Sunteți pe pagina 1din 26

REFERAT

“SIFILIS”

Pembimbing:

dr. Adi Rachmanadi, Sp.OG

Disusun oleh:

Tri Hartanto 1620221170

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KANDUNGAN


DAN KEBIDANAN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA

PERIODE 15 OKTOBER – 22 DESEMBER 2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

KOORDINATOR KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN

KANDUNGAN DAN KEBIDANAN

REFERAT

SIFILIS

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

Di Departemen Ilmu Kesehatan Kandungan dan Kebidanan

Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun oleh:

Tri Hartanto 1620221170

Ambarawa, Desember 2018

Telah dibimbing dan disahkan oleh,

dr. Hary Purwoko, Sp.OG, KFER dr. Adi Rachmanadi, Sp.OG

Kepala Departemen Pembimbing

2
Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul “Sifilis”.

Penulisan referat ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik
Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Kesehatan Kandungan dan Kebidanan
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa. Penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakasih
kepada dr. Adi Rachmanadi, Sp.OG selaku dokter pembimbing dan teman–teman coass
yang membantu dalam pembuatan referat ini. Penulis menyadari dalam penyusunan referat
ini masih banyak kekurangan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca.

Semoga referat ini dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca dan bermanfaat
bagi semua pihak yang berkepentingan dalam ilmu kedokteran.

Ambarawa, Desember 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………… 2

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………. 3

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. 4

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………… 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………..……….………………. 6

A. DEFINISI ………………………………………………………………… 6
B. ETIOLOGI ……………………………………………………………….. 6
C. KLASIFIKASI …………………………………………………………… 7
D. PATOGENESIS ………………………………………………………….. 7
E. MANIFESTASI KLINIS ………………………………………………… 8
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG ………………………………………… 19
G. PENATALAKSANAAN ………………………………………………… 21
H. TINDAK LANJUT ………………………………………………………. 23
I. PROGNOSA …………………………………………………………….. 24

BAB III KESIMPULAN ………………………………………………………… 25

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… 26

4
BAB I

PENDAHULUAN

Sifilis merupakan salah satu penyakit menular Seksual yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Treponema Pallidum yang bersifat akut dan kronis. Penularannya melalui kontak
seksual. Infeksi ini juga dapat ditularkan dari ibu ke janin selama kehamilan atau saat
kelahiran, yang menyebabkan terjadinya sifilis kongenital. Jika terdeteksi secara dini, sifilis
dapat disembuhkan dengan antibiotika. Tetapi jika tak diobati, sifilis dapat berkembang ke
fase selanjutnya.1

Negara seperti Amerika Latin dan Karibia pertambahan jumlah kasus baru
diperkirakan 3 juta jiwa. Beberapa studi, kasus Sifilis saat ini banyak ditemukan pada
kelompok Transgender. Studi pada kelompok Transgender muda di Chicago terjadi
peningkatan 1,3% (2005-2008) menjadi 10,1% pada Tahun 2009. Insiden sifilis pada wanita
tertinggi pada usia 20 sampai 24 tahun dan pada laki-laki 35 sampai 39 tahun. Sementara
kasus sifilis kongenital pada bayi baru lahir meningkat dari 2009 sampai 2010, dari 339
kasus baru pada tahun 2009 menjadi 349 kasus pada 2010. Pada tahun 2010 tercatat 64%
dari kasus sifilis dilaporkan terjadi pada homo seksual (World Health Organization, 2010).

Menurut Kementrian Kesehatan RI (2012) melalui Surveilans Terpadu Biologis dan


Perilaku (STBP) bahwa pada tahun 2011 angka kejadian sifilis di Indonesia diderita oleh
waria sebesar 25%, pekerja seks langsung sebesar 10%, pria yang berhubungan seks sesama
pria sebesar 10%, pekerja seks tidak langsung sebesar 3% dan narapidana sebesar 3%.2 Jika
tidak diobati, angka mortalitas mencapai 8% hingga 58%, dengan kematian lebih tinggi ada
laki-laki. Keparahan gejala sifilis berkurang selama abad ke-19 dan 20, sebagian karena
semakin banyaknya ketersediaan pengobatan efektif dan karena penurunan virulens dari
spirochaete. Dengan pengobatan dini, komplikasi lebih sedikit. Sifilis meningkatkan risiko
penularan HIV dua hingga lima kali, dan infeksi lainnya juga banyak terjadi.

Meskipun kejadian sifilis sudah menurun, penyakit ini harus mendapat perhatian.
Hampir semua system dalam tubuh dapat diserang termasuk system kardiovaskuler dan
saraf. Selain itu wanita hamil dapat menularkan pada janinnya sehingga menyebabkan sifilis
congenital yang dapat mengakibatkan kelainan bawaan dan kematian.3

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum yang
sangat kronis dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir
seluruh alat tubuh, dapat mnyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten dan
dapat ditularkan dari ibu ke janin.4
B. Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman ialah
Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia Spirochaetaceae,
dan genus Treponema. Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15 um,
lebar 0,15 um, terdiri atas delapan sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya
berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol. Membiak
secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam.
Pembiakan pada umumya tidak dapat dilakukan diluar badan. Diluar badan kuman
tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk transfusi dapat hidup tujuh puluh
dua jam.4,8,9

6
C. Klasifikasi
Sifilis dibagi menjadi:
1.Sifilis kongenital
a. Dini : Sebelum 2 tahun
b. Lanjut: Sesudah 2 tahun
c.Stigmata
2. Sifilis Akuisita (didapat): Sifilis akuisita dapat dibagi menurut dua cara:
a. Secara klinis dibagi menjadi tiga stadium:
1.Stadium I (SI)
2.Stadium II (SII)
3.Stadium III (SIII)
b. Secara epidemiologi menurut WHO dibagi menjadi:
1.Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi) : terdiri atas SI, SII,
Stadium rekuren dan stadium laten dini.
2.Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), tediri atas
stadium laten lanjut dan SIII.4,11
D. Patogenesis
1. Stadium Dini
T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir, biasanya
melalui sanggama. Kuman tersebut membiak jaringan bereaksi dengan
membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel- sel plasma, terutama
di perivaskular, pembuluh- pembuluh darah kecil berproliferasi di kelilingi oleh
T. pallidum dan sel-sel radang. Treponema tersebut terletak di antara endotelium
kapiler dan jaringan perivaskular disekitarnya. Kehilangan pendarahan akan
menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S1. Sebelum S1
terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen
dan membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen dan menyebar
kesemua jaringan di badan, tetapi manifestasinya akan tampak kemudian.4
Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai SII, yang terjadi enam sampai
delapan minggu sesudah S1. S1 akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di
tempat tersebut jumlahnya berkurang, kemudian terbentuklah fibroblas-fibroblas
dan akhirnya sembuh berupa sikatriks. SII juga mengalami regresi perlahan-
lahan dan lalu menghilang. Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala,
7
meskipun infeksi yang aktif masih terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini
seorang ibu dapat melahirkan bayi dengan sifilis kongenital. Kadang-kadang
proses imunitas gagal mengontrol infeksi sehingga T.pallidum membiak lagi
pada tempat SI dan menimbulkan lesi rekuren atau kuman tersebut menyebar
melalui jaringan menyebabkan reaksi serupa dengan lesi rekuren S II, yang
terakhir ini lebih sering terjadi daripada yang terdahulu. Lesi menular tersebut
dapat timbul berulang-ulang, tetapi pada umumnya tidak melebihi 2 tahun.4
2. Stadium Lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun dan keadaan treponema dalam
keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam serum penderita.
Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat berubah karena sebabnya
belum jelas, kemungkinan trauma merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada
saat itu munculah S III berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak
dapat ditemukan T. pallidum namun reaksinya hebat karena bersifat destruktif
dan berlangsung bertahun-tahun. Setelah mengalami masa laten yang bervariasi
guma tersebut timbul di tempat-tempat lain. Treponema mencapai sistem
kardiovaskular dan sistem saraf pada waktu dini, tetapi kerusakan menjadi
perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan
gejala klinis. Penderita dengan guma biasanya tidak mendapat gangguan saraf
dan kardiovaskular, demikian pula sebaliknya. Kira-kira dua pertiga kasus
dengan stadium laten tidak memberi gejala.4
E. Manifestasi Klinis
1. Sifilis Akuisita
a) Sifilis Dini
1) Sifilis Primer (SI)
Sifilis primer biasanya ditandai oleh tukak tunggal (disebut chancre), tetapi
bisa juga terdapat tukak lebih dari satu. Tukak dapat terjadi dimana saja di
daerah genitalia eksterna yaitu 3 minggu setelah kontak. Lesi awal biasanya
berupa papul yang mengalami erosi, teraba keras karena terdapat indurasi.
Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Ukurannya bervariasi
dari beberapa mm sampai dengan 1-2 cm. Bagian yang mengelilingi lesi
meninggi dan keras. Bila tidak disertai infeksi bakteri lain, maka akan
berbentuk khas dan hampir tidak ada rasa nyeri. Kelainan tersebut
dinamakan afek primer. Pada pria tempat yang sering dikenai ialah sulkus
8
koronarius, sedangkan pada wanita di labia minor dan mayor. Selain itu
juga dapat di ekstragenital, misalnya di lidah, tonsil, dan anus. Pada pria
selalu disertai pembesaran kelenjar limfe inguinal medial
unilateral/bilateral. Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat
pembesaran kelenjar getah bening regional di inguinalis medialis.
Keseluruhannya disebut kompleks primer. Kelenjar tersebut solitar,
indolen, tidak lunak, besarnya biasanya lentikular, tidak supuratif, dan
tidak terdapat periadenitis. Kulit di atasnya tidak menunjukkan tanda-tanda
radang akut. Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai
sepuluh minggu. Istilah syphilis d'emblee dipakai, jika tidak terdapat afek
primer. Kuman masuk ke jaringan yang lebih dalam, misalnya pada
transfuse darah atau suntikan.4,5,8

Ulkus Durum
2) Sifilis Sekunder (SII)
Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I dan
sejumlah sepertiga kasus masih disertai S I. Lama S II dapat sampai
sembilan bulan. Berbeda dengan S I yang tanpa disertai gejala konstitusi,
pada S II dapat disertai gejala tersebut yang terjadi sebelum atau selama S
II. Gejalanya umumnya tidak berat, berupa anoreksia, turunnya berat
badan, malaise, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan artralgia.
Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit,
selaput lendir, dan organ tubuh serta dapat disertai demam dan malaise.
Juga adanya kelainan kulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder,
bila ternyata pemeriksaan serologis reaktif. Lesi kulit biasanya simetris,
dapat berupa makula, papul, folikulitis, papula skuomosa, dan pustule,
jarang dijumpai keluhan gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada
9
sifilis kongenital. Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit
sehingga disebut the great imitator. Selain memberi kelainan pada kulit, SII
dapat juga memberi kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata,
hepar, tulang, dan saraf. Gejala lainnya adalah merasa tidak enak badan
(malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah, demam dan anemia.4,5

Bercak eritem pada SII


Bentuk Lesi
1. Roseola
Roseola ialah eritema makular, berbintik-bintik atau berbercak-bercak,
warna merah tembaga, berbentuk bulat atau lonjong, diameter 0,5-2 cm.
Roseola biasanya merupakan kelainan kulit yang pertama terlihat pada
S II dan disebut roseola sifilitika. Karena efloresensi tersebut merupakan
kelainan S II dini,maka seperti telah dijelaskan, lokalisasinya
generalisata dan simetrik, telapak tangan dan kaki ikut dikenai. Disebut
pula eksantema karena timbulnya cepat dan menyeluruh. Roseola akan
menghilang dalam beberapa hari atau minggu, dapat pula bertahan
hingga beberapa bulan. Kelainan tersebut dapat residif, jumlahnya
menjadi lebih sedikit, lebih lama bertahan, dapat anular, dan
bergerombol. Jika menghilang, umumnya tampak bekas, kadang kala
dapat meninggalkan bercak hipopigmentasi dan disebut leukoderma
sifilitikum. Jika roseola terjadi pada kepala yang berambut, dapat
menyebabkan rontoknya rambut.4,8

10
Roseola Sifilitika

2. Papul
Bentuk ini merupakan bentuk yang paling sering terlihat pada S II.
Bentuknya bulat, ada kalanya terdapat bersama dengan roseola. Papul
tersebut dapat berskuama yang terdapat di pinggir (koleret) dan disebut
papulo-skuamosa. Skuama dapat pula menutupi permukaan papul
sehingga mirip psoriasis, oleh karena itu dinamakan psoriasiformis. Jika
papul-papul tersebut menghilang dapat meninggalkan bercak
hipopigmentasi dan disebut leukoderma sifilitika, yang akan
menghilang perlahan-lahan. Pada S II dini, papul generalisata dan
simetrik, sedangkan pada yang lanjut bersifat setempat dan tersusun
secara teratur, arsinar, sirsinar, polisiklik, dan korimbiformis. Papul-
papul tersebut juga dapat dilihat pada sudut mulut, ketiak, di bawah
mammae, dan alat genital. 4,8
3. Pustul
Bentuk ini jarang terdapat. Mula-mula terbetuk banyak papul yang
menjadi vesikel dan kemudian terbentuk pustul, sehingga di samping
pustul masih pula terlihat papul. Timbulnya banyak pustul ini sering
disertai demam yang intermitten dan penderita tampak sakit lamanya
dapat berminggu-minggu. Kelaianan kulit demikian disebut sifilis
variseliformis karena menyerupai varisela.4
4. Bentuk lain
Kelainan lain yang dapat terlihat pada S II ialah banyak papul, pustul,
dan krusta yang berkonfluensi sehingga mirip impetigo, karena itu
disebut sifilis impetiginosa. Dapat pula timbul berbagai ulkus yang

11
tertutupi krusta yang disebut ektima sifilitikum. Bila krustanya tebal
disebut rupia sifilitika. Disebut sifilis ostrasea jika ulkus meluas ke
perifer sehingga berbentuk seperti kulit kerang. Sifilis yang berupa
ulkus-ulkus yang terdapat di kulit dan mukosa disertai demam dan
keadaan umum buruk disebut sifilis maligna yang dapat menyebabkan
kematian. Pada S II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut,
umumnya bersifat difus dan tidak khas, disebut alopecia difusa. Pada S
II yang lanjut dapat terjadi kerontokan setempat setempat, tampak
sebagai bercak yang ditumbuhi oleh rambut yang tipis, jadi tidak botak
seluruhnya, seolah-olah seperti digigit ngengat dan disebut alopesia
areolaris. Gejala dan tanda sifilis sekunder dapat hilang tanpa
pengobatan, tetapi bila tidak diobati,infeksi akan berkembang menjadi
sifilis laten atau sifilis stadium lanjut.4

S II pada wajah S II pada mulut

Alopecia Areolaris Sifilitika


3) Sifilis Laten Dini
Laten berarti tidak ada gejala klinis dan kelainan, termasuk alat-alat dalam,
tetapi infeksi masih ada dan aktif. Tes serologik darah positif, sedangkan

12
tes likuorserebrospinal negatif. Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan
TPHA. Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis, akan
tetapi pemeriksaan serologis reaktif. Dalam perjalanan penyakit sifilis
selalu melalui tingkat laten, selama bertahun-tahun atau seumur hidup.
Akan tetapi bukan berarti penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab
dapat berjalan menjadi sifilis lanjut, berbentuk gumma, kelainan susunan
syaraf pusat dan kardiovaskuler. Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun
atau berpuluh-puluh tahun atau bahkan sepanjang hidup penderita. Pada
awal fase laten kadang luka yang infeksius kembali muncul.4
4) Stadium Rekuren
Relaps dapat terjadi baik secara klinis berupa kelainan kulit mirip SII,
maupun serologik yang telah negatif menjadi positif terutama pada sifilis
yang tidak diobati atau yang mendapat pengobatan tidak cukup. Umumnya
bentuk relaps ialah SII, kadang-kadang SI. Kadang-kadang relaps terjadi
pada tempat afek primer dan disebut monorecidive.4
b) Sifilis Lanjut
1) Sifilis Laten Lanjut
Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tes
serologik. Lama masa laten beberapa tahun hingga bertahun-tahun, bahkan
dapat seumur hidup. Likuor serebrospinalis hendaknya diperiksa untuk
menyingkirkan neurosifilis asimtomatik. Demikian pula sinar-X aorta
untuk melihat, apakah ada orititis.4
2) Sifilis Tersier (SIII)
Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun setelah S
I. Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis,
biasanya melunak, dan destruktif. Besar guma bervariasi dari lentikular
sampai sebesar telur ayam. Kulit diatasnya mula-mula tidak menunjukkan
tanda-tanda radang akut dan dapat digerakkan. Setelah beberapa bulan
mulai melunak, biasanya mulai dari tengah, tanda-tanda radang mulai
tampak, kulit menjadi eritematosa dan livid serta melekat terhadap guma
tersebut. Kemudian terjadi perforasi dan keluarlah cairan seropurulen,
kadang-kadang sanguinolen. Pada beberapa kasus disertai jaringan
nekrotik. Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya
lonjong/bulat, dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong ke
13
luar. Beberapa ulkus berkonfluensi sehingga membentuk pinggir yang
polisiklik. Jika telah menjadi ulkus, maka infiltrat yang terdapat di
bawahnya yang semula sebagai benjolan menjadi datar. Tanpa pengobatan
guma tersebut akan bertahan beberapa bulan hingga beberapa tahun.
Biasanya guma solitar, tetapi dapat pula multipel, umumnya asimetrik.
Gejala umum biasanya tidak terdapat, tetapi jika guma multipel dan
perlunakannya cepat, dapat disertai demam. Selain guma, kelainan yang
lain pada S III ialah nodus. Mula-mula dikutan kemudian ke epidermis,
pertumbuhannya lambat yakni beberapa minggu/bulan dan umumnya
meninggalkan sikatriks yang hipotrofi. Nodus tersebut dalam
perkembangannya mirip guma, mengalami nekrosis di tengah dan
membentuk ulkus. Dapat pula tanpa nekrosis dan menjadi sklerotik.
Perbedaannya dengan guma, nodus lebih superfisial dan lebih kecil (miliar
hingga lentikular), lebih banyak, mempunyai kecenderungan untuk
bergerombol atau berkonfluensi; selain itu tersebar (diseminata). Warnanya
merah kecoklatan. Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat tumbuh terus
secara serpiginosa. Bagian yang belum sembuh dapat tertutup skuama
seperti lilin dan disebut psoriasiformis. Kelenjar getah bening regional
tidak membesar. Kelainan yang jarang ialah yang disebut nodositas juxta
articularis berupa nodus-nodus subkutan yang fibrotik, tidak melunak,
indolen, biasanya pada sendi besar.4

Guma Pada S III

14
SIII pada Mukosa
Guma juga ditemukan di selaput lendir, dapat setempat atau menyebar.
Yang setempat biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi.
Seperti biasanya akan melunak dan membentuk ulkus, bersifat destruktif
jadi dapat merusak tulang rawan septum nasi atau palatum mole hingga
terjadi perforasi. Pada lidah yang tersering ialah guma yang nyeri dengan
fisur-fisur tidak teratur serta leukoplakia
SIII pada Tulang
Paling sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula, dan
humerus. Gejala nyeri, biasanya pada malam hari. Terdapat dua bentuk,
yakni periostitis gumatosa dan osteitis gumatosa, kedua-duanya dapat
didiagnosis dengan sinar-X
SIII pada Alat Dalam
Hepar merupakan organ intra abdominal yang paling sering diserang.Guma
bersifat multipel, jika sembuh terjadi fibrosis, hingga hepar mengalami
retraksi, membentuk lobus-lobus tidak teratur yang disebut hepar lobatum.
Esofagus dan lambung dapat pula dikenai, meskipun jarang. Guma dapat
menyebabkan fibrosis. Pada paru juga jarang, guma solitar dapat terjadi di
dalam atau di luar bronkus; jika sembuh terjadi fibrosis dan menyebabkan
bronkiektasi. Guma dapat menyerang ginjal, vesika urinaria, dan prostat,
meskipun jarang. S III pada ovarium jarang, pada testis kadang-kadang
berupa guma atau fibrosis interstisial, tidak nyeri, permukaannya rata dan
unilateral. Kadang kadang memecah ke bagian anterior skrotum

2. Sifilis Kardiovaskuler
Sifilis kardiovaskular bermanifestasi pada S III, dengan masa laten 15-30 tahun.
Umumnya mengenai usia 40-50 tahun. Insidens pada pria lebih banyak tiga kali
daripada wanita. Biasanya disebabkan karena nekrosis aorta yang berlanjut ke
arah katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi aorta atau
aneurisma, berbentuk kantong pada aorta torakal. Bila komplikasi ini telah lanjut,
akan sangat mudah dikenal. Secara teliti harus diperiksa kemungkinan adanya
hipertensi, arteriosklerosis, penyakit jantung rematik sebelumnya. Aneurisma
aorta torakales merupakan tanda sifilis kardiovaskuler. Bila ada insufisiensi aorta
tanpa kelainan katup pada seseorang yang setengah umur disertai pemeriksaan
15
serologis darah reaktif, pada tahap pertama harus diduga sifilis kardiovaskuler,
sampai dapat dibuktikan lebih lanjut. Pemeriksaan serologis umumnya
menunjukkan reaktif.4

3. Neurosifilis
Pada perjalanan penyakit neurosifilis dapat asimtomatik dan sangat jarang terjadi
dalam bentuk murni. Pada semua jenis neurosifilis terjadi perubahan berupa
endarteritis obliterans pada ujung pembuluh darah disertai degenerasi
parenkimatosa yang mungkin sudah atau belum menunjukkan gejala pada saat
pemeriksaan.6
4. Sifilis Kongenital
Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama sifilis
dini sebab banyak T. pallidum beredar dalam darah. treponema masuk secara
hematogen ke janin melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada saat masa
kehamilan 10 minggu. Sifilis yang mengenai wanita hamil gejalanya ringan.
Pada tahun I setelah infeksi yang tidak diobati terdapat kemungkinan penularan
sampai 90%. Jika ibu menderita sifilis laten dini, kemungkinan bayi sakit 80%,
bila sifilis lanjut 30 %.Pada kehamilan yang berulang, infeksi janin pada
kehamilan yang kemudian menjadi berkurang. Misalnya pada hamil pertama
akan terjadi abortus pada bulan kelima, berikutnya lahir mati pada bulan
kedelapan, berikutnya janin dengan sifilis congenital yang akan meninggal
dalam beberapa minggu, diikuti oleh dua sampai tiga bayi yang hidup dengan
sifilis kongenital. Akhirnya akan lahir seorang atau lebih bayi yang sehat.
Keadaan ini disebut hukum Kossowitz. Gambaran klinis dapat dibagi menjadi
sifilis kongenital dini (prekoks), sifilis congenital lanjut (tarda), dan stigmata.
Batas antara dini dan lanjut ialah dua tahun. Yang dini bersifat menular, jadi
menyerupai S II, sedangkan yang lanjut berbentuk guma dan tidak menular.
Stigmata berarti jaringan parut atau deformitas akibat penyembuhan kedua
stadium tersebut.5
a) Sifilis Kongenital Dini
Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah bula
bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada
tempat lain di badan. Cairan bula mengandung banyak T. pallidum. Bayi
tampak sakit. Bentuk ini ada kalanya disebut pemfigus sifilitika. Kelainan lain
16
biasanya timbul pada waktu bayi berumur beberapa minggu dan mirip erupsi
pada S II, pada umumnya berbentuk papul atau papulo-skuamosa yang
simetris dan generalisata. Dapat tersusun teratur, misalnya anular. Pada
tempat yang lembab papul dapat mengalami erosi seperti kondilomata lata.
Ragades merupakan kelainan umum yang terdapat pada sudut mulut, lubang
hidung, dan anus; bentuknya memancar (radiating). Wajah bayi berubah
seperti orang tua akibat turunnya berat badan sehingga kulit berkeriput.
Alopesia dapat terjadi pula, terutama pada sisi dan belakang kepala. Kuku
dapat terlepas akibat papul di bawahnya; disebut onikia sifilitika. Kelenjar
getah bening dapat membesar, generalisata, tetapi tidak sejelas pada S II.
Hepar dan lien membesar akibat invasi T. pallidum sehingga terjadi fibrosis
yang difus. Dapat terjadi udema dan sedikit ikterik (fungsi hepar terganggu).
Ginjal dapat diserang, pada urin dapat terbentuk albumin, hialin, dan granular
cast. Pada umumnya kelainan ginjal ringan. Pada paru kadang-kadang
terdapat infiltrasi yang disebut "pneumonia putih". Tulang sering diserang
pada waktu bayi berumur beberapa minggu. Osteokondritis pada tulang
panjang umumnya terjadi sebelum berumur enam bulan dan memberi
gambaran khas pada waktu pemeriksaan dengan sinar-X. 4
b) Sifilis Kongenital Lanjut
Umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima belas tahun. Guma dapat
menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan organ dalam. Yang khas ialah
guma pada hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum nasi akan
terjadi perforasi, bila meluas terjadi destruksi seluruhnya hingga hidung
mengalami kolaps dengan deformitas. Periostitis sifilitika pada tibia
umumnya mengenai sepertiga tengah tulang dan menyebabkan penebalan
yang disebut sabre tibia. Keratitis interstisial merupakan gejala yang paling
umum, biasanya terjadi antara umur tiga sampai tiga puluh tahun, insidensnya
25% dari penderita dengan sifilis kongenital dan dapat menyebabkan
kebutaan. Akibat diserangnya nervus VIII terjadi ketulian yang biasanya
bilateral. 4

17
Sabre Tibia Sifilis Kongenital
5. Stigmata
Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh serta meninggalkan parut dan
kelainan yang khas. Parut dan kelainan demikian merupakan stigmata sifilis
kongenital,akan tetapi hanya sebagian penderita yang menunjukkan gambaran
tersebut.
1) Stigmata Lesi Dini
a. Facies : Gangguan pertumbuhan septum nasi, depresi jembatan hidung
(saddlenose), maksila tumbuh abnormal lebih kecil dari mandibula
(bulldog jaw) menunjukkan saddlenose.
b. Gigi menunjukkan gigi hutchinson, pada gigi insisi permanen lebih kecil
dari normal dengan bagian sisi konveks dan daerah untuk menggigit
konkav. Moon’smolar atau mulbery molar yaitu permukaan gigi molar
berbintil bintil.

c. Kuku : onikia akan merusak dasar kuku.


2) Stigmata Lesi Lanjut
a. Lesi pada kornea: kekaburan kornea sebagai akibat ghost vessels
b. Lesi tulang: Osteoporosis gumatosa meninggalkan deformitas sebagai
sabre tibia. Frontal bossing, saddle nose dan buldog jaw.
c. Trias hutchinson: terdiri dari keratitis intertisialis, gigi hutchinson, tuli
nervus VIII4

18
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis sifilis ada 3 :
1. Pemeriksaan T.Pallidum
Cara pemeriksaan adalah dengan mengambil serum dari lesi kulit dan dilihat
bentuk dan pergerakannya dengan microskop lapangan gelap. Pemeriksaan
dilakukan tiga hari berturut-turut. Jika hasil pada hari I dan II negatif. Sementara
itu lesi dikopres dengan larutan garam faal. Bila negatif bukan selalu berarti
diagnosisnya bukan sifilis, mungkin kumannya terlalu sedikit. Treponema tampak
berwarna putih pada latar belakang gelap. Pergerakannya memutar terhadap
sumbunya, bergerak perlahan-lahan melintasi lapangan pada pandangan, jika
tidak bergerak cepat seperti Borrelia vincentii penyebab stomatitis. Pemeriksaan
lain dengan pewarna menurut Buri, tidak dapat dilihat pergerakannya karena
treponema tersebut telah mati, jadi hanya tampak bentuknya saja. Sementara itu
lesi dikompres dengan larutan garam faal setiap hari. 4,6
2. Tes Serologik Sifilis (TSS)
T.S.S. atau Serologic Tests for Sypilis (S.T.S) merupakan pembantu diagnosis
yang penting bagi sifilis. S I pada mulanya memberi hasil T.S.S. negatif
(seronegatif), kemudian menjadi positif (seropositif) dengan titer rendah, jadi
positif lemah. Pada S II yang masih dinireaksi menjadi positif agak kuat, yang
akan menjadi sangat kuat pada S II lanjut. PadaS III reaksi menurut lagi menjadi
positif lemah atau negatif. T.S.S. dibagi menjadi dua berdasarkan antigen yang
dipakai, yaitu :
a) Nontreponemal (Tes Reagin)
Pada tes ini digunakan antigen tidak spesifik yaitu kardiolipin yang
dikombinasikan dengan lesitin dan kolestrol, karena itu tes ini dapat memberi
Reaksi Biologik Semu (RBS) atau Biologic Fase Positive (BFP). Antibodinya
disebut reagin, yang terbentuk setelah infeksi dengan T.pallidum, tetapi zat
tersebut terdapat pula pada berbagai penyakit lain dan selama kehamilan.
Reagin ini dapat bersatu dengan suspensi ekstrak lipid dari binatang atau
tumbuhan, menggumpal membentuk masa yang dapat dilihat pada tesflokulasi.
Massa tersebut juga dapat bersatu dengan komplemen yang merupakan dasar
bagi tes ikatan komplemen.10,11
Contoh tes nontreponemal:
1) Tes fiksasi komplemen : Wasserman (WR), Kolmer.
19
2) Tes flokulasi : VDRL (Venereal Disease Research Laboratories), Kahn,
RPR (Rapid Plasma Reagin), ART (Automated Reagin Test), dan RST
(Reagin Screen Test).
b) Tes Treponemal
Tes ini bersifat spesifik karena antigennnya ialah treponema atau
ekstraknyadan dapat digolongkan menjadi empat kelompok :
1) Tes Imobilisasi : TPI (Treponemal pallidum Imobilization Test).
2) Tes fiksasi komplemen : RPCF (Reiter Protein Complement FixationTest).
3) Tes Imunofluoresen : FTA-Abs (Fluorecent Treponemal Antbody
Absorption Test), ada dua : lgM, lgG; FTA-Abs DS
(FluorescentTreponemal Antibody-Absorption Double Staining).
4) Tes hemoglutisasi : TPHA (Treponemal pallidum Haemoglutination
Assay), 19SlgM SPHA (Solid-phase Hemabsorption Assay), HATTS
(Hemagglutination Treponemal Test for Syphilis), MHA-TP
(Microhemagglutination Assay for Antibodies to Treponema pallidum).
TPI merupakan tes yang paling spesifik, tetapi mempunyai kekurangan : biasanya
mahal, teknis sulit, membutuhkan waktu banyak. Selain itu juga reaksinya lambat
, baru positif pada akhir stadium primer, tidak dapat digunakan untuk menilai hasil
pengobatan, hasil dapat negatif pada sifilis dini dan sangat lanjut. RPCF sering
digunakan untuk tes screening karena biayanya murah; kadang-kadang
didapatkan reaksi positif semu. FTA-Abs paling sensitif (90%), terdapat dua
macam yaitu untuk lgM dan lgG sudah positif pada waktu timbuk kelainan S I.
lgM sangat reaktif pada sifilis dini, pada terapi yang berhasil titer lgM cepat turun,
sedangkan lgG lambat. lgM penting untuk mendiagnosis sifilis kongenital. TPHA
merupakan tes treponemal yang dianjurkan karena teknis dan pembacaan hasilnya
mudah, cukup spesifik dan sensitif, menjadi reaktifnya cukup dini.
Kekurangannya tidak dapat dipakai untuk menilai hasil terapi, karena tetap reaktif
dalam waktu yang lama. Tes ini sudah dapat dilakukan di Indonesia. Bila hasil tes
serologik tidak sesuai dengan klinis, tes tersebut peru diulangi, karena mungkin
terjadi kesalahan teknis. Kalau perlu di laboratorium lain. Demikian pula jika hasil
tes yang satu dengan yang lain tidak sesuai, misalnya titer VDRL rendah (1/4),
sedangkan titer TPHA tinggi (1/1024) Pemeriksaan mikroskopis lapangan gelap
terhadap lesi kulit, merupakan pemeriksaan yang paling spesifik untuk diagnosis
sifilis. Kuman spirochaeta hidup berbentuk khas seperti sekrup, dapat terlihat
20
pada pemeriksaan slide eksudat secara mikroskopis. Uji absorpsi antibodi
treponema menggunakan fluoresensi akan mendeteksi antigen T.pallidum yang
terdapat pada jaringan, cairan mata, LCS, secret trakeobronkial dan eksudat pada
lesi. Pemeriksaan ini sangat sensitif untuk mendeteksi sifilis pada berbagai tahap.
Sekali reaktif, ia akan tetap reaktif. 4,6,9,12
G. Penatalaksanaan
Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan selama
belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai sedini
mungkin, makin dini hasilnya makin baik. Pada sifilis laten terapi bermaksud
mencegah proses lebih lanjut. Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik
lain.
1. Penisilin
Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat menembus
placenta sehingga mencegah infeksi Pada janin dan dapat menyembuhkan janin
yang terinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis. Kadar yang tinggi dalam serum
tidak diperlukan, asalkan jangan kurang dari0,03 unit/ml. Yang penting ialah
kadar tersebut hares bertahan dalam serum selama sepuluh sampai empat belas
hari untuk sifilis dini dan lanjut, dua puluh sate hari untuk neurosifilis dan sifilis
kardiovaskular. Jika kadarnya kurang dari angka tersebut, setelah lebih dari dua
puluh empat sampai tiga puluh jam, maka kuman dapat berkembang biak.
Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin:
a) Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat jam, jadi
bersifat kerja singkat.
b) Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat (PAM),
lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.
c) Penisilin G benzatin, dengan dosis 2,4 juts unit akan bertahan dalam serum
dua sampai tiga minggu, bersifat kerja lama.9,12
Ketiga obat tersebut diberikan intramuskular. Derivat penisilin per oral tidak
dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerma kurang dibandingkan dengan
suntikan.
Cara pemberian penisilin tersebut sesuai dengan lama kerja masing-masing yang
pertama diberikan setiap hari, yang kedua setiap tiga hari, dan yang ketiga
biasanya setiap minggu. Penisilin G benzatin karena bersifat kerja lama, maka
kadar obat dalam serum dapat bertahan lama dan lebih praktis, sebab penderita
21
tidak perlu disuntik setiap hari seperti pada pemberian penisilin G prokain dalam
akua. Obat ini mempunyai kekurangan, yakni tidak dianjurkan untuk neurosifilis
karena sukar masuk ke dalam darah di otak, sehingga yang dianjurkan ialah
penisilin G prokain dalam akua. Karena penisilin G benzatin memberi rasa nyeri
pada tempat suntikan, ada yang tidak menganjurkan pemberiannya kepada bayi.
Demikian pula PAM memberi rasa nyeri pada tempat suntikan dan dapat
mengakibatkan abses jika suntikan kurang dalam; obat ini kini jarang digunakan.
Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin G
benzatin 9,6 juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan interval seminggu.
Untuk neurosifilis terapi yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua
18-24 jutaunit sehari, diberikan 3-4 juta unit, i.v. setiap 4 jam selama 10-14 hari.
Pada sifilis kongenital, terapi anjurannya ialah penisilin G prokain dalam
akua100.000-150.000 satuan/kg B.B. per hari, yang diberikan 50.000 unit/kg
B.B., i.m.,setiap hari selama 10 hari.4
Reaksi Jarish-Herxheimer
Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish- Herxheimer. Sebab
yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin disebabkan oleh
hipersensitivitas akibat toksin yang dikeluarkan oleh banyak T. Pallidum yang
mati. Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis dini. Pada sifilis dini dapat terjadi
setelah enam sampai dua belas jam pada suntikan penisilin yang pertama.
Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal. Gejala umum biasanya hanya ringan
berupa sedikit demam. Selain itu dapat pula berat: demam yang tinggi, nyeri
kepala, artralgia, malese, berkeringat, dan kemerahan pada muka. Gejala lokal
yakni afek primer menjadi bengkak karena edema dan infiltrasi sel, dapat agak
nyeri. Reaksi biasanya akan menghilang setelah sepuluh sampai dua belas jam
tanpa merugikan penderita pada S I. Pada sifilis lanjut dapat membahayakan jiwa
penderita, misalnya: edema glotis pada penderita dengan guma di laring,
penyempitan arteria koronaria pada muaranya karena edema dan infiltrasi, dan
trombosis serebral. Selain itu juga dapat terjadi ruptur aneurisma atau ruptur
dinding aorta yang telah menipis yang disebabkan oleh terbentuknya jaringan
fibrotik yang berlebihan akibat penyembuhan yang cepat. Pengobatan reaksi
Jarish-Herxheimer ialah dengan kortikosteroid, contohnya dengan prednison 20-
40 mg sehari. Obat tersebut juga dapat digunakan sebagai pencegahan, misalnya
pada sifilis lanjut, terutama pada gangguan aorta dan diberikan dua sampai tiga
22
hari sebelum pemberian penisilin serta dilanjutkan dua sampai tiga hari
kemudian.4
2. Antibiotika Lain
Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan sebagai
pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin. Bagi yang alergi terhadap
penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, atau eritromisin 4 x 500 mg/hri,
atau doksisiklin 2 x 100 mg/hari. Lama pengobatan15 hari bagi S I dan S II dan
30 hari bagi stadium laten. Eritromisin bagi yang hamil, efektivitasnya
meragukan. Doksisiklin absorbsinya lebih baik dari pada tetrasiklin,yakni 90-
100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%. Pada penelitian terbaru didapatkan
bahwa doksisiklin atau eritromisin yang diberikan sebagai terapi sifilis primer
selama 14 hari, menunjukkan perbaikan. Obat yang lain ialah golongan
sefalosporin, misalnya sefaleksin 4 x 500 mgsehari selama 15 hari. Juga
seftriakson setiap hari 2 gr, dosis tunggal i.m. atau i.v.selama 15 hari. Azitromisin
juga dapat digunakan untuk S I dan S 11, terutama di negara yang sedang
berkembang untuk menggantikan penisilin. Dosisnya 500 mg sehari sebagai
dosis tunggal. Lama pengobatan 10 hari.4,11,12
H. Tindak Lanjut
Evaluasi T.S.S. (V.D.R.L) sebagai berikut:
1. 1 bulan sesudh pengobatan selesai T. S. S diulang:
a) Titer ↓ : tidk diberikan pengobatan lagi.
b) Titer ↑: pengobatan ulang
c) Titer menetap : tunggu 1 bulan lagi
2. 1 bulan sesudah c:
a) Titer ↓ : tidak diberikan pengobatan
b) Titer ↑ atau tetap : pengobatan ulang
Kriteria sembuh, jika lesi telah menghilang, kelenjar getah bening tidak teraba lagi
dan V.D.R.L negatif. Pada sifillis dini yang diobati T.S.S (VDRL/RPR) akan
menjadi negative dalam3-6 bulan. Pada 16% kasus tetap positif dengan titer rendah
selama setahun atau lebih, tetapi akan menjadi neatif setelah 2 tahun. Tindak lanjut
dilakukan sesudah 3,6 dan 12 bulan sejak selesai pengobatan. Setelah setahun
diperiksa liquor serebrospinal. Kasus yang mengalami kambuh serologic atau klinis
diberikan terapi ulang dengan dosis dua kali lebih banyak. Terapi ulang juga untuk
kasus seroresisten yang tidak terjadi penurunan titer serologic setelah 6-12 bulan
23
setelah terapi. Pada sifilis laten tindak lanjut dilakukan selama 2 tahun. Penderita
sifilis kardiovaskuler dan neurosifilis yang telah diobti hendaknya ditindaklanjuti
selama bertahun-tahun.4
I. Prognosa
Dengan ditemukannya penisilin, maka prognosis sifilis menjadi lebih baik. Untuk
menentukan penyembuhan mikrobiologik, yang berarti bahwa semua T.pallidum di
badan terbunuh tidaklah mungkin. Penyembuhan berarti sembuh klinis seumur
hidup, tidak menular keorang lain, T.S.S pada darah dan likuor serebrospinalis selalu
negative. Jika sifilis tidak diobati, maka hampir seperempatnya akan kambuh,5%
akan mendapat S III, 10% mengalami sifilis kardiovaskular, neurosifilis pada pria
9% dan pada wanita 5%, 23% akan meninggal. Pada sifilis dini yang diobati, angka
penyembuhan mencapai 95%. Kelainan kulit akan sembuh dalam 7-14 hari.
Pembesaran kelenjar getah bening akan menetap berminggu-minggu. Kegagalan
terapi sebanyak 5% pada S I dan S II. Kambuh klinis umumnya terjadi 30 setahun
sesudah terapi, berupa lesi menular pada mulut, tenggorok, dan region perianal.
Disamping itu dikenal pula kambuh serologic, yang berarti T.S.S yang negative
menjadi positif atau yang telah positif menjadi makin positif. Rupanya kambuh
serologic ini mendahului kambuh klinis. Kambuh klinis pada wanita juga dapat
bermanifestasi pada bayi berupa sifilis kongenital. Pada sifilis laten lanjut
prognosisnya baik, prognosis pada sifilis gumatosa bergantung pada alat yang
dikenai dan banyaknya kerusakan. Prognosis neurosifilis bergantung pada tempat
dan derajat kerusakan. Sel saraf yang rusak bersifat irreversible. Prognosis
neurosifilis dini baik, angka penyembuhan dapat mencapai 100%, neurosifilis
asimptomatik pada stadium lanjut prognosisnya juga baik, kurang dari 1%
memerlukan terapi ulang. 4

24
BAB III

KESIMPULAN

Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh
bakteri Treponema pallidum, sangat kronis dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya
dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit,
mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin. Contohnya Gumma,
gigi hutchinson dan snuffle nose merupakan salah satu dari manifestasi kelainan
pada gigi dan mulut yang disebabkan oleh penyakit sifilis. T.pallidum penyebab
sifilis dapat ditularkan dari satu orang ke orang yang lain melalui hubungan genito-
genital (kelamin-kelamin) maupun oro-genital (seks oral). Infeksi ini juga dapat
ditularkan oleh seorang ibu kepada bayinya selama masa kehamilan. Jika tidak
diobati, maka hampir seperempatnya akan kambuh, pada sifilis dini yang diobati,
angka penyembuhan mencapai 95%. Kegagalan terapi sebanyak 5% pada S I danS
II. Kambuh klinis umumnya terjadi setahun sesudah terapi, berupa lesi menular pada
mulut, tenggorok, dan regio perianal. Diagnosis ditegakkan secara sempurna dari
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti Serologi Tes Sifilis (STS)
sehingga dapat diberikan antibiotik yang sesuai dan tepat. Antibiotik yang biasa
dipakai dalam penatalaksanaan Sifilis ialah Penisilin.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Hartanti, A. Faktor –Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Sifilis Pada Populasi
Transgender Waria Di 5 Kota Besar Di Indonesia. Tesis. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta. 2012
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Surveilan Terpadu Biologis dan
Perilaku. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Jakarta. 2011
3. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengan
Tahun 2012. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah. 2012
4. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta: FKUI. 2010
5. Mitchel, R. N. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. EGC. Jakarta. 2008
6. Rubeinstein, D; dkk. Lecture Notes Kedokteran Klinis. Erlangga. Jakarta. 2007
7. indonesia.digitaljournals.org/index.php/deridn/article/download/30/33
8. Sandoz A, Koenig T, Kusnir D, Tausk F. Psychocutaneous Diseases. In: Wolff K,
GoldsmithLA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s
Dermatology InGeneral Medicine. 7 th ed. USA: McGraw-Hill; 2008
9. World Health Organization, The sexually transmitted diseases diagnostics initiative
(SDI). The use of rapid syphilis tests. 2007.
10. James WD, Berger TG, Elston DM. Neurocutaneous Dermatoses. In:
Andrew’s Diseases of The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Canada: Saunders
Elsevier, 2006
11. Khana, N. Illustrated Synopsis of Dermatology and Sexually Transmitted Disease.
3th ed. Canada: Saunders Elsevier, 2009
12. Thappa D.M. Wood’s Light Examination, in Textbook of Dermatology, Leprology&
Venereology, 3rd Edition. Elsevier.Haryana. 2009.

26

S-ar putea să vă placă și