Sunteți pe pagina 1din 4

BAB I.

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah


Syok septik merupakan masalah kesehatan utama yang melibatkan jutaan
manusia di seluruh dunia. Kematian yang dapat diklasifikasikan sebagai kematian
akibat sepsis memberikan konstribusi sebesar 80% dengan penyebab infeksi
terbanyak adalah pneumonia (18%), diare (15%), malaria (8%), dan infeksi berat
pada neonatus (6%) (Jaramillo-Bustamante et al., 2012; Kissoon et al., 2011;
Kissoon, 2008).
Insidensi sepsis pada anak diperkirakan sebesar 0,56/1.000 anak dengan
insidensi tertinggi pada bayi yaitu 5,6/1000 (Melendez et al., 2006). Lima hingga
30% pasien anak dengan sepsis akan mengalami syok septik. Penelitian yang
dilakukan pada tahun 1980-1990 melaporkan tingkat mortalitas lebih dari 50% pada
anak dengan syok septik (Kutko et al., 2003). Penelitian oleh Jaramillo-Bustamante et
al.(2012) pada tahun 2009-2010 menunjukkan angka mortalitas keseluruhan pasien
anak dengan sepsis adalah 18,3% (34% pada pasien dengan syok septik, 5,5% pada
pasien dengan sepsis berat, dan 1% pada pasien sepsis). Angka kematian akibat sepsis
berat di negara berkembang seperti Indonesia, antara 50% sampai 70%, sedangkan
angka kematian akibat syok septik sekitar 80% (Setiadi, 2005). Data di Rumah Sakit
Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito pada tahun 2011 menunjukkan 124 pasien dirawat
dengan sepsis dan syok septik (dari 4450 pasien rawat inap di bagian anak) dengan
kontribusi 32% kematian (38 dari 120 total kematian) (data disimpulkan dari data
rekam medis RSUP Dr. Sardjito tahun 2011).
Sepsis menyebabkan kerusakan endotelium akibat proses inflamasi dan
peningkatan aktivasi sel endotel. Kerusakan akibat enzim proteolitik menyebabkan
relaksasi otot polos vaskular sehingga terjadi gangguan mikrosirkulasi dan gangguan
perfusi (Schlichting et al., 2007). Sepsis juga ditandai dengan tingginya kadar
katekolamin yang berakibat pada proses metabolisme (katabolik), imunomodulasi

1
(radang yang berlebihan), dan kardiosirkulasi (cardiac output meningkat).
Peningkatan kadar katekolamin yang beredar bersifat toksik bagi pejamu,
menyebabkan pasien mengalami kegagalan sirkulasi dengan hipotensi akibat dari
vasodilatasi perifer dan penurunan kontraktilitas miokard. Kegagalan sirkulasi,
gangguan perfusi, dan hipotensi pada kondisi sepsis dikenal sebagai syok septik
(Nduka, 2009).
Pasien dengan syok septik mengalami perubahan fisiologis dari sistem
inflamasi, aktivasi kaskade koagulasi, gangguan fibrinolisis, dan penurunan
mikrosirkulasi sehingga terjadi disfungsi sistem organ. Pasien dengan disfungsi multi
organ multipel memiliki angka kematian yang lebih tinggi (Schlichting et al., 2007).
Skor PELOD (Pediatric Logistic Organ Dysfunction) dikembangkan dan telah
dilakukan validasi oleh Leteurtre et al. pada tahun 2003 dengan hasil valid untuk
keparahan sindrom disfungsi multiorgan (multiple organ dysfunction syndrome,
MODS) pada pasien anak dengan kondisi kritis. Nilai yang diberikan pada tiap organ
akan meningkat seiring dengan peningkatan derajat keparahan disfungsi organ.
Penelitian Metta et al. (2006) pada pasien PICU (Pediatric Intensive Care Unit)
menunjukkan nilai PELOD 20 berhubungan dengan kemungkinan mortalitas 50%.
Peningkatan nilai PELOD sejalan dengan peningkatan proporsi kematian (sensitivitas
54,5%; spesifisitas 80,9%; p<0,5). Penelitian potong lintang yang dilakukan oleh
Tanurahardja et al. (2010) pada tiga puluh anak yang didiagnosis sepsis menunjukkan
skor PELOD >20 memiliki risiko kematian 15 kali lipat lebih tinggi dibanding
dengan skor PELOD <20 (p=0,012;RO=15;95% IK 1,535-146,545). Penelitian
mengenai skor PELOD sebagai prediktor kematian pada pasien syok septik pada anak
belum pernah dilakukan.
Durasi syok septik berkaitan dengan mortalitas pasien syok septik. Penelitian
Han et al. (2003) menunjukkan bahwa setiap 1 jam penambahan durasi syok septik
akan meningkatkan risiko kematian 2 kali lipat. Durasi rata-rata syok septik pada
pasien yang selamat 13±8 jam, sedangkan pada pasien yang meninggal 23±16 jam
(Banks et al., 2002). Rata-rata waktu antara saat terdiagnosis syok septik hingga

2
meninggal adalah 13,8 jam (1-32 jam) (He at al., 2008). Penelitian Akech et al.
(2010) pada pasien anak dengan syok septik di Kenya menunjukkan 52% pasien
meninggal pada 48 jam pertama.

B. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka dapat dibuat rumusan
masalah penelitian: Apakah skor PELOD (≥20) pada saat terdiagnosis syok septik
merupakan faktor prediktor kematian dalam 48 jam pertama sejak terdiagnosis syok
septik pada pasien anak dengan syok septik di RSUP Dr. Sardjito?

C. Tujuan penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor prediktor
kematian pada pasien anak yang terdiagnosis syok septik di RSUP Dr.
Sardjito.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah skor PELOD
(≥20) pada saat terdiagnosis syok septik merupakan faktor prediktor kematian
dalam 48 jam pertama sejak terdiagnosis syok septik pada pasien anak dengan
syok septik di RSUP Dr. Sardjito.

D. Manfaat penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah skor PELOD (≥20)
pada saat terdiagnosis syok septik merupakan faktor prediktor kematian dalam 48 jam
pertama sejak terdiagnosis syok septik pada pasien anak dengan syok septik di RSUP
Dr. Sardjito sehingga dapat dijadikan rujukan untuk tenaga medis dan edukasi
keluarga mengenai prognosis anak dengan syok septik.

3
E. Keaslian Penelitian

S-ar putea să vă placă și