Sunteți pe pagina 1din 16

MAKALAH

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

ASUHAN KEPERAWATAN SINDROM KORORNER AKUT (SKA)

OLEH:

KELOMPOK I

VICKY TRESNIA 0810321006

EGA PAMESA 0810322019

YOVYANA YAZID 0810322025

YUDYA ANDERSON 0810322033

TISRI YOLANDARI 0810322034

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2011
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Andra (2006) mengatakan Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah kejadian kegawatan pada
pembuluh darah koroner. Wasid (2007) menambahkan bahwa Sindrom Koroner Akut (SKA)
adalah suatu fase akut dari Angina Pectoris Tidak Stabil/ APTS yang disertai Infark Miocard
Akut/ IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q
(IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur
plak aterosklerosis yang tak stabil.
Mortalitas tidak tergantung pada besarnya prosentase stenosis (plak) koroner, namun
lebih sering ditemukan pada penderita dengan plak kurang dari 50–70% yang tidak stabil, yakni
fibrous cap ‘dinding (punggung) plak’ yang tipis dan mudah erosi atau ruptur1,2,3
Terminologi sindrom koroner akut berkembang selama 10 tahun terakhir dan telah digunakan
secara luas. Hal ini berkaitan dengan patofisiologi secara umum yang diketahui berhubungan
dengan kebanyakan kasus angina tidak stabil dan infark miokard.1 Angina tidak stabil, infark
miokard tanpa gelombang Q, dan infark miokard gelombang Q mempunyai substrat patogenik
umum berupa lesi aterosklerosis pada arteri koroner. 1,2,3
Istilah Sindrom Koroner Akut (SKA) banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan
kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner. SKA merupakan satu sindrom yang terdiri
dari beberapa penyakit koroner yaitu, angina tak stabil (unstable angina), infark miokard non-
elevasi ST, infark miokard dengan elevasi ST, maupun angina pektoris pasca infark atau pasca
tindakan intervensi koroner perkutan. 1,2,3

II. Tujuan

1. Menjelaskan pengertian Sindrom koroner akut.


2. Menjelaskan etiologi sindrom koroner akut.
3. Menjelaskan klasifikasi sindrom koroner akut.
4. Menjelaskan patofiosiologi sindrom koroner akut.
5. Menjelaskan manifestasi klinis sindrom koroner akut.
6. Menjelaskan pemeriksaan diagnostic pasien sinndrom koroner akut.
7. Menjelaskan penatalaksanaansindrom koroner akut.
8. Membuat asuhan keperawatan pada pasien dengan sindromkoroner akut.
BAB II
ISI

ASUHAN KEPERAWATAN SINDROM KORONER AKUT (SKA)

II.1 Definisi Sindrom Koroner Akut (SKA)


Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis
rasa tidak enak didada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium. SKA terdiri atas
angina pektoris tidak stabil, infarct myocard acute (IMA) yang disertai elevasi segmen ST.
Penderita dengan infark miokardium tanpa elevasi ST. SKA ditetapkan sebagai manifestasi
klinis penyakit arteri koroner. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan manifestasi utama
proses aterosklerosis.
Harun (2007) mengatakan istilah Sindrom Koroner Akut (SKA) banyak digunakan saat
ini untuk menggambarkan kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner. Sindrom Koroner
Akut (SKA) merupakan satu sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu, angina
tak stabil (unstable angina), infark miokard non-elevasi ST, infark miokard dengan elevasi ST,
maupun angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi koroner perkutan. Sindrom
Koroner Akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak
enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium.

2.2 Etiologi Sindrom Koroner Akut (SKA)


Rilantono (1996) mengatakan sumber masalah sesungguhnya hanya terletak pada
penyempitan pembuluh darah jantung (vasokonstriksi). Penyempitan ini diakibatkan oleh empat
hal, meliputi:
a. Adanya timbunan-lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat konsumsi
kolesterol tinggi.
b. Sumbatan (trombosis) oleh sel beku darah (trombus).
c. Vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang terus menerus.
d. Infeksi pada pembuluh darah.
Wasid (2007) menambahkan mulai terjadinya Sindrom Koroner Akut (SKA) dipengaruhi
oleh beberapa keadaan, yakni:
a Aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan)
b Stress emosi, terkejut
c Udara dingin, keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas
simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, dan
kontraktilitas jantung meningkat.

2.3 Klasifikasi Sindrom Koroner Akut (SKA)


Wasid (2007) mengatakan berat/ ringannya Sindrom Koroner Akut (SKA) menurut
Braunwald (1993) adalah:
a. Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan nyeri pada
waktu istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per hari.
b. Kelas II: Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan pada waktu
istirahat.
c. Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.
Secara Klinis:
a. Kelas A: Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal di luar koroner, seperti anemia, infeksi,
demam, hipotensi, takiaritmi, tirotoksikosis, dan hipoksia karena gagal napas.
b. Kelas B: Primer.
c. Kelas C: Setelah infark (dalam 2 minggu IMA). Belum pernah diobati. Dengan anti
angina (penghambat beta adrenergik, nitrat, dan antagonis kalsium ) Antiangina dan
nitrogliserin intravena.

2.4 Patofisiologi Sindrom Koroner Akut (SKA)


Rilantono (1996) mengatakan Sindrom Koroner Akut (SKA) dimulai dengan adanya
ruptur plak arteri koroner, aktivasi kaskade pembekuan dan platelet, pembentukan trombus, serta
aliran darah koroner yang mendadak berkurang. Hal ini terjadi pada plak koroner yang kaya lipid
dengan fibrous cap yang tipis (vulnerable plaque). Ini disebut fase plaque disruption ‘disrupsi
plak’. Setelah plak mengalami ruptur maka faktor jaringan (tissue factor) dikeluarkan dan
bersama faktor VIIa membentuk tissue factor VIIa complex mengaktifkan faktor X menjadi
faktor Xa sebagai penyebab terjadinya produksi trombin yang banyak. Adanya adesi platelet,
aktivasi, dan agregasi, menyebabkan pembentukan trombus arteri koroner. Ini disebut fase acute
thrombosis ‘trombosis akut’. Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi makrofage dan sel T
limfosit, proteinase, dan sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak serta trombosis tersebut. Sel
inflamasi tersebut bertanggung jawab terhadap destabilisasi plak melalui perubahan dalam
antiadesif dan antikoagulan menjadi prokoagulan sel endotelial, yang menghasilkan faktor
jaringan dalam monosit sehingga menyebabkan ruptur plak. Oleh karena itu, adanya leukositosis
dan peningkatan kadar CRP merupakan petanda inflamasi pada kejadian koroner akut (IMA) dan
mempunyai nilai prognostic. Pada 15% pasien IMA didapatkan kenaikan CRP meskipun
troponin-T negatif. Endotelium mempunyai peranan homeostasis vaskular yang memproduksi
berbagai zat vasokonstriktor maupun vasodilator lokal. Jika mengalami aterosklerosis maka
segera terjadi disfungsi endotel (bahkan sebelum terjadinya plak). Disfungsi endotel ini dapat
disebabkan meningkatnya inaktivasi nitrit oksid (NO) oleh beberapa spesies oksigen reaktif,
yakni xanthine oxidase, NADH/ NADPH (nicotinamide adenine dinucleotide phosphate
oxidase), dan endothelial cell Nitric Oxide Synthase (eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap dapat
terjadi pada hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan gagal jantung.
Diduga masih ada beberapa enzim yang terlibat dalam produk radikal pada dinding pembuluh
darah, misalnya lipooxygenases dan P450-monooxygenases. Angiotensin II juga merupakan
aktivator NADPH oxidase yang poten. Ia dapat meningkatkan inflamasi dinding pembuluh darah
melalui pengerahan makrofage yang menghasilkan monocyte chemoattractan protein-1 dari
dinding pembuluh darah sebagai aterogenesis yang esensial.
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat disfungsi endotel
ringan dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada keadaan disfungsi endotel, faktor
konstriktor lebih dominan (yakni endotelin-1, tromboksan A2, dan prostaglandin H2) daripada
faktor relaksator (yakni nitrit oksid dan prostasiklin). Nitrit Oksid secara langsung menghambat
proliferasi sel otot polos dan migrasi, adesi leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan
sebagai proatherogenic. Melalui efek melawan, TXA2 juga menghambat agregasi platelet dan
menurunkan kontraktilitas miokard, dilatasi koroner, menekan fibrilasi ventrikel, dan luasnya
infark. Sindrom koroner akut yang diteliti secara angiografi 60—70% menunjukkan obstruksi
plak aterosklerosis yang ringan sampai dengan moderat, dan terjadi disrupsi plak karena
beberapa hal, yakni tipis - tebalnya fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya inflamasi pada
kapsul, dan hemodinamik stress mekanik. Adapun mulai terjadinya sindrom koroner akut,
khususnya IMA, dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni aktivitas/ latihan fisik yang
berlebihan (tak terkondisikan), stress emosi, terkejut, udara dingin, waktu dari suatu siklus harian
(pagi hari), dan hari dari suatu mingguan (Senin). Keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya
dengan peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar
jantung meningkat, kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran koroner juga meningkat. Dari
mekanisme inilah beta blocker mendapat tempat sebagai pencegahan dan terapi.

2.5 Manifestasi Sindrom Koroner Akut (SKA)


Rilantono (1996) mengatakan gejala sindrom koroner akut berupa keluhan nyeri ditengah
dada, seperti: rasa ditekan, rasa diremas-remas, menjalar ke leher,lengan kiri dan kanan, serta ulu
hati, rasa terbakar dengan sesak napas dan keringat dingin, dan keluhan nyeri ini bisa merambat
ke kedua rahang gigi kanan atau kiri, bahu,serta punggung. Lebih spesifik, ada juga yang disertai
kembung pada ulu hati seperti masuk angin atau maag.
Tapan (2002) menambahkan gejala kliniknya meliputi:
a. Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir ke otot jantung dan
daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati .
b. Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada (angina). Lokasi nyeri
biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan berlangsung selama lebih dari 20 menit.
Rasa nyeri ini dapat menjalar ke rahang bawah, leher, bahu dan lengan serta ke
punggung. Nyeri dapat timbul pada waktu istirahat. Nyeri ini dapat pula timbul pada
penderita yang sebelumnya belum pernah mengalami hal ini atau pada penderita yang
pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola serangannya menjadi lebih berat atau
lebih sering.
c. Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita hanya mengeluh seolah
pencernaannya terganggu atau hanya berupa nyeri yang terasa di ulu hati. Keluhan di atas
dapat disertai dengan sesak, muntah atau keringat dingin.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik Sindrom Koroner Akut (SKA)


Wasid (2007) mengatakan cara mendiagnosis IMA, ada 3 komponen yang harus
ditemukan, yakni:
a. Sakit dada
b. Perubahan EKG, berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa gelombang Q
patologik
c. Peningkatan enzim jantung (paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal), terutama
CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk nekrosis miokard. Nilai
normal troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl.
2.7 Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut (SKA)
Rilantono (1996) mengatakan tahap awal dan cepat pengobatan pasien sindrom koroner
akut (SKA) adalah:
a. Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan oksigen
pada miokard yang mengalami cedera serta menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini
dilakukan sampai dengan pasien stabil dengan level oksigen 2–3 liter/ menit secara kanul
hidung.
b. Nitrogliserin (NTG): digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-mula secara
sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap ada setelah 3x
NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 5–10 ug/menit (jangan lebih 200
ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah
memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di
miokard; menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding
ventrikel; dilatasi arteri koroner besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta
menghambat agregasi platelet (masih menjadi pertanyaan).
c. Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan;
mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan venous capacitance; menurunkan
tahanan pembuluh sistemik; serta nadi menurun dan tekanan darah juga menurun,
sehingga preload dan after load menurun, beban miokard berkurang, pasien tenang tidak
kesakitan. Dosis 2 – 4 mg intravena sambil memperhatikan efek samping mual,
bradikardi, dan depresi pernapasan
d. Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien sindrom koroner akut jika tidak ada
kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat siklooksigenase
–1 dalam platelet dan mencegah pembentukan tromboksan-A2. Kedua hal tersebut
menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial.
e. Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan bahwa Aspirin
menurunkan mortalitas sebanyak 19%, sedangkan "The Antiplatelet Trialists
Colaboration" melaporkan adanya penurunan kejadian vaskular IMA risiko tinggi dari
14% menjadi 10% dan nonfatal IMA sebesar 30%. Dosis yang dianjurkan ialah 160–325
mg perhari, dan absorpsinya lebih baik "chewable" dari pada tablet, terutama pada
stadium awal 3,4. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada pasien yang mual
atau muntah 4. Aspirin boleh diberikan bersama atau setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau
UFH (unfractioned heparin). Ternyata efektif dalam menurunkan kematian, infark
miokard, dan berulangnya angina pectoris.
f. Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin ini menghambat
agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan menurunkan viskositas darah
dengan cara menghambat aksi ADP (adenosine diphosphate) pada reseptor platelet.,
sehingga menurunkan kejadian iskemi. Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46%
kematian vaskular dan nonfatal infark miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin untuk
prevensi trombosis dan iskemia berulang pada pasien yang telah mengalami implantasi
stent koroner. Pada pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi
dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari) bersama Ticlopidine
2x 250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil yang baik dengan menurunnya risiko
trombosis tersebut dari 4,5% menjadi 1,3%, dan menurunnya komplikasi perdarahan dari
10–16% menjadi 0,2–5,5%21. Namun, perlu diamati efek samping netropenia dan
trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik
trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada minggu II – III.
Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin, namun
tidak ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila
dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan
setiap 1.000 pasien SKA yang diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi
darah 17,22. Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi
sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan 40–60% inhibisi
dicapai dalam 3–7 hari. Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of
Ischemic Events ) menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif
daripada ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah (IMA, stroke) pada
aterosklerosis (Product Monograph New Plavix).

Rilantono (1996) menambahkan penanganan Sindrom Koroner Akut (SKA) meliputi:


a Heparin: Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-preparat baru yang lebih
aman (tanpa efek samping trombositopenia) dan lebih mudah pemantauannya (tanpa
aPTT). Heparin mempunyai efek menghambat tidak langsung pada pembentukan
trombin, namun dapat merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang dianjurkan terakhir
(1999) ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12 ug/kg/jam maksimum bolus ,
yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000 ug/jam untuk pasien dengan berat badan < 70 kg.
b Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH): Diberikan pada APTS atau NSTEMI
dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai kelebihan dibanding dengan UFH, yaitu
mempunyai waktu paruh lebih lama; high bioavailability; dose – independent clearance;
mempunyai tahanan yang tinggi untuk menghambat aktivasi platelet; tidak mengaktivasi
platelet; menurunkan faktor von Willebrand; kejadian trombositopenia sangat rendah;
tidak perlu pemantauan aPTT ; rasio antifaktor Xa / IIa lebih tinggi; lebih banyak
menghambat alur faktor jaringan; dan lebih besar efek hambatan dalam pembentukan
trombi dan aktivitasnya. Termasuk dalam preparat ini ialah Dalteparin, Enoxaparin, dan
Fraxi-parin. Dosis Fraxiparin untuk APTS dan NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena
bersama Aspirin (maksimum 325 mg) kemudian 85 iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari:
2 x tiap 12 jam (Technical Brochure of Fraxiparin . Sanofi – Synthelabo).
c Warfarin: Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa pengobatan
jangka panjang dapat memperoleh efek antikoagulan secara dini. Tak ada perbedaan
antara pemberian Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin saja (CHAMP Study, CARS
Trial) sehingga tak dianjurkan pemberian kombinasi Warfarin dengan Asparin.
d Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I): obat ini perlu diberikan pada NSTEMI
SKA dengan risiko tinggi, terutama hubungannya dengan intervensi koroner perkutan
(IKP). Pada STEMI, bila diberikan bersama trombolitik akan meningkatkan efek
reperfusi (studi GUSTO V dan ASSENT-3). GUSTO V membandingkan Reteplase
dengan Reteplase dan Abciximab (GPIIb/IIIa-I) pada IMA, sedangkan ASSENT–3
membandingkan antara Tenecteplase kombinasi dengan Enoxaparin atau Abciximab
dengan Tenecteplase kombinasi UFH pada IMA , yang ternyata tak ada perbedaan pada
mortalitas 4. Efek GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup
kuat terhadap semua tipe stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan serotonin 17. Ada 3
perparat, yaitu Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide yang diberikan secara intravena.
Ada juga secara peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban. GPIIb/IIIa-I
secara intravena jelas menurunkan kejadian koroner dengan segera, namun pemberian
peroral jangka lama tidak menguntungkan, bahkan dapat meningkatkan mortalitas. Secara
invitro, obat ini lebih kuat daripada Aspirin dan dapat digunakan untuk mengurangi
akibat disrupsi plak. Banyak penelitian besar telah dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I sendiri
maupun kombinasi dengan Aspirin, Heparin, maupun pada saat tindakan angioplasti
dengan hasil cukup baik. Namun, tetap perlu diamati komplikasi perdarahannya dengan
menghitung jumlah platelet (trombositopenia) meskipun ditemukan tidak serius. Disebut
trombositopenia berat bila jumlah platelet < 50.000 ml 4,17,26. Dasgupta dkk. (2000)
meneliti efek trombositopenia yang terjadi pada Abciximab tetapi tidak terjadi pada
Eptifibatide atau Tirofiban dengan sebab yang belum jelas. Diduga karena Abciximab
menyebabkan respons antibodi yang merangsang kombinasi platelet meningkat dan
menyokong terjadinya trombositopenia. Penelitian TARGET menunjukkan superioritas
Abciximab dibanding Agrastat dan tidak ada perbedaan antara intergillin dengan derivat
yang lain. Penelitian ESPRIT memprogram untuk persiapan IKP, ternyata hanya
nenguntungkan pada grup APTS.
e Direct Trombin Inhibitors: Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang berisi 65 asam amino
polipeptida yang mengikat langsung trombin. GUSTO IIb telah mencoba terapi terhadap
12.142 pasien APTS/NSTEMI dan STEMI, namun tidak menunjukan perbedaan yang
bermakna terhadap mortalitas 17,28.
f Trombolitik: dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch block (LBBB) baru,
dapat menurunkan mortalitas dalam waktu pendek sebesar 18% 29, namun tidak
menguntungkan bagi kasus APTS dan NSTEMI. Walaupun tissue plasminogen activator
(t-PA) kombinasi dengan Aspirin dan dosis penuh UFH adalah superior dari
Streptokinase, hanya 54% pasien mencapai aliran normal pada daerah infark selama 90
menit 30,31,32,33. Trombolitik terbaru yang diharapkan dapat memperbaiki patensi arteri
koroner dan mortalitas ialah Reteplase (r-PA) dan Tenecteplase (TNK-t-PA), karena
mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada t-PA. Namun, ada 2 penelitian besar
membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-PA, namun ternyata tidak ada perbedaan
dan risiko perdarahannya sama saja.
g Kateterisasi Jantung: selain pengunaan obat-obatan, teknik kateterisasi jantung saat ini
juga semakin maju. Tindakan memperdarahi (melalui pembuluh darah) daerah yang
kekurangan atau bahkan tidak memperoleh darah bisa dilaksanakan dengan membuka
sumbatan pembuluh darah koroner dengan balon dan lalu dipasang alat yang disebut
stent.Dengan demikian aliran darah akan dengan segera dapat kembali mengalir menjadi
normal.
Web Of Causation Sindrom Koroner Akut (SKA)
Aterosklerosis Factor pencetus :
Hiperkolesterolemia
Dm
Rupture Plaque Merokok
Ht
Usia lanjut
Aktifasi factor Kegemukan
pembekuan dan platelet

Pengeluaran tissue faktor

Factor VII a Factor VII a complex

Factor X Factor Xa

Produksi trombin ↑ Factor pendukung :


DECOM CORDIS

Terjadi adhesi dan agregasi

Pembentukan trombus Penurunan aliran darah koroner

Proses inflamasi
SKA

Aktivasi :

Makrofag, proteinaseas, sel T


limfosit, sitokin

Destabilitas plaque

kebutuhan O2 Adanya ST elevasi Tk ada ST elevasi MK: Curah Jantung


CKMB  CKMB normal Menurun
 supplay o2
Troponin  Troponin normal

Metab. anaerob STEMI NSTEMI

↑produksi asam laktat


 filtrasi glomerulusI supplay O2 ke paru 
Merangsang nosiseptor
 retensi cairan Kebutuhan O2 
oliguria
 ambang nyeri
Kompensasi : RR 
MK: Kelebihan Volume cairan
Angina Pektoris
Takipneu/ dyspneu
Tx Diuretik
Nyeri
MK : Gangguan pola nafas
 sekresi K
MK : Gangguan rasa
nyaman : nyeri
MK : Resiko gangguan keseimbangan elektrolit:
hipokalemi

2.8 Asuhan Keperawatan Klien dengan Sindrom Koroner Akut (SKA)


a. Pengkajian:
1) Identitas klien (umumnya jenis kelamin laki-laki dan usia > 50 tahun)
2) Keluhan (nyeri dada, Klien mengeluh nyeri ketika beristirahat , terasa panas, di dada
retro sternal menyebar ke lengan kiri dan punggung kiri, skala nyeri 8 (skala 1-10), nyeri
berlangsung ± 10 menit)
3) Riwayat penyakit sekarang (Klien mengeluh nyeri ketika beristirahat , terasa panas, di
dada retro sternal menyebar ke lengan kiri dan punggung kiri, skala nyeri 8 (skala 1-10),
nyeri berlangsung ± 10 menit)
4) Riwayat penyakit sebelumnya (DM, hipertensi, kebiasaan merokok, pekerjaan, stress),
dan Riwayat penyakit keluarga (jantung, DM, hipertensi, ginjal).

b. Pemeriksaan Penunjang:
1) Perubahan EKG (berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa gelombang Q
patologik)
2) Enzim jantung (meningkat paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal, terutama CKMB
dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk nekrosis miokard. Nilai normal
troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl).

c. Pemeriksaan Fisik
1) B1: dispneu (+), diberikan O2 tambahan
2) B2: suara jantung murmur (+), chest pain (+), crt 2 dtk, akral dingin
3) B3: pupil isokor, reflek cahaya (+), reflek fisiologis (+)
4) B4: oliguri
5) B5: penurunan nafsu makan, mual (-), muntah (-)
6) B6: tidak ada masalah

d. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan


DIAGNOSA KEPERAWATAN

N NANDA NOC NIC


O
1 Penurunan curah Kriteria hasil yang 1.Perawatan jantung:akut
jantung disarankan:  Evaluasi nyeri dada
Batasan karakteristik: a.Menunjukkan (seperti:intensitas,lokasi,penyebaran
a.perubahan kecepatan curah jantung yang ,durasi,faktor presipitasi, dan faktor
jantung. memuaskan,dibukti yang meringankan)
 Pantau ritme dan denyut jantung
 Aritmia kan dengan
 Auskultasi bunyi jantung
 Bradikardia keefektifan pompa  Pantau status neurologis
 Perubahan
jantung,status  Pantau masukan/keluaran , keluaran
EKG
 Palpitasi sirkulasi,perfusi urin dan berat badan setiap hari
 Pilih lead EKG terbaik untuk
 Takikardi jaringan(organ
pemantauan lebih lanjut
abdomen) dan
 Dapatkan 12-lead EKG
b.Perubahan preload perfusi  Pantau fungsi ginjal
 edema jaringan(perifer).  Pantau fungsi hati
 penurunan  Pantau tekanan darah dan parameter

tekanan vena hemodinamik


b.Menunjukkan  Pantau faktor yang menentukan
central
 penurunan status sirkulasi dala pemberian oksigen
 Pertahankan lingkungan yang
tekanan arteri dibuktikan dengan
kondusif untuk istirahat dan
paru indikator kegawatan
 kelemahan sebagai berikut: penyembuhan
 distensi vena  Hindari mengambil suhu rektal
 Denyut  Mencegah pembentukan trombus
jugularis
 murmur jantung perifer
 peningkatan dalam batas  Memberikan medikasi untuk
BB normal mengurangi/mencegah nyeri
 Tekanan
c.Perubahan afterload vena central 2. . Manajemen syok : jantung
 kulit dan tekanan  Auskultasi bunyi paru untuk bunyi
berkeringat dalam paru yang abnormal
 dispnea dalam batas  Catat tanda dan gejala dari
 penurunan nadi penurunan cardiac output
normal
perifer  Hipotensi  Monitor gejala tidak adekuatnya
 penurunan perfusi artei koronaria
ortostatis
tahanan  Monitor adanya koagulasi,termasuk
tidak ada
tekanan darah  Distensi protrombine time partial
sistemik vena leher protrombine
 perubahan time,fibrinogen,penurunan produk
tidak ada
warna kulit  Edema fibrin,jumlah platelet.
perifer tidak  Pertahankan keseimbangan cairan

ada dengan mengatur cairan IV atau


 Asites tidak diuretic
ada  Atur pemberian inotropic positif
 Denyut atau pengobatan
perifer kuat  Pantau preload optimal untuk

dan simetris memperbaiki keadaan sambil


 Status meminimalkan kegagalan atau
kognitif kerusakan hati
dalam status  Pantau reduksi afterload (dengan

normal vasolidator atau pompa gas


intraaortic)
 Pantau perfusi arteri
koronaria(menjaga tekanan arteri
rata-rata>60 mmHg dan kontrol
takikardi)
1.Manajemen nyeri
 Lakukan penilaian nyeri secara
komprehensif dimulai dari
Nyeri Akut lokasi,karakteristik,durasi,frekuensi,
Batasan karakteristik: kualitas,intensitas dan penyebab
 Kaji ketidaknyamanan secara
 Melaporan Kriteria hasil yang
disarankan: nonverbal
nyeri secara
 Pastikan pasien mendapatkan
verbal dan non  Kontrol
perawatan dengan analgetik
2 verbal nyeri  Pertimbangkan pengaruh budaya
 Menunjukkan  Tingkat
terhadap respon nyeri
kerusaan kenyamanan  Tentukan dampak nyeri terhadap
 Posisi untuk  Nyeri
kehidupan sehari-hari
mengurangi pengganggu  Gunakan cara mengontrol nyeri
 Tinkatan
nyeri sebelum menjadi menyakitkan
 Gerakan untuk nyeri  Modifikasi metode kontrol nyeri
melindungi sesuai dengan respon pasien
 Gangguan tidur  Anjurkan untuk istirahat yang
 Perubahan
adekuat untuk mengurangi nyeri
dalam nafsu  Dorong pasien untuk
makan mendiskusikan pengalaman
 Respon otonom
terhadap nyeri
perubahan  Kontrol faktor lingkungan yang
otonom dalam dapat menimbulkan
tonus otot ketidaknyamanan pada pasien
 Pilih variasi dari ukuran pengobatan

2.Pemberian analgesik
 Tentukan
lokasi,karakteristik,kualitas,dan
hebatnya nyeri sebelum mengobati
pasien
 Cek order mengenai obat,dosis dan
frekuensi analgesik yang diberikan
 Pilih analgesik yang tepat
 Tentukan analgesik yang
disukai,rute pemberian dan dosis
untuk mencapai analgesik yang
optimal
 Monitor tanda-tanda vital sebelum
dan sesudah pemberian obat
 Berikan analgesik adjuvan dan atau
pengobatan ketika dibutuhkan
analgesia yang potensial
 Pertimbangkan penggunaan infus
yang berkelanjutan
 Pencegahan keamanan untuk pasien
yang menerima analgesik
 Instruksikan untuk meminta
pengobatan nyeri PRN sebelum
nyeri menjadi hebat

Manajemen elektrolit:hipokalemia
 Mengambil spesimen untuk analisis
kadar potasium dan
ketidakseimbangan elektrolit
 Pantau nilai labor yang
berhubungan dengan hipokalemia
 Pantau fungsi ginjal yang
menyebabkan penurunan kadar
Resiko postasium
 Pantau gastrointestinal yang
ketidakseimbangan
menyebabkan penurunan kadar
elektrolit
postasium
Batasan karakteristik: Kriteria hasil yang  Berikan suplemen postasium sesuai
 Ketidakseimba disarankan: resep yang diberikan
ngan cairan  Keseimbanga  Pantau fungsi ginjal,EKG,dan
 muntah n elektrolit serum postasium saat penggantian
dan asam basa  Cegah iritasi akibat suplemen
 Hidrasi postasium
 Pengetahuan:
3  Pantau keracunan digitalis
cara  Hindari pemberian zat alkalin
perawatan  Pantau manifestasi pada neurologis
 Respon akibat kondisi hipokalemia
pengobatan  Hindari pemberian zat alkalin
 Kontrol  Pantau manifestasi jantung akibat
resiko kondisi hipokalemia
 Deteksi resiko  Pantau manifestasi pulmonal akibat
 Status tanda-
kondisi hipokalemia
tanda vital
 Posisikan pasien untuk bantuan
ventilasi
 Pantau tanda-tanda kegagalan nafas
 Pantau kejadian hiperkalemia
 Pantau diuresis berlebihan
 Pantau status cairan,termasuk intake
dan output
 Berikan makanan yang
mengandung postasium tinggi
Daftar Pustaka

Elliott, doug dkk. 2007. Critical Care Nursing. Australia:.Elsevier.

Jevon Philip , Ewen Beverley.2008.Pemamntauan Pasien Kritis Edisi kedua. Jakarta:Erlangga.

TIM PPGD. 2010. Penanggulangan Penderita Gawar Darurat Basic Trauma & Cardiac Life

Support. Bukittinggi.

O’Grady, Eileen. 2007. A Nurses’s Guide to Caring for Cardiac Intervention Patients.England.
Andra. (2006). Sindrom Koroner Akut: Pendekatan Invasif Dini atau Konservatif.
http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=197. Diakses di Surabaya,
tanggal 30 September 2010: Jam 19.01 WIB

Carpenito. (1998). Diagnosa Keperawata: Aplikasi Pada Praktek Klinis. Edisi VI. Jakarta: EGC

Rilantono, dkk. (1996). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Wasid (2007). Tinjauan Pustaka Konsep Baru Penanganan Sindrom Koroner Akut.
http://nursingbrainriza.blogspot.com/2007/05/tinjauan-pustaka-konsep-baru
penanganan.html. Diaskes di Surabaya, tanggal 30 September: Jam 19.10 WIB
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3518/1/gizi-bahri2.pdf

S-ar putea să vă placă și