Sunteți pe pagina 1din 10

Research

JAMAOtolaryngology–Head & Neck Surgery | Original Investigation

Hubungan Kekambuhan Kista Preauricular Kongenital


Setelah Insisi dan Drainase vs Aspirasi Jarum Halus atau
Terapi Antibiotik

Tinjauan Retrospektif untuk Pemilihan Terapi


Holly Rataiczak, DO; Jennifer Lavin, MD; Michelle Levy, PA; Joshua Bedwell,
MD; Diego Preciado, MD; Brian K. Reilly,MD

Kepentingan Modalitas terapi pada infeksi traktus sinus preaurikular bervariasi.


Beberapa upaya harus dilakukan untuk mengurangi metode yang dapat
menyebabkan peningkatan kekambuhan setelah operasi eksisi.

Tujuan Untuk menentukan apakah insisi dan drainase (I & D) pada kista
preaurikular kongenital yang terinfeksi berhubungan dengan peningkatan angka
kekambuhan dibandingkan dengan aspirasi jarum halus atau terapi antibiotik.

Desain, setting dan partisipan Jenis penelitian ini adalah cohort retrospektif
selama 9 tahun (2006-2014) yang dilakukan di rumah sakit tersier prediatri. Anak-
anak yang menjalani terapi untuk infeksi traktus sinus preaurikular diidentifikasi
dengan menggunakan kode prosedur untuk eksisi fistula preaurikular, kista, atau
traktus sinus.

Outcome dan pengukuran utama Kekambuhan post-eksisi.

Hasil Enam puluh sembilan anak dengan rentang usia 4 bulan hingga 17 tahun
(rata-rata 5,9 tahun) menjalani eksisi kista preaurikular. Tiga puluh tujuh dari 69
pasien (54%) adalah perempuan. Lima puluh tujuh dari 69 (83%) memiliki
riwayat infeksi preoperatif; selebihnya dengan drainase kronik. Di antara anak-
anak dengan infeksi preopratif, 27 diterapi awal dengan insisi dan drainase (I &
D), 12 diterapi hanya dengan aspirasi jarum halus, dan 18 menerima terapi
antibiotik. Secara keseluruhan, angka kekambuhan adalah 8 dari 69 (11,6%). Di
antara 27 pasien dengan riwayat infeksi preoperatif yang diterapi dengan I & D, 5
lesi kambuh (18,5%), dan di antara pasien yang hanya mendapat terapi antibiotik

1
preoperatif atau aspirasi jarum halus 1 dari 30 lesi (3,3%) kambuh (perbedaan
absolut 15.2%; 95%CI, −1.7%t hingga 33.6%).
Kesimpulan dan Relevansi
Di antara anak-anak yang menjalani eksisi kista preaurikular, riwayat
infeksi tidak berhubungan dengan tingginya angka kekambuhan. Bagaimanapun
juga, terdapat bukti yang mengacu pada tingginya angka kekambuhan yang
muncul pada anak-anak yang memiliki riwayat infeksi preoperatif dan diterapi
dengan I & D. Kami menyarankan tatalaksana yang lebih konservatif terhadap
fistula preaurikular dan/atau sinus yang terinfeksi.
Fistula preaurikular merupakan malformasi kongenital yang umum dijumpai
dan sering terlihat pada pemeriksaan tetapi tidak memiliki makna klinis. Fistula
preaurikular dapat muncul sewaktu-waktu atau diwariskan pada autosomal
dominan inkomplit, dengan penetrasi dan ekspresifitas variabel yang kurang.1
Insiden fistula preaurikular bervariasi pada literatur,tergantung pada populasi
pasien, dan telah dilaporkan sekitar 0,23% dalam penelitian di New York, 0,47%
penelitian di Hongaria,2 dan 1,9% penelitian di Korea Selatan.2,3 Fistula
preaurikular lebih banyak terjadi pada keturunan Afrika dan Asia.4 Secara teori
merupakan hasil dari fusi embriogenik yang inkomplit pada 6 Hillocks His.
Fistula preaurikular traktus sinus secara tipikal tampak sebagai depresi
pinpoint, terletak sepanjang margin anterior dari cabang ascending dari helix.1
Fistula preaurikular dapat meluas hingga superior aurikula, sepanjang konka
cymba, pada lobulus, atau posterior aurikula.5 Ada kalanya fistula ini dapat
terinfeksi, dengan manifestasi sebagai selulitis fasial atau abses terlokalisasi, dan
membutuhkan terapi antibiotik, bahkan, insisi dan drainase (I & D).
Terapi pembedahan secara ideal terdiri dari eksisi fistula preaurikular
traktus sinus, dipilih saat tidak ada infeksi aktif pada jaringan. Metode
pembedahan dan kekambuhan fistula preaurikular setelah eksisi traktus sinus telah
didokumentasikan, namun dampak kekambuhan setelah terapi I & D masih belum
jelas.5,6 Prosedur insisi dan drainase secara khusus dihindari pada infeksi akut
karena I & D dapat meningkatkan risiko kekambuhan setelah pembersihan traktus
secara defintif. Hasil dari penelitian menginvestigasi apakah pre-eksisi I & D

2
berhubungan dengan peningkatan angka kekambuhan post-eksisi, namun masih
belum jelas.5,6 Oleh sebab itu diperlukan .investigasi lebih lanjut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menginvestigasi apakah I & D yang
dilakukan sebelum eksisi bertahap berhubungan dengan meningkatnya angka
kekambuhan fistula preaurikular. Hipotesa kami adalah, I & D pada kista
preaurikular terinfeksi tidak berhubungan dengan peningkatan angka
kekambuhan, dibandingkan dengan aspirasi jarum halus atau terapi antibiotik saja.

Metode
Setelah mendapat persetujuan dari Children’s National Medical Centre, kami
melakukan tinjauan retrospektif selama 9 tahun (1 Januari 2006 hingga 31
Desember 2014) pada semua anak-anak dengan fistula preaurikular. Pasien
diidentifikasi menggunakan kode prosedur Current Procedural Terminology
(CPT) untuk eksisi fistula preaurikular, kista atau traktus sinus. Setiap rekam
medis ditinjau secara individual. Data meliputi jenis kelamin, usia saat
pembedahan, terapi antibiotik preoperatif, aspirasi jarum halus preoperatif, I & D
preoperatif, waktu antara pembedahan dan kekambuhan, ukurann spesimen,
ruptur intraoperatif, ukuran dari traktus yang dieksisi dan hasil patologi. Semua
kista dieksisi menggunakan teknik yang sama; probe lacrimal diarahkan pada
eksisi luas dari jaringan lunak sekitar dengan irisan kecil pada kartilago.
Kekambuhan didefinisikan sebagai massa preaurikular dan drainase persisten dari
area tersebut. Anak-anak yang telah dikonfirmasi secara patologi tidak memiliki
kista dieksklusi. Analisa statistik menggunakan tes Fisher 2-sisi untuk
membandingkan angka kekambuhan dengan atau tanpa infeksi preoperatif dan
dengan atau tanpa I & D, dan kurva Kaplan-Meier untuk menentukan persentase
pasien yang tidak mengalami kekambuhan. Hasil dinyatakan signifikan jika P<
.05.

Hasil
Demografis
Hasil dari kode CPT menunjukkan 69 pasien yang menjalani eksisi selama
periode penelitian memiliki anomali yang dikonfirmasi secara patologi. Rata-rata
usia pasien adalah 5,9 tahun (berkisar antara 4 bulan hingga 17 tahun), dan 37 dari

3
69 pasien (54%) adalah perempuan. Lima puluh tujuh pasien (83%) memiliki
riwayat infeksi sebelum bedah eksisi yang dijadwalkan, dan 12 pasien memiliki
drainase kronik sebagai indikasi pembedahan (17%). Dari 57 pasien dengan
infeksi preoperatif, 27 diantaranya diterapi dengan I & D, 12 menjalani aspirasi
jarum halus, dan 18 diberikan terapi antibiotik.

Lihat gambar 1

FNA merupakan fine-needle aspiration (aspirasi jarum halus); I&D, incision and drainage; PAP,
preauricular pit (fistula preaurikular)
Gambar 1. Diagram populasi penelitian, modalitas terapi, dan angka
kekambuhan

Angka kekambuhan
Pada penilaian ini ditemukan angka kekambuhan 8 dari 69 (11,6%). Pada
pasien dengan riwayat infeksi preoperatif dan ditatalaksana dengan I & D, 5 dari
27 lesi (18,5%) kambuh, dan di antara pasien yang hanya menerima terapi
antibiotik atau aspirasi jarum halus, 1 dari 30 lesi (3,3%) kambuh (perbedaan
absolut 15,2%; CI 95%,-1,7% hingga 33,6%). Ada 15,2% perbedaan dalam
kekambuhan antara pasien yang diterapi dengan I & D dan pasien yang
mendapatkan terapi antibiotik preoperatif atau aspirasi jarum halus, dan perbedaan
ini dapat sama besarnya dengan 34,0%. Data ini sepadan dengan sedikit
penurunan (2%) pada kekambuhan di antara terapi dengan I & D. Analisa

4
multivariat perbandingan usia, jenis kelamin, adanya infeksi preoperatif, dan
ukuran spesimen tidak menjadi parameter signifikan yang mempengaruhi
kekambuhan. Analisa Kaplan-Meier menampilkan kurva curam yang
menunjukkan kekambuhan yang cepat pada pasien dengan I & D dibandingkan
yang tidak menjalani I & D. (Gambar 2)

Gambar 2. Analisa Kaplan-Meier menunjukkan pasien tanpa insisi dan drainase sebelum
pembedahan dan periode bebas kekambuhan

Pembahasan
Pada penelitian ini, kami membandingkan secara retrospektif angka
kekambuhan fistula postoperatif pada pasien yang menjalani I & D preoperatif
dan pasien yang yang mendapatkan terapi antibiotik atau aspirasi jarum halus.
Pada pasien dengan riwayat infeksi preoperatif yang menjalani I & D sebelum
pengangkatan definitif, 5 dari 27 (18,5%) lesi kambuh. Data ini tidak konklusif
mengenai hubungan antara jenis terapi pada infeksi preoperatif dan kekambuhan
tetapi menunjukkan kekambuhan lebih besar pada pasien yang menjalani I & D.
Hasil ini sesuai dengan Tang et al,4 yang mengumpulkan analisa retrospektif
dari 71 tahun pasien selama 5 tahun pada satu fasilitas kesehatan tersier. Mereka
menunjukkan angka kekambuhan secara keseluruhan adalah 14,1%. Di antara 12

5
pasien yang menjalani drainase abses sebelum pembedahan definitif, 4 (33,3%)
mengalami kekambuhan. Di anatara 39 pasien tanpa abses, hanya 6 (15,3%)
mengalami kekambuhan, dengan perbedaan absolute 18% (CI 95% -9% hingga
50%). Selain itu, diantara 13 sinus yang terinfeksi aktif pada saat pembedahan
definitif, 4 lesi (30,7%) mengalami kekambuhan, sementara di antara 38 sinus
tanpa infeksi , hanya 6 kambuh (15,7%), dengan perbedaan absolut 15% (CI 95%,
-11% hingga 47%). Tang et al4 menduga bahwa eksisi komplit pada sinus lebih
sulit karena perubahan fibrotik dan edema yang berhubungan dengan inflamasi
dan luka post infeksi.5 Hasil yang sama juga ditunjukkan dalam penelitian oleh
Gur et al,6 yang meneliti 165 pasien selama hampir 14 tahun. Pasien yang
menjalani tindakan drainase abses sebelum eksisi traktus sinus, 16,7%
kambuh,sedangkan pasien yang tidak menjalani insisi sebelum prosedur hanya
8.16% kambuh. (P=25; odds ratio, 2.25). hasil dari Gur et al,6 bagaimanapun juga
gagal mencapai signifikansi statistik; penulis menduga hasil statistik yang tidak
signifikan dikarenakan jumlah sampel yang sedikit. Sama seperti penelitian oleh
Tang et al,4 artikel tersebut menduga I & D mengubah struktur jaringan normal
dan menyebabkan pembedahan sinus secara definitif menjadi lebih kompleks,
berakibat pada tingginya angka kekambuhan.6
Bahkan, studi histologi menunjukkan adanya pola percabangan pada kista
preaurikular. Pada tahun 2009, Dunham et al,7 meneliti hubungan antara epitelial
traktus dari fistula preaurikular yang dieksisi dengan kartilago aurikular yang
berdekatan. Mereka7 menyatakan epitelial traktus umumnya teraborisasi pada
jalur yang sempit dan berliku dan ditemukan kurang dari 5mm dari kartilago pada
50% spesimen.
Demikian pula pada tahun 2012, sebuah penelitian oleh Gan et al8
mendemonstrasikan epitelialisasi fistula aurikular tidak hanya terdapat sepanjang
satu traktus. Gan et al8 membagi fistula preaurikular menjadi 2 kelompok eksisi:
114 partisipan ditempatkan dalam kelompok eksisi dengan panduan mikroskop
dan 94 partisipan ke dalam kelompok dengan pewarnaan methylene blue dan
probe. Bedah eksisi dengan panduan mikroskop memiliki angka kekambuhan
yang rendah (0,9%) dibandingkan dengan bedah eksisi dengan methylene blue dan
panduan probe (4,3%), dengan odds ratio 28,4 (CI 95%, 1.22-659.99). Rendahnya

6
angka kekambuhan dihubungkan dengan indentifikasi fistula yang jelas dan
rencana pembedahan yang baik.9
Selanjutnya, Lam et al9 menemukan bahwa kista preaurikular memiliki
cabang yang banyak. Mereka membandingkan eksisi lokal fistula preaurikular
yang luas dengan fistulektomi sederhana. Ditemukan bahwa eksisi lokal
menyebabkan rendahnya angka kekambuhan, dan penulis menemukan bahwa
sinus preaurikular memiliki beberapa cabang dan berkembang di dalam jaringan
lunak dan sulit diidentifikasi akibat hasil inflamasi dari pembentukan abses
sebelumnya.
Yeo et al10 meneliti faktor yang berkontribusi terhadap kekambuhan setelah
pembedahan di antara 191 pasien dengan infeksi traktus sinus preaurikular di
Korea Selatan. Angka kekambuhan secara keseluruhan adalah 4,9%. Berbanding
terbalik dengan dengan penemuan dan hipotesis yang kami ajukan, mereka
menunjukkan perbedaan yang absolut pada angka kekambuhan yang hanya 5%
(CI 95%,-2,5% hingga 12%) di antara pasien dengan riwayat drainase
dibandingkan dengan yang tidak menjalani drainase. Mereka menyatakan bahwa
kekambuhan meningkat jika prosedur dilakukan di bawah anestesi lokal, yang
dipengaruhi dengan aliran yang berliku dan pola arborisasi yang berhubungan
dengan fistula dan sulit untuk melakukan diseksi secara efektif pada pasien yang
sadar.10 Artikel lain oleh Huang et al,11 mengelompokkan prosedur operatif ke
dalam 3 grup berdasarkan derajat inflamasi. Pada grup 1, fistula preaurikular
dengan sinusotomi sederhana; grup 2, lesi dengan inflamasi moderat yang dieksisi
dengan eksisi lokal yang luas; dan grup 3, lesi dihilangkan dengan metode
“gambar 8”. Angka kekambuhannya adalah 7,34% (8 dari 109). Dari 34 sinus
yang didrainase karena abses, 5 (14,7%) kambuh, sedangkan 3 dari 65 (4,6%)
kambuh tanpa I & D sebelumnya dengan perbedaan absolut 10,1% (CI 95%,-3%
hingga 28%). Angka ini hampir sama dengan penelitian yang kami lakukan.
Mereka menemukan bahwa keadaan preoperatif I & D tidak signifikan. Hal ini
berhubungan dengan metode yang digunakan pada eksisi gambar 8, yang mana
menggabungkan 2 reseksi ke arah fascia temporalis untuk memperluas
fistulektomi. Pendekatan ini memungkinkan untuk menemukan fragmentasi
traktus setelah I & D.

7
Sama seperti fistula preaurikular, malformasi kongenital lainnya juga
berhubungan dengan kekambuhan setelah pembedahan. Hubungan kekambuhan
malformasi pada keadaan I & D preoperatif juga ditemui pada lesi yang lain.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Simon dan Magit,12 tidak ditemui adanya
hubungan yang signifikan antara I & D preoperatif pada kasus kista duktus
tiroglosal dengan kekambuhan. Namun penelitian tersebut12 menemukan angka
kekambuhan 20% di antara 49 pasien dengan infeksi, dan 4% dari 71 pasien tanpa
infeksi dengan perbedaan absolut 16% (CI 95%,3%-31%). Perbedaaan antara
hasil penelitian ini dengan hasil yang kami temukan pada fistula preaurikular
mungkin dikarenakan oleh struktur fistula yang memiki beberapa percabangan
dan arborasi dibandingkan dengan duktus tiroglosal yang terbentuk hanya
sepanjang satu traktus saja.12
Tidak seperti penelitian lain, penelitian kami juga menganalisa pasien yang
yang menjalani aspirasi jarum halus preoperatif. Tidak ada perbedaan angka
kekambuhan antara pasien yang menjalani aspirasi jarum halus dengan I & D atau
antara pasien yang menjalani aspirasi jarum halus dengan pasien yang hanya
diterapi dengan antibiotik saja. Bagaimanapun juga, kurangnya hubungan tersebut
diakibatkan oleh jumlah populasi yang sedikit, sehingga dibutuhkan investigasi
lebih lanjut. Pada analisa penelitian ini, kami membandingkan pasien yang
menjalani I & D dengan pasien yang menjalani aspirasi jarum halus atau terapi
antibiotik. Keputusan untuk menggabungkan aspirasi jarum halum halus dan
antibiotik ke dalam satu kelompok dikarenakan aspirasi jarum halus tidak terlalu
mengganggu traktus sinus dibandingkan dengan I & D.
Pola yang umum dari keturunan yang dominan sering menyebabkan orang
tua atau wali menolak tindakan intervensi yang mana menurut mereka tindakan
tersebut tidak urgensi dan tidak dibutuhkan. Selain itu, progresi infeksi pada
fistula preaurikular terjadi sangat cepat dan terapi akan menjadi lebih kompleks
jika pasien sedang merasa nyeri dan terjadi pembengkakan yang luas,
pembentukan abses, dan terkumpulnya cairan yang meluas hingga ke arah anterior
wajah.

8
Keterbatasan
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan: karena tidak ada
randomisasi pasien, dapat terjadi bias pada keputusan untuk menentukan I & D,
aspirasi jarum halus, atau terapi antibiotik. Penelitian dengan sifat retrospektif
membatasi ketersediaan variabel dalam analisis. Selain itu, penelitian ini memiliki
jumlah sampel yang sedikit, yang dapat mempengaruhi hasil secara signifikan.
Keparahan dari infeksi merupakan salah satu variabel yang membingungkan dan
mungkin memerlukan drainase sebelum eksisi secara definitif. Sebagian besar
modalitas terapi sebelum bedah insisi dan drainase pada penelitian ini dikelola
oleh layanan primer dan dokter emergensi. Saat penelitian ini dilakukan, tidak ada
panduan terapi yang mempengaruhi pengambilan keputusan. Sehingga perlu
upaya lebih besar untuk menentukan protokol terapi. Seperti yang
didemostrasikan dalam penelitian ini, percobaan dilakukan untuk menatalaksana
fistula preaurikular dengan antibiotik dan aspirasi jarum halus.

Kesimpulan
I & D preoperatif pada fistula preaurikular atau sinus yang terinfeksi,
berhubungan dengan peningkatan angka kekambuhan setelah bedah eksisi. Tidak
adanya riwayat infeksi dapat meningkatkan keberhasilan eksisi fistula secara
lengkap dan bertahan lebih lama. Hasil penelitian ini dapat menjadi panduan
terhadap modalitas terapi yang lebih konservatif, seperti antibiotik oral atau
aspirasi jarum halus, dan menghindari terapi I & D.

9
Referensi

1. Scheinfeld NS, Silverberg NB,Weinberg JM, Nozad V. The preauricular


sinus: a review of its clinical presentation, treatment, and associations.
Pediatr Dermatol. 2004;21(3):191-196.
2. Currie AR, KingWW, Vlantis AC, Li AK. Pitfalls in the management of
preauricular sinuses. Br J Surg. 1996;83(12):1722-1724.
3. Lee KY,Woo SY, Kim SW, Yang JE, Cho YS. The prevalence of
preauricular sinus and associated factors in a nationwide population-based
survey of South Korea. Otol Neurotol. 2014;35(10):1835-1838.
4. Tang IP, Shashinder S, Kuljit S, Gopala KG. Outcome of patients
presenting with preauricular sinus in a tertiary centre: a five year
experience. Med J Malaysia. 2007;62(1):53-55.
5. Chami RG, Apesos J. Treatment of asymptomatic preauricular sinuses:
challenging conventional wisdom. Ann Plast Surg. 1989;23(5):406-411.
6. Gur E, Yeung A, Al-Azzawi M, Thomson H. The excised preauricular
sinus in 14 years of experience: is there a problem? Plast Reconstr Surg.
1998;102 (5):1405-1408.
7. Dunham B, Guttenberg M, MorrisonW, TomL. The histologic relationship
of preauricular sinuses to auricular cartilage. Arch Otolaryngol Head Neck
Surg. 2009;135(12):1262-1265.
8. Gan EC, Anicete R, Tan HK, Balakrishnan A. Preauricular sinuses in the
pediatric population: techniques and recurrence rates. Int J Pediatr
Otorhinolaryngol. 2013;77(3):372-378.
9. Lam HC, Soo G,Wormald PJ, Van Hasselt CA. Excision of the
preauricular sinus: a comparison of two surgical techniques.
Laryngoscope. 2001;111(2): 317-319.
10. Yeo SW, Jun BC, Park SN, et al. The preauricular sinus: factors
contributing to recurrence after surgery. Am J Otolaryngol.
2006;27(6):396-400.
11. HuangWJ, Chu CH,Wang MC, Kuo CL, Shiao AS. Decision making in
the choice of surgical management for preauricular sinuses with different
severities. Otolaryngol Head Neck Surg. 2013;148 (6):959-964.
12. Simon LM, Magit AE. Impact of incision and drainage of infected
thyroglossal duct cyst on recurrence after Sistrunk procedure. Arch
Otolaryngol Head Neck Surg. 2012;138(1):20-24.

10

S-ar putea să vă placă și