

1
ABSTRACT | Penelitian ini menyelidiki pertemuan antara hasil
service learning dan pendidikan umum berdasarkan tanggapan
self-report dari 382 mahasiswa yang berpartisipasi dalam KATA KUNCI | service
komunikasi antar budaya yang tentunya memenuhi persyaratan learning, komunikasi antar
pendidikan umum di universitas midsized Upper Plains research budaya, hasil kognitif, hasil
untuk belajar keragaman budaya. Data menunjukkan perhatian perilaku, hasil integratif
siswa terhadap kognitif, perilaku, dan integratif terkait dengan
pendidikan umum. Selain itu, hasil tanggung jawab pribadi dan
sosial tercatat dalam refleksi.

We know that in the field of communication, service learning contributes to a student’s understanding
and application of course concepts to real-world contexts (Britt, 2012). However, less is known about
how service learning contributes to a student’s general education. While most institutions define
service learning according to their own particular needs (Brownell & Swaner, 2010), for the purposes
of this study, service learning is defined broadly as “a learning method that upholds a commitment to
appreciating the assets of and serving the needs of a community partner while enhancing student
learning and academic rigor through the practice of intentional reflective thinking and responsible
civic action” (Duncan & Kopperud, 2008, p. 4). More and more, students are engaged in service
learning opportunities as part of their academic experiences, with the hope that “the more relevant the
service is to the student’s coursework, the more meaningful the learning experience can become”
(Brownell & Swaner, 2010, p. 23)

Kita tahu bahwa dalam bidang kominikasi, service learning berkontribusi dalam pemahaman dan
penerapan siswa terhadap konsep – konsep dunia nyata (Britt, 2012). Namun, sedikit pernyataan
tentang service learning berkontribusi terhadap pendididkan umum siswa. Sementara sebagian besar
lembaga mendefinisikan service learning berdasarkan kebutuhan khusus mereka sendiri (Brownell &
Swaner, 2010), untuk tujuan penelitian ini service learning didefinisikan sebagai “metode
pembelajaran yang menjunjung tinggi komitmen untuk menghargai aset dan melayani kebutuhan
mitra masyarakat sekaligus meningkatkan pembelajaran siswa dan kekakuan akademis melalui
praktek disengaja reflektif pemikiran dan tindakan sipil bertanggung jawab”(Duncan & Kopperud,
2008, hal. 4). Semakin banyak siswa yang berkesempatan terlibat dalam service learning sebagai
bagian dari akademis mereka, dengan demikian diharapkan "dapat menjadikan semakin relevan
layanan ini dengan pelajaran kursus, dan semakin berarti pengalaman belajar siswa” (Brownell &
Swaner, 2010, p. 23).

While specific benefits such as “the application of knowledge, a team and community focus
for learning, collective instruction and collectivecurriculum development, an integrated sequencing of

2
courses, and active student learning” (Gelmon, Holland, Driscoll, Spring, & Kerrigan, 2001, p. 1) can
be identified, little research has expanded the application of experiential service learning to general
education courses - or more specifically to intercultural or diversity-related courses. Although studies
have suggested service learning’s capacity for improving academic achievement, increasing civic
engagement, and contributing to personal growth (Brownell & Swaner, 2010), missing from the
literature is an exploration of the intersection between service learning and general education
outcomes. The present study revealed this intersection through the self-reported perceptions of college
students participating in an intercultural communication course that satisfied the general education
requirement at a midsized Upper Plains university for studying cultural diversity.

Sementara manfaat tertentu seperti “penerapan pengetahuan, tim dan fokus masyarakat untuk
belajar, instruksi kolektif dan pengembangan kurikulum kolektif,sebuah rangkaian terpadu dan
aktif”(Gelmon, Holand, Driscoll, Spring, & Kerrigan, 2001, p. 1) dapat diidentifikasi, penelitian telah
memperluas penerapan dari pengalaman service learning untuk pendidikan umum atau terkait
pendidikan yang lebih khusus untuk antarbudaya atau perbedaan-hubungan kursus. Meskipun
penelitian telah menunjukkan kapasitas service learning untuk meningkatkan prestasi akademik,
meningkatkan keterlibatan masyarakat, dan memberikan kontribusi untuk pertumbuhan pribadi
(Brownell & Swaner, 2010) hilang dari literatur adalah eksplorasi persimpangan antara sevice
learning dan hasil pendidikan umum. Penelitian ini mengungkapkan persimpangan melalui persepsi
yang dilaporkan mahasiswa yang berpartisipasi dalam kursus komunikasi antarbudaya yang puas
dengan persyaratan pendidikan umum di sebuah universitas midsized Upper Plains untuk mempelajari
keragaman budaya.

Conceptual Framework
Service Learning
The effects and benefits of service learning are well known and accepted within the communication
discipline (Floumay, 2007; Oster-Aaland, Sellnow, Nelson, & Pearson, 2004). Oster-Aaland et al.
(2004) have suggested that service learning increased students’ communication skills, multicultural
awareness, and intercultural skills. Applegate and Morreale (1999) affirmed that service learning
increased communication skills. Acknowledging the apparent successes, scholars have called for the
expansion of service learning opportunities (Katula & Threnhauser, 1999; Quintanilla & Wahl, 2005).

Kerangka Konseptual
Service Learning
Efek dan manfaat dari service learning akan diketahui dan diterima dalam disiplin komunikasi
(Floumay, 2007; Oster-Aaland, Sellnow, Nelson, & Pearson, 2004). Oster-Aaland et al. (2004) telah
menyatakan bahwa service learning meningkatkan kemampuan komunikasi siswa, kesadaran

3
multikultural, dan keterampilan antar budaya. Applegate and Morreale (1999) menegaskan bahwa
sevice learning meningkatkan kemampuan berkomunikasi. Mengakui keberhasilan yang nyata para
sarjana telah meminta perluasan dari pengembangan service learning (Katula & Threnhauser, 1999;
Quintanilla & Wahl, 2005).

Most scholars credit John Dewey (1938) as the founder of the service learning movement,
based upon the premise that experience is an important teacher and something that students can reflect
upon as they consider how their knowledge and skills have developed to address problems in new
contexts. Kolb (1981) connected service learning experiences to a cycle of learning involving
concrete experience, reflective observation, abstract conceptualization, and active experimentation.
However, measuring the outcomes of service learning within the context of the general education of
students remains elusive.

Kebanyakan kredit sarjana John Dewey (1938) sebagai pendiri gerakan service learning,
berdasarkan pada premis pengalaman adalah guru yang berharga dan sesuatu yang dapat membuat
siswa mempertimbangkan bagaimana dengan pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki
Dapat membantu mengatasi masalah dalam konteks baru. Kolb (1981) yang terhubung dari
penglamman service learning untuk siklus belajar yang melibatkan pengalaman konkret, observasi
reflektif, Konseptual abstrak, dan eksperimen aktif. Namun, mengukur hasil hasil dari service learning
dengan konteks pendidikan umum siswa tetap sulit dipahami.

General Education
Since the 1980s, the Association of American Colleges and Universities (aac&u) has addressed the
issue of general education reform with the aim “to ensure that every undergraduate student
experiences a relevant and challenging general education curriculum” (2013). Though early general
education programs were offered only at liberal arts colleges and focused on the math and science
disciplines, the more recent general education initiative of the aac&u focuses on general education in
all schools and in courses that span the entire education continuum. Since, 2005 the aac&u has strived
to provide students with tools that are “essential to success in the global economy and for informed
citizenship” (2013).

Pendidikan Umum
Sejak 1980-an, Association of American Sekolah Tinggi dan Universitas (aac & u) telah membahas
masalah reformasi pendidikan umum dengan tujuan “untuk memastikan bahwa setiap mahasiswa
sarjana mengalami relevan dantantangan kurikulum pendidikan umum”(2013). Meskipun program
pendidikan umum hanya ditawarkan di perguruan tinggiliberal art dan difokuskan pada matematika
dan disiplin sains, banyak inisiatif pendidikan umum yang lebih baru dari aac & u berfokus pada

4
pendidikan umum di semua sekolahdan kursus yang menjangkau seluruh kontinum pendidikan. Sejak
2005, aac & u telah diupayakan untuk memberikan para siswa dengan bekal yang “penting untuk
keberhasilan dalam ekonomi global dan informasi kewarganegaraan” (2013).

Liberal Education and America’s Promise focuses on this twentyfirst-century liberal


education and shifts the focus toward global learning. These general education outcomes have the
potential to transform our institutions and help meet expectations for student accountability in a new
century (Penn, 2011). Currently a number of colleges and universities in eight states (California,
Kentucky, Massachusetts, North Dakota, Oregon, Utah, Virginia, and Wisconsin) are using the
Liberal Education and America’s Promise initiative for global learning (aac&u, 2013). In accordance
with this initiative, students should prepare for twenty-first-century challenges by gaining:

Pendidikan liberal dan Amerika berhanji berfokus pada pendidikan liberal abad pertama dua
puluh ini dan menggeser fokus ke arah pendidikan global. Hasil pendidikan umum ini memiliki
potensi untuk mengubah institusi kita dan membantu memenuhi harapan untuk akuntabilitas siswa
dalam abad baru (Penn, 2011). Saat ini sejumlah perguruan tinggi dan universitas di delapan negara
(California, Kentucky, Massachusetts, North Dakota, Oregon, Utah, Virginia, dan Wisconsin)
menggunakan Pendidikan Liberal dan inisiatif Janji Amerika untuk belajar global (aac & u, 2013).
Sesuai dengan inisiatif ini, siswa harus mempersiapkan diri untuk tantangan-abad kedua puluh dengan
memperoleh:

Knowledge of Human Cultures and the Physical and Natural World


 Through study in the sciences and mathematics, social sciences, humanities, histories,
languages, and the arts
Focused by engagement with big questions, both contemporary and enduring

Pengetahuan Budaya Manusia dan Dunia Fisik dan Alam


 Melalui studi dalam ilmu dan matematika, ilmu sosial, humaniora, sejarah, bahasa, dan
seniter
Fokus oleh keterlibatan dengan pertanyaan besar, baik kontemporer dan abadi

Intellectual and Practical Skills, including


 Inquiry and analysis
 Critical and creative thinking
 Written and oral communication
 Quantitative literacy

5
 Information literacy
 Teamwork and problem solving
Practiced extensively, across the curriculum, in the context of progressively more challenging
problems, projects, and standards for performance

Intelektual dan Praktis Keterampilan, termasuk


 Penyelidikan dan analisis
 berpikir kritis dan kreatif
 Menulis dan komunikasi lisan
 keaksaraan kuantitatif
 literasi informasi
 Teamwork dan pemecahan masalah
Dipraktekkan secara luas di kurikulum, dalam konteks semakin lebih menantang masalah,
proyek, dan standar untuk kinerjaperformance

Personal and Social Responsibility, including


 Civic knowledge and engagement—local and global
 Intercultural knowledge and competence
 Ethical reasoning and action
 Foundations and skills for lifelong learning
Anchored through active involvement with diverse communities and real-world challenges

Personal dan Sosial Responsibility, termasuk


 pengetahuan Civic dan keterlibatan-lokal dan global
 pengetahuan antarbudaya dan kompetensi
 pertimbangan etis dan tindakan
 Yayasan dan keterampilan untuk belajar sepanjang hayat
yg berlabuh melalui keterlibatan aktif dengan masyarakat yang beragam dan tantangan dunia
nyata

Integrative and Applied Learning, including


 Synthesis and advanced accomplishment across general and specialized studies
Demonstrated through the application of knowledge, skills, and responsibilities to new
settings and complex problems. (aac&u, 2013)

6
Integratif dan Applied Learning, termasuk
 Sintesis dan prestasi canggih di studi umum dan khusus
menunjukkan melalui penerapan pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab terhadap
peraturan baru dan masalah yang kompleks. (Aac & u, 2013)

Despite the best efforts of the aac&u, learning outcomes that represent integrated kinds of
thinking and knowing required for the twenty-first century do not yet exist. In addition, others fault
this initiative for describing outcomes that cannot be defined, cannot be taught, and cannot be
assessed with existing tools (Penn, 2011). Furthermore, for those outcomes that are knownand
identified, university assessment teams and communication scholars have proceeded cautiously when
determining how best to assess them.

Meskipun upaya terbaik dari aac&u, hasil pembelajaran yang mengirim jenis terpadu berpikir
dan pengetahuan diperlukan untuk abad duapuluh satu belum dipenuhi. Selain itu, yang lain salah
dalam menggambarkan hasil yang tidak dapat didefinisikan, tidak dapat diajarkan, dan tidak dapat
dinilai dengan alat yang ada (Penn, 2011). Selanjutnya, untuk hasil yang ingin diketahui dan
diidentifikasi tim penilai universitas dan pakar komunikasi telah belajar dengan hati – hati saat
menentukan cara terbaik untuk menilai mereka.

Assessing Service Learning Outcomes


Student learning assessment is “the systematic collection of information about student learning, using
the time, knowledge, expertise, and resources available, in order to inform decisions about how to
improve learning” (Walvoord, 2004, p. 2). General education assessment plans must have goals,
measurable outcomes, measures that are obtainable, and faculty consensus during the entire planning
process (Wehlburg, 2010). Currently, there are no assessment tools to completely evaluate the global
learning general education program, and any results instructors have gathered have not been widely
disseminated, if used at all (Penn, 2011). To fully incorporate service learning on college and
university campuses, educators not only need to find ways to evaluate outcomes but also need to use
the results to redefine general education programs.

Menilai hasil belajar service learning


Penilaian pembelajaran siswa adalah “pengumpulan informasi yang sistematis tentang pembelajaran
siswa, penggunaan waktu, pengetahuan, keahlian, dan sumber daya yang tersedia, untuk memberi
tahu keputusan tentang bagaimana memperbaiki pembelajaran” (Walvoord, 2004, p. 2). Pencana
penilaian pendidikan umum harus memiliki tujuan, hasil yang terukur, ukuran yang dapat dicapai, dan
konsensus dosen selama keseluruhan proses perencanaan (Wehlburg, 2010). Saat ini, tidak ada alat
penilaian untuk benar – benar mengevaluasi program pendidikan umum secara keseluruhan dan setiap

7
hasil yang telah dikumpulkan olehinstruktur belum disebarkan secara luas, jika digunakan
keseluruhan (Penn, 2011). Untuk sepenuhnya menggabungkan service learning di kampus dan
universitas, pendidik tidak hanya perlu menemukan cara untuk mengevaluasi hasil tetapi juga perlu
menggunakan hasilnya untuk mendefinisikan program pendidikan umum.

While service learning is used across the academic spectrum, limited assessment research has
been forthcoming. Novak, Markey, and Allen (2007) have called for additional research to examine
how elements of service learning contribute to various learning outcomes. Drawing upon Tebo-
Messina and Prus (1995), the present study used student self-evaluations to assess general education
outcomes, using the following research question:
RQ1: How are general education outcomes identified in student reflective observations about
their service learning experiences?

Sementara service learning digunakan di seluruh spektrum akademik, penelitian penilaian


terbatas telah datang. Novak, Markey, dan Allen (2007) telah menyerukan penelitian tambahan untuk
memeriksa bagaimana unsur service learning berkontribusi ke berbagai hasil belajar. Atas gambaran
Tebo-Messina and Prus (1995), penelitian ini menggunakan evaluasi diri siswa untuk menilai hasil
pendidikan umum dengan menggunakan pertanyaan penelitian berikut ini:
RQ1: Bagaimana hasil pendidikan umun diidentifikasi dalam refleksipengamatan siswa tentang
pengalaman service learning mereka?

Method
Participants
The 382 participants were drawn from a total population of 393 undergraduate students enrolled in
three sections of comm 216: Intercultural Communication, an approved course satisfying the
university’s general education cultural diversity requirement. The same instructor taught all three
sections over a four-year period. Women represented 61 percent (241) of the original 393 participants,
compared with 39 percent (153) men. The distribution of 393 students included sixty freshmen (15.2
percent), 193 sophomores (49.1 percent), ninety-three juniors (23.6 percent), and forty-eight seniors
(11.9 percent); and a range of forty-six academic majors were identified, including pre-pharmacy,
sociology, marketing, animal science, finance, dietetics, electrical engineering, Spanish, and natural
resource management, as well as communication majors (e.g., public relations, journalism), among
others. Eleven students did not complete the assignment. The research received Institutional Review
Board exempt status.

8
Metode
Peserta
382 peserta diambil dari total populasi 393 mahasiswa yang terdaftar dalam tiga bagian dari comm
216: Komunikasi Antarbudaya, sebuah kursus yang disetujui yang memenuhi persyaratankeragaman
budaya universitas pendidikan umum.Instruktur yang sama mengajarkan ketiga bagian itu selama
periode empat tahun. Perempuan mewakili 61 persen (241) dari 393 peserta asli, dibandingkan dengan
39 persen (153) laki-laki. Distribusi dari 393 siswa termasuk enam puluh mahasiswa baru (15,2
persen), 193 mahasiswi (49,1 persen), sembilan puluh tiga junior (23,6 persen), dan empat puluh
delapan senior (11,9 persen); dan dari empat puluh enam jurusan akademik diidentifikasi, termasuk
pra-apotek, sosiologi, pemasaran, ilmu hewan, keuangan, diet, teknik elektro, Spanyol, dan
pengelolaan sumber daya alam, serta jurusan komunikasi (misalnya, hubungan literatur publik ,
jurnalisme), dan lain-lain. Sebelas siswa tidak menyelesaikan tugas. Penelitian ini menerima status
bebas Institutional Review Board.

The Service Learning Activity


Students were assigned the experiential service learning activity as a component of the course. Each
student was required to provide ten hours of service to a community organization throughout the
semester. Students were asked to select organizations where they would meet and interact with people
from different cultural groups (defined broadly to include ethnicity, economic status, social status,
education level, age, sex, sexual orientation, ability level, etc.). Assistance in identifying a community
organization was provided for those experiencing difficulty with this aspect of the assignment. While
serving the needs of the community organization/group, students were asked to practice their
intercultural communication skills. While service could be concentrated or spread out throughout the
semester, students were required to schedule a minimum of four sessions in service to their
organizations. To receive full credit for the assignment, students submitted an originating contract
with an organizational representative who would supervise their service, a midsemester service
learning report, and a final service report when the assignment was completed.

Aktivitas Service Learning


Siswa diberi kegiatan eksperiental service learning sebagai komponen kursus. Setiap siswa diminta
memberikan pelayanan selama sepuluh jam kepada sebuah organisasi masyarakat sepanjang semester.
Siswa diminta untuk memilih organisasi di mana mereka akan bertemu dan berinteraksi dengan
orang-orang dari berbagai kelompok budaya (didefinisikan secara luas untuk memasukkan etnis,
status ekonomi, status sosial, tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, orientasi seksual, tingkat
kemampuan, dll). Bantuan dalam mengidentifikasi sebuah organisasi masyarakat diberikan bagi
mereka yang mengalami kesulitan dengan aspek penugasan ini. Sambil melayani kebutuhan
organisasi /kelompok masyarakat siswa diminta mempraktekkan keterampilan komunikasi antar

9
budaya mereka. Sementara layanan dapat terkonsentrasi atau tersebar sepanjang semester, siswa
diminta untuk menjadwalkan minimal empat sesi dalam pelayanan kepada organisasi mereka. Untuk
menerima kredit penuh untuk tugas, siswa mengajukan kontrak berasal dengan mewakili keadaan
organisasi yang akan mengawasi layanan mereka, laporan service learning, midsemester, dan
laporanakhir ketika tugas selesai.

Instrument
When determining how to assess this service learning activity, the researchers turned to eleven tools
offered by Tebo-Messina and Prus (1995) with the capacity for collecting data: (1) commercial
standardized exams, (2) locally developed exams (including essays), (3) simulation or performance
appraisals, (4) written surveys and questionnaires, (5) interviews and focus groups, (6) external
examiners, (7) archival records and transcript analysis, (8) portfolios, (9) behavioral observations,
(10) student self-evaluations, and (11) classroom research. While each tool has the capacity to be used
individually, a combination of assessment methods evaluates general education most effectively and
gives the best assessment of student learning (Yin & Volkwein, 2010).

Instrumen
Ketika menentukan bagaimana menilai kegiatan service learning ini, para peneliti beralih ke sebelas
alat yang ditawarkan oleh Tebo-Messina dan Prus (1995) dengan kapasitas untuk mengumpulkan
data: (1) komersial ujian standar, (2) ujian dikembangkan secara lokal (termasuk esai), (3) simulasi
atau kinerja penilaian, (4) survei tertulis dan kuesioner, (5) wawancara dan kelompok fokus, (6)
penguji eksternal, (7) catatan arsip dan analisis transkrip, (8) portofolio, (9) pengamatan perilaku, (10)
siswa evaluasi diri, dan (11) penelitian kelas. Sementara setiap alat memiliki kapasitas untuk
digunakan secara terpisah, kombinasi metode penilaian mengevaluasi pendidikan umum yang palinh
efektif dalam memberikan penilaian terbaik tentang pembelajaran siswa (Yin & Volkwein, 2010).

The instrument used in this study was a combination of what Tebo-Messina and Prus (1995)
described as written questionnaires and student self-evaluations. After students completed ten hours of
service learning as part of the course requirement, they were asked to comment on a range of
questions designed to generate reflections about their service experience. Included were the following
questions that enabled self-reflection: “What information did you learn in the class that helped you
communicate while doing the service?”; “How did this service experience help you to better
understand ideas or subjects we studied in class?”; “How will you use what you learned in this
experience?”; and the specific question providing the data for this study, “What communication skills
did you develop through your service activities?” The responses came in the form of one or more
sentences.

10
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi dari apa yang Tebo-Messina
dan Prus (1995) gambarkan sebagai kuesioner tertulis dan evaluasi diri siswa . Setelah siswa
menyelesaikan sepuluh jam pelayanan belajar sebagai bagian dari persyaratan, mereka diminta untuk
mengomentari berbagai pertanyaan yang dirancang untuk menghasilkan refleksi tentang pengalaman
layanan mereka. Termasuk pertanyaan-pertanyaan berikut yang memungkinkan refleksi diri: “?
Informasi apa yang Anda pelajari di kelas yang membantu Anda berkomunikasi saat melakukan
layanan”; “Bagaimana pengalaman layanan ini membantu Anda untuk lebih memahami ide atau mata
pelajaran yang kami pelajari di kelas?”; “Bagaimana Anda akan menggunakan apa yang Anda pelajari
dalam pengalaman ini?”; dan pertanyaan spesifik menyediakan data untuk penelitian ini, “Apa
keterampilan komunikasi yang Anda kembangkan melalui kegiatan Pollyanna Anda?” Tanggapan
dalam bentuk satu atau lebih kalimat.

Data Collection
The assignments were collected near the end of each semester and graded by the instructor. Students
were informed that their responses would be retained as part of the ongoing assessment process for
the department. All names and identifiers were removed. Once it was determined that the responses
would be used as secondary data in the present research project, the collected assignments were
numbered consecutively from 001 to 382. The participants’ numbers were then used to identify the
source of each sentence. A total of 1,142 sentences were recorded. Six sentences were excluded from
the data because of their illegibility or incongruity, bringing the number of usable sentences to 1,136.
Each participant’s response(s) was typed into a spreadsheet, with one sentence per line entry. The
participant’s number (e.g., 001, 002, . . . 382) was used to identify each sentence, and participants
could provide more than one sentence. The length of response per student varied: 264 of the
participants (69 percent) provided between one and three sentences to answer the question, while ten
(2 percent) provided nine or more sentences.

Pengumpulan Data
Tugas dikumpulkan di akhir semester setiap semester dan dinilai oleh instruktur. Siswa diberi tahu
bahwa tanggapan mereka akan dipertahankan sebagai bagian dari proses penilaian yang sedang
berlangsung untuk departemen tersebut. Semua nama dan pengenal telah dihapus. Setelah ditentukan
bahwa tanggapan tersebut akan digunakan sebagai data sekunder dalam proyek penelitian ini, tugas
yang dikumpulkan dihitung secara berurutan dari tahun 001 sampai 382. Jumlah peserta kemudian
digunakan untuk mengidentifikasi sumber setiap kalimat. Sebanyak 1.142 kalimat direkam. Enam
kalimat dikeluarkan dari data karena ketidakcocokan atau ketidaksesuaian mereka, sehingga jumlah
kalimat yang dapat digunakan menjadi 1.136. Tanggapan masing-masing peserta diketik ke dalam
spreadsheet, dengan satu kalimat per baris masuk. Nomor peserta (misalnya, 001, 002, ... 382)
digunakan untuk mengidentifikasi setiap kalimat, dan peserta dapat memberikan lebih dari satu

11
kalimat. Panjang respon per siswa bervariasi: 264 dari peserta (69 persen) memberikan antara satu dan
tiga kalimat untuk menjawab pertanyaan tersebut, sementara sepuluh (2 persen) memberikan sembilan
atau lebih kalimat.

Coding
The entire research team read through the responses multiple times to get a sense of the data. Then,
using the literature of general education as a guide, closed categories were identified, and a code book
was created for two items: First, units of analysis were coded to determine whether the students’
responses identified cognitive, behavioral, or integrative outcomes resulting from their service
learning experience (e.g., 0 = no answer, 1 = cognitive, 2 = behavioral, 3 = integrative, 4 = other or
n/a). Then, units of analysis were coded to determine whether the students identified personal or
social responsibility as part of their service learning experience (e.g., 0 = no answer, 1 = yes, 2 = no).

Pengodean
Seluruh tim peneliti membacakan beberapa kali tanggapan untuk mendapatkan data. Kemudian,
dengan menggunakan literatur pendidikan umum sebagai panduan, kategori tertutup diidentifikasi,
dan sebuah buku kode dibuat untuk dua item: Pertama, unit analisis dikodekan untuk menentukan
apakah tanggapan siswa mengidentifikasi hasil kognitif, perilaku, atau integratif yang dihasilkan. dari
pengalaman belajar layanan mereka (misalnya, 0 = tidak ada jawaban, 1 = kognitif, 2 = perilaku, 3 =
integratif, 4 = lainnya atau n / a). Kemudian, unit analisis dikodekan untuk menentukan apakah siswa
mengidentifikasi tanggung jawab pribadi atau sosial sebagai bagian dari pengalaman belajar layanan
mereka (misalnya, 0 = tidak ada jawaban, 1 = ya, 2 = tidak).

Two research team members coded the sentences written by 10 percent of the participants (n
= 38), randomly identified, to establish intercoder reliability. A Cohen’s kappa of k = .771 was
achieved for the identification of cognitive, behavioral, and integrative outcomes; and k = .877 was
achieved for the identification of social awareness. Neuendorf (2002, p. 143) cites several studies
suggesting an intercoder reliability of .75+ to be indicative of excellent agreement beyond chance.
The coders discussed and clarified their reasons for disagreement, and consensus was reached before
proceeding further. The researchers next set aside the responses from an additional ten randomly
selected participants to check for drift and reliability at the end of the coding process. The remaining
data were then divided between the two coders, and coding continued. A Cohen’s kappa was
computed on the final ten participants, with k = .959 on the first set of outcomes and k = 1.00 for the
identification of social responsibility. All of the data were included in the results

Dua anggota tim peneliti mengkodekan kalimat yang ditulis oleh 10 persen peserta (n = 38),
diidentifikasi secara acak, untuk menetapkan reliabilitas intercoder. Kappa Cohen k = .771 dicapai

12
untuk identifikasi hasil kognitif, perilaku, dan integratif; dan k = .877 dicapai untuk identifikasi
kesadaran sosial. Neuendorf (2002, hal 143) mengutip beberapa penelitian yang menunjukkan
reliabilitas intercoder 0,75+ untuk menunjukkan kesepakatan yang sangat baik tanpa hasil. Para coder
mendiskusikan dan mengklarifikasi alasan mereka untuk tidak sepakat, dan konsensus dicapai
sebelum melanjutkan lebih jauh. Para peneliti selanjutnya menyisihkan tanggapan dari sepuluh
peserta yang dipilih secara acak untuk memeriksa drift dan reliabilitas pada akhir proses pengkodean.
Data yang tersisa kemudian dibagi antara dua coder, dan pengkodean dilanjutkan. Kappa Cohen
dihitung pada sepuluh peserta terakhir, dengan k = .959 pada rangkaian hasil pertama dan k = 1,00
untuk identifikasi tanggung jawab sosial. Semua data dimasukkan dalam hasil

The coders noted the number of responses that were coded as “other” or “n/a” and agreed to
revisit their coding on the original “other” and “n/a” responses. After reviewing the topics included,
the researchers proposed to take into account the inclusion of “knowledge of other cultures” as a
dimension of the cognitive outcomes category in order to reduce the number of “other” and “n/a”
responses. To test the proposed change, coders recoded the responses of the final ten participants that
had been “other” or “n/a,” achieving a k = .74 reliability for the inclusion of cultural knowledge. After
discussing the reason for their differences, they reached consensus and proceeded to review all of
their original data coded as “other” or “n/a.” The final coding took into account the inclusion of
cultural knowledge in the cognitive outcomes. The research team reconvened several times
throughout the process to refine and clarify the process, making sure that the data were placed and
coded into correct categories.

Para coders mencatat jumlah tanggapan yang dikodekan sebagai "yang lain" atau "n / a" dan
setuju untuk meninjau kembali pengkodean mereka terhadap tanggapan "lainnya" dan "n / a" yang
asli. Setelah meninjau topik yang dibahas, para peneliti mengusulkan untuk mempertimbangkan
dimasukkannya "pengetahuan tentang budaya lain" sebagai dimensi kategori hasil kognitif untuk
mengurangi jumlah tanggapan "lainnya" dan "n / a". Untuk menguji perubahan yang diusulkan,
coders recode tanggapan dari sepuluh peserta terakhir yang telah "lain" atau "n / a", mencapai
reliabilitas k = .74 untuk memasukkan pengetahuan budaya. Setelah mendiskusikan alasan perbedaan
mereka, mereka mencapai konsensus dan melanjutkan untuk meninjau semua data asli mereka yang
dikodekan sebagai "lainnya" atau "n / a." Pengkodean terakhir memperhitungkan dimasukkannya
pengetahuan budaya dalam hasil kognitif. Tim peneliti mengumpulkan beberapa kali selama proses
untuk memperbaiki dan mengklarifikasi proses, memastikan bahwa data tersebut ditempatkan dan
dikodekan dalam kategori yang benar.

13
Data Analysis
Once each unit of analysis was coded and placed into one of the four categories (cognitive,
behavioral, integrative, and other), all responses associated with each of these categories were
grouped and analyzed. Two members of the research team independently reviewed the participants’
responses and identified common themes. Representative examples from the data were garneredto
illustrate the selected themes. A similar process was followed to determine whether the students
identified personal or societal responsibility in their reflections. The third member of the research
team joined the reviewers to discuss the identification of themes and examples to further establish the
trustworthiness of the findings.

Analisis Data
Begitu setiap unit analisis diberi kode dan dimasukkan ke dalam salah satu dari empat kategori
(kognitif, perilaku, integratif, dan lainnya), semua tanggapan yang terkait dengan masing-masing
kategori ini dikelompokkan dan dianalisis. Dua anggota tim peneliti secara independen meninjau
tanggapan peserta dan mengidentifikasi tema umum. Contoh perwakilan dari data dikumpulkan untuk
menggambarkan tema yang dipilih. Proses serupa diikuti untuk menentukan apakah siswa
mengidentifikasi tanggung jawab pribadi atau masyarakat dalam refleksi mereka. Anggota ketiga tim
peneliti bergabung dengan pengulas untuk mendiskusikan identifikasi tema dan contoh untuk lebih
membangun kepercayaan dari temuan.

Identification of General Education Outcomes


At the university where the present study was conducted, seven intended general education outcomes
guide the program, “to ensure that students acquire knowledge, perspectives, and skills associated
with a university education” (Office of Registration and Records, 2013, para. 1). The introductory
intercultural communication course was approved to fulfill the cultural diversity category in the
general education program, meeting two of the seven outcomes: communicate effectively in a variety
of contexts and formats and comprehend the concepts and perspectives needed to function in national
and international societies (Office of Registration and Records, 2013).

Identifikasi Hasil Pendidikan Umum


Di universitas di mana penelitian ini dilakukan, tujuh hasil pendidikan umum yang ditujukan
mengarahkan program, "untuk memastikan bahwa siswa memperoleh pengetahuan, perspektif, dan
keterampilan yang terkait dengan pendidikan universitas" (Kantor Pendaftaran dan Catatan, 2013,
paragraf 1) . Kursus komunikasi interkultural antar muka telah disetujui untuk memenuhi kategori
keragaman budaya dalam program pendidikan umum, memenuhi dua dari tujuh hasil: berkomunikasi
secara efektif dalam berbagai konteks dan format dan memahami konsep dan perspektif yang

14
dibutuhkan untuk berfungsi dalam masyarakat nasional dan internasional ( Kantor Pendaftaran dan
Catatan, 2013).

RQ1 asked how general education outcomes were reflected in student reflective observations
about their service learning experiences. The responses demonstrated attention to communication in a
variety of contexts and formats and personal and social responsibility. Students’ comments reflected
their knowledge (cognitive) and actions (behavioral), as well as the integration of both. Personal
responsibility and social responsibility were also noted as outcomes. The themes that emerged from
each of the coded responses follow.

RQ1 bertanya bagaimana hasil pendidikan umum tercermin dalam pengamatan reflektif siswa
tentang pengalaman service learning mereka. Tanggapan tersebut menunjukkan perhatian pada
komunikasi dalam berbagai konteks dan format dan tanggung jawab pribadi dan sosial. Komentar
siswa mencerminkan pengetahuan (kognitif) dan tindakan (perilaku), serta integrasi keduanya.
Tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab sosial juga dicatat sebagai hasil. Tema yang muncul dari
masing-masing tanggapan kode mengikuti.

Cognitive Assessment
The general education outcome of knowledge of human cultures, intellectual skills, and critical
thinking (aac&u, 2013) was evident as students identified what they learned during the service
learning assignment. Three major themes emerged in the cognitive assessment category: knowledge
of communication styles and cultural interaction, knowledge of the elements of communication
competence, and knowledge of the need to use course concepts while critically thinking about the
service learning experience

Penilaian Kognitif
Hasil pendidikan umum pengetahuan tentang budaya manusia, keterampilan intelektual, dan
pemikiran kritis (aac & u, 2013) terbukti saat siswa mengidentifikasi apa yang mereka pelajari selama
tugas service learning. Tiga tema utama muncul dalam kategori penilaian kognitif: pengetahuan
tentang gaya komunikasi dan interaksi budaya, pengetahuan tentang unsur kompetensi komunikasi,
dan pengetahuan tentang kebutuhan untuk menggunakan konsep kursus sambil memikirkan secara
kritis tentang pengalaman belajar layanan

Knowledge of Communication Styles and Cultural Interaction


Students reported learning about communication styles used by different cultural groups. This
involved understanding their own communication styles and those of others. Students recognized their
tendency to remain within their own social groups and their reliance on staying within their comfort

15
zones. Students also recognized their tendency to “only really communicate with people around
[their] age.” Some students admitted difficulty starting or engaging in communication with others
prior to the activity. These students reported “learning how to approach different people” and
discovering “that talking about [themselves] or just telling them some news was the best way to get a
conversation going.”

Pengetahuan tentang Gaya Komunikasi dan Interaksi Budaya


Siswa melaporkan pembelajaran tentang gaya komunikasi yang digunakan oleh kelompok budaya
yang berbeda. Ini melibatkan pemahaman akan gaya komunikasi mereka dan gaya orang lain. Siswa
mengenali kecenderungan mereka untuk tetap berada dalam kelompok sosial mereka sendiri dan
ketergantungan mereka untuk tinggal di zona kenyamanan mereka. Siswa juga mengenali
kecenderungan mereka untuk "hanya benar-benar berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar usia
mereka." Beberapa siswa mengaku kesulitan untuk memulai atau terlibat dalam komunikasi dengan
orang lain sebelum aktivitas berlangsung. Para siswa ini melaporkan "belajar bagaimana mendekati
orang yang berbeda" dan menemukan "bahwa berbicara tentang [diri mereka sendiri] atau hanya
memberi tahu mereka beberapa berita adalah cara terbaik untuk mengobrol."

In gaining knowledge about their own communication styles, students learned that individuals
from different cultures communicate differently. Students conveyed thinking about “how to
communicate better with people of a different race . . . [people] who spoke a different language, and
[people] who didn’t speak English well.” Students’ replies reflected knowledge of the need “to be
sensitive to others and their situations” and the importance of “communicating differently.” Finally,
students gained knowledge of the need “to monitor [their] communication because the people [they
were] working with didn’t have the same abilities to communicate with [them].

Dalam mendapatkan pengetahuan tentang gaya komunikasi mereka sendiri, siswa belajar
bahwa individu dari budaya yang berbeda berkomunikasi secara berbeda. Siswa menyampaikan
pemikiran tentang "bagaimana berkomunikasi lebih baik dengan orang-orang dari ras yang berbeda. . .
[orang-orang] yang berbicara bahasa yang berbeda, dan [orang-orang] yang tidak berbahasa Inggris
dengan baik. "Balasan siswa mencerminkan pengetahuan tentang kebutuhan" untuk peka terhadap
orang lain dan situasi mereka "dan pentingnya" berkomunikasi secara berbeda. "Akhirnya , siswa
mendapatkan pengetahuan tentang kebutuhan "untuk memantau komunikasi mereka karena orang-
orang yang mereka kerjakan tidak memiliki kemampuan yang sama untuk berkomunikasi dengan
mereka.

16
Knowledge of Elements of Communication Competence
A second cognitive theme emerging from student responses was knowledge of the elements of
communication competence. Students explained that knowledge of the importance of nonverbal
communication in interactions, learning patience and listening skills, and learning how to develop
verbal and nonverbal skills was essential. Knowledge of these skills was attributed to competent
communication in any situation.

Pengetahuan tentang Unsur Kompetensi Komunikasi


Tema kognitif kedua yang muncul dari tanggapan siswa adalah pengetahuan tentang unsur
kompetensi komunikasi. Siswa menjelaskan bahwa pengetahuan tentang pentingnya komunikasi
nonverbal dalam interaksi, belajar kesabaran dan keterampilan mendengar, dan belajar bagaimana
mengembangkan keterampilan verbal dan nonverbal sangat penting. Pengetahuan tentang
keterampilan ini dikaitkan dengan komunikasi yang kompeten dalam situasi apapun.

Students discussed their increased knowledge regarding nonverbal communication, from both
a sender’s and a receiver’s point of view. Students reported: “I learned the power of non-verbal
communication”; “Non-verbal communication skills were quite important with this”; and “In some
cultures, non-verbal communication is universal.” Furthermore, students learned the importance of
reading nonverbal communication as verbal and that nonverbal communication can be conflicting.

Students stated: “We needed to be able to tell by their body language why they were saying
what they were”; and “Non-verbal communication is much deeper than I had originally thought.
Siswa mendiskusikan peningkatan pengetahuan mereka tentang komunikasi nonverbal, baik dari sisi
pengirim maupun penerima. Siswa melaporkan: "Saya belajar kekuatan komunikasi non-verbal";
"Keterampilan komunikasi non verbal cukup penting dengan ini"; dan "Di beberapa budaya,
komunikasi non verbal bersifat universal." Selanjutnya, siswa belajar pentingnya membaca
komunikasi nonverbal sebagai verbal dan komunikasi nonverbal bisa saling bertentangan. Siswa
menyatakan: "Kami harus bisa mengetahui dari bahasa tubuh mereka mengapa mereka mengatakan
apa adanya"; dan "Komunikasi non verbal jauh lebih dalam dari yang saya duga sebelumnya.

In addition to learning the importance of nonverbal communication, students described their


increased understanding of why patience and listening skill sets were equally important for the
competent communicator. Students learned the importance of “develop[ing] listening skills,”
“learn[ing] to be a better listener,” and “focus[ing] in on what [others] were trying to say.” Students
learned the need to separate hearing from listening by learning to be patient: “This required me not
only to hear, but to listen to what they are saying

17
Selain mempelajari pentingnya komunikasi nonverbal,siswa menggambarkan peningkatan
pemahaman mereka tentang mengapa keterampilan ketrampilan kesabaran dan ketrampilan sama
pentingnya bagi komunikator yang kompeten.Siswa belajar pentingnya "mengembangkan
keterampilan mendengar," "belajar untuk menjadi pendengar yang lebih baik, "dan" fokus pada apa
yang orang lain katakan. "Siswa mengetahui perlunya memisahkan pendengaran dari mendengar
dengan belajarbersabarlah: "Ini menuntut saya untuk tidak hanya mendengar, tapi untuk
mendengarkan apa yang mereka katakan”

Using Course Concepts While Critically Thinking


A final cognitive theme that emerged from the data involved knowledge of the need to use course
concepts while thinking critically about the service learning experience. Students used terminology
learned in class to describe their situations, revealing their understanding and assessment of the
situation. Students recognized “communication between . . . the dominant culture and minority
[cultures]” and revealed knowledge of conflicting perspectives pertaining to “feeling guilty of the
privilege [they] had as a member of the dominant culture.” Students were able to identify “code-
switching,” participating in “high-context and low-context situations,” viewing a culture “from the
emic perspective,” and “gaining a greater sense of self-reflexivity.” Students transferred academic
terms from the classroom and applied them to real-life circumstances to increase their knowledge of a
situation.

Menggunakan Konsep Kursus Sehingga Berpikir Kritis


Tema kognitif terakhir yang muncul dari data melibatkan pengetahuan tentang kebutuhan untuk
menggunakan konsep kursus sambil berpikir kritis tentang pengalaman service learning. Siswa
menggunakan terminologi yang dipelajari di kelas untuk menggambarkan situasi mereka,
mengungkapkan pemahaman dan penilaian mereka terhadap situasi. Siswa mengakui "komunikasi
antara. . . budaya dominan dan minoritas [budaya] "dan mengungkapkan pengetahuan tentang
perspektif yang saling bertentangan yang berkaitan dengan" merasa bersalah atas hak istimewa yang
mereka miliki sebagai anggota budaya dominan. "Siswa dapat mengidentifikasi" pengalihan kode,
"yang berpartisipasi dalam" konteks tinggi dan situasi dengan konteks rendah, "melihat budaya" dari
perspektif emik, "dan" mendapatkan refleksi diri yang lebih besar. "Siswa mengalihkan persyaratan
akademis dari kelas dan menerapkannya pada keadaan kehidupan nyata untuk meningkatkan
kemampuan mereka. pengetahuan tentang sebuah situasi

In short, students reported gaining knowledge about how “to acknowledge the context [they
were] in” and how to “pick up on certain . . . things that interested [the client].” Students learned the
importance of communication in the situation they were in, reporting that “not all people

18
communicate in the same way”; “without proper communication, you cannot perform the task in a
proper manner”; “communicating effectively is very important”; and “communication skills are
essential.

Singkatnya, siswa melaporkan mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana "mengakui


konteks [mereka] dalam" dan bagaimana "menangkap sesuatu yang pasti. . . hal-hal yang diminati
[klien]. "Siswa mengetahui pentingnya komunikasi dalam situasi di mana mereka berada, melaporkan
bahwa" tidak semua orang berkomunikasi dengan cara yang sama "; "Tanpa komunikasi yang tepat,
Anda tidak dapat melakukan tugas dengan cara yang benar"; "Berkomunikasi secara efektif sangat
penting"; dan "keterampilan komunikasi sangat penting.

The responses from the students suggest that service learning has cognitive outcomes that
correspond with the general education outcomes of cultural knowledge, intellectual skill development,
and critical thinking. In addition to learning, students also had the opportunity to demonstrate
behaviors consistent with outcomes associated with general education.

Tanggapan dari siswa menunjukkan bahwa pembelajaran layanan memiliki hasil kognitif
yang sesuai dengan hasil pendidikan umum budaya pengatahuan, pengembangan keterampilan
intelektual, dan berpikir kritis. Sebagai tambahannya siswa belajar memiliki kesempatan untuk
menunjukkan perilaku yang sesuai dengan hasil yang terkait dengan pendidikan umum.

Behavioral Assessment
Students’ responses reflected key behavioral categories identified by general education outcomes in
knowledge of human cultures, oral communication, and practical skills (aac&u, 2013). Themes
emerging in the data include the adaptation of personal communication style, the development of
confidence, increased use of patience and listening skills, and using nonverbal communication in
interactions.

Penilaian Perilaku

Tanggapan siswa mencerminkan kategori perilaku kunci yang diidentifikasi oleh hasil pendidikan
umum dalam pengetahuan tentang budaya manusia, komunikasi lisan, dan keterampilan praktis (aac
& u, 2013). Tema yang muncul dalam data mencakup adaptasi gaya komunikasi pribadi,
pengembangan kepercayaan diri, peningkatan kesabaran dan keterampilan mendengar, dan
penggunaan komunikasi nonverbal dalam interaksi.

Adaptation of Personal Communication Style

19
Students adapted their communication styles when interacting with other cultures and individuals.
Students demonstrated improving and developing skills such as “[their] ability to relate to people.”
Students became aware of needing to change their communication style and reflected the change in
their behavior: “Through this assignment, I feel I was able to change my style to fit those around me”;
or “Some of the communication skills I developed are ways to approach some of the people that came
into the agency.” Another student “adapt[ed] [her] communication [to] fully embrace [her] new social
role.” Comments recalling serving the needs of the elderly reflected students “communicat[ing]
differently than [they] normally would,” “enunciating and avoiding jargon,” “us[ing] a louder voice
when talking to [the elderly] in poor hearing health,” and walking slowly when walking with residents
in the hallway.

Adaptasi Gaya Komunikasi Pribadi


Siswa mengadaptasi gaya komunikasi mereka saat berinteraksi dengan budaya dan individu lain.
Siswa menunjukkan peningkatan dan pengembangan keterampilan seperti "kemampuan mereka untuk
berhubungan dengan orang”. Siswa menjadi sadar akan kebutuhan untuk mengubah gaya komunikasi
mereka dan mencerminkan perubahan dalam perilaku mereka: "Melalui tugas ini, saya merasa bisa
mengubah gaya saya agar sesuai dengan orang di sekitar saya"; atau "Beberapa keterampilan
komunikasi yang saya kembangkan adalah cara untuk mendekati beberapa orang yang datang ke
agensi." Siswa lain "menyesuaikan komunikasi [dia] untuk sepenuhnya merangkul peran sosial
barunya." melayani kebutuhan orang tua, mencerminkan siswa "berkomunikasi secara berbeda dari
biasanya," "mengucapkan dan menghindari jargon," "kita memiliki suara yang lebih keras saat
berbicara dengan [orang tua] dalam kesehatan pendengaran yang buruk," dan berjalan pelan saat
berjalan dengan warga di lorong.

Furthermore, students acknowledged their changed communication: “It was rather surprising
how quickly me and the other individual caught on and were able to communicate well enough to
understand each other.” Another student recounted being able to “enhance [his] interpersonal
communication skills that dealt specifically with individuals who had different social and cultural
identities than [he].” Students who adapted their communicative styles reflected the ability to “be
more understanding of others, allowing [them] to see past [their] own stereotypes and avoid
prejudices.

Selanjutnya, siswa mengakui perubahan komunikasi mereka: "Sungguh mengejutkan betapa


cepatnya saya dan individu lainnya menangkap dan mampu berkomunikasi dengan cukup baik untuk
saling memahami." Seorang siswa lain menceritakan kemampuan untuk "meningkatkan ketrampilan
komunikasi interpersonalnya sehingga ditangani secara khusus dengan individu-individu yang
memiliki identitas sosial dan budaya yang berbeda dari pada dia. "Siswa yang menyesuaikan gaya

20
komunikatif mereka mencerminkan kemampuan untuk" lebih memahami orang lain, membiarkan
[mereka] melihat stereotip mereka sebelumnya dan menghindari prasangka.

Demonstration of Confidence
In addition to adapting communication styles, students demonstrated increased confidence in their
communication skills. Confidence was reflected in the majority of student comments, with both
apprehensive and nonapprehensive students increasing and developing their oral communication
skills. Students reported having “gained confidence in talking” and “being more authoritative and
self-motivating.”

Peragaan Keyakinan
Selain mengadaptasi gaya komunikasi, siswa menunjukkan peningkatan kepercayaan pada
kemampuan komunikasi mereka. Keyakinan tercermin dalam sebagian besar komentar siswa, dengan
siswa yang khawatir dan tidak puas dengan peningkatkan dan perkembangan kemampuan komunikasi
lisan mereka. Siswa dilaporkan memiliki "percaya diri dalam berbicara" dan "lebih berwibawa dan
memotivasi diri sendiri."

Students discussed becoming more comfortable by gaining confidence in the assignment as


well: “I got more comfortable . . . after a couple of days which made me more confident to speak to
members from different ethnic groups.” Another student reflected, “As I went on, I became more
comfortable and started to interact more with residents.” Other students reported their developing
confidence as directly impacting their communication skills: “I became a lot more confident in my
communication skills by simply putting myself out there”; and “I also overcame communication
apprehension through the times I had to meet and get to know new people.

Para siswa mendiskusikan menjadi lebih nyaman dengan mendapatkan kepercayaan diri
dalam penugasan juga: "Saya merasa lebih nyaman. . . setelah beberapa hari yang membuat saya lebih
percaya diri untuk berbicara dengan anggota dari kelompok etnis yang berbeda. "Siswa lain
tercermin," Ketika saya melanjutkan, saya menjadi lebih nyaman dan mulai berinteraksi lebih banyak
dengan penduduk. "Siswa lain melaporkan perkembangan mereka. percaya diri sebagai dampak
langsung keterampilan komunikasi mereka: "Saya menjadi jauh lebih percaya diri dalam kemampuan
komunikasi saya dengan hanya menempatkan diri di luar sana"; dan "Saya juga mengatasi
kekhawatiran komunikasi sejak saya bertemu dan mengenal orang baru.

Display of Patience and Listening Skills


The third behavioral theme is the display of patience and listening skills. Comments reflected students
adapting their behavior to slow down and wait for others. Students reported having “developed the

21
ability to be patient with people,” and others “developed patience and kindness when communicating
while doing the service activities.” Additionally, students conveyed their use of “listening skills” and
how they were incorporating their newly developed skills into other aspects of their lives. They
reported “learning to be patient with the communication [as] sometimes it took us awhile to really
communicate effectively.” Another student revealed that his “communication skills improved a lot
while working at the thrift store, where [he] learned to be more patient with people who don’t speak
English as their first language.

Tampilan Kesabaran dan Keterampilan Mendengarkan


Tema perilaku ketiga adalah tampilan ketekunan dan ketrampilan mendengar. Komentar
mencerminkan siswa menyesuaikan tingkah laku mereka untuk memperlambat dan menunggu orang
lain. Siswa melaporkan telah "mengembangkan kemampuan untuk bersabar dengan orang lain," dan
yang lainnya "mengembangkan kesabaran dan kebaikan saat berkomunikasi saat melakukan aktivitas
layanan." Selain itu, siswa menyampaikan penggunaan "keterampilan mendengarkan" mereka dan
bagaimana mereka menggabungkan keterampilan mereka yang baru dikembangkan. ke aspek lain
dalam kehidupan mereka. Mereka melaporkan "belajar untuk bersabar dengan komunikasi kadang-
kadang membutuhkan waktu lama untuk benar-benar berkomunikasi secara efektif." Seorang siswa
lain mengungkapkan bahwa "kemampuan komunikasinya meningkat pesat saat bekerja di toko barang
bekas, di mana [dia] belajar untuk menjadi lebih sabar dengan orang yang tidak bisa berbahasa Inggris
sebagai bahasa pertama mereka.

Use of Nonverbal Communication


In addition to demonstrating patience and listening skills, student comments reflected their use of
nonverbal communication in interactions. Students reported “refining [their] skills of using non-verbal
[communication] to supplement [their] language” and “using more facial expressions to
communicate.” Furthermore, students reported having to “use body language and hands” and
“maintain eye contact” and “relying on non-verbal communication to show what [they] meant rather
than tell.”

Penggunaan Komunikasi Nonverbal


Selain menunjukkan kesabaran dan keterampilan mendengarkan, komentar siswa mencerminkan
penggunaan komunikasi nonverbal mereka dalam interaksi. Siswa melaporkan "memperbaiki
keterampilan mereka menggunakan komunikasi non-verbal untuk melengkapi bahasa mereka dan
menggunakan ekspresi wajah lebih banyak untuk berkomunikasi." Selanjutnya, siswa melaporkan
bahwa mereka harus "menggunakan bahasa dan tangan tubuh" dan "menjaga mata kontak "dan"
mengandalkan komunikasi non-verbal untuk menunjukkan apa yang mereka maksudkan daripada
memberi tahu. "

22
The major themes reflected in student responses suggest that the behavioral outcomes
achieved through service learning contribute to the general education of students. In addition to
demonstrating behaviors, students are able to understand what they learn and directly apply their
knowledge to a situation, integrating both cognitive and behavioral action.

Tema utama yang tercermin dalam tanggapan siswa menunjukkan bahwa hasil perilaku yang
dicapai melalui service learning berkontribusi pada pendidikan umum siswa. Selain menunjukkan
perilaku, siswa dapat memahami apa yang mereka pelajari dan langsung menerapkan pengetahuan
mereka pada situasi, mengintegrasikan tindakan kognitif dan perilaku.

Integrative Assessment
The third category included responses from students who included aspects of both cognitive and
behavioral categories. Integrative and applied learning is one of the four main general education
outcomes. This is defined as “synthesis and advanced accomplishment across general and specialized
studies” (aac&u, 2013). Students learned something from their service learning experiences and also
put that new knowledge into action by changing their communication behavior. Three major themes
were found in the integrative category: adapting to new situations, personal development, and
communication competence.

Penilaian Integratif
Kategori ketiga mencakup tanggapan dari siswa yang memasukkan aspek kategori kognitif dan
perilaku. Pembelajaran integratif dan terapan adalah satu dari empat hasil utama pendidikan umum.
Ini didefinisikan sebagai "sintesis dan prestasi maju di seluruh studi umum dan khusus" (aac & u,
2013). Siswa belajar sesuatu dari pengalaman service learning mereka dan juga memasukkan
pengetahuan baru tersebut ke dalam tindakan dengan mengubah perilaku komunikasi mereka. Tiga
tema utama ditemukan dalam kategori integratif: menyesuaikan diri dengan situasi baru,
pengembangan pribadi, dan kompetensi komunikasi.

Adapting to New Situations


Students reported adapting to new situations during their service learning experience. They were able
to realize that different situations call for different behaviors. Students “developed how to talk with
different people in different situations” and “learned that you have to use different communication
styles to adapt to the situation you are in and the people you are communicating with.” They
described adjusting their behavior verbally, nonverbally, and contextually. First, students adjusted the
language they used. For example, one student realized that she “had to learn when to use short words

23
compared to long words.” Another student “adjusted [his or her] language to mimic the person [he or
she] was talking to.

Beradaptasi dengan Situasi Baru


Siswa melaporkan beradaptasi dengan situasi baru selama pengalaman sercvice learninh mereka.
Mereka dapat menyadari bahwa situasi yang berbeda memerlukan perilaku yang berbeda. Siswa
"mengembangkan cara berbicara dengan orang yang berbeda dalam situasi yang berbeda" dan
"mengetahui bahwa Anda harus menggunakan gaya komunikasi yang berbeda untuk menyesuaikan
diri dengan situasi yang Anda hadapi dan orang-orang yang berkomunikasi dengan Anda." Mereka
menggambarkan penyesuaian perilaku mereka secara verbal, nonverbal, dan kontekstual. Pertama,
siswa menyesuaikan bahasa yang mereka gunakan. Misalnya, seorang siswa menyadari bahwa dia
"harus belajar kapan menggunakan kata-kata pendek dibandingkan dengan kata-kata yang panjang."
Siswa lain "menyesuaikan bahasanya untuk meniru orang yang mereka ajak bicara.

Along with adjusting their verbal behaviors, students also realized the importance of adjusting
their nonverbal behaviors. Students “learned just to slow down and simplify what [they were] saying
to people who may not understand English as well as someone who had been speaking it their entire
lives.” When working at a senior center, one student noticed: “If an individual had a ‘better’ ear, I
made sure I was positioned on that side so he/she could hear me speaking.” Students also realized the
need to “speak more clearly, slowly, and louder” than they normally would. A few students gave
specific examples of adapting their behavior in different contexts. One student reported: “By realizing
what is taboo for people, she censors herself from saying something that might not be too offensive
for the groups she associates with, but might make someone feel uncomfortable from another group.”

Seiring dengan penyesuaian perilaku verbal mereka, siswa juga menyadari pentingnya
menyesuaikan perilaku nonverbal mereka. Siswa "belajar hanya untuk memperlambat dan
menyederhanakan apa yang mereka katakan kepada orang-orang yang mungkin tidak mengerti bahasa
Inggris dan juga seseorang yang telah mempelajarinya sepanjang hidup mereka." Ketika bekerja di
sebuah pusat senior, seorang siswa memperhatikan: "Jika seorang Individu memiliki telinga yang
'lebih baik', saya memastikan bahwa saya diposisikan di sisi itu sehingga dia bisa mendengar saya
berbicara. "Siswa juga menyadari bahwa kebutuhan untuk" berbicara lebih jelas, pelan, dan lebih
keras "daripada biasanya. Beberapa siswa memberikan contoh spesifik untuk menyesuaikan tingkah
laku mereka dalam konteks yang berbeda. Seorang siswa melaporkan: "Dengan menyadari apa yang
tabu untuk orang-orang, dia menyensor dirinya sendiri untuk mengatakan sesuatu yang mungkin tidak
terlalu menyinggung kelompok yang diasosiasikan dengannya, tapi mungkin membuat seseorang
merasa tidak nyaman dari kelompok lain."

24
Personal Development
The next theme involved remarks about the personal development students gained during the service
learning activity. Within this theme, students reported becoming more patient with others, thinking
before speaking and acting, being open-minded about others, and becoming more approachable in
new situations. First, many students became more patient with members from cultures outside their
own. One student remarked that he “put himself in her shoes . . . and developed patience with those
who are less fortunate.” In a different context, another student “learned to have patience with the older
people and let them tell their story that they want to tell and add input when necessary.” Similarly,
this student “learned the value of patience that comes with learning a new language and understanding
those that are learning it.” Next, several students realized the importance of thinking before they
acted. Once student became “more aware of what [he or she] was saying rather than just speaking
without thinking.” Likewise, another student said that his service learning experience “made [him]
think before [he] made any actions.”

Pengembangan pribadi
Tema selanjutnya melibatkan komentar tentang pengembangan pribadi yang diperoleh siswa selama
kegiatan service learning. Dalam tema ini, siswa dilaporkan menjadi lebih sabar dengan orang lain,
berpikir sebelum berbicara dan bertindak, bersikap terbuka terhadap orang lain, dan menjadi lebih
mudah didekati dalam situasi baru. Pertama, banyak siswa menjadi lebih sabar dengan anggota dari
budaya di luar mereka sendiri. Seorang siswa mengatakan bahwa dia "menempatkan dirinya di
sepatunya. . . dan mengembangkan kesabaran dengan mereka yang kurang beruntung. "Dalam
konteks yang berbeda, siswa lain" belajar untuk memiliki kesabaran dengan orang tua dan
membiarkan mereka menceritakan kisah mereka bahwa mereka ingin memberi tahu dan
menambahkan masukan bila diperlukan. "Demikian pula, siswa ini" belajar nilai kesabaran yang
datang dengan belajar bahasa baru dan memahami mereka yang mempelajarinya. "Selanjutnya,
beberapa siswa menyadari pentingnya berpikir sebelum mereka bertindak. Begitu siswa menjadi
"lebih sadar akan apa yang dia katakan daripada hanya berbicara tanpa berpikir." Demikian juga,
seorang siswa lain mengatakan bahwa pengalaman belajar pelayanannya "membuat dia berpikir
sebelumnya [dia] melakukan tindakan apapun."

Also on this theme were student responses regarding being open-minded about those
individuals around them. One student realized the importance of having “true empathy for those
people to really understand them.” A different student expressed a similar idea: “Because [she]
doesn’t know how they got there,[she] shouldn’t judge in the first place.” The final aspect of personal
development revolves around the idea of being more approachable in new situations. For example,
many students reported that “learning how to approach people and start conversations” was a big part

25
of the service learning experience. One student “learned how to go up and talk to a complete stranger
and keep a conversation going.” These were all areas of personal development the students achieved
during this assignment.

Juga pada tema ini tanggapan siswa tentang berpikir terbuka tentang individu-individu di
sekitar mereka. Seorang siswa menyadari pentingnya memiliki "empati sejati bagi orang-orang
tersebut untuk benar-benar memahaminya." Seorang siswa yang berbeda mengungkapkan gagasan
serupa: "Karena [dia] tidak tahu bagaimana mereka sampai di sana, dia seharusnya tidak menilai di
tempat pertama. "Aspek terakhir dari pengembangan pribadi berkisar pada gagasan menjadi lebih
mudah didekati dalam situasi baru. Sebagai contoh, banyak siswa melaporkan bahwa "belajar
bagaimana mendekati orang dan memulai percakapan" adalah bagian besar dari pengalaman service
learning. Seorang siswa "belajar bagaimana naik dan berbicara dengan orang asing dan terus
mengobrol." Ini semua adalah bidang pengembangan pribadi yang dicapai siswa selama tugas ini.

Communication Competence
Finally, students described gaining competency in their communication skills during the service
learning assignment. Similar to their adapting to new situations, students reported acquiring new
verbal and nonverbal behaviors when interculturally communicating. The difference between the two
is that in new and different situations students responded by adapting their communication, whereas in
service learning students reported gaining a new behavior or level of competence. In terms of verbal
communication skills, students discussed “improving [their] accent,” “using clear and concise
speech,” and the importance of “phonetics, or trying to make sure [they were] speaking and
pronouncing words clearly so the residents could understand [them].” Students “realized that speaking
in a direct and simple manner is necessary when speaking to others of a different language.”

Kompetensi Komunikasi
Akhirnya, siswa mendapatkan ganbaran kompetensi dalam keterampilan komunikasi mereka selama
tugas service learning. Serupa dengan beradaptasi dengan situasi baru, siswa dilaporkan memperoleh
perilaku verbal dan nonverbal baru saat berkomunikasi antar budaya. Perbedaan antara keduanya
adalah bahwa dalam situasi baru dan berbeda, siswa merespons dengan menyesuaikan komunikasi
mereka, sedangkan dalam pembelajaran layanan siswa dilaporkan mendapatkan perilaku atau tingkat
kompetensi baru. Dalam hal kemampuan komunikasi verbal, siswa mendiskusikan "memperbaiki
aksen mereka," "menggunakan ucapan yang jelas dan ringkas," dan pentingnya "fonetik, atau
mencoba memastikan [mereka] berbicara dan mengucapkan kata-kata dengan jelas sehingga
penghuninya bisa mengerti "mereka." Siswa "menyadari bahwa berbicara secara langsung dan
sederhana diperlukan saat berbicara dengan orang lain dengan bahasa yang berbeda.

26
Many students discussed nonverbal behaviors and facial expressions. One student discussed
developing “nonverbal communication skills with the residents by utilizing friendly expressions, such
as smiling.” Another student stated, “Body language was very important, as being extravagant and
obnoxious would have probably not been a good idea, so I kept my body language a bit toned down.”
Students realized the importance of nonverbal communication because “communication is all about
conveying your messages to other people clearly and unambiguously. . . . Sometimes verbal
communication alone was too confusing for those not fluent in English.” As important as verbal and
nonverbal behaviors are to the communication process, students believed that “listening is what
matter[s] most.” Many students talked about “actively listening,” “listening harder,” “being more of a
sympathetic listener,” “listening mindfully,” and “how to listen better.” All of these students realized
that they “need to listen and listening is a very important part of the communication process.” As one
student noted, he “became a much better listener because let’s face it, senior citizens love to tell
stories.” He realized, in his service learning context, the importance of listening in this situation and
how listening influences the communication process.

Banyak siswa mendiskusikan perilaku nonverbal dan ekspresi wajah. Seorang siswa
mendiskusikan pengembangan "keterampilan komunikasi nonverbal dengan penduduk dengan
memanfaatkan ungkapan ramah, seperti tersenyum." Seorang siswa lain menyatakan, "Bahasa tubuh
sangat penting, karena terlalu boros dan menjengkelkan mungkin bukan ide bagus, jadi saya
menyimpan bahasa tubuh sedikit kencang. "Siswa menyadari pentingnya komunikasi nonverbal
karena" komunikasi adalah tentang menyampaikan pesan Anda kepada orang lain dengan jelas dan
tidak ambigu. . . . Kadang komunikasi verbal saja terlalu membingungkan bagi mereka yang tidak
fasih berbahasa Inggris. "Sama pentingnya dengan perilaku verbal dan nonverbal terhadap proses
komunikasi, siswa percaya bahwa" mendengarkan adalah hal yang paling penting. "Banyak siswa
berbicara tentang" mendengarkan secara aktif, "" Mendengarkan dengan lebih keras, "" lebih sebagai
pendengar yang simpatik, "" mendengarkan dengan penuh perhatian, "dan" bagaimana mendengarkan
dengan lebih baik. "Semua siswa ini menyadari bahwa mereka" perlu mendengarkan dan
mendengarkan adalah bagian yang sangat penting dari proses komunikasi. "Sebagai seorang siswa
mencatat, dia" menjadi pendengar yang jauh lebih baik karena mari kita hadapi itu, orang tua suka
menceritakan kisahnya. "Dia menyadari, dalam konteks pelayanannya, pentingnya mendengarkan
dalam situasi ini dan bagaimana mendengarkan mempengaruhi proses komunikasi.

With an understanding of how the students integrated what they were learning into competent
communication behavior, it is important to discuss the implications of the social and ethical
responsibility the students acquired.

27
Dengan pemahaman tentang bagaimana siswa mengintegrasikan apa yang mereka pelajari ke
dalam perilaku komunikasi yang kompeten, penting untuk mendiskusikan implikasi tanggung jawab
sosial dan etika yang diperoleh siswa.

Personal and Social Responsibility


Along with cognitive, behavioral, and integrative behaviors, students also reported a feeling of
personal and social responsibility regarding their service learning assignment and intercultural
experience. This general education outcome includes civic knowledge and engagement, intercultural
knowledge and competence, ethical reasoning, and action (aac&u, 2013). We can see examples of
these in the students’ responses. In particular, students addressed personal awareness and intercultural
awareness.

Tanggung Jawab Pribadi dan Sosial


Seiring dengan perilaku kognitif, perilaku, dan integratif, siswa juga melaporkan adanya perasaan
tanggung jawab pribadi dan sosial mengenai tugas belajar mengajar dan pengalaman antar budaya
mereka. Hasil pendidikan umum ini mencakup pengetahuan dan keterlibatan warga negara,
pengetahuan dan kompetensi antarbudaya, penalaran etis, dan tindakan (aac & u, 2013). Kita dapat
melihat contoh-contoh ini dalam tanggapan siswa. Secara khusus, siswa berbicara tentang kesadaran
pribadi dan kesadaran antar budaya.

Personal Awareness
Students reported becoming personally aware of the need for intercultural communication competence
during the service learning experience by recognizing their own characteristics and traits, as well as a
cultural awareness about what their own cultures portray to other cultures. Students reported gaining
patience, working on their approachability, and becoming more comfortable when communicating in
intercultural contexts. One student wrote: “I gained communication skills in the sense that I am no
longer as nervous and afraid to speak . . . but rather can communicate openly and effectively.”
Another student stated, “To be honest I was completely terrified about communicating with these
people at first but as time went on I learned that you don’t necessarily need to adapt or be an identity
tourist to communicate its more about being honest and comfortable with this specific group of people
and as a result I feel like I’ve become a little more honest and comfortable.” Students also realized
that they needed “to be more understanding of others” and realized that they had preconceived
stereotypes and prejudices about other cultural groups. One student reported that during the service
learning assignment she “was able to practice rejecting popular culture and the cultural influences
they portray.”

28
Kesadaran Pribadi
Siswa dilaporkan menjadi sadar akan kebutuhan akan kompetensi komunikasi interkultural selama
pengalaman service learning dengan mengenali karakteristik dan sifat mereka sendiri, serta kesadaran
budaya tentang budaya mereka sendiri yang menggambarkan budaya lain. Siswa melaporkan
mendapatkan kesabaran, bekerja pada pendekatan mereka, dan menjadi lebih nyaman saat
berkomunikasi dalam konteks antarbudaya. Seorang siswa menulis: "Saya mendapatkan kemampuan
komunikasi dalam arti bahwa saya tidak lagi merasa gugup dan takut untuk berbicara. . . melainkan
lebih bisa berkomunikasi secara terbuka dan efektif. "Seorang siswa lain menyatakan," Sejujurnya
saya benar-benar takut untuk berkomunikasi dengan orang-orang ini pada awalnya tapi seiring
berjalannya waktu saya belajar bahwa Anda tidak perlu beradaptasi atau menjadi turis identitas untuk
Berkomunikasi lebih tentang bersikap jujur dan nyaman dengan kelompok orang tertentu ini dan
sebagai hasilnya saya merasa seperti saya telah menjadi sedikit lebih jujur dan nyaman. "Siswa juga
menyadari bahwa mereka membutuhkan" untuk lebih memahami orang lain "dan menyadari bahwa
mereka telah menemukan stereotip dan prasangka tentang kelompok budaya lainnya. Seorang siswa
melaporkan bahwa selama tugas pembelajaran tugas, dia "dapat berlatih menolak budaya populer dan
pengaruh budaya yang mereka gambarkan."

Another aspect of personal awareness was a realization of the power related to their cultural
group. For example, students addressed working with “those less fortunate” and of “lesser status.” As
students became aware of their culture, they learned the power that comes with that culture. One
student discussed how he “learned how to communicate with people who are different from [him] and
in kind of a unique situation where they were vulnerable and probably very self-conscious about being
at the food pantry and needing help.” Another student realized how the service learning experience
“promoted awareness of cultural respect, and showed the importance of not being intimidating to
others when speaking to minority culture groups.” Students also reported understanding the
importance of not looking down on other cultural groups. This power differential was an important
aspect of students’ personal awareness, but it directly ties to an awareness of other cultures.

Aspek lain dari kesadaran pribadi adalah realisasi kekuatan yang terkait dengan kelompok
budaya mereka. Misalnya, siswa dialamatkan dengan "orang-orang yang kurang beruntung" dan
"status yang lebih rendah." Ketika para siswa menyadari budaya mereka, mereka belajar tentang
kekuatan yang menyertainya. Seorang siswa mendiskusikan bagaimana dia "belajar bagaimana
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda dari dia dan dalam situasi unik dimana mereka
rentan dan mungkin sangat sadar diri berada di dapur makanan dan membutuhkan pertolongan."
Siswa lain menyadari bagaimana pengalaman service learning "mempromosikan kesadaran akan rasa
hormat budaya, dan menunjukkan pentingnya untuk tidak mengintimidasi orang lain saat berbicara
dengan kelompok budaya minoritas." Para siswa juga melaporkan bahwa mereka memahami

29
pentingnya tidak memandang rendah kelompok budaya lainnya. Perbedaan kekuatan ini merupakan
aspek penting dari kesadaran pribadi siswa, namun secara langsung terkait dengan kesadaran akan
budaya lain.

Intercultural Awareness
The second major aspect of personal and ethical responsibility is intercultural awareness. This aspect
revolves around students’ understanding and awareness of the intercultural groups around them.
Students realized that “there were language, culture, and even some health barriers” when
communicating withmembers of a different culture. Some students realized that people have
“different social and cultural identities than [the students’], which included age identity, racial and
ethnic identity, religious identity, class identity, and national identity.”

Kesadaran Antarbudaya
Aspek utama kedua dari tanggung jawab pribadi dan etika adalah kesadaran lintas budaya. Aspek ini
berkisar pada pemahaman dan kesadaran siswa terhadap kelompok antar budaya di sekitar mereka.
Siswa menyadari bahwa "ada bahasa, budaya, dan bahkan beberapa hambatan kesehatan" saat
berkomunikasi dengan anggota budaya yang berbeda. Beberapa siswa menyadari bahwa orang
memiliki "identitas sosial dan budaya yang berbeda dari pada [siswa], yang mencakup identitas usia,
identitas rasial dan etnis, identitas agama, identitas kelas, dan identitas nasional."

These identities played a role in how students interacted in their service learning
environments. A student reported that she had to “keep in mind the differences in culture and history
between [herself] and who [she was] communicating with.” Those differences impacted how students
communicated in these intercultural situations. For example, one student stated, “Essentially, I learned
to be sensitive to others and their situations.” Another responded, “I learned how to work with people
who are from different cultural and economic backgrounds. . . . I have also learned to be respectful of
people’s cultures and families.” Therefore, students realized the importance of understanding “people
of other statuses and cultures” in their daily lives.

Identitas ini berperan dalam bagaimana siswa berinteraksi dalam lingkungan service learning
mereka. Seorang siswa melaporkan bahwa dia harus "mengingat perbedaan dalam budaya dan sejarah
antara [dirinya] dan siapa yang dia komunikasikan." Perbedaan tersebut mempengaruhi bagaimana
siswa berkomunikasi dalam situasi antarbudaya ini. Misalnya, seorang siswa menyatakan, "Intinya,
saya belajar untuk peka terhadap orang lain dan situasi mereka." Seorang lainnya menanggapi, "Saya
belajar bagaimana bekerja dengan orang-orang yang berasal dari latar belakang budaya dan ekonomi
yang berbeda. . . . Saya juga belajar untuk menghormati budaya dan keluarga orang. "Oleh karena itu,

30
siswa menyadari pentingnya memahami" orang-orang dari status dan budaya lain "dalam kehidupan
sehari-hari mereka.

In addition, many students reflected upon their realization that, in the end, there are more
similarities than differences between cultures. One student reported, “All of us are humans, and
everyone must be treated with respect.” Another “accepted the fact that the world is a diverse place
with many different people and we all need to work together.” Students also discussed how working
in intercultural contexts made them realize that people need to come together to get tasks
accomplished. For example, one student “developed a sense of unity with others who are different
nationalities in [his or her] work.” Though students addressed the differences and became aware of
other cultural groups, in the end they realized that “everyone is the same” and we need to work
together to create a better world in the future.
Selain itu, banyak siswa mencerminkan kesadaran mereka bahwa, pada akhirnya, ada lebih
banyak kesamaan daripada perbedaan antar budaya. Seorang siswa melaporkan, "Kita semua adalah
manusia, dan setiap orang harus diperlakukan dengan hormat." Yang lain "menerima kenyataan
bahwa dunia adalah tempat yang beragam dengan banyak orang dan kita semua perlu bekerja sama."
Siswa juga mendiskusikan bagaimana bekerja dalam konteks antarbudaya, mereka menyadari bahwa
orang perlu berkumpul untuk menyelesaikan tugas. Misalnya, seorang siswa "mengembangkan rasa
persatuan dengan orang lain yang memiliki kebangsaan yang berbeda dalam pekerjaannya." Meskipun
para siswa membahas perbedaan dan menjadi sadar akan kelompok budaya lain, pada akhirnya
mereka menyadari bahwa "setiap orang adalah sama. "Dan kita perlu bekerja sama untuk menciptakan
dunia yang lebih baik di masa depan.

Implications and Future Research


This study explored the intersection of service learning in communication courses and general
education through the self-reflections of students who completed service as part of the requirements
of an academic course at a midsized Upper Plains university. Specifically, the research question
sought to identify how general education outcomes were evident in student self-reflections about their
service learning experiences. The findings clearly suggest a connection between service learning and
general education outcomes, as well as supporting particular assessment techniques as viable ways to
secure data that can be used to justify service learning as a part of all general education courses and as
something to be included across the curriculum

Implikasi dan Penelitian Selanjutnya


Studi ini mengeksplorasi persimpangan sevice learning dalam kursus komunikasi dan pendidikan
umum melalui refleksi diri siswa yang menyelesaikan pelayanan sebagai bagian dari persyaratan
kursus akademis di universitas Upper Plains. Secara khusus, pertanyaan penelitian berusaha untuk

31
mengidentifikasi bagaimana hasil pendidikan umum terlihat dalam refleksi diri siswa tentang
pengalaman service learning mereka. Temuan ini jelas menunjukkan hubungan antara service learning
dan hasil pendidikan umum, serta mendukung teknik penilaian tertentu sebagai cara yang layak untuk
mengamankan data yang dapat digunakan untuk membenarkan service learning sebagai bagian dari
semua kursus pendidikan umum dan sebagai sesuatu yang harus disertakan di seluruh kurikulum

The findings extend what is known about assessing service learning and general education
outcomes, as students reported their increased knowledge, changed communication behaviors, and
increased communication competence. In addition, service learning was found to have enhanced
students’ understanding of personal and social responsibility. In this case, students gained knowledge
of human cultures by having the opportunity to work with different cultural groups. They used their
intellectual skills as they applied classroom concepts to real-world contexts. Through extended
practice, their integrative skills were strengthened as they progressively dealt with different problems,
projects, and performance standards posed by their service learning experience. As they increased
their knowledge of cultures and the world around them, some were challenged to consider their own
ethical reasoning and action. These opportunities are in line with the Liberal Education and America’s
Promise initiative (aac&u, 2013).

Temuan ini memperluas apa yang diketahui tentang menilai servoce learning dan hasil
pendidikan umum, karena siswa melaporkan peningkatan pengetahuan mereka, mengubah perilaku
komunikasi, dan meningkatkan kompetensi komunikasi. Selain itu, service learning ternyata telah
meningkatkan pemahaman siswa tentang tanggung jawab pribadi dan sosial. Dalam hal ini, siswa
mendapatkan pengetahuan tentang budaya manusia dengan memiliki kesempatan untuk bekerja
dengan kelompok budaya yang berbeda. Mereka menggunakan keterampilan intelektual mereka saat
mereka menerapkan konsep kelas ke konteks dunia nyata. Melalui latihan yang diperluas,
keterampilan integratif mereka diperkuat saat mereka semakin mengalami masalah, proyek, dan
standar kinerja yang berbeda yang dipandu oleh pengalaman service learning mereka. Ketika mereka
meningkatkan pengetahuan mereka tentang budaya dan dunia di sekitar mereka, beberapa orang
tertantang untuk mempertimbangkan penalaran dan tindakan etis mereka sendiri. Peluang ini sejalan
dengan prakarsa Liberal Education and America's Promise (aac & u, 2013).

Another implication of this study is the affirmation of assessment as a way to determine


whether students are meeting the general education outcomes. Clearly, assessment tools exist (Tebo-
Messina & Prus, 1995). In this instance, questionnaires to elicit responses and self-reflection to
provide students with the opportunity to deeply consider their experience provided sufficient
assessment data for the researchers to conclude that service learning outcomes and general education
outcomes intersected. This finding is useful for classroom instructors seeking tools to assess their own

32
service learning assignments. Asking students to provide reflective responses focused on what they
learned from a service learning experience can serve as a guide for strengthening curriculum if
particular outcomes are not surfacing from a review of their comments.

Implikasi lain dari penelitian ini adalah penegasan asesmen sebagai cara untuk menentukan
apakah siswa memenuhi hasil pendidikan secara umum. Jelas, alat penilaian dengan (Tebo-Messina
& Prus, 1995). Dalam contoh ini, kuesioner untuk memperoleh tanggapan dan refleksi diri untuk
memberi kesempatan kepada siswa untuk mempertimbangkan secara mendalam pengalaman mereka
memberikan data penilaian yang memadai bagi para peneliti untuk menyimpulkan bahwa hasil service
learning dan hasil pendidikan umum bertemu. Temuan ini berguna bagi instruktur kelas yang mencari
alat untuk menilai tugas service learning mereka sendiri. Meminta siswa untuk memberikan
tanggapan reflektif yang berfokus pada apa yang mereka pelajari dari pengalaman service learning
dapat menjadi panduan untuk memperkuat kurikulum jika hasil tertentu tidak muncul dari tinjauan
komentar mereka.

While service learning can contribute to any general education course, it is particularly
meaningful in communication courses (Oster-Aaland et al., 2004). However, there were limitations of
the present study that may have influenced the findings. One limitation may be reflected in social
desirability bias. Because the service learning assignment was a required component of the course,
there may have been a tendency for students to comment as they thought the professor might expect.
Another limitation of the present study is the nature of the participants and the settings into which
they went for their service learning experience. Given the region of the country in which the study
occurred, students experienced mostly economic and social diversity, rather than ethnic diversity. The
position of social power enjoyed by the students became more apparent as their service progressed.
Future research could explore the outcomes identified by students engaging in service learning in
more culturally diverse locations where social power may not be as pronounced. Similarly, an
examination of differences among the participants may yield insight into how particular outcomes
may be recognized more readily based upon sex, ethnicity, or social status.

Sementara service learning dapat berkontribusi pada kursus pendidikan umum, ini sangat
bermakna dalam kursus komunikasi (Oster-Aaland et al., 2004). Namun, ada keterbatasan penelitian
saat ini yang mungkin mempengaruhi temuan. Satu batasan dapat tercermin dalam bias keinginan
sosial. Karena tugas service learning adalah komponen pelajaran yang dipersyaratkan, mungkin ada
kecenderungan siswa untuk berkomentar seperti yang diperkirakan Profesor. Keterbatasan lain dari
penelitian ini adalah sifat peserta dan pengaturan di mana mereka mengikuti pengalaman service
learning mereka. Mengingat wilayah negara tempat studi tersebut terjadi, siswa sebagian besar
mengalami keragaman ekonomi dan sosial, dan bukan keragaman etnis. Posisi kekuatan sosial yang

33
dinikmati oleh para siswa menjadi semakin nyata saat layanan mereka berkembang. Penelitian di
masa depan dapat mengeksplorasi hasil yang diidentifikasi oleh siswa yang terlibat dalam service
learning di lokasi yang lebih beragam secara budaya di mana kekuatan sosial mungkin tidak
diucapkan. Demikian pula, pemeriksaan perbedaan di antara para peserta dapat menghasilkan
wawasan tentang bagaimana hasil tertentu dapat dikenali lebih mudah berdasarkan jenis kelamin,
etnisitas, atau status sosial.

Robert S. Littlefield (Ph.D., University of Minnesota) is a professor of communication at North


Dakota State University in Fargo. His research interests include risk and crisis communication,
intercultural communication, and emergency management. His work has appeared in the Journal of
Applied Communication Research; the Journal of Intercultural Communication Research;
Communication, Culture and Critique; and Argumentation and Advocacy. His is co-author of
Effective Risk Communication: A Message-Centered Approach and has published several
monographs for researchers and scholars working with multicultural publics. He is the immediate past
editor of Communication Studies, a journal sponsored by the Central States Communication
Association.

Jessica M. Rick (M.A., North Dakota State University) is a doctoral candidate at the University of
Missouri. She studies the communicative constructions of identity and stigma as gender, social class,
and family diversity intersect, primarily within work-life contexts. Recent projects have focused on
the societal discourses surrounding gender and stay-at-home parenting, social class influences on
work-like balance, gendered experiences of engineering students, and the stigmas surrounding
unemployment. She is currently studying how parent workers and childfree workers navigate
flexibility stigma in the workplace.

Jenna L. Currie-Mueller (M.S., North Dakota State University) is a doctoral student in the
Department of Communication at North Dakota State University. She is studying media and society
and organizational communication, with an emphasis in emergency management. Her research
interests include risk and crisis communication, media framing, and supervisor-subordinate
relationships in organizations.

Works Cited
Applegate, J. L., & Morreale, S. P. (1999). Service-learning in communication: A natural partnership.
In D. Droge & B. O. Murphy (Eds.), Voices of strong democracy: Concepts and models for
service-learning in communication studies (pp. ix–xiv). Sterling, Calif.: Stylus.
Association of American Colleges and Universities. (2013). Liberal Education and America’s
Promise. Retrieved from http://www.aacu.org/leap.

34
Britt, L. L. (2012). Why we use service-learning: A report outlining a typology of three approaches to
this form of communication pedagogy. Communication Education, ��, 80–88.
Brownell, J. E., & Swaner, L. E. (2010). Five high-impact practices: Research on learning outcomes,
completion, and quality. Washington, D.C.: American Association of Colleges and
Universities.
Dewey, J. (1938). Experience and education. New York: Macmillan.
Duncan, D., & Kopperud, J. (2008). Service-learning companion. Boston: Houghton Mifflin.
Floumay, C. (2007). Doing learning: Investigative reporting and service learning. Journalism and
Mass Communication Educator, �, 47–61.
Gelmon, S. B., Holland, B. A., Driscoll, A., Spring, A., & Kerrigan, S. (2001). Assessing service-
learning and civic engagement: Principles and techniques. Providence, R.I.: Campus Compact,
Brown University.
Katula, R. A., & Threnhauser, E. (1999). Experiential education in the undergraduate curriculum.
Communication Education, ��, 238–55.
Kolb, D. A. (1981). Learning styles and disciplinary differences. In A. W. Chickering (Ed.), The
modern American college: Responding to the new realities of diverse students and a changing
society (pp. 232–55). San Francisco: Jossey-Bass.
Neuendorf, K. A. (2002). The content analysis guidebook. Thousand Oaks, Calif.: sage.
Novak, J. M., Markey, V., & Allen, M. (2007). Evaluating cognitive outcomes of service learning in
higher education: A meta-analysis. Communication Research Reports, (2), 149–57.
doi:10.1080/08824090701304881.
Office of Registration and Records. (2013). General education program: Intended student outcomes.
Oster-Aaland, L. K., Sellnow, T. L., Nelson, P. E., & Pearson, J. C. (2004). The status of service
learning in departments of communication: A follow-up study. Communication Education, 􀅻􀅻,
348–56.
Penn, J. D. (2011). The case for assessing complex general education student learning outcomes. New
Directions for Institutional Research, 􀅻􀅻􀅻, 5–14. doi:10.1002/ir.376.
Quintanilla, K. M., & Wahl, S. T. (2005). Incorporating service learning into communication courses:
Benefits, guidelines, and challenges. Texas Speech Communication Journal, 􀅻􀅻, 67–97.
Tebo-Messina, M., & Prus, J. (1995, June 11–14). Assessing general education: An overview of
methods. Paper presented at the American Association for Higher Education 10th Annual
Conference on Assessment and Quality, Boston.
Walvoord, B. E. (2004). Assessment clear and simple: A practical guide for institutions, departments,
and general education. San Francisco: Jossey-Bass.
Wehlburg, C. M. (2010). Meaningful general education assessment that is integrated and transfor-
mative. New Directions for Teaching and Learning, 􀅻􀅻􀅻, 89–97. doi:10.1002/tl.391.

35
Yin, A. C., & Volkwein, J. (2010). Assessing general education outcomes. New Directions for
Institutional Research, 􀅻􀅻􀅻􀅻, 79–100. doi:10.1002/ir.332.

36

S-ar putea să vă placă și