Sunteți pe pagina 1din 14

KRISIS HIPERTENSI

Krisis hipertensi merupakan salah satu kegawatan di bidang neurovaskular yang


sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Krisis hipertensi ditandai dengan peningkatan
tekanan darah akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan
konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering dari
penderita dengan hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah
komplikasi yang mengancam jiwa (1).

EPIDEMIOLOGI
Duapuluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien hipertensi
krisis. Data di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi dari 6,7%
pada penduduk berusia 20-39 tahun, menjadi 65% pada penduduk berusia di atas 60 tahun.
Data ini dari total penduduk 30% diantaranya menderita hipertensi dan hampir 1%-2% akan
berlanjut menjadi hipertensi krisis disertai kerusakan organ target (1).
Sebagian besar pasien dengan stroke perdarahan mengalami hipertensi krisis. Pada
JNC VII tidak menyertakan hipertensi krisis ke dalam tiga stadium klasifikasi hipertensi,
namun hipertensi krisis dikategorikan dalam pembahasan hipertensi sebagai keadaan
khusus yang memerlukan tatalaksana yang lebih agresif (1). Tabel 1. Klasifikasi Tekanan
Darah menurut JNC VII (2)
Kategori TD sistolik (mmHg) TD diastolik (mmHg)
Normal < 120 Dan < 80
Pre-hipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi Stadium 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi Stadium 2 > 160 Atau > 100

DEFINISI
Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi peningkatan darah akut.
Definisi yang paling sering dipakai adalah :
1. Hipertensi emergensi (darurat)
Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg secara mendadak
disertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin
dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti-hipertensi intravena.

[1]
2. Hipertensi urgensi (mendesak)
Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi namun tanpa disertai
kerusakan organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24
jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi oral.

Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :
1. Hipertensi refrakter
Respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah > 200/110 mmHg, walaupun
telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.
2. Hipertensi akselerasi
Peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg disertai dengan kelainan funduskopi.
Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
3. Hipertensi maligna
Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik > 120-130 mmHg dan kelainan
funduskopi disertai papil edema, peninggian tekanan intrakranial, kerusakan yang cepat dari
vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapatkan pengobatan.
Hipertensi maligna biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi esensial ataupun
sekunder dan jarang pada penderita yang sebelumnya mempunyai tekanan darah normal.
4. Hipertensi ensefalopati
Kenaikan tekanan darah dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala yang hebat,
penurunan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversibel bila tekanan darah tersebut
diturunkan.

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vaskular, berupa disfungsi endotel,
remodeling, dan arterial stiffness. Namun faktor penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi masih belum dipahami. Diduga karena terjadinya peningkatan tekanan darah secara
cepat disertai peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini
akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat kerusakan
vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi (1,4,8).

[2]
FAKTOR PENYEBAB KRISIS HIPERTENSI
Hipertensi esensial
Penyakit Parenkim Ginjal
Pielonefritis Kronik
Glomerulonefritis
Nefritis tubulointerstisial
Penyakit Vaskular pada Ginjal
Stenosis Arteri Renalis
Makroskopis poliarteritis nodusa
Obat-obatan
Penghentian tiba-tiba obat obatan agonis alfa-2 adrenergik yang bekerja sentral seperti
clonidine dan metildopa
Intoksikasi obat simpatomimetik (kokain, dll)
Interaksi dengan obat MAO-Inhibitor (phenilzine, selegiline)
Kehamilan
Eklampsia/pre-eklampsi berat
Endokrin
Feokromositoma
Aldosteronisme primer
Kelebihan hormone glukokortikoid
Tumor yang mensekresikan rennin
Kelainan Sistem Saraf Pusat
Stroke hemoragik
Cedera Kepala

MEKANISME AUTOREGULASI
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan
darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai
tingkatan perubahan konstriksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka akan
terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu
normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70
mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen
lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini
gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap,
[3]
pingsan dan sinkop. Pada pen derita hipertensi kronis, penyakit serebrova skular dan usia tua,
batas ambang autoregulasi i ni akan berubah dan bergeser ke kanan pa da kurva, sehingga
pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih ting gi (lihat gambar 2)

(1) .

(1)
Gambar 1. Patofisiologi hiperte nsi emergensi .

[4]
Gambar 2. Kurva Autoregulasi Pada Tekanan Darah (1)

Pada penelitian Stragard, dilakukan pengukuran MAP pada penderita hipe rtensi dengan
yang normotensi. Didapatkan pend erita hipertensi dengan pengobatan mempu nyai nilai
diantara grup normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi
terkontrol cenderung menggeser autoregulasi ke arah normal(1).
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi m aupun hipertensi,
diperkirakan bahwa batas te rendah dari autoregulasi otak adalah kira-k ira 25% di bawah
resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penuru nan MAP
sebanyak 20%-25% dalam beberapa menit atau jam, tergantung dari apakah emergensi atau
urgensi. Penurunan tekanan darah pada penderita diseksi aorta akut ataupun edem a paru
akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15-30 menit dan bisa lebih cepat lagi
dibandingkan hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan
tekanan darah 25% dalam 2-3 jam. Untuk pasien dengan infark serebri akut ataupun perd
arahan intrakranial, penurunan tekanan darah dil akukan lebih lambat (6-12 jam) dan harus
d ijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari 170-180/100 mmHg (1,2,4,6,8).

[5]
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis krisis hipertensi berhubungan dengan kerusakan organ target yang
ada. Tabel 2. Prevalensi kerusakan target organ

Pada pasien dengan hipertensi krisis dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan
sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan tanda neurologi fokal berupa hemiparesis
atau paresis nervus cranialis. Pada hipertensi ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran
dan atau defisit neurologi fokal. Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan
retinopati dengan perubahan arteriola, Perdarahan dan eksudasi maupun papiledema. Pada
sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan
seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung kiri akut. Dan beberapa pasien
yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa saja terjadi (1,5,7).

Gambar 3. Papilledema. Pembengkakan optic disc dan margin kabur (1).

[6]
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi harus dapat dilakukan
dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pasien.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat menunjukkan organ mana yang mengalami
gangguan.
Anamnesis
Anamnesis tentang riwayat penyakit hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang rutin
diminum, kepatuhan minum obat, riwayat pemakaian obat-obatan yang dapat menaikkan
tekanan darah seperti kokain, phencyclidine (PCP), Lysergic Acid Diethylamide (LSD),
amphetamin, atau obat-obat simpatomimetic lainnya. Gejala sistem saraf (nyeri kepala,
perubahan mental, ansietas). Gejala sistem ginjal (BAK berwarna merah, jumlah urin
berkurang). Gejala sistem kardiovaskuler (adanya sesak napas, payah jantung, kongestif dan
oedema paru, nyeri dada). Riwayat penyakit yang menyertai dan penyakit kardiovaskular atau
ginjal (glomerulonefritis, pyelonefritis) penting dievaluasi. Hal yang juga perlu untuk dievaluasi
adalah riwayat kehamilan untuk mencari tanda eklampsia sebagai penyebab krisis

hipertensi(1,2,3).

[7]
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah setelah beristirahat pada posisi
(baring dan berdiri) pada kedua tangan. Begitu pula nadi diperiksa pada keempat
ekstremitas, auskultasi paru untuk mencari edema paru, auskutasi jantung untuk mencari
murmur/gallop, auskultasi arteri renalis untuk mencari bruit dan pemeriksaan neurologis
serta funduskopi. Dilakukan funduskopi untuk melihat : edema retina, perdarahan retina,
eksudat pada retina atau papil edema. Pemeriksaan kardiovaskuler dinilai apakah ada
peningkatan tekanan vena jugularis, bunyi jantung 3, diseksi aorta, defisit nadi.
Pemeriksaan neurologi untuk menilai tanda perubahan neurologis yang segera terjadi atau
berkelanjutan. Tanda hipertensi ensefalopati seperti disorientasi, gangguan kesadaran,
defisit neurologis fokal dan kejang fokal.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara, yaitu :
a. Pemeriksaan segera seperti :
Darah : Rutin, BUN, creatinine, elektrolit

EKG : 12 lead : melihat tanda iskemi


Rontgen Thoraks : Rontgen thorax dapat dilakukan untuk menilai ukuran jantung, tanda
edema paru serta penapisan awal terjadinya diseksi aorta akut.
b. Pemeriksaan lanjutan (tergantung keadaan klinis dan hasil pemeriksaan
pertama) Dugaan kelainan ginjal : IVP, renal angiografi, biopsi renal
Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : CT scan
Bila disangsikan feokromositoma : urine 24 jam untuk khatekolamin, metamefrin,
Venumandelic Acid (VMA)
Echocardiografi dua dimensi : membedakan gangguan fungsi diastolik dari gangguan
fungsi sistolik ketika tanda gagal jantung didapatkan.
Berikut adalah bagan alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi (1,2,5) :

[8]
Pasien dengan Hipertensi

TD > 180/120 mmHg

Tidak Ya

Tidak Krisis Hipertensi Kerusakan Organ Target

- Pre-hipertensi 1. Neurologi
TDS 120-139 - Tanda Stroke Iskemik/Hemoragik
TDD 80-89
  Nyeri kepala
- Hipertensi stadium  Muntah
1 TDS 140-159 
  Penurunan kesadaran
TDD 90-99
  Kelumpuhan anggota gerak/paresis n. cranialis
- Hipertensi stadium
  Bicara pelo
2 TDS > 160
  Mulut mencong
TDD > 100
- Flapping Tremor
2. Jantung & Paru
- Nyeri dada
Tatalaksana - Perbedaan TD lengan kanan/kiri > 20 mmHg (diseksi aorta)
- Auskultasi : murmur/mitral regurgitasi/gallop
- Peninggian JVP
- Ronkhi basah/sesak napas
3. Ginjal
- Edema perifer
- Oliguria/anuria
- Hematuria/proteinuria
- Peningkatan ureum kreatinin
4. Mata
- Funduskopi Keith-Wagner (KW) III atau IV

Tidak Ya

Hipertensi Urgensi Hipertensi Emergensi

Gambar 4. Alur Diagnostik Krisis Hipertensi(1)

[9]
PENATALAKSANAAN
1. Hipertensi Urgensi
A. Penatalaksanaan Umum
Manajemen penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak
membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan memberi
manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial Pressure
(MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal penurunan
tekanan darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg. Penggunaan obat-obatan anti-
hipertensi parenteral maupun oral bukan tanpa risiko dalam menurunkan tekanan darah.
Pemberian loading dose obat oral anti-hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan
pasien akan mengalami hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan
kombinasi obat oral merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi.
B. Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi
Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dengan onset
mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg sebagai dosis awal kemudian
tingkatkan dosisnya 50-100 mg setelah 90-120 menit kemudian. Efek yang sering terjadi
yaitu batuk, hipotensi, hiperkalemia, angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien
dengan stenosis pada arteri renal bilateral).
Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering digunakan pada pasien
dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang dilakukan pada 53 pasien dengan hipertensi
urgensi secara random terhadap penggunaan nicardipine atau placebo. Nicardipine
memiliki efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan placebo yang mencapai 22%
(p=0,002). Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang setiap 8 jam hingga
tercapai tekanan darah yang diinginkan. Efek samping yang sering terjadi seperti palpitasi,
berkeringat dan sakit kepala.
Labetalol adalah gabungan antara α1 dan β-adrenergic blocking dan memiliki waktu kerja
mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol memiliki dose range yang sangat lebar
sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien,
setiap grup dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100 mg, 200 mg dan 300 mg secara
oral dan menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik secara signifikan.
Secara umum labetalol dapat diberikan mulai dari dosis 200 mg secara oral dan dapat
diulangi setiap 3-4 jam kemudian. Efek samping yang sering muncul adalah mual dan sakit
kepala.

[10]
Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-adrenergicreceptor
agonist) yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit dan puncaknya antara 2-4 jam. Dosis
awal bisa diberikan 0,1-0,2 mg kemudian berikan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai
tercapainya tekanan darah yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg. Efek samping
yang sering terjadi adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik.
Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki pucak kerja antara 10-
20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh FDA untuk terapi hipertensi urgensi
karena dapat menurunkan tekanan darah yang mendadak dan tidak dapat diprediksikan
sehingga berhubungan dengan kejadian stroke.

2. Hipertensi Emergensi A.
Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada kerusakan
organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan parenteral secara
tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah
bisa dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal penurunan tekanan darah
masih belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam
awal dan 15% pada 2-3 jam berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan
berlebihan akan mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi.
Untuk menghindari hal tersebut maka pemberian anti hipertensi yang lebih bisa dikontrol
secara intravena lebih dianjurkan dibanding terapi oral atau sublingual seperti Nifedipine.
Tujuan penurunan TD bukanlah untuk mendapatkan TD normal, tetapi lebih untuk
mendapatkan penurunan tekanan darah yang terkendali. Penurunan tekanan darah diastolik
tidak kurang dari 100 mmHg. Tekanan sistolik tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP
tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu
(misal : disecting aortiic aneurisma). Penurunan TD tidak lebih dari 20 % dari MAP
ataupun TD yang didapat. Kemudian dilakukan observasi terhadap pasien, jika penurunan
tekanan darah awal dapat diterima oleh pasien dimana keadaan klinisnya stabil, maka 24
jam kemudian tekanan darah dapat diturunkan secara bertahap menuju angka normal.

B. Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi


Neurologic emergency. Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi pada hipertensi
emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan intracranial dan stroke iskemik
akut. American Heart Association merekomendasikan penurunan tekanan darah > 180/105
[11]
mmHg pada hipertensi dengan perdarahan intracranial dan MAP harus dipertahankan di
bawah 130 mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik tekanan darah harus dipantau secara
hati-hati 1-2 jam awal untuk menentukan apakah tekanan darah akan menurun secara
sepontan. Secara terus-menerus MAP dipertahankan > 130 mmHg.
Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti iskemik akut pada
otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi emergensi yang
melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada
studi yang telah dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah
pada arteri koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan β blocker
(labetalol dan esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian dapat
dilanjutkan dengan obat-obatan vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan tersebut
dapat menurunkan tekanan darah sampai target tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik
> 120mmHg) dalam waktu 20 menit.
Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi
dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria, hematuria,
oligouria dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside
IV telah digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan
sianida atau tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat menghindari potensi
keracunan sianida akibat dari pemberian nitroprusside dalam terapi gagal ginjal.
Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena pengaruh obat-
obatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase. Pasien dengan
kelebihan zat-zat katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat
menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya
hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal. Pada orang-orang
dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol dengan
pemberian sodium nitroprusside (vasodilator arteri) atau phentolamine IV (ganglion-
blocking agent). Golongan β-blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai tekanan
darah yang diinginkan tercapai. Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidinterapi yang terbaik
adalah dengan memberikan kembali klonidin sebagaidosis inisial dan dengan penambahan
obat-obatan anti hipertensi yang telah dijelaskan di atas.
PROGNOSIS
Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%) , gagal ginjal (19%) dan gagal jantung
(13%). Prognosis menjadi lebih baik apabila penangannannya tepat dan segera(1,6).

[12]
Tabel 5. Obat-obatan yang digunakan untuk hipertensi emergensi
DAFTAR PUSTAKA

1. Devicaesaria, Asnelia. Hipertensi Krisis. Departemen Neurologi Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo. Medicinus Vol.
27, No.3, Desember 2014.
2. Anonymous. National High Blood Pressure Education Program. The seventh report
of the Joint National Committe on prevention, detection, evaluation and treatment of
high blood pressure. Bethesda (MD): Dept. of Health and Human Services, National
Institutes of Health, National Heart, Lung, and Blood Institute, NIH Publication.
2004; No.04-5230l.
3. Zampagniole B, Pascale C, Marchisio M, et al. Hypertensive urgencies and
emergencies. Prevalence and clinical presentation. Hypertension. 1996;27:144-7.
4. Sutters, M. Systemic Hypertension dalam Papadakis M, McPhee S, Rabow M. Current
Medical Diagnosis and Treatment 55th edition. 2016. McGraw-Hill Education
5. Evidence-based Guideline for Management of Hypertension in adults. Report From
the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8).
JAMA. doi:10.1001/jama.2013.284427.
6. Pollack C, Rees C. Hypertnesive Emergency : Acute Care Evaluation and
Management. 2008. Department of Emergency Medicine, Pennsylvania Hospital.
University of Pennsylvania, Philadelphia.
7. Salkic S, Brkic S, Batic-Mujanovic O, et al. Emergency Room Treatment of
Hypertensive Crises. MED ARH. 2015 OCT; 69(5): 302-306
8. Angelats EG, Baur EB. Hypertension, Hypertensive crisis, and Hypertensive
emergency: approaches to emergency department care. Emergencias. 2010; 22: 209-
219
9. Efiaty arsyad. 2001. Epistaksis, Buku ajar ilmu kesehatan teling-hidung-
tenggorok-leher. FKUI. 2001

S-ar putea să vă placă și