Sunteți pe pagina 1din 26

Laboratorium Ilmu Kesehatan Jiwa Refleksi Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

EPISODE DEPRESIF SEDANG

Oleh

Amelia Febrianti Buanawati

1810029009

Pembimbing
dr. Jaya Mualimin, Sp.KJ., M.Kes., MARS

LAB / SMF KESEHATAN JIWA


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
RSJD Atma Husada Mahakam
2018

1
1. RIWAYAT PSIKIATRI
A. Identitas Pasien

Nama : Tn. JN

Jenis Kelamin : Laki – laki

Usia : 28 tahun

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Karyawan Perusahaan Tambang Swasta

Alamat : Dusun Rejo Makmur, Tenggarong Sebrang

B. Identitas Penanggung Jawab

Nama : Ny. LA

Jenis Kelamin : Perempuan

Hubungan : Istri

Alamat : Dusun Rejo Makmur, Tenggarong Sebrang

C. Resume Masuk

Pasien datang ke Poliklinik Jiwa RSJD Atma Husada Mahakam


Samarinda pada tanggal 24 September 2018 seorang diri karena pasien merasa
gelisah.

Keluhan Utama : Gelisah

2
D. Riwayat Penyakit Sekarang

Autoanamnesis

Pasien datang dengan keluhan merasa cenderung gelisah. Pasien mulai


merasa gelisah lagi sejak sebulan yang lalu dan memberat sejak seminggu
terakhir. Pasien merasa gelisah karena setiap pasien berbicara, ia selalu merasa
dipojokkan oleh orang-orang disekitarnya. Rasa gelisah pasien disertai dengan
perasaan cemas karena pasien merasa lingkungan di sekitarnya tidak nyaman,
selain sering dipojokkan, pasien juga sering di olok-olok oleh orang sekitarnya.
Pasien tidak tahu alasan pasti mengapa ia di pojokkan dan di olok-olok, namun
menurut pasien sepertinya dikarenakan kondisi keluarga pasien dan juga ekonomi
pasien yang naik turun tidak stabil.

Keluhan ini pertama kali muncul pada tahun 2010, namun pasien pertama
kali datang untuk berobat pada Maret 2018 dengan keluhan yang masih sama.
Saat itu yang dirasakan oleh pasien yaitu perasaan cemas, malu, minder, dan
pasien cenderung menghindar dari orang-orang di sekitarnya. Saat malam pasien
dapat tertidur namun tidak nyenyak dan sering terbangun tengah malam. Pasien
juga merasa mudah lelah, sering tidak bisa berkonsentrasi saat bekerja, dan
merasa tidak percaya diri terutama bila berhadapan dengan orang lain. Pasien
paling sering merasa cemas. Pasien sering dipojokkan oleh keluarga dan orang
sekitar karena ketika pasien menikah pada tahun 2010, istri pasien berselingkuh
dengan orang lain hingga hamil. Pasien memiliki rasa kecewa terhadap istrinya,
akan tetapi terus dipendam oleh pasien. Orang tua pasien mengalami perceraian
saat pasien masih sekolah, dan pasien juga memendam rasa kecewa terhadap
orang tuanya.

Heteroanamnesis
-

3
E. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien merupakan pasien rawat jalan RSJD Atma Husada Mahakam sejak
Maret 2018 dengan diagnosa awal gangguan cemas menyeluruh dan baru
berkunjung sebanyak 4 kali sejak maret 2018.

F. Riwayat Medis dan Psikiatrik yang lain

1. Gangguan Mental dan Emosi


Pasien tidak memiliki riwayat gangguan mental dan emosi.
2. Gangguan Psikosomatik
Pasien mengaku merasa sesak dan berdebar ketika cemas kambuh
3. Kondisi Medis
Pasien tidak pernah di rawat dirumah sakit.
4. Gangguan Neurologi
Tidak ada gangguan neurologi
5. Riwayat Penyalahgunaan Zat
Pasien tidak memilki riwayat penyalahgunaan zat.

G. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa. Ayah pasien


memiliki riwayat DM.

H. Gambaran Premorbid

Pasien memiliki kepribadian yang cenderung pendiam dan tidak suka


berkonflik dengan orang lain.

4
I. Faktor Pencetus

Pasien akan mulai gelisah, cemas dan sulit berbicara ketika pasien
berbicara dengan orang lain di lingkungan kerja ataupun lingkungan rumah,
karena pasien merasa dipojokkan saat berbicara dan tidak dapat melawan saat
berbicara. Pertama kali keluhan ini muncul adalah karena pasien mengetahui istri
pasien selingkuh dengan orang lain hingga hamil.

J. Riwayat Sosial Ekonomi

Menengah kebawah

H. Riwayat pribadi
1. Masa kanak-kanak awal (0-3 tahun)
 Riwayat prenatal, kehamilan ibu dan kelahiran
Pasien dikandung selama 9 bulan. Pasien lahir secara spontan
pervaginam. Berat dan panjang normal
 Kebiasaan makan dan minum
Pasien mendapatkan ASI selama 2 tahun lebih. Dan tidak berbeda
dengan anak-anak yang lain.
 Perkembangan awal
Pasien mengatakan bahwa tumbuh kembangnya normal sesuai
usia. Tidak ada terlambat bicara maupun berjalan.
2. Masa kanak-kanak pertengahan (3-11 tahun)
Pasien menghabiskan masa kanak-kanak bersama orangtuanya dan
merupakan anak yang pendiam. Pasien tidak mengalami gangguan dalam
akademik dari TK-SMP. hubungan pertemanan, dari pengakuan pasien,
pasien supel dan punya banyak teman.
3. Masa kanak-kanak akhir (pubertas sampai remaja)
 Hubungan dengan teman sebaya
Hubungan dengan teman sebaya baik, pasien sering keluar rumah
bersama teman-temannya.
 Riwayat sekolah

5
Pasien memiliki riwayat pendidikan yang baik mulai dari TK
hingga lulus SMA.
 Perkembangan kognitif dan motorik
Pasien dapat mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah dengan
baik dan tidak ada masalah.
 Masalah-masalah fisik dan emosi remaja yang utama
Pasien tidak memiliki masalah dengan teman sebaya dan teman
sekolahnya. Akan tetapi pasien dihadapkan dengan masalah orang tua
yang bercerai dan ayahnya yang akhirnya menikah lagi. Sejak saat itu
pasien merasa tidak diperdulikan oleh orang tuanya.
 Latar belakang agama
Semua anggota keluarga pasien beragama Islam.

I. Riwayat Pendidikan

Pasien dapat mengikuti pendidikan dari SD hingga SMA dengan baik.

J. Riwayat Pekerjaan

Pasien bekerja di perusahaan tambang swasta. Awalnya pasien sebagai


karyawan kantor, namun setelah itu pasien menjadi karyawan lapangan.

6
K. Genogram

Keterangan :

Perempuan
Laki-laki
Pasien

L. Status Psikiatrik
1. Identifikasi Pribadi
Pasien tampak sakit ringan, terlihat rapi dan kooperatif.
2. Kontak
Verbal (+) dan visual (+)
3. Kesadaran
Komposmentis, Atensi (+), Orientasi tempat (+), waktu (+), orang (+)
4. Emosi
Mood stabil, Afek terbatas, depresif
5. Proses berpikir
 Bentuk pikiran
- Produktivitas
Pembicaraan pasien linear
- Kelancaran berpikir

7
Jawaban penderita langsung, arus berpikir cepat dan sesuai.
- Gangguan bahasa
Tidak ada gangguan bahasa
 Isi pikiran
Waham (-), realistik, koheren
6. Intelegensi
 Ingatan
- Masa dahulu : Baik
- Masa kini : Baik
- Segera : Baik
 Pengetahuan
Cukup baik dan sesuai dengan tingkat pendidikan terakhir
7. Persepsi
Halusinasi auditorik dan atau visual (-)
8. Kemauan/Voluticon
Menurun, ADL Mandiri
9. Psikomotor
Tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kelainan
10. Tilikan
6 (pasien menyadari sepenuhnya tentang apa yang terjadi pada dirinya
disertai motivasi untuk mencapai perbaikan).

M. Pemeriksaan Diagnosis Lebih Lanjut


1. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Penampilan rapi, tampak sakit ringan.
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 83 x/menit
RR : 18 x/menit
Suhu : 36 ˚C
Keadaan gizi : Ideal
Kulit : dalam batas normal
Kepala : Ikterik (-), anemis (-),

8
Leher : perbesaran KGB (-)
Toraks : simetris, retraksi ICS (-)
Jantung : S1, S2 tunggal reguler
Paru-paru : vesikuler (+), wheezing (-), ronki (-)
Abdomen : Soefl, bising usus (+)
Hepar / Lien : Tidak dievaluasi
Ekstremitas : luka (-), akral hangat, edema (-), hematoma (-)

2. Pemeriksaan Neurologi
Tidak dilakukan

3. Wawancara diagnostik psikiatrik tambahan


Pemeriksaan HDRS ( Hamilton Depression Rating Scale )

No. Gejala Nilai No. Gejala Nilai


1. Keadaan perasaan 2 12. Gejala somatic git 1
depresi
2. Perasaan bersalah 2 13. Gejala somatic 1
umum
3. Bunuh diri 0 14. Genital 0
4. Insomnia ( initial ) 1 15. Hipokondriasis 1
5. Insomnia ( middle ) 2 16. Kehilangan berat 0
badan (A+B)
6. Insomnia ( late ) 2 17. Insight 1
7. Kerja dan 2 18. Variasi lain 2
kegiatannya
8. Kelambanan 1 19. Depersonalisasi dan 0
derealisasi
9. Kegelisahan / agitasi 4 20. Gejala – gejala 0
paranoid
10. Ansietas somatik 1 21. Gejala – gejala 0
obsesi dan

9
kompulsi
11. Ansietas psikis 4 Total 27

Skor HDRS adalah 27, maka termasuk dalam kategori depresi


sedang.
4. Wawancara dengan keluarga pasien.
Tidak dilakukkan karena pasien datang seorang diri.
5. Pemeriksaan Psikologi, Neurologi dan Laboratorium (sebagai
penunjang)
Tidak ada

N. Formulasi Diagnostik
 Seorang laki-laki usia 28 tahun, anak tunggal, beragama Islam, suku Jawa,
bekerja di Perusahaan tambang sebagai karyawan lapangan, datang
seorang diri ke RSJD AHM pada tanggal 24 September 2018 dengan
keluhan utama gelisah.
 Faktor pencetusnya adalah pasien dipojokkan dan diolok-olok saat
berbicara dengan orang lain di sekitar lingkungan pasien. Pertama kali
muncul akibat permasalahan dengan istri pasien.
 Dari pemeriksaan psikiatri, didapatkan penampilan bersih, rapi, kooperatif.
Kontak verbal baik dan kontak visual baik. Emosi stabil, afek sesuai.
Proses berpikir cepat dan koheren. Tidak ada waham. Tidak ada ide bunuh
diri. Intelegensia baik, aktivitas sehari-hari sedikit terganggu, psikomotor
dalam batas normal.
 Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan.

O. Diagnosis
 Axis I : Episode Depresi Sedang (F32.1)
 Axis II : Gangguan Kepribadian Cemas (Menghindar) F60.6
 Axis III : Tidak ada diagnosis
 Axis IV : Masalah dengan primary support group (keluarga) dan
masalah psikososial

10
 Axis V : GAF scale 50

P. Rencana Terapi
1. Farmakoterapi:
 Sertralin 1 x 50 mg
 Clobazam 2 x 10 mg

2. Psikoterapi
Terapi kognitif

Q. Prognosis

Dubia ad bonam

11
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang


berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia,
kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri (Kaplan, 2010).
Maslim berpendapat bahwa depresi adalah suatu kondisi yang dapat disebabkan
oleh defisiensi relatif salah satu atau beberapa aminergik neurotransmiter
(noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di SSP (terutama pada
sistem limbik) (Maslim, 2002). Menurut Kaplan, depresi merupakan salah satu
gangguan mood yang ditandai oleh hilangnya perasaan kendali dan pengalaman
subjektif adanya penderitaan berat. Mood adalah keadaan emosional internal yang
meresap dari seseorang, dan bukan afek, yaitu ekspresi dari isi emosional saat itu
(Kaplan, 2010).

B. Etio-Patofisiologi
Etiologi Depresi Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat
secara buatan dibagi menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.
a) Faktor biologi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan
pada amin biogenik, seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA
(Homovanilic acid), MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah,
urin dan cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang
terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan epineprin. Penurunan
serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien
memiliki serotonin yang rendah. Pada terapi despiran mendukung teori bahwa
norepineprin berperan dalam patofisiologi depresi (Kaplan, 2010). Selain itu
aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada
pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti Respirin, dan penyakit
dimana konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson, adalah disertai gejala
depresi. Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin,
amphetamine, dan bupropion, menurunkan gejala depresi (Kaplan, 2010).

12
Disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis
neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung neurotransmiter amin
biogenik. Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin.
Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung amin
biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis Hypothalamic-
Pituitary-Adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan pada amin biogenik
sentral. Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid,
dan aksis hormon pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak
diteliti (Landefeld et al, 2004). Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis
HPA yang sangat fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi
diduga akibat adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem limpik atau
adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan neuromodulator yang
mengatur CRH (Kaplan, 2010). Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi
seperti perasaan takut dan marah berhubungan dengan Paraventriculer nucleus
(PVN), yang merupakan organ utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur
oleh sistem limbik. Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan
peningkatan sekresi CRH (Landefeld, 2004). Pada orang lanjut usia terjadi
penurunan produksi hormon estrogen. Estrogen berfungsi melindungi sistem
dopaminergik negrostriatal terhadap neurotoksin seperti MPTP, 6 OHDA dan
methamphetamin. Estrogen bersama dengan antioksidan juga merusak
monoamine oxidase (Unutzer dkk, 2002). Kehilangan saraf atau penurunan
neurotransmiter. Sistem saraf pusat mengalami kehilangan secara selektif pada sel
– sel saraf selama proses menua. Walaupun ada kehilangan sel saraf yang konstan
pada seluruh otak selama rentang hidup, degenerasi neuronal korteks dan
kehilangan yang lebih besar pada sel-sel di dalam lokus seroleus, substansia nigra,
serebelum dan bulbus olfaktorius (Lesler, 2001). Bukti menunjukkan bahwa ada
ketergantungan dengan umur tentang penurunan aktivitas dari noradrenergik,
serotonergik, dan dopaminergik di dalam otak. Khususnya untuk fungsi aktivitas
menurun menjadi setengah pada umur 80-an tahun dibandingkan dengan umur 60-
an tahun (Kane dkk, 1999).
b) Faktor Genetik. Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka
resiko di antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita

13
depresi berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan
populasi umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40%
pada kembar monozigot (Davies, 1999). Oleh Lesler (2001), Pengaruh genetik
terhadap depresi tidak disebutkan secara khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat
penurunan dalam ketahanan dan kemampuan dalam menanggapi stres. Proses
menua bersifat individual, sehingga dipikirkan kepekaan seseorang terhadap
penyakit adalah genetik.
c) Faktor Psikososial. Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab
depresi adalah kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Ada sejumlah
faktor psikososial yang diprediksi sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut
usia yang pada umumnya berhubungan dengan kehilangan. Faktor psikososial
tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman atau
sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan
finansial, dan penurunan fungsi kognitif (Kaplan, 2010) Sedangkan menurut
Kane, faktor psikososial meliputi penurunan percaya diri, kemampuan untuk
mengadakan hubungan intim, penurunan jaringan sosial, kesepian, perpisahan,
kemiskinan dan penyakit fisik (Kane, 1999). Faktor psikososial yang
mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan dan stressor lingkungan,
kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori kognitif dan
dukungan sosial (Kaplan, 2010). Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan.
Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode
pertama gangguan mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai
bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain
menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam
onset depresi. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu
episode depresi adalah kehilangan pasangan (Kaplan, 2010). Stressor psikososial
yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis
misalnya kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan
interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi (hardywinoto,
1999). Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada
individu, seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian antisosial dan

14
paranoid (kepribadian yang memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif)
mempunyai resiko yang rendah (Kaplan, 2010). Faktor psikodinamika.
Berdasarkan teori psikodinamika Freud, dinyatakan bahwa kehilangan objek yang
dicintai dapat menimbulkan depresi (Kaplan, 2010). Dalam upaya untuk mengerti
depresi, Sigmud Freud sebagaimana dikutip Kaplan (2010) mendalilkan suatu
hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Ia menyatakan bahwa
kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal karena
identifikasi dengan objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi mungkin
merupakan cara satu-satunya bagi ego untuk melepaskan suatu objek, ia
membedakan melankolia atau depresi dari duka cita atas dasar bahwa pasien
terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda dalam hubungan dengan
perasaan bersalah dan mencela diri sendiri, sedangkan orang yang berkabung
tidak demikian. Kegagalan yang berulang. Dalam percobaan binatang yang
dipapari kejutan listrik yang tidak bisa dihindari, secara berulang-ulang, binatang
akhirnya menyerah tidak melakukan usaha lagi untuk menghindari. Disini terjadi
proses belajar bahwa mereka tidak berdaya. Pada manusia yang menderita depresi
juga ditemukan ketidakberdayaan yang mirip (Kaplan, 2010). Faktor kognitif.
Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu, menyebabkan distorsi pikiran
menjadi negatif tentang pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif, pesimisme
dan keputusasaan. Pandangan yang negatif tersebut menyebabkan perasaan
depresi (Kaplan, 2010).

C. Gejala dan Tanda Klinis


Episode depresi. Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya
energy adlah gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya
sedih, tidak mempunyai harapan, dicampakkan, atau tidak berharga. Emosi pada
mood depresi kualitasnya berbeda dengan emosi duka cita atau kesedihan yang
normal.
Pikiran untuk melakukkan bunuh diri dapat timbul pada sekitar 2/3 pasien
depresi, dan 10 sampai 15 persen diantaranya melakukkan bunuh diri. Mereka
yang dirawat di rumah sakit dengan percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri
mempunyai umur hidup lebih panjang dibanding yang tidak ditawat. Beberapa

15
pasien depresi terkadang tidak menyadari ia mengalami depresi dan tidak
mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka menarik diri dari keluarga,
teman dan aktivitas yang sebelumnya menarik bagi dirinya. Hampir semua pasien
depresi mengeluh tentang penurunan energy. Mereka mengalami kesulitan
menyelesaikan tugas, mengalami hendaya di sekolah dan pekerjaan, dan
menurunnya motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80% pasien
mengeluh masalah tidur, khususnya terjaga dini hari dan sering terbangun di
malam hari karena memikirkan masalah yang dihadapi. Kebanyakan pasien
menujukkan peningkatan atau penurunan nafsu makan demikian pula dengan
bertambah dan menurun berat badannya serta mengalami tidur lebih lama dari
yang biasanya.
Kecemasan adalah gejala tersering dari depresi dan menyerang 90% pasien
depresi. Berbagai perubahan asupan makanan dan istirahat dapat menyebabkan
timbulnya penyakit lain secara bersamaan, seperti diabetes, hipertensi, PPOK, dan
penyakit jantung. Gejala lain termasuk haid yang tidak normal dan menurunnya
minat serta aktivitas seksual.

D. Diagnosis
Menurut PPDGJ III, kriteria diagnosis episode depresif (F32) adalah sebagai
berikut: Gejala utama ( pada derajat ringan, sedang, dan berat) :
1) Afek depresif
2) Kehilangan minat dan kegembiraan
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
( rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja ) dan menurunnya
aktivitas.

Gejala Lainnya :
a) Konsentrasi dan perhatian berkurang
b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistik
e) Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri

16
f) Tidur terganggu
g) Nafsu makan berkurang

 Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan


masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan
tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa
beratnya dan berlangsung cepat.
 Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan
berat (F32.2) hanya digunakan untuk episode depresif tunggal (yang
pertama). Episode depresif berikutnya harus diklasifikasikan dibawah
salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33.-)

F32.0 Episode Depresif Ringan


Episode depresi ringan
 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
tersebut diatas
 Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya: a) sampai dengan g).
 Tidak boleh ada gejala berat diantaranya.
 Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu.
 Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.

F32.1 Episode Depresif Sedang


Episode depresi sedang
 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada
episode depresi ringan.
 Ditambah 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya.
 Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.
 Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
dan urusan rumah tangga,.

17
F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik
Episode depresi berat tanpa gejala psikotik

 Semua 3 gejala utama depresi harus ada.

 Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa di


antaranya harus berintensitas berat.

 Bila ada gejala penting ( misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian
secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih dapa dibenarkan.

 Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurangkurangnya 2


minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka
masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang
dari 2 minggu.

 Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,


pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat
terbatas.

F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik


Episode depresi berat dengan gejala psikotik
 Episode depresif berat yang memenuhi kriteri menurut F32.2 tersebut
diatas.
 Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham malapetaka yang
mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi
auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau
menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor
yang berat dapat menuju stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi
dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek (mood-
congruent).

18
E. Terapi
Terapi pada Gangguan Cemas Menyeluruh pada umumnya dapat
dilakukan dengan 2 cara yakni terapi psikologis (psikoterapi) atau terapi dengan
obatobatan (farmakoterapi). Angka-angka keberhasilan terapi yang tinggi
dilaporkan pada kasus-kasus dengan diagnosis dini. Psikoterapi yang sederhana
sangat efektif, khususnya dalam konteks hubungan pasien dengan dokter yang
baik, sehingga dapat membantu mengurangi farmakoterapi yang tidak perlu
(Torpy, Burke, & Golub, 2011).
a. Farmakoterapi
Pengobatan pasien dengan gangguan mood harus diamanahkan pada
sejumlah tujuan. Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua, pemeriksaan
diagnostik yang lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga,suatu rencana
pengobatan harus dimulai yang menjawab bukan hanyagejala sementara tetapi
juga kesehatan pasien selanjutnya (Kaplan, 2010). Dokter harus mengintegrasikan
farmakoterapi dengan intervensi psikoterapeutik. Jika dokter memandang gangguan mood
pada dasarnya berkembang dari masalah psikodinamika, ambivalensi mengenai
kegunaanobat dapat menyebabkan respons yang buruk, ketidakpatuhan,
dankemungkinan dosis yang tidak adekuat untuk jangka waktu yang
singkat.Sebaliknya, jika dokter mengabaikan kebutuhan psikososial pasien,
hasildari farmakoterapi mungkin terganggu (NIMH, 2002).
Terapi Farmakologis
Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam efek
farmakologisnya. Variasi tersebut merupakan dasar untuk pengamatan bahwa
pasien individual mungkin berespons terhadapantidepresan lainnya. Variasi
tersebut juga merupakan dasar untuk membedakan efek samping yang terlihat
pada antidepresan (Kaplan,2010). Pembedaan yang paling dasar diantara
antidepresan adalah pada proses farmakologis yang terjadi, dimana ada
antidepresan yang memiliki efek farmakodinamika jangka pendek utamanya pada
tempatambilan kembali (reuptake sites) atau pada tingkat inhibisi
enzimmonoamine oksidasi. bekerja untuk menormalkan neurotransmitter yang
abnormal di otak khususnya epinefrin dan norepinefrin.Antidepresan lain bekerja
pada dopamin. Hal ini sesuai dengan etiologidari depresi yang kemungkinan

19
diakibatkan dari abnormalitas darisistem neurotransmitter di otak (NIMH, 2002).
Obat antidepresan yang akan dibahas adalah antidepresi generasi pertama
(Trisiklik dan MAOIs), antidepresi golongan kedua (SSRIs) dan antidepresi
golongan ketiga (SRNIs) (Arozal, 2007).
a.Trisiklik
Trisiklik merupakan anti depresan yang paling umum digunakan sebagai
pengobatan lini pertama untuk gangguan depresif berat (Kaplan, 2010). Golongan
trisiklik ini dapat dibagimenjadi beberapa golongan, yaitu trisiklik primer,
tetrasiklik amin sekunder (nortriptyline, desipramine) dan tetrasiklik
tersier (imipramine, amitriptlyne). Dari ketiga golongan obat tersebut, yang paling
sering digunakan adalah tetrasiklik amin sekunder karena mempunyai efek
samping yang lebih minimal. Obat golongantetrasiklik sering dipilih karena
tingkat kepuasan klinisi dikarenakan harganya yang murah karena sebagian besar
golongan dari obat ini tersedia dalam formulasi generik (Kaplan, 2010).Golongan obat
trisiklik bekerja dengan menghambat reuptake neurotransmitter di otak. Secara
biokimia, obat amin sekunder diduga bekerja sebagai penghambat reuptake
norepinefrin,sedangkan amin tersier menghambat reuptake serotonin pada
sinapsneuron.hal ini mempunyai implikasi bahwa depresi akibatkekurangan
norepinefrin lebih responsive terhadap amin sekunder,sedangkan depresi akibat
kekurangan serotonin akan lebihresponsive terhadap amin tersier (Arozal, 2007).
b.MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitors) MAOIs telah digunakan sebagai
antidepresan sejak 15 tahunyang lalu. Golongan ini bekerja dalam proses
penghambatandeaminasi oksidatif katekolamin di mitokondria, akibatnya
kadar einefrin, noreprinefrin dan 5-HT dalam otak naik (Arozal, 2007).Obat ini sekarang
jarang digunakan sebagai lini pertama dalam pengobatan depresi karena bersifat
sangat toksik bagi tubuh. Selainkarena dapat menyebabkan krisis hipertensif
akibat interaksidengan tiramin yang berasal dari makanan-makanan tertentuseperti
keju, anggur dan acar, MAOIs juga dapat menghambatenzim-enzim di hati
terutama sitokrom P450 yang akhirnya akanmengganggu metabolisme obat di hati.
(Kaplan, 2010).

20
c.SSRIs (Selective Seronin Reuptake Inhibitors)SSRIs adalah jenis pengobatan
yang juga menjadi pilihan lini pertama pada gangguan depresif berat selain
golongan trisiklik (Kaplan, 2010). Obat golongan ini mencakup fluoxetine,citalopram dan
setraline. SSRIs sering dipilih oleh klinisi yang pengalamannya mendukung data
penelitian bahwa SSRIs sama manjurnya dengan trisiklik dan jauh lebih baik
ditoleransi oleh tubuh karena mempunyai efek samping yang cukup minimal
karena kurang memperlihatkan pengaruh terhadap sistem
kolinergik, adrenergik dan histaminergik. Interaksi farmakodinamik yang
berbahaya akan terjadi bila SSRIs dikombinasikan dengan MAOIs, karena akan
terjadi peningkatan efek serotonin secara berlebihan yang disebut sindrom
serotonin dengan gejala hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular dan gangguan
tanda vital (Arozal, 2007).
d.SNRIs (Serotonin and Norepinephrine Inhibitors)Golongan antidepresan SNRIs
bekerja dengan mekanisme yang hampir sama dengan golongan SSRIs, hanya saja
pada SNRIs juga menghambat dari reuptake norepinefrin (NIMH, 2002).Selain dari
golongan obat yang telah dibahas sebelumnya, masih ada beberapa alternatif yang
digunakan untuk terapi medikamentosa pada pasien depresi dengan keadaan
tertentu (Mann, 2005).

Psikoterapi
 Terapi kognitif-perilaku
Pendekatan kognitif mengajak pasien secara langsung mengenali distorsi
kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik secara langsung.
Teknik utama yang digunakan adalah pendekatan behavioral adalah relaksasi dan
biofeedback (Saddock & Saddock, 2010).
 Terapi suportif
Pasien diberikan reassurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi yang
ada dan belum tampak, didukung egonya agar lebih bisa beradaptasi optimal dan
fungsi sosial dan pekerjaannya (Saddock & Saddock, 2010).
 Psikoterapi berorientasi tilikan

21
Terapi ini mengajak pasien untuk mencapai penyingkapan konflik bawah
sadar, menilik egostrengh, relasi objek, serta keutuhan self pasien (Saddock &
Saddock, 2010).

F. Prognosis
Gangguan depresi berat bukan merupakan gangguan yang ringan, biasanya
cenderung untuk menjadi kronik dan kambuh. Episode pertama gangguan depresi
berat yang dirawat di rumah sakit sekitar 50% angka kesembuhannya pada tahun
pertama. Preesentasi pasien untuk sembuh setelah perawatan berulang berkurang
seiring berjalannya waktu. Banyak pasien yang tidak pulih akan menderita
gangguan distimik.
Kekambuhan depresi berat juga sering terjadi, sekitar 25% pada 6 bulan
setelah keluar rumah sakit, sekitar 30-50% dalam 2 tahun pertama, dan sekitar 50-
75% dalam periode 5 tahun. Insiden relaps berkurang pada pasien yang
melanjutkan terapi psikofarma profilaksis dan pasien yang hanmya mempunyai
satu atau dua episode depresi. Secara umum, semakin sering pasien mengalami
episode depresi, semakin buruk keadaannya.
Indikator prognosis, kemungkinan prognosis baik: episode ringan, tidak
ada gejala psikotik, waktu rata inap singkat, indicator psikososial meliputi
mempunyai teman akrab selama masa remaja, fungsi keluarga stabil, lima tahun
sebelum sakit secara umum fungsi social baik. Sebagai tambahan, tidak ada
komorbiditas dengan gangguan psikitari lain, tidak lebih dari sekali rawat. Jika
kemungkinan rasa prognosis buruk: depresi berat bersamaan dengan distimik,
penyalahgunaan alcohol, dan zat lain, ditemukan gejala cemas, ada riwayat lebih
dari sekali episode depresi sebelumnya.

22
PEMBAHASAN

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

TEORI FAKTA
Menurut PPDGJ III,kriteria - - Cemas
- - Gelisah
diagnosis episode depresif (F32) adalah
- - Menghindari orang lain
sebagai berikut: Gejala utama ( pada - - Tidur tidak nyenyak dan terbangun
derajat ringan, sedang, dan berat) : tengah malam
- - Mudah lelah
1) Afek depresif - - Tidak bisa berkonsentrasi
2) Kehilangan minat dan - - Tidak percaya diri
- - Berlangsung > 2 minggu
kegembiraan - - Kesulitan dalam berinteraksi social
3) Berkurangnya energi yang dan pekerjaannya
- - HDRS scale 27 = depresi sedang
menuju meningkatnya keadaan
mudah lelah ( rasa lelah yang
nyata sesudah kerja sedikit saja
) dan menurunnya aktivitas.

Gejala Lainnya :
a) Konsentrasi dan perhatian
berkurang
b) Harga diri dan kepercayaan
diri berkurang
c) Gagasan tentang rasa
bersalah dan tidak berguna
d) Pandangan masa depan yang
suram dan pesimistik
e) Gagasan atau perbuatan yang
membahayakan diri atau bunuh diri
f) Tidur terganggu
g) Nafsu makan berkurang

F32.1 Episode Depresif Sedang

23
Episode depresi sedang
 Sekurang-kurangnya harus ada
2 dari 3 gejala utama depresi
seperti pada episode depresi
ringan.
 Ditambah 3 (dan sebaiknya 4)
dari gejala lainnya.
 Lamanya seluruh episode
berlangsung minimum sekitar 2
minggu.
 Menghadapi kesulitan nyata
untuk meneruskan kegiatan
sosial, pekerjaan dan urusan
rumah tangga,.

HDRS Scale
- < 17 = tidak depresi
- 17-24 = depresi ringan
- 25-34 = depresi sedang
- 35-51 = depresi berat
- 52-68 = depresi berat sekali

Penatalaksanaan
TEORI FAKTA
Farmakoterapi - Sertralin 1x50 mg
Anti depressan - Clobazam 2x10 mg
- Trisiklik - Terapi Kognitif
- MAOIs
- SSRIs
- SNRIs
Psikoterapi
- Terapi kognitif-perilaku
- Terapi suportif
- Psikoterapi berorientasi tilikan

24
KESIMPULAN

Pada kasus ini dilaporkan seorang laki-laki usia 28 tahun yang merupakan
pasien rawat jalan di RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda pada tanggal 24
September 2018 dengan diagnose Episode Depresi Sedang. Pasien tersebut telah
mendapat Sertralin 1x50mg dan Clobazam 2x10mg.

DAFTAR PUSTAKA

25
Allgulander, C., Dahl, A. A., Austin, C., Morris, P. L., Sogaard, J. A., Fayyad, R., . . . Clary, C.
M. (2004). Efficacy of Sertraline in a 12-Week Trial for Generalized Anxiety
Disorder. The American Journal of Psychiatry, 161(9), 1642-1649.

Bhatt, N. V. (2017, Juni 9). Medscape. Retrieved from emedicine.medscape.com:


https://emedicine.medscape.com/article/286227-overview

Maslim, R. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III
dan DSM 5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

Puri, B., Laking, P., & Treasaden, I. (2011). Buku Ajar Psikiatri . Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Saddock, B. J., & Saddock, V. A. (2010). Kaplan & Saddock: Buku Ajar Psikiatri Klinis.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sadock, B., & Sadock, V. (2015). Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

26

S-ar putea să vă placă și